Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN INDONESIA:

PERPADUAN MANAJEMEN BARAT DAN TIMUR


SERTA BUDAYA TRADISIONAL

Aspek Positif dan Negatif Gaya Manajemen Barat dan Timur


Dari berbagai pengertian dan batasan manajemen di atas, dalam tulisan ini pembahasannya
dibatasi faktor manusia sebagai unsur utama manajemen dan berbagai perilakunya dalam
oraganisasi atau kelompok serta pengaruhnya terhadap lingkungan sekitarnya. Hasil rumusan
kelompok IV seminar Konsep Manajemen Indonesia yang berlangsung dari tanggal 3-5 juli
1979 di Jakarta berhasil menyimpulkan aspek positif dan negatif dari gaya manajemen antara
negara barat (yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat) dengan negara dari dunia
timur (yang diwakili Jepang dan Cina).
Adapun aspek positif dan negatif tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Manajemen Barat: Tekanan pada Amerika Serikat dan Eropa Barat
v  Aspek Positif :
- Efisien;
- Disiplin;
- Sadar akan waktu dan;
- Penghormatan terhadap inisiatif individu;
v  Aspek Negatif :
-Manusia diperlakukan seperti mesin, dan;
-Masyarakatnya yang konsumtif.
2.      Manajemen Jepang
v  Aspek Positif :
-Solidaritas terhadap kelompok (perusahaan) yang tinggi;
- Dedikasi;
- Kesetiaan;
- Disiplin diri;
- Nasionalisme yang tinggi, dan;
-Penghormatan terhadap yang lebih senior.
v  Aspek Negatif :
- Opportunities;
- Binatang ekonomi;
- Sangat tertutup, dan;
- Agak angkuh.

Letak Posisi Manajemen Indonesia


Dari pemaparan aspek positif dan negatif manajemen barat dan timur itu, di manakah letak
posisi manajemen Indonesia ? Pertanyaan seperti itu selalu tercuat, sebab belum ada
manajemen Indonesia yang secara ekplisit dan terpraktekkan serta tertulis dimunculkan oleh
para ahi manajemen yang ada di Indonesia. Yang banyak didiskusikan adalah istilah-istilah
“Manajemen Gaya Indonesia”, “Gaya Manajemen Indonesia”, “Manajemen ala Indonesia”,
“Manajemen Pancasila”, dan sebagainya, dengan rumusan yang mirip antara satu dengan
yang linnya, (Budiman Christiananta, 1994 : 6).
Bila secara ekplisit, terpraktekkan dan tertulis belumlah ada, apakah ada organisasi dan
manajemen yang khas Indonesia ? Jawabannya tentu ada ! Cara orang tertentu menyusun
pekerjaan dan hubungan antara pekerjaannya, pasti dipengaruhi tidak saja oleh sifat pekerjaan
itu sendiri yang mungkin bersifat universal, tetapi juga oleh cara orang-orang tersebut
mengatur hidup pada umumnya. Sifat pekerjaan bisa saja bersifat universal karena dilandasi
teknologi yang berlaku di mana-mana disebabkan hukum-hukum alam yang mendasari
berlaku umum. Namun dapat dipastikan faktor-faktor lainnya seperti kebudayaan, nilai,
norma kehidupan dan yang lainnya menjadikan cara hidup bangsa-bangsa berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Perlu juga diperhatikan bahwa tidak hanya cara-cara orang
mengatur pekerjaan dipengaruhi kebudayaannya, tapi kebudayaan berpengaruh kuat pula
pada perilaku pekerjaan.
Dari hasil penelitian Budi Paramita (1977) terhadap 172 buah perusahaan pemerintah dan
swasta nasional dan asing tahun 1976 di beberapa kota di Indonesia (Jakarta, Surabaya,
Malang, Madiun, Solo dan Padang) dengan 500 responden menemukan bahwa umumnya
organisasi bisnis Indonesia menurut para manajernya sendiri dinilai bersifat rutin, formalistik,
kurang tersentralisasi, kurang berkomunikasi tugas, umumnya lebih dikoordinasi melalui
rencana daripada saling menyesuaikan ataupun umpak balik, namun tidak seluruhnya
birokratis.

