Anda di halaman 1dari 8

SISTEM POLITIK ORDE BARU

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir
dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde
Lama.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin
melebar.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir
masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota
PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud
untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan
PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah
Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan
politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan
Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa
untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan
sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif.
Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde
Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali
dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan
aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari
PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep
akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan
ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan
ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan
kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik
yang tinggi.

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap
sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang
secara tidak langsung juga menghapus hakhak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka,
perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji
tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana.
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang
lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh
komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang
sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari
dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang
padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi,
Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini
adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak
semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik
Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh
rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga
diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah
mencapai lebih dari AS$1.000

Sukses transmigrasi

Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)


Sukses Gerakan Wajib Belajar

Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat

Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di


Aceh dan Papua

Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya

Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)

Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)

Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan

Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel

Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius"

Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.

Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas
dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan
perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta
pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto
mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti
ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden
ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde
Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa
Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang
mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde
Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era
Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini
tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan
kuat menghadapi perubahan jaman.

Orde Baru yang telah ditinggalkan Bangsa Indonesia telah meninggalkan banyak warisan. Di bidang
politik, dominasi eksekutif yang berakhir dengan dominasi lembaga kepresidenan telah
menyebabkan banyak kerancuan. Presiden menjadi sangat berkuasa tidak hanya dalam konteks
kelembagaan bahkan jabatan presiden telah berubah jadi personifikasi Soeharto. Pada akhir
jabatannya, Soeharto seperti mengambil seluruh cabang kekuasaan di luar eksekutif yakni legislatif
dan yudikatif.

Di bidang legislatif, presiden yang notabene daya jangkau kekuasaannya dalam bidang eksekutif
mencampuri lembaga legislatif bahkan lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Presiden menunjuk utusan golongan dan masyarakat separuh dari 1000 anggota MPR.
Secara tak langsung, Soeharto ikut mempengaruhi isi dari lembaga tertinggi negara itu dalam
pemilihan presiden dan wakil presiden.

Artikel ini akan meninjai apa yang jadi basis ideologi Orde Baru selama berkuasa 32 tahun. Dengan
menggunakan kerangka yang digunakan Mohtar Masoed (1994), artikel ini berusaha menelusuri
pilar-pilar kekuasaan Orde Baru.

