Anda di halaman 1dari 11

istilah bauksit (bauxite) pertama kali dikenalkan oleh Berthier (1821) untuk batuan

sedimen yang kaya akan alumina dari wilayah Les Baux di Alpilles, Prancis. Liebrich
(1892) mengembangkan istilah bauksit dalam cakupan yang lebih luas, mencakup endapan
laterit hasil pelapukan yang kaya akan gibbsite. Selanjutnya istilah bauksit dipakai untuk
penamaan hasil pelapukan berupa bahan yang heterogen, mengandung alumina (Al₂O₃)
relatif tinggi, kadar Fe rendah, sedikit atau tidak mengandung silika. Sedangkan bijih
bauksit adalah endapan bauksit yang memiliki nilai ekonomis dengan kadar Al₂O₃: 45% -
50%, Fe₂O:< 20%, SiO₂ antara 3% - 5% (total silika) (Gambar 1).  

Gambar 1. Bauksit (sumber : www.mining.com)

BAGIAN 1
KLASIFIKASI BAUKSIT

Bauksit dapat diklasifikasikan berdasarkan genesanya dari sisi host rocknya:


a. Bauksit pada batuan klastik yang kasar

Jenis ini berasal dari batuan beku yang telah berubah menjadi metamorf di daerah yang
beriklim tropis dan berumur Tersier Awal. Permukaan daerahnya telah mengalami erosi
dan dijumpai bauksit dalam bentuk boulder. Tekstur pisolitik dan bentuknya menyudut
dengan kadar bauksit tinggi dalam bohmit dengan posisi letaknya sesuai dengan
kemiringan lereng.

b. Bauksit pada terrarosa

Jenis terrrarosa banyak terdapat di sekitar Mediterranian di Eropa Selatan yang


merupakan fraksi-fraksi dari hasil pelapukan batukapur atau dolomite dan sebagian
diaspor (Al₂O₃H₂O). Jenis ini mempunyai ikatan monohidrat, karena itulah endapan jenis
terarosa mempunyai kadar alumina yang besar dibandingkan endapan jenis laterit.

c. Bauksit pada batuan sedimen klastik

Dijumpai pada lingkungan pengendapan sungai stadium tua atau pada delta. Karena
tertransportasi, material rombakan terbawah ke laut. Sedimen klastik berada di atas
ketinggian dasar melapuk mengandung perlapisan gravel pasir, lempung koalinit dan
kadang lignit membentuk delta corong. Deposit bauksit jenis ini yang ekonomis adalah
berumur Paleosen.

d. Bauksit pada batuan karbonat

Deposit bauksit pada batu gamping kadarnya tinggi dan berumur Paleosen.
Perkembangannya tidak berada dipermukaan tetapi pada kubah-kubah gamping.

e. Bauksit pada batuan phospat

Al phospat berwarna abu-abu, putih kehijauan dan bersifat parous yang terisi oleh
berbagai material. Lapisan bawahnya mengandung lempung antara montmorilonit dengan
atapulgit. Beberapa lapisan dalam bentuk Ca-posfat, berstruktur oolitik dan dijumpai pula
pseudo-oolitik fluorapatit. Di bagian ini mengandung Al posfat dengan mineral krandalit
[(Ca Al₃H(OH₆) / (PO4)] yang sangat dominan dibandingkan dengan augilit [(Al₂ (OH₃) /
(PO4)].

 
Sedangkan klasifikasi bauksit berdasarkan letak depositnya adalah sebagai berikut:

1. Deposit Bauksit residual

Diasosiasikan dengan kemiringan lereng yang menegah sampai hamper datar pada batuan
nefelin syenit. Permukaan bauksit kemiringannya lebih dari 5° dan batasan yang umum
adalah 25°. Pada batuan syenit bagian bawah bertekstur granitik. Zona diatasnya
menunjukan vermikuler, pisolitik dan tekstur konkresi lainnya. Di bawah zona knkresi
adalah zona pelindian dengan dasar fragmen lempung kaolinit. walaupun dasar zona
pelindian ini melengkung, tidak dapat menghilangkan tekstur granitis. kaolinit nepelin
syenit dipisahkan dengan bauksit bertekstur granitis oleh kaolinit yang kompak dan kasar.

