Anda di halaman 1dari 26

PEMANTAUAN HEMODINAMIK

(INVASIVE DAN NON INVASIVE ) PASIEN KRITIS

Keperawatan Kritis

KELOMPOK 2

Annisa Adelia Putri R011181027


Randiana windirianti R011181009
Wardalifa R011181305
Sahrina Abduh R011181307
Miftahul Hidayah R011181309
A Nur Ilmi Tenri Dio R011181315
Fira Rezky Amaliah R011181317
Egghy Yosiana Sirappa R011181327
Khafifah Aulia R R011181343
Inesia Ayudita Paloloan R011181345
Nur Azizah S R011181351
Nurul Rezky Mardianthy R011181357

RA 2018 KEPERAWATAN
ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020-2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penyusun tidak
akan sanggup menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi Wasallam yang kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Penyusun mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan nikmat sehat-Nya
baik itu berupa sehatfisik maupun sehat akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas kelompok dari mata kuliah Keperawatan Kritis dengan judul
“pemantauan hemodinamik pasien kritis ”.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan didalamnnya. Untuk itu, Penyusun mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada semua dosen yang
telah mengajar di mata kuliah ini.

Demikian, semoga bermanfaat. Terima kasih.

Makassar 13 April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................................................3
BAB 1............................................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................................4
C. Tujuan...............................................................................................................................................................4
BAB 2............................................................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN............................................................................................................................................................4
A. Pemantauan Hemodinamik.............................................................................................................................4
B. Pemantauan Hemodinamik Non Invasive.....................................................................................................5
C. Pemantauan Hemodinamik invasive.............................................................................................................17
BAB 3..........................................................................................................................................................................26
Penutup........................................................................................................................................................................26
A. Kesimpulan.....................................................................................................................................................26
B. Saran............................................................................................................................................................... 26
Daftar Pustaka..............................................................................................................................................................27
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan Hemodinamik adalah sarana untuk menilai status sistem kardiovaskuler seorang pasien
apakah berfungsi baik dengan menggunakan alat-alat monitor medis dan merupakan bagian dari
seluruh rangkaian proses pengumpulan data penyakit dan kondisi klinis penderita mulai dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan berbagai pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sesuai
dengan indikasi seperti pemeriksaan laboratorium darah rutin, fungsi hati, laboratorium urin,
pemeriksaan radiologi, rekam jantung, dan lain-lain. Pemeriksaan Hemodinamik meliputi aspek
fisik sirkulasi darah, fungsi jantung dan karakterisitik fisiologis vaskular perifer . Pemantauan
Hemodinamik dapat dikelompokkan menjadi noninvasif, invasif, dan turunan. Pengukuran
hemodinamik penting untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menentukan terapi yang sesuai, dan
pemantauan respons terhadap terapi yang diberikan pengukuran hemodinamik ini terutama dapat
membantu untuk mengenali syok sedini mungkin, sehingga dapat dilakukan tindakan yang tepat
terhadap bantuan sirkulasi (Hinds dan Watson 1999, dalam Jevon dan Ewens 2009). Kegagalan
sirkulasi akut dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan tidak terdistribusi dengan baik dan
dapat menimbulkan hipoksia generalisataSebagai suatu fenomena fisiologis yang kompleks, syok
merupakan kondisi yang megancam nyawa dengan berbagai penyebab, jika tidak dilakukan terapi,
maka akan terjadi kematian sel, disfungsi organ, dan akhirnya kematian Pemantauan hemodinamik
akan membantu perawat dalam mengenali tanda-tanda awal syok, membantu penatalaksanaan sesuai
waktunya, mengevaluasi respons terapi, dan mengembalikan tahap awal sekuele yang mematikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian pemantauan Hemodinamik ?
2. Terbagi berapa jenis pemantauan Hemodinamik ?
3. Bagaimana metode pemantauan Hemodinamik ?
4. Apa saja tatalaksana pada Pemantauan Hemodinamik ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Hemodinamik
2. Untuk mengetahui jenis pemantauan Hemodinamik
3. Untuk mengetahui metode pemantauan Hemodinamik
4. Untuk mengetahui tatalaksana pada Pemantauan Hemodinamik
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pemantauan Hemodinamik
1. Definisi
Pemantauan Hemodinamik adalah sarana untuk menilai status sistem kardiovaskuler seorang pasien apakah
berfungsi baik dengan menggunakan alat-alat monitor medis dan merupakan bagian dari seluruh rangkaian
proses pengumpulan data penyakit dan kondisi klinis penderita mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
berbagai pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sesuai dengan indikasi seperti pemeriksaan
laboratorium darah rutin, fungsi hati, laboratorium urin, pemeriksaan radiologi, rekam jantung, dan lain-lain
2. Tujuan
Tujuan dari pemantauan Hemodinamik adalah untuk mengidentifikasi perubahan status hemodinamik
secara dini sehingga dapat dilakukan intervensi segera, untuk evaluasi segera respon pasien terhadap suatu
intervensi seperti obat-obatan dan dukungan mekanik, dan evaluasi efektivitas fungsi kardiovaskuler seperti
cardio output dan indeks
3. Konsep umum
Hemodinamik pasien yang menjalani operasi dalam anestesi umum dikatakan dalam batas normal bila
semua organ vital berfungsi dengan baik, misalnya: tekanan darah dalam batas normal, nadi tidak takikardi
atau bradikardi, saturasi oksigen baik, warna kulit tidak sianosis, gambaran elektrokardiogram dalam batas
normal, dan produksi urin normal. Data-data Hemodinamik yang diperoleh di evaluasi secara cermat dan
teliti serta digabungkan dengan seluruh kondisi klinis pasien, sehingga dokter anestesi/ klinikus dapat
dengan segera melakukan intervensi/ tindakan terhadap gangguan kardiovaskuler yang timbul. Berapa
banyak parameter Hemodinamik pasien yang akan dipantau tergantung dari kondisi penyakit penderita,
sarana-prasarana alat monitor Hemodinamik yang tersedia di rumah sakit tersebut serta ketrampilan si
dokter anestesi memasang peralatan monitor tersebut dan ketepatan menginterpretasikan data-data yang
diperoleh untuk mengoptimalkan kondisi pasien. Sekalipun demikian sarana pemantauan Hemodinamik
tidak dapat menggantikan fungsi pemantauan klinis yang dilakukan dokter dan perawat secara cermat,
teratur dan berkesinambungan

