Perkawinan, :
2. Harta bawaan, adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam
perkawinan.
Dalam hukum adat Bali, warisan tidak saja bewujud benda-benda seperti
harta keluarga tetapi juga hak - hak kemasyarakatan seperti hak atas tanah karang
desa, hak memanfaakan kuburan dan hak untuk bersembahyang di pura Kahyangan
hak-hak tersebut. Harta warisan keluarga yang berwujud benda dapat digolongan
sebagai berikut :1
pewarisan secara turun temurun yang meliputi harta yang tidak dapat
1
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi, Fakultas Hukum, Universitas Udayana, hal. 115.
tetamian yang dapat dibagi-bagi yaitu harta warisan yang tidak
b. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami istri yang
perkawinan berlangsung.
harta bawaan dan harta hadiah atau warisan diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU
Perkawinan. Menurut I Ketut Sudantra, dalam hukum adat Bali golongan harta
bersama lazim disebut pegunakaya atau gunakaya; sedangkan untuk harta bawaan
disebut dengan istilah-istilah berbeda tergantung asal atau cara perolehan harta
bawaan tersebut. Apabila harta bawaan tersebut berasal dari hasil usaha suami atau
istri tersebut sebelum kawin, disebut sekaya; sedangkan apabila diperoleh dari p
emberian orang tua untuk dibawa ke dalam perkawinan, disebut jiwadana. Kedua
jenis harta bawaan ini lazim disebut tetatadan. Harta benda perkawinan yang
selama perkawinan berlangsung sudah diatur cukup jelas. Menurut Pasal 35 ayat
(2) dan Pasal 36 ayat (1), harta-harta yang tergolong sebagai harta bawaan, harta
hadiah atau harta warisan berada dalam kekuasaan masing-masing suami atau istri
2
I Ketut Sudantra, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press,
Denpasar, hal. 28.
sehingga suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum apapun terhadap harta bendanya itu. Hal berbeda berlaku terhadap harta
bersama. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) harta bersama dikuasai oleh suami dan istri
secara bersama-sama sehingga apabila salah satu pihak (suami atau istri)
dan istri
(asal) harta dan penguasaan harta tersebut selama perkawinan berlangsung adalah
Perkawinan mengatur bahwa “mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat
secara yuridis formal kedudukan dan peranan yang dapat dilakukan oleh suami dan
istri terhadap harta bersama adalah seimbang. Jelas sekali ditegaskan bahwa,
(semua) harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, tanpa
pembentukan harta tersebut. Walaupun pencari nafkah dalam keluarga hanya suami
dan istri hanya mengurus rumah, secara yuridis kedua pihak dianggap mempunyai
Harta Perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar, dapat dipisah
1. Pertama, Harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau
2. Kedua, Harta yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas
3. Ketiga, Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri
4. Keempat, Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada
waktu pernikahan.
Apabila mengacu kepada Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (1) maka dapat
ditafsirkan bahwa apabila terjadi perceraian, kedudukan suami dan istri terhadap
harta bawaan, harta hadiah dan harta warisan adalah tetap adanya, yaitu suami dan
istri masing-masing tetap menguasai hartanya itu. Dilihat dari Pasal 37 Undang-
3
Muhammad Isna Wahyudi, 2006, Harta Bersama, Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan,
Makalah Calon Hakim Agung RI, hal. 2.
Dilihat dari perspektif UU Perkawinan, tidak logis apabila pengaturan harta-harta
dimaksud sebagai “hukumnya masing-masing” itu adalah hukum adat Bali yang
perceraian. Menurut I Ketut Sudantra, nilai-nilai dan norma hukum adat Bali
berkaitan dengan kedudukan suami istri terhadap harta bersama dalam hal terjadi
karena hukum adat Bali mempunyai sifat yang luwes dan dinamis. 4 Pergeseran
pengadilan adat Raad Kertha masih hidup dengan sikap pengadilan setelah Raad
Kertha dibubarkan. Pada jaman Raad Kertha, Pengertian Raad Kertha adalah dilihat
dari kata Raad berarti rapat, Kerta berarti damai, jadi Raad Van Kerta mengandung
arti sebuah rapat atau sidang dalam menyelesaikan suatu sengketa dan dapat
menghasilkan suatu keputusan bersifat adil yang dapat memberikan kedamaian bagi
masyarakat.5
4
Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda Perkawinan
Dalam Hal Terjadi Perceraian: Perspektif Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Adat Bali,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Ketha Desa, Vol. 04, No. 02, hal. 6, diakses pada
tanggal 22 November 2020 Pukul 20.00.
