Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini di lakukan mengingat dari belum adanya penelitian yang

fokus terhadap implementasi kebijakan pembinaan anak jalanan, gelandangan,

pengemis dan pengamen di Kota Tangerang. Adapun penulis menemukan

pennelitian terdahulu yang membahas permasalahan yang relatif serupa dengan

masalah yang diteliti. Hal berikut dapat kita lihat dalam tabel dibawah :

Tabel 2.1

Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Penulis

Penelitian Terdahulu
Kinerja Dinas Sosial Kota
Implementasi Program
Bandung Dalam Penanganan
Pembinaan Anak Jalanan Di
Judul Gelandangan dan Pengemis Di
Dinas Sosial Kota Bandung
Kota Bandung (Maulana Riza
(Heppy Pratiwi, 2014)
Hidayat, 2013)
Teori Pengukuran Kinerja
Teori Implementasi Kebijakan
Dwiyanto :
Charles O. Jones:
1. Produktivitas
1. Organisasi
Variabel Teori 2. Kualitas Layanan
2. Interpretasi
3. Responsibilitas
3. Aplikasi
4. Responsivitas
5. Akuntabilitas
Metode
Metode Kualitatif Metode Kualitatif
Penelitian
1. Fokus Penelitian yang 1. Metode penelitian yang
Persamaan digunakan sama yaitu digunakan sama, yaitu
Dengan mengenai implementasi metode penelitian
Penelitian kebijakan. kuanlitatif
Penulis 2. Metode penelitian yang 2. Fokus permasalahan
digunakan sama, yaitu sama yaitu mengenai
mengenai metode gelandangan dan
penelitian kualitatif. pengemis.
3. Fokus permasalahan
sama yaitu mengenai
anak jalanan.
Teori implementasi kebijakan
Teori implementasi kebijakan yang digunakan penelitian
yang digunakan penelitiantersebut mengacu kepada teori
tersebut mengacu kepada teori Pengukuran Kinerja Dwiyanto :
implementasi Charles O. Jones : 1. Produktivitas
1. Organisasi 2. Kualitas Layanan
2. Interpretasi 3. Responsibilitas
3. Aplikasi 4. Responsivitas
Sedangkan penelitian penulis 5. Akuntabilitas
Perbedaan mengacu kepada teoriSedangkan penelitian penulis
Dengan implementasi kebijakan Soren C mengacu kepada teori
Penelitian Winter dengan variabel: implementasi kebijakan Soren C
Penulis 1. Perilaku hubungan antar Winter dengan variabel:
organisasi, 1. Perilaku hubungan antar
2. Perilaku implementor, organisasi,
3. Perilaku kelompok 2. Perilaku implementor,
sasaran 3. Perilaku kelompok
Selain itu lokus penelitian sasaran
tersebut di Kota Bandung Selain itu lokus penelitian
sedangkan penelitian penulis di tersebut di Kota Bandung
Kota Tangerang. sedangkan penelitian penulis di
Kota Tangerang.
(Sumber : Diolah dari Heppy Pratiwi, 2014 dan Maulana Riza Hidayat, 2013)

2.2 Kebijakan Publik Sebagai Salah Satu Bidang Kajian Ilmu

Administrasi Publik

Perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat menghasilkan dampak

yang tidak sedikit, seperti permasalahan yang selalu datang dan berkembang sampai

semakin kompleks. Perkembangan tersebut pasti akan menghampiri administrasi

publik sebagai contoh kenyataan bahwa sumber dafisit terbesar di setiap negara

adalah peroses penyelenggaraan administrasi publik dan persoalan ini harus

diselesaikan oleh pemerintah. Hal tersebut terjadi karena administrasi publik


memiliki fungsi publik service, dimana seorang administrator harus berkemampuan

memecahkan permasalahan yang timbul karena permasalahan orang banyak.

