Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah “Sejarah
Peradaban Islam”
Dosen Pengampu :
Dra. Hermawati, MA
Disusun Oleh :
Dalam kesempatan ini tak lupa kami menyampaikan terima kasih tentunya
makalah ini tidak lepas dari dukungan Dosen pembimbing mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Kami menyadari bahwa dalam penulisan laporan pengujian
produk ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan
makalah ini. Makalah ini di susun dengan tujuan, dapat memberikan informasi dan
pembelajaran bagi semua.
Penyusun,
Kelompok 2
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
ISI ............................................................................................................................ 6
PENUTUP ............................................................................................................. 25
A. Kesimpulan ................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peradaban islam mengalami puncak kejayaan pada masa daulah Abbasiyah.
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju yang diawali dengan penerjemahan
naskah asing terutama yang berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian
pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan dan terbentuknya mazhab ilmu
pengetahuan dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berfikir. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan
kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini
adalah keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah al-Saffah Ibn Muhammad Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn al-
Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi
Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah
berlangsung dari tahun 750-12 Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh
negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala
pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan
Marwan Ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah) yang akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria,berakhirlah riwayat Dinasti
Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah, Pada
masa inilah masa kejayaan Islam yang mengalami puncak keemasan pada masa itu
berbagai kemajuan dalam segala bidang mengalami peningkatan seperti bidang
pendidikan, ekonomi, politik dan sistem pemerintahannya.
B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah.
2. Untuk Mengetahui Masa Pemerintahan Para Khalifah Abbasiyah.
3. Untuk Mengetahui Kemajuan Peradaban Dalam Bidang : Politik, Ekonomi,
dan Sosial.
4. Untuk Mengetahui Tradisi Intelektual dan Kemajuan Ilmu Pengetahuan
BAB II
ISI
Orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas
kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara
nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayyah secara
paksa menguasai khilafah melalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk
mendirikan dinasti Abbasiyah, mereka mengadakan gerakan yang luar biasa
melakukan pemberontakan terhadap dinasti Umayyah.3 Di antara yang
mempengaruhi berdirinya khilafah bani Abbasiyah adalah adanya beberapa
kelompok umat yang sudah tidak mendukung lagi terhadap kekuasaan imperium
bani Umayyah yang notabenenya korupsi, sekuler dan memihak sebagian
1
Dudung Abdurrahman dkk. Sejarah Peradaban Islam: Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta:
LESFI, 2003), hlm. 118
2
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 49.
3
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2009), hlm. 143.
kelompok diantaranya adalah kelompok Syiah dan Khawarij, serta kaum Mawali
(orang-orang yang baru masuk islam yang mayoritas dari Persi).
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama Diwanul Kitaabah (sekretariat negara) yang
dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan
pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-
departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan An-Nidhamul
Idary Al-Markazy.
1. Politik
Kemajuan politik yang terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah
masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah memberikan
peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan Persia untuk
menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan Wazir. Dengan
demikian, pengaruh Persia semakin signifikan dalam tatanan kehidupan politik
pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend-setter, baik pemikiran maupun
gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan masyarakat awam, akan
tetapi juga terjadi di kalangan elit pemerintahan.
4
Rahmat Trisnamal. Makalah Peradaban Islam Tentang Khalifah Bani Abbasiyah, Blogspot.com
<https://rahmattrisnamal.blogspot.com/2013/06/makalah-peradaban-islam-tentang.html>
[Diakses 15 Maret 2021]
Masuknya orang-orang Persia ke dalam jajaran pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, tidak dapat dipungkiri karena mereka juga telah memainkan peranan
yang sangat penting dalam menegakkan eksistensi Dinasti Abbasiyah pada periode
awal berdirinya dinasti ini. Disamping politik balas budi, masuknya orang-orang
Persia ke dalam jajaran penting pemerintahan Dinasti Abbasiyah dimungkinkan
karena Dinasti ini mengedepankan politik terbuka. Hal ini sangatlah berbeda
dengan apa yang selalu dipraktekkan oleh Dinasti Umayyah yang bersifat Arab-
Sentris.
2. Ekonomi
Perekonomian Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan dan pertanian. Di
berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyah terdapat kegiatan-kegiatan industri
diantaranya, Industri kain linen di Mesir, sutra di Syiria dan irak, kertas di
Samarkand, serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari Mesir dan Kurma
dari Irak hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain.