B. Pemantauan Hemodinamik Non Invasive


a. Pengertian
Perangkat pemantau hemodinamik non-invasif terdiri dari elektrokardiogram dan pemeriksaan tekanan
darah non-invasif. Metode pemantauan tidak langsung (non-invasif) adalah dengan mengukur tekanan
darah berdasar prinsip oklusi arteri (Riva-Rocci) yang mendeteksi perubahan suara auskultasi Korotkof atau
amplifikasi suara dari Doppler. Deteksi pergerakan dinding pembuluh darah dengan osilasi disebut
Dinamap. Metode pengukuran tidak langsung ini sangat bergantung pada deteksi aliran darah yang tertahan
oleh manset/cuff. Alat pengukur tekanan darah non-invasif otomatis seperti Dinamap berguna untuk
mengurangi kesalahan akibat pengukuran manual.
b. Metode
Metode non-invasif diterima dan dipakai sebagai alat pengukur dan pemantau hemodinamik paling dasar di
seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Walaupun pemantauan non-invasif dianggap paling
aman, tidak menyakitkan, sederhana, murah dan mudah digunakan tetapi teknik ini akan sukar diaplikasi
pada pasien yang terlalu kecil, tidak koperatif dan pada pasien yang sulit dipasang manset (misal luka bakar
pada ekstremitas). Hasil pengukuran tidak akurat jika ukuran manset tidak sesuai, stetoskop terlalu panjang,
deflasi tekanan terlalu cepat, pendengaran petugas kurang sensitif ataupun terdapat kesalahan kalibrasi
manometer. Komplikasi yang mungkin terjadi sangat minimal, berupa rasa nyeri akibat bendungan dari
aliran darah. Adakalanya oklusi aliran arterial ini dapat memicu iskemia perifer.
c. Penatalaksanaan
1. Pemantauan kesadaran
Dokter anestesi biasanya menilai kesadaran pasien sebelum dilakukan tindakan/ diberikan anestesi.
Penilaian kesadaran pasien dilakukan bersamaan dengan evaluasi pre operatif seluruh keadaan pasien, yaitu
pada saat kunjungan pra anestesi ke ruang perawatan satu atau beberapa hari sebelum pelaksanaan operasi.
Pemeriksaan dimulai dengan: anamnesis/ wawancara langsung dengan pasien bila pasien sadar dan
kooperatif (auto anamnesis) atau apabila pasien tidak kooperatif wawancara bisa dilakukan dengan keluarga
yang bertanggung jawab (allo anamnesis). Sesudah anamnesis selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik dan mengevaluasi data-data pemeriksaan penunjang yang ada dan bila masih ada
pemeriksaan penunjang lain yang dibutuhkan untuk keamanan keberlangsungan operasi, dokter anestesi
dapat mengusulkan pemeriksaan penunjang tambahan lainnya ke dokter penanggung jawab. Kadang kala
evaluasi pra anestesi dapat juga dilakukan ruang unit gawat darurat (UGD) atau di ruang persiapan kamar
bedah untuk pasien-pasien yang menjalani operasi segera/ cito beberapa saat sebelum tindakan anestesi/
pembiusan dilakukan.
Pusat pengaturan kesadaran manusia secara anatomi terletak pada serabut transversal retikularis batang otak
(medulla oblongata) sampai ke talamus dan kemudian dilanjutkan ke formatio activator reticularis yang
menghubungkan talamus dengan korteks serebri. Tingkat kesadaran seseorang dapat dinilai secara kualitatif
(kompos mentis, apatis, somnolen, sopor/ stupor, dan koma) maupun secara kuantitatif dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Parameter GCS yang dinilai respon buka mata, bicara (verbal),
dan motorik pasien, nilai totalnya adalah 15. Nilai respon buka mata normal 4, respon bicara (verbal)
normal 5, dan respon motorik normal 6.
Tingkat kesadaran kualitatif:
a. Kompos Mentis : Keadaan seseorang sadar penuh, dapat menjawab dengan benar pertanyaan yang
diajukan tentang dirinya dan lingkungannya, orientasi waktu dan tempat.
b. Apatis :Keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh, dan segan berhubungan dengan orang lain dan
lingkungannya.
c. Somnolen : Keadaan seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur, tetapi masih bisa
dibangunkan dengan sedikit rangsangan dan mampu memberikan jawaban secara verbal namun cepat
tertidur kembali.
d. Sopor/ Stupor : Kesadaran hilang, pasien hanya berbaring dengan mata tertutup. Pasien tidur dalam, tidak
memberikan respon terhadap gerakan yang diberikan dan hanya dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri
yang kuat dan berulang.
e. Koma : Kesadaran hilang, pasien tidak memberikan respon/ reaksi apapun terhadap semua rangsangan
yang diberikan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar.
TEKANAN DARAH NON-INVASIVE HEMO
Tekanan darah adalah tekanan pada dinding pembuluh darah arteri. Tekanan darah sistolik adalah tekanan
darah yang dihasilkan sewaktu jantung memompakan darah ke sirkulasi sistemik (saat katub aorta
membuka), tekanan darah diastolik adalah tekanan darah yang dihasilkan saat katub aorta menutup.
Sedangkan tekanan nadi adalah selisih tekanan darah sistolik dengan tekanan darah diastolik, dipengaruhi
oleh curah jantung dan tekanan pembuluh darah perifer, keduanya diatur secara reflektonis oleh
baroreseptor yang terletak di sinus karotikus dan arkus aorta. (Tekanan darah = curah jantung x tahanan
pembuluh darah sistemik).
MAP = CO x SVR
MAP = Mean arterial pressure
CO = Cardiac output
SVR = Systemic vascular resistance
CO = Stroke volume (SV) x heart rate (HR)
SVR = 80 (MAP – CVP).
CVP = Central venous pressure
Nilai MAP dapat diperoleh dari hasil pengukuran langsung ataupun dengan penghitungan:
MAP = tekanan sistolik + (diastolik x 2)
3 MAP = Systemic Vascular Resistance x Cardiac Output

Metode pemantauan tekanan darah tidak langsung:


a. Metode palpasi
Manset torniket tekanan darah dililitkan dibagian proksimal esktremitas yang akan diperiksa, biasanya pada
lengan atas, manset dipompa sampai denyut nadi tidak teraba, kemudian manset dikempeskan secara
perlahan-lahan sambil meraba arteri brakhialis atau arteri radialis Ukuran lebar manset sangat berperan
menentukan hasil pengukuran, lebar manset yang dianjurkan adalah dua pertiga dari panjang lengan atas
atau duapuluh persen lebih besar dari diameter lengan. Manset yang terlalu kecil akan menghasilkan
tekanan darah yang lebih besar dari nilai sebenarnya dan sebaliknya ukuran manset yang terlalu lebar akan
menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih rendah dari nilai sebenarnya. Manometer standard yang
digunakan secara internasional untuk satuan tekanan darah adalah manometer air raksa, (1 mmHg = 1,36
CmH20).

Pemeriksaan tekanan darah dengan metode auskultasi


b. Metode auskultasi/ Korotkoff
Metode auskultasi hampir sama dengan metode palpasi Palpasi tangan digantikan dengan steteskop,
diletakkan dibagian distal arteri yang kolaps. Pada pembuluh darah yang dibendung terjadi aliran turbulen
yang menimbulkan suara (kororkofi), denyut nadı pertama kali terdengar saat manset dikempeskan pelan-
pelan menunjukkan tekanan darah sistolik dan pada saat denyut nadi tidak terdengar/ hilang menunjukkan
tekanan darah diastolik. Suara korotkoff sering sulit didengar pada keadaan hipotensi berat atau
vasokonstriksi perifer berat.
c. Metode flush
Lengan yang akan diperiksa terlebih dahulu ditinggikan beberapa saat agar darah turun, kemudian manset
dililitkan dan dipompa sampai nadi tidak teraba Secara perlahan-lahan tangan diturunkan dan manset
dikempeskan sampai lengan kembali berwarna merah seperti semula. Saat lengan kembali berwarna merah
menunjukkan tekanan darah sistolik sesuai dengan angka yang tertera pada manometer. Pengukuran
tekanan darah dengan cara flush sering dilakukan pada bayi dan anak.
d. Metode osilotonometri (NIBP).
Alat pengukur tekanan darah tidak langsung (non invasif) bekerja secara otomatis. Mengukur getaran
pulsasi arteri yang ditekan manset. Sangat akurat untuk mengukur tekanan darah arteri rata-rata. Tingkat
ketelitian + 15 mmHg (2 kPa) pada 95 % pasien normotensi.
e. Metode pletismograf
Pulsasi arteri sesaat akan meningkatkan volume darah ekstremitas. Foto pletismograf terdiri dari cahaya
dioda dan sel-sel foto elektrik mampu mendeteksi volume darah jari-jari. Pletismograf tidak baik digunakan
pada penderita dengan perfusi pembuluh darah perifer buruk atau penderita hipotermi.
f. Metode tonometri arteri.
Alat pengukur tekanan darah tidak langsung dari setiap denyutan arteri superfisial, kontak langsung
tranduser pada denyutan arteri dikulit menggambarkan tekanan intraluminal arteri. Rekaman denyut nadi
secara terus menerus menghasilkan pintasan yang sangat mirip dengan gelombang tekanan arteri invasif.
g. Metode probe Doppler.
Prinsip kerja Doppler mengubah frekuensi gelombang suara dari sumber bergerak ke alat pendeteksi. Probe
doppler mengirimkan signal ultarsonik dari sel-sel darah muda yang bergerak dalam pembuluh darah arteri.
Perubahan frekuensi doppler kemudian dideteksi oleh probe. Perbedaan frekuensi gelombang suara yang
dikirim dan yang diterima direkam oleh monitor seperti suara mendesis menggambarkan aliran darah.
Cukup sensitif digunakan pada pasien-pasien gemuk, pediatrik dan syok.

