Amalia Zuhra
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti
amalia.z@trisakti.ac.id
ABSTRAK
I. PENDAHULUAN
Biolaw merupakan cabang ilmu yang terus mengalami perkembangan seiring
dengan permasalahan yang juga terus berkembang. Cakupan biolaw yang luas
menjadikan cabang ilmu ini menarik untuk terus dipelajari. Biolaw didefinisikan oleh
beberapa ahli khususnya di Eropa dan Amerika dimana masing-masing memiliki
pandangan tersendiri dalam mendefinisikan biolaw. Romeo Casabona pada tahun 2011
mengatakan bahwa tidak ada kejelasan di dunia ini tentang apakah biolaw itu, apa batas
yang tepat dari bioetika, dan apakah perannya dalam hubungannya adalah pelengkap,
pengganti, tumpang tindih atau, apakah biolaw memiliki kemandirian disiplin dan
epistemologis bioetika 1.
1
Romeo Casabona, C. (Dir.). (2011). Enciclopedia de Bioderecho y Bioética. Granada: Comares
Dalam dua dekade terakhir, tiga konsepsi biolaw telah dikembangkan di dunia.
Yang pertama menunjukkan bahwa biolaw adalah bioetika yang diakui secara hukum,
yang diatur dalam undang-undang dan mengikat pada aturan umum lainnya, dengan
nama berbeda tetapi definisi yang sama dengan prinsip-prinsip etika biomedis. Konsepsi
ini menganggap bahwa “argumentasi hukum mengandaikan argumentasi moral dalam
semua kasus” 2. Karena itu, biolaw akan menjadi jembatan antara kedua jenis argumen
tersebut. Dalam pengertian ini, biolaw dapat dipahami sebagai “aplikasi dari prinsip dan
praktik bioetika menjadi hukum dimana terdapat sanksi hukum di dalamnya” 3.
Konsepsi kedua berpendapat bahwa biolaw akan menjadi pelengkap disiplin
bioetika dan, karenanya, harus dipahami hanya dari hubungannya dengan ini. Biolaw
akan menjadi instrumen evolusi untuk bioetika. Figueroa mengatakan 4: “Biolaw has not
more than two decades of use, with the aim of extending the concept of bioethics to
include, in addition, the pertinent norms of enforced application (law). Some authors
have explained this phenomenon of aggregation as an evolution “from bioethics to
biolaw.”
Lebih lanjut dijabarkan oleh Gross Espiel bahwa 5 “Biolaw can only be
understood if one takes into account its necessary and endearing link with bioethics.
Therefore, the content and subject matter of biolaw result from the definition, meaning
and conceptual breadth of bioethics…It can therefore be considered that biolaw is the
set of rules and principles that legally regulate bioethics”
Konsepsi yang ketiga menyebutkan bahwa biolaw hanya merupakan hukum
tradisional yang diterapkan pada masalah hukum biomedis yang baru. Dalam pengertian
ini, pembaruan bukan pada pendekatannya melainkan masalah-masalah yang baru.
Dari ketiga konsepsi di atas dapat dikatakan bahwa biolaw adalah aturan
yuridis yang mengikat secara hukum yang terlihat dari prinsip yuridis dan aturan yang
2
Beyleveld, D., & Brownsword, R. (2000), “Legal Argumentation in Biolaw”. dalam P. Kemp,
J. D. Rendtorff,
& N. M. Johansen (Eds.), Bioethics and biolaw, Vol I: Judgement of life (pp. 179–218).
Copenhagen: Rhodos International Science and Art Publishers & Center for Ethics and Law.
3
Kemp, P, “ Bioethics and Law and Biolaw in Ethics.” dalam P. Kemp, J. D. Rendtorff, & N. M.
Johansen (Eds.), Bioethics and biolaw, Vol I: Judgement of life (pp. 63–78). Copenhagen: Rhodos
International Science and Art Publishers & Center for Ethics and Law.
4
Erick Valdez, “Towards a New Conception of Biolaw” dalam Biolaw and Policy in Twenty-
First Century: Building Answers for New Questions, Erick Valdez & Juan Alberto Lecaros (ed),
International Library of Ethics, Law and the New Medicine, vol 78, Springer, Switzerland, 2019., hal 41
5
Ibid, hal. 42.
berfungsi sebagai dasar untuk mengatur hal biomedis dalam praktik, serta menghukum
pelanggaran dan penyalahgunaan yang terjadi.