Secara bersamaan dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina
juga mengalami masa puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara
keduanya menambah semaraknya kegiatan perdagangan dunia. Hubungan dagang
dengan dunia luar jazirah Arab telah membuktikan bahwa masa Abbasiyah
hubungan diplomatik dalam bidang ekonomi perdagangan sudah dibangun sebelum
orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Selain itu, perdagangan barang tambang
juga semarak. Emas yang ditambang dari Nubia dan Sudan Barat semakin
melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Untuk mendukung kegiatan perdagangan berbagai sarana pendukung
didirikan seperti: membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang
dilewati kafilah dagang, membangun armada-armada dagang, membangun armada
pertahanan laut untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut, dan
lain-lain. Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan
perdagangan dalam dan luar negeri, karena para kafilah-kafilah dagang dapat
leluasa melintasi segala negeri, bahkan kapal-kapal dagang Abbasiyah dikenal
mampu mengarungi tujuh lautan.
Dalam bidang pengembangan perdagangan Khalifah membela dan
menghormati kaum petani, bahkan meringankan pajak hasil bumi dan ada beberapa
yang dihapuskan sama sekali. Pertanian berkembang pesat karena pemerintahannya
berada pada pemerintahan yang subur di tepi sungai Sawad. Tanaman asli terdiri
dari gandum, padi, kurma, wijen kapas dan rami. Sayuran segar sepert, kacang,
jeruk,terong, tebu dan anek ragam bunga.
Dinasti Abbasiyah juga sudah mengenal mata uang dinar. Khalifah
Abbasiyah yang pertama menerbitkan dinar adalah Abu Al-Abbas Abdullah bin
Muhammad, pada 749 M. Ia mengganti corak koin, kalimat Muhammad Rasulullah
dipakai mengganti Allah Ahad, Allah Al-Samad, lam Yalid wa lam yulad, pada sisi
belakang koin. Selama masa Abbasiyah dinar emas juga diterbitkan di Mesir dan
Damaskus dengan menggunakan kata-kata yang sama dengan gambar dan cetakan
yang ditulis dalam dinar Bani Umayyah, kecuali tanggal penerbitan. Selama masa
Abu Jafar Al-Mansur, koin baru diterbitkan di Teheran dan Provinsi-provinsi lain
(145 H). Pada koin-koin tersebut terlihat nama dan gelar putra Mahkota
(diperintahkan oleh Al-Mahdi Muhammad bin Amir Al-Mukminin).
3. Sosial
George Zaydan dalam bukunya Tamaddun al-Islam menggambarkan pada
masa Bani Abbasiyah, masyarakat terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelas
khusus dan kelas umum.
a. Kelas khusus terdiri dari :
1) Khalifah
2) Keluarga Khalifah, Bani Hasyim
3) Para pejabat negara
4) Para bangsawan yang bukan Bani Hasyim, yaitu Bani Quraisy
5) Para petugas khusus seperti anggota tentara dan para pegawai istana
b. Kelas Umum terdiri dari :
1) Para seniman
2) Para ulama, fuqaha dan pujangga
3) Para saudagar dan pengusaha
4) Para tukang dan petani
Dalam sejarah Dinasti Abbasiyah, kegiatan intelektual dan tradisi ilmiah lebih
nampak kemajuannya dibandingkan dengan kemajuan di bidang-bidang lain.
Kegiatan intelektual itu sendiri, bukan langsung mengalami kemajuan begitu saja
di jaman Abbasiyah, melainkan sudah terintis dan terkait dengan sejarah
sebelumnya. Hanya saja di zaman Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan pendidikan
memang mendapatkan apresiasi yang tinggi. Tercatat dalam sejarah bahwa
sebelum kedatangan Islam telah terdapat berbagai pengembangan tradisi ilmiah
Yunani, India, dan Persia. Selanjutnya persentuhan itu meningkat kepada aktivitas
penerjemahan. Gerakan penerjemahan ini sebenarnya telah dimulai sejak masa
Dinasti Umayah di Damaskus.5 Hanya saja, seperti yang dinyatakan Ahmad Amin,
penerjemahan pada masa itu lebih bersifat pribadi, belum secara formal.6
Di lembaga ini buku filsafat dan sains dari berbagai bahasa diterjemahkan.