Perilaku Manusia Indonesia dalam Organisasi dan Manajemen


Meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal secara umum, namun
dalam prakteknya saat pengimplementasikan dalam suatu aktivitas, mau tidak mau
perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh anggota yang
ada di dalamnya. Termasuk juga hal ini berlaku bagi pranata/organisasi yang ada di
Indonesia, terlebih lagi seperti yang dikatakan oleh Astrid S. Susanto yang menyatakan perlu
disadari bahwa manusia Indonesia dalam latar belakang budayanya tidaklah sama, hal mana
telah melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Astrid S. Susanto dalam Marbun, 1980 :
70-71).
Astid S. Susanto menyatakan lebih lanjut bahwa gambaran awal ciri-ciri kebudayaan manusia
Indonesia yang dapat digunakan sebagai pangkal tolak pemahaman suasana dan kebudayaan
organisasi Indonesia perlu mencakup pengamatannya sendiri bahwa :
1. Manusia Indonesia masih bersifat manusia dalam pengorganisasian organisasi
daripada dalam pengorganisasian mekanis (Emille Durkheim). Dengan sendirinya
sikap demikian adalah baik dan tentu bentuk idealnya adalah suatu campuran dari
keduanya.
2. Manusia Indonesia menunjukkan keinginan untuk bertahan dalam lingkungan
solidaritas organis daripada solidaritas mekanis.
3. Walaupun pada satu pihak, suatu organisasi/instansi memang merupakan unit
ekonomi di mana orang mencari nafkah dan perbaikan nasibnya, langkah tersebut
dilaksanakannya karena mereka terpaksa. Hal mana berarti menerima nilai organisasi
atau kepentingan instansi/organisasi sebagai kepentingan sendiri adalah sangat jarang.
Dalam berhubungan dengan manusia lainnya, manusia Indonesia selalu berpijak dari
penilaian kedudukan sosialnya terhadap lawan hubungannya, apakah sejajar, lebih tinggi atau
lebih rendah. Bagi manusia Indonesia, kesamaan atau ketidaksamaan kedudukan sosial sama
wajarnya. Berperilaku seolah-olah tidak ada perbedaan kedudukan sosial malah tidak wajar.
Masyarakat ditata menurut dimensi horizontal dan vertikal : ada yang berkedudukan sama,
ada yang lebih yunior, ada yang perlu dituakan. Pada umumnya yang dituakan harus bersifat
mengasuh dan melindungi. (Franz Magnis Suseno, 1985 : 60-63).
Sifat “solider organik”, dengan berbagai konotasinya seperti keakraban, keselamatan,
kebersamaan dan sebagainya terpadu dengan sifat “hirarki’ dengan konotasinya
perlindungan, kesetiaan, penghormatan dan sebagainya dalam suatu pranata atau lembaga
yang disebut “kekeluargaan”. Karena sifat “kekeluargaan”-nya , manusia Indonesia dengan
merasa sangat wajar menyapa lawan bicaranya sekelompok organik dengan sebutan-sebutan
yang berasal dari sebuah keluarga seperti Bapak, Ibu, Saudara secara penuh dalam suatu
acara resmi (Joedono, 1987).
Sikap kebudayaan tradisional yang meresapi pergaulan hidup manusia Indonesia adalah
kecenderungan untuk berusaha mempertahankan kesepakatan, kedamaian, keadaan saling
membantu, dan saling menerima satu sama lain dalam semua hubungan sosial, dalam
keluarga, diantara tetangga, di tempat kerja, di dalam masyarakat dan sebagainya. Setiap
orang wajib menghindari setiap sikap dan perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan tidak
enak, ketegangan, keresahan, pertikaian terbuka, yang di dalam masyarakat Jawa disebut
dengan “rukun”. (Frans Magnis Suseno, 1985 ; 39).
Ciri kebudayaan manusia Indonesia lainnya yang sangat banya berpengaruh dalam kehidupan
berorganisasi adalah bermusyawarah menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas
dasar konsensus diantara seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok
seangkatan pengalaman (peer group). Namun demikian, dewasa ini masyarakat Indonesia
sudah tidak lagi berada pada tatanan masyarakat tradisional seluruhnya, disebabkan dengan
terbuka lebarnya arus informasi yang berakibat dengan menggejalanya sikap mendunia
(globalisasi), di mana semuanya itu berpengaruh terhadap perilaku kehidupan masyarakat
yang merupakan campuran antara nilai-nilai tradisional dan modern.

