Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

STEVEN JOHNSON SYNDROME (SJS)

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Persyaratan Dokter Internship

oleh

dr. Chandra Ristiadi

Pembimbing:

dr. Muhammad Al Asyar

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGANYAR

KABUPATEN KARANGANYAR

2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Steven Johnson Syndrom (sjs)

Karanganyar, Juli 2019

Mengetahui :

Pembimbing Internship

dr. Muhammad Al asyar

(NIP :197110162005011008)

2
Berita Acara Presentasi Portofolio

Pada hari ini hari , tanggal juli 2019 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama : dr. Chandra Ristiadi

Judul/ topik : Steven Johnson Syndrome

No. ID dan Nama Pendamping : dr. Muhammad Al Asyhar

No. ID dan Nama Wahana : RSUD Karanganyar

Nama Peserta Presentasi No. ID Peserta Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

5. 5.

6. 6.

7. 7.

8. 8.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Muhammad Al Asyhar

NIP : 197110162005011008

BAB I
LAPORAN KASUS

3
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Lengkap : Bp. S
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Tawangsari 1/16
No RM : 426699

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Muncul bintik-bintik merah setelah minum obat Flu
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh muncul bercak-bercak merah di sekujur tubuh setelah
minum obat Flu dari apotik 3 hari SMRS. Badan terasa gatal dan sedikit perih.
Muka bengkak, mata bengkak, perih, berair, dan keluar cairan kental. Bibir
bengkak dan berdarah.
Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Nyeri perut disangkal, dada terasa
sesak disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Alergi disangkal
Riwayat Asma disangkal

Riwayat Sosial
Pekerjaan sehari-hari pasien sebagai petani.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita alergi

4
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Kompos mentis
Kesadaran : GCS 4-5-6
Tek.darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 kali per menit, teratur, kuat angkat
Pernafasan : 20x/menit
Suhu axiler : 37,6°C (axillar)
Gizi : BB 50 kg, TB 150 cm
Kepala Leher
Mata : edema palpebra, konjunctiva hiperemis (+).
Bibir : edema, erosi tertutup krusta
Mulut : tidak tampak perdarahan gusi, palatum icterus –
Trakea : ditengah
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena Jugularis : tidak ada distensi
Thorax
Bentuk : Normal, spider nevi(-), kolateral (-)
Payudara : Simetris, ginekomasti (-)
Axilla : Tidak ditemukan pembesaran KGB
Jantung
Inspeksi Iktus: tidak tampak
Palpasi Iktus: teraba, di ICS V, Midclavicular line sinistra
Thrill: tidak didapat
Perkusi Batas kanan: di ICS IV, linea parasternal dextra
Batas kiri: ICS V, Midclavicular line sinistra
Auskultasi S1, S2: tunggal, regular murmur (-) gallop (-)

Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Kanan Kiri Kanan Kiri

5
INSPEKSI
Bentuk Simetris + + + +
Pergerakan Simetris + + + +
Pemakaian otot bantu - - - -
nafas
PALPASI
Pergerakan Simetris + + + +
Fremitus Simetris + + + +
raba
PERKUSI
Suara ketok Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
sonor sonor Sonor Sonor
Kronig isthmus Normal
Batas paru hati ICS V mid clavicular line dextra
AUSKULTASI
Suara nafas Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Ronkhi - - - -
- - - -
- - - -
Wheezing - - - -
- - - -
- - - -

Abdomen
Inspeksi Bentuk: flat
Kulit: vena kolateral (-), caput medusae (-)
Eritema (+), plak (+)
Auskultasi Bising usus: normal
Perkusi Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi Turgor normal, nyeri tekan(-) di abdomen
Hepar: Tidak teraba ; Lien: Tidak teraba
Ekstremitas
Atas Akral hangat kering merah
CRT < 2 detik
Edema: tidak didapatkan
Plak eritema (+)
Bawah Akral hangat kering merah

