Anda di halaman 1dari 45

PENDIDIK MENURUT PARA MUFASSIR AL-QUR’AN

Makalah ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah


Tafsir Tarbawi

Dosen pengampu:
Abdul Ghofur S. Ag, M.

Disusun oleh:
Nenden Febriana 11200110000135
Dinda Qurratuaini 11200110000129
Ainun Jariyatur Rohmah 11200110000126

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt. Tuhan semesta alam yang telah memberi rahmat, ridha,
taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Pendidik Menurut Para Mufassir al-Qur’an” dalam rangka memenuhi tugas Mata
Kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan.

Adapun pembahasan yang terdapat dalam makalah ini meliputi Pengertian pendidik,
peran pendidik menurut tafsir surah QS. Ar-Rahman ayat 1-4, QS. An-Najm ayat 1-10, QS. An-
Nahl ayat 43-44, dan QS. Al-Kahfi ayat 1-10. Kami berterima kasih kepada bapak Abdul
Ghofur S. Ag, M. yang telah memberi kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah kami.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan dan keilmuan kita dalam
mempelajari pengalaman umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta dapat
memberi manfaat bagi kita semua.

Dalam menyusun makalah ini kami menyadari banyak kesalahan dan kekhilafan di
dalamnya. Oleh karena itu, kami berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran
kepada kami agar kami dapat menyempurnakan makalah kami berikutnya

Jakarta, 1 April 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. ii
BAB 1 ...................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 1
a. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
b. Rumusan Makalah ...................................................................................................................... 1
c. Tujuan Makalah .......................................................................................................................... 1
BAB 2 ...................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................ 2
a. Guru Sebagai Pendidik................................................................................................................ 2
b. Guru Ideal ................................................................................................................................... 3
c. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. Al-Rahman 1-4 ............................................................. 4
d. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. An-Najm ayat 1-10 ..................................................... 12
e. Peran Guru dalam Persepektif Tafsir Q.S al-Nahl ayat 43-44 ................................................... 32
f. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. Al-Kahfi ayat 65-70 .................................................... 35
BAB 3 .................................................................................................................................................... 39
PENUTUPAN ......................................................................................................................................... 39
a. Kesimpulan ............................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................. 41

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Dalam lingkup pendidikan ada beberapa komponen yang sangat penting, salah satunya
adalah pendidik. Pendidik merupakan orang yang melakukan peran mendidik. Proses
pembelajaran tidak akan berjalan bila tidak ada pendidik. Pendidik secara formal merupakan
mata rantai yang tidak bisa dipisahkan dalam rentetan proses pendikan, yang dimulai dari orang
tua, sekolah, dan masyarakat. Pendidik mempunyai peran yang sangat vital dalam mengarahkan
perkembangan anak. Terkait dengan pendidik, maka secara spontan kita akan mengenal orang
tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya. Orang yang pertama kali
mendidik kita adalah orang tua kita sendiri. Lalu orang tua dirumah menyerahkan anak-anak
mereka untuk mengenyampendidikan di sekolah, pendidikan menjadi tanggung jawab seorang
pendidik dalam menyampaikan ilmu yang diberikan kepada muridnya. Sehingga orang tua
kedua disekolah adalah Guru. Guru biasa disebut sebagai orang tua kedua setelah orang tua
kandung. Guru atau seorang pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan
ilmunya.

Pendidik harus memiliki peran yang sangat baik. Maka, untuk dapat menjalankan
perannya dengan baik, seorang guru harus mampu memahami fungsi/peran guru serta
kesesuaian berupa tindakan yang harus dilakukannya. Sehingga dalam hal ini, peneliti ingin
mengkaji tentang peran pendidik (guru) diambil dari analisis tafsir ayat Al-Qur’an.

b. Rumusan Makalah
1. Bagaimana peran guru sebagai pendidik menurut pada mufassir Qur’an?

c. Tujuan Makalah
1. Memberikan informasi serta megajak diskusi
2. Untuk mengetahui bagaimana peran guru sebagai pendidik menurut para mufassir
Qur’an.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

a. Guru Sebagai Pendidik


Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab memberikan bimbingan atau bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaannya,
maupun melaksanakan tugasnya sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk Allah, sebagai
khalifah di bumi, dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri (Uhbayati, 1997: 7).
Hakikat pendidik dalam Islam adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan seluruh potensi anak didik, baik efektif, kognitif, maupun
psikomotorik. Menurut Ahmad Tafsir (2004: 74) definisi pendidik dalam pandangan Islam
adalah orang yang mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik psikomotor,
kognitif, maupun potensi afektif.

Pendidik menurut Arifin (2000: 143) adalah manusia hamba Allah yang bercita-cita
islami yang telah matang secara rohani dan jasmani, dan memahami perkembangan dan
pertumbuhan manusia didik bagi kehidupan masa depan. Ia tidak hanya mentransfer ilmu
pengetahuan yang diperlukan manusia didik, melainkan juga mentransformasikan tata nilai
islam ke dalam pribadi mereka sehingga mapan dan menyatu, serta sebagai pelajar mampu
mewarnai perilaku mereka sebagai pribadi yang bernafaskan islam.

Sedangkan guru dalam konteks Islam disebut dengan ”murabbi”, “mu’alim” dan
“mu’addib” (Ramayulis, 2002: 56). Uraian istilah tersebut menurut Marno (2010: 15) yaitu:

1. Murabbi Murabbi lebih menekankan pengembangan dan pemeliharaan baik dalam


aspek jasmaniyah maupun ruhaniyah.
2. Mu’alim Mu’allim lebih menekankan guru sebagai pengajar dan penyampai
pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science).
3. Mu’addib Mu’addib lebih menekankan pendidik sebagai pembina moralitas dan akhlak
peserta didik dengan keteladanan. Peran sebagai Mu’addib menjadi tanggung jawab
yang besar, karena apa yang harus dilakukan guru tidak hanya sebatas memahamkan
mengenai pendidikan akhlak, namun juga mendidik peserta didik agar mampu
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Kuswanto, 2014: 198).

2
b. Guru Ideal
Pengertian Guru Ideal Guru diyakini menempati posisi kunci dalam pendidikan. Guru
merupakan sosok yang akan memberi pengaruh kepada murid atau anak didiknya. Seorang
guru/pendidik haruslah orang yang dapat “Digugu dan ditiru” sebagai panutan terbaik dari segi
pribadi, ilmu, dan tingkah lakunya. Ada pun guru ideal, mengacu pada makna ideal nya itu
sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sesuatu yang sangat sesuai
dengan yang dicita-citakan/diangan-angankan atau dikehendaki.1 Oleh karena itu maka
seharusnya guru ideal memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu, baik yang menyangkut jasmani,
etika atau ahlak maupun keilmuan.

Setiap perkataan, tindakan, dan tingkah laku positif akan meningkatkan citra diri dan
kepribadian seseorang, selama hal itu dilakukan dengan penuh kesadaran. Oleh karena itu,
penting sekali mengetahuiapa saja karakteristik guru ideal menurut beberapa ahli dalam
penelitian ini. Yang pertama, menurut Zakiah Darajat dkk, yang dikutip Syaiful Sagala dalam
bukunya “Kemampuan Profesional Guru” menyebutkan kompetensi kepribadian pendidik
disamakan dengan akhlak guru, diantara akhlak guru tersebut adalah:

a. Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua murid-muridnya


b. Guru hendaknya berlaku sabar dan tenang.
c. Guru harus berwibawa
d. Guru harus gembira
e. Guru harus bersifat manusiawi2

Selanjutnya, diungkap oleh Mahmud Samir al-Munir dalam bukunya al-Mu’allimur


Rabbany (Guru Teladan) yang dikutip Rahmat dan Amri, mengungkapkan ada dua karakteristik
paling utama bagi seorang guru teladan,yaitu: Pertama, karaktersitik aqidah, akhlak, dan
prilaku. Artinya, guru harus mempunyai aqidah yang bersih dari hal-hal yang bertentangan
denganya. Senantiasa merasa diawasi oleh Allah swt. (muraqabah) di mana pun berada,
melakukan koreksi diri (muhasabah) atas kelalaian dan kesalahan. Menanamkan sikap tawadhu’

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa indonesia, ed. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.
377
2
Ramayulis, Profesi dan Etika Keguruan,( Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hal. 55-58.

3
(rendah hati), jagan sampai timbul perasaan ujub dan ghuhur, karena orang yang tawadhu’ akan
diangkatkan derajatnya oleh Allah swt. Guru harus berahlak mulia, berkelakuan baik, dan
menjahui hal-hal yang bertentangan dengan hal itu, baik di dalam maupun di luar kelas. Mampu
mengatur waktu dengan baik, sehingga tidak ada waktu yang terlewatkan tanpa mendatangkan
manfaat duniawi dan ukhrawi. Senantiasa melandaskan niat ibadah kepada Allah ketika
mengajarkan ilmu. Tidak semata-mata mengandalkan kemampuan dan usaha belaka dalam
mengajar, tetapi juga berdo’a meminta taufiq serta pertolongan dari Allah swt.

Kedua, karakteristik profesional. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang guru dan dibutuhkan dalam proses belajar-
mengajar, yakni menguasai materi pelajaran dengan matang melebihi siswa-siswanya dan
mampu memberikan pemahaman kepada mereka secara baik. Guru harus memiliki kesiapan
alami (fitrah) untuk menjalani proses mengajar, seperti pemikiran yang lurus, bashirah yang
jernih, tidak melamun, berpandangan jauh ke depan, cepat tanggap, dan dapat mengambil
tindakan tepat pada saat-saat kritis.3

c. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. Al-Rahman 1-4


َ‫علَّ َمهُ ْالبَيَان‬ ُۙ ‫س‬
َ َ‫ان‬ َ ‫اْل ْن‬ َ ُ‫لرحْ مٰ ُۙن‬
ِ ْ َ‫علَّ َم ْالقُ ْر ٰا َۗنَ َخلَق‬ َّ َ ‫ا‬
Terjemah :
(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan
manusia, mengajarnya pandai berbicara. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 1-4)

Menelaah pada ayat diatas diterangkan bawah Allah sebagai subjek pendidikan, Allah
sebagai pencipta yang mengutus Rasul dan menurunkan Al-Qur’an. Manusia merupakan
makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna diberikan olehnya sesuatu yang tidak
diberikan kepada makhluk ciptaan lain yakni akal yang mengangkat derajat manusia
sehingga dengan bantuan wahyu manusia bisa mempertegas pendidikan bersumber dari
Allah swt.

3
Muhammat Rahmat dan Sofan Amri, Kode Etik Profesi guru, Legalitas, Realitas, dan harapan, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Karya, 2014) cet. I, hal. 180-181

4
Selain itu, ayat di atas juga menjelaskan bahwa Ar-Rahman sebagai subjek, dengan
kata lain Allah disebut dengan sifat-Nya (Dzat Yang Maha Pengasih) itu berkedudukan
sebagaimana halnya seorang guru. Mengandung arti bahwa guru/pendidik seharusnya
mempunyai karakter pengasih atau kasih sayang pada murid, sebagaimana sifat-Nya Allah
dalam surat ini.

Beberapa sifat atau karakteristik guru sesuai Al-Qur’an surat Ar-Rahman ayat 1-4,
yaitu antara lain:

1. Berjiwa Rahman (Pengasih dan Penyayang)


Seorang guru atau pendidik hendaknya berjiwa pengasih dan penyayang terhadap
murid atau peserta didik. Sebagaimana yang dicontohkan Allah dalam al-Qur’an surat
Ar-Rahman ayat 1, yaitu:
)٢( َ‫) َعلَّ َم ْالقُ ْر ٰا َۗن‬١( ‫لرحْ مٰ ُۙ ُن‬
َّ َ ‫ا‬

“(Allah) yang Maha pengasih, yang telah mengajarkan Al Quran” (QS. Ar-
Rahman/55: 1-2)9

Allah menunjukkan sifat Maha Pengasih-Nya (ar-Rahman) terlebih dahulu sebelum


melanjutkan ayat kedua dengan mengajarkan al-Qur’an (‘allama al-Qur’aan).
Dimaksudkan Allah Maha Pengasih di sini yaitu yang rahmat-Nya meliputi segala
sesuatu, Dzat Yang Maha Pengasih urusan duniawi. Allah selalu memberikan kasih-
sayang-Nya kepada semua manusia, baik yang kafir, munafik maupun mukmin. Yaitu
semua manusia oleh Allah diberi harta-benda, keluarga, tahta (jabatan), asmara,
maupun sehatnya raga.

Kita sebagai seorang guru hendaknya berusaha merenungkan salah satu dari sifat-Nya
Allah yang Maha Pengasih sesuai penjelasan di atas. Sehingga kita sebagai seorang
guru hendaknya berusaha mencontoh sifat-Nya Allah ar-Rahman ini, yaitu dengan
mempunyai jiwa penyayang terhadap murid. Oleh karena itu, seorang guru berusaha
menyayangi murid-muridnya dengan bersikap lemah-lembut dalam menyampaikan
pelajaran terhadap mereka seperti halnya terhadap anak sendiri.

5
Semua yang dilakukan guru yang berjiwa rahman itu didasarkan oleh rahmat kasih
Allah-lah yang diberikan kepadanya. Dari hal itu, seorang guru akan bersikap lemah-
lembut dan menyayangi murid-muridnya, tidak membeda-bedakan antara murid yang
satu dengan murid yang lain, tidak bersikap hati yang keras. Akan tetapi terus
membimbing semua murid-muridnya sesuai kemampuan dan psikologi masing-
masing.