Faktor Budaya dalam Organisasi dan Manajemen di Indonesia


Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72), menyatakan dalam kehidupan organisasi di
Indonesia, instansi masih dilihat sebagai lanjutan kehidupan solidaritas organisasinya,
sehingga terbentuklah suasana organisasi (organization climate) dan budaya organisasi
(organization culture) khas Indonesia yang sedikit banyak masih ditandai oleh sifat budaya
tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan musyawarah. Hal ini bisa dilihat pada
suasana santai, akrab dan suasana seperti di rumah, yang dibawa ke tempat kerja. Kebiasaan
ngobrol (istilah jaman sekarangnya disebut ngerumpi) dan bekerja yang santai waktu jam
kerja menunjukkan adanya nilai keakraban sosial yang masih dianggap lebih penting
daripada sikap lugas (zakelijk) waktu kerja. Bila memungkinkan, semua suka-duka (terutama
duka) kehidupan pribadi diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan.
Namun demikian, menurut Danandjaja (1986 : 85) gambaran seperti itu tidak lagi merupakan
gambaran yang lengkap. Wong cilik termasuk karyawan pada level bawah, sudah mulai
merasuk dalam tata nilai manusia Indonesia. Dampaknya tidak hanya para profesional dan
manajer muda yang tumbuh pragmatis dan akusentris, akan tetapi telah tumbuh pula
“manajer yang autokratik dan berpikir jangka pendek”.
Danandjaja dalam penelitiannya menemukan bahwa manajer Indonesia lebih mementingkan
keuntungan jangka pendek; walaupun mengerti manfaatnya, tidak menganggap realistik
investasi jangka panjang; meskipun berakibat di bebas tugaskannya sekelompok karyawan,
cenderung menjual saja salah satu pabrik lama, demi pengadaan dana untuk membangun
pabrik bari; membatasi penyediaan dana untuk program latihan hanya pada mereka yang
memang masih dapat dikembangkan lebih lanjut; dan hanya mau mengeluarkan dana
terbatas, nila perlu sekecil mungkin untuk fasilitas di tempat kerja seperti kafetaria dan kamar
kecil.
Manajer seperti tersebut di atas, kata Danandjaja (1986 : 104) lebih suka pada suasana yang
menyenangkan, lebih suka orang yang sangat populer tapi kurang kreatif daripada yang
kreatif tetapi kurang populer, tidak suka konflik walaupun itu berarti kemajuan, dan lebih
memberikan wewenang pada anak buah yang hanya terbatas pada pelaksanaan tugas.
Hal hampir senada dikemukakan pula oleh Budi Paramita (1992 : 10) yang mengatakan gaya
manajerial di Indonesia bersifat antara lain, paternalistik dan otokritik. Suatu jenis
pengendalian yang bersifat langsung dan pribadi dengan wewenang dipusatkan pada pucuk
pimpinan. Ini sesuai dengan dalih yang muncul dari gambaran di atas, yang menunjukkan
bahwa suatu pengendalian hierarkis yang ketat dalam suatu organisasi merupakan cara paling
efektif dalam masyarakat yang bersifat otoriter.
Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut hasil temuan Danandjaja (1986 : 150):
1. Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang patut dihormati
dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan “terserah bagaimana maunya
perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh Manajer di Indonesia, terutama kalau
sedang frustasi. Karena tidak ada ikatan lain kecuali sebagai wadah tempat ia
memperoleh kesempatan kerja, jaminan dan keamanan, maka para Manajer tersebut
akan cenderung untuk keluar dari perusahaannya begitu saja kalau hal-hal tersebut
tidak dipenuhi.
2. Bagi para Manajer, pemilik adalah orang yang sampai batas tertentu dapat
memberikan kesempatan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai dengan
orientasi vertikalnya, para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah sering
menganggapnya sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
moral untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya.
Profil Manajer seperti tersebut di atas, sejalan dengan temuan Astrid S. Susanto (dalam