6
CRT < 2 detik
Edema: tidak didapatkan
Plak eritema (+)

KULIT
Purpura, plak eritem kehitaman, multiple tersebar diseluruh badan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah Lengkap
HGB 12,3 g/dL 13 – 18
RBC 4,27 10^6/uL 4,5 – 6,2
HCT 37,5 % 40 – 54
MCV 87,8 Fl 81 – 99
MCH 28,8 Pg 27 – 31
MCHC 32,8 g/L 33 – 37
WBC 6,8 10^3/uL 4 – 10
Eosinofil 2,2 % 0–4
Basofil 0,2 % 0–1
Neutrofil 62,8 % 50 – 70
Limfosit 21,7 % 20 – 40
Platelet 316 10^3/uL 150 – 450
Kimia Darah
BUN 16,0 mg/dL 6-20
Kreatinin Darah 0,83 mg/dL 0,67 – 1,5
SGOT 57 U/L <32
SGPT 76 U/L <33

E. DIAGNOSIS
Steven Johnson Syndrome

F. PENATALAKSANAAN
- STOP obat yang dicurigai
- O2 Nasal Kanul 4 lpm
- IVFD RL loading 500 cc lanjut RL 20 tpm
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg

7
- Inj. Ondancetron 3 x 4 mg
- Inj. Metylprednisolon 2 x 125 mg
- Inj. Ceftriaxon 2x1g
- Citirizin 1x1
- MRS Kulit

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema
multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritema multiformis mayor. SJS
umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor
terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra,
saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat

8
berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan
saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit
sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan
bahkan menjadi sebuah kematian (Barakbah, Jusuf, dkk. 2005).

2.2. ETIOLOGI
Patofisiologi Steven Johnson Syndrome masih belum jelas. Namun
ditetapkan bahwa obat adalah faktor etiologi yang paling penting. Lebih dari
100 obat yang berbeda telah dilaporkan sebagai kemungkinan penyebabnya.
Obat yang berisiko tinggi menjadi penyebab adalah antibiotik sulfonamid,
antikonvulsan aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi nonsteroid oxicam,
lamotrigin, dan nevirapine. Risiko terlihat pada 8 minggu pertama pengobatan.
Penambahan dosis secara perlahan dapat menurunkan tingkat ruam dengan
lamotrigin dan nevirapine, tetapi tidak ada bukti bahwa hal itu mengurangi
risiko SJS. Oxcarbazepine, turunan 10-keto dari carbamazepine, yang
dianggap membawa risiko yang lebih rendah, tampaknya secara signifikan
bereaksi silang dengan carbamazepine (Wolff,Klaus, dkk.2007).
Banyak obat anti-inflamasi nonsteroid yang diduga terkait dengan SJS,
terutama derivat oxicam dan diklofenak. Sebuah risiko yang signifikan tetapi
jauh lebih rendah juga telah dilaporkan antibiotik non-sulfonamide seperti
aminopenicillins, kuinolon, sefalosporin, dan tetrasiklin. Peran kortikosteroid
pada SJS masih belum jelas. Dalam studi kasus-kontrol, kortikosteroid yang
ditemukan terkait dengan risiko relatif tinggi, terlepas dari penyakit yang
mendasari(Wolff,Klaus, dkk.2007).
Peran agen infeksi dalam perkembangan SJS jauh kurang menonjol
dibandingkan eritema multiforme. Namun, beberapa kasus SJS berhubungan
dengan infeksi Mycoplasma pneumoniae, penyakit virus, dan imunisasi telah
dilaporkan. Pengamatan langka menggarisbawahi fakta bahwa obat bukan
satu-satunya penyebab SJS, namun masih ada sedikit bukti bahwa infeksi
dapat menjelaskan kasus yang memiliki persentase yang sangat
kecil(Wolff,Klaus, dkk.2007).

9
Tabel 1. Beberapa obat-obatan yang dapat menimbulkan Steven Johnson
Syndrome beserta tingkat resikonya (Wolff,Klaus, dkk.2007)
.Resiko tinggi Resiko rendah Resiko yangTidak ada resiko
diragukan
Allopurinol Asam asetil NSAIDsParacetamol Aspirin
Sulfamethoxazole (contoh: diclofenac) (acetaminophen) Sulfonylurea
Sulfadiazine Aminopenicillins Pyrazolone Thiazide diuretics
Sulfapyridine Cephalosporins analgesics Furosemide
Sulfadoxine Quinolones Corticosteroids Aldactone
Sulfasalazine Cyclins NSAIDs lain (kecualiCalcium channel
Carbamazepine Macrolides aspirin) blockers
Lamotrigine Sertraline Β blockers
Phenobarbital Angiotensin-
Phenytoin converting enzyme
Phenylbutazone inhibitors
Nevirapine Angiotensin II
Oxicam NSAIDs receptor
thiacetazone antagonists
Statins
Hormones
Vitamins

