KASUS I
KONSELING KEPADA PASIEN GERIATRI
Disusun Oleh :
Kelompok 4
Retno Ayu Wulandari I1C018026
Viska Berlian I1C018028
Yogi Trisdianto I1C018030
Annisa Auliya Rahmah I1C018034
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021
I. Judul
Konseling pada Geriatri
II. Tujuan
Mahasiswa dapat memberikan konseling kepada pasien geriatri.
Mahasiswa dapat memberikan informasi yang sesuai dengan kondisi dan masalah
pasien
Mahasiswa dapat memberikan saran terapi kepada pasien dengan baik dan benar
berdasarkan keluhan dan kondisi yang dialami pasien
Mahasiswa dapat meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan
Mahasiswa dapat meminimalkan resiko efek samping obat pada pasien
V. Pembahasan
Roleplay dimulai dengan kunjungan pasien ke apotek, kemudian apoteker
mempersilahkan duduk. Setelah itu apoteker memperkenalkan diri dan menanyakan
identitas pasien, dan ketersediaan pasien untuk melakukan konseling. Kemudian
apoteker menanyakan keluhan yang dialami pasien. Namun pasien mengalami
kesulitan bicara karena mengalami sariawan sehingga yang menjelaskan keluhan
pasien adalah cucunya. Selain itu apoteker juga menanyakan penyebab sariawan,
riwayat pengobatan yang telah dipakai, serta melihat kondisi sariawan pasien.
Kemudian apoteker menawarkan beberapa pilihan obat sariawan dan menjelaskan
perbedaan dari beberapa obat tersebut serta menjelaskan aturan pakai, efek samping,
dan harganya. Setelah itu, pasien melihat dan memilih obat sariawan yaitu obat kumur.
dan ditambahkan vitamin C. Kemudian pasien menanyakan kembali tentang cara pakai
obat tersebut dan apoteker menjelaskannya. Setelah pasien mengerti dan pamit pulang.
Apoteker mengucapkan terimakasih.
Apoteker memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum membuka pembicaraan
sehingga dapat meningkatkn kepercayaan pasien kemudian dilanjutkan dengan
menanyakan kepentingan pasien mendatangi apotek. Tetapi kurang senyum dan wajah
yang kurang bersahabat ditunjukkan oleh apoteker saat role play, hal ini dikarena masih
terdapat rasa gugup, kemampuan non verbal tersebut penting bagi apoteker dalam
menghadapi pasien selama konseling. Apoteker juga menanyakan identitas pasien.
Identitas pasien sangat penting diketahui oleh apoteker karena pasien akan merasa lebih
dihargai (Depkes RI, 2006). Penggalian identitas dapat dilakukan lebih dalam untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan namun penggunaan kata yang tepat harus
diperhatikan karena dapat menyinggung atau membuat pasien merasa tidak nyaman.
Kesediaan pasien untuk untuk mengikuti sesi konseling juga harus ditannyakan pada
tahap ini dengan menjelaskan tujuan dan berapa lama waktu konseling akan
berlangsung. Privasi pasien yang akan terjaga juga seharusnya disampaikan sehingga
pasien akan lebih leluasa dalam menyampaikan keluhan yang dirasakan. Jika pasien
merasa keberatan dengan lamanya waktu konseling, apoteker dapat bertanya alternatif
waktu/hari lain untuk melakukan konseling efektif (Depkes RI, 2006). Selama sesi
konseling, kenyamanan pasien harus diperhatiakn. Jika pasien terlihat tidak nyaman,
dapat berpindah ke tempat yang lebih nyaman.
Tahap selanjutnya adalah diskusi untuk mengumpulkan informasi dan
identifikasi masalah. Apoteker sudah menunjukkan sikap empati dengan kontak mata
yang berusaha dijaga dan gestur yang membuat pasien nyaman. Namun, gerakan non
verbal yng berlebihan kadang akan mempengaruhi perasaan dan kenyamanan pasien
(Depkes RI, 2006). Pada sesi penggalian informasi ini apoteker menggali keluhan dan
penyebab dari sariawan yang diderita pasien serta riwayat penyakit dan alergi.
Informasi tersebut mempengaruhi pemilihan obat yang akan diterima pasien. Obat
yang diterima pasien swamedikasi hanya obat yang ada pada golongan Obat Bebas,
Obat Bebas Terbatas, dan Obat Wajib Apotek (Tumiwa et al., 2014). Pemberian obat
swamedikasi harus dengan beberapa alternatif. Apoteker tidak boleh mengarahkan
pasien untuk memilih suatu jenis obat tertentu, hanya boleh menjelaskan spesifikasi
masing-masing obat. Saat role play, apoteker sudah menyampaikan spesifikasi obat
dengan cukup lengkap tanpa mengarahkan pasien untuk memilih obat teretentu.
Apoteker juga telah memberikan edukasi bahwa efek samping yang ada pada obat tidak
selalu muncul pada setiap orang. Efek samping pengobatan yang mungkin muncul
seperti mual atau ketidaknyamanan perut untuk disampaikan kepada pasien, sehingga
pasien dapat melakukan tindakan pencegahan (IAI, 2019). Setelah semua aspek
mengenai pengobatan seperti aturan pakai, khasita, dan efek samping telah
disampaikan, penting bagi apoteker untuk memastikan pasien memamahaminya. Hal
tersebut dapat dipastikan dengan mempersilahkan pasien untuk menlakukan
pengulangan resep dan pengobatan. Apoteker dapat menambahkan atau mengoreksi
pemahaman pasien sehingga efek terapi tercapai.
