Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS

Fenomena LGBT di Tubuh TNI-Polri dan Evaluasi


Diklat Militer
CNN Indonesia | Kamis, 22/10/2020 10:03 WIB
Bagikan :  

Ilustrasi.
Sanksi yang telah dijatuhkan kepada prajurit TNI dan anggota Polri LGBT dinilai
melanggengkan diskriminasi kepada kelompok minoritas seksual. Foto: CNN Indonesia/ Adhi
Wicaksono
Jakarta, CNN Indonesia --
Kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) muncul di lingkungan TNI dan
Polri. Keberadaan kelompok tersebut disinggung pertama kali oleh Ketua Kamar Militer
Mahkamah Agung (MA) Mayor Jenderal (Purn) Burhan Dahlan.
Saat ini terdapat 20 berkas perkara kasasi pelanggaran hukum prajurit terkait homoseksual yang
ditangani MA. Dari jumlah tersebut, 16 perkara sudah diputus di tingkat kasasi.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah mengeluarkan telegram ST/1648/2019 tanggal 22
Oktober 2019 dalam menerapkan sanksi tegas kepada para prajurit yang terbukti melanggar
hukum kesusilaan, termasuk LGBT.

Sementara di tubuh Polri, salah seorang Brigadir Jenderal berinisal EP telah dijatuhkan sanksi
non-job hingga pensiun karena terlibat masalah LGBT. Perbuatan Brigjen EP juga dinyatakan
sebagai perilaku tercela.
Tak sampai di situ, Brigjen EP juga harus meminta maaf kepada pimpinan Polri dan pihak-pihak
lain yang dirugikan. EP harus mengikuti serangkaian kegiatan pembinaan selama satu bulan.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menilai langkah yang diambil TNI dan Polri
kepada anggota yang memiliki orientasi seksual berbeda itu adalah tindakan diskriminatif yang
bertentangan dengan konstitusi negara.
"Bentuk diskriminasi yang menyerang orientasi seksual dan ekspresi gender seseorang yang
dilindungi oleh hukum dan konstitusi negara," kata Erasmus, Rabu (21/10).
Sementara merujuk pada Pasal 28B ayat (2) juncto Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, perbedaan
perlakukan berdasarkan orientasi seksual merupakan pelanggaran konstitusi negara.
Namun, kata Erasmus, pengaturan tentang perbedaan hanya dibolehkan dalam kondisi tertentu
selama tindakan-tindakan tersebut bersifat khusus dan sementara yang disebut affirmative
actions.

Erasmus menjelaskan affirmative actions digunakan untuk mendorong kelompok masyarakat


mengejar kemajuan sehingga tercapai kesetaraan. Salah satu contohnya, perlakukan khusus
untuk perempuan dan anak-anak.
"Sedangkan pembedaan yang dilakukan oleh TNI/Polri ini jelas bukan merupakan suatu
affirmative action," ujarnya.
Atas dasar itu, kata Erasmus, pihaknya merekomendasikan MA, TNI, hingga Polri untuk
menghapus semua kebijakan internal yang memberikan stigma pada kelompok minoritas
tertentu. Salah satunya kelompok yang berbasis orientasi seksual.
"Menganulir keputusan represif yang diberikan kepada anggota internalnya yang telah atau
sedang dalam proses sanksi berbasis atas kebijakan yang diskriminatif," katanya.
Sementara itu, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul
Fahmi berpendapat fenomena LGBT di lingkungan TNI/Polri bukan disebabkan oleh lemahnya
sistem perekrutan.
Khairul menilai perbedaan orientasi seksual para prajurit tersebut kemungkinan besar terjadi
dalam proses pendidikan. Menurutnya, perubahan perilaku ini menjadi salah satu risiko dari
sistem pendidikan asrama.
"Artinya, selain kurikulum baku tentu diperlukan metode bimbingan dan pengasuhan yang
antisipatif terhadap hal-hal seperti itu," kata Khairul.
Menurut Khairul, perlu ada evaluasi terkait sistem pendidikan di lingkungan TNI/Polri untuk
mengantisipasi sejak dini munculnya potensi perubahan seksual tersebut.
"Tapi yang terpenting kemudian adalah bagaimana membangun pola pembinaan personel yang
tak membuka peluang terjadinya praktik disorientasi seksual dalam kehidupan prajurit," ujarnya.
Sejauh ini terungkap tujuh prajurit TNI telah mendapat sanki atas pelanggaran kesusilaan
tersebut. Tujuh prajurit itu antara lain seorang personel TNI Angkatan Darat dan enam personel
TNI Angkatan Udara.
Anggota TNI Terlibat LGBT Divonis 8 Bulan Penjara
dan Dipecat
CNN Indonesia | Rabu, 21/10/2020 15:45 WIB
Bagikan :  