Marbun, 1980 :73-74) bahwa pegawai, dalam hal ini Manajer profesional mengharapkan
adanya solidaritas organik di dalam perusahaannya yang diidentikkan dengan pemilik.
Harapan tersebut sedemikian besarnya sehingga ia akan merasa sangat kecewa dan sering
merasa sakit hati bila apa yang diharapkan dari pemilik tidak terpenuhi. Sejauh pemilik
perusahaan dapat memuaskan kebutuhankebutuhannya, ia akan bekerja dengan setia. Akan
tetapi bila kepuasan itu tidak lagi dapat dicapai, maka ia akan pergi. Hal ini sering tidak dapat
dimengerti oleh pemilik, yang kebanyakan masih menganggap bahwa bawahannya yang
diberi pekerjaan dan upah itu, dianggap bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah
itu, harus tahu diri dan tidak menghianatinya (Danandjaja, 1986 : 151).
Danandjaja juga mengemukakan bahwa kecuali jika rekan kerja Manajer adalah sahabat karib
yang mempunyai hubungan lebih daripada sekedar rekan kerja biasa, tidak ada piiran
dibenaknya bahwa sesama rekan kerja adalah orang-orang yang berbagi nasib dan hari depan,
yang ikut menentukan dan menanggung hidup perusahaan dan kebahagiaan hidup semuanya.
Dikatakannya bahwa hal tersebut pertanda bahwa nilai-nilai seperti gotong royong dan
sebagainya tidak lagi diikuti : sistem nilai yang berperan pada para Manajer lebih
menunjukkan individualisme dan konsentrasi pada keberhasilan pribadi. Hal tersebut
tampaknya benar. Namun masih benar juga bahwa para Manajer merasa sangat kecewa,
malah sakit hati, jika apa yang dilihatnya sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral
atasan/pemilik untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya tidak terwujud,
dan bahwa atasan/pemilik merasa dikhianati jika bawahan keluar dari perusahaan. Perasaan-
perasaan demikian justru menunjukkan bahwa orang secara emosional masih terikat pada hal
tersebut, dan oleh karena itu masih tetap menginginkan terwujudnya solidaritas organik.
Charles hendy (dalam Budi Paramita, 1992 : 11) mengemukakan adanya 4 macam budaya
organisasi, yakni budaya organisasi berdasarkan kekuasaan, peran, tugas dan orang.
Gambaran singkat masing-masing jenis budaya organisasi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Budaya Berdasarkan Kekuasaan
Budaya yang seperti ini paling banyak terdapat di Indonesia. Strukturnya bisa digambarkan
seperti jaring laba-labanya berada di pusat. Pusat kekuasaan tidak harus selalu merupakan
seseorang individu sebagai penguasa tunggal, melainkan dapat juga terdiri dari sekelompok
kecil manusia yang memegang kekuasaan organisasi. Pada umumnya organisasi seperti ini
merupakan suatu organisasi politis, mengingat keputusan organisasi lebih merupakan hasil
imbangan kekuatan yang ada daripada atas dasar prosedur atau tindakan yang wajar dan
masuk akal. Kekuatan organisasi semacam ini terletak pada kecepatan pada tindakan dan
lebih tanggap dalam menghadapi ancaman dan perubahan-perubahan. Bagi karyawan yang
berorientasi politis, senang berkuasa, suka mengambil atau mencari resiko dan kurang
mementingkan keamanan, organisasi semacam ini merupakan lingkungan kerja yang paling
menawan hati. Pengendalian kekuatan dan arah kegiatan dilakukan atas dasar pengendalian
dana dan sumber dana.
2.      Budaya Atas Dasar Peran
Budaya peran sebetulnya adalah budaya birokrasi. Menurut Weber (dalam Gerth dan Wright,
1958 : Bab 8), organisasi yang berdasarkan birokrasi yang benar umumnya lebih sempurna
dibandingkan organisasi bentuk lain, dikarenakan memiliki ketepatan da kecepatan bertindak
serta mengurangi biaya bahan maupun biaya pegawai. Sebagian dari penalarannya mengenai
efektivitas birokrasi adalah disiplin yang superior dan adanya pengendalian atas tingkat
peran. Semua pekerjaan dilakukan secara teratur, sistematis dan rutin. Organisasi peran
sangat efisien dan efektif dalam lingkungan yang stabil, atau bilamana lingkungannya dapat