2. Deposit bauksit koluvial

Diselubungi oleh kaolinit, nefelin, syenit. Deposit ini terletak di bawah lampung dan
termasuk swamp bauxite dengan tekstur pisolitik dan oolitik yang masih terlihat jelas serta
berada di daerah lembah. Di bagia atas deposit, kaolinit terus berkembang, dapat
memotong secara mendatar atau menggantikan matriks yang tebal dari tekstur pisolitik. di
beberapa tempat, lapisan lignnit yang mendatangkan lempung dapat pula memotong
badan bijih bauksit sehingga bauksit tersebut menjadi alas dari lapisan lignit ini.

3. Deposit bauksit alluvial pada perlapisan

Dapat berupa Perlapisan silang siur, dipisahkan dengan gravel yang bertekstur pisolitik.
Bauksit tipe ini halus dan tertutup oleh alur runtuhan dari tipe deposit bauksit koluvial.

4. Deposit bauksit alluvial pada konglomerat kasar

Jenis Bauksit berdasarkan kompisisi mineral yang terkandung didalamnya:

o Protobauxite – tanah laterit (dominan gibbsite & goethite pada iklim lembab) -
Indonesia

o Orthobauxite – dominan gibbsitic (3 profiles = ferrigeneous, bauxite zone, clay zone) -


Australia

o Cryptobauxite – dominasi kaolin yang mengapit profile bauxite (Tidak Ekonomis) -


Brazil

o Metabauxite – bauksit laterit dengan kadar SiO₂ rendah, rendah Fe dan tinggi Al,
dataran tinggi tropis.

Gambar 2. Diagram komposisi mineral dari orthobauxite, Australia

Gambar 3. Diagram komposisi mineral dari cryptobauxite, Brazil

BAGIAN 2
GENESA BAUKSIT
Secara umum, genesa bauksit dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
o Genesa primer – pada tahap magmatic dan hydrothermal

o Genesa sekunder – laterisasi (pengayaan dan metamorphose),

Genesa sekunder merupakan genesa yang paling dominan di dunia, terutama di negara
beriklim tropis hingga subtropis. Berikut adalah penjelasan dari genesa sekunder endapan
bauksit:

1. Endapan bauksit laterit terbentuk di daerah tropis dan subtropis pada daerah
perbukitan yang relatif landai, yang memungkinkan terjadinya pelapukan yang sangat
kuat.

2. Bauksit dapat terbentuk dari batuan–batuan yang mempunyai kadar aluminium relatif
tinggi, kadar Fe rendah dan sedikit mengandung kadar kuarsa (SiO₂) bebas.

3. Batuan yang memenuhi persyaratan itu diantaranya ialah basal, syenit, nefelin,
hornfels yang berasal dari batuan beku, batuan lempung atau serpih (clay atau shale).

4. Batuan – batuan di atas akan mengalami laterisasi, pelindian silica dan pengayaan Al
secara kuat.

5. Temperatur tahunan +- 22°C dan curah hujan tahuan > 1.200 mm.

6. Batuan-batuan asal akan mengalami proses laterisasi, yaitu proses yang terjadi karena
pergantian temperatur sehingga batuan mengalami pelapukan dan terpecah-pecah. Pada
musim hujan, air memasuki rekahan-rekahan dan menghanyutkan unsur-unsur yang
mudah larut, sementara unsur-unsur yang sukar larut tertinggal di batuan induk.
Kelembapan menjadi faktor penting juga.

7. Selanjutnya unsur-unsur yang mudah larut seperti Na, K, Mg, dan Ca dihanyutkan oleh
air, residu yang ditinggalkan (laterit) menjadi kaya dengan hidro oksida aluminium
(Al(OH)₃) yang kemudian oleh proses dehidrasi akan mengeras menjadi bauksit.