Terdakwa Serka RR, oknum TNI AU divonis 8 bulan penjara dan dipecat dari TNI karena kasus
LGBT. (CNN Indonesia/ Damar)

Semarang, CNN Indonesia --


Pengadilan Militer II-10 Semarang menjatuhkan vonis pemecatan dinas terhadap Serka RR,
personel TNI Angkatan Udara yang bertugas di Rumah Sakit Pangkalan TNI Angkatan Udara
(RSPAU) Dr.S.Hardjolukito Yogyakarta, atas
Selain dipecat dari TNI, Serka RR juga dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Hakim karena
terbukti melanggar pasal 103 KUHP Militer atau pasal 281 KUHP tentang perbuatan asusila.
"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ketidaktaatan
yang di sengaja, memidana terdakwa oleh karena itu dengan pidana pokok penjara selama 8
bulan , dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer," kata Hakim Ketua Letkol CHK
Khamdan saat membacakan putusan di Ruang Sidang Utama Pengadilan Militer II-10
Semarang, Rabu (21/10).
Atas vonis dari Majelis Hakim, Serka RR yang diberikan waktu berkomunikasi dengan Mayor
Anggoro Jati dari Tim Penasehat Hukum TNI Angkatan Udara, menyatakan pikir-pikir.
Sebaliknya, pihak Oditur menyatakan menerima karena vonis Hakim sesuai dengan tuntutan
yang diajukan.
"Yang jelas apa yang disampaikan Majelis Hakim itu telah sesuai dengan kami", kata Oditur
Letkol CHK Lucia Rita.
Sebelum Serka RR, Pengadilan Militer II-10 Semarang juga menjatuhkan vonis atas kasus yang
sama terhadap Praka P, seorang personel TNI Angkatan Darat dengan hukuman 1 tahun penjara
dan dipecat dari TNI. Atas vonis tersebut, Praka P mengajukan banding ke Pengadilan Militer
Tinggi Jakarta.
Sementara, Juru bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa terdapat 20
berkas perkara kasasi pada Mahkamah Agung pelanggaran hukum prajurit terkait perbuatan
homoseksual.
Kata Andi, sebanyak 16 perkara sudah diputus di tingkat kasasi.

Andi juga meluruskan bahwa oknum prajurit TNI pelaku homoseksual tidak dalam bentuk
terorganisasi, melainkan dalam kelompok grup WhatsApp dengan nama komunitas tertentu
MUI Minta Panglima Tegas Terhadap Perilaku LGBT di
Lingkungan TNI
Oleh Yopi Makdori pada 17 Okt 2020, 08:51 WIB

