Bukti Audit Vs Alat Bukti Hukum Suplemen
Bukti Audit Vs Alat Bukti Hukum Suplemen
Tahun 2012
A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugas audit, setiap auditor harus mengumpulkan bukti yang cukup dan
kompeten untuk mendukung opini auditor, kesimpulan hasil audit dan/atau temuan audit.
Bukti audit tersebut diperoleh melalui berbagai tehnik dan prosedur, sedemikian rupa
sehingga auditor memperoleh kepuasan atas kualitas pengujian yang dilakukannya. Yang
dimaksud dengan bukti yang cukup adalah yang jumlahnya, intensitasnya dan derajat
keterwakilannya mencukupi untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan. Sementara itu,
yang dimaksud dengan bukti yang kompeten adalah bukti yang sah, valid serta relevan
dengan sasaran pembuktian terkait.
Dalam audit lapoaran keuangan, audit kinerja atau bahkan audit operasional yang tidak
dimaksudkan untuk menyelidiki ada tidaknya suatu kecurangan, kadang-kadang auditor
menemukan adanya tindak kecurangan yang dilakukan oleh pegawai atau manajemen
entitas yang diperiksa. Adanya kecurangan tersebut akan mengharuskan auditor
mengungkapkan temuannya kepada pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
Permasalahannya adalah bahwa kriteria bukti audit menurut standar audit tidak sama
dengan menurut standar hukum pidana. Dengan demikian apabila auditor tidak
memperhatikan aspek pembuktian menurut hukum pidana, maka terdapat peluang bahwa
bukti audit yang diajukan oleh auditor tidak segera dapat dianggap sebagai bukti yang
“matang” untuk tujuan penyidikan/penyelidikan/penuntutan berdasarkan hukum acara
pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka setiap auditor harus memahami aspek pembuktian,
setidak-tidaknya dari dua disiplin imu, yaitu dari disiplin auditing (akuntansi) dan disiplin
hukum pidana.
B. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran materi ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada peserta
diklat mengenai pembuktian berdasarkan standar audit dan pembuktian berdasarkan hukum
acara pidana. Dengan demikian, peserta diklat dapat menjelaskan perbedaan dan
persamaan diantara keduanya.
A. Dasar Hukum
Dasar hukum utama yang perlu mendapatkan perhatian auditor terkait dengan pembuktian
dalam ranah pidana umum adalah UU no 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Namun demikian, terdapat peraturan lain yang perlu juga diperhatikan seperti
peraturan berikut:
1. UU no 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU no 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. UU no 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam UU no 46 tahun 2009, alat bukti tidak didefinisikan secara khusus. Adapun yang
diatur adalah bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara pidana. Sementara
itu, alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari
hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam Pasal 73 dinyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana
Pencucian Uang ialah:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen.
Dalam Pasal 108 dinyatakan bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana Keimigrasian
berupa:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, dan diterima atau
disimpan secara elektronik atau yang serupa dengan itu; dan
c. keterangan tertulis dari Pejabat Imigrasi yang berwenang.
Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang
dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
Dalam Penjelasan Pasal 29 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam ketentuan ini misalnya: data yang
tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya
seperti:
a. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang,
atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga
terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b. atatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang
diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau
c. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari Negara
asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang
negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang undang yang berkaitan
dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Dalam pasal 185 ayat (7) KUHAP dinyatakan: “Keterangan dari saksi yang tidak disumpah
meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.”
Suatu keterangan saksi dianggap sah sebagai alat bukti jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Syarat Formil Saksi:
Sementara itu, ada hal lain yang menarik, yaitu bahwa keterangan dua orang atau lebih saksi
sama persis dan bersesuaian, maka dihitung sebagai satu alat bukti. Jadi sekalipun auditor
berhasil memperoleh saksi sebanyak 100 (seratus) orang, namun isi kesaksiannya sama
persis dan bersesuaian, maka keseluruhan bukti kesaksian tersebut hanya dianggap sebagai
satu alat bukti dalam persidangan nantinya. 1
Keterangan yang diberikan oleh seorang saksi tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah
jika:
a. merupakan pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
b. keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain (disebut testimonium de
auditu)
c. keterangan diberikan tanpa sumpah atau di luar persidangan
d. terdapat hubungan keluarga dengan terdakwa, kecuali yang bersangkutan dan pihak
penuntut umum menghendakinya.
1
Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, nomor B-69/E/02/1997 perihal “Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana”, ditegaskan bahwa keterangan saksi walaupun terdiri beberapa saksi,
tanpa didukung alat bukti jenis lainnya, maka keterangan saksi itu belum memenuhi bukti minimum seperti
dimaksud dalam pasaI 183 KUHP. Dengan demikian walaupun sudah ada beberapa saksi, namun tetap harus
diusahakan agar ada alat bukti jenis lainnya yang menguatkan keterangan saksi-saksi itu.
