Anda di halaman 1dari 25

HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK

Pada ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)


Di KAMPUNG INVESTASI HATI (WANASARA) KABUPATEN
TABANAN

Oleh :
Dewa Ayu Riska Imaniawati (17091110054)
Ni Putu Ari Wijayanti (18101110001)
Ni Putu Nita Ardani (18101110002)
Ni Putu Ayu Dina Febriani (18101110003)
Kadek Ayu Indra Lestari (18101110004)
Ni Kadek Ayu Pitari Dewi (18101110005)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


ADVAITA MEDIKA TABANAN
2019/2020
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, berkhat dan rahmat-Nya penulis memperoleh kekuatan dan
kesabaran hingga mampu menyelesaikan Makalah yang berjudul “Hambatan
komunikasi terapeutik pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di kampung
investasi hati (wanasara) kabupaten tabanan”. Makalah ini disusun dalam rangka
menyelesaikan tugas Praktik klinik komunikasi.
Dalam membuat makalah tentu banyak hambatan yang penulis alami. Namun
segala hambatan tersebut dapat diatasi dengan bimbingan, saran, motivasi, dan
dukungan dari dosen pembimbing.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna, hal tersebut
dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Untuk itu dengan
rendah hati penulis sangat menghargai segala saran dan kritik yang membangun
dalam rangka penyempurnaan karya tulis ini. Penulis berharap semoga karya tulis
ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan.
Demikian kata pengantar ini penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
berguna bagi pembaca.

Tabanan,Januari 2020

Penyusun

ii
Daftar Isi

Halaman Judul........................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................3
1.3 Tujuan Penulis.................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................5
2.1 Definisi Komunikasi Terapeutik......................................................................5
2.2 Hambatan dalam Komunikasi Terapeutik.......................................................6
2.3 Hambatan Komunikasi pada Pasien ODGJ di Panti Werdha Investasi Hati...7
2.4 Cara Perawat dalam Mengatasi Hambatan Komunikasi pada Pasien ODGJ
di Panti Werdha Investasi Hati..............................................................................8
2.5 Langkah-Langkah Komunikasi Terapeutik...................................................12
BAB III PENUTUP.............................................................................................18
3.1 Simpulan........................................................................................................18
3.2 Saran..............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses untuk
menyampaikan (ide, pesan, gagasan) dari satu pihak ke pihak lain agar saling
mempengaruhi di antara keduanya, komunikasi dapat dilakukan secara lisan atau
ferbal yang dapat dimengerti oleh kedua pihak. Komunikasi dapat di katakan
terdiri dari suatu rangkaian yang saling berhubungan dengan tujuan akhir yang
mempengarui perilaku, sikap dan kepercayaan. Kegagalan dalan berkomunikasi
sering timbul karena hambatan dalam proses komunikasi. Dalam proses
komunikasi antar komunitas, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua
komunitas yang berbeda itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka.
Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka
pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan
sehingga menghasilkan makna yang sama (Alo Liliweri, 2003).
Menurut Riskesdas Kemenkes angka kejadian Orang Dengan Gangguan
Jiwa (ODGJ) di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 282.645 jiwa. Provinsi yang
memiliki orang dengan gangguan jiwa terbesar adalah daerah Istimewa
Yogyakarta sebanyak 0,27 persen. Pada posisi kedua ditempati oleh Aceh 0,27
persen, ketiga adalah Sulawesi Selatan dengan 0,26 persen dan posisi keempat
adalah Bali dan Jawa Tengah sebanyak 0,23 persen. Sementara itu, World Health
Organization (WHO) mencatat bahwa ada 540 juta penduduk di dunia menderita
gangguan jiwa.sedangkan angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa yaitu 50
persen hingga 92 persen. Di Panti tepatnya di Kampung Investasi Hati ada
sebanyak 9 jiwa yang mengalami gangguan jiwa diantaranya 5 laki-laki dan 4
perempuan.
Menurut Mulyana (2010), komunikasi interpersonal merupakan
komunikasi yang terjadi antara orang-orang secara tatap-muka (face to face),
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Merujuk pada teori komunikasi
antar pribadi, komunikasi antar pribadi sangat potensial untuk menjalankan

