Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PAPER

HUKUM DIPLOMATIK DAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Oleh : Kelompok A Team

1) Hasriani Hamid B11116601


2) Nurul Aulia Ulfa B11116 574
3) Suwarsi Diaswati  B11115406

LATAR BELAKANG

Salah satu contoh dari bentuk pelanggaran terhadap hak-hak kekebalan dan
keistimewaan perwakilan diplomatik adalah terjadinya penyadapan terhadap delapan
kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), di antara yaitu Myanmar (Yangon),
Jepang (Tokyo), Kanada (Ottawan), China (Beijing), Korea Selatan (Seoul), Finlandia,
Norwegia, dan Denmark. Yang sangat disesalkan dar kedelapan kantor Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) yang disadap, di Yangon Myanmar, terjadi untuk kedua kalinya
yakni tahun 2003 dan 2004. Menyusul merebaknya kasus penyadapan di Yangon,
Myanmar, tim gabungan keamanan Republik Indonesia yang terdiri dari unsur Lembaga
Sandi Negara (Lemsaneg), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Departemen Luar Negeri
melakukan pemeriksaan secara cermat oleh di Kantor KBRI Yangon, Myanmar pada 24 Juni
2004.

Penyadapan ini dilakukan karena semua negara menyadari siapa yang menguasai
informasi, dialah yang menguasai dunia. Atau setidak-tidaknya, negara tersebut bisa ikut
berperan dalam persaingan global yang kian sengit. Dengan adanya kasus penyadapan di
kantor KBRI di Yangon, Myanmar mencerminkan lemahnya sistem pengamanan di sekitar
gedung perwakilan diplomatik, di mana yang seharusnya ikut mengamankan dan
melindungi gedung perwakilan diplomatik Republik Indonesia adalah pemerintah
Myanmar akan tetapi ini tidak dilaksanakan dengan baik.
KRONOLOGIS KASUS

Tahun 2004 telah terjadi sebuah Kasus Penyadapan kantor KBRI di Yangon
Myanmar untuk kedua kalinya, yang mana sebelumnya pada tahun 2003 telah terjadi hal
yang demikian. kasus tersebut merupakan bukti nyata ketidakpatuhan negara penerima
dalam hal ini mynamar dalam menjaga dan memberikan keamaan bagi perwakilan
diplomatic dari negara lain. Tindakan tersebut adalah salah satu bentuk pelanggaran
terhadap hak-hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatic.

Menanggapi kasus tersebut, dibentuklah sebuah tim gabungan keamanan Republik


Indonesia yang terdiri dari unsur Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), Badan Intelijen
Negara (BIN) dan Departemen Luar Negeri yang melakukan pemeriksaan di kantor KBRI
Yangon, Myanmar. Pemeriksaan yang dilakukan secara cermat pada 24 Juni 2004,
menunjukkan bahwa junta militer Myanmar secara ilegal menyadap semua aktivitas dan
pembicaraan para diplomat Republik Indonesia yang bertugas di Yangoon, Myanmar
dengan memasang alat penyadap pada dinding kamar kerja Duta Besar Republik Indonesia
untuk Myanmar, sehingga terjadi penurunan frekuensi telepon dari 50 Mhz menjadi 30,1
Mhz. selain itu, tim keamanan Republik Indonesiapun telah melakukan uji penyadapan
melalui perubahan daya listrik yang secara signifikan terjadi hingga sebanyak 70 %. Dari
semua temuan tersebut, maka telah terbukti bahwa myanmar telah melakukan tindakan
yang tidak dapat dibenarkan.

Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda menyesalkan terjadinya indikasi


penyadapan kantor Kedutaan Besar RI di Yangoon. Penyadapan ini dinilai sebagai bentuk
pelanggaran atas konvensi Wina.1

Konvensi wina 1961 adalah sebagai bentuk pengakuan oleh semua negara-negara
akan adanya wakil-wakil diplomatik yang sudah ada sejak dahulu. Dalam Konvensi Wina
1961 telah terdapat pengaturan terkait kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang
sangat mutlak diperlukan bagi semua negara. Khususnya para pihak agar didalam
melaksanakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatknya

1
https://news.detik.com/berita/d-176027/menlu-penyadapan-kbri-di-myanmar-langgar-konvensi-wina-
dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta
dalam meningkatkan hubungan bersahabat antara semua negara.

Dalam pasal 22 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik diatur
mengenai hak kekebalan dan keistimewaan terhadap gedung perwakilan diplomatik
dimana tidak boleh diganggu gugatnya gedung-gedung perwakilan asing, disamping itu
juga alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung
perwakilan diplomatik kecuali dengan izin dari kepala perwakilan. Di dalam pasal 22 ayat
(2) disebutkan negara penerima mempunyai kewajiban untuk melindungi gedung
perwakilan diplomatik dari setiap gangguan maupun kerusakan yang dapat menurunkan
harkat dan martabat, jadi pasal 22 ayat (2) dapat diartikan menyangkut kekebalan di
lingkungan gedung perwakilan diplomatik itu sendiri. Karena itu perlindungan yang
diberikan oleh negara penerima bukan saja dilakukan di dalam gedung perwakilan (interna
rationae) tetapi juga di luar ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).

Hak kekebalan dan keistimewaan ini diberikan untuk memudahkan para wakil-
wakil diplomatik di dalam menjalankan tugasnya. Jika hal tersebut tidak diberikan maka
akan menghambat kinerja dari wakil-wakil diplomatik tersebut. Penyadapan yang
dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
bisa dianggap sebagai tindakan yang menghalangi kinerja wakil-wakil diplomatik dari
negara pengirim di dalam menjalakan tugas maupun misi-misinya di negara penerima.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwasanya Myanmar telah


melakukan sebuah tindakan yang tidak dibenarkan dalam praktik internasional
dikarenakan kasus penyadapan ini merupakan bentuk ketidakpatuhan negara Myanmar
dalam memberikan perlindungan kebebasan dan keamanan bagi setiap perwakilan
diplomatic di negaranya, dalam hal ini negara republik indonesia.
BENTUK UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA ATAS PENYADAPAN KANTOR
KBRI DI YANGON MYANMAR

a) Upaya penyelesaian secara damai


- Negosiasi

Upaya penyelesaian secara damaiyang dapat dilakukan oleh Indonesia dengan


Myanmar untuk pertama kalinya yaitu dengan cara negosiasi. Setelah sepakat untuk
mengadakan perundingan, kedua negara kemudian akan mengirimkan perwakilannya
untuk menjalani perungdingan tersebut. Pengiriman mentri luar negeri dari masing-
masing negara dapat menjadi alternatif sebagai perwakilan resmi kedua Negara untuk
melakukan perungdingan. Dalam perundingan perwakilan tersebut dapat membicarakan
permasalahan yang terjadi,seperti mengapa itu dilakukan, tanggung jawabb penerintah
Myanmar atas tindakannya, jaminan bahwa tindakan itu tidak akan terulang kembali
sertalangkah-langkah lain yang akan dilakukan oleh kedua negara untuk menyelesaikan
permasalahan yang telah terjadi.

- Mediasi

Apabila negosiasi telah dilakukan tidak membuahkan hasil, kedua negara dapat
melakukan mediasi. Penunjukan mediator dapat dilakukan oleh salah satu pihak ataupun
kesepakatan kedua negara. Alangkah lebih baik jika pemilihan mediator dilakukan
berdasarkan kesepakatan dan pihak yangmenjadi mediator adalah badan organisasi
ASEAN dalam hal ini adalah ketua ataupun Sekertaris Jendral ASEAN atau negara yang
termasuk kedalam ASEAN.

