Anda di halaman 1dari 9

Diskusikanlah :

1. Bagaimana konsep (termasuk penggolongannya) harta benda perkawinan

menurut hukum adat Bali?

Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, :

1. Harta bersama, adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.

2. Harta bawaan, adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam

perkawinan.

3. Harta perolehan, adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri

sebagai hadiah atau warisan.

Dalam hukum adat Bali, warisan tidak saja bewujud benda-benda seperti

harta keluarga tetapi juga hak - hak kemasyarakatan seperti hak atas tanah karang

desa, hak memanfaakan kuburan dan hak untuk bersembahyang di pura Kahyangan

Desa dan lain-lainnya. Dengan adanya hak-hak yang diterimanya tentunya

dibarengin dengan kewajiban-kewajiban yang melekat sebagai akibat diterimanya

hak-hak tersebut. Harta warisan keluarga yang berwujud benda dapat digolongan

sebagai berikut :1

a. Tetamian (harta pusaka), yaitu berupa harta yang diperoleh karena

pewarisan secara turun temurun yang meliputi harta yang tidak dapat

dibagi-bagi yakni harta yang mempunyai nilai religius seperti tempat

persembah yangan keluarga (sanggah/merajan) dan lain - lainnya dan

1
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, hal. 115.
tetamian yang dapat dibagi-bagi yaitu harta warisan yang tidak

mempunyai nilai religius seperti sawah, ladang, dan lain-lainnya.

b. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri yang

dibawa masuk ke dalam perkawinan baik yang diperoleh karena

usahanya sendiri (sekaya) maupun pemberian/hibah (jiwadana).

c. Pegunakaya/gunakaya, yaitu harta yang diperoleh suami istri selama

perkawinan berlangsung.

Harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, sedangkam

harta bawaan dan harta hadiah atau warisan diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU

Perkawinan. Menurut I Ketut Sudantra, dalam hukum adat Bali golongan harta

bersama lazim disebut pegunakaya atau gunakaya; sedangkan untuk harta bawaan

disebut dengan istilah-istilah berbeda tergantung asal atau cara perolehan harta

bawaan tersebut. Apabila harta bawaan tersebut berasal dari hasil usaha suami atau

istri tersebut sebelum kawin, disebut sekaya; sedangkan apabila diperoleh dari p

emberian orang tua untuk dibawa ke dalam perkawinan, disebut jiwadana. Kedua

jenis harta bawaan ini lazim disebut tetatadan. Harta benda perkawinan yang

dioperoleh karena pewarisan, dalam hukum adat Bali disebut tetamian. 2

Dalam Undang-Undang Perkawinan kedudukan harta-harta tersebut di atas

selama perkawinan berlangsung sudah diatur cukup jelas. Menurut Pasal 35 ayat

(2) dan Pasal 36 ayat (1), harta-harta yang tergolong sebagai harta bawaan, harta

hadiah atau harta warisan berada dalam kekuasaan masing-masing suami atau istri

2
I Ketut Sudantra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press,
Denpasar, hal. 28.
sehingga suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan

hukum apapun terhadap harta bendanya itu. Hal berbeda berlaku terhadap harta

bersama. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) harta bersama dikuasai oleh suami dan istri

secara bersama-sama sehingga apabila salah satu pihak (suami atau istri)

melakukan perbuatan hukum terdadap harta tersebut, seperti misalnya menjual,

menyewakan, menggadaikan; maka harus berdasarkan persetujuan bersama suami

dan istri

2. Bagaimana kedudukan harta-harta tersebut angka 1 selama perkawinan

berlangsung dan apabila perkawinan putus karena perceraian, baik menurut

hukum adat Bali maupun yurisprudensi?

