Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SINTESIS DAN ISOLASI SENYAWA ORGANIK


SINTESIS DAN REKRISTALISASI ASETANILIDA

Dosen Pengampu Matakuliah :


Dr. Aman Santoso, M.Si.
Ihsan Budi Rachman, S.Si.,M.Sc.

Oleh :
Kelompok 6 Offering G
Diah Ayu Sulistyoningsih (180332616511)
Mohamad Febby Setyawan (180332616552)*
Much Sayfulloh Alwy (180332616584)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Senyawa asetanilida merupakan bahan baku industri kimia. Senyawa asetanilida
merupakan bahan baku yang dapat menunjang industri kimia yang digunakan sebagai bahan
baku pembuatan obat – obatan, sebagai zatawal pembuatan penicilium, bahan pembuatan
dalam industri cat dan karet, bahan intermediet pada sulfon dan asetilklorida. Kebutuhan
akan senyawa ini semakin meningkat setiap tahunnya, sehingga dilakukan berbagai cara
dalam memperoleh senyawa ini yang salah satunya adalah melalui proses ektraksi.
Anilin merupakan senyawa kimia dengan rumus C5H6NH2 yang sering digunakan
sebagai bahan dasar dalam sintesis asetanilada yang direaksikan dengan CH 3COOH. Pada
sintesis senyawa digunakan metode pemanasan agar kedua senyawa dapat bereaksi
sempurna. Anilin yang direaksikan dengan asam asetat akan membentuk suatu amidanya
dalam keadaan transisi yang kemudian tereduksi oleh H2O untuk membentuk asetanilida.
Asetanilida adalah turunan senyawa asetil amina aromatik dan digolongkan sebagai
amida primer, dimana satu atom hidrogen pada anilin tergantikan dengan satu gugus asetil.
Berbentuk butiran berwarna putih yang tak larut dalam parafin dan larut dalam air dengan
bantuan kloral anhidrat. Merupakan metode awal yang tetap digunakan karena proses yang
mudah. Anilin dan asam asetat berlebih 100 % direaksikan dalam sebuah tangki yang
dilengkapi dengan pengaduk. Reaksi berlangsung sekitar 6 jam pada suhu sekitar 160 oC.
Produk yang terdapat dalam keadaan panas akan dikristalisasi dengan menggunakan
kristalizer.
Sintesis organik merupakan salah satu percobaan untuk membuat senyawa yang
diinginkan melalui suatu reaksi kimia. Sebelum melakukan sintesis organik perlu
diperhatikan beberapa langkah dalam merancang sintesis tersebut. Langkah yang harus
dipersiapkan meliputi pengenalan tentang produk yang diinginkan, bahan baku sintesis
produk, serta cara sintesis senyawanya. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai
proses pembentukan ikatan pada senyawa-senyawa organik. Proses sintesis dapat dikatakan
berhasil dan berjalan dengan baik bergantung pada banyaknya produk, ketersediaan bahan
awal, dan tahapan proses/metode yang dilakukan.
Asetanilida merupakan amida berupa padatan kristal putih dengan massa jenis 1,21
gram/mL, titik lebur 113 ̊C-114 ̊C, titik didih 305 ̊C, dengan berat molekul 135,17gram/mol.
Sangat larut dalam alkohol, sedangkan kelarutan dalam air adalah 0,53 g dalam 100 mL dan
kelarutan dalam eter adalah 7 gram dalam 100 mL