1
fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain,
karena kita dapat menggunakan kelima alat indera kita untuk mempertinggi daya
bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita.Sebagai
komunikasi yang paling lengkap dan sempurna, komunikasi antar pribadi
berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi.
Komunikasi menggunakan dua sistem dalam berkomunikasi yaitu
komunikasi verbal dan non verbal. Larry A. Samovar dan Richard E. Porter
mendefinisikan komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali
rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh
individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan
potensial bagi pengirim atau penerima. Pesan-pesan non verbal sangat
berpengaruh dalam berkomunikasi. Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat
non verbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari,
bukan bawaan. Oleh karena itu, komunikasi sangat penting bagi kehidupan kita.
Salah satunya dalam psikologi komunikasi dimana komunikasi sebagai sebuah
ilmu yang mempelajari peristiwa mental dan behavioral ketika manusia
berkomunikasi. Tujuannya sendiri adalah tidak lain untuk memahami perilaku
komunikasi individu. Berhasil tidaknya suatu komunikasi adalah apabila kita
mengetahui dan mempelajari komponenkomponen yang terkandung dalam
proses komunikasi. Komponen-komponen tersebut adalah pengirim pesan
(sender), penerima pesan (receiver), pesan (message), saluran (channel) dan
umpan balik (feed back).
Dalam proses komunikasi ini selalu diusahakan menjadi komunikasi yang
efektif, karena komunikasi yang tidak efektif adalah komunikasi yang tidak
bertujuan. Komunikasi yang efektif dimaksudkan apabila penerima pesan
memberikan umpan balik kepada pengirim pesan yang diterima secara langsung.
Komunikasi juga merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam
hubungan antar manusia dan pengalaman ilmu untuk menolong sesama
memerlukan kemampaun khusus dan kepedulian sosial yang besar. Komunikasi
juga merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan
individu untuk berhubungan dengan orang lain dan sekitarnya. Maka komunikasi
itu sendiri dapat dijadikan alat terapi/suatu metode terapi pada profesi-profesi

2
tertentu, yang dalam menjalankan tugasnya sangat sering berhubungan dengan
orang lain. Kegiatan yang berhubungan dengan hal ini adalah profesi psikologi,
konseling kegiatan medis atau keperawatan, dan klinik alternatif sehingga
komunikasi ini berfungsi sebagai alat terapi yang kemudian disebut dengan
komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik digunakan manusia sebagai upaya
untuk melakukan penyembuhan dari suatu penyakit. Komunikasi merupakan
aspek yang penting yang harus dimiliki oleh perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan pada klien. Komunikasi yang diterapkan oleh perawat
kepada klien merupakan komunikasi terapeutik (therapeutic communication).
Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat dengan
klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien (Mundakir, 2006).
Dalam hubungan ini, klien merasa dihargai, diterima, dan diarahkan.
Klien dengan sukarela akan mengekspresikan perasaan dan pikirannya, sehingga
beban emosi dan ketegangan yang dirasakannya dapat hilang sama sekali dan
kembali seperti semula. Komunikasi terapeutik memandang gangguan kesehatan
yang bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien untuk
mengungkapkan dirinya (Marhaeni,2009). Oleh karena itu, tujuan dari
komunikasi terapeutik adalah membantu pasien memperjelas dan mengurangi
beban perasaan dan pikiran, membantu mengambil tindakan yang efektif untuk
pasien, membantu memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan diri sendiri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu Komunikasi Terapeutik ?
2. Apa saja hambatan dalam komunikasi ?
3. Apa saja hambatan komunikasi pada Pasien ODGJ di Kampung
Investasi Hati ?
4. Bagaimana cara perawat dalam mengatasi hambatan komunikasi pada
Pasien ODGJ di Kampung Investasi Hati ?
5. Apa saja langkah-langkah Komunikasi Terapeutik?

3
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui komunikasi terapeutik secara umum.
2. Untuk mengetahui dan memahami hambatan dalam berkomunikasi.
3. Untuk mengetahui hambatan komunikasi pada Pasien ODGJ
4. Untuk mengetahui cara perawat dalam mengatasi hambatan
komunikasi pada Pasien ODGJ
5. Untuk dapat mengetahui langkah-langkah komunikasi terapeutik.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Komunikasi Terapeutik


Ada beberapa definisi mengenai komunikasi terapeutik, diantaranya:
Komunikasi terapeutik menurut Reusch seperti dikutip Jalaludin Rakhmat (2003)
komunikasi terapeutik dewasa ini banyak digunakan untuk teknik penyembuhan
jiwa, dimana dengan menggunakan metode komunikasi terapeutik seorang
terapis mampu mengarahkan bentuk komunikasi sedemikian rupa sehingga
pasien dengan gangguan jiwa dihadapkan pada situasi dan pertukaran-pertukaran
pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Lebih jelasnya
komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan
komunikasi, yakni terletak pada ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan
dirinya. Secara singkat, bahwa meluruskan jiwa seseorang bisa dicapai dengan
cara meluruskan caranya berkomunikasi.
Selain itu, definisi lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan
pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari
komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien,
sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan
klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan (Lalongkoe, 2013).
Berdasarkan dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas
dapat disimpulkan bahwa, komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang
dirancang dan direncanakan secara sadar oleh perawat dengan maksud
membangun hubungan kepercayaan demi kesembuhan pasien. Melalui
pengalaman bersama antara perawat-klien bertujuan untuk menyelesaikan
masalah klien. Dalam konteks pelayanan kesehatan secara keseluruhan
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terjalin dengan baik, komunikatif
dan menyembuhkan atau paling tidak melegakan serta memuat pengguna merasa
nyaman dan akhirnya puas. Maka dari itu, komunikasi terapeutik sangat