8. Relief terlalu landai mengakibatkan laju infiltrasi rendah, sehingga laterisasi kurang
intens, relief berbukit (maksimal 200m) sangat mendukung adanya vertical infiltration.

Di bawah ini beberapa faktor yang menjadi kontrol pembentukan endapan bauksit laterit,
diantaranya:

a. Litologi Bedrock

o Bauksit dapat terbentuk dari berbagai macam batuan primer.

o Kandungan Al awal pada batuan induk:

30-35 % untuk batuan sedimen kaolinit.


10-15% untuk granit dan basal.
Batuan dengan kandungan Al kurang dari 15% dapat membentuk bauksit.

o Proses pengayaan Al terutama dikontrol oleh rasio Al, Si dan kecepatan pelapukan.

o Kandungan rendah Fe juga merupakan faktor penting, dimana Fe yang tinggi dapat
membentuk formasi laterit ferruginous.

b. Geomorfologi
o Seting geomorfologi merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam bentang laterit yang
luas sebagai hasil dari pelapukan dan erosi yang terus menerus.

o Bauksit laterit pada masa lampau terbentuk pada permukaan datar dan ditemukan
sebagai bagian dari dataran tinggi pada masa kini.

o Dataran tinggi bauksit merupakan sisa dari permukaan datar pada masa lampau yang
memiliki kemiringan 1° - 5°, sehingga secara regional paleo-surface yang sama mungkin
terjadi pada ketinggian yang berbeda.

c. Kondisi iklim dan paleo-climate

o Bauksitisasi adalah proses laterisasi yang ekstrem, dimana terjadi pelindian silika dan
pengayaan Al secara kuat.

o Paragenesis mineralogi dari bagian atas profil pelapukan dikontrol oleh kelembaban
atmosfer dalam jangka waktu yang lama.

o Bauksitisasi terjadi pada kondisi temperatur ± 22ºC, curah hujan rata-rata 1.200 mm
(Bardossy dan Aleva, 1990).

o Jika terjadi musim kering yang lama, maka orthobauxite tidak akan terbentuk dimana
yang akan terbentuk yaitu alumino-ferruginous duricrust (Tardy, 1997).

Berikut adalah profil melintang dari endapan bauksit laterit dan juga contoh profil bauksit
laterit di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Gambar 4. Profil melintang endapan bauksit laterit (Bardossy dan Aleva, 1990)

Deskripsinya dari setiap litologi pada profil tersebut adalah:

o Soil

Terbentuk pada horizon yang paling teratas, berasal dari pelapukan mekanik dan kimia,
terdapat sisa-sisa tumbuhan dan humus. Warnanya tergantung pada horizon yang lapuk,
berwarna kehitaman berupa humus atau oksida besi, merupakan hasil pencucian oleh air
hujan dan air permukaan.

o Duricrust

Horizon atas dan merupakan zona akumulasi profil utama bauksit. Horizon paling keras
karena merupakan rekristalisasi mineral besi, berwarna gelap, bervariasi mulai dari
merah bata, merah kecoklatan sampai biru kehitaman.

o Bauksit

Horizon paling bawah dari akumulasi profil utama bauksit, dibedakan dengan duricrust
karena akumulasi besi dan kekerasan lebih rendah. Horizon bisa homogen atau terdiri
beberapa zona horisontal dengan struktur, tekstur, komposisi atau warna yang berbeda.
Tekstur heterolithic mendominasi, dengan nodul bauksit atau tekstur bouldery. Warna
horizon bauksit sangat bervariasi dari hampir putih, merah muda, kekuningan dan orange,
coklat kemerahan sampai coklat, ungu, kuning kehijauan, hijau kekuningan, abu-abu dan
hitam.
o Saprolit