Dilihat dari ciri-cirinya 6, maka konsepsi biolaw dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Tidak berseberangan dengan bioetika, dan tidak termasuk dalam hal ini.
2. Memiliki ruang lingkup aplikasi (hukum) disipliner yang jelas dan berbeda
dengan bioetika (etika) dimana etika diterapkan pada kontroversi moral yang
tidak selalu menyiratkan konsekuensi hukum dan normatif.
3. Tidak berusaha untuk mengatur bioetika tetapi biomedis.
4. Memiliki independensi epistemologis dan metodologis dari bioetika.
5. Membuka pleksus peraturan baru, melalui identifikasi dan redefinisi kategori
hukum dari hukum tradisional.
6. Mengidentifikasi kategori kerusakan baru yang terkait dengan kategori tidak
berwujud kerusakan kesehatan. Contohnya adalah identifikasi dan konfigurasi
hukum kerusakan genetik dan bahaya yang tak terhindarkan.
7. Mengidentifikasi dan mendefinisikan hak subjektif individu baru (bioright).
8. Mengenali benda-benda yang dilindungi secara hukum yang menghadapi bahaya
baru dari praktek biomedis yang meningkat.
9. Mengenali dan mendefinisikan kewajiban baru bagi warga negara dan Negara.
10. Memberikan kepastian hukum yang lebih besar untuk mengatur praktik
biomedis.
11. Mengidentifikasi dan mendefinisikan prinsip dan aturan dari tujuan
bermusyawarah dan konsekuensi normatifnya.
12. Adalah cabang hukum baru yang berkontribusi pada optimalisasi.
13. Memiliki perspektif hukum multilateral dan horizontal, yaitu, ia mempengaruhi
cabang cabang hukum lain, dan menyediakan pendekatan komprehensif untuk
masalah biomedis dalam ruang lingkup hukum.
14. Mempromosikan integrasi, perluasan, dan redefinisi kategori hukum adat dan
institusi.
6
Ibid,hal. 43
Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, adalah negara Islam terbesar
dengan 86 persen muslim. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Terdiri
dari lima pulau besar dan sekitar 30 kelompok pulau-pulau kecil. Jumlah pulau di
Indonesia ialah 17.508 pulau di mana sekitar 6000 pulau dihuni. Dilintasi oleh garis
khatulistiwa, negara ini berada di persimpangan antara dua samudera, Pasifik dan
Samudra Hindia, dan menjembatani dua benua, Asia dan Australia. Indonesia memiliki
banyak gunung tinggi dimana gunung tertinggi adalah lebih dari 4000 meter tingginya.
Banyak dari gunung-gunung tersebut adalah gunung berapi aktif. Ada hutan hujan tropis
dan hutan, serta daerah bakau berawa. Tanah paling subur di Indonesia ada di Pulau
Jawa. Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Ini juga menjadi habitat satwa liar
endemik, satwa liar yang hanya dapat ditemukan di Indonesia. Keanekaragaman hayati
meningkatkan produktivitas ekosistem di mana setiap spesies, sekecil apa pun, semua
memiliki peran penting. Bioteknologi, dalam arti yang lebih luas, telah dikenal dan
dipraktekkan sejak lama di Indonesia. Definisi The European Federation of
Biotechnology (EFB) tepat untuk diadopsi untuk menjelaskan status bioteknologi saat
ini di Indonesia, karena definisi ini berlaku untuk “tradisional atau lama” (contoh:
"tempe") dan “baru atau modern” (contoh: struktur protein).
Prioritas dan aplikasi penelitian bioteknologi di Indonesia telah diuraikan
sebagai berikut 7:
Kedokteran dan kesehatan manusia (farmakognosi)
1. Gangguan genetik,
2. Penyakit menular,
3. Penyakit degeneratif dan keganasan
7
Retnoningrum, D.S., E. Kardena and A.S. Noer. 2005. Indonesia Biotechnology Consortium: Present
and Future. Workshop on the Establishment of Biotechnology Information Network Asia (BINASIA)
Nodal in Indonesia. July 27-28, Jakarta.
Industri, perlindungan dan remediasi lingkungan
1. Pengembangan produksi vaksin rekombinan,
2. Pengembangan antibiotik baru dari mikroba lokal,
3. Perlindungan lingkungan dan bioremediasi
Urgensi ini menjadi lebih jelas jika kita mempertimbangkan beberapa fakta obyektif
yang menunjukkan ketidakefektifan hukum yang ada saat ini untuk mengatasi masalah
yuridis tertentu yang memerlukan praktik biomedis misalnya. Seperti 8:
1. Adanya masalah yuridis yang terpolarisasi sehingga menghalangi konsensus dan,
pada saat yang sama membuat hukum konvensional yang ada menjadi tidak
berguna.