5
diperlukan untuk mendukung proses rehabilitasi dengan tujuan mengembalikan
pasien ke kondisi semula atau setidaknya mendekati kondisi normal.
2.2 Hambatan dalam Komunikasi Terapeutik
Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-
klien terdiri dari tiga jenis utama: Resisten, Transferens, dan Kontransferens. Hal
ini timbul dari berbagai macam alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang
berbeda, tetapi semuanya menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus
segera mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan
tegang baik bagi perawat maupun bagi klien yaitu:
1. Resisten
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab
anseitas yang dialaminya. Klien merupakan keengganan alamiah atau
penghindaran verbaliasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang
menimbulkan masalah aspek diri seseorang. Perilaku resisten biasanya
diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi
proses penyelesaian masalah.
2. Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien, mengalami perasaan dan
sikap terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam
kehidupannya dimasa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan
respon klien dalam intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan.
3. Kontransferens
Kebutuhan terapeutik yang dibuat perawat bukan oleh klien, merujuk pada
respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien yang tidak tepat dalam isi
maupun hubungan terapeutik atau ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi
ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi
sangat membenci, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat
cemas (Ridhyalla, 2015).
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap
untuk mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks
hubungan perawat-klien. Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan
tentang hambatan komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku yang

6
menunjukkan adanya hambatan tersebut. Latar belakang perilaku digali baik
klien atau perawat bertanggung jawab terhadap hambatan terapeutik dan dampak
negatif pada proses terapeutik.

- Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Terapeutik :


Tujuan umum dari sebuah proses komunikasi adalah efektivitas. Dengan
demikian, tujuan sebuah komunikasi terapeutik tidak lain adalah kesembuhan
pasien. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh konselor dalam
membina hubungan yang baik dengan klien, antara lain:
1. Menerima klien secara ikhlas
Dalam hal ini, konselor harus menunjukkan sikap-sikap yang ramah dan
bersahabat di mata klien. Ia harus menerima klien apa adanya, tanpa prasangka,
curiga, apalagi underestimate yang bisa menyebabkan hubungan jauh dari akrab.
Ketulusan ataupun keikhlasan ini adalah sebuah komitmen dalam upaya
menyembuhkan pasien dari penyakitnya.
2. Menumbuhkan kepercayaan klien
Dalam diri klien harus ada rasa percaya bahwa konselor akan mampu
menyelesaikan permasalahan yang dialami klien. Klien juga harus percaya bahwa
rahasianya dijamin oleh konselor, sehingga tak satu orang pun yang mengetahui
hal ini. Apa yang dilakukan konselor diyakinkan sebagai sebuah perbuatan yang
tujuannya untuk kebaikan klien.
3. Mewujudkan keterbukaan diri
Dalam sebuah proses komunikasi terapeutik, kadang-kadang klien tidak
terbuka dengan konselor dan cenderung untuk menutupi masalahnya. Hal ini
dimungkinkan klien merasa malu. Jika hal ini terjadi, maka proses komunikasi
akan menjadi sulit sehingga terapi yang dilakukan mungkin akan mengalami
kekeliruan. Konselor sebisa mungkin harus bisa mendorong klien untuk berbicara
banyak, tidak hanya mengangguk dan menggeleng. Intinya semakin banyak klien
terbuka untuk berbicara, semakin mudah konselor untuk membantu
menyelesaikan masalah (Suciati, 2015).

