Anda di halaman 1dari 26

PERADABAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah “Sejarah
Peradaban Islam”
Dosen Pengampu :
Dra. Hermawati, MA

Disusun Oleh :

Ariq Shalahuddin (11200321000037) (31)


Azmi Dicky Hermawan (11200321000038) (32)
Iin Inayatul Karimah (11200321000041) (33)
Nimas Ayu Masithoh (11200321000043) (34)

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Abbasiyah’’ dapat tersusun, meskipun masih banyak kekurangannya.

Dalam kesempatan ini tak lupa kami menyampaikan terima kasih tentunya
makalah ini tidak lepas dari dukungan Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan pengujian
produk ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini. Makalah ini di susun dengan tujuan, dapat memberikan informasi dan
pembelajaran bagi semua.

Jakarta, 20 Maret 2021

Penyusun,

Kelompok 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................ 2

PENDAHULUAN .................................................................................................. 4

A. LATAR BELAKANG ................................................................................. 4


B. TUJUAN ...................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6

ISI ............................................................................................................................ 6

A. Latar Belakang Berdiri Dinasti Abbasiyah .................................................. 6


B. Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah ............................................ 7
C. Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi Dan Sosial Politik
10
1. Politik ..................................................................................................... 10
2. Ekonomi ................................................................................................. 11
3. Sosial ...................................................................................................... 12
D. Tradisi Intelektual Dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan ............................... 13
1. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Non Formal ................................ 15
2. Lembaga-Lembaga Pendidikan Formal dan Materi yang Diberikan ..... 18
BAB III ................................................................................................................. 25

PENUTUP ............................................................................................................. 25

A. Kesimpulan ................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan
naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian
pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu
pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.

Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-
Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi
Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah
berlangsung dari tahun 750-12 Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh
negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala
pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan
Marwan Ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,berakhirlah riwayat Dinasti
Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah, Pada
masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan pada masa itu
berbagai kemajuan dalam segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang
pendidikan, ekonomi, politik dan sistem pemerintahannya.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah.
2. Untuk Mengetahui Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah.
3. Untuk Mengetahui Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi,
dan Sosial.
4. Untuk Mengetahui Tradisi Intelektual dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan
BAB II

ISI

A. Latar Belakang Berdiri Dinasti Abbasiyah


Tonggak berdirinya dinasti Bani Abbas, berawal sejak merapuhnya sistem
internal dan performance penguasa Bani Umayyah yang berujung pada keruntuhan
dinasti Umayah di Damaskus, maka upaya untuk menggantikannya dalam
memimpin umat Islam adalah dari kalangan bani Abbasiyah. Propaganda revolusi
Abbasiyah ini banyak mendapat simpati masyarakat terutama dari kalangan Syi’ah,
karena bernuansa keagamaan, dan berjanji akan menegakkan kembali keadilan
seperti yang dipraktikkan oleh khulafaurrasyidin.1 Nama dinasti Abbasiyah diambil
dari nama salah seorang paman Nabi yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthalib
ibn Hisyam. Dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibnu Muhammad Ibn Ali
Ibn Abdullah Ibn al- Abbas.2

Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara
nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara
paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk
mendirikan dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa
melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.3 Di antara yang
mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah adanya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan imperium
bani Umayyah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian

1
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta:
LESFI, 2003), hlm. 118
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49.
3
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2009), hlm. 143.
kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij, serta kaum Mawali
(orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi).

Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah


geografis dunia islam membentang dari timur ke barat, meliputi Mesir, Sudan,
Syam, Jazirah Arab, Iraq, Parsi sampai ke Cina. Kondisi ini mengantarkan
terjadinya interaksi intensif antara daerah satu dengan daerah lainnya. Interaksi ini
memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah. Nyanyian dan
musik menjadi tren dan style kehidupan bangsawan dan pemuka istana era
Abbasiyah. Anak-anak khalifah diberikan les khusus supaya pintar dan cakap dalam
mendendangkan suara mereka. Seniman-seniman terkenal bermunculan,
diantaranya Ibrahim bin Mahdi, Ibrahim al Mosuly dan anaknya Ishaq. Lingkungan
istana berubah dan dipengaruhi nuansa Borjuis mulai dari pakaian, makanan, dan
hadirnya pelayan-pelayan wanita. Para penguasa Abbasiyah membentuk
masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi
dilakukan antara lain dengan mengadopsi sistim Administrasi dari tradisi setempat
(Persia) mengambil beberapa pegawai dan Menteri dari bangsa Persia dan
meletakan ibu kota kerajaannya, Baghdad di wilayah yang dikelilingi oleh bangsa
dan agama yang berlainan seperti bangsa Aria dan Sumit dan agama Islam, Kristen,
dan Majusi.

B. Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah


Pada zaman kekhalifahan Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang
sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin kekhalifahan
Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari
Allah SWT, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan
Umar pada zaman Khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan
Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman
kekhalifahan Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh kekhalifahan Abbasiyah I antara lain :
1. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan Mawali.
2. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
3. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
4. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
5. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan
tugasnya dalam pemerintah.

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan politik kekhalifahan Abbasiyah


sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. hal ini
dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak
menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di
daerah sudah berkuasa di daerahnya dan mereka telah mendirikan atau membentuk
pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya kekhalifahan-kekhalifahan kecil,
seperti kekhalifahan Umayyah di Andalusia atau Spanyol, kekhalifahan Fatimiyah.
Pada masa awal berdirinya kekhalifahan Abbasiyah ada dua tindakan yang
dilakukan oleh para kekhalifahan Abbasiyah untuk mengamankan dan
mempertahankan dari kemungkinan karena adanya gangguan timbulnya
pemberontakan yaitu :

1. Tindakan keras terhadap kekhalifahan Umayah .


2. Pengutamaan orang-orang keturunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, kekhalifahan Abbasiyah pada waktu itu


dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan
wizaraat .Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:

1. Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai


pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2. Wizaaratut Tafwid (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan, sedangkan Khalifah sebagai lambang saja. Pada
kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal
sebagai gubernurnya Khalifah.

Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama Diwanul Kitaabah (sekretariat negara) yang
dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan
pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-
departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul
Idary Al-Markazy.

Selain itu, pada zaman kekhalifahan Abbassiyah juga didirikan angkatan


perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama kekhalifahan ini
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan kekhalifahan


Abbasiyah menjadi lima periode yaitu :

1. Periode pertama (750–847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama


2. Periode kedua (847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama
3. Periode ketiga (945 -1055 M), masa kekuasaan kekhalifahan Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini juga disebut pengaruh Persia
kedua
4. Periode keempat (1055-1199 M), masa kekuasaan kekhalifahan Saljuk dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa
pengaruh Turki kedua
5. Periode kelima (1199-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
kekhalifahan lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Pada periode pertama pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah mencapai masa


keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu Al-Abbas, pendiri kekhalifahan ini sangat singkat,
yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari
kekhalifahan Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya
ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Al-Mansur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad,
dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan kekhalifahan Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi kekhalifahan Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua. Namun faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya
karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat
berkembang. Dalam sejarah kekuasaan kekhalifahan Abbas terlihat bahwa apabila
Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi
jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.4

C. Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi Dan Sosial


Politik

1. Politik
Kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah
masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan
peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk
menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan Wazir. Dengan
demikian, pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik
pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun
gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan
tetapi juga terjadi di kalangan elit pemerintahan.

4
Rahmat Trisnamal. Makalah Peradaban Islam Tentang Khalifah Bani Abbasiyah, Blogspot.com
<https://rahmattrisnamal.blogspot.com/2013/06/makalah-peradaban-islam-tentang.html>
[Diakses 15 Maret 2021]
Masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah memainkan peranan
yang sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti Abbasiyah pada periode
awal berdirinya dinasti ini. Disamping politik balas budi, masuknya orang-orang
Persia ke dalam jajaran penting pemerintahan Dinasti Abbasiyah dimungkinkan
karena Dinasti ini mengedepankan politik terbuka. Hal ini sangatlah berbeda
dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti Umayyah yang bersifat Arab-
Sentris.