Metode Pemeriksaaan Tekanan Darah Dengan Dopler


2. . Tekanan vena jugularis
Peninggian tekanan vena jugularis dapat diperkirakan dari distensi vena jugularis eksterna Vena-vena
leher akan mengalami distensi bila kepala ditempatkan sejajar dengan lantai diatas tempat tidur dan vena-
vena leher akan kolaps bila ditempatkan pada ketinggian 30-40 derajat. Atrium kanan terletak + 5 cm
dibawah sudut Louis, tempat pertemuan manubrium dengan korpus sternum. Derajat distensi vena leher
diukur dengan membuat garis khayal dari miniskus distensi vena leher (tempat vena kolaps) sampai kesudut
Louis. Tekanan vena sentralis dapat diperkirakan dengan menambahkan angka 5 cm dari distensi sudut
Louis.
3. Capillary refill time (CRT)
Capillary refill time (CRT) adalah tes yang dilakukan dengan cepat pada daerah kuku untuk menilai
jumlah aliran darah (perfusi) ke jaringan dan untuk menilai ada tidaknya dehidrasi. Pemeriksaan CRT
dilakukan dengan cara tangan pasien yang akan diperiksa dipengang dan diangkat lebih tinggi dari jantung
untuk mencegah refluks aliran darah vena, kemudian kuku jari tangan ditekan secara lembut sampai
berwarna putih lalu dilepaskan. Waktu yang dibutuhkan kuku untuk kembali ke warna semula (merah)
setelah tekanan dilepaskan di hitung. Jika perfusi baik aliran darah ke daerah kuku akan baik, pada orang
dewasa warna kuku akan kembali ke warna semula kurang dari dua detik, sedangkan pada bayi baru lahir
(neonates) pengisian kapiler sampai tiga detik masih dianggap normal. Capillary refill time yang
memanjang (lebih dari dua detik) dapat ditemukan pada keadaan dehidrasi, hipotermia, penyakit pembuluh
darah perifer, syok. CRT yang memanjang dapat juga ditemukan pada pasien hipervolemia yang mengalami
ekstravasasi cairan dan penurunan curah jantung dan jatuh pada keadaan syok.

4. Steteskop prekordial dan esofagus.


Jauh sebelum ketersediaan alat-alat monitoring modern, dokter-dokter anestesi sudah menggunakan
steteskop precordial untuk memastikan ventilasi paru kiri dan kanan apakah simetris dan untuk mendengar
irama detak jantung apakah teratur atau tidak. Meskipun metode steteskop precordial dan esophagus sudah
banyak digantikan alat monitoring modern, perabaan nadi perifer dengan jari tangan dan auskultasi
steteskop precordial tetap menjadi alat monitor terdepan terutama pada saat teknologi tidak dapat
difungsikan. Di kamar operasi auskultasi dinding dada dengan steteskop tetap diperlukan untuk memastikan
ventilasi paru bilateral sama, meskipun end tidal CO2 dapat digunakan untuk memastikan intubasi trakea.
Steteskop precordial (chestpiece Wenger) dapat ditempatkan di atas dingding dada atau takik
suprasternal. Steteskop esofagus adalah kateter plasti lunak berdiameter 8- 24 FR, dimana bagian ujung
distalnya ditutup dengan balon. Steteskop esofagus digunakan pada pasien yang di intubasi dan
pemakaiannya harus dihindari pada pasien dengan varises atau striktur esofagus.
5. Suhu tubuh
Suhu tubuh adalah perbedaan jumlah panas yang diproduksi tubuh dengan jumlah panas yang
hilang ke lingkungan luar. Manusia secara fisiologis dikelompokkan ke dalam makhluk berdarah
panas atau homoteral. Makhluk homoteral mempunyai temperatur tubuh yang relatif normal
walaupun suhu lingkungannya berubah.
Suhu tubuh ada dua jenis:
a. Suhu inti adalah suhu tubuh yang berasal dari jaringan tubuh bagian dalam seperti
rongga cranium, rongga dada, rongga perut, dan rongga pelvis.
b. Suhu permukaaan yaitu suhu yang ditemukan pada kulit, dan jaringan subkutis. Suhu
permukaan ini dipengaruhi oleh temperatur lingkungan.
Reseptor temperatur untuk mengatur suhu tubuh terletak pada area preoptika hipothalamus. Energi
panas yang hilang dari tubuh pasien saat menjalani operasi di kamar bedah terutama terjadi melalui
penguapan (evaporisasi).
Temperatur tubuh dapat diukur dengan menggunakan thermometer, thermalgun, thermal probe.
Lokasi yang umum digunakan untuk mengukur suhu tubuh adalah mulut, ketiak, membrana timpani,
rektal, kulit dahi atau kulit punggung tangan, esofaagus, arteri pulmoner atau bahkan kandung
kemih. Suhu tubuh normal seseorang dipengaruhi oleh usia: bayi baru lahir (neonatus) berkisar 36,1
– 37,7 0 C; anak balita berkisar 36,5 – 37,7 0 C; dewasa berkisar 36,5 – 37,5 0 C; dan usia lanjut
cenderung lebih rendah berkisar 36 – 36,5 0 C.
Suhu pasien yang di anestesi harus dipantau terus sepanjang operasi berlangsung, kecuali pada
operasi-operasi singkat. Selama operasi berlangsung (intraoperatif) suhu tubuh diukur dengan alat
termistor atau termokopel. Suhu pasien rendah (hipotermia) dihubungkan dengan tertundanya
metabolisme obat, meningkatnya kadar glukosa darah, vasokonstriksi, gangguan koagulasi,
menggigil paska operasi (shivering) disertai takikardia dan peningkatan tekanan darah, serta
meningkatnya infeksi di tempat luka operasi.
6. Produksi urin
Walaupun produksi urin sebagian besar menggambarkan kecukupan perfusi ginjal, namun produksi
urin sering juga digunakan sebagai petunjuk adekuatnya curah jantung. Curah jantung dipengaruhi
oleh tekanan darah, volume darah, tingkat hidrasi dan obat-obatan yang sedang digunakan. Bila
perfusi ginjal cukup, produksi urin akan lebih dari 0,5 ml/ kg BB/ jam. Untuk menjaga perfusi ginjal
tetap adekuat, tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure = MAP) harus dipertahankan sekitar
70 - 90 mmHg. Produksi urin di monitor dengan memasukkan kateter Foley ke dalam kandung
kemih. Kateter Foley rutin digunakan pada prosedur operasi-operasi yang rumit dan lama seperti
pada kraniotomi, laparotomi luas, operasi jantung terbuka, dan lain-lain. Keuntungan lain yang
didapat dari penggunaan kateter Foley sebagai alat pendeteksi suhu tubuh termistor dapat
dimasukkan melalui ujung kateter sehingga suhu kandung kemih dapat di monitor dan hal ini
menggambarkan suhu inti tubuh. Pasien-pasien sakit kritis yang mendapat terapi inotropik dengan
atau tanpa diuretik, produksi urin menjadi tidak bermanfaat digunakan untuk menilai hemodinamik.
7. Elektrokardiogram
Elektrokardiogram adalah alat perekam aktifitas listrik jantung yang dihasikan oleh sel-sel miokard,
dapat digunakan untuk menegakkan kelainan jantung. Fungsi EKG pada Intra operatif rutin
digunakan untuk mendeteksi disritmia, iskemia miokard, gangguan konduksi, malfungsi pacemaker,
dan gangguan elektrolit.
Gambaran klinis penderita merupakan pegangan terpenting untuk menegakkan diagnosis suatu
penyakit jantung, karena penderita penyakit jantung mungkin memberikan elektrokardiogram
(EKG) normal atau sebaliknya individu normal mungkin memberikan gambaran elektrokardiogram
(EKG) abnormal

