Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN MAKALAH

KONSEP MANAJEMEN MONITORING HEMODINAMIK


Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis
Yang dibina oleh Bapak Tri Cahyo S, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB

Disusun oleh :
Kelompok 9 :
1. Sesar Andriyono P17212215006
2. Nandhea Exza Syachfila P17212215017
3. Rishelia Trista Ardani P17212215024
4. Sabrina Kumala Dewi P17212215040
5. Meryl Avin Zanuarsa P17212215048
6. Ana Mas’amah P17212215058
7. Erika Bintan Wahyuningtyas P17212215068
8. Yuniat Risky Aul D. P P17212215078
9. Dyah Sulistianingtyas P17212215086
10. Karliyn Ayu Angelina M. P17212215088
11. Karin Vera Marita P17212215102
12. M. Rezkiansyah Al Fitri P17212215103
13. Mira Talitha Fitriana P17212215104

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah dengan judul
“Konsep Manajemen Monitoring Hemodinamik ” sebagai salah satu syarat untuk
memenuhi tugas keperawatan kritis Program Studi Profesi Ners
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini tidak lepas dari bimbingan,
bantuan, dukungan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang
dihadapi penulis dapat diatasi. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Tri Cahyo S, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp. KMB selaku dosen mata kuliah
keperawatan kritis yang dalam penyusunan makalah ini telah banyak
memberi bimbingan, saran, dan dukungan kepada penulis.
2. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendoakan dan memberikan
semangat serta dukungan untuk semangat dalam menyelesaikan makalah
3. Semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuannya dalam
menyelesaikan makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka
dari itu penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun bagi penulis.
Malang, 2 September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................2
1.3 Tujuan .......................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum...................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus..................................................................................2
1.4 Manfaat .....................................................................................................2
BAB 2 KONSEP MANAJEMEN MONITORING HEMODIANAMIK...................3
2.1 Definisi....................................................................................................... 3
2.2 Faktor mempengaruhi hemodinamik..........................................................3
2.3 Pemantauan hemodinamik.........................................................................4
2.3.1 Pemantauan Hemodinamik Invasif ..................................................4
2.3.2 Pemantauan Hemodinamik Non Invasif............................................8
2.3.3 Pemantauan Hemodinamik Pasien Khusus....................................11
BAB 3 SOP PEMANTAUAN HEMODINAMIK................................................14
3.1 Central Venous Pressure (CVP)...............................................................14
3.2 PAP (Pulmonary Artery Pressure)............................................................19
3.3 Intra Arterian Pressure.............................................................................20
3.4 PCWP......................................................................................................22
3.5 Peran Perawat dalam Pemantauan Hemodinamik...................................23
BAB 5 PENUTUP...........................................................................................25
4.1 Kesimpulan ..............................................................................................25
4.2 Saran .......................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................26

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1 LATAR BELAKANG
Hemodinamik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan volume,
jantung, dan pembuluh darah. Hemodinamik ini diatur oleh system saraf simpatik
dan parasimpatik. Sistem peredaran darah terdiri dari jantung dan system
pembuluh darah bercabang yang luas, yang fungsi utamanya adalah transportasi
oksigen, nutrisi dan zat-zat lain serta panas ke seluruh tubuh. Dalam konteks
medis, istilah hemodinamik merujuk pada ukuran dasar fungsi kardiovaskular,
seperti tekanan arteri atau curah jantung. Evaluasi utama dari kondisi
hemodinamik dilakukan dengan menilai denyut jantung (HR) dan tekanan darah
rata-rata (BP) sebagai pengganti perfusi jaringan 1.
Berdasarkan tingkat keinvasifan alat, monitoring hemodinamik dibagi
menjadi monitoring hemodinamik non invasif dan invasif. Meskipun sudah
banyak terjadi kemajuan dalam teknologi kedokteran, pemantauan secara invasif
masih tetap menjadi gold standard monitoring. Variabel yang selalu diukur dalam
monitoring hemodinamik pasien kritis dengan metode invasif meliputi: tekanan
darah arteri, tekanan vena sentral, tekanan arteri pulmonal (Juliarta, 2014)
Pemantauan hemodinamik penting dilakukan untuk mengetahui tanda awal
dari ketidakstabilan hemodinamik tubuh, gambaran dari tanda vital yang tidak
stabil merupakan indikasi dari peningkatan atau penurunan kondisi perfusi
jaringan dan kegagalan jantung dalam berkontraksi. Disamping pemantauan
TTV, perlu juga harus dikaji sistem hemodinamik tubuh, karena adanya
perubahan curah jantung, maka sirkulasi juga akan berkurang. Keadaan
hemodinamik sangat mempengaruhi fungsi penghantaran oksigen dalam tubuh
dan melibatkan fungsi jantung, pada kondisi gangguan hemodinamik diperlukan
pemantauan dan penanganan yang tepat sesuai kondisi pasien.Tiap faktor
Hemodinamik dapat saling mempengaruhi, sebagai contoh dengan penurunan
elastisitas arteri, terjadi peningkatan resistensi perifer (Muliadi, 2015).
Tujuan dilakukannya monitoring hemodinamik adalah untuk mendeteksi
insufisiensi kardiovaskuler, mencari faktor yang berkontribusi terhadap
terjadinya kelainan dan memberikan tatalaksana yang tepat. Dengan
dilakukannya monitoring hemodinamik secara kontinyu, perubahan-perubahan
pada status hemodinamik pasien akan diketahui sehingga penanganan akan

1
lebih cepat dilakukan dan menghasilkan prognosis yang lebih baik(Juliarta,
2014). Pada makalah ini penulis akan menguraikan mengenai definisi
hemodinamik, pemantauan hemodinamik tidak langsung (non invasif) dan
pemantauan hemodinamik langsung (invasif)
2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep managemen monitoring hemodinamik?
3 Tujuan
1.1.1 Tujuan Umum
Menjelaskan konsep manajemen monitoring hemodinamik
1.1.2 Tujuan Khusus
a. Menjelaskan pengertian hemodinamik
b. Menjelaskan monitoring hemodinamik invasif
c. Menjelaskan monitoring hemodinamik non-invasif
4 Manfaat
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil makalah ini merupakan salah satu masukan bagi perawat untuk
meningkatkan pemikiran kritis dalam melakukan tindakan keperawatan pada
pasien khususnya dalam pemantauan hemodinamik.
b. Bagi Ilmu Pengetahuan Keperawatan
c. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi tentang manajemen
monitoring hemodinamik

2
BAB 2
KONSEP MANAJEMEN MONITORING HEMODINAMIK

5 Definisi
Hemodinamik merujuk pada ukuran dasar fungsi kardiovaskular, seperti
tekanan arteri atau curah jantung (Secomb, 2017).Tujuan pemantauan
hemodinamik adalah untuk mendeteksi, mengidentifikasi kelainan fisiologis
secara dini dan memantau pengobatan yang diberikan guna mendapatkan
informasi keseimbangan homeostatik tubuh.
Pemantauan hemodinamik bukan tindakan terapeutik tetapi hanya
memberikan informasi kepada klinisi dan informasi tersebut perlu disesuaikan
dengan penilaian klinis pasien agar dapat memberikan penanganan yang
optimal. Dasar dari pemantauan hemodinamik adalah perfusi jaringan yang
adekuat, seperti keseimbangan antara pasokan oksigen dengan yang
dibutuhkan, mempertahankan nutrisi, suhu tubuh dan keseimbangan elektro
kimiawi sehingga manifestasi klinis dari gangguan hemodinamik berupa
gangguan fungsi organ tubuh yang bila tidak ditangani secara cepat dan tepat
akan jatuh kedalam gagal fungsi organ multipel (Jevon & Ewens, 2009).
6 Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik
Faktor-faktor yang mempengaruhi hemodinamik pasien ICU antara lain
adalah (Jevon & Ewens, 2009) :
a. Penyakit dapat mempengaruhi hemodinamik pasien seperti adanya
gangguan pada organ jantung, paru-paru, ginjal dimana pusat sirkulasi
melibatkan ketiga organ tersebut terutama jika terjadi di sistem
kardiovaskular dan pernafasan.
b. Obat-obatan/terapi seperti analgesik dan sedasi dapat mempengaruhi
status hemodinamik, contohya adalah morfin dimana obat tersebut dapat
meningkatkan frekuensi pernafasan.
c. Status psikologi yang buruk atau psychological distress tentu saja akan
mempengaruhi hemodinamik, karena respon tubuh ketika stres memaksa
jantung untuk bekerja lebih cepat.
d. Aktifitas yang berlebih akan meningkatkan kerja jantung, dan hal tersebut
akan mempengaruhi status hemodinamik.