2. Hermeneutika hukum saat ini tidak cukup untuk menangani kasus-kasus
kompleks, karena interpretasi mereka bersifat subyektif (bergantung pada
kecenderungan, kepercayaan, nilai dan preferensi), dan hakim berhadapan
dengan ketidaktahuannya tentang biolaw.
3. Sistem hukum internasional saat ini sangat mendesak dalam hal biolaw. Oleh
karena itu, hukum internasiona tidak dapat menyelesaikan konflik biolaw secara
mengikat.
4. Kurangnya kebijakan publik tentang biolaw, karena kurangnya undang-undang.
8
Erick Valdez, “Towards a New Conception of Biolaw” dalam Biolaw and Policy in Twenty-
First Century: Building Answers for New Questions, Erick Valdez & Juan Alberto Lecaros (ed),
International Library of Ethics, Law and the New Medicine, vol 78, Springer, Switzerland, 2019.
5. Undang-undang dan kerangka kerja peraturan saat ini sudah usang dan
kontradiktif.
6. Ada dimensi dimensi normatif yang tumpang tindih karena biolaw seringkali
salah dipahami sebagai bioetika yuridifikasi belaka.
9
Romeo Casabona & Romeo Malanda, “Approach to Biolaw as an Autonomous Juridical
Discipline”, Biolaw and Policy in Twenty-First Century: Building Answers for New Questions, Erick
Valdez & Juan Alberto Lecaros (ed), International Library of Ethics, Law and the New Medicine, vol 78,
Springer, Switzerland, 2019, hal 62
memicu kejatuhan ekonomi dan terror yang bersifat masif, global dan berkepanjangan.
Ada beberapa insiden terkait dengan bioterorisme di Indonesia, seperti penyebaran flu
burung, yang ditemukan pada tahun 2003 dan terus menjadi lazim pada tahun 2015, dan
terjadinya flu babi pada tahun 2009. Kedua virus memiliki struktur yang tidak alami.
Virus flu burung yang menyerang bebek pada 2012 memiliki struktur yang berbeda
dibandingkan dengan yang ditemukan selama wabah sebelumnya dimana virus tersebut
memiliki kesamaan dengan virus yang ditemukan di Cina. Ditemukannya virus tersebut
di Indonesia merupakan suatu keanehan, kecuali di tempat-tempat di mana ada impor
bebek dari Cina.Kasus lain adalah kasus ketika ditemukan virus yang mirip dengan virus
Ebola pada Orang utan pada tahun 2012. Anehnya, virus Ebola yang ditemukan mirip
dengan yang ada di Afrika tetapi berbeda dari yang ditemukan di Filipina 10.
Berkenaan dengan masalah etika, penting untuk melakukan dialog tentang
masalah etika untuk mengklarifikasi masalah moral dan etika yang menjadi perhatian
dan bagaimana mereka dapat ditangani dalam masyarakat yang berbeda. Konstitusi
Asian Bioethics Association (ABA) (2002) di Pasal 2 menyatakan bahwa “Bioetika
adalah studi interdisipliner mengenai filsafat, etika, sosial, hukum, ekonomi, medis,
terapeutik, etnologi, agama, lingkungan, dan masalah terkait yang timbul dari biologi
sains dan teknologi, dan aplikasinya dalam masyarakat manusia dan biosfer. Yang
terpenting adalah bahwa prinsip-prinsip bioetika harus disepakati oleh semua ilmuwan,
komunitas, orang-orang dan individu yang bersangkutan, karena bioetika diharapkan
dapat digunakan sebagai pedoman bagi para ilmuwan dalam melakukan penelitian,
pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tantangan etis meliputi peran sains, risiko, manfaat, dan dampaknya bagi
masyarakat. Standar moral dan etika digunakan untuk mengembangkan undang-undang
yang mengatur beberapa aspek bioteknologi dan eksperimen medis, misalnya hukum
kesehatan dalam mengatur kloning manusia. Kekhawatiran etis utama adalah bahwa
"rekayasa genetika" dan "paten kehidupan" mempercepat pengurangan tanaman, hewan
dan mikroorganisme menjadi komoditas komersial belaka, dan kehilangan semua
karakter penting. Semua kegiatan pertanian merupakan intervensi manusia ke dalam
sistem dan proses alami, dan semua upaya untuk memperbaiki tanaman dan ternak
10
“Bioterrorism Exist in Indonesia”, Antara news, January 15th, 2015
melibatkan tingkat manipulasi genetik. Kelangsungan hidup manusia yang berkelanjutan
tergantung pada intervensi yang tepat 11.