3. Surat
Sebagai alat bukti, surat harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Surat dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
b. Dibentuk menurut ketentuan UU oleh pejabat tertentu di lingkup tugasnya
c. Surat keterangan ahli
d. Surat lain yang ada hubungannya dengan isi alat bukti lain
e. Kekuatan pembuktian bersifat bebas
Dalam Pasal 187 KUHAP diatur bahwa surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, mencakup:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat
yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang
menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal
atau sesuatu keadaan
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Dalam pasal 188 ayat (1) KUHAP diatur bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang memiliki persesuaian baik satu sama lain maupun dengan tindak pidana itu
sendiri, sehingga menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Selanjutnya, dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa petunjuk
hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi
5. Keterangan Terdakwa
Alat bukti berupa keterangan terdakwa diatur dalam KUHAP pada Pasal 189 adalah :”… apa
yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia ketahui sendiri atau alami
sendiri.” Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat
bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Dalam ayat (4)
dinyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain.
Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat
bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Selanjutnya dalam
ayat (3) disebutkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan
sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UndangUndang ini.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Dalam Pasal 38 ayat 2 Undang-undang No. 25 tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa
alat bukti adalah :
a. Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa alat bukti
sebagaimana yang dimaksudkan dalam Hukum Acara Pidana.
E. Keyakinan Hakim
Dalam sistem hukum di indonesia, hakim terikat pada alat-alat bukti yang
disyaratkan dalam undang-undang, namun hakim juga memiliki keleluasaan
melakukan pertimbangan dan memutuskan berdasarkan keyakinannya. Sekalipun
jumlah alat bukti sudah mencukupi, namun hakim tidak mendapatkan keyakinan
tentang kesalahan terdakwa, maka hakim dapat memberi keputusan bebas kepada
terdakwa.
Karena sistim pembuktian di Indonesia menghendaki adanya keyakinan hakim, maka
alat bukti perlu diperkuat dengan barang-barang bukti atau benda-benda untuk
meyakinkan hakim bahwa seorang terdakwa dapat dikenakan hukuman pidana.
Dengan demikian, auditor perlu menguatkan alat. bukti yang diperolehnya dengan
barang bukti yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim
2
Whittington, O. Ray and Pany, Kurt. Principles of Auditing and Other Assurance Services, 15/e, 2006
McGraw-Hill Higher Education
b) Observasi
Observasi mencakup kegiatan melihat langsung suatu proses atau prosedur yang
sedang berjalan. Sebagai contoh, auditor mengamati proses pembayaran retribusi parkir
pada gardu parkir untuk mengetahui apakah petugas gardu parkir selalu menyerahkan
struk kepada pengguna jasa parkir.
d) Perhitungan Ulang
Perhitungan ulang adalah kegiatan melakukan komputasi ulang berdasarkan formula
tertentu untuk menguji akurasi suatu perhitungan tertentu. Sebagai contoh, auditor
melakukan penghitunga ulang atas saldo buku besar dengan jalan menjumlahkan saldo
awal dengan seluruh mutasi pada periode yang diperiksa.
f) Prosedur Analitis
Prosedur analitis dilakukan dengan menghubungkan suatu fakta dengan fakta lain,
melihat kecenderungan (trend), melakukan analogi dan perhitungan-perhitungan
analitis. Misalnya, auditor menguji kewajaran biaya perjalanan dinas melalui
penandingan antara rekapitulasi bukti perjalanan dinas dengan rekapitulasi daftar hadir.
Contoh lain adalah berupa membandingkan antara bonus penjualan dengan total
g) Permintaan Keterangan
Permintaan keterangan dapat dilakukan secara tertuis maupun lisan. Demikian juga,
respon yang diperoleh auditor dapat berupan keterangan yang tertulis ataupun lisan.
3. Sensus vs sampling
Dalam melaksanakan audit laporan keuangan, seorang auditor diperkenankan memilih
metode pengumpulan buktinya, apakah secara sensus atau secara sampling. Jika auditor
memutuskan untuk melakukan sampling, iapun diperkenankan memilih antara statistical
sampling atau non statistical sampling. Hal yang mendasari metode tersebut adalah
pertimbangan profesional dari auditor setelah memperhatikan dengan seksama risiko audit,
termasuk kekuatan dan kelemahan pengendalian intern yang terkait, serta pertimbangan
biaya-manfaat.
2. Bukti audit tidak sama dengan alat bukti menurut hukum pidana.
Karena syarat sah dan cukupnya suatu bukti tidak sama antara yang diatur dalam standar
audit dengan yang diatur dalam hukum pidana, maka bukti audit tidak serta merta dapat
menjadi alat bukti yang sah menurut hukum pidana. Oleh karena itu, jika auditor dalam
A. Buku
Andi Hamzah, 1984. Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Djoko Prakoso, 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana,
Yogyakarta: Liberty.
Ignatinus Prabowo, Penggunaan Anjing Pelacak dalam Proses Penyidikan dan Kekuatan
Pembuktian Terhadap Alat Bukti yang Ditemukan oleh Anjing Pelacak dalam Perspektif
Hukum Acara Pidana, Skripsi:Universitas Sebelas Maret.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 8, Yogyakarta: Liberty 2006,
Cet. I
Whittington, O. Ray and Pany, Kurt. Principles of Auditing and Other Assurance Services,
15/e, 2006 McGraw-Hill Higher Education
C. Peraturan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigasian
Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, nomor B-69/E/02/1997 perihal
“Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana”