0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan2 halaman
Teks tersebut membahas makna kata "guru" dalam bahasa Sunda, Melayu, dan bahasa Sanskerta. Kata "guru" dalam bahasa Sanskerta berarti "berat", menyiratkan bahwa tugas seorang guru itu berat. Teks tersebut juga membandingkan istilah "guru" dan "pendidik", serta menjelaskan definisi guru menurut Undang-Undang Guru dan Dosen di Indonesia. Secara keseluruhan, teks tersebut berusaha men
Teks tersebut membahas makna kata "guru" dalam bahasa Sunda, Melayu, dan bahasa Sanskerta. Kata "guru" dalam bahasa Sanskerta berarti "berat", menyiratkan bahwa tugas seorang guru itu berat. Teks tersebut juga membandingkan istilah "guru" dan "pendidik", serta menjelaskan definisi guru menurut Undang-Undang Guru dan Dosen di Indonesia. Secara keseluruhan, teks tersebut berusaha men
Teks tersebut membahas makna kata "guru" dalam bahasa Sunda, Melayu, dan bahasa Sanskerta. Kata "guru" dalam bahasa Sanskerta berarti "berat", menyiratkan bahwa tugas seorang guru itu berat. Teks tersebut juga membandingkan istilah "guru" dan "pendidik", serta menjelaskan definisi guru menurut Undang-Undang Guru dan Dosen di Indonesia. Secara keseluruhan, teks tersebut berusaha men
“urang Sunda” dan “wong Jowo” mempunyai pendalaman makna atas Guru dengan kirata basa, dikira- kira tapi nyata, bawa Guru adalah “diGugu jeung ditiRu”. Sastrawan Ki Ronggo Warsito pernah memberikan pemaknaan kata Guru yang tidak kalah dalamnya dengan Kirata Basa di atas. Guru, kata Ki Ronggo Warsito adalah kependekkan dari Gudang ke Utama an yang mempunyai pe Rasa an yang senantiasa Urip.
Sah-sah saja toch sekelompok atau seseorang punya pendapat. Namun ketika persamaan-persamaan pandangan itu semakin nampak patutlah kita menaruh perhatian akan adanya kejelasan ‘tafsir’-nya. Sebagaimana ungkapan dan/atau peribahasa, secara umum, katanya mengandung keunggulan pemikiran yang terhasil daripada pengalaman hidup dan ketajaman pemerhatian masyarakat terhadap alam sekitar mereka. Peribahasan Melayu, juga mempunyai pemaknaan dan pendalaman mengenai Guru dalam beberapa peribahasa-nya. Sebut saja peribahasa yang sangat terkenal: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ada juga peribahasa Berguru dulu sebelum bergurau atau Berguru kepalang ajar, ibarat bunga kembang tak jadi.
Apakah Guru bersinonim dengan pengajar? Atau pendidik? Atau dosen? Bisa ya bisa tidak. Ya, kalau emang tugas guru, kita bersepakat, adalah mengajar atau mendidik. Kalau tugas mengajar atau mendidik itu dilakukan di SD sampai di SMA maka namanya Guru. Kalau di pendidikan tinggi namanya dosen.
Tapi... Apakah kata “pendidik” atau “pengajar” bisa menggantikan istilah Batara Guru atau Guru (Spiritual)? Atau Juragan Guru? Atau Undang-Undang Guru dan Dosen Atau bahkan dalam dialog di sebuah perguruan bela diri, misalnya, “Maafkan aku, Guru!” menjadi “Maafkan aku, pendidik!” hi hi... Ahhh itu mah Cuma soal diksi (pemilihan kata). Bisa jadi iya, dan kalaupun benar hal itu mendukung keharusan memilih kata yang tepat yang mewakili gagasan yang sesuai dengan rasa, makna dan situasi.
Katanya, Guru berasal dari bahasa sangsakerta yang berarti harfiah: BERAT. Apakah ini menyiratkan bahwa tugas guru adalah berat. Ataupun ilmu yang diajarkan adalah imu-ilmu yang memerlukan perenungan mendalam?
Setidaknya kata “Guru” masih diakui oleh negara ini. Salah satunya adalah adanya Undang-Undang Guru dan Dosen. Bukan Undang-Undang Pendidik dan Dosen. Sekali lagi ini (bisa jadi) hanya soal Diksi. Dan bicara soal Diksi berarti menguatkan makna, nilai rasa, dan ketepatan pada situasi dari para perancang Undang-Undang Guru dan Dosen yang memaknai Guru lebih dalam dibandingkan Pendidik. Buktinya, mereka para pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus menambahkan kata “profesional” untuk menjelaskan siapa “Guru”?
Lengkapnya: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anal usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah Sementara itu pendidikan sendiri, menurut undang-undang adalah: Orang dewasa yang bertanggungjawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam perkembangan jasmani maupun rohaninya agar mencapai tingkat kedewasaan (maupun berdiri sendiri) memenuhi tugasnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk individu yang mandiri dan mahluk sosial.
Itulah suasana bathin dan pemahaman para peanggungjawan kebijakan pendidikan di negeri tercinta ini. Jadi, ketika, katakanlah seorang guru SD tidak menjadi pendidik secara profesional maka dia belum disebut sebagai Guru. Dan instrumen memberikan label profesional ini adalah dengan adanya sertifikasi. Apakah sertifikat yang didapat adalah merupakan jaminan akan profesionalitas seorang pendidik. Jawabannya ada pada hati sanubari pendidik-pendidik yang telah mendapatkan sertifikasi.
Istilah guru dalam lingkup pendidikan formal, gambaran guru yang ideal (bukan profesional) dilukiskan oleh Earl V. Pullias dalam bukunya yang berjudul Guru sebagai Makhluk Serba bisa, seorang guru, katanya, adalah seorang pembimbing guru itu sendiri, moderator, modernisator, pemberi teladan, peneliti, penasihat, pencipta, penguasa, pemberi inspirasi, pelaku pekerjaan rutin, seorang pembaru, dan juru cerita sekaligus merangkap pelaku
Wajarlah dengan keunggulan gambaran seorang Guru, setidaknya masyarakat Indonesia telah menempatkan “guru” dalam tingkatan/level/posisi yang terhormat dengan adanya ungkapan: Juraga Guru.. atau Guru Ratu Wong Atua Karo wajib Sinembah.
Yang harus dihormat urutan pertama adalah Guru dan tentunya itu adalah hal yang BERAT sebagaimana makna asal dari Guru itu sendiri.