Anda di halaman 1dari 2

CLO 3

KEVIN KURNIAWAN H
1502160310

FILSAFAT TIMUR BERDASARKAN PENDAPAT IBNU SINA


Ibnu Sina memiliki ketertarikan khusus terhadap filsafat jiwa (filsafat emanasi). Filsafat emanasi Ibnu
Sina adalah teori pancaran tentang penciptaan alam, yang mana alam ini terwujud karena limpahan
dari Tuhan Yang Maha Esa. Filsafat emanasi Ibnu Sina tidak jauh berbeda dengan emanasi Al-Farabi,
bahwa dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua, dan langit
pertama demikian seterusnya, sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi.

Menurut Ibnu Sina, falak (benda-benda langit khususnya bumi,bulan, dan matahari) itu
mempunyai jiwa (nafs) dan jiwa itulah yang menggerakkan falak secara langsung, sementara
al-‘aql hanya menggerakkan falak dari jauh. Al-‘aql (pikiran) itu sendiri tetap (permanen)
sebab ia terasing (mufâraq) dari benda falak, sedangkan jiwa berhubungan langsung dengan
benda falak, dan pada al-‘aql itu ada sesuatu hal yang disebut al-khayr (kebaikan), kebaikan
inilah yang menjadi tujuan falak untuk mencapai kesempurnaan dirinya. Untuk mencapai
kesempurnaan itu falak lalu berputar mengelilingi al-‘aql al-mufâriq-nya. Namun demikian,
maksud tersebut tidak akan dicapai sebab tiap-tiap falak hanya mampu mencapai suatu
tingkatan kesempurnaan dalam lingkungan akalnya., Oleh karena itu, hanya “akal pertama”
yang paling sempurna dibandingkan akal-akal yang lain karena ia merupakan limpahan
langsung dari Tuhan, sedangkan “akal kedua” lebih rendah dari “akal pertama”, dan “akal
ketiga” lebih rendah dari “akal kedua” dan seterusnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut Ibnu Sina, “Akal Pertama” mempunyai
dua sifat; yaitu sifat wâjib wujûd-nya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mumkin wujud-
Nya jika ditinjau dari hakekat dirinya (Nasution, 1978:35). Dengan demikian “Akal Pertama”
ini mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu Tuhan, Diri-Nya sebagai wâjib wujûd-Nya, dan
Diri-Nya sebagai mungkin wujûd-nya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal,
sementara pemikiran tentang diri-Nya sebagai wâjib wujûd-Nya timbul jiwa-jiwa, sedangkan
pemikirannya tentang diri-Nya sebagai mungkin wujûd-Nya timbul langit-langit.

Kaitan jiwa dengan pikiran menurut Ibnu Sina yaitu apabila seorang sedang membicarakan
tentang dirinya atau mengajak bicara orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya,
bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak
kaki atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.

Kita bergembira dan sedih, suka duka, cinta dan membenci, meniadakan dan menetapkan,
menganalisa dan menyusun pikiran. Peristiwa ini keluar dari pribadi yang satu dan dari
kekuatan terbesar yang dapat menggabungkan antara peristiwa-peristiwa kejiwaan yang
berlawanan, dan kekuatan tersebut tidak lain adalah jiwa.Kalau sekiranya tidak ada kekuatan
ini, tentunya peristiwa-peristiwa kejiwaan saling berlawanan dan mengalami kekacauan.

Kaitan jiwa dengan roh menurut Ibnu Sina yakni kehidupan rohani kita pada pagi ini ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh
tidur, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang
telah lewat. Kalau kita bergerak dan mengalami perubahan, maka gerakan-gerakan dan
perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai-rangkai pula. Pertalian dan
perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa-peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber
yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina tidak membenarkan mereka yang mempersatukan jiwa dengan badan atau
menganggap badan sebagai sumber kegiatan pikiran yang bermacam-macam.

Kaitan jiwa dengan nyawa menurut Ibnu Sina, ia menyatakan bahwa jiwa manusia bukan
perkara yang asalnya sudah ada, dan berdiri sendiri kemudian terdapat dalam badan. Sebagai
dalil kebaharuan jiwa, ia mengemukakan bahwa jiwa-jiwa manusia sama (satu) macam dan
pengertiannya jiwa satu sama lainnya hanya dari segi badan yang menerima esensi jiwa itu.
Dengan demikian, maka jiwa itu baharu (diadakan), ketika terjadi materi badan yang bisa
memakainya.

Anda mungkin juga menyukai