Adaministrasi publik bukanlah sebuah konsep yang baru. Dahulu konsep

administrasi publik biasa kita kenal dengan nama administrasi negara. Chandler dan

Plano yang dikutip oleh Habani Pasolong mengatakan administrasi publik sebagai

“Proses dimana sumber daya dan personel publik diorganisir dan


dikordinasikan untuk memformulasikan, mengimplementasikan, dan
mengelola keputusan keputusan dalam kebijakan publik”
(Pasolong, 2007:7)

Beberapa pakar yang mengkaji Ilmu Administrasi Publik mengemukakan

bahwa kebijakan publik merupakan bidang kajian dari administrasi publik. Riant

mengatakan bahwa :

“Kebijakan publik terbaik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga


masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan
semakin menjerumuskan ke polaketergantungan. Inilah makna strategis dari
administrasi publik, dan kenapa administrasi publik menjadi teramat
strategis dalam menghadapi tantangan.
(Riant Nugroho D, 2003:50)

Thoha juga mengatakan bahwa :

“Administrasi publik memiliki dimensi-dimensi sebagai bidang kajianya


dan dimensi pertama adalah “public policy”. Public policy atau kebijakan
publik sangat penting dalam administrasi publik karena didalam kebijakan
tersebut ditentukan arah yang harus ditempuh dalam mengetahui isu-isu
yang berkembang di dalam masyarakat”
(Thoha, 2002:53)

Dari penjelasan diatas dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan

publik merupakan bagian dari ilmu administrasi publik, karena persolan yang di

hadapi oleh administrasi negara berasal dari permasalahan yang muncul dari
masyarakat dan kebijakan publik merupakan pilihan dalam menyelesaikan

permasalahan tersebut.

2.3 Pengertian Kebijakan Publik

Dalam mempelajari kebijakan publik biasanya menemukan berbagai

konsep yang didalamnya memuat istilah “kebijakan”. Konsep tersebut perlu

dicermati karena mempunyai makna berbeda. Misalnya, konsep Kebijakan (policy),

kebijakan (policy studies), analisis kebijakan (policy analisis), advokasi kebijakan

(policy advocacy), penelitian kebijakan (policy research), dan kebijakan publik

(publik policy).

Sebagai suatu konsep, kebijakan memiliki makna yang luas dan multi

interpretasi. Sebagai contoh, James Anderson memberi makna kebijakan sebagai

perilaku aktor dalam bidang kegiatan tertentu (dalam Wahab, 1997) pengertian

diatas sangat luas dan bisa bermacam-macam, misal, sang “aktor” dapat berupa

individu atau organisasi, dapat pemerintah maupun non pemerintah. Demikian pula

istilah “kegiatan tertentu” bisa diartikan kegiatan administratif, politis, ekonomis,

dan lain-lain. Di samping itu, bentuk kegiatanya pun luas dan multi interpretasi

misalnya dapat berupa pencapaian tujuan, perencanaan, program, dan sebagainya.

Dengan demikian studi kebijakan adalah studi tentang prilaku berbagai aktor dalam

berbagai bidang kegiatan yang mempunyai relevansi dengan sang aktor.

Ada bebrbagai defenisi tentang kebijakan public yang dikemukakan oleh

beberapa ahli. Misalnya yang dikemukakan oleh Lester dan Stewart yang dikutip

oleh Solahuddih Kusumanegara :


“Kebijakan publik merupakan kebijakan yang dibuat oleh institusi otoritatif
yang ditujukan dan berdampak kepada publik serta ditunjukan untuk
mengatasi persoalan-persoalan publik”.
(Solahuddih Kusumanegara, 2010:4)

Dye yang dikutip oleh solahuddin mengatakan bahwa :

“Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan


tindakan atau tidak melakukan tindakan. Parker berpendapat bahwa
kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau
tindakan yang dilakukan pleh pemerintah pada periode tertentu dalam
hubunganya dengan suatu subyek atau tanggapan terhadap krisis”.
(Solahuddih Kusumanegara, 2010:4)

Amir Santoso (1986) mengolongkan pengertian kebijakan publik dalam dua

konsentrasi, yaitu konsentrasi pada tindakan-tindakan pemerintah, dan konsentrasi

pada implementasi kebijakan dan dampak.