Sifat-sifat kimia Asetanilida


 Pirolisis dari asetanilida menghasilkan N–diphenil urea, anilin, benzena.
 Asetanilida adalah bahan ringan yang stabil dibawah kondisi biasa, hydrolisa dengan
alkali cair atau larutan as. mineral cair dalam kedaan panas akan kembali ke bentuk awal.
 Adisi sodium dalam larutan panas Asetanilida didalam xilena menghasilkan N-Sodium
derivative.
 Bila dipanaskan dengan phospor pentasulfida menghasilkan thioasetanilida
(C6H5NHC5CH3).
 Dalam larutan yang memgandung pottasium bicarbonat menghasilkan N-bromo
asetanilida.
 Nitrasi asetanilida dalam larutan asam asetaat menghasilkan p-nitroasetanilida.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu asetanilida ?
2. Bagaimana proses pembuatan asetanilida ?
3. Bagaimana proses pemurnian dengan metode rekristalisasi ?
4. Factor apa sajakah yang mempengaruhi rekristalisasi ?
1.3 Tujuan
1. Memahami asal asetanilida dari amida
2. Memahami sintesis asetanilida dan cara pembuatanya
3. Mengetahui prinsip pemurnian senyawa dengan rekristalisasi
4. Memahami factor-faktor yang mempengaruhi rekristalisasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Amina
Amina dapat diubah menjadi amida dengan suatu reaksi asetilasi atau dapat pula dengan
mereaksikan antara karboksilat dengan menambah agen penghidrasi untuk menyerap air.
Agen penghidrasi ini biasanya menggunakan DDC (dicyclohexylcarboiimide), karena harga
DDC tersebut terlalu mahal, pembuatan amida biasanya menggunakan reaksi asetilasi.
Contoh dari suatu amina adalah anilin (R-NRR), sedangkan amida dapat dicontohkan dengan
asetanilida. Amina akan mudah teroksidasi daripada amida karena amina merupakan suatu
basa yang lemah. Elektron bebas dari atom nitrogen dapat berpindah ke cincin benzene dan
meningkatkan rapat elektron di dalam cincin terutama pada posisi orto dan para. Struktur
resonansi untuk anilin menunjukkan bahwa gugus NH 2 itu bersifat melepas elektron secara
resonansi meskipun N merupakan atom elektronegatif. Akibat stabilisasi resonansi anilina
ialah bahwa cincin menjadi negatif sebagian dan sangat menarik bagi elektrofil yang masuk.
Semua posisi (o-, m- dan p-) pada cincin anilin teraktifkan terhadap substitusi elektrofilik.
Namun posisi o- dan p- lebih teraktifkan daripada posisi m-. Struktur resonansi yang
dipaparkan di atas menunjukkan bahwa posisi-posisi o- dan p- memiliki muatan negatif
parsial sedangkan posisi m- tidak

Senyawa amida adalah turunan asam karboksilat yang gugus –OH tersubtitusi oleh
gugus amina. Amida dapat diklas-ifikasikan menjadi primer (1°), sekunder (2°) dan
tersier(3°) tergantung pada banyaknya atom hidrogen yang menempel pada atom nitrogen.
Amida primer memiliki dua atom hydrogen yang terikat pada atom nitrogen amida.
Amida sekunder adalah atom nitrogennya yang tersubstitusi ke sebuah gugul alkil/aril.
Amida tersier ada-lah amida yang atom nitrogennya tersub-stitusi dua gugus alkil/aril
Amida primer, sekunder dan tersier dapat dibuat dari asam karboksilat dengan
mekanisme sebagai berikut

2.2 Asetanilida
Asetanilida sering disebut phenilasetamida dengan rumus molekul C6H5NHCOCH3. P
ertama kali ditemukan oleh Friedel Kraft pada tahun 1872 dengan cara mereaksikan
asethopenon dengan NH2OH menghasilkan asethopenonoxime yang kemudian dengan katalis
dapat diubah menjadi asetanilida.
Pada sintesis senyawa ini biasanya digunakan metode pemanasan agar kedua senyawa
dapat bereaksi sempurna. Mula – mula anilin bereaksi dengan asam asetat membentuk suatu
amida dalam keadaan transisi, kemudian diikuti dengan reduksi H2O membentuk asetanilida
Anilin merupakan amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap amina aromatis dapat
berupa substitusi pada cincin benzene atau substitusi pada gugus amina. Asetilasi amina
aromatis primer atau sekunder banyak dilakukan dengan klorida asam dalam suasana basa
atau dengan cara mereaksikan amina dengan asetat anhidrat. Anilin primer bereaksi dengan
asetat anhidrat panas menghasilkan turunan monoasetat (amida). Reaksi antara anilin dan
asetat anhidrat menghasilkan asetanilida. Asetat anhidrat yang digunakan berlebih dan
pemanasan dilakukan pada waktu yang lama menyebabkan sejumlah turunan diasetil akan
terbentuk. Turunan diasetil tidak stabil dengan kehadiran air dan mengalami hidrolisis
menghasilkan secara monoasetil. Amida dapat mengalami reaksi hidrolisa dalam suasana
asam membentuk asam karboksilat dan garam amida, sedangkan dalam suasana basa
membentuk ion karboksilat dan amina

2.3 Pembuatan Asetanilida


Terdapat beberapa proses pembuatan asetanilida
A. Pembuatan asetanilida dari asam asetat anhidrid dan anilin.
Larutan anilin dan 1,4 bagian asam asetat anhidrid berlebih 150% dengan
konversi 90% dan yield 65%, direfluks hingga tidak ada anilin yang tersisa pada
temperatur 30 ̊C-110 ̊C. Campuran hasil reaksi disaring kemudian kristal dipisahkan
dari air panasnya dengan proses pendinginan. Sedangkan filtratnya digunakan
kembali. Penggunaan asam asetatanhidrid dapat diganti dengan asetil klorida.