2.3. EPIDEMIOLOGI
Steven Johnson Syndrome jarang terjadi. Insiden SJS diperkirakan 1 sampai 6
kasus per juta orang per tahun dan 0,4 - 1,2 kasus per juta orang per tahun.
Steven Johnson Syndrome dapat terjadi pada semua usia, dengan peningkatan
risiko pada usia setelah dekade keempat, dan lebih sering menyerang wanita,
menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6. Pasien yang terinfeksi human
immunodeficiency virus dan untuk pasien dengan penyakit kolagen vaskular
berada pada tingkat yang lebih rendah dan kanker berada pada peningkatan
risiko. Keseluruhan kematian terkait dengan Steven Johnson Syndrome adalah
20-25 persen. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, dan tingkat
yang lebih besar dari keterlibatan kulit berhubungan dengan prognosis buruk
(Wolff,Klaus, dkk.2007).
2.4. PATOFISIOLOGI
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang
diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa

10
jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Sekitar 85 penyebab SJS adalah obat.
Peringkat tertinggi adalah obat-obat Sulfonamid, imidazol dan NSAID,
sedangkan peringkat menengah adalah quinolon, antikonvulsan aromatic dan
alopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SJS diantaranya : infeksi
(virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumonia, makan (coklat), dan
vaksinasi. Faktor fisik (udara dingin, sinar mathari, sinar X) rupanya berperan
sebagai pencetus (trigger).
Patogenesis SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena proses
hipersensitivitas , maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi kegagalan
fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti
peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria,
kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi imun dan infeksi.
Beberapa teori yang mendasari terjadinya SJS:
1. Adanya hasil metabolisme obat yang reaktif, yang berikatan dengan
protein sel sehingga memicu aktivasi limfosit T terhadap antigen obat di
keratinosit.
2. Ikatan antara Fas (reseptor untuk induksi apoptosis) dan ligandnya yang
dikeluarkan oleh sel mononuklear.
Menurut Yong-Taek Jun, dkk, 2003, ciprofloxacine dapat menginduksi
apoptosis sel T Jurkat secara invitro melalui cara meningkatkat ekspresi Fas
ligand dan akitivitas caspase-3 dan 8 yang meningkatkan percepatan kematian
sel.
Menurut Wataru Tomisato, 2001, NSAID dapat menyebabkan apoptosis dan
nekrosis dari sel, dalam hal ini sel mukosa gaster guinea pig.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis Steven Johnson Syndrome dimulai dalam waktu 8 minggu
(biasanya 4 sampai 30 hari) setelah timbulnya paparan obat. Hanya dalam
kasus yang sangat jarang terjadi dengan reaksi sebelumnya dan penolakan
yang sengaja dengan obat yang sama apakah itu tampak lebih cepat, dalam