Gambar 2.4 Kurva elektrokardiogram (EKG)

Kurva EKG menggambarkan proses listrik yang terjadi pada atrium dan ventrikel. EKG normal
terdiri dari gelombang P, Q, R, S dan T serta kadang terlihat gelombang U. Selain itu ada juga
beberapa interval dan segmen EKG.
- Gelombang P menggambarkan depolarisasi atrium, lebar normal 0,08 – 0,10 detik, tinggi
tidak lebih dari 2,5 mm.
- Kompleks QRS menggambarkan sistol ventrikel (depolarisasi ventrikel), lebar normal 0,06
- 0,10 detik dan gelombang T menggambarkan repolarisasi ventrikel. Elektrokardiogram
memberikan nilai diagnostik pada keadaan aritmia jantung, hipertropi atrium dan ventrikel, iskemia
dan infark otot jantung, pemakaian obat-obatan terutama digitalis dan antiaritmia, gangguan
keseimbangan elektrolit terutama kalium, perikarditis serta dapat juga digunakan untuk menilai
fungsi pacu jantung. Rekaman EKG lengkap umumnya dibuat 12 hantaran. Hantaran EKG tertentu
dapat digunakan untuk menilai gangguan otot jantung yang terjadi. Hantaran II paralel dengan
atrium, menghasilkan voltage gelombang P yang lebih besar, dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis disritmia dan iskemia dinding inferior otot jantung. Hantaran V dapat digunakan untuk
mendeteksi iskemia dinding anterolateral ventrikel kiri. Idealnya, karena setiap hantaran
memberikan informasi unik maka hantaran II dan hantaran V5 harus dipantau secara bersamaan.
Kriteria umum yang digunakan untuk menegakkan diagnosis iskemia miokard adalah bila depresi
segmen ST > 1 mm setelah akhir kompleks QRS, Q patologis (kedalaman gelombag Q >1/3 tinggi
R) menggambarkan infark miokard lama, dan elevasi segmen ST >2 mVolt menggambarkan infark
miokard.
Gambar 2.5 Gambaran elektrokardiogram (EKG) normal

Kriteria irama sinus (SR) atau EKG normal adalah sebagai berikut:
 Irama teratur.
 Frekuensi jantung (HR) antara 60-100 x/menit.
 Gelombang P normal, setiap gelombang P diikuti gelombang QRS dan T.
 Interval PR normal (0,12 – 0,20 detik).
 Gel QRS normal (0,06 – 0,12 detik).
 Semua gelombang sama.
 Irama EKG yg tidak mempunyai kriteria tersebut disebut disritmia atau
aritmia.

8. Oksimetri Nadi

nadi adalah sensasi denyutan yang dapat diraba di arteri perifer yang terjadi karena gesekan
atau aliran darah ketika jantung berkontraksi. Ketika ventrikel kiri berkontraksi darah di
pompakan ke aorta dan diteruskan ke arteri seluruh tubuh yang menimbulkan suatu
gelombang tekanan yang bergerak cepat pada arteri dan dapat dirasakan. Frekwensi denyut
nadi dapat dihitung dalam satu menit dan sama dengan frekwensi jantung. Pemeriksaan
denyut nadi secara palpasi dapat dilakukan antara lain di: arteri radialis, ateri dorsalis pedis,
arteri tibialis posterior, arteri poplitea, arteri femoralis. Frekwensi denyut nadi cenderung
berkurang dengan bertambahnya usia seseorang. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
denyut nadi: usia, jenis kelamin, bentuk tubuh, aktivitas, suhu tubuh, keadaan emosi, volume
darah, dan obat-obatan.
Untuk memonitor denyut nadi secara terus menerus atau secara intermitten dapat dilakukan
dengan menggunakan oksimetri nadi. Oksimetri nadi adalah alat pemantau nadi dan saturasi
oksigen darah arteri secara non invasif. Oksimetri nadi wajib digunakan pada setiap operasi
pasien yang menggunakan anestesi, tidak ada kontraindikasi. Prinsip kerja oksimetri nadi
adalah menggabungkan oksimetri dan pletismograf untuk mengukur saturasi oksigen darah
arteri, yang menggambarkan saturasi oksigen dengan molekul hemoglobin. Oksimetri terdiri
dari dioda dan fotodioda, dioda merupakan sumber cahaya yang memancarkan cahaya merah
dan infrared, sedangkan fotodioda adalah detektor cahaya yang dapat ditempatkan dijari-jari
tangan, jari-jari kaki, daun telinga dan kadang-kadang di batang hidung. Daun telinga lebih
cepat mendeteksi saturasi oksigen karena waktu sirkulasi telinga ke paru-paru lebih pendek.
Daya serap hemoglobin jenuh dan hemoglobin tereduksi terhadap cahaya merah dan infrared
berbeda (Hukum Lambert - Beer). Oksihemoglobin (HbO2) lebih banyak menyerap sinar
infrared (990 nm) sedangkan deoksihemoglobin lebih banyak menyerap cahaya merah (660
nm) sehingga dengan mata telanjang mudah tampak berwarna biru atau sianosis.
Oksimetri nadi sangat bermanfaat digunakan di
 Ruang unit terapi intensif.
Untuk deteksi dini hipoksemia pada pasien-pasien sakit kritis seperti PPOK, gagal
jantung, ARDS, pneumonia, aspirasi, cedera kepala, stroke dan gangguan lain yang
memerlukan ventilasi mekanik.
 Kamar bedah.
Untuk pasien-pasien yang menjalani pembedahan dengan teknik anestesia khusus
seperti torakotomi, bedah jantung terbuka, hernia diafragmatika, neonatus dan lain-
lain.
 Ruang pemulihan.
Untuk deteksi dini hipoventilasi paska anestesi/ bedah.
Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan hasil pengukuran saturasi
oksigen oksimetri nadi:
 Saturasi oksigen meningkat palsu pada hemoglobin abnormal seperti karboksilb > 3.4
gr%, metHb ≥ 1.5 gr%, sulfHb ≥ 0,5 gr%
 Saturasi oksigen menurun palsu bila kadar bilirubin tinggi.
 Perfusi jaringan yang buruk akan mengurangi aliran darah dan absorpsi cahaya seperti
pada pasien-pasien sakit kritis dengan curah jantung rendah, hipotermia dan resistensi
vaskuler sistemik tinggi.
 Signal oksimetri nadi hilang karena artefak, cahaya ruangan berlebihan, gerak
berlebih, obat vasokonstriktor yang digunakan pada anestesi lokal dan sinar yang
dipancarkan dan dioda ke fotodioda bocor.

