Anda di halaman 1dari 5

Laporan Tugas Mandiri

Nama : Nabila Najma Tanggal : 19 Oktober 2020

NPM : 1806150124 Paraf Asisten :

Kelompok :7

Topik : Pemicu 2 – Transfer Gen ke Bakteri

A. Outline
1. Penggunaan Substrat Kromogenik
2. Restriction Mapping
3. Blotting Techniques
4. DNA Sequencing
B. Isi
Keberhasilan dalam mengkloning DNA bergantung pada kemampuan untuk
mengidentifikasi urutan gen yang diinginkan di antara banyak rekombinan berbeda
yang dapat diproduksi. Dalam mengidentifikasinya, diperlukan teknik analisis yang
dapat mengkonfirmasi bahwa sejumlah koloni mengandung urutan DNA yang
diinginkan.
Screening adalah prosedur di mana populasi sel yang hidup menjadi sasaran
semacam analisis yang memungkinkan sekuens yang diinginkan untuk diidentifikasi
(Nicholl, 2008). Prosedur ini dibutuhkan untuk mengonfirmasi bahwa terdapat sekuens
DNA yang diinginkan (gene of interest) dalam sejumlah besar koloni bakteri. Karena
hanya sebagian kecil dari sejumlah besar koloni bakteri atau plak bakteriofag yang akan
di-screening akan mengandung sekuens DNA yang diinginkan, maka screening
memerlukan metode yang sangat sensitif dan spesifik (Nicholl, 2008).
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memverifikasi apakah
sekuens DNA telah terkloning dengan baik, dimulai dari metode yang sederhana, yaitu
blue-white screening (use of chromogenic substrates), kemudian ada juga metode yang
lebih kompleks yaitu restriction mapping, blotting techniques, dan DNA sequencing.

1. Penggunaan Substrat Kromogenik


Penggunaan substrat kromogenik dalam screening telah menjadi aspek penting
untuk perkembangan teknologi. Sistem yang paling popular menggunakan senyawa
X-gal (5-bromo-4-kloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside), yang merupakan
substrat tidak berwarna untuk β-galactosidase. Lac operon bacterial yang
dikarakterisasi dengan baik mengandung gen yang disebut dengan lacZ, lacZ ini
mengkodekan enzim β-galactosidase. Ekspresi lac operon diinduksi oleh laktosa,
dan juga oleh sebuah analog laktosa, yaitu IPTG (isopropyl β-D-1-
thiogalactopyranoside). Agar sepenuhnya akurat, IPTG mengikat dan
menginaktivasi penekan lac operon, sehingga memungkinkan ekspresi laktosa
(Welch, 2015).
Ketika proses pembelahan komponen X-gal, terbentuk produk yang berwarna
biru. Dengan demikian, ekspresi lacZ (-galactosidase) gen dapat dideteksi dengan
mudah (Nicholl, 2008).

Gambar 1. Struktur komponen X-gal dan


pembelahan oleh β-galactosidase. (Sumber: An
Introduction to Genetic Engineering, 3rd edition)

Sistem deteksi komponen X-gal dapat digunakan di mana gen β-galactosidase


fungsional hadir dalam sistem vector/inang. Hal ini dapat terjadi dengan dua cara.
Pertama, gen β-galactosidase (lacZ) yang utuh dapat hadir dalam vektor. Sel inang
yang merupakan Lac- digunakan untuk perbanyakan fag bakteri, sehingga fenotip
Lac+ hanya akan muncul ketika vektor ada (Nicholl, 2008). Kedua, menggunakan
sistem α-complementation, di mana hanya sebagian dari gen lacZ (mengkode
peptide yang disebut α-peptide) yang dibawa oleh vektor. Bagian yang tersisa dari
urutan gen dibawa oleh sel inang (Nicholl, 2008). Pengodean wilayah untuk peptide
berenkode vektor yang lebih kecil ditetapkan sebagai lacZ’. Oleh karena itu, sel
inang disebut lacZ’-.
Koloni atau plak biru hanya akan dihasilkan bila inang dan fragmen vektor
saling melengkapi untuk menghasilkan β-galactosidase fungsional (Nicholl, 2008).
Koloni yang mengandung plasmid dengan sisipan klon DNA akan memiliki β-
galactosidase nonfungsional dan berwarna putih. Di sisi lain, β-galactosidase yang
utuh menghasilkan pigmen dari X-gal yang mengubah warna koloni bakteri
menjadi biru (Welch, 2015).