11
beberapa jam. Gejala spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, dan
mialgia dapat mendahului lesi mukokutan dalam 1 sampai 3 hari. Nyeri saat
menelan dan luka bakar atau mata perih semakin berkembang, melibatkan
membran mukosa. Sekitar sepertiga dari kasus dimulai dengan gejala non-
spesifik, sepertiga dengan gejala keterlibatan membran mukosa, dan sepertiga
dengan anexanthema. Apapun gejala yang awal, perkembangan yang cepat,
penambahan tanda baru, sakit parah, dan gejala konstitusional harus waspada
terhadap timbulnya penyakit yang parah.
Lesi Kulit
Letusan awalnya simetris didistribusikan di wajah, bagian tubuh atas, dan
ekstremitas proksimal. Bagian distal dari lengan serta kaki yang relatif
terhindar, tapi ruam cepat dapat menyebar ke seluruh tubuh dalam beberapa
hari dan bahkan dalam beberapa jam. Lesi kulit awal ditandai dengan eritem,
merah kehitaman, makula purpura, berbentuk tidak teratur, yang semakin
menyatu. Lesi Target atipikal dengan pusat gelap sering diamati. Pertemuan
lesi nekrotik menyebabkan eritema yang luas dan menyebar. Tanda Nikolsky,
atau pengeluaran epidermis oleh tekanan lateral, adalah positif pada zona
eritematosa. Pada tahap ini, lesi berkembang menjadi lepuhan yang lembek,
yang menyebar dengan tekanan dan mudah patah. Epidermis yang nekrosis
mudah terpisah pada titik-titik tekanan atau trauma gesekan, memperlihatkan
daerah besar yang terkena, merah, kadang-kadang melukai dermis. Di daerah
lain, epidermis mungkin tetap utuh.
Pasien diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kelompok sesuai
dengan luas area epidermis yang terlepas atau "dilepas" (Nikolsky positif):
SJS, kurang dari 10 persen dari luas permukaan tubuh (BSA); SJS / TEN yang
bersamaan, antara 10 persen dan 30 persen; TEN, lebih dari 30 persen dari
BSA. Evaluasi yang benar dari tingkat lesi sulit, terutama di zona dengan lesi
jerawatan. Hal ini membantu untuk mengingat bahwa permukaan satu sisi
(telapak dan jari-jari) mewakili kurang dari 1 persen dari BSA (Wolff,Klaus,
dkk.2007)..

12
Gambar 1 : Purpura dan macula pada pasien dengan Steven Johnson
Syndrome yang semakin lama akan bersatu dan mengumpul menjadi area yang
luas (D.Creamer,dkk, 2016)

Gambar 2 : Munculnya lesi atypical pada telapak tangan dan kaki pasien
dengan Steven Johnson Syndrome. (D.Creamer,dkk, 2016)

Gambar 3 : Nekrolisis epidermis pada pasien (D.Creamer,dkk, 2016)


Keterlibatan Membran Mukosa

13
Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu ada setidaknya dua lokasi)
diamati pada sekitar 90 persen kasus dan dapat mendahului atau mengikuti
erupsi kulit. Ini dimulai dengan eritema diikuti oleh erosi yang menyakitkan
dari bukal, mata, dan mukosa genital. Hal ini biasanya menyebabkan
gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva, dan berkemih yang
menyakitkan. Rongga mulut dan perbatasan bibir berwarna merah terang yang
hampir selalu terkena dan yang utama erosi hemoragik yang menyakitkan
dilapisi oleh pseudomembranes putih keabu-abuan dan lapisan kulit bibir.
Sekitar 85 persen pasien memiliki lesi konjungtiva, terutama ditandai dengan
hiperemia, erosi, fotofobia, dan lakrimasi. Mungkin ada kerontokan bulu mata.
Bentuk parah dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, dan
konjungtivitis purulen. Sinekia antara kelopak mata dan konjungtiva sering
terjadi. Pelepasan kuku terjadi dalam bentuk yang parah (Wolff,Klaus,
dkk.2007).

Gambar 4 : Keterlibatan mukosa pada Steven Johnson Syndrome


(D.Creamer,dkk, 2016)

Gejala Ekstra-Kutan
SJS berhubungan dengan demam tinggi, nyeri, dan kelemahan.
Keterlibatan Visceral juga mungkin terjadi, terutama dengan komplikasi paru
dan pencernaan. Komplikasi paru terjadi pada sekitar 25 persen pasien dan
pada dasarnya ditandai dengan dyspnea, hipersekresi bronkus, dan hipoksemia
tetapi juga dengan hemoptisis dan dahak dari lapisan mukosa bronkial.
Keterlibatan bronkial di NE tidak berhubungan dengan tingkat lesi kulit atau