9. Kapnografi
Kapnograf adalah alat yang sangat bernilai digunakan untuk memantau fungsi pernapasan
dan jantung selama pasien teranestesi terutama pada anestesi umum, tidak ada kontraindikasi
pemakaian. Mekanisme kerja kapnograf sama dengan oksimetri nadi diatur oleh hukum
Lambert – Beer, sinar infra merah akan diabsorbsi oleh CO2. Adaptor kapnograf ditempatkan
pada sirkuit pernapasan yang terhubung dengan monitor.
Kapnograf adalah alat terpercaya untuk mendeteksi keberhasilan intubasi trakea, tetapi
tidak bisa digunakan untuk memprediksi kedalam intubasi bronkus. Peningkatan ruang rugi
ventilasi alveolar (dead space physiology) seperti pada tromboemboli paru, emboli udara
vena, dan berkurangnya perfusi paru akan menurunkan kadar ETCO2 dibanding dengan
kadar CO2 darah arteri (PaCO2). Dalam keadaan normal, kadar CO2 yang dideteksi
kapnograf (ETCO2) lebih rendah ± 4 mmHg bila dibandingkan dengan kadar CO2 darah
arteri (PaCO2) yang diperiksa dengan analisis gas darah. Penurunan kadar ETCO2 secara
tiba-tiba pada saat operasi bedah otak (craniotomy) merupakan petunjuk kuat telah terjadi
emboli udara, komplikasi utama pada operasi otak posisi duduk.
10. Ekokardiografi

Alat noninvasif untuk memeriksa pembuluh-pembuluh darah besar dan jantung dengan
menggunakan gelombang ultrasound. Gelombang ultrasound dihasilkan oleh elemen
piezoelektrik yang bekerja sebagai transmitter dan receiver. Bila gelombang ultrasound
mengenai permukaan jaringan yang diperiksa akan dikirimkan gambaran yang sesuai dengan
daya serap masing-masing jaringan. Ekokardiografi sudah menjadi alat yang sangat berharga
untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung. Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal
(TTE) dan ekokardiografi transesofagus (TEE) sangat bermanfaat digunakan untuk menilai
fungsi jantung perioperatif oleh dokter anestesia, baik sebelum operasi dan paska operasi.

Ekokardiografi dopler adalah generasi ekokardiografi terbaru, prinsip kerjanya


adalah bila sinar gelombang ultrasound dikenakan ke objek bergerak seperti sel darah
merah (eritrosit) akan menghasilkan frekuensi suara. Untuk mengoperasionalkan
ekokardiografi memerperlukan ketrampilan khusus.
Beberapa manfaat ekokardiografi:
 Untuk menegakkan penyebab ketidakstabilan hemodinamik, termasuk iskemia
miokard, gagal jantung sistolik dan diastolik, kelainan katup, hypovolemia, dan
tamponade perikardium.
 Untuk memprediksi parameter hemodinamik seperti volume sekuncup, curah jantung,
dan tekanan intrakavitas.

 Untuk diagnosis penyakit strutur jantung seperti kelainan katup jantung, shunting, dan
kelainan aorta.

 Memandu tindakan bedah seperti pada waktu repair katup mitral.


11. Bentuk Gelombang nadi

Perangkat pendeteksi bentuk nadi (pulse


contour devices) adalah alat yang dapat
digunakan untuk mendeteksi tekanan
arteri untuk memperkirakan curah jantung
dan parameter dinamis lainnya, seperti
tekanan nadi dan variasi volume sekuncup
pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanis. Perangkat pendeteksi bentuk
nadi ini bermanfaat digunakan untuk
menilai respon terapi cairan pada pasien
hipotensi (Sirait, 2016).
12. Dopler esophagus

Pemeriksaan dopler esofagus merupakan bagian integral dari


pemeriksaan ekokardiografi perioperatif. Esophageal
Doppler adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan metode pemantauan curah jantung
berdasarkan perhitungan kecepatan darah di aorta desendens
menggunakan USG Doppler yang dikirim dan diterima oleh
probe yang dimasukkan ke esofagus. Ini memberikan
penilaian kinerja kardiovaskular yang cepat dan minimal
invasif termasuk parameter aliran, kontraktilitas, preload, dan afterload. Data ini dapat
digunakan untuk mengoptimalkan status cairan intravaskular pasien dan, jika perlu, memandu
terapi vasoaktif. Pergerakan relatif aliran darah aorta akan menyilang probe dopler esofagus.
Ketika aliran sel darah merah bergerak mendekati transduser frekuensi pantulan yang
dihasilkan transmisi probe tinggi begitu pula sebaliknya ketika aliran darah menjauhi
transduser frekuensi pantulan yang dihasilkan transmisi probe rendah (Peck & Hamilton,
2012; Sirait, 2016).
13. Bioimpedans elektrik dinding dada

Perubahan volume dinding dada menyebabkan perubahan resistensi dinding dada


(bioimpedans) terhadap amplitudo rendah dan arus frekuensi tinggi. Bila perubahan
bioimpedans pada dinding dada diukur setelah depolarisasi ventrikel maka volume sekuncup
dapat ditentukan secara kontiniu. Asumsi dan dan korelasi matematika kemudian dibuat
untuk menghitung curah jantung dari perubahan bioimpedans (Kobe et al., 2019; Sirait,
2016).