Perbesar
Sekretaris Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Anwar Abbas
memberikan sambutan saat penyerahan Fatwa Syariah kepada PT Kustodian Sentral Efek
Indonesia (KSEI) terkait proses bisnis dan layanan jasa di Gedung Bursa Efek Indonesia, Senin
(1/4). (Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com, Jakarta Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas mendesak
pimpinan TNI untuk bersikap tegas terhadap anggotanya yang memiliki kelainan seks
menyimpang seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
"Kita meminta pimpinan TNI agar bersikap tegas dalam menghadapi masalah ini agar citra TNI
tidak rusak dan jatuh di mata rakyat dan bangsa apalagi sapta marga itu bagi seorang prajurit
merupakan kehormatan dan nyawa bagi mereka," tegas Anwar Abbas dalam keterangan tulis,
Sabtu (17/10/2020).
Hal ini menyusul kabar akan adanya sejumlah oknum LGBT di tubuh TNI yang diputus bebas
oleh pengadilan militer. Menurut Abbas, pihaknya menyesalkan keputusan tersebut. Terlebih
lagi mestinya TNI memberikan sanksi tegas pada oknum-oknum yang dinilainya telah membuat
pelanggaran.
"Hal ini tentu saja jelas-jelas sangat kita sesalkan. Untuk itu kita meminta pimpinan tertinggi
TNI agar turun tangan bagi menjaga muruah dan nama baik TNI karena sepanjang pengetahuan
kita selama ini TNI menerapkan sanksi tegas terhadap oknum prajurit TNI yang terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum kesusilaan termasuk di antaranya LGBT," tegas dia.
Menurut Abbas, jika sampai benar jika pengadilan militer membebaskan mereka para pelaku
LGBT, maka dirinya bertanya pada hakim ke manakah poin ketiga dalam Sapta Marga TNI
yang berbunyi 'Kami kesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa?'
"Ini artinya sebagai ksatria, prajurit TNI harus menghormati ajaran agama yang mereka anut.
Dan seperti kita ketahui bersama tidak ada satu agama pun di negeri ini yang diakui oleh negara
yang mentolerir perilaku LGBT tapi mengapa pengadilan militer tersebut bisa membebaskan
mereka yang melakukan praktik seksual menyimpang dan memalukan itu?," tanyanya.

LGBT di TNI
Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayor Jenderal Purnawirawan Burhan Dahlan
menyampaikan, pihak TNI sempat mengadukan kepada dirinya tentang adanya kelompok LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di lingkungan TNI-Polri.
Hal itu disampaikan Burhan saat menjadi pembicara dalam live streaming kegiatan Pembinaan
Teknis dan Administrasi Yudisial pada Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia yang disiarkan
dalam kanal Youtube Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Senin, 12 Oktober 2020.
"Belakangan ini saya diajak diskusi di Mabes AD. Ada unik yang disampaikan oleh mereka
kepada saya, yakni mencermati fenomena LGBT di lingkungan TNI. LGBT itu Lesbian Gay
Transgender dan Biseksual. Ternyata mereka menyampaikan kepada saya sudah ada kelompok-
kelompok baru kelompok persatuan LGBT TNI-Polri," tutur Burhan seperti dikutip
Liputan6.com, Kamis (15/10/2020).
Burhan mengatakan, kelompok ini dipimpin oleh seorang personel berpangkat Sersan, sementara
beberapa anggotanya berpangkat Letkol. Menurutnya, fenomena seperti ini pun sudah pernah
terjadi beberapa tahun lalu.
"Ini unik, tapi ini memang kenyataan. Nah saya teringat dulu tahun 2008 saya menyidangkan
pertama LGBT di depan TNI. Dan saya tidak menghukumnya, melainkan saya meminta
komandannya itu mengobatinya sampai sembuh," jelas dia.
Alasan putusannya itu lantaran saksi ahli dalam persidangan menyebut, prajurit perwira
menengah itu mengalami tekanan mental selama operasi militer di Timor Timur. Hingga dinilai
memicu perubahan atas pikiran dan perasaannya.
"Pulang ke homebase-nya di Makassar dia tidak menyenangi istrinya lagi. Bahkan menjadi
penyenang kaum laki-laki," kata Burhan.
Sementara fenomena yang terjadi sekarang, dia berpendapat, bukan karena tekanan operasi
militer melainkan diakibatkan oleh pergaulan dan menonton video tertentu lewat sosial media.
Belakangan, ada kasus tersebut dan perkaranya masuk ke peradilan militer.
"Celakanya diputus di peradilan militer, mengambil putusan yang pernah saya lakukan. Tapi
bukan diobati melainkan dibebaskan. Dasarnya, KUHP belum mengatur persoalan LGBT.
Tentunya tidak salah, tapi bagi institusi TNI ini kesalahan besar," Burhan menandaskan

Anda mungkin juga menyukai