2. Ekonomi
Perekonomian Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan dan pertanian. Di
berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah terdapat kegiatan-kegiatan industri
diantaranya, Industri kain linen di Mesir, sutra di Syiria dan irak, kertas di
Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan Kurma
dari Irak hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain.
Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina
juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara
keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia. Hubungan dagang
dengan dunia luar jazirah Arab telah membuktikan bahwa masa Abbasiyah
hubungan diplomatik dalam bidang ekonomi perdagangan sudah dibangun sebelum
orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Selain itu, perdagangan barang tambang
juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat semakin
melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Untuk mendukung kegiatan perdagangan berbagai sarana pendukung
didirikan seperti: membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang
dilewati kafilah dagang, membangun armada-armada dagang, membangun armada
pertahanan laut untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut, dan
lain-lain. Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan
perdagangan dalam dan luar negeri, karena para kafilah-kafilah dagang dapat
leluasa melintasi segala negeri, bahkan kapal-kapal dagang Abbasiyah dikenal
mampu mengarungi tujuh lautan.
Dalam bidang pengembangan perdagangan Khalifah membela dan
menghormati kaum petani, bahkan meringankan pajak hasil bumi dan ada beberapa
yang dihapuskan sama sekali. Pertanian berkembang pesat karena pemerintahannya
berada pada pemerintahan yang subur di tepi sungai Sawad. Tanaman asli terdiri
dari gandum, padi, kurma, wijen kapas dan rami. Sayuran segar sepert, kacang,
jeruk,terong, tebu dan anek ragam bunga.
Dinasti Abbasiyah juga sudah mengenal mata uang dinar. Khalifah
Abbasiyah yang pertama menerbitkan dinar adalah Abu Al-Abbas Abdullah bin
Muhammad, pada 749 M. Ia mengganti corak koin, kalimat Muhammad Rasulullah
dipakai mengganti Allah Ahad, Allah Al-Samad, lam Yalid wa lam yulad, pada sisi
belakang koin. Selama masa Abbasiyah dinar emas juga diterbitkan di Mesir dan
Damaskus dengan menggunakan kata-kata yang sama dengan gambar dan cetakan
yang ditulis dalam dinar Bani Umayyah, kecuali tanggal penerbitan. Selama masa
Abu Jafar Al-Mansur, koin baru diterbitkan di Teheran dan Provinsi-provinsi lain
(145 H). Pada koin-koin tersebut terlihat nama dan gelar putra Mahkota
(diperintahkan oleh Al-Mahdi Muhammad bin Amir Al-Mukminin).

3. Sosial
George Zaydan dalam bukunya Tamaddun al-Islam menggambarkan pada
masa Bani Abbasiyah, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelas
khusus dan kelas umum.
a. Kelas khusus terdiri dari :
1) Khalifah
2) Keluarga Khalifah, Bani Hasyim
3) Para pejabat negara
4) Para bangsawan yang bukan Bani Hasyim, yaitu Bani Quraisy
5) Para petugas khusus seperti anggota tentara dan para pegawai istana
b. Kelas Umum terdiri dari :
1) Para seniman
2) Para ulama, fuqaha dan pujangga
3) Para saudagar dan pengusaha
4) Para tukang dan petani

Namun demikian, untuk menciptakan keadilan sosial kekhalifahan Dinasti


Abbasiyah membuat kebijakan membentuk Badan Negara yang anggotanya terdiri
dari wakil semua golongan. Tugasnya untuk melayani masyarakat dari berbagai
golongan. Tidak ada perbedaan suku, kelas sosial dan agama. Di dalamnya para
wakil golongan bebas berpendapat di depan khalifah. Dalam lindungan kebijakan
ini pula, masyarakat non muslim dilindungi dan diberikan hak-haknya sebagai
warga negara. Mereka bebas melaksanakan berbagai aktivitas keagamaannya.
Bahkan beberapa orang non muslim pernah menduduki jabatan penting di
pemerintahan, seperti Gabriel bin Bakhtishu.