dikendalikan dengan jalan monopoli misalnya. Organisasi jenis ini khususnya berguna bagi
organisasi yang lebih memerlukan skala ekonomi besar dibandingkan fleksibilitas, atau
dalam hal keahlian teknis dan spesialisasi yang mendalam lebih penting daripada
pengembangan dan biaya produksi. Kelemahannya adalah kurangnya kepakaan terhadap
perubahan lingkungan dan lambatnya melakukan penyesuaian yang diperlukan. Bagi
karyawan yang menyukai kepastian, dan jaminan hidup bekerja dalam organisasi, peran
memberikan ketenangan besar. Sebaliknya bagi mereka yang ingin mengendalikan
pekerjaannya sendiri atau menginginkan kekuasaan, organisasi semacam ini sangat
mengecewakan baginya.
3.      Budaya Atas Dasar Tugas
Budaya ini berusaha mengumpulkan sumber daya manusia yang tepat untuk dapat
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya sebab orientasinya terhadap penyelesaian
pekerjaan/tugas. Organisasinya dapat digambarkan sebagai suatu matriks antar fungsi atau
keahlian dengan pekerjaan. Pengaruhnya bersumber pada kekuatan keahlian dan bukan pada
kedudukan atau atas dasar kekuatan pribadi seseorang. Budaya atas dasar tugas ini
merupakan budaya tim atau budaya gotong-royong dikarenakan demi keberhasilan tugas
harus dapat mengatasi konflik yang dapat timbul disebabkan perbedaan kepentingan pribadi,
perbedaan status dan cara kerja.
Ada keunggulan positif budaya ini, yaitu peka atau lentur terhadap perubahan lingkungan,
dan sangat berguna bilamana organisasi menghadapi pasar yang sangat bersaing, terutama
jika produk yang dihasilkan bersiklus pendek. Namun ada juga segi negatifnya, yaitu
pengendaliannya agak sukar dan mudah bergeser menjadi budaya peran atau kuasa.
Pengendalian hanya dapat dilakukan oleh pucuk Pimpinan dengan jalan memberi atau tidak
memberi tugas/pekerjaan, tambahan dana atau sumber daya manusia.
4.      Budaya Berdasar Orangnya
Mengingat organisasi diciptakan biasanya hanya untuk melayani anggotanya, seperti
kelompok sosial, pagayuban, dan juga organisasi informal, maka budaya jenis ini didasarkan
atas pribadi-pribadi dan umumnya jarang digunakan untuk tujuan ekonomis. Organisasinya
praktis, tidak berstruktur dan seolah merupakan sekumpulan manusia saja yang hanya
mempunyai tujuan bersama, serta kurang mementingkan tujuan masing-masing. Jenjang
kewenangan dan alat pengendalian sukar tumbuh dalam budaya seperti ini, kecuali saling
mufakat sebelumnya. Unsur pemersatu yang diperankan oleh seseorang dalam kedudukan
lebih tinggi tidaklah ada, kalaupun ada sesuatu kekuasaan, itu hanya bersumber pada
pengaruh kepribadian seseorang. Umumnya budaya organisasi seperti ini tidak bersifat
langgeng.
Dari paparan tersebut, kelihatannya Charles handy menekankan bahwa pencapaian tugas
menurut sifatnya harus didukung oleh kebudayaan yang serasi, dan ini berarti harus sesuai
dengan budaya masyarakatnya.
Pendapat ini sama dengan Peter F. Drucker (1977 : 7), yang mengatakan manajemen
menyandang fungsi sosial. Manajemen tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau bagian
dari masyarakat yang dilayaninya, sehingga tak terlepas dari kaitan budaya yang disandang
oleh masyarakat yang dilayaninya. Budaya itu bahkan tampil sebagai terpadu dalam
keseluruhan manajemen tersebut.
Demikian juga tampaknya senada dengan pendapat Astrid S. Susanto yang menyatakan
bawha meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal secara umum,
namun dalam prakteknya saat mengimplementasikan dalam suatu aktivitas, mau tidak mau
perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh anggota yang
ada di dalamnya. Terlebih lagi dengan bangsa Indonesia yang begitu banyak memiliki suku
dengan budanya masingmasing, hingga melahirkan apa yang dikenal dengan Bhineka
Tunggal Ika, yang secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi organisasi dan
manajemen yang ada. (Astrid S. Susanto dalam Marbun, 1980 : 70-71).

