I. PENDAHULUAN
Gangguan nyeri adalah diagnosis yang telah memiliki berbagai
nama yang berbeda-beda dari setiap edisi DSM. Di masa lalu, telah
disebut gangguan somatoform dan gangguan nyeri psikogenik. Pada saat
ini, disebut sebagai gangguan nyeri.1
Nyeri merupakan salah satu keluhan yang paling umum dalam
praktek medis, dan sebagai akibat dari proses fisik seperti luka traumatik
atau kerusakan jaringan. Seringkali, nyeri dikaitkan dengan distres
psikologis atau gejolak emosional. Namun, karena sulit membedakan rasa
nyeri yang disebabkan oleh psikologis dengan rasa nyeri yang disebabkan
oleh masalah fisik, maka dianggap bahwa gangguan nyeri psikogenik
tertentu dapat menjadi proses yang sulit dan kontroversial.2
Gambaran utama dari gangguan nyeri adalah adanya rasa sakit
sehingga menyebabkan distress yang signifikan atau penurunan fungsi. 1
II.1. Definisi
Gejala utama gangguan nyeri adalah adanya nyeri pada satu atau
lebih tempat yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh kondisi medis atau
neurologis nonpsikiatrik.5,6 Gejala nyeri disertai oleh penderitaan
emosional dan gangguan fungsional, serta gangguan ini memiliki
hubungan sebab yang masuk akal dengan faktor psikologis. 6
II.2. Sejarah
Untuk waktu yang sangat lama, keluhan nyeri psikogenik dianggap
berkaitan erat dengan fenomena histeris dan digambarkan sebagai bagian
dari sindrom klasik histeris. Pada klasifikasi sebelumnya, nyeri dengan
asal yang jelas disebut "idiopatik", sebuah istilah yang terus menerus
memiliki relevansi dalam klasifikasi nyeri pada khususnya seperti
neurologi. Di Amerika Serikat, nyeri dipisahkan dari gangguan konversi,
dan kategori "gangguan nyeri yang rawan" pertama kali diusulkan, oleh
Program Proliferasi Pengobatan Nyeri pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Hal ini menjadi kategori pada DSM. DSM-III didefinisikan sebagai "nyeri
psikogenik", DSM-IIIR sebagai "gangguan nyeri somatoform," dan
akhirnya DSM-IV sebagai "gangguan nyeri". 4
II.3. Epidemiologi
II.3. Etiologi
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuhnya tanpa penyebab
fisik yang dapat diidentifikasikan secara adekuat mungkin merupakan
ekspresi simbolik dari konflik intra psikis melalui tubuh. Beberapa pasien
menderita aleksitimia, dimana mereka tidak mampu mengartikulasikan
perasaan internalnya dalam kata-kata, sehingga tubuh mengekspresikan
perasaannya. Pasien lain mungkin secara tidak disadari memandang nyeri
emosional sebagai kelemahan dan bagaimanapun tidak ada dalam
kekuasaan. Dengan mengalihkan masalah ke tubuh, mereka merasa
bahwa mereka memiliki kekuasaan untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan mereka. Arti simbolik dari gangguan tubuh mungkin juga
berhubungan dengan penebusan atas dosa yang dirasakan, penebusan
kesalahan, atau agresi yang ditekan. Banyak pasien mengalami nyeri
yang sukar disembuhkan dan tidak responsif karena mereka berkeyakinan
bahwa mereka pantas untuk menderita.
II.4. Diagnosis
II.8. Pengobatan
Pengobatan gangguan nyeri akut umumnya ditujukan untuk
mengurangi kecemasan yang mendasari pasien dan stressor lingkungan
akut yang memperburuk penderitaan pribadi pasien. Psikiater lebih
mungkin untuk terlibat dalam evaluasi daripada dalam pengobatan
ganguan nyeri kronis.10
Psikiater dapat melihat dan memberi pengarahan pada pasien
dengan gangguan ini. Psikiater biasanya paling efektif ketika melayani
pasien sebagai konsultan untuk penyedia perawatan kesehatan lainnya.