Anhidrida asetat adalah anhidrida asam asetat yang bertindak sebagai sumber gugus
asil. Anilin bereaksi dengan anhidrida asetat melalui reaksi substitusi nukleofilik.
Reaksi antara anilin dan asetat anhidrida disebut asetilasi. Dalam reaksi ini, anilin
bertindak sebagai gugus nuklepohil dan asil (CH 3CO-) dari anhidrida asetat bertindak
sebagai elektrofil. Di sini, atom hidrogen dari gugus -NH2 digantikan oleh gugus asil.
B. Pembuatan asetanilida dari aniline dan asam asetat.
Metode ini merupakan metode awal yang masih digunakan karena ekonomis jika
dibandingkan dengan semua proses pembuatan asetanilida lain. Anilin dan asam
asetat direaksikan dalam sebuah tangka yang dilengkapi dengan pengaduk. Reaksi
berlangsung selama 8 jam pada suhu 150OC-160OC dan tekanan 2,5 atm dengan yield
mencapai 98% dan konversi 99,5%. Hasil produk dalam keadaan panas dikristalisasi
dengan menggunakan kristalizer untuk membentuk butiran Kristal asetanilida.

Dari reaksi antara anilin dan asam asetat terjadi reaksi substitusi nukelofilik,
anilin menjadi nukleofilik pada atom N karena mempunyai satu pasang elektron
bebas yang dapat berikatan dengan atom lain, sedangkan asam asetat menjadi
elektrofilik pada atom C karena atom C keelektronegatifannya lebih kecil
daripada N sehingga dapat diikat oleh atom N

C. Pembuatan asetanilida dari ketene dan aniline.


Ketena dalam wujud gas dicampur ke dalam aniline dibawah kondisi yang
memungkinkan terbentuknya asetanilida dengan konversi 99%. Ketena direaksikan
dengan aniline didalam reaktor packed tube pada temperature 400oC-625oC dan pada
tekanan 2,5 atm. Reaksi yang terjadi :

Sebuah turunan asetil lebih mudah diperoleh dengan mereaksikan asam asetata
nhidrida dengan aniline. Anilin merupakan amina aromatis primer. Reaksi substitusi terhadap
amina aromatis dapat berupa substitusi pada cincin benzene atau substitusi pada gugus
amina. Asetilasi amina aromatis primer atau sekunder banyak dilakukan dengan asam
klorida dalam suasana basa atau dengan cara mereaksikan amina dengan asetat anhidrida.
Aniline primer bereaksi dengan asetat anhidrida panas menghasilkan turunan monoasetat
(amida).
.
Pertimbangan dari pemilihan proses sintesis asetanilida adalah :
1. Reaksinya sederhana
2. Tidak menggunakan katalis sehingga tidak memerlukan alat untuk regenerasi katalis dan
tidak perlu menambah biaya yang digunakan untuk membeli katalis sehingga produk
lebih murah

2.4 Metode Rekristalisasi

Pemurnian kristal asetanilida dapat dilakukan dengan metode rekristalisasi.


Rekristalisasi merupakan proses pengulangan kristalisasi agar diperoleh zat murni atau kristal
yang lebih murni. Senyawa organic yang berbentuk Kristal diperoleh dari suatu reaksi
biasanya tidak murni. Mereka masih terkontaminasi sejumlah kecil senyawa yang terjadi
selama reaksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkristalan kembali dengan
mengurangikadar pengotor. Rekristalisasi didasarkan pada perbedaan kelarutan senyawa
dalam suatu pelarut tunggal atau campuran. Senyawa ini dapat dimurnikan dengan cara
rekristalisasi menggunakan pelarut yang sesuai, misalnya air, alcohol, eter, benzene,
petroleum eter,ligrolin, karbon bisulfida, kloroform, aseton, dan asam asetat glacial. Ada dua
kemungkinan keadaan dalam rekristalisasi yaitu pengotor lebih larut daripada senyawa yang
dimurnikan, atau kelarutan pengotor lebih kecil dari pada senyawa yang dimurnikan.
Prinsip rekristalisasi adalah pemurnian padatan organic dari zat pengotor melalui
beberapa tahap yaitu melarutkan padatan organic dengan pelarut yang sesuai dalam keadaan
panas, kemudian disaring dan didinginkan kembali sehingga dapat terbentuk Kristal. Cara
rekristalisasi ditentukan oleh jenis pengotor yang akan diubah atau dipisahkan. Apabila
larutan yang akan dikristalisasikan berwarna, padahal kita mengetahui bahwa zat padatnya
tidak berwarna, maka ke dalam larutan panas sebelum ditambahkan arang aktif. Zat warna
yang tidak diserap akan hilang pada waktu pencucian atau penyaringan.
Pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses rekristalisasi adalah pelarut cair,
karena tidak mahal, tidak reaktif dan setelah melarutkan zat padat organik bila dilakukan
penguapan akan lebih mudah memperolehnya kembali. Kriteria pelarut yang baik
1. Tidak bereaksi dengan zat padat yang akan di rekristalisasi.
2. Zat padatnya harus mempunyai kelarutan terbatas (sebagian) atau relatif tak larut dalam
pelarut, pada suhu kamar atau suhu kristalisasi.
3. Zat padatnya mempunyai kelarutan yang tinggi (larut baik) dalam suhu didih pelarutnya.
4. Titik didih pelarut tidak melebihi titik leleh zat padat yang akan direkristalisasi.
5. Zat pengotor yang tak diinginkan harus sangat larut dalam pelarut pada suhu kamar atau
tidak larut dalam pelarut panas.
6. Pelarut harus cukup volatile (mudah menguap) sehingga mudah untuk dihilangkan
setelah zat padat yang diinginkan telah terkristalisasi. Jika data kelarutan tidak diperoleh
dalam literatur, harus dilakukan penentuan kelarutan zat padat tersebut dalam sejumlah
pelarut, dengan cara mengurut kepolaran pelarut-pelarut tersebut