Terdiri dari pelapukan silikat batuan induk, terutama kaolinit (dimana batuan induk bukan
batuan ultrabasa dan batuan ultramafik) dan mineral seperti kuarsa, rutil, zirkon, dll yang
sangat tahan pelapukan dalam lingkungan saprolit. Mineral yang kurang terubah seperti,
ilit, nontronite, monmorilonit terdapat di bawah horizon. Saprolit biasanya ditandai
dengan warna lebih cerah dibandingkan bauksit seperti warna keputihan, merah muda,
cokelat, orange dan kemerahan.

o Batuan Induk

Profil pelapukan berasal dari batu ini, komposisi batuan sangat berpengaruh pada profil
pelapukan. Komposisi batuan induk tidak dapat diinterpretasi di lapangan karena
penyebaran dapat mencapai ketebalan lebih dari 100 meter.

Gambar 5. Profil bauksit laterit di Pulau Bintan, Riau

BAGIAN 3
KETERDAPATAN BAUKSIT DI INDONESIA

Keterdapatan bauksit di Indonesia dominannya di Pulau Bintan, Ketapang, dan


Kotawaringin Timur. Hal ini dapat ditinjau dari fisiografi Pulau Kalimantan dan
Sumatera.

Berikut adalah faktor yang menjadikan pulau Bintan dan Ketapang sebagai mendala
metalogenik untuk bauksit laterit (Kotawaringin Timur sampai saat ini masih dalam tahap
eksplorasi) :

o Ketapang, Kalimantan Barat:

1. Bentang alam di Kalimantan barat Indonesia, di mana sejumlah besar bukit dengan
ketinggian 20-60 m (maksimum 200 m) (Rodenburg, 1984). Keterdapatan bauksit meliputi 
puncak dan lereng bukit, sedangkan sekitar rawa/dataran rendah dengan ketinggian 10-60
m terdapat kaolin.

2. Suhu rata-rata sekitar 26 – 27ºC , beriklim tropis dan curah hujan tahunan > 1.500 mm

3. Cebakan bauksit Kalimantan Barat terdapat pada jalur penyebaran busur laterit
(Laterite belt) yang membujur dengan arah barat laut-tenggara dari Kota Kabupaten
Ketapang, Sanggau, Landak, Kubu Raya, Pontianak, Bengkayang sampai Kota
Singkawang. Secara geologi endapan bauksit terjadi karena proses pelapukan (residual
concentration) dari batuan yang kaya akan mineral feldspar atau mineral alumina silikat
lainnya. Adapun batuan tersebut antara lain: Granit, Granodiorit, Syenit, Dasit, Andesit,
Trakhit, Monzonit, Riolit dan “Tuff” Riodasit.

Gambar 6. Sabuk laterit Kalimantan Barat

Gambar 7. Profil bukit Tayan, Kalimantan Barat


o Pulau Bintan, Kepualaun Riau

1. Stratigrafi  Pulau  Bintan  dan  sekitarnya berdasarkan penyelidikan di Pulau Bintan,


Malaysia dan Kalimantan Barat menunjukkan Formasi-Formasi batuan yang saling
berhubungan (Lahar, Aswan, Bagdja, 2003).

2. Beriklim tropis dengan curah hujan 1800 - 3800 mm/tahun. Suhu udara rata-rata 24º C
- 34º C.

3. Satuan perbukitan bergelombang dengan relief rendah dicirikan dengan bentuk-bentuk


bukit bulat bergelombang dengan kemiringan lereng < 100 dan ketinggian < 50 m, satuan
daratan merupakan bentuk permukaan yang relatif datar. Daerah penambangan pada
umumnya memiliki kemiringan antara 5º – 15º.

4. Sungai-sungai yang terdapat di Pulau Bintan digolongkan dalam stadium tua :


morfologi perbukitan bergelombang dengan relief rendah, aliran sungai laminer, tidak
ditemukan jeram, warna air sungai yang jernih yang menandakan kegiatan erosi tidak
aktif lagi.