14
dengan agen yang terkait. Dalam kebanyakan kasus radiografi dada normal
yang masuk tapi dapat dengan cepat mengungkapkan sindrom interstitial.
Dalam semua kasus yang dilaporkan, ketika kegagalan pernafasan akut
berkembang pesat setelah timbulnya keterlibatan kulit, hal itu terkait dengan
prognosis buruk. Dalam kasus kelainan pernapasan, bronkoskopi serat optik
tampaknya menjadi prosedur sederhana untuk membedakan satu pelepasan
epitel spesifik di bronkus dari pneumonitis menular, yang memiliki prognosis
yang lebih baik.
Keterlibatan saluran pencernaan umumnya kurang diamati, dengan
nekrosis epitel kerongkongan, usus kecil, atau mengenai usus besar dengan
diare yang berlebihan dengan malabsorpsi, melena, dan bahkan perforasi
kolon.
Keterlibatan ginjal telah dilaporkan. Proteinuria, mikroalbuminuria,
hematuria, dan azotemia tidak jarang. Kerusakan tubulus proksimal
didapatkan dari hasil nekrosis sel tubulus oleh proses yang sama yang
menghancurkan sel-sel epidermis. Keterlibatan struktur glomerulus juga
mungkin terjadi (Wolff,Klaus, dkk.2007).
2.6. DIAGNOSIS BANDING
• Generalized Bullous Fixed Drug Eruption
• TEN (Toxic Epidermal Necrolysis)
• Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
• Paparan bahan iritan yang poten pada kulit.
• Eritema Multiforme

2.7. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan panduan manajemen penanganan Steven Johnson Syndrome
dan Toxic Epidermal Necrolysis pada dewasa tahun 2016 dari
Perkumpulan dokter Kulit Inggris, tatalaksana pada Steven Johnson
Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis yaitu :
1. Pengkajian awal pasien
 Melakukan anamnesis terhadap pasien meliputi

15
1. gejala-gejala awal SJS (demam, malaise, ISPA), onset
munculnya nyeri pada bercak, utamanya pada wajah dan dada,
dan keterlibatan mukosa (mulut, hidung, mata, genital)
2. Mencatat kapan bercak pertama kali muncul dan kapan mulai
progresif
3. Menanyakan gejala yang berhubungan dengan saluran nafas
seperti batuk, sesak, batuk darah, dan hipersekresi bronchial
4. Menanyakan gejala yang berhubungan dengan pencernaan
seperti diare dan perut kembung.
5. Menentukan waktu permulaan reaksi obat
6. Menanyakan riwayat penyakit dahulu
7. Menanyakan riwayat seluruh obat yang diminum dalam waktu
2 bulan terakhir, termasuk obat-obatan alternative.
8. Menayakan riwayat alergi obat termasuk reaksi yang biasa
muncul
9. Menanyakan gejala-gejala lain untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit kulit lain
 Melakukan pemeriksaan fisik meliputi :
1. BMI pasien
2. tanda-tanda vital
3. saturasi oksigen
4. memeriksa adanya lesi target, purpura, pengelupasan kulit
5. memeriksa adanya lesi atau erosi pada semua mukosa
6. Menghitung berapa besar persentase permukaan tubuh yang
terkena
 Melakukan pemeriksaan penunjang berupa
1. Pemeriksaan lab : DL, CRP, fungsi ginjal, elektrolit, fungsi
liver, GDA, Faal hemostasis
2. Foto Thorax,
3. Biopsi kulit.
 Memulai penanganan pertama berupa :
1. Menghentikan obat yang dicurigai menjadi penyebab
2. Memasang akses intravena
3. Memasang nasogastric tube
4. Memasang kateter urin

2. Menentukan obat penyebab


Catat semua obat-obatan yang digunakan pasien selama 2 bulan
sebelum gejala muncul. Untuk dapat mengetahui obat penyebab dari
SJS, digunakan Naranjo Score.

16
3. Menentukan skor prognosis pasien
Pada kasus kasus SJS/TEN yang berat, biasanya berkelanjutan menjadi
kegagalan multi organ dan kematian sehingga seluruh pasien SJS/TEN
dalam waktu 24 jam harus segera dihitung skor prognosisnya
menggunakan SCORTEN.

SCORTEN
Prognostic Factors Points
    Age > 40 yr 1
    HR > 120 beats/min 1
    Cancer or hematologic malignancy 1
    Body surface area involved > 10 % 1
    Serum urea level > 10 mM 1
    Serum bicarbonate level < 20 mM 1
    Serum glucose level > 14 Mm 1

17
SCORTEN Mortality Rate (%)
0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
>5 90
Tabel 2. SCORTEN: Sistem Skor Prognosis untuk pasien dengan Steven
Johnson Syndrome (D.Creamer,dkk. 2016)

4. Perencanaan perawatan
 Perawatan pasien SJS?TEN perlu ditangani berbagai disiplin ilmu
meliputi dokter spesialis kulit, dokter spesialis bedah plastic,
dokter anaestesi, dan dokter spesialis mata.
 Pasien dengan pengelupasan kulit > 10% harus dirawat di BURN
Unit atau ICU dengan pengalaman dan fasilitas yang memadai
untuk perawatan luka pengelupasan kulit yang luas.
 Pasien ditempatkan pada ruangan yang lembab, dengan tekanan
rendah, dan suhu antara 25o – 28o C.