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa Bait al-Hikmah merupakan salah satu contoh
dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang berisi ilmu-ilmu agama Islam dan
Bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang saat itu,
5
Nurcholis Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 23
6
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam I, (Kairo: al-Nahdhah, 1933), hal. 271
7
S.I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (Jakarta: Girimukti
Pusaka, 1981), hal.10
8
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 109
dan berbagai buku terjemah dari bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan
Arami.9
a. Halaqah
Halaqah arti harfiahnya adalah perkumpulan yang melingkar. Karena itu
dalam hal ini pengkajian yang dilakukan adalah dengan duduk melingkar.
Dinamakan demikian karena guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau
bantal membelakangi tembok atau tiang dan para pelajar duduk dengan membentuk
lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut dibentuk menurut tingkatannya.
Semakin tinggi tingkatan seseorang atau pelajar, maka ia duduk paling dekat
dengan gurunya. Para pelajar seringkali melakukan perjalanan yang lama untuk
bergabung dengan lingkaran seorang guru yang ternama, atau berpindah dari satu
lingkaran ke lingkaran lainnya. Kadang-kadang melakukan perjalanan ke kota-kota
yang jauh untuk menyerap suatu ilmu dari seorang cendekiawan, kemudian
berpindah ke cendekiawan lainnya.
Bentuk tempat pendidikan ini oleh Mehdi Nakosteen dikatakan sebagai
bentuk yang sederhana dalam pendidikan Islam pada masa awal.10
9
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Mukhtar Yahya (terj.), (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hal. 92-93
10
Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad
Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 60
b. Maktab atau Kuttab
Maktab atau Kuttab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi maktab atau kuttab berarti tempat belajar menulis. Munculnya
lembaga kuttab ini kalau ditelusuri, akan sampai pada zaman Rasulullah, atau
mungkin bahkan sebelum datangnya Islam, kuttab ini telah ada di negeri Arab.11
Maktab ini merupakan tempat untuk memperoleh pendidikan dasar. Pada masa
awal Islam hampir di semua kota dan desa, materi yang diberikan sekitar persoalan
menulis dan membaca serta mengajarkan pokok-pokok ajaran agama.
Kurikulumnya berbeda-beda disesuaikan dengan sosial-budaya serta latar belakang
setempat.
c. Toko-Toko Kitab
Saudagar-saudagar buku di jaman dinasti Abbasiyah, bukanlah orang-orang
yang semata-mata mencari keuntungan dan laba saja. Akan tetapi kebanyakan
mereka adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas yang telah memiliki usaha sebagai
pedagang kitab, agar mereka mendapat kesempatan untuk membaca dan menelaah
serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. Dengan demikian toko-toko kitab
itu akhirnya berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjual dan
membeli buku saja, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga,
dan para ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran
dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi juga sebagai lembaga
pendidikan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
d. Rumah-Rumah Para Ulama
Dipergunakannya rumah para ulama tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah
karena terpaksa dalam keadaan darurat. Misalnya rumah al-Ghazali setelah tidak
mengajar lagi di madrasah Nizamiyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar
datang ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan, terutama karena
pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Selain rumah al-Ghazali
adalah rumah milik Ali ibn Muhammad al-Fasihi, yang dituduh sebagai seorang
syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di Nizamiyah, lalu mengajar di rumahnya
11
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 89
sendiri. Ulama-ulama itu dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan, maka
kelompok-kelompok pelajar tetap mengunjungi rumahnya untuk meneruskan
pelajaran.12
Di antara rumah para ulama yang terkenal menjadi tempat belajar adalah
rumah Ibn Sina, al-Ghazali, Ali ibn Muhammad al-Fasihi, Ya’kub bin Killis, wazir
khalifah al-Aziz Billah al-Fatimy, dan lain-lain.
e. Rumah Sakit
Pada zaman kejayaan Islam, rumah sakit bukan hanya berfungsi sebagai
tempat merawat orang-orang sakit saja, tetapi juga untuk mendidik tenaga yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai
penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga
berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Karena itu rumah
sakit dalam dunia Islam, juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
f. Perpustakaan
Ketika ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang di dunia Islam, peran
perpustakaan Islam sudah terasa penting. Karena itu perpustakaan yang sifatnya
umum diselenggarakan oleh pemerintah atau waqaf dari para ulama dan sarjana.