Meskipun terdapat bebagai defenisi kebijakan negara (Publik policy),

seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwasanya dalam setiap kebijakan

pasti membutuhkan orang-orang sebagai perencanaan atau pelaksaan kebijakan

maupun objek dari kebijakan itu sendiri. Kebijakan public dibaca dalam lingkar

otoritas Negara, persoalan yang muncul selama ini disebabkan oleh kompetensi

aparat yang tidak memadai atau juga pilihan agenda pengaturan yang kurang tepat.

Proses kebijakan merupakan sebuah proses yang multilinear dan kompleks.

Atau dengan kata lain, kompleksitas sosok arena kebijakan turut mewarnai proses

kebijakan yang ada.

Proses kebijakan dapat tercipta dalam sebuah mekanisme Interaksi antar

Individu. Proses pertukaran dan peraturan antar Individu dapat menciptakan sebuah

mekanisme sendiri, yaitu yang merupakan sebuah proses panjang dari transformasi

di dunia politik.
Dengan demikian, kebijakan publik merupakan rangkaian keputusan yang

mengandung konsekuensi moral yang di dalamnya adanya keterikatan akan

kepentingan rakyat banyak dan keterikatan terhadap tanah air atau tempat di mana

yang bersangkutan berada. Dan hal ini seyogyanya direfleksikan dalam perilaku

aparat sebagai penyelenggara, dan adanya interaksi antara penguasa dengan rakyat.

Dengan demikian, maka pertanggungjawaban dari seorang administrator publik

adalah mencakup pertanggungjawaban birokratis, pertanggungjawaban legal,

pertanggungjawaban profesional, pertanggungjawaban politis dan

pertanggungjawaban religius.

Dari uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa dengan adanya tujuan

yang ingin direalisasikan dan adanya masalah publik yang harus diatasi, maka

pemerintah perlu membuat suatu kebijakan publik. Kebijakan ini untuk

keberhasilannya tidak hanya didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomis, efisiensi

dan administratif, akan tetapi juga harus didasarkan atas pertimbangan etika dan

moral. Etika mempersoalkan mengapa kita harus bertindak demikian, sedangkan

moral mempersoalkan bagaimana kita bertindak.

Dari pengertian kebijakan publik yang diuraikan diatas dapat disimpulkan

1) Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-

tindakan pemerintah.

2) Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

itu mempunyai tujuan tertentu.

3) Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.


2.4 Implementasi Kebijakan Publik

Secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu

aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan

sarana (alat) untuk meperoleh hasil.

Apabila pengertian implementasi di atas dirangkaikan dengan kebijakan

publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas

penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/

disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.

Dengan demikian, dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan

merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan

yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Anderson

mengemukakan bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan

administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/ disetujui. Kegiatan ini

terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi

kebijakan mengandung logika yang top-down, maksudnya

menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro

menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan formulasi kebijakan

mengandung logika bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan

kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan

pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk

ditetapkan.

Implemenasi kebijakan merupakan bagian penting dalam Kebijakan Publik.

Studi mengenai kebijakan publik dapat dipahami dari dua prespektif. Pertama,
prespektif politik, bahwa kebijakan publik di dalam perumusan, implementasi,

maupun evaluasinya pada hakikatnya merupakan pertarungan berbagai

kepentingan publik didalam mengalokasikan dan mengelola sumberdaya

(resources) sesuai dengan visi, harapan dan prioritas yang ingin diwujudka. Kedua,

prespektif administratif, bahwa kebijakan publik merupakan ikhwal yang berkaitan

dengan sistem, prosedur, dan mekanisme, serta kemempauan para pejabat publik

(official officers) di dalam menterjemahkan dan menerapkan kebijakan publik,

sehingga visi dan harapan yang ingin dicapai dapat di wujudkan dalam realitas.