D. Tradisi Intelektual Dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan


Perluasan kekuasaan Islam melalui penaklukan-penaklukan secara besar-
besaran dimulai sejak masa khulafa’ al rasyidin dan dilanjutkan oleh pemerintahan
Dinasti Umayah. Dengan penaklukan-penaklukan itu, umat Islam mampu
menguasai Persia, Afganistan, sebagian India, Turkistan, Balukhisran, sebagian
Romawi Timur, Spanyol, dan lain-lain. Dengan demikian, umat Islam telah
mampu membentuk satu imperium yang besar. Sebagai kelanjutan dari berdirinya
imperium Umayyah yang kuat dan luas itu, dapat melapangkan jalan untuk
terjadinya percampuran bangsa-bangsa serta asimilasi peradaban. Orang-orang
Islam yang pada waktu itu sebagai pemegang tampuk pemerintahan mulai
terpengaruh oleh budaya-budaya negara lain dan mulai meninggalkan sebagian
cara-cara hidup mereka, sebagai akibat dari pergaulan mereka dengan orang yang
berperadaban lebih tinggi.

Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, kegiatan intelektual dan tradisi ilmiah lebih
nampak kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan di bidang-bidang lain.
Kegiatan intelektual itu sendiri, bukan langsung mengalami kemajuan begitu saja
di jaman Abbasiyah, melainkan sudah terintis dan terkait dengan sejarah
sebelumnya. Hanya saja di zaman Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan
memang mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tercatat dalam sejarah bahwa
sebelum kedatangan Islam telah terdapat berbagai pengembangan tradisi ilmiah
Yunani, India, dan Persia. Selanjutnya persentuhan itu meningkat kepada aktivitas
penerjemahan. Gerakan penerjemahan ini sebenarnya telah dimulai sejak masa
Dinasti Umayah di Damaskus.5 Hanya saja, seperti yang dinyatakan Ahmad Amin,
penerjemahan pada masa itu lebih bersifat pribadi, belum secara formal.6

Meskipun penerjemahan sudah dimulai sejak masa Dinasti Umayah, tetapi


baru mengalami kemajuan pada masa Abbasiyah, dan mencapai puncaknya di
masa khalifah Harun al-Rasyid dan putranya Al-Makmun. Al-Makmun pernah
mengirim rombongan penerjemah ke Konstantinopel, Roma, dan lain-lain untuk
menghimpun buku-buku sains dan filsafat yang belum ada pada umat Islam untuk
diterjemahkan di Baghdad.7 Sebagai urat nadi kegiatan penerjemahan itu adalah
Baitul Hikmah (Gedung Ilmu Pengetahuan), dibangun pada masa al-Makmun,
yang semula hanya merupakan perpustakaan sederhana di zaman al-Rasyid dengan
sebutan Khizanah al-Hikmah.8

Di lembaga ini buku filsafat dan sains dari berbagai bahasa diterjemahkan.
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa Bait al-Hikmah merupakan salah satu contoh
dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan
Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang saat itu,

5
Nurcholis Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 23
6
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam I, (Kairo: al-Nahdhah, 1933), hal. 271
7
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti
Pusaka, 1981), hal.10
8
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 109
dan berbagai buku terjemah dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan
Arami.9

Dari gerakan penerjemahan inilah akhirnya ilmu pengetahuan dan pendidikan


di masa Dinasti Abbasiyah berkembang dengan pesat, hingga mampu
menghasilkan ilmuwan-ilmuwan kenamaan, seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi,
al-Ghazali, dan lain-lain.

1. Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Non Formal


Sebelum lahirnya pendidikan formal seperti yang terdapat pada pemerintahan
Abbasiyah, sebenarnya sudah terdapat tempat-tempat atau lembaga pendidikan
yang sifatnya non formal. Diantara lembaga pendidikan Islam yang bercorak non
formal tersebut adalah:

a. Halaqah
Halaqah arti harfiahnya adalah perkumpulan yang melingkar. Karena itu
dalam hal ini pengkajian yang dilakukan adalah dengan duduk melingkar.
Dinamakan demikian karena guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau
bantal membelakangi tembok atau tiang dan para pelajar duduk dengan membentuk
lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatannya.
Semakin tinggi tingkatan seseorang atau pelajar, maka ia duduk paling dekat
dengan gurunya. Para pelajar seringkali melakukan perjalanan yang lama untuk
bergabung dengan lingkaran seorang guru yang ternama, atau berpindah dari satu
lingkaran ke lingkaran lainnya. Kadang-kadang melakukan perjalanan ke kota-kota
yang jauh untuk menyerap suatu ilmu dari seorang cendekiawan, kemudian
berpindah ke cendekiawan lainnya.
Bentuk tempat pendidikan ini oleh Mehdi Nakosteen dikatakan sebagai
bentuk yang sederhana dalam pendidikan Islam pada masa awal.10