5. Bauksit yang terdapat di Pulau Bintan dan pulau-pulau sekitamya menurut R. W. Van
Bemellen berasal dari batuan hornfelsyaitu sejenis batuan yang berwarna hitam afanitik,
dimana batuan ini terbreksikan.

6. (NIBEM) - 1935 membuat sumur uji di sungai Kolak dengan kedalaman total 54 meter,
dimana endapan bauksit ditemukan pada kedalaman 0 – 7 meter (kondisi Al dan konkresi
Fe dengan Schistlempung (clay schit).

7. Tersebar membentuk punggungan-punggungan landai, proses pelapukan terus


berlanjut, secara morfologi merupakan wilayah dataran yang bergelombang.

8. Wilayah yang mempunyai sebaran cukup luas terdapat di daerah Desa Gunung
Lengkuas, Busung, Toapaya dan Ekang Anculai, serta di wilayah pulau-pulau yang
termasuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Timur. Berdasarkan hasil kajian data
lapangan potensi bauksit seluruhnya di wilayah penyelidikan mempunyai luas sebaran
sekitar 10.450 ha dengan jumlah sumber daya tereka sebesar 209 juta m³ (Rohmana,
Djunaedi, Pohan, 2007).

BAGIAN 4
PENGUSAHAAN DAN PENAMBANGAN BAUKSIT DI INDONESIA

Gambar 8. Alir Kegiatan Eksplorasi

Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang mempunyai resiko negatif
tinggi (kerugian). Dalam usaha pemanfaatan sumberdaya mineral/bahan galian untuk
kesejahteraan masyarakat dan pengembangan suatu daerah, diperlukan suatu usaha 
pertambangan. Agar usaha pertambangan tersebut dapat berjalan dan memperoleh
keuntungan, maka potensi dan resiko sumberdaya mineral/bahan galian yang ada harus
diketahui dengan pasti . Resiko-resiko yang dimaksud seperti resiko geologi, resiko
ekonomi-teknologi-politik, dan resiko lingkungan harus diminimalisasi.

Kegiatan eksplorasi adalah suatu kegiatan penting yang harus dilakukan sebelum usaha
pertambangan dilaksanakan. Hasil dari kegiatan eksplorasi tersebut harus dapat
memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenal sumberdaya mineral/bahan
galian maupun kondisi-kondisi geologi yang ada, agar studi kelayakan untuk pembukaan
usaha pertambangan yang dimaksud dapat dilakukan dengan teliti dan benar (akurat).
Selain itu juga, kegiatan eksplorasi bertujuan untuk mengurangi resiko dalam rantai
kegiatan pertambangan.

Secara umum, dalam industri pertambangan kegiatan eksplorasi ditujukan sebagai berikut
(Notosiswoyo et al., 2010) :

1. Mencari dan menemukan cadangan bahan galian baru.

2. Mengendalikan (menambah) pengembalian investasi yang ditanam, sehingga pada suatu


saat dapat memberikan keuntungan yang ekonomis (layak).

3. Mengendalikan (penambahan/pengurangan) jumlah cadangan yang merupakan dasar


dari aktivitas penambangan.

4. Mengendalikan atau memenuhi kebutuhan pasar atau industri.

5. Diversifikasi sumberdaya alam.

6. Mengontrol sumber-sumber bahan baku sehingga dapat berkompetisi dalam persaingan


pasar.

Setiap tahapan/proses eksplorasi harus dapat memenuhi strategi pengelolaan suatu


proyek/pekerjaan eksplorasi, antara lain:

a. Memperkecil resiko kerugian,

b. Memungkinkan penghentian kegiatan sebelum meningkat pada tahapan selanjutnya jika


dinilai hasil yang diperoleh tidak menguntungkan,

c. Setiap tahapan dapat melokalisir (menambah/mengurangi) daerah target sehingga


probabilitas memperoleh keuntungan lebih besar, dan

d. Memungkinkan penganggaran biaya eksplorasi per setiap tahapan untuk membantu


dalam pengambilan keputusan.