Jenkins (1978:201) mengatakan bahwa studi implementasi merupakan studi

perubahan : bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa

di munculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan

politik, bagaimana organisasi diluar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan

mereka dan berinteraksi satu sama lain, apa motivasi-motivasi mereka bertindak

seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara

berbeda.

Implementasi kebijakan memegang peranan penting dalam menentukan

tercapai atau tidaknya tujuan yang telah ditetapkan. dari uraian konsep

implementasi kebijakan publik di atas kita bisa mengemukakan bahwa tujuan

implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-

tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik (politik) dapat diwujudkan sebagai

“outcome” (hasil akhir) dari kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Implementasi dapat disebut sebagai “policy delivery system”. Maksudnya, sebagai

suatu sistem penyampaian/penerusan kebijakan. Sebagai suatu sistem,


implementasi terdiri dari unsur-unsur dan kegiatan- kegiatan yang terarah menuju

tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki.

Implementasi kebijakan publik merupakan suatu yang penting. Kebijakan

publik yang dibuat hanya akan menjadi sia-sia apabila tidak berhasil di laksanakan.

Maka karena itu, implementasi kebijakan publik perlu dilakukan dengan

mempertimbangkan berbagai faktor, agar kebijakan publik yang dimaksud benar-

benar dapat berfungsi sebagai alat untuk merealisasikan harapan yang diinginkan.

Dengan kata lain, implementasi kebijakan publik merupakan upaya untuk

merealisasikan sebuah keputusan atau kesepakatan yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Berdasarkan uraian para ahli diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya

implementasi kebijakan merupakan pendekatan untuk menganalisis tentang

bagaimana kebijakan dilaksanakan atau di praktikan.

2.5 Model Implementasi Kebijakan

Impelentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana

yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi biasanya dilakukan

setelah perencanaaan sudah dianggap baik. Berikut disini ada sedikit info tentang

pengertian implentasi menurut para ahli.

Tachjan (2006:10) mengemukakan beberapa teori dari beberapa ahli

mengenai implementasi kebijakan agar dapat mencapai tujuanya dengan baik,

maka dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut harus memperhatikan

langkah-langkah. Elmore dalam Hill mengungkapkan bahwa :


1. The systems management model
2. The bereaucratic process model
3. The organizational development model
4. The conflict and bargaining model.

Maksud dari model-model tersebut adalah sebagai berikut:

1. Model manajemen sistem-sistem, mencakup asumsi- asumsi organisasi


terdiri dari mainstream, tradisi rasionalis dari analisis kebijakan. Titik
tolaknya adalah asumsi tentang perilaku pemaksimuman nilai.
2. Model proses birokrasi, menggambarkan pandangan sosiologis tentang
organisasi-organisasi yang diper- baharui untuk meliput riset baru oleh
para mahasiswa “street level bereaucracy” yang memikul langsung
analisis implementasi program sosial. Titik tolaknya adalah anggapan
bahwa ciri esensial dari organisasi-organsisasi adalah interaksi antara
nilai dan dikresi.
3. Model perkembangan organisasi, menggambarkan suatu kombinasi
relatif baru dari teori sosiologi dan psikologi yang memusatkan perhatian
pada konflik antara kebutuhan-kebutuhan individu dengan permintaan-
permintaan atau tuntutan-tuntutan hidup organisasi.
4. Model konflik dan bargaining, membahas masalah bagai-mana orang
dengan kepentingan-kepentingan divergen bersatu dalam menyelesaikan
tugas. Ini dimulai dari anggapan bahwa konflik, yang muncul dari
pengejaran keuntungan relatif dalam hubungan bargaining, merupakan
ciri dominan dari hidup organisasi tersebut.
(Tachjan 2006:20)
Langkah-langkah yang diungkapkan oleh Elmore ini dapat digunakan

dalam implementasi kebijakan, karena 4 (tiga) tahap yang dikemukakan tersebut

merupakan proses yang mendasar dari suatu Implementasi kebijakan.

