Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM KONSELING FARMASI

KASUS I
KONSELING KEPADA PASIEN GERIATRI

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Retno Ayu Wulandari I1C018026
Viska Berlian I1C018028
Yogi Trisdianto I1C018030
Annisa Auliya Rahmah I1C018034

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2021
I. Judul
Konseling pada Geriatri

II. Tujuan
 Mahasiswa dapat memberikan konseling kepada pasien geriatri.
 Mahasiswa dapat memberikan informasi yang sesuai dengan kondisi dan masalah
pasien
 Mahasiswa dapat memberikan saran terapi kepada pasien dengan baik dan benar
berdasarkan keluhan dan kondisi yang dialami pasien
 Mahasiswa dapat meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan
 Mahasiswa dapat meminimalkan resiko efek samping obat pada pasien

III. Identifikasi dan Perumusan Masalah


A. Identifikasi
Konseling obat dalam PMK No. 73 tahun 2016 Konseling merupakan proses
interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam
penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali
konseling, Apoteker menggunakan three prime questions.
Three Prime Questions, yaitu:
 Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda
menerima terapi Obat tersebut?
Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode
Health Belief Model. Setelah itu, apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien
atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan (Kemenkes RI, 2016).
Pelayanan informasi obat berupa konseling yang ditujukan untuk meningkatkan hasil
terapi dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat (Tumiwa, et al.,
2014).
Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat
menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaanya, swamedikasi /pengobatan sendiri
dapat menjadi masalahterkait obat (Drug Related Problem) akibat terbatasnya
pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya (Nur Aini, 2017). Dasar hukum
swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993.
Menurut Pratiwi, et al. (2014), swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering
dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang
dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter.
Swamedikasi perlu dimonitoring seorang apoteker khususnya pada pasien
geriatri yang dikarenakan adanya penurunan fungsi organnya dan akumulasi penyakit-
penyakit degeneratif sehingga perlu informasi obat atau konseling dengan tujuan agar
mendapat pelayanan langsung dan menyeluruh kepada masyarakat sehingga keahlian
dan keilmuan apoteker dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam rangka peningkatan
derajat kesehatan masyarakat. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi pemilihan
obat yang tepat sesuai kondisi pasien (assessment), merencanakan pelayanan (care
plan), pencampuran obat (dispensing), monitoring dan evaluasi kemajuan hasil terapi
(follow-up evaluation of the patient) (Ahmad,2015)
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana cara melakukan konseling yang baik dan benar kepada pasien geriatri?
b. Bagaimana cara menggali dan mengidentifikasi permasalahan pasien?
c. Bagaimana menjelaskan kepada pasien terhadap pengobatan pasien?
d. Bagaimana cara memberikan alternatif pengobatan yang nyaman bagi pasien
geriatri?
e. Bagaimana menjelaskan kegunaan/ indikasi dan efek samping obat terhadap
pasien?
f. Bagaimana menjelaskan cara penggunaan dan penyimpanan obat kepada pasien?
g. Bagaimana cara menjelaskan kontraindikasi, interaksi obat, dan efek samping obat
kepada pasien?
h. Bagaimana terapi non farmakologis dan KIE sehubungan dengan pemakaian obat
dan penyakit pasien?
i. Bagaimana memastikan pasien mengerti apa yang disampaikan oleh apoteker?
IV. Pemecahan Masalah Sementara
a. Cara melakukan konseling yang baik dan benar kepada pasien geriatri antara lain:
- Mendorong pasien untuk bercerita mengenai keluhannya.
- Menanyakan mengenai kesibukannya.
- Memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pasien seperti cara penggunaan obat,
kontraindikasi dan sebagainya.
- Mengarahkan pada pokok permasalahan.
- Mendengarkan.
- Bersikap empati dan perhatian.