9
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj.), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hal. 92-93
10
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 60
b. Maktab atau Kuttab
Maktab atau Kuttab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi maktab atau kuttab berarti tempat belajar menulis. Munculnya
lembaga kuttab ini kalau ditelusuri, akan sampai pada zaman Rasulullah, atau
mungkin bahkan sebelum datangnya Islam, kuttab ini telah ada di negeri Arab.11
Maktab ini merupakan tempat untuk memperoleh pendidikan dasar. Pada masa
awal Islam hampir di semua kota dan desa, materi yang diberikan sekitar persoalan
menulis dan membaca serta mengajarkan pokok-pokok ajaran agama.
Kurikulumnya berbeda-beda disesuaikan dengan sosial-budaya serta latar belakang
setempat.
c. Toko-Toko Kitab
Saudagar-saudagar buku di jaman dinasti Abbasiyah, bukanlah orang-orang
yang semata-mata mencari keuntungan dan laba saja. Akan tetapi kebanyakan
mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas yang telah memiliki usaha sebagai
pedagang kitab, agar mereka mendapat kesempatan untuk membaca dan menelaah
serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. Dengan demikian toko-toko kitab
itu akhirnya berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual dan
membeli buku saja, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga,
dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran
dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga
pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
d. Rumah-Rumah Para Ulama
Dipergunakannya rumah para ulama tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah
karena terpaksa dalam keadaan darurat. Misalnya rumah al-Ghazali setelah tidak
mengajar lagi di madrasah Nizamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar
datang ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan, terutama karena
pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Selain rumah al-Ghazali
adalah rumah milik Ali ibn Muhammad al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang
syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Nizamiyah, lalu mengajar di rumahnya

11
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 89
sendiri. Ulama-ulama itu dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan, maka
kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi rumahnya untuk meneruskan
pelajaran.12
Di antara rumah para ulama yang terkenal menjadi tempat belajar adalah
rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali ibn Muhammad al-Fasihi, Ya’kub bin Killis, wazir
khalifah al-Aziz Billah al-Fatimy, dan lain-lain.
e. Rumah Sakit
Pada zaman kejayaan Islam, rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai
tempat merawat orang-orang sakit saja, tetapi juga untuk mendidik tenaga yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai
penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga
berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Karena itu rumah
sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
f. Perpustakaan
Ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang di dunia Islam, peran
perpustakaan Islam sudah terasa penting. Karena itu perpustakaan yang sifatnya
umum diselenggarakan oleh pemerintah atau waqaf dari para ulama dan sarjana.
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya itu dikatakan
sedah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan
sumber pengembangan ilmu pengetahuan.
g. Masjid
Tempat pendidikan muslim yang paling khas dan bertahan paling lama adalah
di masjid. Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan
perkembangannya yang luar biasa, tradisi belajar di masjid selalu turut
menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu sedikit demi
sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tapi juga
sebagai pusat penngajaran bagi kaum muda.13

12
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 73-74
13
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 22-23
Lembaga-lembaga pendidikan non-formal itu meskipun tidak seluruhnya
masih tetap berlangsung hingga kejayaan Islam di masa Abbasiyah. Lembaga-
lembaga tersebut merespon perkembangan ilmu pengetahuan di samping
melaksanakan tugas utamanya yaitu untuk mewariskan pengetahuan-pengetahuan
agama pada generasi muslim selanjutnya. Bahkan sampai lahirnya lembaga-
lembaga pendidikan formal pun, sebagian sarana pendidikan yang bercorak non-
formal itu tetap masih ada.