3
e. Mode Ventilator yang digunakan mempengaruhi hemodinamik karena
setiap mode memiliki fungsi masing-masing salah satunya melatih/memaksa
pasien untuk bernafas secara spontan.
2.1 Pemantauan Hemodinamik
2.1.1 Pemantauan Hemodinamik Invasif
Pemantauan hemodinamik invasif dapat dilakukan pada arteri, vena sentral
ataupun arteri pulmonalis.
1) Tekanan Darah
Metode pemeriksaan tekanan darah langsung dengan memasukkan
kanul ke dalam arteri. Lokasi penusukan dapat dilakukan di arteri radialis, arteri
ulnaris, arteri brakialis, arteri femoralis arteri dorsalis pedis, arteri tibialis
posterior dan arteri aksilaris. Kanula melalui transdusor dihubungkan ke
manometer atau unit pencatat gelombang arteri. Dengan teknik kanulasi,
tekanan arteri dapat diukur secara langsung dan terus menerus. Bentuk dari
gelombang arteri menggambarkan pembukaan dini katub aorta diikuti
peningkatan tekanan intraarteri segera sampai puncak tekanan sistolik tercapai
ejeksi ventrikel maksimal. Bentuk gelombang tekanan arteri dapat digunakan
untuk menghitung:
- Volume sekuncup dan curah jantung secara kasar (kurva tekanan arteri
sistolik).
- Kecukupan preload.
- Sebagai petunjuk tidak langsung kontraktilitas ventrikel (interval waktu
sistolik).
Indikasi dari kanulasi intraarteri meliputi:
- Untuk memantau tekanan darah secara terus menerus, misalnya pada
pasien krisis hipertensi yang mendapat titrasi obat- obat vasoaktif/
kardiotonik, pembedahan dengan teknik hipotensi, syok vasokonstriksi/
vasodilatasi, evaluasi disritmia selama disritmia, sepsis dengan sequestrasi
cairan berlebihan dan evaluasi terapi cairan.
- Pemeriksaan analisa gas darah yang dilakukan berulang-ulang.
Komplikasi kanulasi intraarteri meliputi, hematoma yang bisa terjadi
perdarahan sampai 500 ml dengan kanula ukuran no. 18
fg,vasospasme,trombosis arteri,emboli udara/ thrombus,nekrosis kulit diatas
kateter,kerusakan saraf,iskemia pada bagian distal kanula.
Pencegahan komplikasi kanulasi intra arteri meliputi:

4
- Antiseptik + infiltrasi anestesi lokal ditempat insersi,
- Gunakan kanula ukuran kecil no 20 G atau 22 G. Perbandingan ukuran
diameter kanul dengan arteri harus kecil.
- Infus larutan salin diheparinisasi (0,5-1 unit heparin untuk setiap 1 ml
larutan salin).
- Ujung buntu stopcocks ditutup.
2) Tekanan Vena Sentralis (CVP)
Tekanan vena sentralis dapat dipantau dengan menginsersikan kateter
ke dalam vena besar. Penusukan dapat dilakukan melalui vena jugularis
interna, vena subklavia, vena brakhialis dan vena femoralis sampai posisi
ujung kateter diatas pertemuan vena cava superior dengan atrium kanan.
Tekanan vena sentral juga dapat diukur dengan menggunakan lumen
proksimalis kateter arteri pulmonalis. Karena lokasi ujung kateter terpapar
dengan tekanan intratorakal, pola napas akan mempengaruhi hasil
pengukuran dan inspirasi dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan
vena sentralis. Pengukuran tekanan vena sentralis lebih baik dilakukan pada
saat akhir ekspirasi untuk mengurangi efek tekanan intratorakal. Bila pasien
bernapas spontan, tekanan vena sentralis akan bergerak turun sewaktu
inspirasi dan bila pasien bernapas dengan ventilasi mekanik tekanan vena
sentralis akan bergerak naik.
Tekanan vena sentralis meningkat pada posisi Trendelenburg, overload,
ventilasi mekanik, batuk, muntah, gagal jantung, dan manuver valsava.
Tekanan vena sentralis menurun pada posisi duduk, berdiri tegak,
hipovolemia, takikardia. atau bernapas dengan ventilasi mekanik. Untuk
memastikan posisi ujung kateter tepat atau tidak dapat dilakukan dengan cara
mengamati perubahan tekanan manometer (undulasi) selama inspirasi.
Penilaian tekanan vena sentralis dapat dilakukan dengan manometer air (cm
H20) atau dengan transduser elektrik (mmHg).
Indikasi pemasangan kateter vena sentralis adalah untuk menilai
tekanan vena sentralis dalam mengelola cairan, jalur masuk cairan hipertonik
atau cairan yang bersifat mengiritasi yang memerlukan pengenceran segera
dalam sistim sirkulasi, jalur nutrisi parenteral, aspirasi emboli, sebagai jalur
vena pada keadaan vena perifer kolaps, jalur memasukkan lead pacing
transkutan, jalur pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.

5
Kontraindiasi relatif insersi kateterisasi vena sentral sehubungan dengan
lokasi adalah adanya tumor, gumpalan darah, vegetasi katub tricuspid, dan
gangguan faktor pembekuan darah. Kontrainsikasi lain sehubungan dengan
letak adalah insersi melalui vena subklavia lebih mudah terjadi pneumotoraks,
dan bila arteri karotis tertusuk dengan tidak sengaja sulit untuk melakukan
kompresi langsung.
Dengan menggunakan kateter khusus, kanula vena sentral dapat
digunakan untuk memantau saturasi oksigen vena campur (ScvO2) secara
kontiniu. Penurunan kadar ScvO2 (normal ± 65 %) harus di waspadai karena
menggambarkan kiriman oksigen ke jaringan tidak memadai. Peningkatan
kadar ScvO2 (> 80 %) menunjukkan kemungkinan telah terjadi shunting arteri
– vena atau gangguan penggunaan oksigen seluler, misalnya pada keracunan
sianida.
Bila peningkatan tekanan vena sentralis < 3 mmHg dalam merespon
fluid challenge test (berikan cairan koloid 50-200 ml dengan tetesan cepat,
tunggu 10 menit kemudian nilai kembali tekanan vena sentralis) berarti
penderita masih memerlukan sejumlah volume cairan tertentu. Bila
peningkatan tekanan vena sentralis > 7 mmHg loading cairan mungkin sudah
maksimal tetapi bila kemudian nilai tekanan vena sentralis turun menjadi 3
mmHg dalam waktu 10 menit kemungkinan terjadi edema paru sedang,
sehingga pemberian cairan harus dibatasi.
Komplikasi kanulasi vena sentralis terbagi menjadi dua, meliputi:
- Saat penusukan komplikasi yang terjadi seperti nyeri, infeksi, emboli udara/
trombus, perdarahan, pneumotoraks/ hematotoraks, arteri tertusuk, saraf
tertusuk (sindroma Horner), aritmia karena ujung kateter berada di atrium/
ventrikel kanan.
- Penggunaan lama komplikasi yang terjadi meliputi sepsis, sambungan
kateter longgar tidak tepat menimbulkan perdarahan dan emboli udara,
kateter berpindah tempat menyebabkan efusi pleura atau efusi perikardial.
3) Kateterisasi Arteri Pulmonalis
Kateter arteri pulmonalis pertamakali dipergunakan oleh Swan dan Ganz
ke dalam praktek di kamar bedah untuk memonitor hemodinamik pasien yang
tidak stabil dan di unit perawatan intensif karena keterbatasan jalur vena
sentralis untuk menilai perubahan dini gagal ventrikel kiri. Kateter arteri
pulmonalis adalah sebuah kateter multi lumen aliran langsung yang