Kesimpulan
Setelah memaparkan berbagai pengertian, definisi, hasil temuan penelitian dan pendapat-
pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum manajemen adalah proses
pencapaian tujuan melalui dan bersama orang lain. Agar pencapaian tujuan dapat dilakukan
secara efektif dan efisien, perlu ada koordinasi dari semua orang yang ada di dalamnya.
Manajemen dalam usaha koordinasinya harus memperhatikan 3 unsur, yakni unsur teknis dan
unsur manusia, serta hubungan diantara kedua unsur tersebut. Dari unsur-unsur tersebut,
faktor budaya lebih banyak mempengaruhi unsur manusia daripada unsur teknisnya.
Dikarenakan kedua unsur saling berkaitan, maka manajemen secara keseluruhan tidak akan
pernah bebas dari pengaruh budaya.
Manajemen Indonesia yang banyak mengadopsi manajemen barat (Amerika dan Eropa Barat)
dan timur (Jepang dan Cina), tampaknya tidak luput dari pengaruh faktor budaya tradisional
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apalagi belum ditemukannya secara pas bentuk
manajemen Indonesia, menjadikan manajemen yang dijalankan selama ini mencampurkan
berbagai macam bentuk atau gaya yang ada, serta ditambah dengan faktor budaya di mana
organisasi tersebut berada.
Namun dari berbagai hasil temuan para peneliti dan dari berbagai tulisan yang ada.
Manajemen Indonesia secara umum bercirikan diantaranya adalah :
1. Bersifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam mengembalikan keputusan (Astrid S. Susanto, 1980).
2. Bersifat pragmatis, akusentris dan dalam beberapa tahun terakhir bersifat otokritik
dan berpikir jangka pendek (Danandjaja, 1986).
3. Bersifat rutin, formalistik, kurang tersentralisasi, kurang berkomunikasi tugas,
umumnya lebih dikoordinasi melalui rencana daripada saling menyesuaikan, namun
tidak selurhnya birokratis serta bersifat paternalistik dan otokritik (Budi Paramita,
1992).

http://thoifahasriandini.blogspot.com/2015/10/manajemen-indonesia-perpaduan-manajemen.html

Anda mungkin juga menyukai