Teori Dan Praktek Shalat
Teori Dan Praktek Shalat
PRAKTEK IBADAH
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Praktek Ibadah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi
para pembaca dan juga penulis. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah ikut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Shalat adalah ibadah ritual yang telah ditetapkan tata cara dan waktu pelaksanaannya
oleh Allah, Swt. Shalat juga mengantar seseorang kepada keamanan, kedamaian, dan
keselamatan dari-Nya. Shalat adalah perilaku ihsan hamba terhadap Tuhannya.
Shalat yang dikerjakan lima waktu sehari semalam, dalam waktu yang telah
ditentukan merupakan fardhu ain. Shalat fardu dengan ketetapan waktu pelaksanaannya
dalam Al-Qur’an dan Al-sunnah mempunyai nilai disiplin yang tinggi bagi seorang muslim
yang mengamalkannya. Dan aktivitas ini tidak boleh dikerjakan dengan ketentuan diluar
syara’. Dalam melaksanakan shalat alangkah lebih baiknya adalah melakukan shalat
berjamaah daripada shalat sendirian. Karena Rasulullah mengatakan bahwa shalat sendirian
bernilai 1, sedangkan shalat berjamaah bernilai 27 kali lipat.
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian untuk menambah pemahaman tentang
shalat dan merespon realita yang terjadi di zaman modern ini . Dalam makalah ini penulis
akan mengkaji lebih lanjut tentang shalat lima waktu berjamaah/munfarid dan shalat jama’
dan qashar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan shalat lima waktu berjamaah ?
2. Apa yang dimaksud dengan shalat lima waktu munfarid ?
3. Apa yang dimaksud dengan shalat jama’ ?
4. Apa yang dimaksud dengan shalat qashar ?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian tentang shalat lima waktu berjamaah.
2. Untuk memahami pengertian tentang shalat lima waktu munfarid.
3. Untuk memahami pengertian tentang shalat jama’.
4. Untuk memahami pengertian tentang shalat qashar.
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun salat-salat yang dilakukan secara berjamaah, antara lain salat fardu lima
waktu, salat idain (Idul Fitri dan Idul Adha), salat Tarawih dan witir pada bulan Ramadhan,
salat Istisqa` (minta hujan), salat jenazah, dan salat gerhana, baik gerhana matahari (kusuf)
maupun gerhana bulan (khusuf).
a. Fardu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy- Syafi'i dan Abu Hanifah. Demikian
juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun
yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari
kalangan mazhab Al- Hanafiyah dan Al-Malikiyah. Dikatakan sebagai fardhu kifayah
maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban
yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan
shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat
jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
b. Fardhu 'Ain Yang berpendapat demikian adalah Atha' bin Abi Rabah, Al-Auza'i, Abu
Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab
Hanabilah. Atho' berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal
selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia mendatanginya
untuk shalat.
Dalilnya adalah hadits berikut : Dari Aisyah radhiyallahuanhu berkata,'Siapa yang
mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak
menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya.
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur, dia
berdoa namun shalatnya tetap sah.
c. Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana
disebutkan oleh imam As-Syaukani. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling
tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu 'ain, fardhu kifayah atau syarat
sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya
sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur.
Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah
sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan
wajib.
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al- Malikiyah dalam kitabnya Al-
Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat
hukumnya sunnah muakkadah.
3. Ketentuan dan Praktik Shalat Berjamaah
a. Imam
Imam adalah pemimpin dalam salat berjamaah, baik dalam salat wajib maupun salat sunah,
semua gerak-geriknya akan di ikuti oleh para jemaah lainnya. Oleh karena itu, seorang Imam
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Sehat akalnya.
6. Orang yang paling banyak amal salehnya dan sedikit berbuat maksiat.
b. Makmum
Untuk dapat menjadi makmum dalam salat berjemaah harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
5. Makmum tidak boleh melambatkan diri dari imam lebih dari dua rukun salat.
6. Niat salat makmum harus sama dengan salat imam. Contohnya : imam niat salat
zuhur, makmum juga berniat salat Zuhur bukan niat salat Ashar atau yang lainnya.
7. Makmum dan imam harus berada di satu tempat, tidak boleh ada dinding yang
menghalangi makmum dengan imam sehingga imam tidak mendengar yang di
ucapkan imam atau tidak mengetahui gerakan imam atau saf yang di belakang imam.
8. Jika imamnya batal, makmum sebelah kanan maju ke depan menggantikan imam.
Saf dalam salat berjamaah juga penting untuk diperhatikan sehingga salat berjemaah
berjalan dengan rapi dan tertib. Oleh karena itu, tugas imam sebelum salat jemaah dimulai
diantaranya merapikan saf supaya lurus. Saf laki-laki yang paling depan adalah saf yang lebih
utama dibanding saf saf yang dibelakang. Akan tetapi bagi perempuan sebaik-baik saf adalah
yang paling belakang.
Adapun posisi yang benar dalam salat berjamaah adalah sebagai berikut :
1. Apabila imam laki-laki makmum laki-laki satu, maka makmum berada di sebelah
kanan.
2. Apabila makmum laki-laki dua, maka makmum berada di sebelah kanan dan kiri.
4. Apabila Imam laki-laki makmum laki-laki lebih dari tiga, makmum perempuan
berada di belakang laki-laki.
5. Apabila Imam perempuan maka makmum harus perempuan dan berada tidak jauh ke
belakang Imam.
Salat munfarid adalah melakukan salat fardu atau sunah secara sendiri-sendiri / tidak
berjamaah. Menurut fiqih, pada dasarnya kita dianjurkan untuk melaksanakan salat secara
berjemaah. Akan tetapi, ada salat-salat tertentu yang lebih baik jika dilakukan secara
munfarid, seperti salat tahiyatul masjid, qabliyah, bakdiyah, tahajud, dan istikharah.