6
dimasukkan melalui vena sentralis ke jantung kanan menuju arteri pulmonalis.
Lumen proksimal untuk mengukur tekanan atrium kanan, lumen distal untuk
mengukur tekanan arteri pulmonalis, lumen ke tiga untuk mengembangkan
balon dan lumen ke empat untuk mengukur curah jantung dengan cara
termodilusi. Daily dan Schroeder (1989) menyatakan bahwa dari pemantauan
arteri pulmonalis diperoleh informasi yang sangat penting mengenai jantung
kiri yang sulit didapat dengan cara lain. Penggunaan kateter arteri pulmonalis
disarankan untukdigunakanmenilai indeks jantung, preload, status volume
intravaskuler, dan kadar oksigen vena campur pasien dengan hemodinamik
tidak stabil.
lndikasi penggunaan kateter arteri pulmonalis adalah untuk menentukan
tekanan arteri pulmonalis dan tekanan oklusi/ desak arteri pulmonalis, jalur
pemberian cairan dan obat melalui vena sentralis, mengukur curah jantung
dengan teknik termodilusi, mengukur nilai hemodinamik curah jantung dan
tekanan arteri pulmonalis, mengukur saturasi O 2vena campur, mengevaluasi
respon penderita terhadap terapi yang dibcrikan, menegakkan diagnosis defek
septum ventrikel, keadaan darurat dapat digunakan untuk mengatur frekuensi
denyut jantung melalui lumen paceport kateter arteri pulmonalis. Beberapa
parameter hemodinamik dari hasil pengukuran kateter arteri pulmonalis meliputi:
No Variable Formula Normal Unit
1. Cardiac Index (CI) Cardiac Output (L/min) 2.2 - 4.2 L/min/m2
Body Surface Area (m2)
2. Total Peripheral (MAP – CVP) x 80 1200 – Dynes/s/cm-5
Resistance (TPR) Cardiac output (L/min) 1500
3. Pulmonary (PA – PAOP) x 80 100 - 300 Dynes/s/cm-5
Vascular Cardiac Output (L/min)
Resistance (PVR)
4. Stroke Volume Cardiac Output (L/min) x 60 - 90 mL/beat
(SV) 1000
Heart Rate (beats/min)
5. Stroke Index (SI) Stroke Volume (mL/beat) 20 - 65 mL/beat/m2
Body Surface area (m2)

6. Right Ventricular 0.0136 (PA – CVP) x SI 30 -65 g/m/beat/m2


Stroke-Work Index
(RVSWI)

7
7. Left Ventricular 0.0136 (MAP – PAOP) x SI 46 – 60 g/m/beat/m2
Stroke-Work Index
(LVSWI)

2.1.2 Pemantauan Hemodinamik Non Invasif


Menurut (Marik & Baram, 2007)parameter non invasive yang sering
digunakan untuk menilai hemodinamik pasien adalah:
1) Kesadaran
Kesadaran seseorang dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Parameter GCS yang dinilai respon buka mata,
bicara (verbal), dan motorik pasien, nilai totalnya adalah 15. Nilai respon buka
mata normal 4, respon bicara (verbal) normal 5, dan respon motorik normal 6.
Selain itu juga dapat dinilai secara kualitatif (kompos mentis, apatis, somnolen,
sopor/ stupor, dan koma).
a. Kompos Mentis
Keadaan seseorang sadar penuh, dapat menjawab dengan benar
pertanyaan yang diajukan tentang dirinya dan lingkungannya, orientasi
waktu dan tempat.
b. Apatis
Keadaan seseorang tidak peduli, acuh tak acuh, dan segan berhubungan
dengan orang lain dan lingkungannya.
c. Somnolen
Keadaan seseorang dalam keadaan mengantuk dan cenderung tertidur,
tetapi masih bisa dibangunkan dengan sedikit rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal namun cepat tertidur kembali.
d. Sopor/ Stupor
Kesadaran hilang, pasien hanya berbaring dengan mata tertutup. Pasien
tidur dalam, tidak memberikan respon terhadap gerakan yang diberikan dan
hanya dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri yang kuat dan berulang.
e. Koma
Kesadaran hilang, pasien tidak memberikan respon/ reaksi apapun terhadap
semua rangsangan yang diberikan (verbal, taktil, dan nyeri) dari luar.
2) Tekanan darah
Tekanan darah adalah tekanan pada dinding pembuluh darah arteri.
Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah yang dihasilkan sewaktu jantung
memompakan darah ke sirkulasi sistemik (saat katub aorta membuka),

8
tekanan darah diastolik adalah tekanan darah yang dihasilkan saat katub aorta
menutup. Perhitungan tekanan darah dilakukan dengan alat bantu monitor
atau secara manual. Nilai normal tekanan darah sesuai usia pasien adalah
sebagai berikut: usia 1 bln 85/50 mmHg; 6 bulan 90/53 mmHg; 1 tahun 91/54
mmHg;2 tahun 91/56 mmHg; 6 tahun 95/57 mmHg; 10 tahun102/62 mmHg; 12
tahun 107/64 mmHg; 16 tahun117/67 mmHg; dan 20 tahun ke atas 120/80
mmHg. Pada pasien dewasa lebih sering digunakan pada angka 110/70
sampai dengan 120/80 mmHg (Ramesh, 2003).Metode pemantauan tekanan
darah meliputi Metode Palpasi, Metode Auskultasi/ Korotkoff, Metode Flush,
Metode osilotonometri (NIBP), Metode Pletismograf, Metode Tonometri Arteri,
dan Metode Probe Doppler.
3) Mean arterial pressure (MAP) atau tekanan arteri rata-rata.
Tekanan arteri rata-rata merupakan tekanan rata-rata selama siklus
jantung yang dipengaruhi oleh curah jantung dan resistensi perifer.
Perhitungan MAP dilakukan dengan alat bantu monitor untuk memberikan
informasi terkait perfusi ke arteri koronari, organ tubuh dan kapile. Rumurs
perhitungan MAP adalah 1/3 sistolik + 2/3 diastolik atau perhitungan nilai
normal berkisar 90-100 mmHg.
4) Frekuensi denyut jantung (Heart Rate).
Perhitungan frekuensi denyut jantung dilakukan secara manual maupun
dengan alat bantu monitor. Frekuensi jantung pasien usia 1 bulan 100-
180 kali/menit; 6 bulan 120- 160 kali/ menit; 1 tahun 90- 140 kali/menit; 2 tahun
80- 140 kali/menit; 6 tahun 75- 100 kali/menit; 10 tahun 60- 90 kali/menit; 12
tahun 55- 90 kali/menit; >16 tahun 60- 100 kali/menit (Ramesh, 2003).
5) Tekanan Vena Jugularis
Peninggian tekanan vena jugularis dapat diperkirakan dari distensi vena
jugularis eksterna. Vena-vena pada leher akan mengalami distensi apabila
kepala ditempatkan sejajar dengan lantai diatas tempat tidur dan vena-vena
leher akan kolaps bila ditempatkan pada ketinggian 30-40 derajat. Atrium
kanan terletak + 5 cm dibawah sudut Louis, tempat pertemuan manubrium
dengan korpus sternum. Derajat distensi vena leher diukur dengan membuat
garis khayal dari miniskus distensi vena leher (tempat vena kolaps) sampai
kesudut Louis. Tekanan pada vena sentralis dapat diperkirakan dengan cara
menambahkan angka 5 cm dari distensi sudut Louis.
6) Capillary Refill Time (CRT)