Selain Elmore, Model Soren Winter mengemukakan 3 (tiga) faktor yang

mempengaruhi keberhasilan proses implementasi yakni :

1. Perilaku hubungan antar organisasi. Dimensinya adalah : komitmen dan


koordinasi antar organisasi.
2. Perilaku implementor (aparat/birokrat) tingkat bawah. Dimensinya adalah
kontrol organisasi dan etos kerja dan norma-norma profesional.
3. Perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran tidak hanya memberi
pengaruh pada dampak kebijakan tetapi juga mempengaruhi kinerja aparat
tingkat bawah, jika dampak yang ditimbulkan baik maka kinerja aparat
tingkat bawah juga baik demikian dengan sebaliknya. Perilaku kelompok
sasaran meliputi respon positif atau negatif masyarakat dalam mendukung
atau tidak mendukung suatu kebijakan yang disertai adanya umpan balik
berupa tanggapan kelompok sasaran terhadap kebijakan yang dibuat.
(Soren Winter dalam Peters Piere, 2003)

Dan yang terakhir adalah Menurut George Edward III dalam Widodo

(2010:96) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan

implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor komunikasi, sumberdaya, disposisi

dan struktur birokrasi.

1. Komunikasi
komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi
transmisi (trasmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency).
2. Sumber daya
sumberdaya tersebut meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya anggaran,
dan sumberdaya peralatan dan sumberdaya kewenangan.
3. Disposisi
Faktor-faktor yang menjadi perhatian mengenai disposisi dalam
implementasi kebijakan terdiri dari pengangkatan birokrasi, dan insentif.
4. Struktur Birokrasi
terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu : Standard Operational
Procedure (SOP) dan fragmentasi.
(George Edward III dalam Widodo. 2010:96)

Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan terdiri dari

tujuan atau sasaran kebijakan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan, dari hasil

kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu

proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau

kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan

tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi

kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir

(output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.


2.6 Pengertian Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang,

keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau

gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat

terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani dan sosial secara memadai dan

wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan,

keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan atau

keterpencilan dan perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang

mendukung, seperti terjadinya bencana. Diantaranya adalah Gelandangan, Anak

Jalanan, dan Pengemis.

2.7 Kerangka Pemikiran

Studi tentang implementasi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai

aparatur Negara sangatlah kompeten untuk dikaji secara seksama, karena ini

menyangkut output dari kebijakan yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat.

Implementasi kebijakan sewajarnya dipahami sebagai bentuk nyata dari

sebuah turunan undang-undang mengenai pelaksanaan sampai kepada tahap

pengevaluasiaan. Maka dari itu akan dipaparkan beberapa konsep sesuai dengan

batasan-batasan dari penelitian ini.

Ada beberapa hal pokok yang menjadi kerangka konseptual dalam

penelitian yang akan dilakukan, untuk itu penulis akan mengutip pendapat ahli yang

berhubungan dengan masalah yang hendak dikaji.


Menurut Soren C Winter beliau mengemukakan 3 (tiga) variabel yang

mempengaruhi keberhasilan proses implementasi adalah perilaku hubungan antar

organisasi, perilaku implementor, perilaku kelompok sasaran.

Implementasi kebijakan pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis

dan pengamen di Kota Tangerang Sampai Saat ini Belum berjalan secara optimal

sebagaimana diharapkan oleh pihak terkait. Hal tersebut terjadi karena beberapa

hal, diantaranya yaitu : belum tegasnya para pelaksana kebijakan dalam menegakan

Peraturan Daerah No.5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan,

Gelandangan, Pengemis dan Pengamen. Pada pasal 16 ayat 1 Perda No.5 Tahun

2012 berisi pelarangan untuk setiap orang dilarang memberi uang atau/

barangkepada anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di jalan umum.

Untuk melaksanakan kebijakan dalam penelitian ini, alat ukur yang penulis

gunakan untuk mengukur implementasi kebijakan adalah model Soren C Winter.