2. Lembaga-Lembaga Pendidikan Formal dan Materi yang Diberikan


Bersamaan dengan majunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan di masa
dinasti Abbasiyah, lahir pulalah pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah.
Sebenarnya timbulnya lembaga pendidikan formal dalam dunia Islam itu
merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan pendidikan
yang telah berlangsung di masjid yang sejak awal telah berkembang dan dilengkapi
dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pengajaran di
dalamnya.

Di antara faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya sekolah-sekolah


formal itu antara lain14:

a. Halaqah-halaqah yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di


dalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain
saling mengganggu, di samping sering pula mengganggu orang yang beribadat
di dalam masjid. Keadaan demikian mendorong untuk dipindahkannya
halaqah-halaqah tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah
bangunan-bangunan sebagai ruang belajar atau kelas-kelas tersendiri.
b. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan, baik mengenai
ilmu pengetahuan keagamaan maupun umum, maka diperlukan semakin
banyaknya halaqah-halaqah yang tidak mungkin keseluruhannya tertampung
dalam ruang masjid.

14
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 100
Lembaga-lembaga pendidikan formal yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Sekolah-sekolah Rendah (Kuttab)

Pada permulaan masa Abbasiyah dan masa selanjutnya, terdapat banyak


kuttab dan guru-guru yang mengajar. Keberadaan kuttab formal pada masa
Abbasiyah ini merupakan upaya memperkuat status kuttab yang telah ada
sebelumnya, dengan memperbaiki sarananya atau membangun kuttab baru yang
bersifat formal. Adapun materi yang diberikan pada pengajaran sekolah-sekolah
rendah (kuttab) ini secara umum sebagai berikut:

1) Membaca Al-Qur’an dan menghafalnya.


2) Pokok-pokok agama Islam, seperti cara berwudhu, shalat, puasa, dsb.
3) Menulis
4) Kisah (riwayat orang-orang besar Islam)
5) Membaca dan menghafal syair-syair atau natsar-natsar (prosa).
6) Berhitung
7) Pokok-pokok nahwu dan sharaf.

Materi yang diberikan di masing-masing wilayah tu berbeda-beda, tergantung


pada sosial budaya serta latar belakang wilayahnya. Di Maroko, pada anak-anak
hanya diajarkan al-Qur’an saja serta dipentingkan tulisannya, serta tidak
dicampurkan dengan materi lain seperti hadis, fiqh, syair atau natsar. Di Tunisia,
dicampurkan pelajaran al-Qur’an, hadis, dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi
menghafal al-Qur’an sangat dipentingkan. Di Irak dan sekitarnya dipentingkan
pelajaran al-Qur’an dan bermacammacam ilmu serta kaidah-kaidahnya. Tetapi
tidak dipentingkan tulisan indah pada kuttab, hanya cukup tulisan sederhana.
Meskipun materi yang diberikan di masing-masing wilayah berbeda-beda, tetapi
pada umumnya materi yang diberikan itu memiliki kesamaan-kesamaan.

b. Sekolah Tingkat Menengah

Selain sekolah tingkat rendah, terdapat pula sekolah tingkat menengah.


Sekolah tingkat menengah ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan
sekolah kuttab. Seperti halnya kuttab, di sekolah tingkat menengah ini juga tidak
ada keseragaman dalam hal materi di seluruh negara Islam. Pada umumnya materi
pelajaran yang diberikan adalah15:
1) Al-Qur’an
2) Bahasa Arab dan kesusastraannya
3) Fiqh
4) Tafsir
5) Hadis
6) Nahwu/Sharaf/Balaghah
7) Ilmu-ilmu pasti
8) Mantiq
9) Falak
10) Tarikh
11) Ilmu-ilmu alam
12) Kedokteran
13) Musik

c. Sekolah Tingkat Tinggi

Sebagai kelanjutan dari kemajuan Islam di bidang pendidikan, maka selain


terdapat sekolah tingkat rendah dan sekolah tingkat menengah, terdapat juga
sekolah tingkat tinggi. Materi pelajaran pada sekolah tingkat tinggi ini seperti
halnya dua sekolah di bawahnya, tidak mempunyai keseragaman di seluruh dunia
Islam. Bahkan berbeda-beda pula sesuai dengan perubahan masa dan keadaan.
Akan tetapi materi umumnya dibagi menjadi dua jurusan, yaitu16:

Ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya, yang juga disebut
dengan ilmu naqliyah, yang meliputi:

a) Tafsir al-Qur’an
b) Hadis

15
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 103
16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 57; lihat juga Zuhairini et.al., Sejarah
Pendidikan Islam…, hal. 104-105
c) Fiqh dan Ushul Fiqh
d) Nahwu/Sharaf
e) Balaghah
f) Bahasa dan sastra Arab

Ilmu-ilmu hikmah (filsafat) yang juga disebut ilmu aqliyah, yang meliputi:

a) Mantiq
b) Ilmu-ilmu alam dan Kimia
c) Musik
d) Ilmu pasti
e) Ilmu ukur
f) Falak
g) Ilmu hewan
h) Ilahiyah (ketuhanan)
i) Ilmu tumbuh-tumbuhan
j) Kedokteran

Materi-materi di atas banyak dikembangkan oleh para ilmuwan pada saat


Abbasiyah maju setelah mengadakan gerakan penerjemahan secara besar-besaran
terhadap karya-karya ilmuwan terutama ilmuwan-ilmuwan Yunani, Persia, dan
India. Masyarakat Islam di masa Abbasiyah sangat apresiatif terhadap ilmu
pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan dapat sedemikian maju. Keadaan yang
semacam ini nampaknya berpengaruh terhadap dunia pendidikan terutama pada
materi-materi yang diberikannya.

d. Sekilas tentang Universitas Nizamiyah dan Mustansiriyyah

Pada saat Dinasti Abbasiyah berjaya dalam ilmu pengetahuan dan


kebudayaan, lahirlah suatu universitas yang sangat terkenal. Universitas itu adalah
universitas Nizamiyah. diberi nama Nizamiyah sesuai nama pendirinya. Nizamul
Mulk menyediakan angaran yang sangat besar untuk menggaji para pengajar dan
untuk menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal bagi para
mahasiswanya.17 Lembaga pendidikan tinggi ini mempunyai guru besar yang
disebut ustadz atau mudarris, dan masing-masing memiliki seorang asisten yang
disebut mu’id yang mengulangi kata-kata yang diucapkan guru besar yang
dibantunya. Disamping staf pengajar, terdapat banyak pegawai dan pustakawan,
imam shalat dan petugas pendaftaran. Lembaga pendidikan ini memiliki
perpustakaan yang bagus dan masjid yang besar.18

Kuliah pertama sering diikuti oleh pejabat tinggi dan kadang-kadang setelah
kuliah selesai diberikan acara-acara hiburan. Guru besar biasanya menyampaikan
kuliahnya dengan jelas, kemudian kata-katanya diulangi oleh asistennya sehingga
para mahasiswa berkesempatan untuk mencatatnya. Pada umumnya para pengajar
di Nizamiyah adalah para sarjana berbobot, orang-orang yang berbudi pekerti luhur
dan berkaliber tinggi. Mereka secara ikhlas membimbing mahasiswanya. Mereka
terkenal karena kesalehannya, kesederhanaannya, kerajinannya, kebaikan hatinya
serta kejujurannya.

Sedangkan mengenai unversitas Mustansiriyah adalah universitas yang


dibangun oleh khalifah al-Mustanshir di Baghdad pada abad XIII M. Universitas
ini merupakan universitas terindah di dunia Islam. Di dalamnya terdapat Iwan
(tempat khusus) bagi tiap mazhab yang empat, dan untuk setiap mazhab disediakan
seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar 75 orang pelajar secara gratis dan
setiap guru diberi gaji bulanan, dan setiap pengajar memperoleh sebuah dinar emas
tiap bulan.

Ibn al-Furat mengatakan bahwa di sana disediakan perpustakaan yang besar


yang melengkapi berbagai cabang ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini diatur
sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi para pelajar untuk membaca apa yang
disukainya, juga dilengkapi dengan alat-alat tulis, yang terdiri dari tinta dan kertas.