Feedback yang diberikan dari praktikan lain salah satunya yaitu berkaitan
dengan ekspresi apoteker. Apoteker harus menunjukkan sikap empati dengan kontak
mata yang berusaha dijaga dan gesture yang membuat pasien nyaman. Namun selama
konseling, apoteker kurang terenyum. Hal ini mungkin dapat menganggu kenyamanan
pasien dan suasana saat konseling terkesan tegang sehingga akan mempengaruhi mood
pasien. Kemudian di akhir sesi konseling, apoteker tidak meberikan kartu kontak.
Pemberian kartu kontak apoteker dapat mempermudah pasien apabila terdapat sesuatu
yang ingin ditanyakan atau hal lain yang mungkin dibutuhkan oleh pasien. Selanjutnya,
pada roleplay kelompok kami, yang berperan sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian
hanya muncul di akhir sesi dalam proses pembayaran obat. Seharusnya, Tenaga Teknis
Kefarmasian juga muncul di awal sesi untuk menanyakan identitas, keluhan, keperluan
dan kesediaan pasien untuk melakukan konseling. Selain itu, dalam roleplay kelompok
kami, tidak ada yang berperan sebagai kerabat atau keluarga pasien. Padahal pada kasus
ini pasien mengalami kesulitan dalam berbicara dikarenakan sariawannya. Lebih baik,
yang berperan sebagai narator diganti menjadi kerabat atau keluarga pasien untuk
membantu dalam proses konseling.
Feedback yang diberika dosen yaitu terkait dengan efektivitas obat
swamedikasi yang dipilih oleh apoteker untuk pasien. Apoteker memberi dua pilihan
obat alternatif dan satu obat tambahan, yaitu anatara efisol tablet dan efisol liquid,
dengan tambahan vitamin C. kemudian pada saat roleplay apoteker menyarankan
menggunakan obat efisol liquid dan vitamin C. Efisol liquid mengandung Dequalinum
dan Thymol. Sedangkan kandungan dari efisol tablet adalah Dequalinium dan Asam
askorbat (vitamin C). Sebelumnya kelompok kami berasumsi bahwa efisol liquid
memiliki efektivitas yang lebih cepat dibandingkan dengan efisol tablet, karena efisol
liquid bekerja secara lokal dimulut sedangkan efisol tablet melalui rute peroral dan
akan mengalami first pass metabolism. Maka dari itu kami memilih untuk
menyarankan efisol liquid dan ditambah vitamin C. Padahal jika kita menyarankan
efisol tablet, pasien hanya perlu mengkonsumsi 1 obat saja, karena didalamnya sudah
mengandung vitamin C, sehingga lebih praktis dan dapat meningkatkan kepatuhan
pasien. Seharusnya yang apoteker sarankan lebih baik efisol tablet saja, karena selain
tidak mengalami first pass metabolism, obat ini juga bekeja secara lokal di rongga
mulut (Parfati & Rani, 2018)
VI. Kesimpulan
Secara keseluruhan Apoteker telah melakukan konseling dengan baik kepada
pasien serta pemberian informasi terkait obat dan penyakit juga sudah lengkap
disampaikan, seperti penyebab sariawan dan cara pencegahannya, indikasi obat, cara
pemakaian, cara penyimpanan, dosis, efek samping, interaksi obat, hal-hal yang perlu
diperhatikan terkait obat serta tambahan terapi non-farmakologis yang perlu dilakukan
oleh pasien. Akan tetapi apoteker perlu meningkatkan upaya untuk memperbaiki teknis
atau cara melakukan konselingnya seperti lebih ramah dan tersenyum kepada pasien,
menanyakan pertanyaan secara runtut, memberikan kontak apoteker kepada pasien,
serta dapat juga melakukan basa-basi ringan kepada pasien supaya pasien dapat
nyaman, dan terbuka kepada apoteker saat melakukan konseling.
Daftar Pustaka
Arfania, Maya., Gita Mayasari. 2018. Polifarmasi dan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien
Geriatri dengan Penyakit Kronis, Pharmed, 1 (2) : 1-4.
Depkes RI. 2006. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Drugs.com. 2021. Ascorbid Acid Uses, Side Effect, and Warning.
https://www.drugs.com/mtm/ascorbic-acid.html (diakses pada tanggal 13 Maret 2021).
IAI. 2019. Informasi Spesialite Obat. Isfi penerbit : Jakarta.
Kemenkes RI. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
Muchid, A., Wurjat R., Chusun, Mulyaningsih R. 2007. Pharmaceutical Care. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Departemen
Kesehatan Rebulik Indonesia : Jakarta.
Parfati, N., & Rani, K. C. 2018. Buku Ajar Sediaan Tablet Orodispersibel. Fakultas Farmasi
Universitas Surabaya : Surabaya.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Leskonfi : Depok.
Sandy, P. M., & Fira B. I. 2018. Perkembangan Obat Sariawan dan Terapi Alternatifnya. Majalah
Farmasetika, 3 (5) : 98-101.
Sudrajat, A & Ningsih, A. 2017. Wikipedia Apoteker. Guepedia : Jakarta.
Tumiwa, N. N. G., Yamlean, P. V. Y., dan Citraningtyas, G. 2014. Pelayanan Informasi Obat
terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi, 3 (3) : 31-43.