- Konsiliasi

Apabila cara negosiasi dan mediasi telah dilakukan tidak mendapatkan hasil, makan
pemerintah Indonesia dan Myanmar dapat memilih cara konsiliasi untuk
menyelesaikannya. Sama seperti mediasi pihak ketiga yang menjadi konsiliator sebaiknya
negara yang berada didalam wilayah ASEAN. Pembentukan tim gabungan konsiliasi
sebaiknya dibentuk dibawah naungan ASEAN. Tim konsiliasi dibentuk dapat mencari fakta-
fakta yang sebenarnya terjadi dalam kasus tersebut. Fakta-fakta yang dapat ditelusuri
seperti mengenai kebenaran kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak Myanmar serta
kelalaian negara Myanmar terhadap kelalaian immunity dan inviolability perwakilan
diplomatik Indonesia. Selain itu tim konsiliasi juga dapat memberikan keputusan yang
terbaik agar permasalahan ini dapat diselesaikan dan tidak akan pernah terulang kembali.

b) Melalui jalur hukum


- Arbitrase

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur hukum yaitu melalui badan
arbitrase. Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa secara alternatif yang telah diakui
oleh hukum internasional dan sudah umum dilakukan dalam menyelesaikan sengketa yang
terjadi. Arbitrase menggabungkan prosedur hukum dengan diplomatik. Hal ini ditunjukkan
dengan diberikannya kewenangan para pihak untuk menentukan hal-hal yang
berpengaruh terhadapproses arbitrase tersebut. Badan arbitrease hanya akan berfungsi
apabila para pihak yang bersengketa telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian
perkara kepada pihak arbitrase.

Yurisdiksi arbitrase biasanya diperjanjikan dalam suatu perjanjian para pihak yang
akan ditentukan kemudian. Putusan badan arbitrase bersifat final fan mengikat para pihak
secara hukum. Apabila para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan melalui
badan arbitrase, maka mereka berkewajiban untuk menjalanka hasil putusannya.

- Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional merupakan badan peradilan utama PBB. Walaupun


mahkama internasionl merupakan bagian dari PBB, dalam praktiknya Mahkama
Internasional bersifat Individual dan merupakan lembaga hukum yang tetap bergerak
sebagai badan peradilan internasional. Meskipun merupakan sama-sama bentuk
penyelesaian melalui jalur hukum, tetapi Mahkama Internasional dan arbitrase memiliki
banyak perbedaan. Hanya negara yang menjadi pihak yang bersengketa dihadapan
Mahkama Internasional. Terkait dengan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
Myanmar,pemerintah indonesia dapat meminta bantuan kepada Mahkama Internasional
untuk menyelesaikan pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telahdilakukann
oleh pemerintah Myanmar. Myanmar sebagai negara penerima berkewjiban untuk
melingdungi kebebasan berkomunikasi Duta Besar indonesia. Namun, hal bertentangan
justru dilakukannya. Myanmar telah melakukan penyadapan terhadap Duta Besar
Indonesia. Perbuatan tersebut merupakan wujud dari pelanggaran terhadap kewajiban
internasional. Selain itu, permasalahan yanglain timbul yaitu dengan adanya
pertanggungjawaban negara. Pertanggungjawaban negara timbul sebagai akibat dari
pelanggaran yang telah dilakukan.

Perbuatan Myanmar yang telah melanggar ketentuan internasional menimbulkan


kerugian yang diderita oleh Indonesia. Sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai negara
pelanggar, Myanmar harus memberikan ganti rugi sesuai dengan kerugian yang telah
diderita oleh Indonesia. Kerugian secara moril telah dirasakan langsung oleh pemerintah
indonesia. Untuk mengetahui besarnya kerugian moril tersebut, Indonesia dapat
menyerahkannya kepada Mahkama Intenasional untuk memutus besarnya ketugian yang
harus diberikan oleh pemerintah Myanmar. Tapi dalam prakteknya Indoensian sangat
jarang bahkan cenderung menghindari Mahkama Internaional sebagai alternatif dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi melalui jalur diplomatik.

