Anda di halaman 1dari 7

Dosen PJ : Drh.

Agustin
Hari/tanggal : Selasa, 21 April
2015

LAPORAN PRAKTIKUM PENYAKIT INFEKSIUS I


(IPH 323)

Identifikasi Kapang Penyebab Dermatofitosis pada Kucing

Oleh:
Kelompok 7

Kanti Rahmi Fauziyah B04120125


Sarah Minarni Tampubolon B04120126
Noor Ihsan Anzary Bahtiar B04120127

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN


DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis


yang di sebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu
terhadap produk metabolit jamur dan akibat invasioleh suatu organisme pada
jaringan hidup. Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit,
yaitu perlekatan dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel,
serta terbentuknya respon pejamu. Patogenesis dermatofitosis tergantung pada
faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, higiene perseorangan, sumber
penularan, penggunaan obat- obatan steroid, antibiotik dan sitostatika,
imunogenitas dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon
imun dari pasien (Adiguna 2004).
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton yang dikelompokkan dalam kelas
Deuteromycetes. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
dermatofitosis yaitu umur, status nutrisi yang jelek dan menejemen
pemeliharaan yang buruk serta tidak diisolasinya hewan penderita, akan
meningkatkan kejadian penyakit. Mortalitas penyakit rendah, namun demikian
kerugian ekonomis dapat terjadi karena kerusakan kulit dan rambut atau bobot
badan turun karena hewan menjadi tidak tenang serta adanya risiko zoonosis
yang ditimbulkan oleh M. canis (Kotnik 2007).
Diagnosis dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler
perlu ditinjau terutama yang khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan.
Tujuan utama dalam mendiagnosis dermatofitosis adalah untuk membuktikan
adanya invasi oleh kapang dermatofita pada lapisan epidermis atau batang
rambut. Metode diagnostik utama yang sering digunakan adalah pemeriksaan
dengan lampu Wood, pemeriksaan dengan mikroskop secara langsung dan
kultur. Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan
dipertimbangkan untuk saling melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond
2010).
1.2 Tujuan

Praktikum kali ini bertujuan untuk melatih mahasiswa melakukan


diagnosa berdasarkan perubahan patologi anatomi dan penemuan agen
melalui pemeriksaan langsung dan pemeriksaan kultur asal organ yang
dicurigai. Selain itu juga melatih mahasiswa untuk melakukan diagnosa
langsung penyebab dermatofitosis dengan cara menemukan makrokonidia
pada kerokan kulit.
BAB II
BAHAN DAN METODE

2.1 Alat dan Bahan


Kerokan kulit, gelas objek, pewarna lactophenol cotton blue, SDA, cawan
petri, inkubator, pinset, set uji Riddle, ose, needle, kapas, dan mikroskop.

2.2 Metode
Kerokan kulit

Pemeriksaan makrokonida (pewaarnaan lactophenol cotton blue) Media SDA

Pemeriksaan makroskopis minggu ke-1

Pemeriksaan minggu ke-2

Pengamatan
Pengamatan
makroskopis
mikroskopis (pewarnaan lactophenol Riddle’s
cotton blue)
Test

Pewarnaan lactophenol cotton blue

Identifikasi spesies
(makroskopis + mikroskopis [pewarnaan lactophenol cotton blue])
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Hasil Referensi

www.mycology.adelaide.edu.au

www.mycology.adelaide.edu.au

3.2 Pembahasan
Dermatofitosis adalah penyakit jamur yang menyerang jaringan yang
mengandung zat tanduk (keratin) pada kuku, rambut dan stratum korneum pada
epidermis yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita. Jamur dermatofita
tersebut digolongkan dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton (Bernardo et al. 2005). Pada hewan kesayangan, dermatofitosis
dapat menginfeksi kulit, rambut, atau kuku. Pada anjing, sekitar 70% penderita
ringworm disebabkan kapang Microsporum canis, 20% oleh M. gypseum, dan
10% oleh Trichophyton mentagrophytes (Vermout et al. 2008).
Pada praktikum ini digunakan sampel yang diambil dari kucing dermatitis
dan diduga menderita dermatofitosis. Pertama dilakukan kerokan kulit di daerah
kepala dan dilakukan pengamatan makrokonidia pada sampel yang telah diambil
dengan pewarnaan lactophenol cotton blue. Setelah makrokonidia ditemukan
terdapat pengujian lanjut yaitu melakukan pembiakkan sampel kerokan kulit pada
media Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA). Pada pengamatan makroskopis
minggu kedua, dapat ditemukan adanya topografi koloni datar, dengan sedikit
melipat berwarna putih seperti kapas, dan tepi berawarna kuning sampai tidak
berwarna. Dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan
lactophenol cotton blue. Untuk mengetahui jenis kapang yang menyebabkan
dermatofitosis pada kucing tersebut, maka dilakukan uji lanjut yaitu Riddle test.
Pengamatan hasil dari kultur Riddle test yaitu secara mikroskopis. Dapat
ditemukan beberapa mikrokonidia, sejumlah dinding tebal dan makrokonidia
bergerigi dengan knob pada ujungnya. Pada literatur pertumbuhan koloni pada
media yaitu datar, kasar dan berambut, dengan celah radial yang rapat serta
miselium yang berbentuk cotton atau wool yang berwarna kuning pucat sampai
putih pada bagian tengah dengan tepi berwarna kuning sampai tidak berwarna..
M.canis memperlihatkan hifa berseptat yang panjang dalam jumlah banyak serta
makrokonidia besar berbentuk batang bulat yang biasanya memiliki septum ganda
dan mengandung lebih dari enam sel. Beberapa mikrokonidia kecil yang
berbentuk seperti alat pemukul gendang dan berdinding halus juga dapat
ditemukan, serta klamidokonidia yang berbentuk bulat (Olivares 2003).
Berdasarkan pengamatan dan literatur maka jenis kapang yang menyebabkan
dermatofitosis pada kerokan kulit kucing adalah Microsporum canis. Hal ini dapat
dilihat dari pertumbuhan koloni yang telah dibiakkan pada media SDA,
makrokonidia dan mikrokonidianya
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis dari


biakan sampel kerokan kulit pada kucing penyebab dermatofitosis berupa kapang
Microsporum canis.

DAFTAR PUSTAKA

Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam:


Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S,
editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Bernardo A et al. 2005. Dermatophytes isolated from pet, dogs and cats, in
Lisbon, Portugal. Pathogenesis of Dermatophytosis. Mycopathologia. 166 :
267-275.
Bond R. 2010. Superficial veterinary mycoses. Clinics in Dermatology. (28) :
226–236.
Kotnik T. 2007. Dermatophytoses in domestic animals and their zoonotic
potential. Slovenian Veterinary Research 44 (3) : 63-73.
Olivares RAC. 2003. Ringworm Infection in Dogs and Cats. in Recent Advances
in Canine Infectious Diseases. [diunduh 25 April 2015]. www.ivis.org.
Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B. 2008.
Pathogenesis of dermatophytosis. Mycopathologia. 166: 267-275.

Anda mungkin juga menyukai