C. Pemantauan Hemodinamik invasive


a. Pengertian
Pemantauan parameter hemodinamik invasif dapat dilakukan pada arteri, vena sentral
ataupun arteri pulmonalis. Metode pemeriksaan tekanan darah langsung di intrarterial
adalah mengukur secara aktual tekanan dalam arteri yang dikanulasi, yang hasilnya tidak
dipengaruhi oleh isi atau kuantitas aliran darah. Kanulasi di vena sentral merupakan akses
vena yang sangat bermanfaat pada pasien sakit kritis yang membutuhkan infus dalam
jumlah besar, nutrisi parenteral dan obat vasoaktif.
Sistem pemantauan hemodinamik terdiri dari 2 kompartemen: elektronik dan
pengisian cairan (fluid-filled). Parameter hemodinamik dipantau secara invasif sesuai
azas dinamika sistem pengisian cairan. Pergerakan cairan yang mengalami suatu tahanan
akan menyebabkan perubahan tekanan dalam pembuluh darah yang selanjutnya
menstimulasi diafragma pada transducer. Perubahan ini direkam dan diamplifikasi
sehingga dapat dilihat pada layar monitor. Sistem cairan dengan manometer air: kateter
dilekatkan pada saluran yang terisi penuh dengan cairan, terhubung dengan manometer
air yang sudah dikalibrasi. Teknik yang sangat sederhana, sejatinya bermula dibuat untuk
mengukur tekanan vena sentral (Central Venous Pressure). Sistem serat fiber: probe
dengan transducer di ujungnya diinsersi pada daerah yang akan dipantau (misalnya
ventrikel). Sinyal akan dikirim ke layar monitor melalui serat optik.
Sistem ini tidak tergantung pada dinamika cairan. Dibandingkan dengan sistem
pengisian cairan, pengoperasiannya lebih mudah hanya harganya mahal. Sistem pengisian
cairan yang digabung dengan transducer/amplifier: tekanan pulsatil pada ujung kateter
ditransmisikan melalui selang penghubung ke diafragma pada transducer. Sinyal ini akan
diamplifikasi dan pada layar monitor dapat tersaji secara kontinu dengan gelombang yang
real-time (Sri, 2015).
b. Tujuan
1. Deteksi dini : identifikasi dan intervensi terhadap klinis seperti gagal jantung dan
tamponade
2. Evaluasi segera dari respon pasien terhadap suatu intervensi seperti obat-obatan
dan dukungan mekanik.
3. Evaluasi efektifitas fungsi kardiovaskuler seperti cardiac output dan index.
c. Penatalaksanaan
1. Tekanan vena sentralis
1) Definisi
Tekanan vena sentral (CVP) adalah tekanan di dalam atrium kanan atau vena-vena
besar dalam rongga toraks. Pemantauan tekanan sentral merupakan pedoman untuk
pengkajian fungsi jantung kanan dan dapat mencerminkan fungsi jantung kiri apabila
tidak terdapat penyakit kadiopulmonal (Nurachmah, 2000).
Tekanan vena sentralis dapat dipantau dengan menginsersikan kateter ke dalam vena
besar. Penusukan dapat dilakukan melalui vena jugularis interna, vena subklavia, vena
brakhialis dan vena femoralis sampai posisi ujung kateter diatas pertemuan vena cava
superior dengan atrium kanan. Tekanan vena sentral juga dapat diukur dengan
menggunakan lumen proksimalis kateter arteri pulmonalis. Karena lokasi ujung kateter
terpapar dengan tekanan intratorakal, pola napas akan mempengaruhi hasil pengukuran,
inspirasi dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan vena sentralis, apakah penderita
bernapas spontan atau bernapas dengan ventilasi mekanik. Untuk memastikan posisi
ujung kateter tepat atau tidak dapat dilakukan dengan cara mengamati perobahan tekanan
manometer (undulasi) selama inspirasi, aspirasi darah mudah dilakukan dan foto torak)
Penilaian tekanan vena sentralis dapat dilakukan dengan manometer air (cm H,0) atau
dengan transduser elektrik (mmHg) (Sirait, 2020).
Pengukuran tekanan vena sentralis lebih baik dilakukan pada saat akhir ekspirasi
untuk mengurangi efek tekanan intratorakal. Bila pasien bernapas spontan, tekanan vena
sentralis akan bergerak turun sewaktu inspirasi dan bila pasien bernapas dengan ventilasi
mekanik tekanan vena sentralis akan bergerak naik. Tekanan vena sentralis meningkat
pada posisi Trendelenburg, overload, ventilasi mekanik, batuk, muntah, gagal jantung,
manuver valsava serta menurun pada posisi duduk, berdiri tegak, hipovolemia, takikardia
(Sirait, 2020).
Lokasi vena untuk CVP :
- Vena subklavia
- Vena jugularis eksternal dan internal
- Vena basilica media
2) Tujuan
Dilakukan dengan tujuan sebagai pedoman untuk penggantian cairan pada klien
dengan kondisi penyakit yang serius; memperkirakan kekurangan volume darah;
menentukan tekanan dalam atrium kanan dan vena sentral; dan mengevaluasi kegagalan
sirkulasi (Nurachmah, 2000).
Indikasi pemasangan kateter vena sentralis: a. Menilai tekanan vena sentralis dalam
mengelola cairan. b. Jalur masuk cairan hipertonik atau cairan yang bersifat c. mengiritasi
yang memerlukan pengenceran segera dalam sistim sirkulasi. d. Jalur nutrisi parenteral. e.
Aspirasi emboli. f. Sebagai jalur vena pada keadaan vena perifer kolaps. g. Jalur
memasukkan lead pacing transkutan. h. Jalur pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium (Sirait, 2020).
Kontraindiasi relatif insersi kateterisasi vena sentral sehubungan dengan lokasi:
adanya tumor, gumpalan darah, vegetasi katub tricuspid, gangguan faktor pembekuan
darah. Kontrainsikasi lain sehubungan dengan letak, misalnya insersi melalui vena
subklavia lebih mudah terjadi pneumotoraks, bila arteri karotis tertusuk dengan tidak
sengaja sulit untuk melakukan kompresi langsung. Secara anatomi kateterisasi vena
jugularis interna sebelah kiri memiliki resiko efusi pleura dan silotoraks yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan vena jugularis interna sebelah kanan (Sirait, 2020).
3) Indikasi dan Kontraindikasi (Sirait, 2020).
Indikasi pemasangan kateter vena sentralis:
a) Menilai tekanan vena sentralis dalam mengelola cairan.
b) Jalur masuk cairan hipertonik atau cairan yang bersifat
c) mengiritasi yangmemerlukan pengenceran segera dalam sistim sirkulasi.
d) Jalur nutrisi parenteral.
e) Aspirasi emboli.
f) Sebagai jalur vena pada keadaan vena perifer kolaps.
g) Jalur memasukkan lead pacingtranskutan.
h) Jalur pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
Kontraindiasi relatif insersi kateterisasi vena sentral sehubungan dengan lokasi:
adanya tumor, gumpalan darah, vegetasi katub tricuspid,gangguan faktor
pembekuan darah.Kontrainsikasi lain sehubungan dengan letak, misalnya insersi
melalui vena subklavia lebih mudah terjadi pneumotoraks, bila arteri karotis
tertusuk dengan tidak sengajasulit untuk melakukan kompresi langsung.
4) Metode Pemantauan CVP
Terdapat dua pemantauan CVP, yaitu (Hidayanti dkk, 2018; Stoelting's, 2015).:
 Sistem manometer: memungkinkan pembacaan intermitten dan kurang akurat
dibandingkan sistem transduser dan lebih jarang digunakan
 Sistem transduser: memungkinkan pembacaan secara kontinyu yang ditampilkan di
monitor.
Pemantauan CVP secara normal menunjukkan pengukuran sebagai berikut (Stoelting's,
2015):
 5-10 mmHg mid-aksila
 7-14 cmH,O mid-aksila.

5) Prosedur
Prosedur ini dilakukan dengan tujuan sebagai pedoman untuk penggantian cairan pada
klien dengan kondisi penyakit yang serius; memperkira kan kekurangan volume darah;
menentukan tekanan dalam atrium kanan dan vena sentral; dan meng evaluasi kegagalan
sirkulasi. Adapun peralatan yang diperlukan yaitu; (Nurachmah, 2000)
 Set tekanan vena
 Set vena seksi
 Set infus dan cairan yang akan dipakai
 Stopcock 3-4 buah (transduser tekanan mungkin akan digunakan)
 Standar infus
 Manometer
 Plester
 Monitor EKG
 Garisan Karpenter (waterpass)
Prosedur Pelaksanaan
1. Mencuci tangan.
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur pengukuran tekanan vena sentral kepada klien dan
keluar ganya.
3. Menempatkan klien pada posisi datar yang di inginkan untuk mendapatkan titik nol.
4. Menentukan titik nol manometer sesuai dengan tinggi atrium kanan yang
diperkirakan.
5. Memutar stopcock sehingga cairan infus mengalir ke dalam manometer sampai batas
20 25 cm 4,0
6. Memutar stopcock sehingga cairan dalam ma nometer mengalir ke arah/ke dalam
pembuluh darah klien.
7. Mengamati fluktuasi cairan yang terdapat dalam manometer dan catat pada angka
dimana cairan bergerak stabil. Ini adalah tekanan vena sentral.
8. Mengembalikan klien ke posisi semula.
9. Memutar stopcock ke arah semula agar cairan infus mengalir dari botol ke pembuluh
darah vena klien.
10. Mencatat nilai tekanan vena sentral dan posisi klien pada saat pengukuran. Tekanan
normal berkisar 5-12 cm H,O
11. Menilai kondisi klinis klien setelah pengambilan tekanan vena sentral.
12. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi.
13. Mempertahankan kesterilan lokasi insisi.
14. Mendokumentasikan prosedur dan respons klien pada catatan klien.