Bioetika adalah topik yang masih memunculkan perdebatan panas dan panjang di
Indonesia, karena dua alasan utama. Pertama, karena etika di Indonesia masih
menyebabkan kesalahan persepsi dan kebingungan karena tidak membentuk bagian dari
domain ilmiah atau teknologi tertentu. Kedua, karena gagasan bahwa biologi adalah ilmu
alam yang memperkaya pemahaman makhluk-makhluk di alam semesta. Selain itu,
sejalan dengan perkembangan bioteknologi, ada kesenjangan antara apa yang terjadi
sekarang dan apa yang mungkin atau mungkin terjadi di masa depan, yang menciptakan
ketidakpastian dan menimbulkan pertanyaan. Pengembangan kloning manusia dan sel-
sel induk embrionik, misalnya, adalah contoh dimana batas-batas antara keyakinan
agama dan kemajuan ilmu pengetahuan menjadi kabur. Untuk alasan itu, sangat
dirasakan bahwa bioetika tidak hanya diperlukan untuk Indonesia, tetapi juga harus
dirinci, untuk memperjelas batasan-batasan ini untuk masyarakat luas. Meskipun
demikian, bioetika serta kode etik bagi para ilmuwan adalah hal baru di Indonesia.
Pada tahun 2007 ketika flu burung mulai menyebar secara luas, ada perdebatan
internasional tentang mekanisme WHO untuk berbagi virus flu burung manusia. Sebagai
organisasi yang mengatur perawatan kesehatan dunia, WHO membutuhkan mekanisme
yang adil, transparan, dan adil. Sebaliknya, sejak flu burung melanda di Indonesia, WHO
melakukan mekanisme berbagi virus yang tidak adil dan tidak transparan yang dikaitkan
dengan produksi vaksin 12. Negara-negara yang terkena dampak, yang biasanya diwakili
oleh negara-negara berkembang dan miskin, diminta untuk mengirim virus H5N1 dari
korban flu burung ke WHO di bawah kerangka kerja pengawasan. Ini berarti negara-
negara berkembang dan negara-negara miskin diminta untuk melepaskan virus mereka,
tetapi begitu virus ini sampai di WHO, negara-negara yang terkena dampak tidak
memiliki hak apa pun tentang nasib virus yang dipakai bersama. Saat ketika negara-
negara berkembang atau miskin membutuhkan vaksin, mereka harus membelinya
11
Persley, Gabrielle J, “Agricultural Biotechnology: Global Challanges and Emerging Ascience”,
in Agricultural Biotechnology: Country Case Studies ( eds GJ Persley and L.R MacIntyre), CAB
International, 2002.
12
Aktieva Tri Tjitrawati, Masalah Keadilan Pelaksanaan Kewajiban Virus Sharing dalam Sistem
IHR”, Mimbar Hukum, Volume 25 No 1, Feb 2013.
dengan harga tinggi, dan, salah satu konsekuensi keuangannya adalah bahwa mereka
mungkin memerlukan pinjaman dari negara-negara maju lainnya.
Aspek lainnya adalah, sebagai negara yang mayoritas penduduknya ialah
muslim, Islam memiliki pengaruh besar pada hukum Indonesia melalui fatwa, atau
pendapat hukum, yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI dapat
mengeluarkan fatwa yang tidak memiliki kekuatan hukum tetapi tetap sangat
berpengaruh dalam proses legislatif 13. Akibatnya, hampir semua peraturan tentang,
misalnya siapa yang dapat menggunakan program fertilisasi in vitro dan prosedur mana
yang dipraktikkan di Indonesia sejalan dengan aturan agama Islam, meskipun status
Indonesia sebagai negara republik yang independen dan bukan negara sekuler.
13
M Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis
Yurudis Normatif), Ulumuddin, Vol 6, Tahun IV, Januari-Juni 2010.
14
“Bioethics Related Activities in Indonesia”, Reports by the Indonesian government in meeting
of the States Parties to the Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling
of Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on Their Destruction.
15
“Komisi Bioetika Nasional Diresmikan”, www.lipi.go.id, diakses pada juni 2020.
2. memberikan pertimbangan kepada Pemerintah tentang aspek bioetika dalam
penelitian;
3. pengembangan dan implementasi sains dan teknologi berbasis sains kehidupan;
dan
4. penyebaran pemahaman umum dan pengetahuan tentang bioetika.