Secara ringkas, konsepsi ideologi atau keyakinan terhadap gagasan pada masa Orde Baru bertumpu
pada dua kekuatan yakni pembangunisme (developmentalism) dan keyakinan akan dwifungsi ABRI.
Orde Baru sebenarnya ingin memberangus ideologi dengan melarang ideologi lain selain Pancasila.
Namun, tulis R William Lidlle, keyakinan itu muncul karena kesalahan menafsirkan apa yang disebut
ideologi. Liddle menilai, masyarakat tanpa ideologi sama dengan masyarakat tanpa konflik dan
harapan. Ideologi sendiri sebenarnya menghasilkan peta realitas sosial yang bisa membedakan
penyebab penting perilaku manusia dari yang tidak penting dan menjelaskan bagaimana masa lalu
membentuk masa kini dan bagaimana masa kini membentuk masa depan. II. Ideologi
Pembangunanisme Menurut Mohtar sebelum Orde Baru sudah ada kelompok intelektual yang
mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada nilai rasionalisme, sekular pragmatisme
dan internasionalisme . Nilai-nilai yang berdasarkan pada modernitas sekuler tetap hidup di
kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang tahun 1960-an.
Gagasan modernitas ini mendapat kekuatan baru karena kembalinya sejumlah intelektual reformasi
yang baru meraih gelar doktor di AS dan adanya teori-teori ilmu sosial baru yang mendukun mereka.
Sebelum lahir iedologi pembangunan yang digunakan Orde Baru di kemudian hari ada perlunya
melihat tiga teori sosial yang mempengaruhi kalangan intelektual tahun 1960-an. Pertama, hipotesis
Martin Lipset bahwa demokrasi politik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan
ekonomi. Ia menilai, negara yang berhasil mencapai kehidupan demokrasi liberal yang stabil adalah
bangsa-bangsa yang sudah menimati tingkat pertumbuhan tinggi. Ia mengambil kesimpulan ini
setelah melihat sejarah pertumbuhan demokras-demokrasi di Barat. Kedua, pemikiran Daneil Bell
tentang the end of ideology yang menyebutkan bahwa akibat kemajuan teknologi, pembangunan
ekonomi di Barat telah berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi era Revolusi
Industri. Oleh karena itu Barat tahun 1960-an menilai politik berdasarkan ideologi sebagai sesuatu
yang sudah usang. Ia mengatakan yang berlaku sekarang adalah politik konsensus. Argumen Bell ini
menunjukkan bahwa dalam masyarakat modern, politisi tradisional harus minggir dan memberikan
tempat kepada kalangan pakar yang dikenal dengan nama teknokrat. Ketiga, adanya pengaruh dari
teori yang diajukan Samuel Huntington yang mengemukakan akibat negatif dari mobilisasi sosial tak
terkendali di masyarakat sedang berkembang. Ia melihat yang penting bagi masyarakat adalah
pelembagaan politik. Oleh karena itu pemerintah harus menyalurkan tuntutan rakyat dalam bentuk
partisipasi yang tertib. Pemikiran yang berkembang di dunia internasional yang kemudian
berdampak kepada kalangan intelektual yang bergandengan dengan Presiden Soeharto itu sangat
kuat untuk melahirkan ideologi pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan merupakan titik
strategis bagi Orde Baru untuk membangun Indonesia yang ditinggalkan Orde Lama. Mohtar
Maso’ed mencatat unsur-unsur dari ideologi pembangunanisme ini. Dari berbagai pandangan awal
Orde Baru, karya tulis Ali Moertopo (1972) menunjukkan pengaruh dari kalangan intelektual sipil
yang mengelilinginya. Unsur-unsur ideologi ini adalah pembuatan kebijakan publik yang rasional,
efisiensi, efektivitas dan pragmatisme. Unsur-unsur ini mengutamakan ketertiban. Oleh karena itu
kemudian dirumuskan dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Dwifungsi ABRI
Berbicara soal ideologi yang kuat selama Orde Baru tak bisa dilepaskan dari doktrin wifungsi ABRI.
Sebagai salah satu kekuatan yang tersisa setelah Partai Komunis Indonesia hancur, ABRI mau tidak
mau menambah perannya tidak sekedar kekuatan pertahanan dan keamanan tetapi juga kekuatan
sosial dan politik. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa stabilitas politik bisa tercipta kalau ada
campur tangan ABRI dalam politik. Untuk itu ABRI mencari pembenaran campur tangan dalam
politik. Namun pada awal perdebatan tentang peran ABRI, Mohtar memetakan persoalan yang
dihadapi ABRI pada masa itu yang berpengaruh pada 32 tahun kemudian. Pada umumnya di
kalangan ABRI dan intelektual yang bekerja sama dengan mereka terdapat perbedaan mengenai
bagaimana sistem politik harus dibangun setelah Orde Lama runtuh. Kemudian berkembang dua
peta pemikiran yang menghendaki reformasi sekarang dan nanti.

Kelompok Reformasi-Sekarang Kelompok Reformasi-Nanti

Reformasi politik cepat Anti-oligarki partai Dwifungsi ABRI:Mengutamakan “pembinaan wilayah” dan
perwakilan politik dalam MPR

Reformasi bertahap Berkompromi dan mengkooptasi kepemimpinan partai yang oligarkisDwifungsi