2. Kateter arteri pulmonalis


1) Definisi
Kateter arteri pulmonalis adalah sebuah kateter multi lumen aliran langsung yang
dimasukkan melalui vena sentralis ke jantung kanan menuju aneri pulmonalis. Lumen
proksimal untuk mengukur tekanan atrium kanan, lumen distal untuk mengukur tekanan
arleri pulmonalis, lumen ke tiga untuk mengembangkan balon dan lumen ke empat untuk
mengukur curah jantung dengan cara termodilusi.
Daily dan Schroeder (1989) menyatakan bahwa dari pemantauan arteri pulmonalis diperoleh
informasi yang sangat penting mengenai jantung kiri yang sulit didapat dengan cara lain.
Penggunaan kateter arteri Pulmonalis disarankan digunakan untuk menilai indeks jantung,
preload, status volume intravaskuler, dan kadar oksigen vena campur pasien dengan
hemodinamik tidak stabil.
Pada kondisi-kondisi tidak ada penyakit katub mitral, kateter arteri pulmonalis dapat
digunakan menilai tekanan jantung kiri secara langsung dan relatif lebih aman dibanding jalur
atrium melalui torakotomi.
2) jenis-jenis kateter arteri pulmonal yang sering digunakan:
a. Double lumen kateter arteri pulmonal
Bentuk sederhana ukuran 5 Fr, terdiri dari dua lumen, satu untuk transmisi tekanan dari
ujung kateter dalam arteri pulmonal ke sistem tranduser tekanan, yang lainnya untuk
pengembangan balon.
b. Kateter termodilusi empat lumen Yang paling sering digunakan untuk dewasa tersedia
ukuran 5 dan 7 Fr
 Lumen distal : Terletak pada ujung kateter : untuk mengukur PAP dan PWP, juga
untuk pengambilan sampel vena campuran. obat dan cairan hiperosmotik tidak
boleh diberikan melalui lumen ini karena dapat mengakibatkan reaksi lokal
vaskuler atau jaringan.
 Balon Terletak kurang dari 1 cm dari ujung kateter. Inflasi balon dengan volume
balon 0.5 – 1 cc dan deflasi secara pasif.
 Lumen proximal (RA) Terletak pada 30cm dari ujung kateter . Lumen ini di RA
bila ujung arteri terletak pada ujung arteri pulmonal dapat digunan untuk
monitoring tekanan RA, pemberian cairan intravena, atau elektrolit atau obat-
obatan, sampel darah RA dan menerima cairan injeksi pada pengukuran curah
jantung.
 Termistor Terletak kira kira 4 – 6 cm dari ujung kateter. Merupakan kawat yang
sensitif terhadap suhu, termistor yang dihubungkan dengan kabel curah 14
jantung akan menentukan “spot”. Pengukuran curah jantung mengikuti injeksi
dari cairan indikator dingin oleh pengukuran besarnya suhu tubuh yang berubah
setiap saat.
c. Fiber Optik Termodilusi Kateter arteri Pulmonal Seperti standar kateter termodilusi,
hanya ada tambahan dua lumen fiber optik. Berfungsi untuk memantau SVO2 secara
terus menerus.
d. Pace maker termodilusi kateter arteri pulmonal
Kateter termodilusi ini memiliki lima elektroda : 2 elektrode intra ventrikuler yang
terletak 18.5 dan 19.5 cm dari ujung kateter dan 3 elektroda intra arterial yang terletak
28,5 - 31 dan 33,5 cm dari ujung kateter, kateter ini dapat digunakan untuk pacing atrial,
ventricular dan atrio-ventrikular sequential. Indikasi untuk kateter arteri pulmonal pacing
ini meliputi: Blok jantung derajat 2 dan 3, Blok bivasikuler atau trivasikular, tosixitas
digitalis, bradikardia berat, ECG untuk diagnosis aritmia komplek dan over drive
takiaritmia

3) Tujuan :
- Untuk menilai indeks jantung, preload, status volume intravaskuler, dan kadar
oksigen vena campur pasien dengan hemodinamik tidak stabil,
- Untuk angiografi koroner (jalur masuknya lewat pembuluh darah di tangan atau
selangkangan)
- Untuk kateterisasi jantung kanan (jalur masuk kateter pada prosedur ini adalah lewat
pembuluh darah di leher atau selangkangan)
- Untuk biopsi jantung (paling sering melalui jalur pembuluh darah leher)
4) . Indikasi :

1. Pasien dalam resiko tinggi: EF rendah, gagal jantung akut, hipertensi pulmonal dan
instabilitas hemodinamik.
2. Pasien pasca operasi bedah jantug secara konservatif.
3. Pasien syok septik
5) Kontraindikasi:
1. Tidak ada kontraindikasi absolute
2. Kontraindikasi realtif misalnya dengan gangguan koagulasi, prostetik jantung kanan, pace
maker endokardial, penyakit vaskuler berat.
6) lndikasi penggunaan kateter arteri pulmonalis :
a. Menentukan tekanan arteri pulmonalis dan tekanan oklusi/ desak arteri pulmonalis.
b. Jalur pemberian cairan dan obat melalui vena sentralis.
c. Mengukur curah jantung dengan teknik termodilusi.
d. Mengukur nilai hemodinamik curah jantung dan tekanan arteri pulmonalis.
e. Mengukur saturasi O2 vena campur.
f. Mengevaluasi respon penderita terhadap terapi yang dibcrikan.
g. Menegakkan diagnosis defek septum ventrikel.
h. Keadaan darurat dapat digunakan untuk mengatur frekuensi denyut jantung melalui lumen
paceport kateter arteri pulmonalis.