Pasal 10A Undang-Undang dengan jelas menetapkan bahwa seseorang yang "dengan
sengaja menggunakan senjata kimia atau biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir,
radioaktif, dan atau komponennya untuk menciptakan suasana teror atau ketakutan"
harus dihukum. Undang-undang juga menghukum siapa pun yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan bahan-bahan yang kemungkinan akan digunakan
untuk pembuatan senjata biologis 16.
Pasal 12A menerangkan berlaku bagi atau untuk membantu dan memfasilitasi terorisme.
Pasal 13A, menerangkan bahwa demikian juga, setiap orang di luar wilayah Republik
Indonesia yang memberikan bantuan, fasilitasi, sarana atau informasi untuk melakukan
tindak pidana terorisme.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan hal-hal di atas, ada beberapa hal yang menjadi permasalahan.
1. Bagaimana Indonesia mengatur tentang biolaw?
2. Apakah peraturan nasional tentang biolaw di Indonesia sudah memadai menurut
Hukum Internasional?
3. Bagaimanakah kendala dalam menerapkan biolaw di Indonesia?
16
Pasal 10 A Undang-Undang no 5 tahun 2018 tentang Perubahan UU no 15/2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini, menganalisis masalah-masalah tersebut dengan tujuan untuk
mendefinisikan kembali biolaw dalam konteks Indonesia.
D. PEMBAHASAN
1. Pengaturan Biolaw di Indonesia
Peraturan internasional tentang biolaw di Indonesia.
(i) Kode Nuremberg (1947)
Kode ini menekankan pada perlindungan integritas peserta penelitian dan persetujuan
sukarela mereka.
(ii) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB, 1948)
(iii) Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil & Politik (1966)
Pasal 7 dari perjanjian ini menyatakan bahwa "Tidak seorang pun boleh dikenai tanpa
persetujuan bebas untuk eksperimen medis".
(iv) Deklarasi Helsinki (1964)
Deklarasi Helsinki ini adalah referensi utama yang digunakan dalam merumuskan
pedoman Nasional untuk penelitian kesehatan.
(v) Pedoman Operasional untuk Komite Etika yang Meninjau Penelitian Biomedis
(WHO, 2000)
Pembentukan Komite Etika Penelitian Kesehatan dan digunakan di Indonesia
sebagai referensi utama pengembangan ulasan kualitas dan konsistensi-etis.
(vi) Pedoman Etika Internasional untuk Penelitian Biomedis yang Melibatkan Subjek
Manusia (Council of International Organization of Medical Sciences (CIOMS),
2002) Diutamakan bagi negara dengan sumber daya rendah dengan melihat
kebijakan nasional serta menerapkan standar etika dalam situasi lokal
(vii) Pedoman Internasional untuk Tinjauan Etis Studi Epidemiologi (CIOMS, 1991)
(viii) Pedoman untuk Praktek Klinis yang Baik untuk Percobaan (WHO, 1995) Diadopsi
oleh Uni Eropa dan Indonesia.
(ix) Konferensi Internasional tentang Harmonisasi untuk GCP (1996.
(x) Komunitas Kerja Bioetika: Prosedur dan Kebijakan (UNESCO, Panduan No 2, 2005)
Aturan mengenai Biolaw dalam konstitusi Indonesia dilihat dari Perubahan Keempat
UUD 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”
Berikut beberapa permasalahan biolaw di Indonesia yang belum memiliki aturan yang
memadai dan memerlukan penanganan semua pihak. Yang pertama terkait dengan
percobaan pada sel induk. Kehidupan harus menghormati hak dari awal konsepsi, yakni,
sejak pembuahan sel telur oleh sperma. Penelitian, pengembangan dan penerapan sel
induk begitu penting untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk menyiapkan kebijakan
dan peraturan yang berasal dari prinsip-prinsip bioetika universal, atau pada aturan
internasional paling diterima. Terapi kloning menggunakan sel induk non-embrio
diperbolehkan dan bisa dilakukan di Indonesia oleh peneliti dalam negeri atau luar
negeri, sejauh persetujuan dan praktek klinis terbaik sesuai dengan peraturan atau
undang-undang yang harus dipenuhi di Indonesia.