Kelarutan zat padat relatif berbeda pada pelarut berbeda. Perbedaan ini dikaitkan dengan
kepolaran relatif zat. Mengacu pada prinsip kelarutan (like dissolve like), maka pada
rekristalisasi meliputi proses pelarutan dan pemanasan, pendinginan, kemudian penyaringan.

Dalam bentuk yang sederhana, proses rekristalisasi terdiri dari :


1. Melarutkan zat-zat tak murni dalam pelarut tertentu mendekati titik leleh
2. Menyaring larutan panas dan partikel bahan tak larut
3. Mendinginkan larutan panas sehingga zat terlarut menjadi kristal
4. Memisahkan kristal dari larutan “supernatan”

Factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya Kristal pada saat rekristalisasi adalah


1. Temperatur, Penurunan temperatur akan menginduksi pembentukan kristal secara
cepat
2. Kecepatan Pendiginan, Pendinginan yang cepat akan menghasilkan initi kristal
yang lebih banyak daripada pendinginan lambat
3. Viskositas
Pada saat viskositas meningkat karena penurunan temperatur dan mening-katnya
konsentrasi larutan, proses pembentukan inti kristal akan dibatasi. Hal ini karena
berkurangnya perge-rakan molekul pembentuk inti kristal dan terhalanginya
perpindahan panas sebagai energi pembentukan inti kris-tal
4. Densitas Kristal
Jumlah kristal yg terdapat dalam satu unit volume yg terdapat dalam larutan akan
berpengaruh pada tingkat per-tumbuhan setiap kristal.
5. Zat Pengotor
Zat pengotor ini akan berperan se-bagai zat yang akan mempercepat atau
menghambat pembentukan inti kristal
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada sintesis asetanilida, mekanisme substitusi nukleofilik senyawa anilin bertindak
sebagai nukleofil pada atom N yang memiliki kelektronegatifan yang lebih tinggi,
sedangkan asam asetat glasial sebagai gugus fungsi dari senyawa asam karboksilat
merupakan elektrofil yang terletak pada atom C yang lebih elektropositif.
Reaksi substitusi nukleofilik antara senyawa anilin dan asam asetat glasial terdiri dari dua
tahap yaitu adisi nuklofil pada gugus asam karboksilat, satu pasang elektron bebas pada ailin
menyerang sgugus asam karboksilat pada karbokation tersier. Terbentuknya zat antara
melalui pembentukan kembali ikatan rangkap dari atom karbon oleh muatan negatif
dan satu pasang elektron bebas pada atom oksigen.
Rekristalisasi merupakan cara yang sangat tepat untuk memurnikan asetanilida melalui
perbedaan sifat kelarutan dalam pelarut tertentu atau campuran pelarut.
DAFTAR PUSTAKA

Naufal Ramadhan, A.dkk.2014. Sintesis Asetanilida dari Anilin dan Asam Asetat Glasial
Menggunakan Metode Refluks.
Delvira,. 2011. Pra Rancangan Pabrik Pem-buatan Asetanilida Dari Anilin dan Asam
Asetat Dengan Kapasitas Produksi 25.000 Ton/Tahun, Universi-tas Sumatera Utara,
Medan.
Damtith, John, 1994. Kamus Lengkap Kimia. Erlangga : Jakarta
Fresenden, Ralph, J dan Joan, S Fessenden, 1999. Kimia Organik. Jilid 1. Edisi 3. Erlangga :
Jakarta.
Petrucci, 1994. Kimia Dasar jilid 2. Erlangga : Jakarta
Vogel, 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai