Anda di halaman 1dari 3

Terjemahan hal 141-143

Padahal nama Mucukunda yang membantu Krisna juga ditemukan dalam bentuk yang benar:
Skt. Mucukunda मुचुकुन्द, Seiring berjalannya waktu berubah bentuk menjadi: Mrtykunda (skt.
Mrty: death- mati, Kunda: basin-baskom, fire-lite- lubang api). Menurut tradisi Jawa Kuno
Dewabasu adalah anak laki-laki dari Dursanta dan San ( sebuah artikel personal Jawa) Kuntala:
Pertama, nama mungkin terbentuk dari Basudeva, Vasudeva, nama dari ayah Krisna, kedua
adalah Dusyanta, dan yang terakhir representasi Sakuntala, nama Kuntala di dalam Adiparwa.
Sebagai Dharma dan Krisna nama Damodara terkadang tercampur, Dharsadhara mungkin
dianggap bagian dari Damodara. Bentuk lain dari nama yang sama adalah Daronama. Saptarenga
digunakan sebagai penanda dari nenek moyang Pandawa. Sebenarnya itu adalah nama gunung
tempat mereka dimakamkan. Dalam bahasa Sasnskerta kata aslinya adalah Satasruga yang
artinya gunung dengan seribu bukit, tempat Pandu latihan kesederhanaan. Nama Bana-kelin
mungkin mempertimbangkan perubahan dari Wana-kalinga (vana- hutan, kalinga- daerah
Kalinga), yang merupakan nama dari India.
Pada cerita rakyat Melayu Burung Cendrawasih' atau 'burung para dewa' (buron dewata) sering
disebut candrawasi, cënděrawasa, cěnděrawaseh, çenděrawansch, cenděrawańsa, bentuk terakhir
yang dianggap asli: candravamsa ‘salah satu ras lunar’(juga candrawamsin): burung ditahan
untuk tinggal di udara, dan menjadi konsisten dengan sayapnya, tidak pernah turun ke bumi atau
hinggap di pohon.
Mungkin tidak berlebihan di sini untuk berkomentar bahwa banyak nama yang tepat ditafsirkan
ulang sesuai pseudo-etomologis atau kesalahpahaman lain: nama Arjuna memiliki hubungan
dengan ‘air’; pahlawan yang sama yang dipanggil Kunta (namanya Kaunteya – anak laki-laki
Kunti), yang namanya diambil dengan tepat sebagai 'titik panah' (kunta-pir). Kadang-kadang
nama-nama menjadi tidak beraturan ketika ditranskrip ke dalam alfabet Arab: Gunadewa
diinterprentasikan sebagai Kurudewa.
Orang Jawa juga meciptakan orang hebat atau manusia super dengan nama India atau, terkadang
eksis sebagai mitologi dengan penggunaan kata Sanskerta. Dalam salah satu naskah kuno mereka
Lokaphala (Krtanjali, Dewikula dan raja lainnya dari barisan mitologi: Skt. lokapala – pelindung
dunia, bupati dari suku ( di India kata ini juga digunakan sebagai kata benda yang tepat untuk
raja). 'seseorang yang menggandeng tangan hampa dengan rasa hormat'; devikula- 'keluarga sang
dewi'. Di India, api yang menghancurkan semesta pada akhir setiap masa, disebut Kalagni
kadang diidentifikasi sebagai makhluk atau dengan Siwa; dalam sejumlah teks Jawa Kuno juga
disebut Kalasunya: kala- 'waktu sebagai penghancur segala makhluk, kematian', sunya-
'kehampaan atau ketiadaan'. Dalam Korawasrama, Kalasunya mengambil bentuk makhluk
mitologis Setobanda, yang kemungkinan merepresentasi kata Sanskerta "setubandha-"
'bendungan yang dibangun Hanumat', susunan kata tersebut menjadi 'penakluk lautan'. Seorang
pria muda dengan nama Sagotra diperkenalkan ke dalam tradisi Jawa hanya karena suatu
kesalahpahaman, kata Sanskerta sagotra- 'berada dalam keluarga yang sama' diambil sebagai
nama yang sebenarnya. Pada kutipan pendek teks Baratayuda Jawa Modern (yakni cerita utama
Mahabharata VI-X) seorang rekan dari Raja Wirata disebut dengan nama Arya Nirbita : Dalam
bagian yang sama pada teks Bharata-yuddha Jawa Kuno 11,10 mengatakan bahwa, sang raja
melaju ke depan tanpa rasa takut (Sanskerta nirbhita-), yang jelas disalahpahami oleh penyair di
kemudian hari.