5. Manajemen kulit 1 ( Untuk semua pasien)


 Menutup kulit yang mengelupas untuk mengurangi infeksi
nosokomial.
 Mengambil kultur dari swab kulit untuk bakteri dan jamur dari tiga
area kulit yang mengalami lesi pada fase akut.
 Memberikan antibiotic sistemik hanya jika terdapat tanda-tanda
klinis infeksi.

6. Manajemen kulit 2
 Secara teratur membersihkan luka dan kulit yang masih utuh
dengan mengaliri dengan air steril hangat atau cairan normal saline
atau cairan antibakteri seperti chlorhexidine (1/5000).
 Memberikan lotion pelembab ke seluruh permukaan epidermis
 Memberikan antibiotic topical hanya pada daerah yang mengelupas
 Bula yang belum pecah cukup diaspirasi
 Memasang dreesing pada dermis yang terbuka
 Pertimbangkan transfer ke Pusat Bakar pada pasien dengan TEN (>
30% kulit mengelupas) dan terdapat tanda : pemburukan klinis,
perpanjangan penutupan epidermis dan sub epidermis, terdapat

18
nanah, sepsis lokal, konversi luka dan / atau penyembuhan
tertunda.

7. Penggantian cairan
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting untuk
mencegah hipoperfusi jaringan dan syok. Berdasarkan studi dari Shiga
(2010), kebutuhan cairan pada 3 hari pertama ditentukan dengan rumus
:
2mL/kgBB X % luas permukaan kulit yang mengelupas.
Monitor keseimbangan cairan dengan menghitung produksi urin.

8. Mengatur nutrisi
Pada pasien SJS/TEN terjadi hipermetabolik respon. Biasanya terjadi
kehilangan albumin dan protein yang cukup besar sehingga pemberian
nutrisi harus segera diberikan untuk mencegah gangguan metabolic.
Pemberian nutrisi lebih baik secara enteral. Pasien diberikan nutrisi 20
– 25 kkal/kg/hari pada tahap awal, fase katabolic dan 25 – 30
kkal/kg/hari pada fase anabolik/penyembuhan.

9. Pemberian anti nyeri


Tentukan tingkat nyeri pasien dengan skor VAS dan diberikan
antinyeri yang adekuat. Jika nyeri yang dirasakan ringan, cukup
diberikan paracetamol (acetaminophen) dan jika diperlukan bisa
ditambahkan opiate oral seperti kodein atau tramadol. Jika nyeri yang
dirasakan sedang sampai berat, pasien diberikan golongan opiate iv
seperti morfin atau fentanyl.

10. Terapi supportive

 Pada pasien yang di immobilisasi, perlu diberikan antikoagulan


seperti heparin untuk mencegah tromboemboli.
 Pemberian proton pumm inhibitor untuk mencegah ulserasi gaster
dan usus
19
 Pemberian rekombinan human G-CSF untuk pasien neutropeni

11. Terapi mukosa yang terlibat


 Mukosa mata : menjaga kebersihan mata, diberikan kortikosteroid
topical untuk mengurangi inflamasi, diberikan antibiotic topical
untuk profilaksis.
 Mukosa mulut : pemberian salep paraffin pada mulut tiap 2 jam
pada fase akut, berkumur dengan cairan normal saline tiap hari,
menggunakan sntiseptik oral dua kali sehari, dan obat kumur yang
mengandung kortikosteroid (contoh: bethametason sodium phospat)
empat kali sehari.
 Mukosa urogenital : mengoleskan salep paraffin tiap 4 jam pada
fase akuut dan pemberian kortikosteroid poten sehari sekali.
12. Menjaga Jalan nafas
13. Pemberian terapi aktif
Obat-obatan yang dianggap efektif untuk mengatasi SJS/TEN yaitu
a. IVIg
Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB
pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG
akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit
yang dimediasi FAS
b. Kortikosteroid
Kotikosteroid parenteral: deksametason dosis awal 1mg/kg BB
bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.
Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang
mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa
menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang
signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid
menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
c. Ciclosporin
Siklosporin diberikan dalam dosis 3 mg / kg berat badan dalam tiga
dosis terbagi selama 7 hari kemudian dosisnya mulai diturunkan
setelah 7 hari.