Kegiatan eksplorasi dimulai dari pengumpulan data sekunder yang meliputi pengumpulan
data dan informasi berkaitan dengan materi kegiatan yang akan dilakukan. Data sekunder
yang berhubungan dengan kegiatan ini antara lain kondisi geografis, demografi, tata guna
lahan, kondisi geologi, mineralisasi, potensi bahan galian dan sejarah kegiatan
pertambangan yang ada di lokasi kegiatan. Selain itu dilakukan pula perencanaan
kegiatan lapangan yang meliputi rencana pengambilan jenis-jenis conto dan lokasi-lokasi
yang akan diinventarisasi di lapangan. Beberapa sumber yang dapat dijadikan sebagai
data sekunder adalah hasil-hasil penyelidikan terdahulu yang bersifat inventarisasi,
penelitian dan pengawasan, baik berupa hardcopy maupun digital yang berasal dari
instansi-instansi pemerintah seperti hasil kegiatan Pusat Sumber Daya Geologi, Pusat
Survey Geologi dan dari berbagai situs di internet yang berkaitan dengan materi kegiatan.

Secara garis besar metoda yang digunakan pada kegiatan eksplorasi ini dapat dibagi
dalam tahapan:

1. Pengumpulan data sekunder yang terkait,


2. Pemetaan lapangan,

3. Pemetaan geofisika udara (Gravity Method) *

4. Pemetaan geofisika darat (Gravity Method) ** dan geokimia,

5. Pengambilan conto bauksit, batuan, pasir, tanah dengan paritan dan sumur uji,

6. Pengikatan titik koordinat pemercontoan, menggunakan GPS dan juga Total Station
(TS),

7. Pemboran inti.

BAGIAN 4A
PENAMBANGAN BAUKSIT

Sampai saat ini penambangan bauksit di Pulau Bintan, Kep. Riau merupakan satu satunya
yang terbesar di Indonesia. Dimana seluruh kegiatan penambangan bauksit di Indonesia
dengan menggunakan metode penambangan yang sama yaitu, tambang terbuka (surface
mining), hal ini dikarenakan jenis bijih bauksit yang ada di Indonesia merupakan jenis
lateritik yaitu, berupa endapan-endapan konkresi dengan over burden yang tidak terlalu
dalam pengupasannya. Namun demikian endapan bauksit di setiap lokasi mempunyai
kadar yang berbeda-beda, sehingga penambangannya dilakukan secara selektif serta
pencampuran (blending) yang berbeda sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kadar
bijih, sedangkan bentuk tambang dapat melingkari bukit atau undakan, hal tersebut
tergantung dari letak endapan bijih.

Berikut ini adalah proses penambangan bauksit;


1. Pengupasan tanah pucuk (land clearing)

Mula-mula dengan menyingkirkan tumbuh-tumbuhan penutup, disusul dengan pengupasan


lapisan tanah penutup setebal 20-100 cm oleh bulldozer atau scraper, proses pengupasan
tanah penutup dilakukan untuk menghilangkan material yang menutupi endapan bauksit
dengan kadar yang lebih tinggi untuk menghilangkan dan mengurangi pengotor pada saat
pencucian serta, mengkonservasi tanah pucuk agar tetap terjaga kualitasnya pada saat
akan digunakan dalam kegiatan revegetasi.