Sakit kronis yang khas menyebabkan perubahan perilaku yang diperkuat
oleh faktor lingkungan. Pasien-pasien ini sering dianggap identitasnya
sebagai orang yang cacat kronis dan telah mengambil sikap pasif
terhadap kehidupan. Tujuan utama untuk perawatan juga harus dapat
membuat pasien peserta aktif dalam proses rehabilitasi, untuk mengurangi
pasien melakukan docter shopping.10
II.8.1. Farmakoterapi
Medikasi analgesik biasanya tidak membantu untuk sebagian besar
pasien dengan gangguan nyeri. Di samping itu, penyalahgunaan dan
ketergantungan zat adalah masalah besar pada pasien dengan gangguan
nyeri yang mendapatkan terapi analgesik jangka panjang. Obat sedatif
dan anti ansietas tidak bermanfaat secara khusus dan sering kali
menimbulkan masalah karena sering disalahgunakan, keliru pemakaian,
dan efek sampingnya.6
II.8.2. Psikoterapi
Psikoterapi sangat bermanfaat bagi pasien. Langkah awal
psikoterapi adalah membangun aliansi terapeutik dengan pasien, lewat
empati. Jangan melakukan konfrontasi dengan pasien, karena nyeri yang
dialami pasien nyata, meskipun menyadari bahwa hal itu berasal
intrapsikik. Terapi kognitif berguna untuk mengubah pikiran negatif dan
mengembangkan sikap positif.5
II.8.3. Program Mengendalikan Nyeri
Kadang-kadang diperlukan untuk mengeluarkan pasien dari
lingkungan biasanya dan menempatkan mereka di dalam program
pengendalian nyeri rawat inap yang menyeluruh. Unit nyeri multidisiplin
menggunakan banyak cara, seperti terapi kognitif, perilaku dan kelompok.
Cara ini memberikan pembiasaan fisik yang luas melalui terapi fisik dan
latihan dan menawarkan pemeriksaan kejujuran dan rehabilitasi.
Gangguan medis penyerta didiagnosis dan diobati, pasien yang
tergantung pada analgesik dan hipnotik didetoksifikasi. Program terapi
rawat inap biasanya melaporkan hasil yang baik. 6
III. Kesimpulan
Nyeri merupakan suatu keluhan yang umum dalam praktek medis,
dan sebagai akibat dari proses fisik seperti luka traumatik atau kerusakan
jaringan. Nyeri dikaitkan dengan distres psikologis atau gejolak emosional.
DAFTAR RUJUKAN
1. Abbey SE. Assessment of patients with somatization. Dalam:
Goldbloom DS. Psychiatric clinical skills. Philadelphia: 2006.h.165-
81.
2. Breder CD, Conway CM. Pain systems : interface with the affective
brain. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s
Comprehensive textbook of psychiatry. Edisi ke-9, voll III.
Philadelphia: Lippincott williams & wilkins; 2009.h.341-45
3. Stahl SM. Stahl’s essential psychopharmacology neuroscientific
basis and practical applications. Edisi ke-3. Cambridge university
press. New York, 2008.h.773-814
4. Escobar JI. Somatoform disorders. Dalam: Sadock BJ, Sadock VA.
Kaplan & Sadock’s Comprehensive textbook of psychiatry. Edisi ke-
9, vol III. Philadelphia: Lippincott williams & wilkins; 2009.h.1927-48
5. Hadisukanto G. Gangguan somatoform. Dalam: Elvira SD,
Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan
penerbit FKUI, 2010.h.265-80
6. Sadock BJ, Sadock VA. Somatoform disorders. Dalam: Kaplan &
Sadock’s Synopsis of psychiatry behavioral sciences / clinical
psychiatry. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincott williams & wilkins;
2007.h.634-51
7. Sadock BJ, Sadock VA. Somatoform and pain disorders. Dalam:
Kaplan & Sadock’s Concise textbook of clinical psychiatry. Edisi ke-
2. Philadelphia: Lippincott williams & wilkins;2003.h.247-58
8. American psyciatric association. Diagnostic and statistical manual
of mental disorders fourth edition text revision. Wahington DC ;
2004.h.485-511
9. Departemen kesehatan RI direktorat jenderal pelayanan medik.
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia
III. Edisi ke-3, cetakan I, 1993.h.219-20
10. Ford CV. Somatoform disorders. Dalam: Ebert MH, Loosen PT,
Nurcombe B. Current diagnosis & treatment in psychiatry;
Singapore; 2000.h.366-76