Yang kedua terkait dengan Sumber Daya Genetik. Sumber Daya Genetik
adalah zat yang ditemukan dalam hidup setiap organisme (hewan, tumbuhan, mikroba,
apakah mereka darat dan perairan). Mereka mengatur sifat khusus dan kematian
organisme, dan dapat ditularkan kepada keturunan mereka, dan mereka adalah bagian
dari keanekaragaman hayati, yang dikenal sebagai germ-plasm. Isu bioetika pada sumber
daya genetik termasuk aksesibilitas dan utilitas sumber daya, pengetahuan tradisional,
keragaman hayati, biosfer dan lingkungan. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya
genetik Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional dan diatur sesuai dengan
peraturan nasional dan meratifikasi konvensi internasional atau deklarasi, seperti
Konvensi Keanekaragaman Hayati, Deklarasi Manila Mengenai Pemanfaatan Sumber
Daya Hayati, dan Deklarasi UNESCO, seperti Universal Declaration on Human Genome
and Human Rights, serta Universal Declaration on Bioethics and Human Rights.
Terkait dengan kasus kapas transgenik di Sulawesi Selatan, dimana Bt
Cotton transgenik didatangkan pada tahun 2001
oleh anakperusahaan Monsanto Indonesia yang kemudian dibawa dan dijual ke petani di
Sulawesi Selatan. Kapas Bt adalah berbagai kapas transgenik yang mengandung Bt yaitu
gen diekstraksi dari bakteri tanah sehingga tahan terhadap cacing kapas boll. Sehingga
sangat penting untuk menjamin perlindungan benih varietas lokal dan untuk menjamin
keamanan dan ketersediaan benih transgenik.
Terkait dengan isu pangan di Indonesia, Bioetika isu "perangkap pangan"
adalah ancaman terhadap ketersediaan dan keberlanjutan produk pertanian lokal atau
pribumi di Indonesia, isu keamanan makanan / produk pertanian transgenik. Oleh
karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan ketersediaan produk
pertanian / pangan sementara menjamin keamanan mereka, kebutuhan untuk menjamin
perlindungan berbagai produk pertanian / pangan lokal / adat.
Konsisten dengan keyakinan dominan tentang surrogacy (ibu pengganti) dalam Islam,
praktik ini dilarang di Indonesia berdasarkan undang-undang. Iran dan Lebanon adalah
satu-satunya negara Islam yang memungkinkan ibu pengganti dengan negara-negara
yang tersisa dengan alasan larangan yang mirip dengan argumen menentang donasi
sperma dan telur 17. Di Indonesia, secara implisit dilarang berdasarkan Pasal 127 UU
Kesehatan No. 36/2009, yang mensyaratkan bahwa embrio yang dibuahi yang dihasilkan
dari penyatuan gamet dari pasangan yang sudah menikah harus ditanamkan di dalam
rahim donor asli. Pasal 7d Kode Etik Indonesia 2002 juga melarang surrogacy. MUI juga
telah melarang praktik tersebut, dengan menyatakan bahwa hal itu "dilarang ... karena
ini akan menyebabkan masalah rumit terkait dengan warisan" 18.
17
Ashbahi, M.S. and Mazkur, K, “ Human Reproduction in Islam: The Full Minutes of the
Seminar on Human Reproduction in Islam”, Islamic Organization for Medical Sciences, Kuwait; 1989.
18
Richard Kennedy, “Ibu Pengganti: Hak Perempuan Atas Tubuhnya”, SCU Knowledge Media,
Semarang, 2019, hal 28
Untuk pasangan Indonesia yang mencoba melakukan perjanjian surrogacy,
tidak ada mekanisme penegakan hukum untuk pasangan yang ingin menjaga anak.
Memang, Pasal 42 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Pasal 250 KUHP
menyarankan bahwa anak yang dihasilkan dari surrogacy di Indonesia, terlepas dari
sumber gamet, secara hukum adalah anak dari ibu hamil dan suaminya, meskipun suami
dari ibu hamil dapat menolak ayah melalui tes DNA atau darah 19. Meskipun pembenaran
Al-Qur'an untuk hak-hak hukum ini tidak didokumentasikan dalam undang-undang atau
sumber-sumber lain yang tersedia, ada kemungkinan bahwa ajaran dalam ayat Al-Qur'an
58: 2, yaitu “……..ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan
mereka…..” adalah motivasi untuk memberikan keibuan legal kepada ibu biologis yang
melahirkan. Dasar untuk suami ibu biologis menjadi ayah yang sah lebih tidak pasti,
tetapi mungkin berasal dari konsep 'al-walad li'l-firash,' atau anak menjadi produk dari
'pernikahan' di mana ibu biologis memberikan kelahiran 20.