Selain karakter lemah lembut dan penyayang tersebut, guru juga dituntut untuk
memiliki karakter lain yang sesuai dengan Allah dalam Al-Qur’an dan sesuai yang
telah dicontohkan oleh Rosulullah SAW. Misalnya : Guru bisa mencontoh sifat-Nya
Allah yang Maha Pengampun (Ghoffaarun), sehingga ia suka memaafkan kesalahan
orang lain termasuk murid. Karena Allah suka menutup aib (kejelekan orang), maka
guru juga berusaha mencontohnya dengan berusaha menutup aib muridnya..

Contoh sifat-Nya Allah yang lain yaitu, Allah Maha Penyabar, dari sini guru pun
berusaha memiliki jiwa yang sabar. Sehingga dari sifat penyabar tersebut seorang guru
tidak mudah marah-marah pada murid dan akan sabar meski menghadapi anak yang
nakal. Selain mencontoh dari sifat-Nya Allah, guru juga mencontoh sifatnya Rosul
yang jujur dan amanah (dapat dipercaya).

2. Berjiwa Ikhlas dalam Mendidik Murid


Seorang guru selain memiliki sifat rahman, guru juga perlu mempunyai jiwa ikhlash
dalam berjuang mengajarkan ilmu pada murid. Sebagaimana sifat Allah Yang Maha
Rahman, yang dalam hal ini Dzat selalu mengasihi dan menyayangi makhluk-Nya.
Baik yang kafir, yang munafik maupun yang mukmin semuanya diberi kasih duniawi,
diberi kenikmatan di dunia tanpa pilih kasih antara satu dengan yang lainnya dengan
kadar sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an:
)٢( َ‫) َعلَّ َم ْالقُ ْر ٰا َۗن‬١( ‫لرحْ مٰ ُۙ ُن‬
َّ َ ‫ا‬
“(Allah) yang Maha pengasih, yang telah mengajarkan Al Quran” (QS. Ar-
Rahman:1-2)

6
Dalam hal ini, menunjukkan pada kita sebagai seorang guru agar memiliki jiwa yang
ikhlas dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah. Siapa berbuat
baik (syukur) setelah ia menerima nikmat, maka kebaikan itu akan kembali ia peroleh
untuk dirinya. dan sebaliknya, apabila seorang hamba ingkar dengan berbuat maksiat
setelah ia mendapatkan nikmat dari Allah, maka (balasan kejelekan pula yang
akankembali ia peroleh) dan Allah tetap Maha Kaya dari seluruh alam.

Oleh karena itu, seorang guru hendaknya berniat ikhlas yaitu mencurahkan seluruh
aktivitasnya dalam mengajar di bidang pendidikan hanya karena Allah (lillaah) dalam
rangka meneruskan perjuangan para nabi atau rasul. Sikap ikhlas merupakan hal yang
pertama dan utama yang ditekankan dalam agama. Ikhlas dalam ucapan dan perbuatan
merupakan bagian dari integritas iman dan fondasi Islam. Allah tidak menerima amal
kecuali bila dikerjakan dengan ikhlas.

Sekarang banyak orang mengharap gaji yang banyak dari kerja mendidik, Akibatnya
biaya pendidikan menjadi sangat mahal. Seringkali orang berpikir bahwa wajar jika
guru atau pendidik meminta upah yang tinggi dari kerja mendidik. Seolah dalam
dirinya ia berkata, apa bedanya kerja mendidik dengan kerja mengelas atau menyupir?
Jika kerja menjadi pilot itu meminta bayaran tinggi, mengapa kerja mendidik yang
notabene menghasilkan pilot? Begitulah berbagai pertanyaan yang muncul yang diakui
ataupun tidak. Di belakang pertanyaan itu tersimpan rasa kurang ikhlas.

Sudah semestinya guru mengutamakan ikhlas karena Allah (lillaah), hanya


mengharapkan ridho dari Allah SWT dalam menjalankan tugas. Dengan demikian guru
mengajar atas dasar panggilan jiwa sebagai wakilnya Allah di muka bumi (kholifah fil
ardi). Semua itu sebagai wujud rasa syukur pada Allah yang Maha Rahman atas nikmat
yang diberikan padanya. Hal yang serupa juga diterangkan oleh Imam al-Ghazali18,
bahwa seorang guru tidak mengharapkan balasan jasa ataupun ucapan terima kasih,
tetapi bermaksud dengan mengajar itu mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan.

3. Berilmu (‘Aalim)

7
Seorang guru selain berjiwa rahman dalam menjalankan tugas mengajarnya juga
dituntut untuk berilmu. Yaitu aktif untuk mendalami ilmu sebagai kebutuhan ketika
hendak mengajarkan materi.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Allah dalam ayat 2 dari surat ar-Rahman:

)٢( َ‫) َعلَّ َم ْالقُ ْر ٰا َۗن‬١( ‫لرحْ مٰ ُۙ ُن‬


َّ َ ‫ا‬
“(Allah) yang Maha pengasih, Yang telah mengajarkan Al Quran”

Allah mencontohkan pada kita sebagai guru dalam ayat pertama untuk berjiwa
penyayang (Rahman). Setelah itu barulah Allah menunjukkan kepada kita untuk aktif
bekerja (‘allama : mengajarkan). yaitu kata ‘allama berarti seorang guru itu aktif untuk
berfikir, bagaimana murid-muridnya itu bisa menjadi mengetahui dan memahami
materi yang akan disampaikannya. Karena kata ‘allama di sini dalam kaidah ilmu
shorof mengandung arti menjadi mengetahui, kata kerja lampau (fi’il maadhii) yang
mengandung arti “telah”. Dari kalimat itu peneliti memahami, bahwa Allah telah
mengajarkan al-Qur’an dan sudah aktif bekerja agar hamba-Nya yang dipilihnya
menjadi Rosul (yaitu Nabi Muhammad SAW) itu bisa mengetahui, memahami dan
bisa menyampaikannya pada manusia.

Diantara hal yang sudah disetujui oleh semua ahli pendidikan yaitu seorang guru
seyogyanya mengetahui dasar-dasar pendidikan yang dicanangkan syari’at Islam,
memahami masalah-masalah haram dan halal, berakhlak baik serta memahami secara
global peraturan Islam dan kaidah-kaidah syari’at. Dengan demikian seorang pendidik
akan menjadi arif dan bijaksana dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya, akan
mengajari anak berdasarkan dasar-dasar ketentuannya, dan akan melakukan perbaikan
dalam mendidik berdasarkan pengajaran Al-Qur’an, petunjuk Rosulullah, dan
keteladanan generasi pertama, para sahabat Rosulullah SAW dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik.

Sebaliknya, menurut Abdullah Nashih Ulwan jika seorang pendidik jahil, terlebih
tentang pedoman-pedoman dasar cara mendidik anak, kemungkinan anak yang
dididiknya juga akan menjadi bodoh, sebab lampu yang tidak menyala tidak akan
mampu menerangi orang disekitarnya. Maka dikatakan: “Janganlah kamu mengambil

8
ilmu kecuali dari ahlinya. Dengan ilmu kita hidup. Dengam ruh kita menebusnya.
Janganlah belajar pada orang-orang jahil, karena orang buta tidak akan dapat
menunjuki jalan yang benar”.

Oleh karena itu, seorang guru hendaknya belajar dan memperdalam ilmunya agar bisa
menyampaikan dan memberikan pelajaran kepada para muridnya.

4. Senang Memberi Nasehat atau Mengingatkan Murid


Dalam al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 3, Allah berfirman:
ُۙ ‫اْل ْن َس‬
)٣( َ‫ان‬ ِ ْ َ‫َخلَق‬
“Dia (telah) menciptakan manusia.” (QS. Ar-Rahman/55: 3)

Ayat di atas menjelaskan pada kita, bahwa Allah-lah yang telah menciptakan manusia.
Dari bentuk jasmaninya, rohaninya dan juga akalnya semuanya Allah yang telah
merancangnya. Allah juga yang kuasa untuk menjadikan manusia itu berbeda-beda
karakter, sifat dan kemampuannya. Sehingga kita sebagai sebagai seorang guru,
semestinya memahami bagaimana cara mendidik mereka dengan berbagai karakter
yang ada tersebut.

Pada dasarnya seorang murid itu juga tidak lain hanyalah manusia biasa, yang tak lepas
dari kesalahan dan kelalaian (lupa). Sebagaimana Nabi yang telah menjelaskan dalam
haditsnya, bahwa manusia itu tempatnya salah dan lupa. Oleh karena itu seorang guru
yang baik ialah orang sabar dan suka menasehati, memberi pengertian, mengingatkan
muridnya yang terlanjur bersalah atau melanggar. Karena memang peringatan itu
adalah bermanfaat bagi semua murid kita.

Sebagaimana hal yang sama, Allah juga menjelaskannya dalam Al-Qur’an:

)١١( ‫) َسيَذَّ َّك ُر َمن يَ ْخش َٰى‬٩( ‫ٱلذ ْك َر ٰى‬


ِ ‫ت‬ ِ ‫فَذَ ِك ْر ِإن نَّفَ َع‬

“Berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat. Orang yang takut


(kepada Allah) akan mendapat pelajaran.” (QS. Al-A’la/ 87: 9-10)

Ayat tersebut menerangkan tentang perintah untuk memberikan peringatan kepada


manusia, termasuk disini memberi peringatan kepada seorang murid. Mungkin dengan

9
peringatan itu murid akan mendapat pelajaran dan menjadi takut. Peringatan itu dengan
menakut-nakuti akan siksa Allah di Akhirat, mengingatkan mereka pada Allah dan hari
akhir. Dengan al-Qur’an, kita bisa mengingatkan mereka dengan ancaman Allah
berupa siksa yang pedih di Neraka sebagai hukuman (punistmen) bagi orang yang
ingkar dan mendustakan ayat-ayat-Nya. Dan sebaliknya memberikan kabar gembira
pada mereka tentang kenikmatan yang selamanya di Surga sebagai balasan (reward)
bagi siapa yang beriman dan beramal baik selama hidup di dunia.

Dengan kabar gembira, murid akan semakin semangat menempuh prestasi-prestasinya.


Sebaliknya, dengan peringatan diharapkan murid akan bertaubat dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk saling
mengingatkan pada kebenaran dan pada kesabaran (dalam menjalani hidup di dunia).
Oleh karena itu seorang guru juga sering-sering mengajak murid agar belajar dan
memahami al-Qur’an agar menjadi pedoman hidup sepanjang zaman. Seorang guru
yang baik adalah yang mengajak muridnya bersama-sama untuk memahami al-Qur’an,
sehingga ingat bahwa hidupnya itu atas kehendak Allah dan akan kembali kepada-Nya
serta kelak di akhirat akan dipertanggung jawabkan semua amal-amalnya selama hidup
di dunia.

5. Seorang Designer of Instruction (Perancang Pengajaran)


Pada masa sekarang peran guru sebagai seorang designer of instruction (perancang
pengajaran) dapat ditelusuri pada kelihaian dan keahlian seorang guru dalam membuat
dan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Rencana pelaksanaan
pembelajaran ini merupakan suatu desain pembelajaran atau skenario proses kegiatan
belajar mengajar di kelas, sekaligus merupakan suatu manifestasi yang nyata bagi
keberhasilan guru dalam merancang suatu system pengajaran yang akan diberikan
kepada murid atau peserta didik. Bahkan saat sekarang, menurut peneliti, penilaian
baik buruknya kinerja seorang guru yang dilakukan oleh atasannya cenderung lebih
melihat kepada caranya di dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran yang
dibuatnya.

Sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an surah Ar-Rahman ayat 4:

10
)٤( َ‫َعلَّ َمهُ ْٱل َب َيان‬
“Mengajarnya pandai berbicara.”

Hamka menjelaskan pada ayat ini bahwa Rahman Allah SWT. Kepada manusia tadi
lebih sempurna lagi, karena manusia pun diajar oleh Tuhan menyatakan perasaan
hatinya dengan kata-kata. Itulah yang di dalam bahasa Arab yang disebut “Al-Bayaan”,
yaitu menjelaskan, menerangkan apa yang terasa di hati, sehingga timbullah bahasa-
bahasa. Kita pun sudah sama maklum bagaimana pentingnya kemajuan bahasa karena
kemajuan ilmu pengetahuan.

Sebagai seorang perancang pengajaran (Designer of instruction), guru berperan aktif


dalam mengarahkan murid atau peserta didiknya kepada targetnya dalam
pembelajaran. Dalam hal ini, bagaimana muridnya bisa menyampaikan perasaan dalam
hatinya sebagai bentuk pemahamannya dalam proses pembelajaran sebagaimana
dijelaskan dalam ayat di atas (‘allamahu al-bayaan). Oleh karena itu, guru dituntuk
untuk merencanakan dan mendesign materi pembelajaran serta metode yang akan
digunakan dalam pembelajaran.

Oleh karena itu, untuk dapat menjadi seorang designer of instruction (perancang
pengajaran), seorang guru terlebih dahulu harus menguasai materi pengetahuan yang
cukup memadai (‘Aalim), menguasai ilmu pendidikan, ilmu manajemen dan yang
terpenting adalah roh jihad (kemauan untuk mendidik murid).

Menurut para ahli pendidikan, ada tiga aspek yang perlu dicapai dalam proses
pembelajaran, yaitu antara lain: hapal (kognitif), nalar (afektif), dan praktek
(psikomotor).