5
https://www.pn-semarapura.go.id/tentang-pengadilan/sejarah-pengadilan, diakses pada
tanggal 21 November 2020 Pukul 13.00.
Pengadilan selalu memutuskan bahwa kedudukan suami istri terhadap harta
bersama tergantung pada kondisi pihak mana yang bersalah dalam perceraian.
Apabila yang bersalah dalam perceraian itu adalah suami yang sudah menjadi
dalam putusan pengadilan, maka harta perkawinan bersama dibagi menjadi tiga :
dua bagian menjadi hak suami, sedangkan istri mendapat hak satu bagian. Apabila
yang bersalah adalah istri, maka istri sama sekali tidak berhak atas harta bersama.
Setelah Raad Kertha dibubarkan dan posisinya diganti oleh Pengadilan Negeri,
bahwa pengadilan selalu memutuskan bahwa kedudukan suami istri terhadap harta
ketentuan beberapa awig-awig desa adat yang sempat diteliti oleh I Ketut Sudantra.
Dalam penelitian tersebut ditemukan prinsip dalam awig-awig desa adat bahwa
apabila terjadi perceraian maka suami istri mempunyai hak yang sama terhadap
harta bersama “Prade palas perabiane patut pagunakaya polih pahan pada”. 7 Dalam
perkembangan terakhir, Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali sebagai wadah tunggal
desa adat seluruh Bali juga telah mengambil sikap terhadap persoalan ini. Melalui
suatu forum musyawarah adat yang disebut Pesamuhan Agung III MDP Bali, 15
Oktober 2010, diputuskan antara lain bahwa “Akibat hukum perceraian adalah
6
I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu Perspektif
Normatif”, Jurnal Studi Gender SRIKANDI, Vol. 2 No. 2, hal. 86, diakses pada tanggal 20
November 2020 Pukul 13.00.
7
Ibid, hal. 85.
masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam
3/MDP Bali /X/2010, tanggal 15 Oktober 2010 tentang hasil Pesamuan Agung III
MUDP Bali, sebagaimana yang dijelaskan oleh Pakar Hukum Adat Fakultas
menentukan sebagai berikut: Sesudah tahun 2010 perempuan Bali berhak atas
hak waris purusha setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan
pelestarian. Hanya jika perempuan Bali yang pindah ke agama lain, mereka tidak
berhak atas hak waris. Jika orang tuanya ikhlas maka tetap terbuka dengan
8
MDP Bali, 2011, Himpunan Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali,
Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali, Denpasar, hal. 47, diakses pada tanggal 22 November
2020 Pukul 20.10.
9
Ketut Sudiatmaka, 2016, Putusan MUDP Bali No. 01/Kep/Psm-3mdp Bali/X/2010 Sebagai
Legitimasi Formal Anak Perempuan Berhak Mewaris Di Kabupaten Buleleng, Seminar Nasional
Riset Inovatif, Vol 4, hal. 694, diakses pada tanggal 23 November 2020 Pukul 10.00.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Muhammad Isna Wahyudi, 2006, Harta Bersama, Antara Konsepsi dan Tuntutan
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
I Ketut Sudantra, 2002, “Wanita Bali dan Harta Benda Perkawinan: Suatu
Luh Putu Diah Puspayanthi, 2017, Kedudukan Suami Istri Terhadap Harta Benda
MDP Bali, 2011, Himpunan Hasil-hasil Pasamuhan Agung III Majelis Desa
INTERNET :
https://www.pn-semarapura.go.id/tentang-pengadilan/sejarah-pengadilan