- Meyakinkan dan memecahkan masalah pasien
(Priyanto, 2009).
b. Cara menggali informasi pada pasien
Cara menggali informasi pada pasien yaitu apoteker harus memperkenalkan
dirinya kepada pasien mengawali konseling dengan menciptakan suasana yang nyaman
bagi pasien dengan menunjukkan rasa empati, Penggalian informasi oleh apoteker pada
saat melakukan pelayanan terutama terhadap pasien geriatri sangat diperlukan untuk
memastikan bahwa pilihan obat yang dipilih aman, tepat, dan efektif bagi pasien
geriatri. Penggalian informasi dapat dilakukan dengan membangun hubungan saling
percaya antara konselor dengan pasien terlebih dahulu. Hubungan saling percaya dapat
dibangun dengan cara memahami perasaan dan perilaku pasien. Ketika hubungan
saling percaya tersebut telah terbangun, maka penggalian informasi dapat dengan
mudah dilakukan dan pasien akan menyampaikan keluhan yang dirasakan secara
mendalam. Penggalian informasi dapat meliputi tempat timbulnya gejala penyakit,
kapan penyakit itu timbul dan apa pencetusnya, sudah berapa lama gejala penyakit
dirasakan, dan sebagainya (Sutdrajat dan Ningsih, 2017).
c. Cara menjelaskan pengobatan pasien kepada pasien
Cara menjelaskan kepada pasien mengenai pengobatan yang diperlukan yaitu
dengan memberikan informasi mengenai penggunaan obat yang benar agar
meminimalisir risiko terjadinya kesalahan pengobatan. Diantaranya informasi yang
perlu disampaikan oleh apoteker kepada pasien yaitu meliputi indikasi atau khasiat dari
obat yang direkomendasikan apakah sesuai atau tidak dengan kondisi dan keluhan yang
dialami pasien ; cara pemakaian obat yang harus disampaikan dengan jelas agar
menghindari kesalahan pemakaian obat, seperti apakah obat tersebut diminum secara
peroral atau cukup dioleskan saja pada bagian yang sakit ; kemudian dosis obat yang
digunakan sesuai yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian
yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki oleh apoteker ; waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas
kepada pasien, misalnya sebelum, sesudah, saat makan atau saat akan tidur.; lama
penggunaan harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat
secara berkepanjangan.; kontraindikasi yang akan terjadi ketika pasien mengkonsumsi
obat tersebut ; efek samping serta cara mengatasinya (jika ada dan diperlukan) agar
pasien tahu cara pengatasannya ; serta hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat
tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam
waktu bersamaan (Depkes RI, 2006).
d. Cara memberikan alternatif pengobatan yang nyaman bagi pasien geriatri
Dalam memberikan alternatif pengobatan yang efektif bagi pasien, harus
memperhatikan efikasi, tingkat kepatuhan dan kenyamanan bagi pasien. Oleh karena
itu kita sebagai apoteker perlu merekomendasikan obat yang memiliki peluang besar
dalam hal efikasi dan kepatuhan. Dimana untuk efikasinya obat yang diberikan
diusahakan seminimal mungkin namun tetap memberikan efek yang maksimal. Untuk
dalam hal kepatuhan contohnya seperti frekuensi pemberian obat karena jumlah obat
yang semakin banyak dapat menyebabkan penurunan kepatuhan pasien, selain itu
bisajuga berdasarkan bentuk sediaan dan cara pemakaian, karena semakin mudah obat
dikonsumsi kepatuhan pasien juga akan semakin meningkat (Arfania dan Mayasari,
2018).
Dalam kasus ini Apoteker memberikan alternatif pengobatan yaitu Efisol
Liquid (mengandung dequalinium klorida dan tymol) dan Vitamin-C. Efisol termasuk
obat bebas terbatas sedangkan Vitamin-c kedalam obat bebas. Sehingga dapat
diberikan kepada pasien sebagai swamedikasi (Muchid et al, 2007).
Pasien bapak Anton (65 tahun) mengeluhkan sariawan pada rongga mulut dan
merembet ke lidah sehingga mengganggu aktifitasnya. Pengobatan yang dipilih untuk
mengatasi sariawan adalah dengan pemberian dequalinium klorida yang berfungsi
sebagai antiseptik untuk membunuh bakteri penyebab infeksi mulut, thymol berfungsi
sebagai antimikroba untuk bakteri ataupun jamur, serta vitamin-C yang berfungsi untuk
antioksidan yang mampu mempercepat proses peradangan (Sandy & Fira,
2018). Faktor resiko pasien juga harus diperhatikan dalam pemilihan terapi alternatif.