Dalam ketiga aspek itu, seorang gurulah menjadi ujung tombak dalam pencapaian
target tersebut. Dan target yang harus dicapai seorang guru di sini ialah seorang murid
bisa mengajarkan ilmu yang telah ia peroleh. Dalam hal ini, guru harus dapat
membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk tercapainya kinerja akademik
sesuai dengan prosesnya dan mampu memenuhi tujuan-tujuan yang menjadi target dan
yang telah ditetapkan sebelumnya.

11
d. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. An-Najm ayat 1-10
a) Tafsir Surah An-Najm Ayat 1-4

‫َّج ِم إِ َذا َه َوى‬ ِ ‫ض َّل‬ ِ ِ ِ


َ ُ‫( إ ْن ُه َو إََّّل َو ْح ٌى ي‬٤)
َ َ ‫( َما‬٢) ‫( َوَما يَنط ُق َع ِن ٱلْ َه َوى‬٣) ‫وحى‬
ْ ‫( َوٱلن‬١) ‫صاحبُ ُك ْم َوَما َغ َوى‬

Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi di dalam tafsir Maraghi, menjelaskan bahwa


Allah bersumpah dengan mahluk-mahluk-Nya yang besar, yaitu bintang-bintang yang beredar
pada tempat-tempat peredaranya, dan dia melampaui fakta-faktanya, yakni bintang-bintang
yang dengan itu kamu mendapat petunjuk di padang pasir dan padang belantara, baik di tempat
tinggalmu maupun ketika kamu dalam perjalanan, juga di lautan. Sedang bintang-bintang itu
mempunyai kedudukan yang tinggi dalam penghidupanmu. Sesungguhnya Muhammad adalah
benar-benar seorang Nabi. Dan dia tidak menyimpang dari jalan yang benar, tidak menempuh
jalan yang batil.

M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah memberikan pemahaman kata (‫ )النجم‬an-


Najm yang terdapat pada ayat pertama dipahami oleh mayoritas para ulama dalam arti bintang
secara umum, yakni yang memiliki cahaya dan tampak bagi penghuni bumi. Ada pula yang
memahaminya dalam arti bintang secara khusus, yakni bintang Sirus yang disebut pada akhir
surah ini. Tetapi, ada juga yang memahaminya dalam arti al-Qur’an. Ini karena tuurnya al-
Qur’an sedikit demi sedikit, dilukiskan oleh bahasa dengan kata ( ‫ )منجم‬munajjam. Sementara
ulama memahami kata waan-najm dalam arti demi al-Qur’an yang turun sedikit demi sedikit.

Ada pun menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan di permulaan surah ini
Allah mengambil sumpah atas bintang. Bahasa Arabnya an-Najm, yang kita artikan bintang.
Tetapi al-Imam Fakhruddin ar-Razi yang dikutip Hamka menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa
arti an-Najm itu bukanlah semata-mata satu saja bintang. Beliau berkata dia berarti juga
tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi. Arti yang ketiga ialah bahwa bintang yang dimaksud
di sini ialah al-Qur’an sendiri, sebab dia memberi petunjuk. Laksana orang yang berjalan
musafir dalam gelap-gulita malam, namun dia akan kehilangan arah dan tujuan, hendak kemana
dia pergi, karena suatu jurusan yang akan ditempuh baik Timur atau Utara, baik Barat atau
Selatan, sudah ada bintangnya sendiri, orang tidak akan tersesat, masing-masing ada di langit

12
menurut jamnya yang tertentu di waktu pagi, sebelum matahari naik, yang biasa disebut bintang
seroja, dari bahsa Arabnya Tsurayya, demikian pula bintang yang lain di waktu yang lain.

Bagaimana jadinya manusia yang sedang musafir dalam alam ini, kalau kiranya dia
berjalan di dalam gelap-gulita malam, sedang satu bintag pun tidak kelihatan cahayanya,
sehingga gelap arah yang akan dituju dalam hidup. Maka persumpahan dengan bintang pada
ayat ini, sama juga artinya dengan sumpah-sumpah Tuhan yang lain di dalam al-Qur’an. Bila
bintang-bintang tidak dapat dipedomani lagi, artinya seluruh langit telah gelap, manusia pun
kehilangan pedoman, kehilangan arah pastilah kekacauan yang datang.

Sementara itu menurut Salman Harun dalam Tafsir Tarbawi, berpendapat lain tentang
makna ‫ النجم‬di sini adalah bintang “tersesat” ke dalam orbit bumi lalu tertarik ke dalam atmosfir
bumi dan kembali lagi melesat ke ruang angkasa. Peristiwa “tersesat” itulah yang dimaksud
dengan ‫( هوى‬harfiyah artinya “jatuh”). Dan bintang itu disebut meteor. Peristiwa tersebut luar
biasa, karena tidak biasanya bintang “tersesat” seperti itu, sebab masing-masing benda angkasa
memiliki orbitnya tersendiri. Karena luar biasa itulah kiranya Allah bersumpah dengan bintang
tersebut.

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam ringkasan Tasir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
Asy-Sya’bi mengatakan dalam hal ini “Sang pencipta dapat bersumpah dengan apa saja yang
Dia kehendaki dari mahluk ciptaan-Nya. Sedangkan, hamba Allah tidak pantas bersumpah
kecuali dengan Allah saja”. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang dikutip Nasib
Rifa’i. Firman Allah SWT, “Demi bintang ketika melempar” yaitu ketika melempar setan.
Demikian ditafsirkan oleh adh-Dhahak yang dikutip Nasib Rifa’i.

Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menurut Sayyid Quthub, menambahkan penjelasan


mengnai bintang dalam sumpah ini. Di antara tafsirnya yang paling selaras dengan benak ialah
bintang syi’ra yang tidak disukai manusia jika ia menjauh dan bintang yang dikemukakan dalam
surah selanjutnya, yaitu “Dialah Tuhan yang memiliki bintang syi’ra”. Bintang ini menyita
perhatian kaum terdahulu, sebagaimana yang dimaklumi bahwa kaum Mesir terdahulu
menentukan pasanganya sungai Nil dengan melintasnya bintag syi’ra di cakrawala. Karena
itulah, mereka senantiasa memantau dan mengawasi geraknya. Ia pun memiliki kedudukan

13
penting dalam mitologi Persia, juga mitologi Arab. Pendapat yang paling mendekati ialah
bintang itu menunjukan bintang syi’ra.

Pemilihan panorama tenggelamnya bintang dimaksudkan untuk meraih keharmonisan


susunan seperti yang telah kami jelaskan. Juga untuk meraih makna lain, yaitu memberitahukan
bahwa meskipun bintang itu besar dan mencengangkan, ia tetap tenggelam dan berubah
posisinya, sehingga ia tidak layak disembah. Penyembahan hanya dilakukan kepada yang tetap,
tinggi, dan lestari.

Pada intinya, ayat petama surah An-Najm di sini menyimpulkan bahwa Allah swt
bersumpah dengan bintang ketika terbenam di ufuk akhir malam ketika malam pergi dan siang
datang. Hal itu, karena di sana terdapat ayat-ayat Allah yang besar. Allah swt bersumpah dengan
bintang untuk menerangkan kebenaran yang dibawa Rasulullah saw berupa wahyu ilahi karena
di sana terdapat persesuaian yang menakjubkan. Allah swt menjadikan bintang-bintang sebagai
hiasan bagi langit, demikian pula wahyu dan atsar (pengaruh) nya sebagai hiasan bagi bumi.

Allah swt mengarahkan sumpah-Nya kepada kaum musyrikin agar mengetahui betapa
banyak manfaatnya bintang-bintang bagi mereka. Antara lain untuk mengetahui perubahan
musim agar mereka bersiap-siap untuk menggembalakan ternak mereka, kemudian setelah
turun hujan mereka dapat menanam tanaman yang sesuai dengan musimnya. Sumpah Allah
mengingatkan manusia bahwa di sana ada benda-benda yang perkasa di luar angkasa yang harus
mereka ketahui, agar mereka dapat meyakini besarnya sumber kekuasaan Allah dan indah
ciptaan-Nya. Ilmu pengetahuan modern telah menerangkan bahwa di angkasa raya ada
keajaiban yang dapat dilihat dari cahaya peredaran dan bentuknya yang besar.

M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah memaknai kata (‫ )هوى‬hawa/turun pada


kalimat berikutnya ada yang memahami dalam arti terbenam, yakni tidak terlihat
kecemerlangan cahayanya. Ada juga yang memahaminya dalam arti turun dan terlontar untuk
melontar jin/setan yang berusaha mendengarkan percakapan penghuni langit. Diamati bahwa
jika Allah bersumpah dengan menggunakan mahluk yang diagungkan dan disembah oleh
masyarakat, maka penyebutan mahluk tersebut disertai dengan sifat yang menunjukan
ketidakwajaranya untuk disembah. Perhatikanlah sumpah menyangkut matahari atau bulan.

14
Demikian juga pada ayat di atas. Ia disertai dengan penyifatan hawa dalam arti bahwa bintang
tidak wajar untuk disembah karena ia suatu ketika terbenam atau turun. Ia tidak konsisten atau
seperti ucapan Nabi Ibrahim as.

“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:
“Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: “Saya tidak suka yang
tenggelam” (Q.S. al-An’am (6):76).

Perurutan informasi ayat di atas sungguh sangat serasi. Hal ini dimulai dengan sumpah
yang bertujuan menafikan segala macam kekurangan terhadap risalah Nabi Muhammad saw.
Hal ini dinilai dengan menafikan kesesatan, yakni penyimpangan beliau dari jalan yang benar,
dan ini berarti beliau berada dalam petunjuk. Tetapi, karena suatu petunjuk boleh jadi disertai
oleh semacam kelencengan yang dapat memperlambat pejalan kearah yang dituju, maka
ditegaskalah bahwa ia tidak melenceng dari arah yang benar. Selanjutnya, karena boleh jadi
tujuanya telah benar, namun ia masih disertai dengan uraian yang tidak bermanfaat, maka
ditegaskan lagi bahwa beliau tidak berucap berdasar hawa nafsu, tetapi semata-mata atas
petunjuk wahyu yang disampaikan oleh malaikat yang sangat terpercaya.

Selanjutnya Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan maksud kata ‫صاحبكم‬
(kawanmu) pada ayat kedua, bahwa ayat ini dihadapkan manusia di zaman Nabi, yang telah
menyatakan beliau sebagai temanya, atau sahabatnya. Segala orang yang telah bertemu dengan
beliau dan percaya akan risalah beliau, disebut sahabat beliau, dan beliau adalah sahabat
mereka, teman setia. Maka di dalam ayat diperingatkanlah bahwa teman mereka itu, yaitu Nabi
Muhammad saw., tidaklah tersesat, tidaklah bertindak sekehendak hati/semau-maunya. “Dan
tidaklah dia keliru”, pada akhir ayat kedua, dijelaskan bahwa perbedaan sesat dan keliru ialah
bahwa sesat (dhalla) ialah salah mengambil jalan karena tidak tahu samasekali. Sedang keliru
(ghawaa) ialah menyangka bahwa jalan yang ditempuh itulah yang benar, meskipun telah
ditegur, lalu ditempuh juga, akhirnya bertemu jalan yang buntu.

Sementara itu Salman Harun dalam Tafsir Tarbawi menjelaskan maksud kata ‫صاحبكم‬
(kawanmu) adalah Nabi Muhammad saw. Disebutkan kata “kawanmu” untuk mengingatkan
mereka, bahwa mereka telah mengenal keadaan dan pribadi beliau yang penuh dengan kejujuran

15
dan petunjuk, dan bahwa keadaan beliau tidak samar bagi mereka.37 Maksud ayat ini kiranya
adalah bahwa bila bintang saja yang sudah ditentukan Allah orbitnya tersendiri bisa “tersesat”
dari orbitnya itu, maka Allah menegaskan Nabi Muhammad tidak demikian. Ia tidak pernah
tersesat dari jalan yang benar (‫ضل‬: menyimpang) apalagi benar-benar jatuh ke dalam
kesesatan/hawa nafsunya sendiri (‫)غوي‬.

Adapun Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsir Maraghi menambahkan penjelasan


Salman harun di atas mengenai ketidak sesatan Rasul sebagai penyampai risalah umat, Mustafa
Al-Maraghi memaparkan bahwa Rasulullah adalah seorang yang terbimbing dan memberi
bimbingan dengan mengikuti kebenaran. Dia tidak sesat dan tidak pula menempuh jalan tanpa
ilmu. Dia bukanlah orang yang menyeleweng dari kebenaran menuju kepada yang tidak benar.
Dengan sifat inilah Allah SWT. membersihkan Rasul-Nya dan memberi syariat kepadanya agar
jangan meniru orang-orang yang sesat, baik dari kaum Yahudi maupun kaum Nashrani yang
mengetahui kebenaran, namun melakukan yang tidak benar. Jadi Rasulullah berada pada
kelurusan, keseimbangan dan kebenaran yang sempurna.

Sayyid Quthb menberikan perincian kejelasan mengenai ketidak sesatan Nabi dalam
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, bahwa temanmu (Nabi saw.,) adalah orang yang lurus dan tidak sesat,
menunjukan dan tidak menyesatkan, tulus dan tidak ada pamrih, menyampaikan kebenaran dari
al-Haq, tidak berilusi, tidak mengada-ada, tidak merekayasa, tidak bertutur berdasarkan
keinginanya ihwal risalah yang disampaikanya, tetapi yang disampaikan itu adalah wahyu
semata. Beliau menyampaikan kepadamu apa yang diwahyukan kepadanya dengan jujur dan
terpercaya. Pembawaan wahyu ini telah dikenal, tingkah lakunya meyakinkan, dan gerak
geriknya dapat diamati. Rasulullah melihat wahyu dengan mata dan kalbunya. Jadi, dia tidak
sedang berilusi dan tertipu.