9
Capillary refill time (CRT) adalah tes yang dilakukan dengan cepat pada
daerah kuku untuk menilai jumlah aliran darah (perfusi) ke jaringan dan untuk
menilai ada tidaknya dehidrasi. Pemeriksaan CRT dilakukan dengan cara
tangan pasien yang akan diperiksa dipengang dan diangkat lebih tinggi dari
jantung untuk mencegah refluks aliran darah vena, kemudian kuku jari tangan
ditekan secara lembut sampai berwarna putih lalu dilepaskan. Waktu yang
dibutuhkan kuku untuk kembali ke warna semula (merah) setelah tekanan
dilepaskan di hitung. Nilai normal CRT adalah kurang dari dua detik. CRT yang
memanjang merupakan tanda dehidrasi, hipotermia, penyakit pembuluh darah
perifer, dan syok. Ini diperkuat jika disertai dengan turgor kulit dan pola
pernapasan yang abnormal. Namun, CRT yang memanjang juga harus
diperhatikan dalam hubungannya dengan tanda- tanda klinis lainnya, misalnya
hemodinamik tidak stabil (Fergusson, 2008).
7) Suhu Tubuh
Suhu tubuh adalah perbedaan jumlah panas yang diproduksi tubuh
dengan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Suhu tubuh ada dua
jenis, yaitu:
a. Suhu inti adalah suhu tubuh yang berasal dari jaringan tubuh bagian dalam
seperti rongga cranium, rongga dada, rongga perut, dan rongga pelvis.
b. Suhu permukaaan yaitu suhu yang ditemukan pada kulit, dan jaringan
subkutis. Suhu permukaan ini dipengaruhi oleh temperatur lingkungan.
Temperatur tubuh dapat diukur dengan menggunakan thermometer,
thermalgun, thermal probe. Lokasi yang umum digunakan untuk mengukur
suhu tubuh adalah mulut, ketiak, membrana timpani, rektal, kulit dahi atau kulit
punggung tangan, esofaagus, arteri pulmoner atau bahkan kandung kemih.
Suhu tubuh normal seseorang dipengaruhi oleh usia, yang meliputi bayi baru
lahir (neonatus) berkisar 36,1 – 37,7 0C; anak balita berkisar 36,5 – 37,70C;
dewasa berkisar 36,5 – 37,50C; dan usia lanjut cenderung lebih rendah
berkisar 36 – 36,50C.

8) Frekuensi Pernapasan
Frekuensi pernapasan atau RR pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik ditentukan pada batas atas dan batas bawah. Batas
bawahditentukan pada nilai yang dapat memberikan informasi bahwa

10
pasien mengalami hipoventilasi dan batas atas pada nilai yang menunjukkan
pasien mengalami hiperventilasi. Pengaturan RR pada pasien disesuaikan
dengan usia pasien (Sundana, 2008).
Frekuensi pernapasan normal pada usia neonates 30- 60 kali/menit;
1 bulan- 1 tahun 30- 60 kali/menit; 1- 2 tahun 25- 50 kali/menit; 3- 4 tahun
20- 30 kali/menit; 5- 9 tahun dan usia lebih dari 10 tahun 15- 30 kali/menit.
Pada pasien dewasa lebih sering digunakan pada angka 12- 24x/menit
(Matondang, Iskandar, & Sastroasmoro, 2009).
9) Produksi Urine
Walaupun produksi urin sebagian besar menggambarkan kecukupan
perfusi ginjal, namun produksi urin sering juga digunakan sebagai petunjuk
adekuatnya curah jantung. Bila perfusi ginjal cukup, produksi urin akan lebih
dari 0,5 ml/ kg BB/ jam. Untuk menjaga perfusi ginjal tetap adekuat, tekanan
arteri rata-rata (mean arterial pressure = MAP) harus dipertahankan sekitar 70-
90 mmHg. Produksi urin di monitor dengan memasukkan kateter Foley ke
dalam kandung kemih. Pasien- pasien sakit kritis yang mendapat terapi
inotropik dengan atau tanpa diuretik, produksi urin menjadi tidak bermanfaat
digunakan untuk menilai hemodinamik.
10) Saturasi oksigen (SaO2)
Pemantauan SaO2menggunakan pulse oximetry untukmengetahui
prosentase saturasi oksigen dari hemoglobin dalam darah arteri. Pulse
oximetry merupakan salah satu alat yang sering dipakai untuk observasi
status oksigenasi pada pasien yang portable, tidak memerlukan persiapan
yang spesifik, tidak membutuhkan kalibrasi dan non invasif. Nilai normal
SaO2 adalah 95-100% (Fergusson, 2008).
2.1.3 Pemantauan Hemodinamik Pasien Khusus
1. Elektroenfalogram
Pemantauan electroencephalogram (EEG) kadang-kadang digunakan
selama operasi serebrovaskuler untuk memastikan kecukupan oksigen serebri
atau selama operasi kardiovaskuler untuk memastikan bahwa sinyal isoelektrik
sudah ada sebelum sirkuit aliran darah dihentikan. Hantaran EEG yang
digunakan biasanya penuh yaitu sejumlah 16 hantaran (Thirumala, Thiagarajan,
Gedela, Crammond, & Balzer, 2016).
2. Evoked Potentials (EP)

11
Pemantauan potensial aksi (EP) non invasif digunakan untuk menilai fungsi
saraf dengan mengukur respon elektrofisiologi terhadap rangsang sensoris
maupun motoris. EP intraoperatif digunakan untuk mendeteksi kemungkinan
adanya cedera neurologis yang timbul akibat prosedur operasi yang dilakukan
seperti pada operasi fusi tulang belakang dengan instrumentasi, reseksi tumor
medulla spinalis, reseksi tumor serebri, operasi epilepsi, operasi perbaikan
aneurisma aorta torako abdominal. EP yang dipantau umumnya adalah potensial
aksi batang otak yaitu Brainsteam Auditory Evoked Respons (BAER),
Somatosensory Evoked Potentials (SEPs), Motor Evoked Potentials (MEPs)
(Nwachuk, et al., 2015); (Rabai, Sessions, & Seubert, 2016).
3. Stimulasi Saraf Tepi
Stimulasi saraf tepi digunakan untuk memantau kecukupan obat pelumpuh
otot atau kelumpuhan otot yang terjadi selama induksi anestesi. Alat stimulator
saraf tepi mengalirkan arus listrik sebesar 60-80 mA ke salah satu dari dua
bantalan EKG atau ke jarum subkutis yang ditempatkan di atas saraf motorik
perifer. Respon listrik atau mekanik yang timbul dari saraf yang merpersarafi otot
diamati. Saraf otot yang biasa dipantau adalah saraf ulnaris yang mempersarafi
otot adductor pollicis dan saraf fasialis yang mempersarafi otot orbicularis oculi
(Butterworth, Mackey, & Wasnick, 2018); (Rabai, Sessions, & Seubert, 2016);
(Gropper, et al., 2019).
4. Tonometri Lambung
Perfusi splannik sangat sensitif terhadap transport oksigen global dan
mukosa usus sangat mudah terpengaruh iskemia karena mekanisme arus balik
vili. Pemantauan PH intramukosa lambung dapat digunakan untuk mendeteksi
adanya iskemia terselubung. Balon semipermiabel di isi dengan larutan salin dan
dimasukkan ke dalam lambung, C02 lambung kemudian akan menembus
membran balon masuk ke dalam larutan salin. Setelah terdapat periode
seimbang, salin di aspirasi dan kadar CO 2 diukur (Gropper, et al., 2019).Pada
saat yang sama darah arteri diambil dan diperiksa untuk mendapatkan kadar
bikarbonat. Kadar CO2 mukosa lambung disubsitusikan kedalam persamaan
Handerson – Hasselback, sehingga kadar PH intramukosa lambung diperoleh.
Kekurangan dari pemeriksaan tonometri lambung adalah kadar bikarbonat
darah arteri tidak sama dengan kadar bikarbonat intramukosa pada keadaan:
a) Refluks bikarbonat dari duodenum
b) Usus tidak mengalami hipoperfusi misalnya pada syok septik