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya itu dikatakan
sedah menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan
sumber pengembangan ilmu pengetahuan.
g. Masjid
Tempat pendidikan muslim yang paling khas dan bertahan paling lama adalah
di masjid. Di mana saja Islam tersebar pada abad pertama dengan
perkembangannya yang luar biasa, tradisi belajar di masjid selalu turut
menyertainya. Dengan demikian, wajarlah apabila khalifah terdahulu sedikit demi
sedikit melihat pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tapi juga
sebagai pusat penngajaran bagi kaum muda.13
12
Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 73-74
13
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 22-23
Lembaga-lembaga pendidikan non-formal itu meskipun tidak seluruhnya
masih tetap berlangsung hingga kejayaan Islam di masa Abbasiyah. Lembaga-
lembaga tersebut merespon perkembangan ilmu pengetahuan di samping
melaksanakan tugas utamanya yaitu untuk mewariskan pengetahuan-pengetahuan
agama pada generasi muslim selanjutnya. Bahkan sampai lahirnya lembaga-
lembaga pendidikan formal pun, sebagian sarana pendidikan yang bercorak non-
formal itu tetap masih ada.
14
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 100
Lembaga-lembaga pendidikan formal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya, yang juga disebut
dengan ilmu naqliyah, yang meliputi:
a) Tafsir al-Qur’an
b) Hadis
15
Zuhairini et.al., Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 103
16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 57; lihat juga Zuhairini et.al., Sejarah
Pendidikan Islam…, hal. 104-105
c) Fiqh dan Ushul Fiqh
d) Nahwu/Sharaf
e) Balaghah
f) Bahasa dan sastra Arab
Ilmu-ilmu hikmah (filsafat) yang juga disebut ilmu aqliyah, yang meliputi:
a) Mantiq
b) Ilmu-ilmu alam dan Kimia
c) Musik
d) Ilmu pasti
e) Ilmu ukur
f) Falak
g) Ilmu hewan
h) Ilahiyah (ketuhanan)
i) Ilmu tumbuh-tumbuhan
j) Kedokteran
Kuliah pertama sering diikuti oleh pejabat tinggi dan kadang-kadang setelah
kuliah selesai diberikan acara-acara hiburan. Guru besar biasanya menyampaikan
kuliahnya dengan jelas, kemudian kata-katanya diulangi oleh asistennya sehingga
para mahasiswa berkesempatan untuk mencatatnya. Pada umumnya para pengajar
di Nizamiyah adalah para sarjana berbobot, orang-orang yang berbudi pekerti luhur
dan berkaliber tinggi. Mereka secara ikhlas membimbing mahasiswanya. Mereka
terkenal karena kesalehannya, kesederhanaannya, kerajinannya, kebaikan hatinya
serta kejujurannya.
17
Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989) hal. 45
18
Bayard Dodge, Muslim Education in Medievel Times, (Washington DC: t.p., 1962), hal. 20
Eksistensi ilmu pengetahuan dan sains di masa Dinasti Abbasiyah tidak dapat
dilepaskan dari peran aktif dan kesadaran dari para khalifah, khusunya Al-Mansur,
khalifah Harun Ar-Rasyid dan khalifah Al-Makmun, yang sangat mencurahkan
perhatian mereka pada pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
filsafat di zaman mereka.38 Kemajuan dinasti Abbasiyah dalam bidang ilmu
pengetahuan yang monumental ini tidak bisa dipisahkan dari adanya gerakan
penerjemah buku-buku asing dan lembaga pendidikan yang didirikan oleh khalifah
Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam
mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja
para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah
melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinasti Abbasiyah dengan
cepat telah mampu menciptakan sebuah kemajuan ilmu dan peradaban yang
menurut Dr. Ahmad Shalabi terwujud dalam tiga sektor yaitu menggeliatnya
gerakan penulisan buku (harakat al-tasnīf), kodifikasi dan sistematisasi ilmu-
ilmu keislaman, serta menjamurnya gerakan penerjemahan (harakat al-
tarjamah) secara masif.
DAFTAR PUSTAKA