Lebih jauh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i menuturkan bahwa “Kawanmu tidak sesat dan
tidak pula keliru”, inilah yang menjadi tujuan sumpah Allah Ta’ala, yaitu kesaksian dari-Nya
atas Rasul-Nya Muhammad saw., bahwa beliau adalah seorang yang lurus dan mengikuti
kebenaran, bukan orang yang mengikuti kesesatan. Adh-dhaal (sesat) itu ialah orang bodoh
yang berjalan tanpa petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan, al-ghaawi (keliru) ialah orang
yang mengetahui kebenaran, tetapi menyimpang darinya kepada yang lain dengan sengaja.

16
Maka, Rasulullah berada di dalam puncak istiqamah, keseimbangan, dan kelurusan. Itulah
sebabnya Allah Ta’ala berfirman tentang pribadi beliau, “Dan tiadalah yang diucapkanya itu
menurut kemauan hawa nafsunya”. Yaitu, tidaklah dia mengatakan sesuatu yang menyimpang
dari tujuan dan hanya berdasarkan nafsu. “Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan”. Yakni, dia hanya mengatakan apa yang telah diperintahkan kepadanya dan
menyampaikanya kepada umat manusia dengan sempurna, tanpa tambahan dan tanpa
pengurangan.

Mengacu pada pemahama kata (‫ )غوى‬ghawa di atas, M. Quraish Shihab menambahkan


penjelasan, bahwa (‫ )غوى‬ghawa terambil dari kata (‫ )الغي‬alghay, yaitu penyimpangan dari jalan
yang benar. Ia adalah kesalahan dan ketidaktahuan dalam bidang akidah. Ini karena
ketidaktahuan bisa saja dibarengi dengan kepercayaan yang benar atau keliru dan bila dibarengi
dengan keyakinan, maka ketika itu dinamai (‫ )غي‬ghay, demikian keterangan Thabathaba’i.

Allah menerangkan bahwa kawan mereka itu (Muhammad) adalah benar-benar seorang
Nabi. Dia tidak pernah menyimpang dari jalan yang benar dan juga tidak pernah melaukan
kebatilan.Pada ayat kedua sampai ayat keempat ini Allah swt menerangkan bahwa Muhammad
saw itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti hawa
nafsunya termasuk dalam perkataanya.Orang yang mungkin keliru atau tersesat ialah orang
yang menuruti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah:“Janganlah engkau mengetahui hawa
nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (Q.S. as-Sad: 2).43

Jika tidak ada ilmu yang diwariskan dari para Nabi, tentu manusia berada dalam
kegelapan, bahkan lebih gelap dari malam yang kelam. Isi sumpah itu adalah membersihkan
Nabi Muhammad saw dari tuduhan sesat dalam ilmunya dan dalam niatnya, di mana hal ini
menghendaki beliau sebagai orang yang mendapat petunjuk dalam ilmunya dan memberi
petunjuk yang baik serta memberikan sikap nush-h (tulus) kepada umatnya: berbeda dengan
orang sesat yang sesat; yang rusak ilmu dan niatnya.

Kemudian M. Quraish Shihab memaknai kata (‫ )ماينطق‬ma yanthiqu/tiadalah pada ayat


ketiga dijelaskan bahwa ia berucap dari segi redaksional mencakup ucapan apa pun yang
disampaikan Nabi Muhammad saw. Ini dikuatkan oleh riwayat yang menyatakan bahwa

17
Abdullah Ibn ‘Amr berkata: “Aku tadinya menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah
saw., tetapi (teman-temanku dari) suku Quraisy melarangku”. Mereka berkata: “Engkau
menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah saw. Padahal beliau adalah manusia
yang berbicara ketika marah atau rela”. Maka, aku, kata Ibn ‘Amr, menghentikan penulisan dan
menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu, beliau berkata: “Tulislah! Demi Allah
yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, tidak keluar (satu ucapan dariku) kecuali
haq/kebenaran.

Sementara itu, M. Quraish Shihab menambahkan pemaknaan pada kata (‫ )الھوى‬al-hawa


di kalimat selanjutnya berarti kecenderungan hati kepada sesuatu tanpa pertimbangan akal yang
sehat. Thabathaba’i yang dikutip Quraish Shihab berpendapat bahwa karena ayat ini ditunjukan
kepada kaum musyrikin yang menuduh al-Qur’an dan risalah yang beliau sampaikan adalah
bohong, ini ditunjuka kepadaapa yang diucapkan itu adalah al-Qur’an dan ajaran keagamaan
yang beliau sampaikan.Apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah
berdasarkan bahwa nafsu atau untuk kepentingan pribadinya sendiri.Rasulullah saw., hanyalah
mengucapkan apa yang diperintahkan kepadanya supaya ia sampaiakan kepada umat manusia
dengan sempurna tanpa ditambah maupun dikurangi.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan maksud ayat ketiga di sini,
bahwasanya apabila Rasulullah bertutur atau bercakap mengeluarkan perkataan, tidaklah itu
timbul dari kehendaknya sendiri saja. Bahkan bila ada orang berbuat suatu perbuatan di hadapan
beliau, sedang perbuatan itu tidak beliau larang, melainkan beliau diam, maka diamnya itu pun
jadi hujjah (alasan dan dalil) bahwa diamnya adalah alamat perbuatan itu boleh dikerjakan.
Itulah sebabnya maka sunnah Rasull itu dibagi kepada 3 bagian:(1) Aqwaal (ucapan); (2) Af’al
(perbuatan beliau); (3) Taqrir (perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur). Oleh sebab itu
segala ucapan yang beliau ucapkan, tidaklah lepas dari batas-batas wahyu. Dan tidaklah
mungkin perkataan beliau berlawanan dengan wahyu yang beliau terima dari Allah dengan
perantaraan Jibril a.s.

M. Quraish Shihab menambahkan penjelasan dalam memaknai kata (‫ )هو‬huwa pada ayat
ke empat di pahami oleh sebagian ulama, sebagai cakupan al-Qur’an dan hadist. Tetapi, ada
juga yang membatasinya hanya pada wahyu al-Qur’an. Meskipun hal inimenjadi perbedaan,

18
yang terpenting adalah ketika kita menganggapnya sebuah hadis, maka hadis hendaknya dilihat
kandunganya, apakah ia shahih atau tidak, lalu yang shahih juga dipilih, apakah ia merupakan
ijtihad Nabi saw. atau bukan. Ini karena ada sebagian sabda-sabda Nabi Muhammad saw. yang
berkaitan dengan masalahmasalah duniawi yang ternyata meleset dari kebenaran, dan karena
itu pula beliau berpesan agar menerima apa yang beliau sampaikan menyangkut urusan agama,
sedang keterangan beliau menyangkut urusan dunia dikembalikanya kepada ahlinya. Atas dasar
itu, maka dengan hal inilah dipilih untuk memahami cakupan kata huwa pada ayat ke empat
terbatas pada al-Qur’an dan penejelsanya.

Selajutnya pemaknaan kata (‫ )وحي‬wahyu(n) pada ayat keempat dijelaskan M. Quraish


Shihab, bahwadari segala bahasa adalah isyarat yang cepat, mirip dengan sesuatu yang
dirahasiakan. Banyak ulama mendefinisikanya dengan; “Informasi yang disampaikan Allah
kepada seorang Nabi tentang ajaran agama atau semacamnya, baik secara langsung maupun
tidak”. Syaikh Muhammad ‘Abduh yang dikutip M. Quraish Shihab memahaminya dalam arti
‘Irfan, yakni penegtahuan yang sangat agung yang diterima seseorang disertai dengan
keyakinan bahwa itu bersumber dari Allah swt.

Salman Harun dalam Tafsir tarbawi menegaskan penjelsan wahyu di atas bahwa, apa
yang disampaikanya kepada umat seluruhnya adalah wahyu yang diwahyukan Allah.
Penyampaian wahyu itu melalui Jibril. Jibril menyampaikan wahyu tersebut melalui dua cara:
cara yang Pertama,langsung menyampainkanya ke dalam hati Nabi, yang beliau lukiskan
bagaikan bunyi gemerincing bel yang menyesakkan telinga sehingga terasa berat yang membuat
beliau bercucuran keringat walaupun waktu itu musim dingin yang sangat dingin. Dan ada pula
penyampaian itu dengan cara yang Kedua, yakni Jibril mengubah bentuknya menjadi manusia
lalu mengajarkanya kepada Nabi saw sekaligus kadang-kadang didengar pula oleh para sahabat
yang hadir.

Bentuk wahyu itu ada dua macam: 1). Wahyu langsung pesan dan teksnya dari Allah
yaitu al-Qur’an, dan., 2). Wahyu yang pesannya dari Allah tetapi perwujudannya menjadi teks
atau perbuatan adalah dari Nabi saw yang disebut hadis qudsi.Sementara itu Hamka
berpendapat dalam tafsir AL-Azhar, bahwa yang dimaksud dengan isi kandungan ayat keempat
ini ialah Nabi Muhammad sekali-kali tidak boleh bercakap dengan sebagian perkataan semau-

19
maunya saja, tidak berdasar kepada wahyu yang dia terima dari Allah, maka ia akan ditarik
dengan tangan kanan Tuhan. Sudah terang bahwa menyebut tangan kanan adalah semata-mata
menjelaskan bagaimaa kerasnya hukum Tuhan yang akan berlaku atas diri beliau, sebab tangan
kanan adalah untuk menunjukan bahwa tarikanya lebih kuat dari tangan kiri. Tetapi setengah
ahli tafsir memberi arti bahwa tangan kanan Nabi Muhammad lah yang akan ditarik dan
jantungnya yang akan diputuskan kalau dia berani bercakap semau-maunya, keluar dari garis
wahyu.

Dengan demikian, tidak ada yang ia (Nabi Muhammad saw) ikuti selain wahyu yang
diwahyukan Allah kepadanya. Ayat ini menunjukan bahwa asSunnah termasuk wahyu Allah
kepada Rasul-Nya saw sebagaimana firman Allah: “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan
kitab dan hikmah kepadamu...” (an-Nisa:113), dan bahwa beliau ma’shum dalam hal yang
beliau sampaikan dari Allah, karena ucapanya tidak keluar dari keinginanya, tetapi dari wahyu
yang diwahyukan kepadanya.

b) Tafsir Surah An-Najm Ayat 5

ُ ‫( َعلَّ َمهُۥ َش ِد‬٥)


‫يد ٱلْ ُق َوى‬

Allah berfirman bahwa: ia, yakni wahyu yang diterimanya itu, diajarkan kepadanya,
yakni kepada Nabi Muhammads saw., oleh malaikat Jibril yang sangat kuat, pemilik potensi
akilah yang sangat hebat; lalu dia, yakni malaikat Jibril, tampil sempurna dan menampakan diri
dengan rupanya yang asli. Sedang dia, yakni malaikat itu, berada di ufuk langit yang tinggi
berhadapan dengan orang yang menengadah kepadanya.

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah memaknai kata ‫علمه‬


‘allamahu/diajarkan kepadanya bukan berarti bahwa wahyu tersebut bersumber dari malaikat
Jibril. Seorang yang mengajar tidak mutlak menggajarkan sesuatu yang bersumber dari sang
pengajar. Bukankah kita mengajarkan anak kita membaca, padahal seringkali bacaan yang
diajarkanya itu bukan karya kita? Menyampaikan atau menjelaskan sesuatu secara baik dan
benar adalah salah satu bentuk pengajaran. Malaikat menerima wahyu dari Allah dengan tugas

20
menyampaikanya secara baik dan benar kepada Nabi saw., dan itulah yang dimaksud dengan
pengajaranya di sini.

Sementara itu Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsir Maraghi menguatkan penjelasan
M. Quraish Shihab di atas dengan penjelasan bahwa kawanmu (Nabi Muhammad saw) itu
diajari oleh Jibril as., sedang Jibril a.s. adalah seorang mahluk yang berkekuatan hebat, baik
ilmu maupun perbuatanya. Dia mengetahui dan juga beramal. Dan tidak diragukan, bahwa
pujian kepada guru merupakan pujian pula bagi muridnya. Hal ini juga merupakan bantahan
terhadap orang-orang musyrik mengenai perkataan mereka. Bahkan apa yang dikatakan oleh
Muhammad, tak lain adalah dongeng-dongeng orang dahulu yang dia dengar ketika melakukan
perjalanan ke Syam.

Dalam firman Allah dijelaskan:“Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar firman


(Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan, memiliki
kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki ‘Arsy, yang di sana (di alam malaikat) ditaati
dan dipercaya” (at-Takwir: 19-21)

Selanjutnya dalam Tafsir Depag RI, dijelaskan makna ‫ شديد القوى‬pada ayat ke lima ini
diartikan dengan ‘yang amat sangat kekuatanya’ adalah Jibril. Bagaimana kuatnya Jibril itu
dilukiskan dalam al-Qur’an bahwa ia dalam bentuk aslinya memiliki 600 sayap. Dan ia
menempuh jarak antara ‘Arasyi Allah dan bumi dengan perbandingan satu hari sama denga
50.000 tahun itu dipahami 50.000 tahun perjalanan cahaya. Contohnya adalah peristiwa Isra’
dan Mi’raj: Nabi saw melukiskan perjalanannya ke Yarussalem terus ke ‘Arasy60 itu
berlangsung begitu sekejap sehingga waktu beliau kembali ke kamarnya hangat tempat tidur
yang ditinggalkan Rasul masih terasa olehnya, padahal jarak itu begitu jauhnya. Dan begitu
perkasanya Jibril sehingga ia dalam hadis disebut sebagai Sayyidul Malaikah ‘penghulu para
malaikat’. Ia dengan demikian tidak bisa dikalahkan oleh iblis sebagai sosok yang selalu
berupaya berbuat jahat, sehingga wahyu yang dibawanya tidak mungkin disabot (dirampas
paksa) oleh iblis itu.