2. Restriction Mapping
Restriction mapping untuk fragmen kloning biasanya penting sebelum
manipulasi tambahan dapat dilakukan terhadap DNA rekombinan. Dalam
prakteknya, restriction mapping dilakukan dengan cara DNA hasil kloning
dipotong dengan berbagai enzim restriksi untuk menentukan jumlah fragmen yang
dihasilkan oleh setiap enzim (Nicholl, 2008).
Enzim yang memotong DNA menjadi dua hingga empat bagian biasanya dipilih
untuk percobaan awal. Jika melakukan serangkaian prosedur pemotongan DNA
dengan berbagai enzim, restriction map yang lengkap dapat disatukan. Restriction
map yang lengkap dapat memberikan informasi penting yang diperlukan untuk
karakterisasi yang lebih rinci dari fragmen kloning (Nicholl, 2008).

3. Blotting Techniques
Blotting techniques pertama kali dikembangkan oleh Ed Southern, dan dikenal
sebagai Southern blotting. Pada teknik ini, fragmen DNA yang didapatkan saat
resctriction digestion dikenakan pada elektroforesis gel agarose. Setelah itu,
fragmen yang telah dipisahkan kemudian dipindahkan ke membran nitroselulosa
atau nilon dengan blotting technique.

Gambar 2. Peralatan Blotting (Sumber: An Introduction to


Genetic Engineering, 3rd edition)
Ketika fragmen telah dipindahkan dari gel dan diikat ke filter, fragmen tersebut
menjadi replika gel. Filter kemudian dapat dihibridisasi dengan probe radioaktif
dengan cara yang mirip dengan filter koloni atau plak. Seperti semua hibridisasi,
kuncinya adalah ketersediaan probe yang sesuai (Nicholl, 2008). Setelah hibridisasi
dan pencucian, filter dikenakan ke film sinar X dan autoradiograf yang disiapkan,
yang akan memberikan informasi mengenai struktur klon.

Gambar 3. Southern blotting (Sumber: An Introduction to Genetic


Engineering, 3rd edition)

4. DNA Sequencing
Menentukan urutan fragmen kloning merupakan hal yang penting jika struktur
gen telah dipelajari. Pengurutan dapat berkisar dari proyek skala kecil melibatkan
satu gen hingga mengurutkan seluruh genom. Pengurutan gen memberikan banyak
informasi berguna tentang urutan pengkodean, wilayah kontrol, dan fitur lain
seperti urutan intervensi (Nicholl, 2008).
Kompleksitas strategi pengurutan bergantung pada sejumlah faktor, yang utama
adalah panjang fragmen yang diurutkan. Metode pengurutan manual
memungkinkan sekitar 300-400 basis untuk dibaca dari gel pengurutan. Jika
panjang DNA hanya beberapa ratus pasangan basa, mungkin dapat diurutkan dalam
satu langkah. Namun, kemungkinan besar urutannya akan menjadi beberapa
pasangan kilobase, maka pengurutan akan lebih kompleks.
Terdapat dua cara untuk mengurutkan proyek sekuensing yang besar, baik
pendekatan acak atau ‘senapan’ akan digunakan, atau strategi terurut dirancang di
mana lokasi setiap fragmen diketahui sebelum pengurutan. Dalam metode senapan,
fragmen acak diproduksi dan diurutkan. Perakitan urutan lengkap bergantung pada
adanya tumpang tindih yang cukup antara fragmen yang diurutkan untuk
memungkinkan computer untuk mencocokkan dari data mentah.
Strategi pengurutan yang berurutan biasanya lebih efisien daripada pendekatan
fragmen acak. Ada beberapa kemungkinan cara menghasilkan fragmen yang
ditentukan untuk pengurutan. Contohnya termasuk (1) isolasi dan subcloning dari
fragmen restriksi yang ditentukan dan (2) pembuatan serangkaian subclone di mana
urutan target telah dihapus secara progresif oleh nuklease. Jika fragmen pembatasan
digunakan, persyaratan pertama adalah untuk membuat peta pembatasan mendetail
dari klon asli. Dengan menggunakan ini, fragmen yang berukuran sesuai dapat
diidentifikasi dan disubklon ke dalam vektor pengurutan seperti M13 atau
pBluescript, yang kemudian diurutkan dengan metode dideoksi (Nicholl, 2008).
Kedua untai DNA harus diurutkan secara independen, sehingga setiap anomali
dapat dilihat dan diurutkan kembali jika perlu. Fragmen yang telah diurutkan secara
lengkap kemudian dirakit dengan menggunakan paket perangkat lunak komputer
yang sesuai. Hal ini membuat lebih mudah jika fragmen yang tumpang tindih telah
diisolasi untuk subklon, karena daerah tumpang tindih memungkinkan urutan yang
berdampingan dapat teridentifikasi dengan mudah.

C. Daftar Pustaka

Nicholl, Desmond S. T.. 2008. An Introduction to Genetic Engineering. 3rd edition.


New York: Cambridge University Press.

Welch, Jessica. 2015. Blue-White Screening. Plasmids 101: A Desktop Resource (3rd
edition). Massachusetts: Addgene.org

Anda mungkin juga menyukai