ABRI :Mengutamakan kekaryaan dalam urusan non militer

Sumber: Mohtar, 1994, hal. 42. Mereka yang berpendapat pada reformasi sekarang menghendaki
terciptanya sebuah partai massa untuk menandingi partai-partai yang ada. Dengan demikian
diharapkan adanya sebuah partai yang pro pada sistem baru dan mendukung tatanan yang sedang
dibangun untuk meninggalkan Orde Lama.Sebaliknya pendukung reformasi nanti menganggap
penting untuk merebut kekuatan di birokrasi dan DPR. Langkah ini dianggapnya lebih penting
ketimbang membentuk partai baru yang bisa dikalahkan kekuatannya di desa-desa oleh PNI dan NU.
Dalam proses berikutnya, reformasi nanti mendapat tempat sehingga memperkuat dwifungsi ABRI
dan membuka jalan bagi terpeliharanya posisi ABRI dalam politik. Apalagi gagasan Abdul Haris
Nasution tentang dwifungsi yang dikatakan hanya sementara tidak tertarik lagi karena sudah terlalu
dalam campur tangan ABRI dalam politik. Muncullah kemudian campur tangan dalam pemerintahan
yang menggunakan kedok kekaryaan. Konsep kekaryaan ini lalu berkembang menjadi tak terkontrol
sehingga akhirnya banyak sekali jabatan sipil baik di badan legislatif, eksekutif maupun yudikatif
dipegang kalangan militer. Fenomena ini melahirkan transformasi struktur dan budaya militer masuk
kedalam struktur eksekutif.
Penutup Secara sekilas telah diuraikan bahwa basis ideologi Orde Baru merujuk pada
pembangunanisme dan Dwifungsi. Ini berarti bahwa dalam prakteknya, Orde Baru menggunakan
lebih banyak keyakinan akan dua hal itu dibandingkan dengan Pancasila yang diakui sebagai ideologi
negara. Alergi akan ideologi yang dialami kalangan intelektual pada era 1960-an merupakan salah
satu penyebab mengapa pembangunanisme jadi dominan dalam prakteknya.Karena pembangunan
menghendaki stabilitas maka dwifungsi ABRI jadi jaminan sehingga muncul keyakinan akan Doktrin
Dwifungsi itu sebagai penyelamat pembangunan.

Dari keempat struktur komunikasi dari Almond tu jelas bahwa jika diterapkan di Indonesia maka
memang benar hubungan komunikasi pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran
komunikasi formal. Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa
pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di DPR/MPR tak lagi bisa
menampung aspirasi rakyat.

Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik

Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada presiden. Seluruh proses komunikasi sistem
politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan, presiden. Badan legislatif tidak lagi berfungsi
sebagai suara rakyat tetapi tak lain hanya mendukung presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan
oleh anggota DPR/MPR akan berakhir dengan pemberhentikan tidak hormat. Kasus Sri Bintang
Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika
anggota DPR itu sangat vokal dan kritis.

Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994)[3], melukiskan perkembangan struktur kekuasaan Orde
Baru yang mencakup didalamnya monopoli komunikasi politik. Mereka membagi tiga fase dalm iklim
politik Orde Baru. Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan
partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan
madu komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik pemerintahan lama,
Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan merebaknya kemiskinan. Masa awal ini
mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan
pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.

Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik dimana aktivitas
politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi. Dan pada fase 1983-1990, kontrol sosial
sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.
Boleh ditambahkan di sini pada periode 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian
ketatnya berangsurangsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia
lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai
diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan kalangan kampus. Puncak
perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak
awal tahun dan berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.

Bagaimana komunikasi politik itu dikendalikan secara institusional pada era Orde Baru ? Barangkali
gambaran dari Cosmas Batubara (1993)[4] bisa sedikit menguak struktur komunikasi politik Orde
Baru. Menurut Cosmas, pada masa awal pertumbuhan demokrasi di era Orde Baru, peran
pemerintah sangat besar. Hal ini terjadi karena situasi politik ekonomi, budaya dan hankam yang
memaksa pemerintah mengambil peran lebih besar. Demokrasi, dalam arti pembangunan politik,
ekonomi dan sosial-budaya sepenuhnya ditangani pemerintah meski sebenarnya diabdikan untuk
rakyat. Di sini jelas monopoli komunikasi politik terjadi dalam sistem politik Indonesia.
Cosmas menjelaskan, dalam proses pelaksanaan komunikasi politik, birokrasi menempatkan dirinya
pada posisi yang cukup sentral. Ia tak hanya mewadahi aspirasi rakyat untuk diteruskan kepada
lembaga-lembaga negara tapi juga berperan sebagai alat untuk menyampaikan informasi yang
dibutuhkan rakyat. Namun terlihat di sini bahwa dalam proses timbal-balik itu monopoli bisa terjaga
dan kalau bisa bahkan dikendalikan untuk tidak menggangu struktur yang telah dibentuk Orde Baru.
Seperti dikatakan Cosmas, “pembakuan tatanan dan keteraturan itu demi berlangsungnya
pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat”.