Dampak penuh dari reformasi semacam itu akan sulit diprediksi. Studi kasus
di Indonesia ini mengungkapkan bahwa norma-norma agama dan tekanan ekonomi dapat
membentuk praktik klinis fertilisasi in vitro ke tingkat yang lebih besar daripada undang-
undang formal. Undang-undang Indonesia tentang fertilisasi in vitro tidak memberikan
larangan eksplisit terhadap donasi pihak ketiga, namun semua klinik di Indonesia
menolak untuk melakukan donasi telur dan sperma 21. Selain itu, klinik kesuburan telah
mengembangkan kebijakan fertilisasi in vitro mereka sendiri yang lebih ketat daripada
yang disyaratkan oleh hukum; misalnya, klinik umumnya membatasi transfer embrio
hanya satu atau dua embrio per siklus sebagai akibat dari pertimbangan medis dan
norma-norma Islam yang melarang pengurangan kehamilan multi-etnis. Menyadari
bahwa nilai-nilai agama Indonesia membentuk praktik klinis fertilisasi in vitro lebih
efektif daripada hukum formal mengungkapkan bahwa reformasi kebijakan fertilisasi in
vitro mungkin menuntut lebih dari sekadar membuat undang-undang baru. Sikap
keagamaan harus bergeser secara organik untuk memungkinkan praktik seperti
sumbangan pihak ketiga dan menjadi orang tua pasangan sejenis atau tidak menikah.
19
Yendi, “Perkembangan Hukum Teknologi Reproduksi Buatan di Indonesia”, www.yendi-
anestesi.blogspot.com, diakses Juni 2020
20
Purvis, “Assisted reproduction in Indonesia: Policy Reform in an Islamic Culture and
Developing Nation”, Reproductive Biomedicine Journal, Nov 2015.
21
James Hokkie Mariso, “Analisis Yuridis Tentang Upaya Kehamilan Diluar Cara Alamiah
(Inseminasi Buatan) Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Lex Et
Societatis Vol. VI/No. 6, Agustus 2018
Namun, sebelum pergeseran agama dan ekonomi jangka panjang ini terjadi, ada banyak
hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk meningkatkan akses keseluruhan ke fertilisasi
in vitro dan untuk memastikan distribusi layanan yang lebih adil. Dengan
mengembangkan metode fertilisasi in vitro yang lebih murah dan mempromosikan
pencegahan dan deteksi infeksi menular seksual, Indonesia dapat mulai mengurangi
prevalensi infertilitas di dalam perbatasannya.
E. KESIMPULAN
Harus ada pandangan baru untuk menanggapi perubahan paradigma untuk praktek
biolaw yang baik di masa depan baik di Indonesia maupun secara global. Biolaw tidak
harus dilihat hanya dalam kerangka kerja ilmiah para ilmuwan. Para pembuat kebijakan
ditantang untuk memahami implikasi dari perilaku biolaw pada pengembangan ilmiah
dan kesehatan secara keseluruhan. Biolaw juga harus dapat menjamin identifikasi,
pengakuan dan menghormati hak-hak dasar manusia dalam sistem hukum internasional
melalui penerimaan atas hak-hak individu menurut hukum internasional. Hal ini pada
akhirnya akan melahirkan “Biorights’ atau hak-hak atas hal-hal biologis yang merupakan
hak subjektif individu terkait dengan penentuan nasib sendiri dan perlindungan integritas
genetik manusia.
Biolaw memiliki nilai khusus dalam sistem hukum apa pun sebagai langkah yang akurat
untuk menjamin suatu mekanisme perlindungan yang efektif terhadap hak-hak dasar.
Dalam konteks ini merupakan wujud kepedulian terhadap setiap anggota masyarakat,
serta untuk menunjukkan kewajiban Negara untuk melindungi hak-hak tersebut dan
mempromosikan realisasinya. Selain itu, biolaw mewakili tatanan hukum konstitusional
yang baru dan meupakan konsepsi lengkap tentang hak-hak dasar yang memungkinkan
negara untuk memenuhi kewajiban internasional mereka serta membuat hak-hak ini
efektif dalam konteks yurisdiksi internal. Konstitusionalisasi biolaw yang
mengedepankan biorights sangat penting karena merupakan sebuah platform yang
menempatkan hak-hak dasar pada peringkat yang layak dalam konteks praktek biomedis.