7
2.3. Hambatan Komunikasi pada Pasien ODGJ di Panti Werdha
Investasi Hati
Data yang didapatkan di Panti Werdha Investasi Hati, pada 21 januari
2020 pasien ODGJ wanita berjumlah empat orang, Semua diantaranya
mempunya hambatan komunikasi yaitu mengalami gangguan Psikologis ,
hambatan komunikasi yaitu hambatan Bahasa, pelupa, dan masing masing asik
dengan dirinya sendiri. Sedangkan pasien ODGJ Laki Laki berjumlah lima orang,
empat diantaranya memiliki hambatan komunikasi Pelupa, kontak mata yang
bingung, Jika di Tanya malu malu bahkan kadang suka tersenyum senyum
sendiri saat diajak berbicara bukannya menjawab pertanyaan saan berkomunikasi
tetapi justru tersenyum saja, asik dengan diri sendiri dan suka melamun. Dan satu
diantaranya memiliki gangguan fisik yaitu Bisu (tidak bisa berbicara) sehingga
menyebabkan kesulitan tersendiri saat berkomunikasi dengan pasien tersebut dan
harus memiliki keterampilan yang khusus untuk berkomunikasi dengan pasien
tersebut
Hal yang menjadi hambatan perawat saat menyampaikan pesan terhadap
Pasien ODGJ adalah Psikologis, Gangguan Psikologis pada pasien ODGJ yang
menyebabkan gangguan untuk berkomunikasi. Perawat harus mempunyai
keterampilan dalam hal itu. Pentingnya komunikasi interpersonal disini adalah
sebagai wadah atau jalan untuk membangun sebuah kedekatan yang nantinya
akan terjalin hubungan yang saling percaya. Hambatan fisik Bisu yang
didaptakan perawat pada pasien ODGJ di Kampung Investasi terjadi karena
disebabkan oleh gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita
suara, paru-paru, mulut, lidah,

2.4 Cara Perawat dalam Mengatasi Hambatan Komunikasi pada Pasien


ODGJ di Panti Werdha Investasi Hati
1. Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan,
kejadian, yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan
yang masih bisa di capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat

8
di cegah progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di
laksanakan dan di carikan solusinya karena rill dan mudah di observasi.
Contohnya : perawat dapat melaksanakan bina hubungan saling percaya
Kepada pasien kemudian mengkaji pasien untuk mendapatkan data-data
yang diperlukan untuk mengetahui masalah yang dialami oleh pasien.
2. Pendekatan psikologi
Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada
perubahan prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih
lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai
konselor, advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing
atau sebagai penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai
sahabat yang akrap bagi klien.
Contohnya : perawat dapat menerapkan sikap mendengarkan dengan
penuh perhatian, menunjukan penerimaan sikap kepada pasien ODGJ
sehingga mereka memiliki perasaan bahwa ada yang memperhatikan
dan mau mendengarkan keluh kesah mereka.
3. Pendekatan social
Pendekatan ini di lakukan untuk menikatkan keterampilan
berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran,
bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok
merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat
berinteraksi dengan sesama lisan maupun dengan petugas kesehatan.
Contohnya : perawat dan petugas di panti setiap pagi memberikan tugas
kepada pasien ODGJ untuk terbiasa membersihkan ruangan mereka dan
mengadakan jalan santai setiap jumat untuk meningkatkan keterampilan
berinteraksi kepada lingkungan.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya
dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam
keadaan sakit. Cohtohnya : perawat mendekatkan pasien kepada tuhan
seperti membimbing nya sembahyang.

9
- 6 teknik komunikasi pada tuna wicara agar komunikasi dapat berlangsung
lebih baik. Beberapa diantaranya seperti:
1. Cari Perhatian
Teknik komunikasi pada tuna wicara yang pertama adalah dengan
mencari perhatian. Cara ini menjadi langkah awal jika anda ingin memulai
komunikasi dengan orang-orang tuna wicara dan tuna rungu, karena
biasanya tuna wicara akan sulit memahami maksud anda untuk
berkomunikasi dengan mereka.
Anda dapat melakukan sentuhan atau tepukan ringan pada pundak
penyandang tuna wicara, sehingga mereka mengetahui maksud anda untuk
memulai komunikasi. Tindakan tersebut merupakan suatu isyarat bahwa
anda ingin menjalin komunikasi. Contohnya : perawat sering memanggil
nama pasien dan mengajak pasien untuk bermain, menari, bernyanyi agar
pasien bisa selalu senang.
2. Bertatap Muka
Teknik komunikasi pada tuna wicara selanjutnya adalah dengan
berbicara secara bertatap muka atau dengan berhadapan langsung agar
terjalin komunikasi dua arah. Hal ini dimaksudkan agar tuna wicara dapat
melihat wajah anda dengan jelas dan membaca pengucapan kata demi kata
yang anda sampaikan.
Tidak hanya melihat gerak bibir saja tetapi dengan bertatap muka, para
tuna rungu juga dapat melihat ekspresi dan gesture atau gerakan kepala
maupun tubuh anda. Sehingga informasi yang anda sampaikan dapat
dipahami dan diterima dengan baik. Contohnya : setiap kali perawat
mengajak pasien berbicara perawat selalu mempertahankan kontak mata
agar mengetahui gesture dari pasien.
3. Kontak Mata
Selain bertatap muka, penting bagi anda untuk melakukan kotak mata
dengan para tuna wicara dalam melakukan interaksi atau komunikasi.
Hal ini dimaksudkan agar anda tidak kehilangan konsentrasi atau
perhatian dari tuna rungu sebagai lawan bicara anda. Penting pula bagi anda
untuk tidak memakai masker, kacamata hitam, maupun media penghalang