2. Penggalian dan Pemuatan (Excavation and Loading)

Lapisan bijih bauksit yang mempunyai ketebalan 2-5 m kemudian digali dengan backhoe,
shovel atau bucket wheel excavator, sekaligus memuatnya kedalam dump truck. Material
hasil pembongkaran tersebar di lantai jenjang dan dikumpulkan dengan alat wheel loader
agar dapat dimuat. Dalam pemilihan alat muat yang digunakan harus sesuai dengan
beberapa faktor diantaranya :

o Kapasitas alat angkut


o Besar produksi yang diiginkan
o Keadaan lapangan
o Jenis material atau batuan
o Keterampilan Operator
o Iklim atau cuaca

3. Pengangkutan (Hauling)
Selanjutnya diangkut ketempat pencucian guna menghilangkan tanah dan lumpur.
Operator pengangkutan material produktivitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu;

o Kondisi jalan
o Jarak angkut
o Digging Resistance
o Waktu Edar alat angkut
o Waktu Kerja efektif pengangkutan
o Produksi alat angkut
o Jumlah alat angkut

Setelah dicuci (desliming) yang berfungsi memisahkan bijih bauksit dari unsur lain seperti
pasir dan lempung pengotor, maka dilakukan proses penyaringan (screening). Bersamaan
dengan itu dilakukan pemecahan (size reduction) dari butiran-butiran yang berukuran
lebih dari 3 inchi dengan jaw cruscher yang kemudian dimuat kembali ke dalam dump
truck untuk diangkut ke kapal guna pemasaran atau dibawa ke pabrik pengolahan bijih
bauksit ke alumina.

Gambar 9. Kegiatan penambangan bijih bauksit

BAGIAN 4B
PENGOLAHAN BIJIH BAUKSIT MENJADI ALUMINA

Umumnya pengolahan bijih bauksit menjadi alumina menggunakan proses Bayer, sesuai
dengan nama penemunya, Karl Bayer. Jenis bauksit terhidrat diolah dengan proses Bayer
Amerika yang menggunakan suhu rendah (140° - 170° C), sedangkan jenis monohidrat
diolah dengan proses Bayer Eropa yang menggunakan suhu tinggi (200° - 240° C).
Seluruh proses dilakukan dalam tangki yang disebut pencerna (digester). Larutan natrium-
aluminat yang tebentuk kemudian dipisahkan dari bagian yang tidak larut (disebut juga
red mud). Red mud dibuang sebagai bahan buangan (tailing/waste), yang terdiri dari
oksida besi, silika dan natrium-alumunium-silika(Al₂O₃Na₂SiO₂) terbentuk karena silika 
yang berasal dari kaolinit bereaksi dengan natrium aluminat.

Selanjutnya larutan NaAlO₂ didinginkan pada suhu 25°-35°C dan diencerkan dengan air,
sehingga terjadi pengendapan Al(OH)₃ yang kemudian dikentalkan dan dicuci, lalu
dimasukkan ke tangki kalsinasi (calcining kiln) untuk dipanaskan pada suhu suhu 1200°C.
Hasilnya berupa Al₂O₃ (alumina) murni.

Gambar 10. Proses pengolahan bijih bauksit ke alumina

BAGIAN 4C
PENGOLAHAN ALUMINA MENJADI ALUMUNIUM

Proses pembuatan logam Al yang lazim digunakan pada waktu ini, adalah proses
elektrolisa atau reduksi elektrolit dengan metode Hall & Heroult. Proses terjadi di dalam
suatu bak (kontainer) terbuat dari baja dan dilapisi batu tahan api. Lapisan batu tahan api
masih dibungkus lagi dengan lapisan karbon (C) yang berfungsi sebagai katoda. Bak
kontainer telah berisi cairan kriolit (Na₂AlF₆) berfungsi sebagai elektrolit yang kemudian
di dalam cairan kriolit dicelupkan anoda-anoda (elektroda) terbuat dari karbon. Panas
yang timbul diusahakan tetap 990°C, agar bahan yang dimasukkan dapat mencair.

Alumina yang berupa bubuk dituangkan dari corong (hopper), sesudah bercampur dengan
cairan panas di bawahnya alumina akan terurai. Logam Al akan mengendap pada lapisan
karbon, karena beratnya terkumpul dibagian bawah cairan. Setiap dua (2) atau tiga (3)
hari, logam Al yang terkumpul dikeluarkan melalui lubang tap untuk dituang menjadi
balokan, butiran (billets) dll. Untuk pembuatan 1 ton Al dibutuhkan 1,88 ton alumina dan
14.000-15.000 KWH energi.