Dalam hal ini, biolaw dibenarkan dan dilegitimasi sebagai cabang dan disiplin
independen karena mampu mengidentifikasi kategori baru kerusakan dan menetapkan
dasar prosedural untuk konstitusionalisasi hak asasi manusia generasi keempat. Dengan
kata lain, kontribusi biolaw terhadap hukum reparatori, khususnya di bidang hukum adat,
hukum konstitusional dan hukum pidana, terbukti. Karena itu, pentingnya biolaw tidak
hanya terletak pada kontribusi prosedural atau doktrinalnya saja, namun memberikan
akibat yang lebih luas, dimana biolaw dapat menjadi jaminan konstitusionalisasi atas
biorights atau hak subjektif individu baru, dan di sisi lain, untuk membuat ganti rugi atas
kerusakan yang disebabkan oleh negara menjadi lebih adil.
Karena di Indonesia masalah biologis sangat penting, maka harus menjadi prioritas untuk
memperkuat kapasitas untuk mengelola dan menyelaraskan konservasi dan
pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sebagai negara dengan lebih dari dua ratus juta
penduduk, Biolaw sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi warganya dari
bioterorisme. Sebagai negara pertanian, Indonesia bergantung pada keanekaragaman
hayati untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Jika Biolaw dikelola dengan baik, hal
itu meningkatkan kemungkinan mengurangi insiden kemiskinan dan mencapai praktek
pertanian berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Aktieva Tri Tjitrawati, Masalah Keadilan Pelaksanaan Kewajiban Virus Sharing dalam Sistem IHR”,
Mimbar Hukum, Volume 25 No 1, Feb 2013.
Ashbahi, M.S. and Mazkur, K, “ Human Reproduction in Islam: The Full Minutes of the
Seminar on Human Reproduction in Islam”, Islamic Organization for Medical
Sciences, Kuwait; 1989.
Beyleveld, D., & Brownsword, R. (2000), “Legal Argumentation in Biolaw”. dalam P. Kemp, J. D.
Rendtorff & N. M. Johansen (Eds.), Bioethics and biolaw, Vol I: Judgement of life (pp. 179–218),
Copenhagen: Rhodos International Science and Art Publishers & Center for Ethics and Law.
Erick Valdez, “Towards a New Conception of Biolaw” dalam Biolaw and Policy in Twenty-First Century:
Building Answers for New Questions, Erick Valdez & Juan Alberto Lecaros (ed), International Library of
Ethics, Law and the New Medicine, vol 78, Springer, Switzerland, 2019.
James Hokkie Mariso, “Analisis Yuridis Tentang Upaya Kehamilan Diluar Cara Alamiah (Inseminasi
Buatan) Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Lex Et Societatis Vol.
VI/No. 6, Agustus 2018
Kemp, P, “ Bioethics and Law and Biolaw in Ethics.” dalam P. Kemp, J. D. Rendtorff, & N. M.Johansen
(Eds.), Bioethics and biolaw, Vol I: Judgement of life (pp. 63–78). Copenhagen: Rhodos International
Science and Art Publishers & Center for Ethics and Law.
M Erfan Riadi, “Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yurudis
Normatif), Ulumuddin, Vol 6, Tahun IV, Januari-Juni 2010.
Persley, Gabrielle J, “Agricultural Biotechnology: Global Challanges and Emerging Ascience”, in
Agricultural Biotechnology: Country Case Studies ( eds GJ Persley and L.R MacIntyre), CAB
International, 2002.
Purvis, “Assisted reproduction in Indonesia: Policy Reform in an Islamic Culture and Developing Nation”,
Reproductive Biomedicine Journal, Nov 2015.
Retnoningrum, D.S., E. Kardena and A.S. Noer. 2005. Indonesia Biotechnology Consortium: Present and
Future. Workshop on the Establishment of Biotechnology Information Network Asia (BINASIA) Nodal
in Indonesia. July 27-28, Jakarta.
Richard Kennedy, “Ibu Pengganti: Hak Perempuan Atas Tubuhnya”, SCU Knowledge Media, Semarang,
2019
Romeo Casabona & Romeo Malanda, “Approach to Biolaw as an Autonomous Juridical Discipline”,
Biolaw and Policy in Twenty-First Century: Building Answers for New Questions, Erick Valdez & Juan
Alberto Lecaros (ed), International Library of Ethics, Law and the New Medicine, vol 78, Springer,
Switzerland, 2019
“Bioethics Related Activities in Indonesia”, Reports by the Indonesian government in meeting of the
States Parties to the Convention on the Prohibition of the Development, Production and Stockpiling of
Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and on Their Destruction.