Anda di halaman 1dari 3

Manifestasi Klinis

Herpes zoster otikus (HZO) ditandai dengan otalgia berat yang disertai dengan bercak vesikuler
eritematosa di kanalis auditorius eksternus dan pinna yang disebabkan oleh infeksi atau reaktivasi
herpesvirus. Penyakit ini didahului oleh gejala prodromal yang berlangsung selama 1-3 hari berupa
demam, sakit kepala, dan malaise. Nyeri radikuler dan parestesi pada dermatom yang terdampak
dapat diamati (Ametati & Avianggi, 2020). HZO dapat melibatkan membrana timpani, kanalis
auditivus eksternus dan konkha, antiheliks, fossa antiheliks, insisura intertragika, serta lobulus, yang
disebut dengan zona Hunt (Jeon & Lee, 2018). Ketika kedua keluhan ini disertai dengan parese
nervus fasialis yang ditandai dengan kelumpuhan wajah ipsilateral (Bell’s palsy), maka disebut
Sindroma Ramsay Hunt (Shin et al., 2015; Ametati & Avianggi, 2020).

Umumnya, pasien dengan HZO datang dengan keluhan timbulnya vesikel (eksantema vesikuler)
yang terasa nyeri atau perih di dalam atau di sekitar telinga, biasanya di daerah kanalis auditorik
eksternus, konkha, dan pinna. Bercak mungkin dapat menyebar ke kulit postaurikula, dinding nasal
lateral, palatum molle, dan lidah daerah anterolateral (Bloem et al., 2018). Pada Sindroma Ramsay
Hunt, bercak dapat mengalami erupsi sebelum, saat, maupun setelah (sine herpete) timbulnya
parese fasialis. Gejala vestibulokoklear juga sering dikaitkan dengan Sindroma Ramsay Hunt oleh
karena dekatnya ganglion genikulatum terhadap CN VIII di dalam kanalis fasialis (Psillas et al.,
2019). Manifestasi gejala vestibulokoklear meliputi vertigo, yang dapat disertai nausea dan vomitus,
tinitus, serta tuli sensorineural. Studi menunjukkan bahwa kebanyakan penurunan pendengaran
terkait SRH lebih banyak terjadi pada frekuensi tinggi dibandingkan dengan frekuensi rendah,
sedangkan intensitasnya lebih berat pada pasien dengan vertigo (Kim, Choi, dan Shin, 2016).

Penegakkan Diagnosis
Diagnosis HZO atau RHS ditegakkan berdasarkan temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan neurologis terkait, pada CN VII dan CN VIII diperlukan
untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan, dan evaluasi pengobatan.
1. Anamnesis
Presentasi klasik dari herpes zoster dimulai dengan timbulnya gejala prodromal berupa
sensasi perih atau terbakar (pada beberapa kasus dapat berupa parestesia) di dalam atau di
bawah kulit dari dermatom yang terdampak. Keluhan ini seringkali disertai dengan demam,
menggigil, nyeri kepala, nyeri perut, dan malaise. Setelah 48-72 jam pertama timbulnya
gejala prodromal, bercak makulopapular eritematosa mulai terbentuk secara unilateral
sepanjang dermatom dan berkembang dengan cepat menjadi lesi vesikuler. Nyeri terkait lesi
tersebut memiliki intensitas ringan hingga berat, bahkan sentuhan atau hembusan ringan
dapat menyebabkan timbulnya spasme yang menyakitkan. Lesi biasanya akan mulai
mengering dan mengelupas dalam 3-5 setelah timbulnya lesi. Pada kasus HZO, pasien akan
mengeluhkan nyeri telinga hebat yang timbul setelah munculnya lesi vesikular di telinga dan
daerah sekitarnya. Pada kasus yang lebih berat, HZO dapat disertai dengan gejala parese
nervus fasialis (SRH) dan gejala disfungsi vestibulokoklear seperti vertigo, yang dapat
disertai dengan mual dengan/tanpa muntah, gangguan keseimbangan, tinitus, serta
penurunan pendengaran hingga tuli sensorineural.

2. Pemeriksaan Fisik
Temuan kutanea HZO yang mengarahkan pada diagnosis SRH umumnya bermanifestasi di
zona Hunt yang meliputi membrana timpani, kanalis auditorius eksternus, serta porsi sentral
telinga, konkha kavum. Distribusi vesikel herpetiformis dalam zona Hunt bervariasi sejalan
dengan daerah yang dipersarafi oleh nervus fasialis, sehingga pemeriksaan otoskopi untuk
menilai keterlibatan liang telinga luar dan membrana timpani diperlukan (Wagner, Klinge,
Sasche, 2012).

Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya
kelumpuhan, dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan fisik meliputi fungsi motik otot wajah,
tonus otot wajah, ada tidaknya sinkinesis atau hemispasme, gustatometri, dan tes Schimer
(Munilson, Edward, dan Sari, 2011). Parese CN VII dapat dinilai dengan melihat adanya
asimetri pada salah satu sisi wajah pasien saat diminta untuk mengangkat alis,
mengernyitkan dahi, menutup mata erat-erat, menyeringai, dan menggembungkan pipi atau
bersiul. Asimetri dapat dijumpai pada sisi ipsilateral lesi berupa hilangnya kerutan dahi,
mulut merot (facial drooping), dan lagoftalmus. Paralisis lebih jauh juga dapat
bermanifestasi dengan menurunnya fungsi otonom nervus fasialis dalam produksi air mata
yang dapat diketahui dengan uji Schimmer. Selain paralisis pada otot fasialis, paresis nervus
fasialis menyebabkan paralisis m. stapedius di telinga tengah yang bermanifestasi terhadap
timbulnya hiperakusis oleh karena menegangnya m. tensor timpani. Hal ini menyebabkan
peningkatan sensitivitas terhadap suara. Kerusakan lebih lanjut pada daerah chorda tympani
turut berdampak gangguan gustatorik berupa menurunnya fungsi pengecapan pada dua
pertiga anterior paruh lidah yang terdampak serta menurunnya sekresi saliva (Wagner,
Klinge, Sasche, 2012).

Kerusakan pada CN VIII vestibulokoklear dapat dijumpai pada 40-50% kasus. Keluhan
vestibuler ditandai dengan insekuritas gait dengan kecenderungan untuk jatuh ke sisi yang
terdampak, vertigo, dan nistagmus spontan, sedangkan keluhan koklear terkait dengan
tinnitus dan penurunan pendengaran. Hipakusis yang mengarah pada tuli sensorineural dapat
dikonfirmasi secara klinis dengan uji penala yang menunjukkan uji Rinne positif disertai
dengan lateralisasi Weber ke sisi yang sehat (Wagner, Klinge, dan Sasche, 2012).

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan audiometri nada murni, timpanometri,
brainstem evoked response audiometry (BERA), dan uji elektronistagmografi (ENG).
Diagnosis pasti ditegakkan dengan mengisolasi virus, deteksi antigen spesifik untuk virus
varisela zoster, atau dengan hibridisasi DNA virus (Munilson, Edward, dan Sari, 2011). Tes
Tzanck dapat dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan sitologi sel epitel berupa sel
datia berinti banyak (multinucleated giant cell). Selain itu, identifikasi asam nukleat VVZ
dengan metode PCR dapat dilakukan menegakkan diagnosis infeksi herpes zoster
(Pusponegoro et al., 2014).

Anda mungkin juga menyukai