Anda di halaman 1dari 2

Membangun Kelayakan Diri Pengemban Dakwah untuk Menjemput Nashrullah

Oleh : Nisa Agustina

Pengantar

Janji Allah akan kemenangan kaum muslimin dengan kembalinya kekhilafahan ‘ala minhajin
nubuwwah yang kedua adalah sesuatu yang pasti. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan
dalam QS al-Baqarah ayat 214 bahwa pertolongan Allah amatlah dekat, dan kemenangan Islam
adalah sebuah keniscayaan. Tapi bila kita melihat realita yang ada sekarang kezaliman semakin
merajalela akan tetapi ummat masih banyak yang belum sadar solusi tuntas dari semua
kezakiman tersebut. Kita sangat yakin pertolongan Allah pasti akan datang. Allah juga akan
memenangkan agama-Nya. Hanya saja sudah pantaskah kita untuk menjadi pemenang? Sudah
layakkah kita mendapat pertolongan Allah? Jangan sampai kita sendiri sebagai pengemban
dakwah yang ternyata menjadi penyebab nashrullah itu belum turun.
Loyonya Sang Pengemban Da’wah
Dakwah merupakan tugas mulia, penentu status diri di hadapan-Nya, juga penentu kehidupan
umat. Futur dakwah bisa terjadi kapan saja disebabkan kesibukan rumah tangga dan yang
lainnya. Saat godaan datang semua pun hengkang. Terlepasnya diri dari jemaah dakwah jauh
lebih mudah, semudah terlepasnya dari simpul-simpul keislaman.
Nabi Saw. bersabda, “Sungguh akan terurai simpul-simpul Islam satu demi satu. Maka setiap
satu simpul terurai, orang-orang akan bergelantungan pada simpul yang berikutnya. Simpul
yang pertama kali terurai adalah kekuasaan (pemerintahan) sedang yang paling akhir terurai
adalah salat.” (HR Ahmad, Ibnu majah, al-hakim)
Godaan terberat bagi pengemban dakwah adalah ketika malas menyerang. Malas memulai,
malas bergerak, malas belajar, atau malas mengasah kualitas diri. Bagaimanapun, pengemban
dakwah hanyalah manusia. Sama seperti manusia lainnya, ada fluktuasi iman, pasang surut
semangat, letupan-letupan emosi, dinamika suasana hati.
Tak jarang, aktivitas sehari-hari dipengaruhi pernak-pernik masalah pribadi. Membuat
pengemban dakwah menjadi loyo, bagai harimau habis dicabut gigi. Sudah sunnatullah
perjuangan dakwah bukanlah jalan bertabur bunga yang wangi. Bukan seperti jalan tol yang
lurus, mulus tanpa hambatan nan geradakan.
Kita memang bukan malaikat, bisa keliru dan salah, tapi hidup dalam berjemaah lebih mudah
karena bisa saling mengingatkan. Jangan sampai kita terjerembab dalam perangkap zona
nyaman duniawi dan sulit lepas. Akhirnya dakwah tercecer, di sisa waktu atau sekadar
menunaikan kewajiban karena malu pada teman.
Melakukan interaksi dakwah seadaanya, tak ada kemauan untuk menambah tsaqafah,
korbanan harta secukupnya, kontribusi dalam dakwah pun sangat minim. Target-target dakwah
pun hanya sebatas catatan tanpa merasa perlu direalisasikan. Masihkah bisa berkata kalau kita
pejuang Islam?
Mungkin kita pernah merasa jenuh ikuti kajian, hingga membenarkan rasa bosan dengan
mencari pembenaran tak mengikutinya. Meriang sedikit minta izin dengan alasan tak enak
badan. Si kecil rewel jadi alasan ada urusan keluarga mendesak. Astaghfirullah…
Seribu alasan bagi kita untuk jadi budak nafsu kemalasan. Apalagi mengkaji Islam di tengah
pandemi, via zoom tanpa harus keluar rumah. Tapi bilang gak ada kuota, adab majelis
diabaikan, hingga akhirnya tak mendapatkan apa-apa dari kajian.

Anda mungkin juga menyukai