Berdasarkan informasi yang diberikan pasien, pasien tidak memiliki riwayat penyakit
ataupun alergi terhadap obat. Sehingga pengobatan aman diberikan kepada pasien.
e. Cara menjelaskan kegunaan/ indikasi dan efek samping obat terhadap pasien
Pasien diberikan dua jenis obat, yaitu obat kumur Efisol dan vitamin c. Indikasi
dari efisol adalah untuk membantu mengatasi sariawan, bibir pecah-pecah, bau mulut
dan gangguan rongga mulut lainnya. Kandungan Dequalinium dalam Efisol bekerja
sebagai antiseptik yang membantu menghilangkan kuman bakteri di dalam mulut,
sehingga terhindar dari sariawan dan bau mulut (IAI, 2019). Sedangkan vitamin c
berfungsi untuk mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin c (Drugs.com, 2021).
Untuk efek samping Efisol tidak terlalu berat selama penggunaan masih mengikuti
aturan pakai dan dosis yang dianjurkan. Penggunaan Efisol mungkin bisa menimbulkan
iritasi di mulut dan beberapa rasa yang tidak nyaman di sekitar mulut. Efisol bisa
menimbulkan efek samping yang serius jika pasien tersebut memiliki hipersensitivitas,
yaitu berupa reaksi alergi. Reaksi alergi yang mungkin muncul seperti pusing, sakit
perut, mual, muntah, sesak napas, gatal, ruam, dan wajah bengkak (IAI, 2019). Dan
efek samping vitamin c jika dikonsumsi dalam takaran yang direkomendasikan sangat
jarang menyebabkan efek samping. Sebaliknya, jika dikonsumsi dalam dosis tinggi
atau dalam jangka panjang, vitamin c dapat menyebabkan sejumlah efek samping
seperti perut kembung, sakit perut dan diare (Drugs.com, 2021).
Apoteker dalam menjelaskan indikasi harus disertai alasan mengapa pasien
membutuhkan obat tersebut, sehingga dapat meningkatkan kepedulian pasien
(selfaware) terhadap dirinya sendiri dan meningkatkan kepatuhan pasien. Efek
samping yang disampaikan kepada pasien hanya efek samping yang memiliki tingkat
kemungkinan muncul paling besar (dengan melihat faktor resiko pasien) sehingga tidak
menimbulkan kepanikan.
f. Cara menjelaskan cara penggunaan dan cara penyimpanan obat kepada pasien
Untuk obat kumur, efisol digunakan 10-20 tetes kemudian dicampurkan ke
dalam segelas air, digunakan untuk berkumur sebanyak 2-4 kali sehari. Untuk
membantu mengatasi sariawan: oleskan Efisol tanpa diencerkan, oleskan dengan
Cotton bud (IAI, 2019). Untuk vitamin c digunakan 1 kali sehari 1 tablet (100 mg)
setelah makan (Drugs.com, 2021). Sedangkan untuk tempat penyimpanan, obat ini
harus disimpan pada suhu ruang 5 - 30⁰C. Oleh karena itu, tempat pemyimpanan obat
kumur dan vitamin ini harus di tempat yang kering dan tidak terkena sinar matahari
langsung, jika ada kotak obat disimpan dalam kotak obat (IAI, 2019 ; Kemenkes RI,
2020).
g. Cara menjelaskan kontraindikasi dan interaksi obat kepada pasien
Dequalinium dan tymol yang terkandung dalam Efisol serta vitamin c hanya
memiliki kotraindikasi hipersenitivitas, dan tidak memiliki interaksi khusus
(Drugs.com, 2021 ; IAI, 2019).
h. Terapi non farmakologis dan KIE sehubungan dengan pemakaian obat dan penyakit
pasien
Terapi non farmakologis yang dapat dilakukan untuk mengurangi rasa sakit, yaitu:
- Menggunakan pasta gigi yang lembut dan tidak mengandung bahan-bahan yang
memicu iritasi, seperti sodium laureth sulfate
- Mengonsumsi makanan yang lembut dan menghindari makanan yang terlalu keras,
pedas, asam, atau panas
- Menggunakan es batu untuk mengompres sariawan
- Mengonsumsi teh chamomile, akar licorice, atau Echinacea
- Mengonsumsi makanan yang mengandung banyak vitamin C, misalnya buah jeruk,
apel, tomat.