12
c) Vili lambung tidak ada
Kadar PH intramukosa lambung yang rendah mcnunjukkan prognosis yang
buruk, walaupun terapi PH intramukosa menunjukkan perbaikan tetapi manfaat
pemantauan tonometri lambung masih terus menjadi perdebatan para ahli.
5. Saturasi oksigen jugular bulb (SJO2)
Pemantauan SJ02 dimaksudkan sebagai metode atau cara untuk
mempersamakan SJ02 dengan CMRO2 / CBF (Rabai, Sessions, & Seubert,
2016).Sesuai dengan prinsip Fick: AVDO2 = CMRO2 / CBF. Keterangan:
AVDO2 = Arterial-mixed Venous Oxygen Diffrence.
CMRO2 = Cerebral Oxygen Metabolic Rate.
CBF = Cerebral Blood Flow.
Bila kadar SpO2, Hb dan afifinitas Hb terhadap oksigen konstan, diduga
CMRO2/ CBF sebanding dengan saturasi oksigen vena campur otak.
Keterbatasan dari pemantauan SJO2:
a) SJO2 menggambarkan kecukupan kiriman oksigen serebri global bukan
regional.
b) Bila ekstraksi oksigen tinggi tidak dapat mengkompensasi penurunan
oksigen deliveri sehingga nilai SJO2 sulit diperkirakan.

13
BAB 3
SOP PEMANTAUAN HEMODINAMIK

3.1 Central Venous Pressure (CVP)


1. Definisi CVP
Cvp merupakan prosedur memasukkan kateter intravena yang fleksibel
ke dalam vena sentral klien dalam rangka memberikan terapi melalui vena
sentral.Ujung dari kateter   berada pada superior vena cava.Tekanan vena
central (central venous pressure) adalah tekanan darah di atrium kanan atau
vena kava.Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah,
keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular.
2. Tujuan pemasangan CVP :
a. Terapi pada klien yang mengalami gangguan keseimbangan cairan.
b. Sebagai pedoman penggantian cairan pada kasus hipovolemi.
c. Mengkaji efek pemberian obat diuretik pada kasus2kasus overload cairan.
d. Sebagai pilihan yang baik pada kasus penggantian cairan dalam volume
yang banyak.
3. Indikasi Pemasangan CVP
a. Klien dengan trauma berat disertai dengan perdarahan yang banyak yang
dapat menimbulkan syok
b. Klien dengan tindakan pembedahan yang besar seperti open heart,
trepanasi
c. Klien dengan kelainan ginjal
d. Klien dengan gagal jantun, penyakit katup jantung.
e. Klien terpasang nutrisi parenteral
4. Tempat Penusukan Kateter
Pemasangan kateter CVP dapat dilakukan secara perkutan atau dengan
cutdown melalui vena sentral atau vena perifer, seperti vena basilika, vena
sephalika, vena jugularis interna/eksterna dan vena subklavia.
5. Langkah Pemasangan CPV :
a. Mendekatkan peralatan disamping tempat tidur klien mudah dijangkau.
b. Mencuci tangan dengan teknik steril.
c. Memakai handscoen steril.
d. Menentukan daerah yang akan dipasang: Vena subklavia atau Vena
jugularis interna.

14
e. Tempat lain yang bisa digunakan sebagai tempat pemasangan CVP adalah
vena femoralis dan vena fossa antecubiti.
f. Mengatur posisi klien trendelenberg, atur posisi kepala agar vena jugularis
interna maupun vena subklavia lebih terlihat jelas, untuk mempermudah
pemasangan.
g. Melakukan desinfeksi pada daerah penusukan dengan cairan antiseptic.
h. Memasang duk lobang yang steril pada daerah pemasangan.
i. Sebelum penusukan jarum keteter, untuk mencegah terjadinya emboli
udara, anjurkan pasien untuk bernafas dalam dan menahan nafas.
j. Dokter memasukkan jarum/kateter secara perlahan dan pasti, ujung dari
kateter harus tetap berada pada vena cava, jangan sampai masuk ke
dalam jantung.
k. Menghubungkan dengan IV set dan selang untuk mengukur tekanan CVP.
l. Dokter melakukan fiksasi/dressing pada daerah pemasangan, agar posisi
kateter terjaga dengan baik.
m. Merapikan peralatan.
n. Mencuci tangan
6. Cara Pengukuran CVP
a) Secara nonivasif : Pengukuran tekanan vena jugularis
b) Secara invasif :
1. Memasang kateter CVP yang ditempatkan pada vena kava superior
atau atrium kanan, teknik pengukuran dengan menggunakan
manometer air atau transduser.
2. Melalui bagian proksimal kateter arteri pulmonalis. Pengukuran ini
hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sistem transduser.
7. Tekanan Vena Jugularis
Atur posisi pasien dalam posisi berbaring setengah duduk, kemudian
perhatikan hal berikut.
a. Denyut vena jugularis interna, denyut ini tidak bisa diraba tetapi bisa dilihat.
Akan tampak gel a (kontraksi atrium), c (awal kontraksi ventrikel-katup
trikuspid menutup), gel v (pengisian atrium-katup trikuspid masih menutup)
b. Normal, pengembungan vena setinggi manubrium sterni
c. Bila lebih tinggi berarti tekanan hidrostatik atrium kanan meningkat, misal
pada gagal jantung kanan.

15
Menurut Kadir A (2007), dalam keadaan normal vena jugularis tidak pernah
membesar, bila tekanan atrium kanan (CVP) naik sampai 10 mmHg vena
jugulais akan mulai membesar. Tinggi CVP= reference point tinggi atrium kanan
ke angulus ludovici ditambah garis tegak lurus, jadi CPV= 5 + n cmH2O.
8. Pemantauan CVP dengan Manometer
Persiapan untuk pemasangan
a. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pada klien dan tentang tujuan pemasangan, daerah
pemasangan, dan prosedur yang akan dikerjakan
b. Persiapan alat
1) Kateter CVP sesuai ukuran, dan sesuai dengan jenis lumen (single,
double, atau triple,)
2) Set CVP
3) Spuit 2,5 cc
4) Antiseptik
5) Obat anaestesi local
6) Sarung tangan steril
7) Bengkok
8) Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
9) Plester
c. Persiapan untuk Pengukuran
1) Skala pengukur
2) Selang penghubung (manometer line)
3) Three way stopcock
4) Pipa U
5) Standar infus dan Set infus
d. Cara Merangkai
1) Menghubungkan set infus dengan cairan NaCl 0,9%
2) Mengeluarkan udara dari selang infuse
3) Menghubungkan skala pengukuran dengan threeway stopcock
4) Menghubungkan three way stopcock dengan selang infuse
5) Menghubungkan manometer line dengan three way stopcock
6) Mengeluarkan udara dari manometer line
7) Mengisi cairan ke skala pengukur sampai 25 cmH2O
8) Menghubungkan manometer line dengan kateter yang sudah terpasang