Dalam hal ini memahami makna ‫ شديد القوى‬menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam
ringkasan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah mengabarkan tentang hamba dari

21
utusan-Nya Muhammad bahwa dia telah diberi pelajaran yang dia bawa kepada umat manusia
oleh “yang sangat kuat” yaitu Jibril a.s.

Di dalam keterangan lain, kata “Syadidul Quwa” yang ditunjukan pada Jibril as. Ialah
yang sangat kuat fisik maupun batinya, kuat melaksanakan perintah Allah. Kuat menyampaikan
wahyu kepada Rasulullah saw dan kuat menjaganya dari disentuh oleh setan serta dimasukan
oleh setan sesuatu yang bukan darinya. Hal ini juga termasuk penjagaan Allah swt terhadap
wahyu-Nya, yaitu dengan mengutus malaikat yang kuat lagi amanah.

Allah swt menerangkan dalam ayat kelima ini, bahwa Jibril itu mempunyai kekuatan
yang luar biasa. Seperti dalam riwayat bahwa ia pernah membalikan perkampungan Nabi Lut
kemudian mereka diangkat ke langit lalu dijatuhkan ke bumi. Ia pernah menghembus kaum
Samud hingga bertebrangan. Dan apabila ia turun ke bumi hanya dibutuhkan waktu sekejap
mata. Lagi pula ia dapat berubah bentuk menjadi seperti manusia.Di samping itu juga Jibril
digelari al-Ruh al-Amin ‘Ruh yang Terpercaya’ ( Q.S. 26:193) yang berarti bahwa ia tidak
mengorup apa pun yang diminta Allah untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Lebih jauh dijelaskan Salman Harun dalam Q.S. 81:19-25 dideskripsikan bahwa Jibril
adalah utusan (‫ )رسول‬Allah yang membawa“ucapan” (‫ )قول‬Allah, yang berarti bahwa wahyu
itu teks dan pesanya dari Allah, yaitu al-Qur’an. Bahwa Jibril itu ‫ كريم‬yang berarti
menyampaikan seluruh yang diperintahkan-Nya untuk disampaikan, tidak mengorupsinya
sedikit pun. Bahwa Jibril itu ‫‘ ذيقوة عند ذي العرش‬Pemilik kekuatan di sisi Pemilik ‘Arasy’, yaitu
profesional dalam melaksanakan tugasnya dari Allah dan mampu mengemban tugasnya itu
dengan sepenuhnya tanpa halangan apa pun dan siapa pun. Bahwa ia ‫‘ مكين‬punya kedudukan
terhormat’ di sisi Allah, yaitu sebagai penghulu para malaikat dan ditugaskan menyampaikan
wahyu. Bahwa ia ‫‘ مطاع‬ditaati’, yaitu dihormatidan dipatuhi oleh seluruh malaikat dan ditakuti
iblis sehingga si jahat itu tidak bisa menganggu tugasnya.

Malaikat Jibril yang perkasa, terpercaya, dan sifat-sifat lainya itulah yang mengajari
Nabi Muhammad. Di antara yang diajarkanya adalah alQur’an. Oleh karena itu al-Qur’an
dipercaya sampai kepada Nabi Muhammad secara utuh, karena pembawanya tidak bisa

22
dikalahkan dan diintervensi oleh iblis, di samping ia begitu jujurnya memelihara dan
menyampaikannya kepada Nabi Muhammad saw.

Kesimpulanya bahwa Nabi saw., tak pernah diajari oleh seorang manusia pun. Akan
tetapi ia diajari oleh Jibril yang berkekuatan hebat. Sedang manusia itu diciptakan sebagai
mahluk yang dhaif. Ia tidak mendapatkan ilmu kecuali sedikit saja. Di samping itu, Jibril adalah
terpercaya perkataanya. Sebab, kecerdasan yang kuat merupakan syarat kepercayaan orang
terhadap perkataan orang lain. Begitu pula ia terpercaya hafalan maupun amanahnya. Artinya
dia tidak lupa dan dia tidak mungkin merubah.

c) Tafsir Surah An-Najm Ayat 6

ِ
ْ َ‫( ذُو مَّرٍة ف‬٦)
‫ٱستَ َوى‬

Menururt Salman harun dalam Tafsir Tarbawi menjelaskan kata ‫ ذومرة‬iniditunjukan


kepada malaikat Jibril a.s. yang memiliki kecerdasan, kemampuan profesional, dan tanggung
jawab yang hebat. Di samping itu Jibril mempunyai sifat (istawa), yaitu menampakan diri secara
jelas dalam bentuk aslinya kepada beliau. Pada umumnya Jibril itu datang dalambentuk mirip
dengan seorang sahabat bernama Dihyah. Tapi Jibril pernah datang dalam bentuk aslinya atas
permintaan Nabi saw., hal itu bahwa berarti kedatangan Jibril bukan sesuatu yang bohong,
karena sosoknya, proses penyampaian kepada Nabi saw, begitu juga apa yang disampaikanya
yaitu al-Qur’an, jelas Ada pun M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menambahkan
penjelasan kata (‫ )ةمر‬mirrah ini terambil dari kalimat (‫ )أمرت الحبل‬amrartu al-habla yang berarti
melilitkan tali guna menguatkan sesuatu. Kata (‫ )ةذومر‬dzu mirrah digunakan untuk
menggambarkan kekuatan nalar dan tingginya kemampuan seseorang. Dalam hal ini Al-Biqa’i
yang dikutip M. Quraish Shihab memahaminya dengan arti ketegasan dan kekuatan yang luar
biasa untuk melaksankaan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa sedikit pun mnegarah
kepada tugas selainya disertai dengan keikhlasan penuh. Ada juga yang memahaminya dalam
arti kekuatan fisik, akal, dan nalar.

Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Marahgi menjelaskan bahwa sifat Jibril yang
pertama menggambarkan tentang betapa kuat pekerjaanya. Sedang kali ini menggambarkan

23
tentang betapa kuat pemikiran dan betapa nyata pegaruh-pengaruhnya yang mengagumkan.
Kalau kita percaya akan hal ini, maka tak lain karena ia termasuk alam gaib. Dalam hal ini kita
cukup percaya dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Allah Ta’ala tanpa menambah-
nambahi.

Lebih luas lagi Muhammad Nasib Rifa’i dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir memaparkan
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw., tidak pernah
melihat Jibril a.s. dengan bentuknya yang agung kecuali dua kali: yang pertama adalah beliau
sendiri yang meminta kepada Allah Ta’ala agar dapat melihatnya dengan bentuk yang asli, maka
Jibril tampil memenuhi ufuk. Ada pun yang kedua adalah ketika beliau Isra’ bersamanya. Dan
itulah maksud firman Allah, “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi”.72 Dalam hal ini Ahamad
Mustafa AlMaraghi menambahkan ketika Jibril menampakan diri dalam rupanya yang asli,
sebagaimana Allah menciptakan dia dalam rupa tersebut, yaitu ketika Rasulullah ingin
melihatnya sedemikian rupa. Yakni bahwa Jibril itu menampakan diri kepada Rasulullah pada
ufuk yang tertinggi, yakni ufuk matahari.

Demikianlah, tidak ada keraguan mengenai keajaiban-keajaiban yang diceritakan al-


Qur’an. Karena apa saja yang tercantum di sana, yang berkaitan dengan malaikat, alam ruh,
alam akhirat, dan yang lainya adalah benar. Sebagaimana firman-Nya: “Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap penjuru dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar”. (Q.S.
Fushilat, 41:53).

d) Tafsir Surah An-Najm Ayat 7-10

ِِ
ْ ‫( َوُه َو بِ ْٱْلُفُ ِق ْٱْل‬٧) ‫( ثَُّم َدنَا فَتَ َدلَّى‬٨) ‫اب قَ ْو َسْي ِن أ َْو أ َْدنَى‬
‫َعلَى‬ َ َ‫( فَ َكا َن ق‬٩) ‫( فَأ َْو َحى إِلَى َعْبدهۦ َما أ َْو َحى‬١١)

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsir, mengisahkan


kedudukan malaikat Jibril pada ayat ketujuh di atas bahwa Jibril a.s. tampil memenuhi ufuk,
Firman Allah, “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi”. Adapun pandangan pertama adalah di
masa-masa pertama kenabian, setelah Jibril a.s. datang kepada beliau untuk pertama kalinya.
Kemudian dia mewahyukan kepada beliau ayat-ayat pertama surah al-‘Alaq, setelah itu

24
terputuslah wahyu dalam beberapa masa, yang di masa itu pula Nabi saw., berkali-kali pergi ke
puncak gunung hendak menjatuhkan diri. Setiap kali beliau berniat seperti itu, Jibril a.s. pun
memanggilnya dari langit, “Wahai Muhammad, engkau adalah benarbenar utusan Allah dan
saya adalah Jibril”. Maka menjadi tenanglah jiwanya itu dan sejuk pulalah pandangan matanya.
Kemudian setiap kali kejadian itu sirna, beliau kembali mengulangi perbuatanya sehingga Jibril
a.s. menampakan diri untuk beliau yang ketika itu berada di daerah Abthoh dengan bentuknya
yang asli. Dia mempunyai 600 sayap, sungguh bentuknya yag besar telah menutupi ufuk. Lalu
mendekatlah dia dengan beliau dan mewahyukan kepada beliau dari Allah Ta’ala tentang
sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan. Ketika itu pula Rasulallah mengetahui
keagungan malaikat yang telah datang kepadanya dengan membawa risalah dan kemuliaan
derajatnya serta ketinggian pangkatnya di sisi Sang Pencipta yang telah diutus kepada dirinya.

Menurut Salman Harun dalam Tafsir Tarbawi, menjelaskan lebih ringkas isi kandungan
ayat ketujuh di atas bahwa malaikat Jibril a.s. pada waktu Nabi saw melihatnya dalam bentuk
asli tengah berada di ufuk yang tinggi yaitu di langit. Yakni ufuk/ujung langit yang tinggi pula
dari bumi.Artinya Nabi secara jelas melihatnya berada di langit. Diinformasikan bahwa pada
waktu Jibril mewujudkan dirinya dalam bentuk aslinya itu, matahari tertutup, karena besarnya
dia.

Pada saat Nabi Muhammad saw melihat Jibril di tempat yang tinggi, kemudian Jibril
memenuhi angkasa itu, lalu mendekati Nabi Muhammad saw dan Jibril semakin mendekat lagi
kepada Nabi Muhammad saw hingga jaraknya kira-kira hampir dua ujung busur panah atau
lebih dekat lagi.

Namun M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa ada juga ulama
yang memahami ayat di atas berbicara tentang Nabi Muhammad saw., yakni Nabi agung itu
adalah seorang tokoh yang kuat kepribadianya serta matang pikiran dan akalnya lagi sangat
tegas dalam membela agama Allah. Demikian ulama memahami kata (‫ )هو‬huwa/diapada ayat
ketujuh di atas dalam arti Nabi Muhammad saw.

Selanjutnya pada ayat kedelapan di atas, dikisahkan Salman Harun dalam Tafsir
Tarbarwi bahwa Jibril mendekat kepada Nabi saw (‫ )دنا‬atau turun dari langit siap menyampaikan

25
wahyu (‫)تدلى‬. Kata ‫ تدلى‬dari ‫ دلو‬yaitu timba, dijelaskan Salamn Harun bahwa bila ingin
memperoleh air timba harus dijulurkan terlebih dulu tali timbanya ke dalam sumur dan
digerakgerakan di dalamnya. Begitu jugalah malaikat mendekati Nabi saw lalu menyelami
dirinya dan menguasainya untuk siap menerima wahyu.

Kemudian pemahaman kata (‫ )ّثم‬tsumma pada awal ayat kedelapan di atas, menurut M.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah dijelaskan berfungsi untuk mengisyaratkan ketinggian
dan keagungan istiwapenampilan sempurna malaikat Jibril a.s. Sementara kata ( ‫)فتدل‬
fatadallamenurut M. Quraish Shihab diilustrasikan maknanya oleh para pakar tafsir, al-
Baidhawi, sebagai buah yang masih bergantung pada dahan sebuah pohon, yang turun ke bawah
tanpa terlepeas dari ketergantunganya pada dahan itu. Ini mengisyaratkan bahwa Jibril yang
amat kuat itu tidak beranjak dari tempatnya, demikianlah malaikat Jibril bertemu Nabi
Muhammad saw.

Menurut al-Baqa’i, yang dikutip M. Quraish Shihab dalam Tafsir AlMisbah


menjelaskan kata (‫ )تدل‬tadalla pada mulanya berasal dari kata (‫ )تدلل‬tadallala yang mengandung
makna kesenangan, kemanjaan, kepercayaan, dan kasih sayang. Yakni beliau begitu senang,
dimanja, dan dipercaya sehingga permohonan Nabi Muhammad saw., diperkenankan Allah swt.
Al-Baqa’i menambahkan yang dikutip M. Quraish Shihab menggaris bawahi bahwa kedekatan
yang dimaksud harus dipahami sesuai dengan kewajaran alam kudus. Kedekatan dan turun
tersebut dapat diartikan sebagai gambaran tentang betapa mudah dan lancarnya komunikasi
anatara malaikat Jibril a.s. dengan Nabi Muhammad saw.