Komunikasi, edukasi, dan informasi (KIE) :
- Efisol digunakan 2-4 kali sehari, bisa dioleskan langsung pada bagian yang sakit
maupun dengan melarutkan 10-20 tetes dalam satu gelas air (200ml) dan digunakan
untuk berkumur.
- Hentikan pemakaian jika sudah sembuh.
- Efek samping seperti rasa kurang enak pada perut dapat terjadi jika obat untuk
berkumur tertelan.
- Vitamin C digunakan 1 kali sehari 1 tablet setelah makan untuk menghindari
perasaan tidak enak pada lambung.
- Pemakaian bisa dilanjutkan walau sariawan sudah sembuh, untuk menjaga imunitas
tubuh.
- Efek samping seperti nyeri pada lambung dapat terjadi jika digunakan dalam
keadaan perut kosong.
- Tidak ada interaksi khusus antara efisol dengan vitamin C.
- Kontraindikasi mungkin terjadi pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap
dequalinium dan vitamin C.
- Hindari makanan keras, panas, pedas, asam yang dapat memperparah sariawan.
- Selalu menjaga kebersihan rongga mulut dan gigi untuk menghindari masalah lebih
lanjut.
(MIMS, 2018).
i. Cara memastikan pasien mengerti apa yang disampaikan oleh apoteker
Untuk memastikan apakah pasien sudah menerima informasi dengan baik dan
sudah mengerti yang disampaikan oleh apoteker dapat dilakukan dengan cara meminta
pasien menjelaskan hal-hal yang telah disampaikan oleh apoteker sebelumnya, jika
pasien seperti masih ada keraguan dalam menjawab atau menunjukkan ekspresi
bingung, apoteker dapat menjelaskan kembali jika memang diperlukan (MIMS, 2018).

V. Pembahasan
Roleplay dimulai dengan kunjungan pasien ke apotek, kemudian apoteker
mempersilahkan duduk. Setelah itu apoteker memperkenalkan diri dan menanyakan
identitas pasien, dan ketersediaan pasien untuk melakukan konseling. Kemudian
apoteker menanyakan keluhan yang dialami pasien. Namun pasien mengalami
kesulitan bicara karena mengalami sariawan sehingga yang menjelaskan keluhan
pasien adalah cucunya. Selain itu apoteker juga menanyakan penyebab sariawan,
riwayat pengobatan yang telah dipakai, serta melihat kondisi sariawan pasien.
Kemudian apoteker menawarkan beberapa pilihan obat sariawan dan menjelaskan
perbedaan dari beberapa obat tersebut serta menjelaskan aturan pakai, efek samping,
dan harganya. Setelah itu, pasien melihat dan memilih obat sariawan yaitu obat kumur.
dan ditambahkan vitamin C. Kemudian pasien menanyakan kembali tentang cara pakai
obat tersebut dan apoteker menjelaskannya. Setelah pasien mengerti dan pamit pulang.
Apoteker mengucapkan terimakasih.
Apoteker memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum membuka pembicaraan
sehingga dapat meningkatkn kepercayaan pasien kemudian dilanjutkan dengan
menanyakan kepentingan pasien mendatangi apotek. Tetapi kurang senyum dan wajah
yang kurang bersahabat ditunjukkan oleh apoteker saat role play, hal ini dikarena masih
terdapat rasa gugup, kemampuan non verbal tersebut penting bagi apoteker dalam
menghadapi pasien selama konseling. Apoteker juga menanyakan identitas pasien.
Identitas pasien sangat penting diketahui oleh apoteker karena pasien akan merasa lebih
dihargai (Depkes RI, 2006). Penggalian identitas dapat dilakukan lebih dalam untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan namun penggunaan kata yang tepat harus
diperhatikan karena dapat menyinggung atau membuat pasien merasa tidak nyaman.