20
14. Memulangkan pasien
 Pasien harus diberikan keterangan tertulis mengenai obat yang harus
dihindari.
 Pasien disarankan untuk kontrol maksimal seminggu setelah pulang

15. Tes Diagnostik


Tes rutin hipersensitivitas tidak direkomendasikan pada episode
SJS/TEN, tapi perlu dilakukan jika :
 Obat penyebab belum diketahui
 Merugikan pasien jika menghindari obat yang dicurigai
 Kemungkinan terpapar secara sengaja

Gambar 5 : Urutan penatalaksanaan pasien SJS/TEN (D.Creamer,dkk,


2016)

4. PROGNOSIS
SJS adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang
mengalami TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat

21
dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat.
Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan
beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya
disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Steven-
Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka
kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan
skala SCORTEN.

22
23
BAB III
KESIMPULAN

Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis


erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,
mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar
ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada
umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat.

Pasien datang dengan keluhan adanya bercak-bercak merah pada seluruh


tubuh dan ada sebagian yang melepuh serta keluhan mata berair dan mulut yang
bengkak berdarah. Gejala muncul 3 hari setelah pasien minum obat Flu setelan.
Pasien juga mengeluh badan terasa lemas, mual, dan muntah. Pasien diduga alergi
terhadap golongan obat NSAID yang terdapat pada obat Flu.

Penanganan pertama Sindrom Steven Johnson pada pasien berupa


penghentian obat yang diduga menjadi penyebab, pemeriksaan fisik lengkap, dan
pemeriksaan laboratorium DL, LFT, dan RFT. Berdasarkan SCORTEN skor
prognosis pasien 2, sehingga pasien bisa dirawat di ruang biasa. Pasien diberikan
O2 nasal kanul 3-4 lpm untuk menjaga oksigenasi jaringan cukup, pemberian
cairan untuk mencegah dehidrasi, pemberian kortikosteroid untuk menurunkan
inflamasi, pemberian antibiotik sistemik untuk mencegah infeksi, pemberian
antihistamin untuk menggurangi keluhan gatal, pemberian proton pump inhibitor
untuk mencegah ulserasi pada gaster,

24
DAFTAR PUSTAKA

Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1.


Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3,
2007. Available at: www.jipmer.edu
Barakbah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/ SMF Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketiga. Surabaya: Airlangga
University Press.
Barakbah, Jusuf, dkk. 2008. Atlas Penyakit Kulit & Kelamin. Surabaya:
Airlangga University Press.
Cholongitas, et.al. 2009. Stevens-Johnson syndrome related to ciprofloxacin,
possibly enhanced by overadministration of
levothyroxine http://dermatology-
s10.cdlib.org/1511/letters/sjs/cholongitas.html.
D. Creamer, dkk. 2016. U.K. Guidelines for the Management of Steven-Johnshon
Syndrome/Toxic Epidermal Necrolisis in Adult 2016.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27216885
Djuanda, Adhi, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. 2006. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Foster, C.S. 2011. Stevens-Johnson Syndrome.
http://www.emedicine.medscape.com/article/1197450-overview#a0104.
Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition.
EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142
Wataru Tomisato, et al. 2001. NSAIDs induce both necrosis and apoptosis in
guinea pig gastric mucosal cells in primary
culture. http://www.ajpgi.physiology.org/content/281/4/G1092.full.
Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A., Paller, A. S., Leffel, D.
J. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: McGrawHill Companies, Inc.
Yong-Taek Jun, et.al. 2003. In Vitro Effects of Ciprofloxacin and Roxithromycin
on Apoptosis of Jurkat T
Lymphocytes. http://www.aac.asm.org/content/47/3/1161.full.

25

Anda mungkin juga menyukai