16
e. Cara Pengukuran
1) Memberikan penjelasan kepada pasien
2) Megatur posisi pasien
3) Lavelling, adalah mensejajarkan letak jantung (atrium kanan) dengan
skala pengukur atau tansduser
4) Letak jantung dapat ditentukan dg cara membuat garis pertemuan antara
sela iga ke empat (ICS IV) dengan garis pertengahan aksila
5) Menentukan nilai CVP, dengan memperhatikan undulasi pada manometer
dan nilai dibaca pada akhir ekspirasi
6) Membereskan alat-alat
7) Memberitahu pasien bahwa tindakan telah selesai
9. Pemantauan dengan Transduser
Dilakukan pada CVP, arteri pulmonal, kapiler arteri pulmonal, dan tekanan
darah arteri sistemik.
a. Persiapan pasien
1) Memberikan penjelasan tentang tujuan pemasangan, daerah
pemasangan, dan prosedur yang akan dikerjakan
2) Mengatur posisi pasien sesuai dengan daerah pemasangan
a. Persiapan untuk penusukan
1. Kateter CVP sesuai ukuran, dan sesuai dengan jenis lumen
(single, double, atau triple,)tergantung dari kondisi klien)
2. Set instrumen steril untuk tindakan invasive
3. Sarung tangan steril
4. Antiseptik
5. Obat anestesi local
6. Spuit 2,5 cc & Spuit 5 cc/10 cc
7. Bengkok & Plester
b. Persiapan untuk pemantauan
1. Monitor
2. Tranduser
3. Alat flush
4. Kantong tekanan
5. Cairan NaCl 0,9% (1 kolf)
6. Heparin
7. Manometer line

17
8. Spuit 1 cc
9. Three way stopcock
10. Penyanggah tranduser/standar infuse
11. Pipa U
12. Infus set
c. Cara Merangkai
1. Mengambil heparin sebanyak 500 unit kemudian memasukkannya
ke dalam cairan infuse
2. Menghubungkan cairan tersebut dengan infuse
3. Mengeluarkan udara dari selang infuse
4. Memasang cairan infus pada kantong tekanan
5. Menghubungkan tranduser dengan alat infuse
6. Memasang threeway stopcock dengan alat flus
7. Menghubungkan bagian distal selang infus dengan alat flush
8. Menghubungkan manometer dengan threeway stopcock
9. Mengeluarkan udara dari seluruh sistem alat pemantauan (untuk
memudahkan beri sedikit tekanan pada kantong tekanan)
10. Memompa kantong tekanan sampai 300 mmHg
11. Menghubungkan kabel transduser dengan monitor
12. Menghubungkan manometer dengan kateter yang sudah
terpasang
13. Melakukan kalibrasi alat sebelum pengukuran
d. Cara Kalibrasi
1. Lavelling
2. Menutup threeaway ke arah pasien dan membuka threeway ke
arah udara
3. Mengeluarkan cairan ke udara
4. Menekan tombol kalibrasi sampai pada monitor terlihat angka nol
5. Membuka threeway kearah klien dan menutup ke arah udara
6. Memastikan gelombang dan nilai tekanan terbaca dengan baik

18
3.2 PAP (Pulmonary Artery Pressure)
1. Definisi
Pemantauan hemodinamik secara invasif melalui pembuluh vena dengan
menggunakan sistem tranduser tekanan yang digunakan untuk mengetahui
tekanan di arteri pulmonal
2. Indikasi Pemasangan Kateter Arteri Pulmonal
Indikasi
a) Pasien dalam resiko tinggi: EF rendah, gagal jantung akut, hipertensi
pulmonal dan instabilitas hemodinamik.
b) Paska operasi bedah jantug secara konservatif.
3. Lokasi Kateter
a) Pemasangan kateter dilakukan dengan kanulasi secara perkutan melalui
vena subklavia, batas bila melalui vena subklavia kanan RA 10 cm, RV 20
cm, PA 35 cm, PWP 40 cm. Sedangkan melalui vena subklavia kiri, batas
RA 15 cm RV 25 cm, PA 45 cm, PWP 50 cm.5,6
b) Pemasangan melalui vena julgularis interna kanan batas RA 15 cm, RV
25 cm, PA 40 cm, PWP 45 cm. Bila lokasi pemasangn di vena julgularis
interna kiri batas RA 20 cm, RV 30 cm, PA 45 cm, PWP 50 cm.
c) Lokasi pemasangan kateter bisa melalui vena basilica atau vena
brachialis dilakukan secara cutdown
4. Interpretasi Gelombang Arteri Pulmonal (PA)
Terdiri dari sistolik, diastolik dan nilai rata rata. Seiring usia, tekanan arteri
pulmonal meningkat. Usia lebih dari 60 tahun, nilai rata rata tekanan arteri
pulmonal (PA) = 16 •} 3 mmHg. Usia kurang dari 60 tahun nilai rata-rata PA = 12
•} 2 mmHg. Sistolik PA menggambarkan aliran darah dari ventrikel kanan (RV)
ke PA dan selama diastole katup mitral terbuka diikuti darah yang dari PA
masuk ke LA dan LV. Gelombang tekanan arteri pulmonal digunakan untuk
diagnose berbagai kondisi jantung yang abnormal.
5. Teknik Pengukuran Tekanan Arteri Pulmonal
Prinsip yang harus diperhatikan saat melakukan pengukuran tekanan arteri
pulmonal yaitu Pengukuran dan pencatatan gelombang PA sebaiknya dilakukan
pada waktu akhir ekspirasi, dikarenakan pada waktu akhir ekspirasi tekanan
mitral polmunal dialveolar adalah 0. Sama dengan tekanan atsmosfer ( 750
mmHg ). Pengukuran pada inspirasi dipengaruhi oleh venus return karena saat
inspirasi sebagai pompa. Membantu darah kembali masuk kejantung.Pada

19
waktu ekspirasi, darah lebih banyak dalam pembuluh dikarenakan tidak ada
yang membantu memompa darah ke jantung. Teknik yang dilakukan yaitu:
a) Cuci tangan
b) Atur posisi yang nyaman saat pengukuran. Posisi sampai dengan posisi
tidur lebih tinggi 600. Pengukuran pada posisi duduk tidak dianjurkan.
Pada posisi tidur miring 300 - 900 dapat dilakukan selama prinsip sudut
yang terbentuk dengan posisi miring tersebut diperhatikan.
c) Yakinkan bahwa kateter yang terpasang tidak ada yang terlipat, cairan
yang masuk, berada pada posisi yang tepat.
d) Lakukan kalibrasi
e) Perhatikan nilai yang ada pada monitor dan dikorelasikan dengan
morfologi gelombang yang tampak pada monitor dengan klinis pasien.
f) Dokumentasikan data yang ada
g) Cuci tangan
3.3 Intra Arterian Pressure
1. Definisi
Pengukuran tekanan darah arteri secara invasif dilakukan dengan
memasukkan kateter ke lumen pembuluh darah arteri dan disambungkan ke
sistem transducer. Tekanan intra arteri melalui kateter akan dikonversi menjadi
sinyal elektrik oleh tranducer dan menghasilkan tekanan sistolik, diastolic,
maupun MAP pada layar monitor. Tekanan darah arteri adalah tekanan darah
yang dihasilkan oleh ejeksiventrikel kiri ke aorta dan ke arteri sistemik Tekanan
arteri sistemik terdiri dari:
a. Tekanan sistolik adalah tekanan darah maksimal ketika darahdipompakan
dari ventrikel kiri. Range normal berkisar 100- 130 mmHg
b. Tekanan diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung
relaksasi,tekanan diastolik menggambarkan tahanan pembuluh darah yang
harusdihadapi oleh jantung. Range normal berkisar 60-90 mmHg
c. Mean Arterial Pressure atau tekanan arteri rata-rata selama siklusjantung.
MAP dapat diformulasikan dengan rumus : Sistolik + 2. Diastolik x 1/3.
MAP menggambarkan perfusi aliran darah ke jaringan.
2. Indikasi
Monitor tekanan darah invasif diperlukan pada pasien dengan kondisikritis
atau pada pasien yang akan dilakukan prosedur operasi bedah mayorsehingga
apabila ada perubahan tekanan darah yang terjadi mendadakdapat secepatnya