Secara umum, salat berjamaah lebih baik daripada salat sendirian (munfarid). Saking
utamanya, sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa salat lima waktu wajib dikerjakan
secara berjamaah bagi laki-laki muslim, serta berdosa jika meninggalkannya dengan sengaja.
Hukum shalat lima waktu sendiri itu adalah boleh, namun keutamaan salat berjamaah ini
amat besar, sebagaimana tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: "Salat berjamaah
lebih afdal daripada salat sendirian dengan perbandingan dua puluh tujuh derajat," (H.R.
Muslim).
Berbeda dengan salat berjmaaah, salat munfarid dilakukan tanpa adanya imam atau
makmum. Dalam membaca surah-surah Al qur`an dan bacaan salat juga dipelankan (sirran).
Adapun syarat, rukun, sunah, dan praktik dalam salat munfarid sama seperti ketika
melakukan salat fardu. Perbedaan antara bacaan salat berjamaah dan munfarid terletak pada
niatnya.
Tentang rukun shalat ini dirumuskan menjadi 13 perkara:
1. Niat, artinya menyegaja di dalam hati untuk melakukan shalat.
a. Niat Sholat Subuh
Artinya: "Aku niat melakukan sholat fardu subuh 2 rakaat, sambil menghadap qiblat,
saat ini, karena Allah ta'ala"
b. Niat Sholat Dzuhur
Usholli Fardlon dhuhri Arba'a Rok'aataim Mustaqbilal Qiblati Adaa-an Lillahi ta'aala
Artinya: "Aku niat melakukan sholat fardu dhuhur 4 rakaat, sambil menghadap qiblat,
saat ini, karena Allah ta'ala"
Usholli Fardlol Ashri Arba'a Roka'aataim Mustaqbilal Qiblati Adaa-an Lillahi ta'aala
Artinya: "Aku niat melakukan sholat fardu ashar 4 rakaat, sambil menghadap qiblat,
saat ini, karena Allah ta'ala"
Niat sholat diatas adalah niat sholat ketika melakukan sholat sendirian. Untuk niat
sholat berjamaah ada tambahannya setelah bacaan "Adaa-an".
C. Shalat jama’
Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’ taqdim atau di
waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir. Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi
yang normal, shalat wajib harus dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan.
Akan tetapi apabila dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81
Km, atau dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’. Hukum
melaksanakan jama’ adalah boleh. Sebagaimana seseorang yang melakukan jama’ bila shalat
sendirian dan tidak jama’ bila shalat berjamaah. Namun lebih utama tidak melakukan jama’.
Menurut Yusuf Qaradhawi, sesungguhnya kebolehan menjama’ itu jarang dan
kemungkinannya sangat kecil, ha nya dalam rangka menghilangkan “masyaqqat” serta
kesulitan yang kadang-kadang dihadapi manusia. Hal-hal yang memperbolehkan shalat Jama’
:
1. Jama’ Taqdim
Ialah penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama,
misalnya shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat Dzuhur.
Syarat-syarat jama’Taqdim:
e. Waktu shalat yang pertama masih cukup untuk melaksanakan dua shalat yang di-
jama’.
f. Melakukan shalat yang pertama dan shalat yang kedua secara berkesinambungan
menurut pandangan umum atau tidak melebihi kadar shalat dua rakaat dengan cepat.
g. Ada dugaan sahnya shalat yang pertama.
h. Masih dalam perjalanan (uzur) hingga takbiratul ihram shalat yang kedua sempurna.
i. Meyakini telah diperbolehkan jama’, sekiranya telah terpenuhi seluruh syarat-
syaratnya.
2. Jama’ Ta’khir
Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya shalat
Dzuhur dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.
Syarat-syaratnya, yaitu:
a. Niat jama’ta’khir di waktu shalat yang pertama sekiranya masih tersisa kadar waktu
untuk melakukan satu rakaat shalat.
b. Masih dalam perjalanan (uzur) hingga shalat yang kedua selesai.
D. Shalat Qashar
Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah berkata kepada Umar,
Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar
menjawab, “Saya heran juga sebagaimana engkau, maka saya tanyakan kepada Rasulullah
Saw., dan beliau menjawab: “Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah kepada kamu,
maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut Abu
Hanifah, bukanlah rukhsah (pelaksanaan kewajiban yang mendapat keringanan karena ada
kesulitan), melainkan ‘azimah (pelaksanaan kewajiban yang sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan, tidak mendapat keringanan). Dengan demikian, shalat dalam perjalanan
cukup dilakukan dua rakaat saja.
Syaratnya adalah :
Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah (1) berniat untuk tinggal di suatu tempat
selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari datang dan pergi. (2) ketika telah kembali ke tempat
asalnya. (3) niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk
qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan syarat-syarat qashar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelaksanaan shalat lima waktu dapat dilakukan secara sendiri maupun berjamah.
Shalat berjamaah ialah salat yang dilakukan bersama-sama sekurang-kurangnya dua orang,
yaitu imam dan makmum. Seseorang berada didepan adalah sebagai imam, sedangkan yang
berada dibelakang imam sebagai pengikut atau makmum. Sementara salat munfarid adalah
melakukan salat fardu atau sunah secara sendiri-sendiri / tidak berjamaah. Hukum shalat lima
waktu berjamah bermacam-macam mulai dari fardu ‘ain, fardu kifayah hingga sunnah
muakkadah. Namun bagaimanapun shalatnya baik fardu maupun sunah akan lebih baik
dilakukan secara berjamaah daripada sendiri/munfarid.
Al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar. 1983.Kifayatl Akhyar, alih bahasa: Anas
Thohir Syamsuddin. Surabaya: Bina Ilmu.