Selama Perkawinan Berlangsung

Mengacu kepada golongan-golongan harta benda perkawinan sebab sumber

(asal) harta dan penguasaan harta tersebut selama perkawinan berlangsung adalah

berbeda Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur bahwa “mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Dari ketentuan-ketentuan tersebut

secara yuridis formal kedudukan dan peranan yang dapat dilakukan oleh suami dan

istri terhadap harta bersama adalah seimbang. Jelas sekali ditegaskan bahwa,

(semua) harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, tanpa

mempersoalkan pihak manakah yang memberikan kontribusi secara nyata terhadap

pembentukan harta tersebut. Walaupun pencari nafkah dalam keluarga hanya suami
dan istri hanya mengurus rumah, secara yuridis kedua pihak dianggap mempunyai

kontribusi yang sama terhadap pembentukan harta benda perkawinan.

Harta Perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah

menjadi empat macam sebagai berikut :3

1. Pertama, Harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau

hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan;

2. Kedua, Harta yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas

jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan;

3. Ketiga, Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri

sebagai milik bersama dan;

4. Keempat, Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada

waktu pernikahan.

Apabila Perkawinan Putus Karena Perceraian

Apabila mengacu kepada Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (1) maka dapat

ditafsirkan bahwa apabila terjadi perceraian, kedudukan suami dan istri terhadap

harta bawaan, harta hadiah dan harta warisan adalah tetap adanya, yaitu suami dan

istri masing-masing tetap menguasai hartanya itu. Dilihat dari Pasal 37 Undang-

Undang Perkawinan menjelaskan “bila perkawinan putus karena perceraian, harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Kemudian penjelasan Pasal 37

Undang-Undang Perkawinan ini menjelaskan “yang dimaksud dengan "hukumnya"

masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya”.

3
Muhammad Isna Wahyudi, 2006, Harta Bersama, Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan,
Makalah Calon Hakim Agung RI, hal. 2.
Dilihat dari perspektif UU Perkawinan, tidak logis apabila pengaturan harta-harta

tersebut selama perkawinan berlangsung berbeda dengan pengaturan setelah

perkawinan putus karena perceraian. Terhadap harta bersama, sebagaimana

disebutkan di atas, Undang-Undang Perkawinan menyerahkan pengaturannnya

kepada hukumnya masing-masing. Khusus untuk masyarakat adat Bali, yang

dimaksud sebagai “hukumnya masing-masing” itu adalah hukum adat Bali yang

dijiwai oleh agama Hindu.

Kedudukan suami istri terhadap harta bersama (pegunakaya) apabila terjadi

perceraian. Menurut I Ketut Sudantra, nilai-nilai dan norma hukum adat Bali

berkaitan dengan kedudukan suami istri terhadap harta bersama dalam hal terjadi

perceraian telah mengalami pergeseran. Menurutnya, pergeseran itu dimungkinkan

karena hukum adat Bali mempunyai sifat yang luwes dan dinamis. 4 Pergeseran

dapat dilihat dengan membandingkan sikap pengadilan pada jaman ketika

pengadilan adat Raad Kertha masih hidup dengan sikap pengadilan setelah Raad

Kertha dibubarkan. Pada jaman Raad Kertha, Pengertian Raad Kertha adalah dilihat

dari kata Raad berarti rapat, Kerta berarti damai, jadi Raad Van Kerta mengandung

arti sebuah rapat atau sidang dalam menyelesaikan suatu sengketa dan dapat

menghasilkan suatu keputusan bersifat adil yang dapat memberikan kedamaian bagi

masyarakat.5

4
Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda Perkawinan
Dalam Hal Terjadi Perceraian: Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Adat Bali,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Ketha Desa, Vol. 04, No. 02, hal. 6, diakses pada
tanggal 22 November 2020 Pukul 20.00.
5
https://www.pn-semarapura.go.id/tentang-pengadilan/sejarah-pengadilan, diakses pada
tanggal 21 November 2020 Pukul 13.00.
Pengadilan selalu memutuskan bahwa kedudukan suami istri terhadap harta

bersama tergantung pada kondisi pihak mana yang bersalah dalam perceraian.

Apabila yang bersalah dalam perceraian itu adalah suami yang sudah menjadi

dalam putusan pengadilan, maka harta perkawinan bersama dibagi menjadi tiga :

dua bagian menjadi hak suami, sedangkan istri mendapat hak satu bagian. Apabila

yang bersalah adalah istri, maka istri sama sekali tidak berhak atas harta bersama.