20
dideteksi dan diintervensi, atau untuk evaluasi efek dariterapi obat-obat yang
telah diberikan
1) Prosedur operasi bedah mayor seperti : CABG, bedah thorax,bedah saraf,
bedah laparotomy, bedah vascular
a. Pasien dengan status hemodinamik tidak stabil
b. Pasien yang mendapat terapi vasopressor dan vasodilator
c. Pasien yang tekanan intrakranialnya dimonitor secara ketat
d. Pasien dengan hipertensi krisis, dengan overdiseksi aneurismaaorta
2) Pemeriksaan serial Analisa Gas Darah
a. Pasien dengan gagal napas
b. Pasien yang terpasang ventilasi mekanik
c. Pasien dengan gangguan asam basa (asidosis/ alkalosis)
d. Pasien yang sering dilakukan pengambilan sampel arteri
e. Psecara rutin
3. Persiapan Alat
a. Sistem flushing yang terdiri dari :
Cairan NaCl 0,9% 500 ml yang sudah diberi heparin 500
UI(perbandingan NaCl 0,9% dengan heparin 1:1), masukkan dalam
pressurebag dan diberi tekanan 300 mmHg.
b. Basic Element (tranducer holder), tranducer/ pressure cable
c. Monitor, monitoring kit (single, double, triple lumen)
d. Manometer line
e. 3 way
f. Abocath no. 22 – 18
g. Sarung tangan steril
h. Alcohol, betadhine, kassa, lidocain, spuit
4. Lokasi Pemasangan Kateter Arteri
Lokasi penempatan kateter intraarteri meliputi arteri radialis,
brachialis,femoralis, dorsalis pedis, dan arteri axilaris.Pertimbangan penting
padapenyeleksian lokasi insersi kateter meliputi, adanya sirkulasi darah kolateral
yangadekuat, kenyamanan pasien, dan menghindari area yang beresiko tinggi
mudahterjadi infeksi.
5. Interpretasi Gelombang Tekanan Darah Arteri
Gelombang tekanan arteri dihasilkan dari mulainya usaha untuk membuka
katup aorta, kemudian diikuti peningkatan tekanan arteri sampai tekanan puncak

21
(maksimum ejeksi ventrikel) tercapai. Tekanan di ventrikel turun secaracepat
sehingga tekanan aorta menjadi lebih tinggi dari tekanan ventrikel
kiri.Perbedaan tekanan tersebut mengakibatkan katup aorta tertutup, penutupan
katupaorta menghasilkan “dicrotic notch” pada gelombang tekanan
arteri.Gelombang tekanan arteri sistolik digambarkan naik turun, hal
inimenyatakan dimulainya usaha pembukaan katup aorta diikuti ejeksi cepat
darahdari ventrikel, kemudian gambaran menurun kebawah, karena adanya
penurunantekanan sehingga katup aorta tertutup sehingga terbentuk “dicrotic
notch”.Periodediastolik yaitu saat jantung relaksasi digambarkan dengan
penurunan untukkemudian dimulai periode awal sistolik.
6. Teknik Pengukuran
a. Cuci tangan
b. Yakinkan kateter arteri tidak tertekuk
c. Atur posisi tidur yang nyaman untuk pasien
d. Lakukan kalibrasi
e. Membaca nilai yang tertera di layar monitor, pastikan morfologigelombang
tidak underdamped atau overdamped
f. Mengkorelasi nilai yang tertera pada monitor dengan kondisi klinis pasien
g. Dokumentasikan nilai tekanan dan laporkan bila ada trend perubahan
hemodinamik
3.4 PCWP
1. Definisi
PWP sering disebut juga PAW atau PCW atau pulmonary arteri occlusion
pressure adalah suatu pengukuran tekanan wedge dengan mengembangkan
balon pada distal kateter arter pulmonal secara invasive.
2. Fisiologi dan Morfologi
PAWP diperoleh dengan inflasi balon kateter PA, ketika kateter terletak
pada cabang kecil arteri pulmonal, karteter akan mengapung ke arah depan
untuk menyumbat segmen PA. Penyumbatan kateter menciptakan kolom statis
darah melalui vaskuler pulmonal. Ketika balon yang dikembangkan menyangkut
di dalam segmen arteri pulmonal yang sedikit lebih kecil daripada balon yang
dikembangkan, tidak ada aliran darah distal ke segmen oklusi balon dari
sirkulasi pulmonal. Ini akan menciptakan kolom darah yang tidak bergerak atau
statis di dalam bagian kecil sirkulasi pulmonal yang merupakan perpanjangan
kolom cairan statis didalam kateter arteri pulmonal / sistim tranduser tekanan.

22
Darah pada bagian yang tidak terokulasi dari sirkulasi polmunal, berlanjut
mengalir ke dalam vena pulmonal dan jantung kiri. Kateter sensing tip mencatat
tekanan pada junction pertama, dimana pembuluh darah dari bagian teroklusi
dan tidak teroklusi dari sirkulasi pulmonal bergabung. Poin ini adalah vena
pulmonal, dengan kata lain aktivitas hemodinamik dari vena pulmonal ( yang
merupakan bagian aktif sirkulasi pulmonal ) akan disense oleh ujung arteri
pulmonal. Aktivitas hemodinamik di vena pulmonal juga merefleksikan aktivitas
atrium kiri. Wedge ujung kateter tip memberikan perkiraan aktifitas atrium kiri
kerena bagaimanapun, paru-paru terletak antara ujung kateter tip dan LA,
dengan demikian gelombang wedge menggambarkan aktivitas LA, yang bentuk
gelombangnya mirip dengan gelombang RA, sebab tekanan diproduksi oleh
kejadian fisiologis yang sama. Pada akhir diastol, tekanan menyamakan antara
atrium kiri dan ventrikel kiri, demikian PAWP digunakan sebagai pengukuran
tidak langsung tekanan LV.
3. Lokasi dan Teknik pengukuran
Diukur pada distal PA kateter dengan balon dikembangkan. Untuk nilai
normal PCWP sendiri adalah 6-12 mmHg
3.5 Peran Perawat dalam Pemantauan Hemodinamik
Peranan perawat dimulai dari sebelum alat pantau terpasang, saat
pemasangan dan setelah alat pantau terpasang pada klien.
1. Sebelum pemasangan
a) Mempersiapkan alat-alat pemasangan, penusukan dan pemantauan
b) Memperersiapkan pasien yaitu memberikan penjelasan mengenai
prosedur dan tujuan pemantauan (Inform consent) serta mengatur
posisi pasien.
2. Saat pemasangan
a) Memelihara alat-alat yang digunakan selalu dalam keadaan
steril
b) Memantau tanda dan gejala komplikasi yang dapat terjadi pada saat
pemasangan
c) Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedur
dilakukan.
3. Setelah pemasangan
a) Mengkorelasikan nilai yang terlihat pada monitor yang tersedia dengan
keadaan klinis klien.