Kesediaan pasien untuk untuk mengikuti sesi konseling juga harus ditannyakan pada
tahap ini dengan menjelaskan tujuan dan berapa lama waktu konseling akan
berlangsung. Privasi pasien yang akan terjaga juga seharusnya disampaikan sehingga
pasien akan lebih leluasa dalam menyampaikan keluhan yang dirasakan. Jika pasien
merasa keberatan dengan lamanya waktu konseling, apoteker dapat bertanya alternatif
waktu/hari lain untuk melakukan konseling efektif (Depkes RI, 2006). Selama sesi
konseling, kenyamanan pasien harus diperhatiakn. Jika pasien terlihat tidak nyaman,
dapat berpindah ke tempat yang lebih nyaman.
Tahap selanjutnya adalah diskusi untuk mengumpulkan informasi dan
identifikasi masalah. Apoteker sudah menunjukkan sikap empati dengan kontak mata
yang berusaha dijaga dan gestur yang membuat pasien nyaman. Namun, gerakan non
verbal yng berlebihan kadang akan mempengaruhi perasaan dan kenyamanan pasien
(Depkes RI, 2006). Pada sesi penggalian informasi ini apoteker menggali keluhan dan
penyebab dari sariawan yang diderita pasien serta riwayat penyakit dan alergi.
Informasi tersebut mempengaruhi pemilihan obat yang akan diterima pasien. Obat
yang diterima pasien swamedikasi hanya obat yang ada pada golongan Obat Bebas,
Obat Bebas Terbatas, dan Obat Wajib Apotek (Tumiwa et al., 2014). Pemberian obat
swamedikasi harus dengan beberapa alternatif. Apoteker tidak boleh mengarahkan
pasien untuk memilih suatu jenis obat tertentu, hanya boleh menjelaskan spesifikasi
masing-masing obat. Saat role play, apoteker sudah menyampaikan spesifikasi obat
dengan cukup lengkap tanpa mengarahkan pasien untuk memilih obat teretentu.
Apoteker juga telah memberikan edukasi bahwa efek samping yang ada pada obat tidak
selalu muncul pada setiap orang. Efek samping pengobatan yang mungkin muncul
seperti mual atau ketidaknyamanan perut untuk disampaikan kepada pasien, sehingga
pasien dapat melakukan tindakan pencegahan (IAI, 2019). Setelah semua aspek
mengenai pengobatan seperti aturan pakai, khasita, dan efek samping telah
disampaikan, penting bagi apoteker untuk memastikan pasien memamahaminya. Hal
tersebut dapat dipastikan dengan mempersilahkan pasien untuk menlakukan
pengulangan resep dan pengobatan. Apoteker dapat menambahkan atau mengoreksi
pemahaman pasien sehingga efek terapi tercapai.
Feedback yang diberikan dari praktikan lain salah satunya yaitu berkaitan
dengan ekspresi apoteker. Apoteker harus menunjukkan sikap empati dengan kontak
mata yang berusaha dijaga dan gesture yang membuat pasien nyaman. Namun selama
konseling, apoteker kurang terenyum. Hal ini mungkin dapat menganggu kenyamanan
pasien dan suasana saat konseling terkesan tegang sehingga akan mempengaruhi mood
pasien. Kemudian di akhir sesi konseling, apoteker tidak meberikan kartu kontak.
Pemberian kartu kontak apoteker dapat mempermudah pasien apabila terdapat sesuatu
yang ingin ditanyakan atau hal lain yang mungkin dibutuhkan oleh pasien. Selanjutnya,
pada roleplay kelompok kami, yang berperan sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian
hanya muncul di akhir sesi dalam proses pembayaran obat. Seharusnya, Tenaga Teknis
Kefarmasian juga muncul di awal sesi untuk menanyakan identitas, keluhan, keperluan
dan kesediaan pasien untuk melakukan konseling. Selain itu, dalam roleplay kelompok
kami, tidak ada yang berperan sebagai kerabat atau keluarga pasien. Padahal pada kasus
ini pasien mengalami kesulitan dalam berbicara dikarenakan sariawannya. Lebih baik,
yang berperan sebagai narator diganti menjadi kerabat atau keluarga pasien untuk
membantu dalam proses konseling.