Gambar 11. Diagram alir dan proses pengolahan alumina menjadi aluminium

BAGIAN 5
PEMASARAN

Struktur industri aluminium nasional terputus karena bauksit sebagai bahan baku utama
100 % diekspor ke luar negeri. Setelah menjadi alumina, industri nasional mengimpornya
100 % untuk diolah menjadi aluminium ingot. Hingga saat ini, PT Indonesia Asahan
Aluminium (Inalum), yang merupakan satu-satunya produsen ingot nasional mendapatkan
pasokan alumina 100 % dari impor. Berdasarkan data Inalum, total kebutuhan aluminium
nasional diestimasikan sebesar 500 ribu ton per tahun. Sedangkan Inalum hanya mampu
mensuplai aluminium ingot untuk pasar domestik sebesar 100 ribu ton per tahun.
Berdasarkan data dari Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) jumlah produksi bauksit
Indonesia dari Tahun 1996 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel 1. Jumlah produksi bijih bauksit Indonesia

                                                                                                            

Gambar 12. Diagram batang jumlah produksi vs ekspor bijih bauksit Indonesia

Sepanjang tahun 2008 hingga 2012 telah terjadi peningkatan penjualan bijih bauksit,
penjualan ekspor bijih bauksit meningkat hingga lima kali lipat dengan volume ekspor
mencapai titik tertinggi di tahun 2011 yaitu sebesar 40,6 juta ton dan volume impor dari
periode 2003 – 2012 hanya 537,1 ribu ton.

Tabel 2. Harga bauksit dunia (Sumber: USGS, 2012)

Gambar 13. Kurva harga bauksit dunia

Dalam industri pengolahan bauksit menjadi alumina ada dua jenis, yakni chemical grade
alumina yang produk hilirnya merupakan industri kimia, seperti kosmetik dan jenis lainnya
adalah smelter grade alumina, yang produk hilirnya adalah industri aluminium.
Aluminium dan aloinya telah digunakan dalam berbagai hal. Banyak diantaranya
memanfaatkan kerapatan aluminium yang rendah, suatu keunggulan dibanding besi atau
baja jika diinginkan materi yang lebih ringan seperti untuk industri transportasi, yang
menggunakan aluminium untuk kendaraan mulai dari mobil sampai satelit. Konduktivitas
listrik aluminium yang tinggi dan kerapatannya yang rendah membuatnya sangat berguna
untuk digunakan dalam kabel transmisi listrik.

Walau konduktivitas listriknya hanya 60% dari tembaga, tetapi ia digunakan sebagai
bahan transmisi dikarenakan ringan. Aluminium murni sangat lunak dan tidak kuat. Tetapi
dapat dicampur dengan tembaga, magnesium, silikon, mangan, dan unsur-unsur lainnya
untuk membentuk sifat-sifat yang menguntungkan. Campuran logam ini penting
kegunaannya dalam konstruksi pesawat moderen dan roket. Logam ini jika diuapkan di
vakum membentuk lapisan yang memiliki reflektivitas tinggi untuk cahaya yang tampak
dan radiasi panas. Lapisan ini menjaga logam dibawahnya dari proses oksidasi sehingga
tidak menurunkan nilai logam yang dilapisi.

Tabel 3. Harga alumina dunia (Sumber: USGS, 2012)

Gambar 14. Kurva harga alumina dunia

Tabel 4. Harga aluminium dunia (Sumber: USGS, 2012)

Gambar 15. Kurva harga aluminium dunia (Sumber: USGS, 2012)

Tabel 5. Perbandingan nilai komoditi (Sumber: USGS, 2012)

Gambar 16. Diagram perbandingan nilai komoditi (Sumber: USGS, 2012)

Anda mungkin juga menyukai