23
b) Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan yang terjadi pada
perubahan hemodinamik
c) Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-tobatan
d) Mencegah terjadinya komplikasi dan mengetahui gejala dan
tanda komplikasi
e) Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien
f) Memastikan letak alat-alat yang terpasang pada posisi yang
tepat dengan memantau gelombang pada monitor dan monitor hasil
foto thoraks
g) Mengevaluasi gelombang, mengintreperetasikan data dan
mengkonsulkan pada dokter

24
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pemantauan hemodinamik adalah suatu cara untuk mendeteksi,
mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau pengobatan
yang diberikan guna mendapatkan informasi keseimbangan homeostatik
tubuh dan agar dapat memberikan penanganan yang optimal. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hemodinamik pada pasien meliputi penyakit, obat-
obatan/terapi, status psikologi yang buruk, aktifitas yang berlebihan, dan mode
ventilator.
Pemantauan hemodinamik terbagi menjadi 2 yaitu pemantauan
hemodinamik invasive (Tekanan darah, CVP, PAP, IAP, PCWP) dan
pemantauan hemodinamik non invasive ( kesadaran, tekanan darah, MAP, Heart
Rate, tekanan vena jugularis, CRT, suhu tubuh, frekuensi pernapasan, produksi
urine, saturasi ). Dalam proses pemantauan hemodinamik perawat sangat
berperandimulai dari sebelum alat pantau terpasang, saat pemasangan dan
setelah alat pantau terpasang pada klien.

4.2 Saran
Diharapkan pengetahuan tentang pemantauan hemodinamik dapat
diterapkan dengan baik dalam penanganan pasien dengan kondisi yang tertentu
dan tercapainya kepuasan pasien dalam proses perawatan

25
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, P. I., & Ward, J. P. (2007). At a Glance System Cardiovaskular. Edisi


Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Agustin, W. R., Suparmanto, G., & Wahyuningsih, S. (2020). PENGARUH
MOBILISASI PROGRESIF TERHADAP STATUS HEMODINAMIK PADA
PASIEN KRITIS DI INTENSIVE CARE UNIT. Journal of Health Research
Vol. 3 No. 1.
Bridges EJ. Pulmonary artery pressure monitoring: when, how, and what else
touse. AACN Adv Crit Care. 2006 Jul-Sep;17(3):286-303
Boldt J. Hemodynamic monitoring in the intensive care unit.Critical Care2002, 6:
6:52-59
Burns, S. M. (2014). AACN Essentials of Critical Care Nursing. 3rd edn. .
American: McGraw Hill Education.
Butterworth, J., Mackey, D., & Wasnick, J. (2018). Noncardiovascular Monitoring
In: Morgan & Mikhail's Clinical Anesthesiology. 6th edition. New York:
Mac Graw-Hll Education Lange.
Cardiovascular Monitoring. In: Gropper MA. eds.In: Miller’s Anesthesia. 9th ed.
San Fransisco,California. Elsevier, 2019
Chair, I. (2004). Buku Panduan Resusitasi Neonates. Jakarta: Perinasia.
Dorland (2015) Kamus Saku Kedokteran Dorland.29th edn. Singapore: Elsevier.
Fergusson, D. (2008). Clinical Assessment And Monitoring In Children.
Hongkong: Blackwell Publishing.
Flores, J. C., De Azagra, A. M., Lopes, M. J., Ruiz, M., & Serrano, A. (2002).
Pediatric Ards: effect of Supine-Prone Postural Changes On
Oxygenation. Intensive Care Med.
Gropper, M., Eriksson, L., Fleisher, L., Kronish, J. W., Cohen, N., & Leslie, K.
(2019). Cardiovascular Monitoring. In: Gropper MA. eds. In: Miller’s
Anesthesia. 9th ed. California: Elsevier.
Gropper, M., Eriksson, L., Fleisher, L., Kronish, J. W., Cohen, N., & Leslie, K.
(2019). Gastrointestinal Physiology and Pathopysiology. In: Gropper MA.
eds. In: Miller’s Anesthesia. 9th ed. San Fransisco: Elsevier.
Harrington DH. Hemodynamic monitoring.In:McLaughlin MA. edCardiovascular
Care madeIncredibly Easy. 4th ed. Philadelphia. WoltersKluwer, 2020

26
Hidayat, A. N. (2018) Gawat Darurat Medis dan Bedah.surabaya: Airlangga
University
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong's Essentials of Pediatric Nursing.
8th Edition. St. Louis: Mosby Elsevier.
Ii, B. A. B., & Teori, A. T. (2020). Gambaran Status Hemodinamik..., Mistiyanti,
Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2020.
Jevon, & Ewens. (2009). Pemantauan Pasien Kritis. Edisi 2. Jakarta: Erlangga.
Juliarta, I. G. (2014). Monitoring Hemodinamik. Monitoring Hemodinamik Invasif,
1–21.
Kelley, C. M., Puntillo, K. A., Barr, J., Stotts, N., & Douglass, M. K. (2005).
Nutritional Adequacy In Patients Receiving Mechanical Ventilation Who
Are Fed Enterally. American Journal of Critical Care.
Kennison, M., & Yost, W. (2009). Prone positioning improving oxygenation in
Patients with ARDS. Nursing Critical Care Journal.
Marik, P. E., & Baram, M. (2007). Noninvasive hemodynamic monitoring in the
Intensive Care Unit. Critical Care Clinics.
Matondang, C. S., Iskandar, W., & Sastroasmoro, S. (2009). Diagnosis Fisis
pada Anak. Jakarta: CV Sagung Seto.
Maqder S. Invasive hemodynamic monitoring.Crit Care Clin 2015Jan;31(1):67-87
ADDIN Mendeley Bibliography CSL_BIBLIOGRAPHY Muliadi, D. (2015).
Universitas Sumatera Utara 7. 7–37.

Nwachuk, E., Balzer, J., Yabes, J., Habeych, M., Crammond, D., & Thirumala, P.
(2015). Diagnostic Value of Somatosensory Evoked Potential Changes
During Carotid Endarterectomy: A Systematic Review and Meta-analysis.
JAMA Neurol.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2006). Buku ajar Fundamental keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Purnawan, I., & Saryono. (2010). Mengelola pasien dengan Ventilator Mekanik.
Jakarta: Rekatama.
Rab, H. T. (2010). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.
Rabai, F., Sessions, R., & S. C. (2016). Neurophysiological Monitoring and
Spinal cord Integrity. Anaesthesiol.
Ramesh, S. (2003). Intensive Care-Update. Indian J. Anaesth.

27
Ramsingh et al. Does it matter which hemodynamic monitoring system
isused?.Critical Care 2013, 17:208
Scheer et al. Complications and risk factors of peripheral arterial catheters
usedfor haemodynamic monitoring in anaesthesia and intensive care
medicine.
Critical Care 2010, 6:198-204
Sherwood, L. (2011). Fisiologis Manusia: Dari Sel-Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta :
EGC.
Sherwoor, L. (2011). Fisiologis Manusia : Dari Sel-ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Sloane, E. (2004). Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Sundana, K. (2008). Ventilator: Pendekatan Praktis Di Unit Perawatan Kritis.
Bandung: CICU RSHS Bandung.
Thirumala, P., Thiagarajan, K., Gedela, S., Crammond, D., & Balzer, J. (2016).
Diagnostic accuracy of EEG changes during carotid endarterectomy in
predicting perioperative strokes. J Clin Neurosci.
Vincent et al. Update on hemodynamic monitoring - a consensus of 16.
CriticalCare 2011, 15:229

28

Anda mungkin juga menyukai