Keberadaan Patih Wresaya disebabkan oleh teks yang korup atau kekeliruan dalam membaca
parthivasraya pada teks parthivasraya > parthivrasaya. Di samping itu, terdapat dua sinonim yang
dapat mengindikasikan 2 objek berbeda, seperti Hastina dan Gajahoya yang merupakan dua kota.
Orang Sunda mempercayai semacam makhluk atau roh yang dapat menyebabkan distres, disebut
Duruwiksa; istilah yang sama diberikan kepada suatu penyebab terjadinya potensi buruk dalam
hutan: kata diambil dari Sanskrit durbhiksa (kelaparan atau kekeringan). Demikian pula 'waktu
malam' (sandhyakala) yang menjadi personifikasi sebagai sandekala: makhluk kecil jahil yang
berjalan pada malam hari, menyebarkan penyakit dan malapetaka.
Di sisi lain, tidak jarang hal tersebut berupa perubahan nama makhluk surgawi menjadi kata
benda yang umum. Bagi warga Bali, nama terkenal kera surgawi Hanumat (atau juga disebut
Hanoman), dapat merujuk kepada seekor babon. Surabhi sebagai kata Sanskrit untuk sapi mistis;
namun kata tersebut di Jawa Kuno secara umum dapat merujuk kepada sapi. Seiring waktu
'têksaka' dan 'garuda' masing-masing menjadi istilah Jawa yang bersifat seni atau mitologis bagi
segala jenis ular maupun burung (dalam hal ini makna khususnya surgawi). Istilah yang terakhir
disebutkan, 'gêroda' (< Garuda) selain merujuk kepada tunggangan atau kendaraan dalam kisah
romantis, namun juga dapat mengindikasikan monster seperti burung yang dapat menghancurkan
kapal; demikian pula gambar elan yang dicetak dalam mata uang dolar orang Mexico disebut
dengan nama 'gêroda'.
Nama sesungguhnya dari persona mitologis atau legendaris yang terdiri atas sebuah bagian
Sanskerta dan bagian lokal tidaklah jarang/langka. Sebagai contoh, seorang putri (Gandana-
Sekar) dan seorang pertapa wanita (Kili-Suci).
Dalam kasus lain, tokoh pahlawan India memiliki nama selain dari nama Sanskerta mereka, yang
sepenuhnya lokal seperti Nakula dan Sadewa menjadi Pinten serta Tangsen. Atau seperti
Duryodhana menjadi Jayapitana, dimana 'jaya-' masih merepresentasikan elemen kata Sanskerta.
Beberapa judul dan sebutan untuk orang-orang spiritual didiskusikan dalam bagian lain buku ini.