Setelah Raad Kertha dibubarkan dan posisinya diganti oleh Pengadilan Negeri,

sikap Pengadilan berubah. Dari putusan-putusan Pengadilan yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap (yurisprudensi) belakangan ini, dapat diketahui

bahwa pengadilan selalu memutuskan bahwa kedudukan suami istri terhadap harta

bersama dalam hal terjadi perceraian adalah seimbang, yaitu masing-masing

mempunyai hak yang sama atas bagian harta bersama. 6

Pergeseran sikap yurisprudensi tersebut tampaknya pararel dengan

ketentuan beberapa awig-awig desa adat yang sempat diteliti oleh I Ketut Sudantra.

Dalam penelitian tersebut ditemukan prinsip dalam awig-awig desa adat bahwa

apabila terjadi perceraian maka suami istri mempunyai hak yang sama terhadap

harta bersama “Prade palas perabiane patut pagunakaya polih pahan pada”. 7 Dalam

perkembangan terakhir, Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali sebagai wadah tunggal

desa adat seluruh Bali juga telah mengambil sikap terhadap persoalan ini. Melalui

suatu forum musyawarah adat yang disebut Pesamuhan Agung III MDP Bali, 15

Oktober 2010, diputuskan antara lain bahwa “Akibat hukum perceraian adalah

6
I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu Perspektif
Normatif”, Jurnal Studi Gender SRIKANDI, Vol. 2 No. 2, hal. 86, diakses pada tanggal 20
November 2020 Pukul 13.00.
7
Ibid, hal. 85.
masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam

perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata)”.8

Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman Bali (MUDPB) No.01/Kep/Psm-

3/MDP Bali /X/2010, tanggal 15 Oktober 2010 tentang hasil Pesamuan Agung III

MUDP Bali, sebagaimana yang dijelaskan oleh Pakar Hukum Adat Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Prof.Dr.Wayan P.Windia, S.H.,M.Si, yang

menentukan sebagai berikut: Sesudah tahun 2010 perempuan Bali berhak atas

warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No.01/Kep/Psm-

3 MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010, Perempuan Bali menerima setengah dari

hak waris purusha setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan

pelestarian. Hanya jika perempuan Bali yang pindah ke agama lain, mereka tidak

berhak atas hak waris. Jika orang tuanya ikhlas maka tetap terbuka dengan

memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.9

8
MDP Bali, 2011, Himpunan Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali,
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Denpasar, hal. 47, diakses pada tanggal 22 November
2020 Pukul 20.10.
9
Ketut Sudiatmaka, 2016, Putusan MUDP Bali No. 01/Kep/Psm-3mdp Bali/X/2010 Sebagai
Legitimasi Formal Anak Perempuan Berhak Mewaris Di Kabupaten Buleleng, Seminar Nasional
Riset Inovatif, Vol 4, hal. 694, diakses pada tanggal 23 November 2020 Pukul 10.00.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

I Ketut Sudantra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana

University Press, Denpasar

Muhammad Isna Wahyudi, 2006, Harta Bersama, Antara Konsepsi dan Tuntutan

Keadilan, Makalah Calon Hakim Agung RI

Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2ot9 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun T974 Tentang Perkawinan

JURNAL / KARYA ILMIAH :

I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu

Perspektif Normatif”, Jurnal Studi Gender SRIKANDI, Vol. 2 No. 2

Ketut Sudiatmaka, 2016, Putusan MUDP Bali No. 01/Kep/Psm-3mdp Bali/X/2010

Sebagai Legitimasi Formal Anak Perempuan Berhak Mewaris Di

Kabupaten Buleleng, Seminar Nasional Riset Inovatif, Vol 4

Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda

Perkawinan Dalam Hal Terjadi Perceraian: Perspektif Undang-Undang


Perkawinan Dan Hukum Adat Bali, Jurnal Fakultas Hukum Universitas

Udayana Ketha Desa, Vol. 04, No. 02

MDP Bali, 2011, Himpunan Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa

Pakraman Bali, Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Denpasar

INTERNET :

https://www.pn-semarapura.go.id/tentang-pengadilan/sejarah-pengadilan

Anda mungkin juga menyukai