Yang pertama adalah perilaku hubungan antar organisasi, di mana didalamnya

terdapat dua dimensi yaitu dimensi komitmen dan kordinasi antar organisasi,

komitmen dalam hal ini adalah bagaimana komitmen dinas sosial dalam

memberantas PMKS di Kota Tangerang dengan mengimplementasikan Perda

implementasi kebijakan pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan

pengamen di Kota Tangerang, sedangkan kordinasi antar organisasi menurut Van

Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005) menjelaskan dalam berbagai kasus,

implementasi sebuah program terkadang perlu didukung dan dikoordinasikan

dengan instansi lain agar tercapai keberhasilan yang diinginkan.


Yang kedua yaitu perilaku implementor, dalam hal ini ada dua dimensi yaitu

kontrol organisasi yaitu kontrol organisasi berfungsi melakukan pengawasan

terhadap aktifitas yang dilakukan oleh staf, baik diluar maupun didalam lingkungan

kerja sehingga staf dapat menjalankan tugas dengan baik sesuai tugas pokok dan

fungsinya. Dalam implementasi kebijakan ini, kontrol organisasi tetap dilakukan

oleh pimpinan kepada staf. Dalam setiap tugas yang dilakukan staf selau

melaporkan tugas-tugasnya kepada pimpinan, sehingga dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa kontrol organisasi dalam implementasi kebijakan sudah

berjalan dengan baik, dan profesionalisme aparat dalam hal ini faktor sumber daya

manusia menjadi sangat penting dalam proses implementasi kebijakan, sebab jika

SDM lemah maka sudah barang tentu kebijakan tidak akan terimplementasi dengan

baik. Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting untuk

implementasi kebijakan agar efektif. Edward III mengemukakan apabila

implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak

akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia,

yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Implementasi kebijakan

mengalami kendala karena faktor profesionalisme aparat yang masih kurang, hasil

penelitian menunjukan bahwa etos kerja staf sangat baik akan tetapi tidak ditunjang

dengan profesionalisme yang masih harus ditingkatkan.

Yang terakhir adalah perilaku kelompok sasaran. Kelompok sasaran tidak

hanya memberi pengaruh pada dampak kebijakan tetapi juga mempengaruhi kinerja

aparat tingkat bawah, jika dampak yang ditimbulkan baik maka kinerja aparat

tingkat bawah juga baik demikian dengan sebaliknya. Perilaku kelompok sasaran
meliputi respon positif atau negatif masyarakat dan kelompok PMKS di Kota

Tangerang dalam mendukung atau tidak mendukung suatu kebijakan yang disertai

adanya umpan balik berupa tanggapan kelompok sasaran terhadap kebijakan yang

dibuat.

Berdasarkan penjelasan diatas perilaku hubungan antar organisasi, perilaku

implementor, perilaku kelompok sasaran berkaitan dengan implementasi kebijakan

pembinaan anak jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Tangerang

dan sesuai dengan penelitian yang akan diteliti. Maka untuk lebih jelasnya penulis

menjabarkan kerangka pemikiran dalam implementasi kebijakan pembinaan anak

jalanan, gelandangan, pengemis dan pengamen di Kota Tangerang yang dapat

dilihat sebagai berikut :


Bagan 2.2

Kerangka Pemikiran

Implementasi Kebijakan Pembinaan Anak Jalanan,


Gelandangan, Pengemis dan Pengamen
Di Kota Tangerang

Terlaksanaya Implementasi Kebijakan Pembinaan


Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan
Pengamen Di Kota Tangerang

(Sumber : Penulis, 2015)

2.7 Hipotesis Kerja

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan diatas, maka


hipotesis yang diambil penulis adalah sebagai berikut: “Implementasi Kebijakan
Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis Dan Pengamen Di Kota
Tangerang akan optimal apabila menerapkan dan mendasarkan pada perilaku
hubungan antar organisasi, perilaku implementor, perilaku kelompok sasaran”.

Anda mungkin juga menyukai