17
Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989) hal. 45
18
Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington DC: t.p., 1962), hal. 20
Eksistensi ilmu pengetahuan dan sains di masa Dinasti Abbasiyah tidak dapat
dilepaskan dari peran aktif dan kesadaran dari para khalifah, khusunya Al-Mansur,
khalifah Harun Ar-Rasyid dan khalifah Al-Makmun, yang sangat mencurahkan
perhatian mereka pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
filsafat di zaman mereka.38 Kemajuan dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu
pengetahuan yang monumental ini tidak bisa dipisahkan dari adanya gerakan
penerjemah buku-buku asing dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh khalifah
Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun.

Berkat gerakan penerjemah inilah ilmu pengetahuan Islam mengalami


peradaban yang sangat besar, hingga sampai saat ini karya-karya dari para ilmuan
muslim baik dalam bidang kedokteran, filsafat, astronomi dan bidang sains lainnya
diabadikan dan tercatat dalam buku sejarah sumbangan Islam kepada ilmu dan
peradaban modern. Bukan hanya menjadi sebuah buku bacaan namun dalam praktik
dan keilmuannya, karya-karya keilmuan tersebut diakui dan sudah nyata
difungsikan serta diterapkan dalam kehidupan baik itu di Timur maupun di Barat,
maka pantaslah jika gerakan penerjemah disebut sebagai masa kejayaan, dengan
tidak melupakan tokoh-tokoh yang sudah ikut andil dalam proses penerjemahan
buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab.

Selain itu dari hasil penerjemahan yang dilakukan, kemudian membuat


uraian-uraian beserta melakukan penyempurnaan untuk membuat karya-karya baru,
namun tetap disesuaikan dengan latar belakang keilmuan dan agama Islam. Dengan
adanya gerakan penerjemah ini, umat Islam juga seperti mendapatkan udara segar
kembali dan pencerahan akan keilmuan-keilmuan baru yang mulai dikenalnya
untuk kemudian dikembangkan.

Dinasti Abbasiyah dengan cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan


ilmu dan peradaban yang menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor
yaitu menggeliatnya gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan
sistematisasi ilmu-ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan
(harakat al-tarjamah) secara masif. Demikianlah kurang lebih gambaran mengenai
tradisi intelektual dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah,
masa-masa maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Lembaga-lembaga di atas serta materi-materi yang diberikan, kalau diperhatikan
seperti mampu mengikuti kondisi perkembangan zaman. Sehingga materinya pun
adalah materi-materi yang diperlukan saat itu. Hal itu penting untuk dilakukan
dalam rangka pelaksanaan dinamisasi pendidikan yang merupakan salah satu
prinsip pendidikan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja
para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Abbasiyah dengan
cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang
menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya
gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-
ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-
tarjamah) secara masif.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung, dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga


Modern. Yogyakarta: LESFI, 2003

Amin, Ahmad. Dhuha al-Islam I, Kairo: al-Nahdhah, 1933.


Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Bandung: Mizan, 1994.
Bilgrami, Hamid Hasan dan Sayid Ali Asyraf. Konsep Universitas Islam,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989
Dodge, Bayard. Muslim Education in Medievel Times, Washington DC: t.p., 1962.
Intan, Salmah. Kontribusi dinasti Abbasiyah Bidang Ilmu Pengetahuan. Jurnal
Rihlah Vol. 6 No.2 tahun 2018.
al-Jumbulati, Ali. Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Karim, Muhammad Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher, 2009
Madjid (Ed.), Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1984.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Poeradisastra, S.I., Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern,
Jakarta: Girimukti Pusaka, 1981.
Syalabi, Ahmad. Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj), Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Trisnamal, Rahmat. Makalah Peradaban Islam Tentang Khalifah Bani Abbasiyah,
Blogspot.com<https://rahmattrisnamal.blogspot.com/2013/06/makalah
peradaban-islam-tentang.html>, 2013. [Diakses 15 Maret 2021]
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2002.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hadikarya Agung, 1989.
Zuhairini et al., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Anda mungkin juga menyukai