Di sini cukup membahas istilah yang kerap muncul, 'rsi-ćaćwa-(ćewa)-sogata', dalam Tantu
Panggelaran dan dokumen terkait, disebut juga 'brahmana rsi-saswa-sogata', dan biasa
diterjemahkan menjadi "Para brahman rsi, ćsiwa (penyembah Siwa), dan gelar Buddhis." Istilah
'brahmana' yang nampak sebagai nama kolektif (plural) meyakinkan kami bahwa yang dimaksud
adalah golongan rohaniawan secara umum. Rangkaian 'brahamana sridanta boddha' sepertinya
dapat diaplikasikan sebagai sebutan bagi tiga golongan yang sama yang disebut 'paksas' (faksi,
partai). Istilah 'sridanta' kemungkinan besar merepresentasikan etimologi populer, penjelasan
yang diusulkan Pigeaud lebih masuk akal dibandingkan terjemahan harfiah kata 'siddhanta';
'seperangkat doktrin', 'kebenaran yang diterima'. Walaupun demikian, kata itu dapat dianggap
sebagai singkatan dari Saiva-siddhanta, sebuah kelompok penganut Siwa yang terkenal
penyebarannya di seluruh penjuru Jawa kuno.
Aturan gramatikal Jawa tidak mencegah kita dari asumsi perubahan semantik: 'S. doktrin'>
'pendukung doktrin ini'. Dengan cara yang sebanding kata tyaga (Skt. tyaga – menyerah,
mengundurkan diri') menunjukkan bagian dari (lain) paksa partikular. Penganut bherawa paksa
(Skt. Bhairava. diterapkan kepada pengikut aliran Siwa) mengkhususkan diri dalam
śmasanagamana yaitu mereka sering mengunjungi tempat pemakaman: Skt. śmašana- tempat
pemakaman' dan gamana – pergi ke. Dalam kesusastraan nama mereka berkembang sebagai
berawa atau birawa, yang dalam sastra lisan juga berarti 'menakutkan' (lih. Arti kata Skt.).
Dalam teks lain, Caturpaksopadeśa, lima paksas disebutkan setelah lima elemen: prthivipaksa -
(Skt. Prthivi- bumi), apahpakşa (Skt. apah - air'), tejapakşa (Skt. Tejas - cahaya, api, kemegahan
'), bayupakşa (Skt. vayu - udara), dan akasapakşa (škt. akaša-angkasa).
Hinduisme menemukan jalan ke Archipelago dengan bentuk yang relatif sama dalam seiring
berjalannya waktu dipadukan oleh unsur-unsur Jawa (dan orang-orang lokal lainnya); selain itu,
berbagai aspek dan 'denominasi' cenderung tumbuh bersama dan menyatu menjadi satu tubuh.
Saat ini masyarakat Bali mengenal tidak lebih dari satu 'agama Hindu', yaitu agama hindu, atau
agama tirta 'agama air suci' (lit. Bal. Tirta 'air', khususnya 'air suci': Skt. tirtha- tempat
persinggahan di tepi sungai yang suci, bagian dari air). Selain pendeta Baddha semua pendeta
Bali adalah siddhanta, yaitu penganut Saivastiddhänta yang telah disingkirkan atau menyerap
denominasi lain. Namun pengaruh atau semakin banyak nama dari Pasupata (Skt. Pašupata-
IEva), "Bhairawas (Skt. Bhairava- a), Wesņavas (Skt. Vaişņava-asoa), 1 Brahmāas, Rşis, Sora
yaitu penganut dari matahari: Skt Sūrya, dan Gaņesa yang berkembang.
Nama beberapa dewa yang disebutkan di atas juga terdapat dalam kata yang disebut kataka atau
kutika lima orang Melayu: 'Lima Kali': Skt. Ghațika: hari dibagi menjadi lima bagian, dan lima
hari membentuk siklus. Untuk masing-masing dari pembagian ini diberikan nama, yaitu
Maswara (Maheswara), Kala, Sēri, Brahma dan Bisnu. Urutannya ditunjukkan pada tabel
berikut:
Pagi hari Pagi Siang hari Sore hari Malam hari
menjelang
siang
Ke-1 Maswara K. S. Br. B.
Ke-2 Bisnu M. K. S. Br.
Ke-3 Brahma B. M. K. S.
Ke-4 Seri Br. B. M. K.
Ke-5 Kala S. Br. B. M.

Anda mungkin juga menyukai