Mengapa terjadi dominasi pemerintah dalam proses komunikasi ini ? Fred W Riggs seperti dikutip
Nurul Aini, di negara Dunia Ketiga ada tiga gejala yakni formalitas, overlapping dan heteroginitas.

IV. ORDE REFORMASI

Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik, masyarakat semakin tahu hak dan
kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi
sebuah hal yang tak aneh. Salah satu manifestasi itu adalah keberanian umat Islam untuk mendirikan
partai, sesuatu yang tabu dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa. Puncak pengekangan itu
terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai adalah Pancasila.

Dalam tempo singkat partai-partai berbasiskan Islam bermunculan mulai dari kalangan
pendukungnya Nahdhatul Ulama sampai dengan Muhammadiyah. Apakah mereka mampu
menampilkan sebuah format komunikasi politik yang bisa memikat umat dalam pemilu mendatang ?
Pertanyaan ini sangat menentukan karena pemilu mendatang akan cenderung mengutamakan sifat-
sifat distrik dibandingkan proporsional. Konsekuensinya, partai harus memiliki orang-orang yang
mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan partainya kehadapan masyarakat.

Jika pemerintah sudah berangsur-angsur membuka diri dan memberikan banyak isyarat tentang
keterbukaannya, maka partai-partai pun sudah seyogyanya menampilkan sebuah aksi yang lebih
dewasa dan bukannya emosional. Persaingan memperebutkan suara akan lebih ketat karena
puluhan partai akan terjun dalam kampanye untuk meraih kursi sebanyak-banyaknya di DPR tingkat
daerah atau pusat.

Jika kita coba klasifikasikan masyarakat pemilih maka akan lahir sedikitnya tiga kategorisasi
berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep Greetz. Berdasarkan daerah akan
tampak wilayah desa, wilayah transisi dan wilayah perkotaan.Pemilih di desa memiliki karakteristik
tertentu seperti agamis, berfikir sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana
mengenai kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis
dan kadang-kadang apatis.

Kalau konsep Greetz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih, barangkali secara
antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami Islam serta melaksanakannya. Di
samping itu ada pula kelompok masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau
terpengaruh oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang
cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan.

Pakar komunikasi Dan Nimmo[5] (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari
perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan sebagai pemilih yang
rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih
alternatif dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif. Mereka
biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu agama, sosisoekonomi dan
tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai.
Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni pemberi suara
yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper yang menggambarkan karakter pemilih
seperti itu. Menurut dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih
responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang
berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara.

Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan Nimmo,
menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk bertindak, bukan hanya
lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan
diantaranya mungkin para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya.

Di sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat
yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya
membela basis ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan
masyarakat yang jadi pemilihnya. Pemilih jangan sampai seperti era Orde Baru diperlakukan dengan
manis dan dimanjakan manakala suaranya diperlukan. Setelah itu dibuang tanpa mengucapkan
terima kasih sepatahpun.

Partai-partai Islam seyogyanya menjadi partai yang jadi panutan dalam arti sesungguhnya. Tidak
hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang langsung terjun ke masyarakat. Tampaknya
untuk para aktivis di daerah, bukanlah sebuah pekerjaan mudah karena selama ini komunikasi politik
jarang digunakan dan macet atau terkungkung paradigma berpikir Orde Baru.

Dalam kaitan dengan krisis ekonomi, aktivis partai dituntut untuk memberikan solusi realitis dalam
menjaga agar mereka yang korup tidak lagi memegang peranan dalam pengambilan kebijakan.

Pabottinggi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung dewasa. Pertama,
berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruangruang permasalahan politik dimana
perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian.
Tiga pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai Islam dalam
menyongsong pemilu mendatang. Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga Indonesia dan warga
dunia Islam, harus disertakan dalam paradigma berpikir. Mengkotak-kotakkan ummat dalam
menyampaikan pesan-pesan politik partai akan melahirkan perpecahan yang sulit sembuhnya.
Pengalaman tahun 1950-an dan 1960-an banyak memberikan pelajaran agar sekat-sekat itu tidak
dipatok begitu saja sehingga cara berpikirpun berhenti.

Anda mungkin juga menyukai