Kemudian kata (‫ )قوسين‬qausain pada ayat ke sembilan diartikan M. Quraih Shihab


sebagai bentuk dual dari kata (‫ )قوس‬qaus yang berarti busur panah. Ada juga yang
memahaminya dalam arti lengan. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa sahabat
Nabi saw., Ibn Mas’ud ra., berkata bahwa Nabi Muhammad saw., ketika itu melihat malaikat
Jibril dengan enam ratus sayap (tentu saja informasi Ibnu Mas’ud ini berdasar penyampaian
Nabi Muhammad saw).

Senada dengan penjelasan M. Quraish Shihab di atas, Mustafa AlMaraghi dalam tafsir
Al-Maraghi mengartikan kata ‫ قوس‬sebagai jarak ujung busur dengan pertengahanya. Dua qaus

26
berarti jarak antara dua ujung busur. Begitu dekatnya Jibril kepada Nabi saw sehingga
komunikasi jelas dan pesan yang diterima Nabi saw pun jelas pula. Ini menunjukan tidak ada
lagi perantara antara malaikat Jibril as. dengan Nabi Muhammad saw. Malaikat Jibril itu
mewahyukan kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad saw) apa yang diperintahka-Nya untuk
diwahyukan. Nabi pun menerimanya dengan baik dan langsung terpatri dalam jiwanya.

Selajutnya diterangkan dalam Tafsir Depag RI, bahwa setelah Nabi Muhammad saw
sudah berdekatan benar dengan Jibril, Jibril menyampaikan wahyu Allah mengenai persoalan-
persoalan agama.

Dalm hal ini yakni berupa syariat yang besar dan berita yang lurus.Allah swt. tentulah
mengetahui secara pasti dan akurat jarak antara Nabi saw., dengan malaikat Jibril as., karena
itu, firman-Nya di atas ( ‫ )ادني او قوسين قاب فكان‬fakana qaba qausaini au adna/maka jadilah dia
sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat sebagai ungkapan yang dikenal pemakai bahasa
Arab untuk menunjukan kedekatan yag luar biasa. Atau ia dipahami dalam arti seandainya ada
yang melihat mereka itu, maka dia an berkata bahwa kedekatan Nabi Muhammad saw., dengan
Jibril adalah sejarak dua ujung panah atau lebih dekat.

Selanjutnya kata ‫ ماأوحى‬ma auha pada ayat ke sepuluh menurut M. Quraish Shihab
mengisyaratkan bahwa wahyu yang disampaikan itu adalah sesuatu yang sangat agung
dampaknya terhadap umat manusia bahkan alam semesta amatlah besar. Ayat 10 di atas dapat
juga dipahami dalam arti: Lalu Dia, yakni Allah swt., mewahyukan kepada hamba-Nya melalui
malaikat Jibril apa yang diwahyukan. Atau bermakna: Dia, yakni malaikat Jibril, mewahyukan
kepada Nabi saw., untuk disampaikan kepada hamba-Nya.

Sementara itu Salman Harun menambahkan penjelasan dalam Tafsir Tarbawi pada ayat
kesepuluh di atas, bahwa malaikat Jibril a.s. mewahyukan kepada hamba-Nya (Nabi
Muhammad saw) apa yang diperintahkan-Nya untuk diwahyukan. Nabi pun menerimanya
dengan baik dan langsung terpatri dalam jiwanya.

Dengan demikian, persoalanya adalah persoalan wahyu, kejelasan yang nyata,


penglihatan yang benar, keyakinan yang pasti, pertautan yang langsung, pengetahuan yang kuat,
keintiman yang faktual, dan perjalanan yang realistis dengan segala perniknya dan sumbernya.

27
Di atas keyakinan inilah bertumpu dakwah “Temanmu” yang kalian ingkari, dustakan, dan
ragukan kebenaran wahyu yang disampaikan kepadanya. Dialah temanmu yang telah kalian
kenal dan ketahui. Dia bukanlah orang asing sehingga kalian tidak mengenalnya. Tuhanya
membenarkan beliau dan dia bersumpah atas kebenaranya. Dia mengisahkan kepadamu
bagaimana, dalam kondisi apa, melalui siapa, dan dimana beliau menerima wahyu.

Karakteristik Guru Ideal Menurut Surat An-Najm ayat 1-10

Di dalam tafsir surah an-Najm ayat 1-10 ini, Allah swt., memberikan perumpamaan
terhadap sifat malaikat Jibril a.s. sebagai sosok guru ideal bagi murid tersayangnya, yakni Nabi
Muhammad saw. Di mana, pada penejelasan ayat-ayat-Nya Allah menjelaskan tentang
kebenaran kitab yang dibawa Nabi Muhammad saw., berupa al-Qur’an yang mulia, yang
diajarkan oleh malaikat yang sangat kuat, malaikat yang sangat cerdas, malaikat yang sangat
berani, malaikat yang memiliki sifat peduli dan memahami, serta malakiat yang mampu
menampakan diri dengan rupa yang asli pada murid tersayangnya, yakni Nabi Muhammad saw.
Akhirnya, setelah penulis menelusuri tafsir dari para muffasir di atas, maka dapat
diklasifikasikan beberapa karakteristik guru ideal dalam surah An-Najm ayat 1-10, adalah
sebagai berikut:

1. Kuat fisik dan Bathin (‫)القوى شديد‬


Di dalam penejelasan tafsir surah An-Najm ayat kelima menunjukan kata ‫شديد‬
‫ القوى‬ini kepada malaikat Jibril a.s. kekuatan malaikat Jibril itu dilukiskan dalam tafsir
Al-Maraghi, menurut Ahmad Mustafa al-Maraghi bahwa kekuatan Jibril pernah
mencukil negri kaum Lut dari laut hitam yang waktu itu berada di bawah tanah, lalu
memanggulnya pada kedua sayapnya dan diangakatnya negri itu ke langit, kemudian
dibalikan. Pernah pula ia berteriak terhadap kaum samud, sehingga mereka semua mati.
Dalam tafsir Depag RI, memberikan penjelasan serupa dari penafsiran Mustafa
Al-Maraghi di atas bahwa, kekuatan Jibril diumpamakan dengan membalikan
perkampungan Nabi Lut kemudian diangkat ke langit lalu dijatuhkan lagi ke bumi. Ia
pernahmenghembus kaum Samud hingga bertebrangan. Dan apabila ia turun ke bumi
hanya dibutuhkan waktu sekejap mata. Lagi pula ia dapat berubah bentuk menjadi
seperti manusia.

28
Sementra Menurut Salman Harun, di dalam tafsir Tarbawi, dijelaskan kekuatan
malaikat Jibril itu memiliki 600 sayap dan mampu menempuh jarak antara ‘Arsy Allah
dan bumi hanya dengan perbandingan satu hari saja.
Merujuk pemahaman beberapa muffasir di atas, yang dimaksud karakteristik
guru ideal dengan kuat fisik dan bathin ialah, seorang guru yang kuat fisiknya dalam
menghadapi setiap permasalahan yang dia temui di lingkungan sekolah. Kuat bathin
artinya, seorang guru yang mampu menerima setiap rencana baik/buruk yang ia peroleh
saat mendidik siswa/inya di kelas. Kekuatan yang seperti inilah yang dimaksud kuat
fisik dan bathin bagi seorang guru yang berkarakteristik ideal, seperti halnya yang
diumpamakan malaikat Jibril a.s. dengan kekuatanya yang lua biasa hebat.
Dalam hal ini, Mahmud Yunus berpendapat bahwa guru tak akan dapat
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya kecuali kalau ia mempunyai pengaruh dan
kewibawaan dalam hati murid-muridnya. Pengaruh dan kewibawaan guru itu hanya ada,
kalau guru mempunyai kepribadian yang kuat. Supaya guru mempunyai kepribadian
yag kuat, ia harus percaya kepada dirinya, dan menghormati dirinya, tidak menghina
orang lain, dan tidak pula menyombongkan diri. Guru takkan sukses, kalau lemah
kepribadianya, bimbang dan ragu-ragu pendirianya, tidak keras kemauanya, melalaikan
kewajibannya, ia tidak memikirkan selain gaji besar, kerja sedikit, dan cepat naik
pangkat.
Untuk menajdi guru yang mempunyai kepribadian yang sempurna, haruslah
badanya tegap, panca inderanya sehat, perkataanya fasih, akhlaknya baik, pandai
menghargai dirinya, jujur dalam pekerjaanya, suka menjaga disiplin, pandai bergaul dan
menekan perasaanya, betul pendapatnya, keras kemauanya, ahli dalam mata
pelajaranya, mengetahui jiwa murid-muridnya dan kemauan hati mereka, ia dapat
mengatur pekerjaan sekolah dengan sebaik-baiknya menurut mestinya.
Adapun dalam penjelasan tafsir Tarbawi menurut Salman Harun, yang dimaksud
kuat bagi serang guru ialah, guru yang terlingkup dalam beberapa sifat, diantaranya: dia
yang ‫ كريم‬yaitu, guru yang mampu melaksankan tugas-tugasnya dengan baik di dalam
dunia pendidikan, seorang guru yang ‫ مكين‬yaitu, guru yang punya kedudukan terhormat
di sisi Allah SWT., di sisi manusia, maupun alam sekitarnya, seorang guru yang ‫مطاع‬
yaitu, guru yang dihormati dan dipatuhi oleh para peserta didik dan wali muridnya.

29
Maka dari lingkupan sifat-sifat inilah yang menunjukan arti kuat sebenarnya bagi
seorang guru yang berkarakteristik ideal.
2. Cerdas dan Pintar (‫)ذومرة‬
Menurut pendapat ahli psikolog perkembangan sekaligus sebagai profesor
pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat,
Howard Garder, yang dikutip oleh Sulung Nofrianto, bahwa yang dimaksud dengan
intelegensi/kecerdasan ialah, sebuah kemampuan untuk memecahkan persoalan dan
menghasilkan produk dalam kondisi yang bermacam-macam dan pada situasi yang
nyata.
3. Memiliki Bakat sebagai Guru yang Terlihat dalam Ucapan, Perbuatan, dan Tingkah
Laku (‫)استوى‬
Di dalam tafsir Al-Misbah, menurut Quraish Shihab makna ‫ استوى‬ini diartikan
dengan menampakan diri pada rupanya yang asli.
Sementara itu Muhammad Nasib Ar-Rifa’i menafsirkan dalam tafsir Ibnu Katsir
kata ‫ استوى‬ini ialah, Jibril a.s. menampakan diri dengan bentuknya yang asli di ufuk yang
tinggi.
Menurut Ahmad Muastafa Al-Maraghi dalam tafsir AlMaraghi mengartikan kata
‫ استوى‬ini yakni Jibril itu menampakan diri kepada Rasulullah saw., pada ufuk yang
tertinggi, yaitu ufuk matahari, Jibril memenuhi ufuk tersebut, kemudian mulai lah ia
mendekat kepada Rasulullah saw.
Dari penjelasan beberapa muffasir di atas, maka dapat penulis pahami bahwa
kata ‫ استوى‬bagi seorang guru yang berkarakteristik ideal di sini ialah, seorang guru yang
memiliki pembawaan dan bakat menjadi pengajar dan pendidik anak-anak di sekolah.
Hal ini yang senada dengan pengertian “Menampakan diri secara jelas dalam bentuk
aslinya”. Maka dengan demikian, guru yang ideal dalam makna ‫ استوى‬adalah, guru yang
betul-betul berbakat untuk menjadi seorang pengajar, pendidik, pembimbing, penilai,
pengarah, penunjuk, serta pendukung yang baik bagi anak didiknya di dalam dunia
pendidikan.
4. Peduli (‫ )دنا‬dan Memahami (‫)تدلى‬
Setiap guru yang baik, senantiasa tertanam jiwa peduli dan memahami anak
didiknya, terlebih bagi anak didik yang memang betul-betul membutuhkan kepedulian

30
khusus saat proses belajar-mengajar berlangsung di kelas, guru yang ideal tentu akan
mengerti karakteristik yang satu ini, yakni peduli dan memahami.
Menurut Salman Harun dalam tafsir Tarbawai, menjelaskan makna ‫( دنا‬peduli)
bagi seorang guru kepada murid dengan arti berusaha mendekatkan diri kepada murid
untuk memahami murid dan mendorongnya untuk maju.Artinya, guru tidak boleh
bagaikan raja diatas “menara gading” sehingga jauh dan tak terjangkau akrab dengan
murid.Ada pun kata ‫( تدلى‬memahami) bagi seorang guru menurut Salman Harun ialah,
guru yang menyelami dan mendalami karakter murid dan kesulitan mereka untuk
didorong maju sesuai bakat dan minat mereka, serta dibantu dalam mengatasi kesulitan
mereka.
Mengacu pada penejelasan Salman Harun di atas, Zakiah Darajat dalam hal ini
menambahkan penjelasan memahami dan mendalami krakteristik setiap anak didik.
Menurutnya bahwa, tingkat pertumbuhan dan kematangan tiap tingkat umur mempunyai
kehususan sendiri, berbeda dari tingkat lainya, maka perlakuan dan cara menghadapi
anak didik yang bermacam-macam itu harus sesuai dengan kekhususan umur tersebut.
Guru yang mengerti dan memperlakukan anak didik dengan bijaksana akan disenagi
oleh anak didik dan akan berhasil dalam usahanya untuk mendidik dan membimbing
mereka.
Dengan demikian, guru harus menyadari bahwa setiap anak masuk ke sekolah
membawa segala latar belakang kehidupan dan pengalaman dari orangtua dan
lingkunganya, maka guru dalam hal ini tentu harus menampung keberaneka ragaman
sikap dan kelakuan anak didik, semuanya harus mendapat perhatian dan pelayanan yang
diperlukan sesuai dengan pribadi yang dibawanya. Semua anak didik dengan latar
belakang dan pengalaman yang bermacam-macam itu, harus dibimbing dan diarahkan
kepada tujuan yang hendak dicapai, maka kelapangan dada, kebijaksanaan dan
ketenangan jiwa guru sangat diperlukan, agar tidak terombang ambing oleh keadaan
anak didik yang beraneka ragam tersebut.
Sementara itu, apabila kita melihat makna kepedulian seorang guru secara usaha
spiritualitas, maka seorang guru yang ideal disini akan melakukan beberapa hal
sebagaiamana yang dijelaskan Sulung Nofrianto dalam bukunya “The Golden Teacher”.
Sulung memaparkan bahwa guru ideal dengan karakteristik peduli ialah, guru yang

31
senantiasa mendoakan muridnya dunia dan akhirat, guru yang senantiasa memohonkan
ampun dan memaafkan, serta guru yang memohon kecerdasan dan rahmat.
5. Mengajar dan Mendidik dengan Hati (‫ )أوحى‬serta Kompeten di (‫ )ماأوحى‬Bidangnya
Menurut Salman Harun dalam tafsir Tarbawi, menjelaskan makna ‫ أوحى‬disini
dengan arti berusaha meningkatkan kemampuan dan profesionalisme keguruan
sehingga mampu memasukan informasi ke dalam lubuk hati dan pikiran murid
mendekati kemampuan Jibril a.s. menorehkan informasinya hanya dengan sekali
pertemuan.

e. Peran Guru dalam Persepektif Tafsir Q.S al-Nahl ayat 43-44


1) Asbabun Nuzul
Ibnu Jarir at-Tabarī dan Ibnu Hatm meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata,
“Ketika Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi, orang Arab mengingkarinya.
Kemudian turunlah ayat ini” (Departemen Agama RI, 2004: 327).