Feedback yang diberika dosen yaitu terkait dengan efektivitas obat
swamedikasi yang dipilih oleh apoteker untuk pasien. Apoteker memberi dua pilihan
obat alternatif dan satu obat tambahan, yaitu anatara efisol tablet dan efisol liquid,
dengan tambahan vitamin C. kemudian pada saat roleplay apoteker menyarankan
menggunakan obat efisol liquid dan vitamin C. Efisol liquid mengandung Dequalinum
dan Thymol. Sedangkan kandungan dari efisol tablet adalah Dequalinium dan Asam
askorbat (vitamin C). Sebelumnya kelompok kami berasumsi bahwa efisol liquid
memiliki efektivitas yang lebih cepat dibandingkan dengan efisol tablet, karena efisol
liquid bekerja secara lokal dimulut sedangkan efisol tablet melalui rute peroral dan
akan mengalami first pass metabolism. Maka dari itu kami memilih untuk
menyarankan efisol liquid dan ditambah vitamin C. Padahal jika kita menyarankan
efisol tablet, pasien hanya perlu mengkonsumsi 1 obat saja, karena didalamnya sudah
mengandung vitamin C, sehingga lebih praktis dan dapat meningkatkan kepatuhan
pasien. Seharusnya yang apoteker sarankan lebih baik efisol tablet saja, karena selain
tidak mengalami first pass metabolism, obat ini juga bekeja secara lokal di rongga
mulut (Parfati & Rani, 2018)

VI. Kesimpulan
Secara keseluruhan Apoteker telah melakukan konseling dengan baik kepada
pasien serta pemberian informasi terkait obat dan penyakit juga sudah lengkap
disampaikan, seperti penyebab sariawan dan cara pencegahannya, indikasi obat, cara
pemakaian, cara penyimpanan, dosis, efek samping, interaksi obat, hal-hal yang perlu
diperhatikan terkait obat serta tambahan terapi non-farmakologis yang perlu dilakukan
oleh pasien. Akan tetapi apoteker perlu meningkatkan upaya untuk memperbaiki teknis
atau cara melakukan konselingnya seperti lebih ramah dan tersenyum kepada pasien,
menanyakan pertanyaan secara runtut, memberikan kontak apoteker kepada pasien,
serta dapat juga melakukan basa-basi ringan kepada pasien supaya pasien dapat
nyaman, dan terbuka kepada apoteker saat melakukan konseling.
Daftar Pustaka

Arfania, Maya., Gita Mayasari. 2018. Polifarmasi dan Kepatuhan Minum Obat pada Pasien
Geriatri dengan Penyakit Kronis, Pharmed, 1 (2) : 1-4.
Depkes RI. 2006. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.
Drugs.com. 2021. Ascorbid Acid Uses, Side Effect, and Warning.
https://www.drugs.com/mtm/ascorbic-acid.html (diakses pada tanggal 13 Maret 2021).
IAI. 2019. Informasi Spesialite Obat. Isfi penerbit : Jakarta.
Kemenkes RI. 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia :
Jakarta.
Muchid, A., Wurjat R., Chusun, Mulyaningsih R. 2007. Pharmaceutical Care. Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Departemen
Kesehatan Rebulik Indonesia : Jakarta.
Parfati, N., & Rani, K. C. 2018. Buku Ajar Sediaan Tablet Orodispersibel. Fakultas Farmasi
Universitas Surabaya : Surabaya.
Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Leskonfi : Depok.
Sandy, P. M., & Fira B. I. 2018. Perkembangan Obat Sariawan dan Terapi Alternatifnya. Majalah
Farmasetika, 3 (5) : 98-101.
Sudrajat, A & Ningsih, A. 2017. Wikipedia Apoteker. Guepedia : Jakarta.
Tumiwa, N. N. G., Yamlean, P. V. Y., dan Citraningtyas, G. 2014. Pelayanan Informasi Obat
terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUP Prof. Dr.
R.D. Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi, 3 (3) : 31-43.

Anda mungkin juga menyukai