Ada beberapa metode yang kurang invasif dan dapat digunakan untuk memantau
hemodinamik seperti pengukuran curah jantung termodilusi transpulmoner, analisis kontur
denyut nadi, dan pengukuran bioimpedansi dinding dada. Saturasi oksigen darah atrium
kanan dapat juga digunakan untuk menilai kecukupan pengiriman oksigen jaringan dan
ekstraksi oksigen jaringan, dibandingkan dengan saturasi oksigen vena campur (normal 75
%).
PAC sebagai standar emas, bisa ditempatkan melalui vena jugularis, subklavia, atau
vena femoralis ke atrium kanan melewati ventrikel kanan sampai arteri pulmonal.
Memungkinkan pengukuran tekanan langsung di atrium kanan / tekanan vena sentral =
Central Venous Pressure (CVP), tekanan arteri pulmonal /Pulmonary Arterial Pressure
(PAP), dan tekanan baji /Pulmonary Artery Occlusion pressure (PAOP) secara serentak, yang
pada gilirannya mengindikasikan tekanan pengisian di atrium kiri. Pengambilan sampel darah
dari port distal (arteri pulmonal) memungkinkan pengukuran Saturasi vena sentral (SvO2 ),
dengan menggunakan fiber optic reflectometry yang memantau terus SvO2 . Curah jantung
(CO) diukur dengan thermodilution, bolus saline dingin diberikan melewati atrium kanan,
dan termistor yang terletak 4 sentimeter dari ujung kateter mendeteksi penurunan suhu.
Pengukuran curah jantung ini, bagaimanapun bukanlah pemantauan kontinu yang
sesungguhnya karena ia mewakili nilai rata-rata 5 menit terakhir, dan perubahan curah
jantung selama preload atau afterload tidak dapat dinilai secara instan. PAC juga mengukur
beberapa variabel seperti resistensi vaskular sistemik dan pulmonary, kerja stroke ventrikel
kiri dan kanan, dan rasio ekstraksi oksigen. Elektroda intrakardiak memungkinkan
pemantauan aktivitas listrik, dari mana variabel volumetrik seperti fraksi ejeksi ventrikel
kanan (RVEF) dan penilaian kontinu dari volume diastolik akhir ventrikel kanan (CEDV)
dapat diukur, memberikan informasi mengenai kontraktilitas ventrikel kanan dan preload.
Indikasi terbaik untuk PAC adalah gagal jantung ventrikel kanan atau hipertensi pulmonal,
mengingat tidak ada perangkat pemantauan lain yang mampu memberikan pengukuran
langsung terhadap tekanan di jantung kanan dan sirkulasi pulmonal
7). Lokasi kateter
1. Pemasangan kateter dilakukan dengan kanulasi secara perkutan melalui vena subklavia,
batas bila melalui vena subklavia kanan RA 10 cm, RV 20 cm, PA 35 cm, PWP 40 cm.
Sedangkan melalui vena subklavia kiri, batas RA 15 cm RV 25 cm, PA 45 cm, PWP 50 cm.
2. Pemasangan melalui vena julgularis interna kanan batas RA 15 cm, RV 25 cm, PA 40 cm,
PWP 45 cm. Bila lokasi pemasangn di vena julgularis interna kiri batas RA 20 cm, RV 30
cm, PA 45 cm, PWP 50 cm.
3. Lokasi pemasangan kateter bisa melalui vena basilica atau vena brachialis dilakukan secara
cutdown.
8). Interpretasi gelombang arteri pulmonal (PA)
Terdiri dari sistolik, diastolik dan nilai rata rata. Seiring usia, tekanan arteri pulmonal
meningkat. Usia lebih dari 60 tahun, nilai rata rata tekanan arteri pulmonal (PA) = 16 •} 3
mmHg. Usia kurang dari 60 tahun nilai rata rata PA = 12 •} 2 mmHg. Sistolik PA
menggambarkan aliran darah dari ventrikel kanan (RV) ke PA dan selama diastole katup
mitral terbuka diikuti darah yang dari PA masuk ke LA dan LV. Gelombang tekanan arteri
pulmonal digunakan untuk diagnose berbagai kondisi jantung yang abnormal.
3. Teknik pengukuran tekanan arteri pulmonal
Prinsip yang harus diperhatikan saat melakukan pengukuran tekanan arteri pulmonal
yaitu Pengukuran dan pencatatan gelombang PA sebaiknya dilakukan pada waktu akhir
ekspirasi, dikarenakan pada waktu akhir ekspirasi tekanan mitral polmunal dialveolar adalah
0. Sama dengan tekanan atsmosfer ( 750 mmHg ). Pengukuran pada inspirasi dipengaruhi
oleh venus return karena saat inspirasi sebagai pompa. Membantu darah kembali masuk
kejantung. Pada waktu ekspirasi, darah lebih banyak dalam pembuluh dikarenakan tidak ada
yang membantu memompa darah ke jantung.
Teknik pengukuran tekanan arteri pulmonal :
1. Cuci tangan
2. Atur posisi yang nyaman saat pengukuran. Posisi sampai dengan posisi tidur lebih tinggi
600. Pengukuran pada posisi duduk tidak dianjurkan. Pada posisi tidur miring 300 - 900 dapat
dilakukan selama prinsip sudut yang terbentuk dengan posisi miring tersebut diperhatikan.
3. Yakinkan bahwa kateter yang terpasang tidak ada yang terlipat, cairan yang masuk, berada
pada posisi yang tepat.
4. Lakukan kalibrasi
5. Perhatikan nilai yang ada pada monitor dan dikorelasikan dengan morfologi gelombang
yang tampak pada monitor dengan klinis pasien.
6. Dokumentasikan data yang ada
7. Cuci tangan
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemantauan Hemodinamik adalah sarana untuk menilai status sistem kardiovaskuler
seorang pasien apakah berfungsi baik dengan menggunakan alat-alat monitor medis
dan merupakan bagian dari seluruh rangkaian proses pengumpulan data penyakit dan
kondisi klinis penderita mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan berbagai
pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sesuai dengan indikasi seperti
pemeriksaan laboratorium darah rutin, fungsi hati, laboratorium urin, pemeriksaan
radiologi, rekam jantung, dan lain-lain. Pemantauan hemodinamik terbagi atas 2 yakni
invasive dan non invasive

B. Saran
1. Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya serta
dapat menjadi referensi untuk pembuatan makalah selanjutnya.
2. Kritik dan masukan sangat diharapkan agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
Kobe, J., Mishra, N., Arya, V., Al-Moustadi, W., Nates, W., & Kumar, B. (2019). Cardiac
output monitoring: Technology and choice. Annals of Cardiac Anaesthesia, 22(1), 6.
https://doi.org/10.4103/aca.ACA_41_18
Peck, M., & Hamilton, M. (2012). Encyclopedia of Intensive Care Medicine: Esophangeal
Doppler (J.-L. Vincent & J. B. Hall, eds.). https://doi.org/10.1007/978-3-642-00418-6
Sirait, R. H. (2016). Pemantauan Hemodinamik Pasien. In PKB Ilmu Kesehatan Anak XVI.
Sri, A. (2015). Monitoring Hemodinamik Pasien Gawat Darurat. 1, 7–25.
Agu, L. A., & Eka, T. (2018). Pemantau Hemodinamik dari Invasif menuju Tidak Invasif.
Hidayanti, Afif Nurul. dkk. (2018). Gawat Darurta Medis Dan Bedah. Surabaya: Airlangga
University. (diakses pada 13 April 2021)
https://books.google.co.id/books?
id=4KmwDwAAQBAJ&pg=PA13&dq=metode+tekanan+vena+sentral&hl=jv&sa=X&
ved=2ahUKEwjquLyLsfrvAhVFOSsKHRmICZIQ6AEwAXoECAQQAg#v=onepage&
q=metode%20tekanan%20vena%20sentral&f=false
Nurachmah, E. (2000). Prosedur Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC. (diakses pada
13 April 2021)
https://books.google.co.id/books?
id=UHkM0R1bq2IC&pg=PA76&dq=tekanan+vena+sentral+adalah&hl=id&sa=X&ved
=2ahUKEwj9w5e18_nvAhXf63MBHZrxCXcQ6AEwAXoECAIQAw#v=onepage&q=t
ekanan%20vena%20sentral%20adalah&f=false
Sirait, R. H. (2020). Pemantauan Hemodinamik Pasien. In PKB Ilmu Kesehatan Anak XVI.

Anda mungkin juga menyukai