2) Tafsiran ayat 43:

‫الذ ْك ِر ا ِْن ُك ْنت ُ ْم َْل ت َ ْعلَ ُم ْو ُۙ َن‬


ِ ‫َو َما ْٓ ا َ ْر َس ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِل َك ا َِّْل ِر َج ااْل نُّ ْو ِح ْْٓي اِلَ ْي ِھ ْم فَاسْـَٔلُ ْْٓوا ا َ ْه َل‬

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri
wahyu kepada mereka, Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui”

ْ ‫َو َما ْٓ ا َ ْر َس ْلنَا ِم ْن قَ ْب ِل َك ا َِّْل ِر َج ااْل نُّ ْو ِح‬


‫ي‬

1. Allah mengutus para Rasul dan Nabi dari manusia bukan malaikat, untuk memberi
mereka petunjuk dan bimbingan untuk mereka sampaikan kepada masyarakat mereka
masing-masing. Tidak satupun diantara mereka yang bukan manusia (Shihab, 2012:
163).
Makna pertama yaitu Ma’rifah Ilāhiyah (pengetahuan ilahi) tidak dapat diperoleh
manusia tanpa perantara, untuk itu diutus seorang dari sejenis mereka (manusia) untuk
menjelaskan dan mengajar. Karena sesama manusia akan lebih mudah dalam
menjelaskan dengan bahasa kaumnya saat itu. Turunnya al-Qur’an kepada Nabi
Muhammad sesuai dengan keadaan saat itu. (Shihab, 2012: 592).

32
a. Jika ditarik dalam dunia pendidikan poin-poin yang tersirat, yaitu bahwa dalam
memberikan ilmu harus interaksi langsung antara pendidik dan peserta didik.
b. Para Rasul diutus Allah kepada kaumnya agar ajaran kebenaran yang disampaikan
sesuai dengan situasi dan kondisi kaumnya saat itu. Hal ini searah dengan salah satu
konsep pendidikan yaitu pembelajaran kontekstual artinya bahwa materi pelajaran
disesuaikan dengan situasi dunia nyata atau sesuai dengan konteks masyarakat yang
ada (Trianto, 2007: 20).

ِ ‫فَاسْـَٔلُ ْْٓوا ا َ ْه َل‬


‫الذ ْك ِر ا ِْن ُك ْنت ُ ْم َْل ت َ ْعلَ ُم ْو َن‬
2. Jika mereka meragukan kebenarannya, maka Allah memerintahkan untuk bertanya
kepada ahlu al-żikr (ahli kitab sebelum Muhammad). Menurut tafsir al-Qur’anul Majid
an-Nuur, ahlu al-żikr adalah ahlu al-kitab yang telah lalu yaitu orang Yahudi atau
Nasrani (Ash-Shiddieqy, 2000: 2234). Dalam tafsir al-azhar (Hamka, 78 1983: 247) ahlu
al-żikr adalah ahli peringatan, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah
menerima kitab-kitab dan ajaran dari Nabi-nabi yang dahulu itu. Ahlu al-żikr menurut
Hamka (1983: 247) juga berarti orang yang ahli peringatan atau orang yang
berpengatahuan lebih luas.
a. Tafsiran Ahl al-żikr sebagai ahli peringatan atau orang yang mempunyai
pengetahuan, jauh mempunyai makna yang lebih luas. Salah satu yang bisa disebut
sebagai orang yang mempunyai pengetahuan adalah seorang pendidik atau guru.
Guru adalah penerus misi keRasulan dan ahli waris para Nabi. Guru atau pendidik
dalam Islam merupakan pengemban amanat bersama orang tua dalam melestarikan
Risalah Allah SWT (Mahmud, 2011: 136)

3. Menurut tafsir Nurul Qur’an yang diterjemahkan oleh Salman Nano (2005: 522), kata-
kata ini dialamatkan pada orang-orang kafir. Sedangkan dalam tafsir muyassar yang
diterjemahkan oleh tim Qisthi Press (2007: 437), yang dimaksud dengan mereka adalah
kalian wahai kaum Muslimin.
a. Dengan ayat ini kita mendapat pengertian bahwasannya kita boleh menuntut ilmu
kepada ahlinya, dimana saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.

33
b. Menurut Shihab: ayat ini dapat diartikan perintah untuk bertanya apa saja yang tidak
diketahui maupun sedang mencari kebenaran, bertanya kepada ahlinya. Jika
menemukan kesulitan, maka tanyalah kepada ahlinya
c. Dalam hal yang mengenai ilmu-ilmu Agama Islam, niscaya bertanyalah kepada ahlu
al-żikr dalam hal Islam, dan ilmu-ilmu yang lain yang lebih umum, bertanyalah pula
kepada ahlu al-żikrinya sendiri (Hamka, 1983: 247).
3) Tafsiran an-Nahl ayat 44

‫اس َما نُ ِز َل اِ َل ْي ِھ ْم َولَ َعلَّ ُھ ْم َيت َفَ َّك ُر ْو َن‬ ِ ‫الزب َۗ ُِر َوا َ ْنزَ ْلنَا ْٓ اِلَي َْك‬
ِ َّ‫الذ ْك َر ِلت ُ َب ِينَ ِللن‬ ِ ‫ِب ْال َب ِي ٰن‬
ُّ ‫ت َو‬

“Dengan keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu


Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”

1. Allah Ta’ala mengemukakan bahwa Dia mengutus para Rasul itu dengan membawa
keterangan-keterangan dan kitab- kitab, yakni berbagai hujah, dalil, dan az-zubur (Ar-
Rifa’i, 1999: 1031).
Kata )‫ (الزبر‬az-zubur adalah jamak dari kata (‫ ) زبور‬zabūr, yakni tulisan. Para ulama
berpendapat bahwa zubur adalah kitab-kitab singkat yang tidak mengandung syariat,
tetapi sekedar nasehat-nasehat (Shihab, 2002: 592).
a. Kaitkan dengan dunia pendidikan, maka pembelajaran akan menjadi lebih bermakna
jika selalu diisi dengan nasehat-nasehat. Hal ini searah dengan salah satu usaha
untuk mengembangkan afektif peserta didik

2. Yang dimaksud al-żikr disitu adalah al-Qur’an. Al-żikr secara etimologi bermakna
ingat/pengingat. Namun lebih jauh dari itu, al-żikr bisa dimaknakan yang lebih spesifik
yaitu pelajaran.
a. Jadi bisa berarti bahwa dalam pembelajaran, guru harus memperhatikan
pelajaran/materi yang dibahas.

3. ‫ ل‬dalam kata ‫ نلتبي‬mengandung sebuah perintah. Ini berarti ada unsur kesengajaan untuk
mengajar dan mendidik.

34
a. Sebagaimana makna mengajar merupakan perbuatan yang disengaja oleh pendidik
dengan sebuah kesadaran. Nabi Muhammad diberi al-Qur’an dan Beliau bertugas
menjelaskan kepada manusia mengenai ajaran, perintah, larangan serta menjelaskan
kandungannya, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun pembenaran atas apa yang
dilakukan orang lain, (Shihab, 2012: 163).

4. Di akhir ayat, (‫ )يتفكرون‬Allah menegaskan agar mereka memikirkan kandungan isi al-
Qur’an dengan pemikiran yang jernih untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia
dan di akhirat, terlepas dari berbagai macam azab dan bencana seperti yang menimpa
umat-umat sebelumnya (Departemen Agama 2004 :328). dalam kalimat ini
mengandung makna secara tersirat, yaitu agar berfikir harus tumbuh kesadaran. Maka
secara teknisnya, peran guru adalah mampu menumbuhkan kesadaran tentang apa yang
ada dalam al-Qur’an. Selain itu, mengandung makna tersirat bahwa untuk mengetahui
sejauh mana siswa berfikir dan faham, maka seorang guru juga perlu membuat evaluasi
pembelajaran.

f. Peran Guru dalam Perspektif Tafsir QS. Al-Kahfi ayat 65-70


1) Menurut Tafsir Jalalain
‫فَ َو َج َدا َعبْ ًدا ِم ْن ِعبَ ِادنَا آتَيْ نَاهُ َر ْح َمةً ِم ْن ِعنْ ِدنَا َو َعلَّ ْمنَاهُ ِم ْن لَ ُدنَّا ِعلْ ًما‬

(Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba


Kami) yaitu Khidhir (yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami) yakni
kenabian, menurut suatu pendapat, dan menurut pendapat yang lain kewalian, pendapat yang
kedua inilah yang banyak dianut oleh para ulama (dan yang telah Kami ajarkan kepadanya dari
sisi Kami) dari Kami secara langsung (ilmu). Lafadz 'ilman menjadi Maf'ul Tsani, yaitu ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan masalah-masalah kegaiban. Imam Bukhari telah meriwayatkan
sebuah hadis, bahwa pada suatu ketika Nabi Musa berdiri berkhutbah di hadapan kaum Bani
Israel. Lalu ada pertanyaan, "Siapakah orang yang paling alim?" Maka Nabi Musa menjawab,
"Aku". Lalu Allah menegur Nabi Musa karena ia belum pernah belajar (ilmu gaib), maka Allah
menurunkan wahyu kepadanya, "Sesungguhnya Aku mempunyai seorang hamba yang tinggal
di pertemuan dua laut, dia lebih alim daripadamu". Musa berkata, "Wahai Rabbku!
Bagaimanakah caranya supaya aku dapat bertemu dengan dia". Allah berfirman, "Pergilah
kamu dengan membawa seekor ikan besar, kemudian ikan itu kamu letakkan pada keranjang.
Maka manakala kamu merasa kehilangan ikan itu, berarti dia ada di tempat tersebut". Lalu Nabi
Musa mengambil ikan itu dan ditaruhnya pada sebuah keranjang, selanjutnya ia berangkat

35
disertai dengan muridnya yang bernama Yusya bin Nun, hingga keduanya sampai pada sebuah
batu yang besar. Di tempat itu keduanya berhenti untuk istirahat seraya membaringkan tubuh
mereka, akhirnya mereka berdua tertidur. Kemudian ikan yang ada di keranjang berontak dan
melompat keluar, lalu jatuh ke laut. Lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
(Q.S. Al Kahfi, 61) Allah menahan arus air demi untuk jalannya ikan itu, sehingga pada air itu
tampak seperti terowongan. Ketika keduanya terbangun dari tidurnya, murid Nabi Musa lupa
memberitakan tentang ikan kepada Nabi Musa. Lalu keduanya berangkat melakukan perjalanan
lagi selama sehari semalam. Pada keesokan harinya Nabi Musa berkata kepada muridnya,
"Bawalah ke mari makanan siang kita", sampai dengan perkataannya, "lalu ikan itu melompat
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Bekas ikan itu tampak bagaikan
terowongan dan Musa beserta muridnya merasa aneh sekali dengan kejadian itu.
ِ ِ ِ
‫ت ُر ْش ًدا‬ َ ‫وسى َه ْل أَتَّبِ ُع‬
َ ‫ك َعلَى أَ ْن تُ َعل َم ِن م َّما ُعل ْم‬ َ ‫ال لَهُ ُم‬
َ َ‫ق‬

(Musa berkata kepada Khidhir, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?)" yakni ilmu
yang dapat membimbingku. Menurut suatu qiraat dibaca Rasyadan. Nabi Musa meminta hal
tersebut kepada Khidhir. Karena menambah ilmu adalah suatu hal yang dianjurkan.
ِ ‫َّك لَن تَستَ ِط‬
‫صْب ًرا‬ َ ْ ْ َ ‫ال إِن‬
َ ‫يع َمع َي‬ َ َ‫ق‬

(Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar


bersamaku").
‫صبُِر َعلَى َما لَ ْم تُ ِح ْط بِ ِه ُخْب ًرا‬
ْ َ‫ف ت‬
َ ‫َوَكْي‬

(Dan bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?) di dalam hadis yang telah disebutkan tadi sesudah
penafsiran ayat ini disebutkan, bahwa Khidhir berkata kepada Nabi Musa, "Hai Musa!
Sesungguhnya aku telah menerima ilmu dari Allah yang Dia ajarkan langsung kepadaku; ilmu
itu tidak kamu ketahui. Tetapi kamu telah memperoleh ilmu juga dari Allah yang Dia ajarkan
kepadamu, dan aku tidak mengetahui ilmu itu". Lafal Khubran berbentuk Mashdar maknanya
kamu tidak menguasainya, atau kamu tidak mengetahui hakikatnya.
‫ك أ َْمًرا‬ ِ ‫ال ستَ ِج ُدنِي إِ ْن َشاء اللَّه صابِرا وَّل أ َْع‬
َ َ‫صي ل‬ َ ً َ ُ َ َ َ َ‫ق‬
(Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan
aku tidak akan menentang) yakni tidak akan mendurhakai (kamu dalam sesuatu urusan pun)"
yang kamu perintahkan kepadaku. Nabi Musa mengungkapkan jawabannya dengan
menggantungkan kemampuannya kepada kehendak Allah, karena ia merasa kurang yakin akan
kemampuan dirinya di dalam menghadapi apa yang harus ia lakukan. Hal ini merupakan
kebiasaan para nabi dan para wali Allah, yaitu mereka sama sekali tidak pernah merasa percaya

36
terhadap dirinya sendiri walau hanya sekejap, sepenuhnya mereka serahkan kepada kehendak
Allah.
ٍ
‫ك ِمنْهُ ِذ ْكًرا‬ َ ‫ُح ِد‬
َ َ‫ث ل‬ ِ ِ ِ
ْ ‫فَِإن اتَّبَ ْعتَني فَال تَ ْسأَلْني َع ْن َش ْيء َحتَّى أ‬
(Dia mengatakan, "Jika kamu ingin mengikuti saya, maka janganlah kamu menanyakan
kepada saya) Dalam satu qiraat dibaca dengan Lam berbaris fatah dan Nun bertasydid (tentang
sesuatu) yang kamu ingkari menurut pengetahuanmu dan bersabarlah kamu jangan
menanyakannya kepadaku (sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu)" hingga aku
menuturkan perihalnya kepadamu berikut sebab musababnya. Lalu Nabi Musa menerima syarat
itu, yaitu memelihara etika dan sopan santun murid terhadap gurunya.
2) Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Allah menceritakan tentang ucapan Musa kepada orang ‘alim, yakni Khidhir yang secara
khusus diberi ilmu oleh Allah Ta’ala yang tidak diberikan kepada Musa, sebagaimana dia juga
telah menganugrahkan ilmu kepada Musa yang tidak dia berikan kepada Khidhir. ‫قال له موسى هل‬
‫“ أتبعك‬Musa berkata kepada Khidhir: Bolehkah aku mengikutimu.” Yang demikian itu
merupakan pertanyaan penuh kelembutan, bukan dalam bentuk keharusan dan pemaksaan.
Demikian itulah seharusnya pertanyaan seorang pelajar kepada orang berilmu. Dan ucapan
Musa (‫“ )أتبعك‬Bolehkah aku mengikutimu?” yakni menemanimu.
(‫“ )على أن تعلمن مماعلمت رشدا‬Supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Maksudnya, sedikit ilmu yang telah
diajarkan Allah Ta’ala kepadamu agaraku dapat menjadikannya sebagai petunjuk dalam
menangani urusanku, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.
Pada sat itu, Khidhir )‫“ (قال‬Berkata” kepada Musa:)‫“ (إنك لن تستطيع معي صبرا‬Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” Maksudnya, sesungguhnya engkau
tidak akan sanggup menemaniku, sebab engkau akan menyaksikan berbagai tindakanku yang
bertentangan dengan syari’atmu, karena aku bertindak berdasar ilmu yang diajarkan Allah
kepadaku dan tidak dia ajarkan kepadamu. Engkau juga mempunyai ilmu diajarkan Allah
kepadamu tetapi tidak dia ajarkan kepadaku. Dengan demikian, masing-masing kita dibebani
berbagai urusan dari-Nya yang saling berbeda, dan engkau tidak akan sanggup menemaniku.
)‫“ (وكيف تصبرعلى مالم تحط به خبرا‬Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu
belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Aku mengetahui bahwa kamu
akan menolak apa yang kamu tidak mengetahui alasannya. Tetapi aku telah mengetahui hikmah
dan kemaslahatan yang tersimpan didalamnya, sedang kamu tidak mengetahuinya.
Musa berkata: )‫“ (ســتجدني إن شاءالله صابراا‬Insya Allah engkau akan mendapati aku sebagai
seorang yang sabar,” yakni atas apa yang aku saksikan dari beberapa tindakanmu. ‫(وْل أعصي لك‬
)‫“ أمرا‬Dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan apanpun.” Maksudnya, dan aku
tidak menentangmu mengenai sesuatu.

37
Pada saat itu, Khidhir memberikan syarat kepada Musa: )‫“ (فإن آتبـعـتني فالتسئلني عن شيئ‬Ia
berkata: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu
apapun.” Yakni, dalam taraf pertamanya. )‫“ (حـتى أحدث لك منه ذ كــرا‬Sampai aku sendiri yang
menjelaskannya kepadamu.” Yakni, sehingga aku yang mulai memberikan penjelasan
kepadamu sebelum kamu bertanya kepadaku.

3) Hubungan Guru dan Murid dalam Pendidikan


Hikmah yang dapat diambil dari ayat tersebut yaitu, kita perlu bersabar dan tidak
terburu-buru mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Dan kita sebagai
siswa harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap siswa harus bersedia mendengar
penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak d luar
perintah dari guru. Kisah nabi Khidir ini juga menunjukkan bahwa Islam memberikan
kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.
Selain itu juga satu hikmah selain sabar, yang didapatkan dari kisah tersebut yaitu ilmu
itu merupakan karunia terbesar yang diberikan oleh Allah SWT. Tidak ada makhluk manapun,
seorang manusia pun yang lebih berilmu dariNya. Tidak ada seorang manusia yang
mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu di banding yang lainya. Hal ini dikarenakan ada ilmu
yang merupakan anugrah dari Allah yang diberikan pada seseorang tanpa harus
mempelajarinya (ilmu Ladunny, yaitu ilmu yang dikhususkan bagi hamba-hamba Allah yang
shalih dan terpilih).
Manusia itu pada dasarnya sudah dianugerahi oleh Allah Swt dua buah kemampuan.
Pertama, kemampuan untuk mengajarkan sesuatu kepada orang lain, walaupun pengajaran
yang dilakukan manusia itu sifatnya terbatas. Kedua, kemampuan untuk menyerap pengajaran
dari orang lain. Jika dihubungkan ke dalam hal Pendidikan, maka kedua kemampuan inilah
yang akan menjadi kunci bagi sesuatu agar bisa disebut dengan pelaku pendidikan atau yang
biasa disebut dengan Subyek pendidikan.
Penghoramatan seorang peserta didik terhadap seorang pendidiknya telah
dicontohkan oleh Nabi Musa as terhadap al-Khidir. Di antara bentuk-bentuk penghormatan
Nabi Musa as terhadap al- Khidir adalah berbicara dengan lemah lembut, tidak banyak
bicara, dan menganggap al-Khidir lebih tahu daripada dirinya.

38
BAB 3

PENUTUPAN

a. Kesimpulan
Pendidik dalam didalam proses pendidikan merupakan salah satu komponen terpenting.
Pendidik adalah adalah orang yang bertanggung jawab memberikan bimbingan atau bantuan
kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaannya,
maupun melaksanakan tugasnya sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk Allah, sebagai
khalifah di bumi, dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.

Peran guru sangat dibutuhkan dalam pendidikan, maka guru harus memiliki
karakteristik individu yang baik, karakter tersebut seperti menurut al-Mu’allimur Rabbany
(Guru Teladan) yang dikutip Rahmat dan Amri, mengungkapkan ada dua karakteristik paling
utama bagi seorang guru teladan,yaitu: Pertama, karaktersitik aqidah, akhlak, dan prilaku.
Kedua adalah karakteristik profesional. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi seorang
guru dan dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar, yakni menguasai materi pelajaran dengan
matang melebihi siswa-siswanya dan mampu memberikan pemahaman kepada mereka secara
baik.

Didalam al-Qur’an nul karim, terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang
pentingnya seorang pendidik didalam proses pendidikan, karakteristik seorang pendidik,
metode yang harus pendidik gunakan dalam menyampaikan ilmu, akhlak kepada pemdidik, dsb.
Yang dikutip dari beberapa ayat Qur’an seperti pada surat Ar-Rahman ayat 1-4, an-Najm ayat
1-10, an-Nahl ayat 43-44, al-Kahfi ayat 1-10.

Surat Ar-Rahman ayat 1-4 menerangkan tentang pendidik harus memiliki karakter
pengasih atau kasih sayang kepada murid-muridnya sebagaimana sifat Allah SWT maha
pengasih, berjiwa ikhlas dalam mendidik murid, berilmu yakni aktif mendalami ilmu sebagai
kebutuhan dalam mengajarkan materi, memiliki jiwa yang penuh kesabaran serta senang
memberi nasehat atau mengingatkan muridnya, mampu merancang dan mendisign materi
pembelajaran dan metode yang akan digunakan.

39
Surat An-Najm ayat 1-10 menerangkan tentang karakteristik guru ideal, yaitu kuat fisik
dan batinnya, memiliki bakat sebagai guru yang terlihat dari ucapan, perbuatan maupun tingkah
laku, mampu mendekatkan diri kepada murid untuk memahami murid dan mendorongnya untuk
maju, cerdas dan pintar, mengajar dan mendidik dengan hati serta kompeten dengan cara
meningkatkan kemampuan dan profesionalisme keguruan sehingga mampu memasukan
informasi ke dalam lubuk hati dan pikiran murid

Surat an-Nahl ayat 43-44 menerangkan tentang beberapa poin dalam pendidikan yaitu
memberikan ilmu harus interaksi langsung antara pendidik dan peserta didik, ayat ini juga
menerangkan pembelajaran kontekstual artinya bahwa materi pelajaran disesuaikan dengan
situasi dunia nyata atau sesuai dengan konteks masyarakat yang ada, bertanya tentang ilmu
apapun itu kepada ahlinya, ahlinya bisa dikatakan seorang guru atau pendidik di bidangnya
masing-masing. Dalam tafsiran ayat selanjutnya yaitu ayat 44 menerangkan beberapa poin yaitu
metode pembelajaran yang lebih bermakna bila diisi dengan nasehat-nasehat, perhatian guru
terhadap materi pelajaran yang ingin disampaikan, perintah untuk mengajar yang disengaja oleh
pendidik dengan sebuah kesadaran, cara mengetahui sejauh mana siswa berfikir dan faham,
maka seorang guru juga perlu membuat evaluasi pembelajaran.

Surah al-Kahfi ayat 65-67 menerangkan poin pendidik dalam proses mendidik yaitu
bersabar untuk mendapatkan manfaat dari mengajar, memelihara adab siswa terhadap gurunya
yang dikisahkan perilaku Nabi Musa kepada Nabi Khidir yaitu sebuah penghormatan seorang
peserta didik terhadap seorang pendidiknya telah dicontohkan oleh Nabi Musa as terhadap al-
Khidir. Di antara bentuk-bentuk penghormatan Nabi Musa as terhadap al- Khidir adalah
berbicara dengan lemah lembut, tidak banyak bicara, dan menganggap al-Khidir lebih tahu
daripada dirinya.

40
DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an), (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. I
Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar Juzu’ 25-27, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990)
Salman Harun, tafsir Tarbawi Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2013), cet. I.
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000)
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Jilid 21, (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. I.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan tafsirnya Jilid IX Juz 27, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010)
Alman Harun, tafsir Tarbawi Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Ciputat: UIN
Jakarta Press, 2013), cet. I
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Margahi (Terejemahan), (Semarang: Toba Putra,
1989), Cet. I
Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya Agung
Jakarta, 2010)
Tadabbur: Jurnal Peradaban Islam, Vol. 2, No. 2, 333-348, 2020

Skripsi Karakteristik Guru Ideal (Kajian Tafsir Surat An-Najm Ayat 1-10) UIN Syarif
Hidayatullah Tahun 2016

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005)

Fadhillah, Nurul. “Skripsi Peran Guru Dalam Perspektif QS. An-Nahl ayat 43-44 Studi Kasus
Guru PAI MTs Negeri 2 Temanggung Tahun 2018”

Ramayulis, Profesi dan Etika Keguruan, Jakarta: Kalam Mulia, 2013. Cet III.

41
Muhammat Rahmat dan Sofan Amri, Kode Etik Profesi guru, Legalitas, Realitas, dan harapan,
(Jakarta: Prestasi Pustaka Karya, 2014)

Bakar ABA. Pendidikan Dalam Al-Qur’an Kajian Pada QS. Ar-Rahman 1-4. (Jurnal
Inspiratif Pendidikan, Vol. VII, No.2, 2018).

Mustofa A dan Saifulloh R. Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 1-4 : Karakteristik Guru.
(Qolamuna : Jurnal Studi Islam, Vol.3, No.1, 2017)

42

Anda mungkin juga menyukai