Berkaitan dengan permasalahan dalam diplomatik, baik indonesiamaupun


myanmar tidak melakukan ratifikasi terhadap protokol pilihan konvensi wina 1962
tentang kewajiban penyelesaian sengketa. Konsekuensi dari tidak diratifikasinya protokol
ini yaitu secara yuridis formal baik Indonesia maupun Myanmar tidak memiliki kewajiban
untuk menyelesaikan permasalahan mengenai hubungan diplomatik melaluibadan
Mahkama Internasional.namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan apabila
Indonesia dan Myanmar ingin menyelesaikannya melalui badan mahkama compromise
consent kedua negara tersebut.

c) Upaya penyelesaian menggunakan kekerasan non-perang


- Retorsi

Indonesia sebagai negara yang telah dirugikan akibat perbuatan Myanmar yang
telah melakukan penyadapan terhadap gedung serta perwakilan diplomatik Indonesia di
Myaanmar dapat melakukan tindakan retorsi sebagai tindkan pembalasan yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Myanmar. Beberapa tindakan pembalasan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah indonesia seperti pemutusan hubungan diplomatik, pencabutan
hak istimewa diplomatik, person non grata maupun tindakan sejenis lainnya.

- Reprisal

Sebagai upaya penyelesaian terakhir, indonesia dapat melakukan reprisal sebab


Myanmar telah melanggar ketentuan Internasional dimana ia telah melanggar hak
immunity dan inviolability diplomatik. Selain itu, indonesia sebelumnya juga harus meminta
kepada Myanmar untuk meminta ganti rugi atas kerugian yang telah diderita oleh
Indonesia.

d) Upaya penyelesaian melalui badan regional

Sebagai negara anggota ASEAN, indonesia dan Myanmar dapat meminta kepada badan
ASEAN untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi.kedua negara tersebut
dapat meminta bantuan melalui Ketua maupun Sekretaris Jendral ASEAN untuk menjadi
pihak ketiga dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut. ASEAN sebagai organisasi
regional resmi yang menanungi negara-negara anggotanya meminta agar upaya
penyelesaian yang ditempuh oleh negara-negara yang bersengketa diselesaikan secara
damai. Indonesia dan Myanmar sebagai para pihak yang bersengketa dapat mengupayakan
penyelesaian dengan cara perungdingan, konsultasi dan negosiasi. Upaya-upaya tesebut
dapat dilakukan sendiri oleh para pihak tampa meminta bantuan kepada pihak ketiga atau
dengan kata lain tampa meminta bantuan badan ASEAN sebelumnya.

Dengan rasa penyesalan kepada pemerintah Indonesia serta jaminan bahwaperbuatan


tersebut tidak akan terulang kembali. Sedangkan kompensasi yang diberikan dalam bentuk
ganti rugi secara moril dan politis.

Berbagai upaya penyelesaian dapat tempuh oleh keduanya baik upaya penyelesaian
secara damai, dengan menggunakan keekerasan, ataupun melalui bantuan badan ASEAN.
Upaya penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui jalur diplomatik dalam bentuk
negosiasi, mediasi ataupun konsiliasi serta melalui jalur hukum dengan meminta bantuan
kepada badan arbitrase maupun Mahkama Internasional. Upaya penyelesaian dengan
menggunakankekerasan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk
pembalasan atas tindakan Myanmar yang telah melanggar hak immunity dan inviolability
perwakilan diplomatik Indonesia dalam bentuk restitusi maupun reprisal. Sedangkan
upaya penyelesaian melalui bantuan badan ASEAN dilakukan dengan meminta bantuan
kepada ketua maupun Sekretaris Jendral ASEAN sebagai pihak ketiga. Tetapi, upaya
penyelesaian terbaik yang dapat dilakukan oleh kedua negara yaitu upaya penyelesaian
secara damai malaui jalur diplomatik maupun antuan badan ASEAN.

Pelanggaran yang terjadi terhadap hak immunity dan inviolability khususnya


mengenai kebebasan berkomunikasi perwakilan diplomatik seringkali tidak terselesaikan
dengan baik.

ANALISIS UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA ATAS PENYADAPAN KANTOR KBRI DI


YANGON MYANMAR

Dalam kasus penyadapan terhadap KBRI di Yangon Myanmar langkah awal yang
harus dilakukan oleh masing-masing negara yang bersengketa adalah adanya itikad baik
untuk membicarakan dan menyelesaikan kasus tersebut tanpa menggunakan cara-cara
kekerasan yang dapat mengancam perdamain kedua negara. Prinsip penting lainnya adalah
prinsip di mana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih
cara atau mekanisme bagaimana kasus penyadapan tersebut diselesaikan (principle of free
choice of means). Prinsip ini tertuang dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa
yang menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian sengketa atau
cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan keinginan bebas para pihak.

            Langkah-langkah yang harus dilakukan Bangsa Indonesia di dalam melaksanakan


proses negosiasi dengan Pemerintah Myanmar adalah dengan melakukankan persiapan
negosiasi. Negosiasi antar negara dilakukan melalui saluran diplomatik yakni melalui
Menteri Luar Negeri atau wakil-wakil diplomatik dan dapat pula membawa delegasi dari
departemen pemerintah yang berkepentingan. Langkah konkrit yang harus dilakukan
adalah Departemen Luar Negeri (Deplu) sesegera mungkin untuk memanggil Duta Besar
Myanmar untuk Indonesia guna memberikan keterangan yang diperlukan sehubungan
dengan kasus penyadapan tersebut, disamping itu juga Bangsa Indonesia harus
mengirimkan nota diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Myanmar untuk
mengklarifikasikan masalah tersebut dan menyatakan kekecewaan atas terjadinya
penyadapan tersebut yang sempat menghambat kinerja dari para diplomat.

            Selanjutnya melalui tahap perundingan, Indonesia sebagai negara yang dirugikan
atas terjadinya penyadapan harus menyampaikan harapan-harapan supaya Pemerintah
Myanmar mengakui perbuatannya dan tidak mengulangi serta akan tetap mematuhi
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Wina 1961 tentang hubungan
diplomatik.

            Dalam bernegosiasi Indonesia dan Myanmar harus melakukan secara bersahabat,
berkomunikasi secara terbuka, dan melakukan pertukaran informasi secara transparan
demi mencapai kesepakatan yang memenuhi kepentingan kedua belah pihak. Apabila
kedua belah pihak gagal di dalam menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomatik, maka
dapat ditempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara hukum dan membawanya ke
Mahkamah Internasional. Namun untuk membawa sengketa ke depan Mahkamah
Internasional perlu diperhitungkan terlebih dahulu keuntungan dan kerugiannya, terutama
dilihat dari karakteristik sengketa yang berlatar belakang sengketa diplomatik.
Keengganan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional adalah merujuk pada
tujuan akhir dari hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa adalah
penyelesaian secara damai dan hukum internasional tidak menghendaki penyelesaian
secara kekerasan (militer).

Sumber

https://www.academia.edu/18226281/PENYELESAIAN_KASUS_PENYADAPAN_KEDUTAA
N_BESAR_REPUBLIK_INDONESIA_DI_MYANMAR_BERDASARKAN_KONVENSI_WINA_1961
http://repository.unair.ac.id/14232/2/gdlhub-gdl-s1-2007-mangkudewa-3950-
fh12_07.pdf
https://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207350921013491/2.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/18984-ID-pelanggaran-hak-immunity-dan-
inviolability-terhadap-kebebasan-berkomunikasi-stud.pdf
http://repository.unair.ac.id/14232/

Anda mungkin juga menyukai