Organisasi ini semula bergerak di bidang sosial dan kebudayaan sebagai ajang bertukar pikiran tentang
situasi tanah air.
Organisasi ini juga menerbitkan majalah yang diberi nama Hindia Putera
Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk
mengganti nama Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging (1922). Selanjutnya
perkumpulan itu berganti nama Indonesische Vereeniging (1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma
Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama perhimpunannya
diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama
Indonesia Merdeka. Itu semua merupakan usaha baru dalam memberikan identitas nasioalis yang
muncul di luar tanah air. Mereka juga membuat simbol-simbol baru, merah putih sebagai lambang
mereka dan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perjuangan.
Perhimpoenan Indonesia semakin mendapat simpatik dari para mahasiswa Indonesia di tanah Belanda.
Jumlah keanggotaannya pun semakin bertambah banyak. Tahun 1926 jumlah anggota mencapai 38
orang.
PI bersemboyan “ self reliance, not mendiancy”, yang berarti tidak meminta-minta dan menuntut-
nuntut.
Dalam Anggaran Dasarnya juga disebutkan, bahwa kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh melalui aksi
bersama, yaitu kekuatan serentak oleh seluruh rakyat Indonesia berdasarkan kekuatan sendiri.
Kepentingan penjajah dan yang terjajah berlawanan dan tidak mungkin diadakan kerjasama
(nonkoperasi). Bangsa Indonesia harus mampu berdiri di atas kaki sendiri, tidak tergantung pada bangsa
lain.
Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di
Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya.
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians ( sarjana
Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud
tentang nasion yang saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan
wilayahnya.
Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi
Perhimpoenan Indonesia.
permulaan masih menyebut “Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka
tulisan mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut
pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar
Tujuan dari perhimpunan Indonesia yaitu untuk berjuang dalam rangka memperoleh suatu
pemerintahan Indonesia yang hanya bertanggung jawab pada rakyat Indonesia.
Berhubungan dengan upaya dalam mencapai tujuan tersebut, Iwa Koesoema Soematri
menyampaikan penjelasan bahwa organisasi perhimpunan Indonesia mempunyai tiga
asa pokok, yaitu
Perhimpunan Indonesia menjadi suatu organisasi politik yang radikal setelah mendapat banyak
pengaruh dari tokoh pergerakan nasional, yaitu Mohammad Hatta.
Kongres Liga Penentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Paris diikuti oleh tokoh –
tokoh perhimpunan Indonesia pada bulan Agustus 1926. Di dalam pertemuan tersebut, kongres
menyokong perjuangan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Kesuksesan Bung Hatta ini diwujudkan dalam sikap politik Perhimpunan Indonesia berikut
ini:
1. Organisasi PI wajib membuktikan Belanda yang meremehkan perjuangan rakyat
Indonesia meraih kemerdekaan. Mereka akan membuktikan kebenaran dan kesungguhan
orang-orang Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.
2. Ideologi yang dipakai bebas dan tidak terbatas agama atau pun paham yang sedang
mendunia seperti komunis.
3. Menciptakan suatu kesadaran pada setiap pelajar Indonesia yang sedang merantau
agar mereka harus bersatu untuk mencapai kemerdekaan. Untuk itu, mereka juga harus
siap memenangkan suatu hari nanti akan setuju dengan Belanda.
Karena itu, PI tidak dapat dilakukan banyak. Tidak mungkin juga PI lulus dari karirnya
setelah berlelah-lelah menerima pendidikan yang layak di negeri Belanda. Selanjutnya,
seorang mahasiswa rantau memberikan saran kepada Moh. Hatta.
Setelah disetujui, Sudjadi, Moh. Lebih memilih memilih partai baru yang dpat dimotorinya
sendiri. Ia pun mendirikan Indonesische Volks Partij (Partai Rakyat Nasional
Indonesia). Dengan begitu, berakhirlah sejarah Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Di masa krisis dunia tahun 1930, Perhimpunan Indonesia mengalami kemunduran dan makin lama
makin tidak terdengar lagi. Hal ini disebabkan terutama oleh banyaknya tokoh Perhimpunan Indonesia
yang kembali ke Indonesia. Sejak tahun 1930 juga, majalah Indonesia merdeka dilarang masuk ke
Indonesia.