10
lainnya yang dapat mengganggu para tuna rungu untuk memahami maksud
yang ingin anda sampaikan. Conyohnya perawat selalu mempertahankan
kontak mata pada pasien saat berbicara bertujuan untuk memberikan
pengertian dan memahami hal yang di sampaikan oleh pasien.
4. Bicara Secara Normal
Walaupun para penyandang tuna wicara dapat dikatakan memiliki
kondisi yang tidak normal, tetapi dalam melakukan komunikasi juga
dilakukan secara tidak normal. Berbicaralah secara normal jika anda ingin
menjalin komunikasi dengan para penyandang tuna wicara.
Hindari untuk berbisik-bisik maupun mengeraskan suara anda, karena
hal ini dapat menyulitkan para tuna wicara dalam membaca gerak bibir anda.
Oleh sebab itu, tetaplah berbicara secara normal dan hindari untuk berbicara
dengan menutup mulut maupun disertai dengan memakan atau mengunyah
sesuatu. Contohnya : saat perawat berbicara dengan pasien, perawat tidak
memakai media apapun pada wajah seperti masker, agar apa yang di
bicarakan oleh perawat dapat di pahami oleh pasien.
5. Gerakan Isyarat Tambahan
Selain berbicara secara normal, anda juga dapat menambahkan gerakan
isyarat dalam menjalin komunikasi dengan tuna wicara. Beberapa
diantaranya seperti menggelengkan kepala, menirukan gerakan makan,
menunjukkan jumlah jari, dan lain sebagainya. Dalam melakukan gerakan
isyarat juga jangan terlalu cepat dan berikan sedikit jeda agar dapat
dipahami terlebih dahulu. Contohnya : jika pasien tidak memahami apa yang
perawat sampaikan perawat dapat menambahkan gerakan isyarat dalam
berbicara.
6. Tetap Bersikap Sopan
Teknik komunikasi pada tuna wicara yang terakhir adalah dengan tetap
bersikap sopan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga perasaan maupun
membuat para penyandang tuna wicara merasa tetap dihargai walaupun
kondisi mereka berbeda. Berikan isyarat yang jelas jika anda merasa ada
yang mengganggu perbincangan anda. Tetap bersikap sopan juga merupakan

11
bagian dari etika komunikasi yang baik. Contohnya : perawat harus menjaga
perasaan pasien tidak menyinggung perasaan pasien saat berbicara.
Setelah kita melakukan komunikasi pasien menunjukan kemajuan dimana
saat pertama kali bertatap muka pasien enggan memberitau masalah yang dialami
dan terkadang pasien enggan bertatap muka atau jika pasien di tanyakan hanya
menjawab dengan senyum lalu pergi. Dimana kita terus mendekatinya agar mau
diajak berbicara. Sehingga pasien mau diajak berkomunikasi dan mau
memberitahu kita masalah yang dialaminya.

2.5 Langkah-Langkah Komunikasi Terapeutik

A. Fase Pra-Interaksi
Masa pra-Interaksi mulai sebelum kontak pertama dengan pasien.
Dijelaskan bahwa seorang terapis akan mengeksploitasi perasaan dirinya sendiri,
fantasi, kecemasan dan ketakutan dirinya sendiri (terapis) dalam menghadapi
pasien, sehingga kesadaran dan kesiapan diri terapis untuk melakukan hubungan
dengan pasien dapat dipertanggungjawabkan (Keliat, 1996).
Maka dari itu, seorang terapis dapat mengetahui data-data tentang klien
dan merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Perawat juga dapat bertanya
kepada dirinya sendiri mengenai kesiapannya untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan klien. Dengan begitu, seorang terapis akan menambah
pengalamannya agar lebih efektif dalam memberikan asuhan terapeutiknya.
Tahap ini disebut juga tahap apersepsi di mana perawat menggali lebih
dahulu kemampuan yang dimiliki sebelum kontak/berhubungan dengan klien
termasuk kondisi kecemasan yang menyelimuti diri perawat sehingga terdapat
dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap prainteraksi yaitu
unsur diri sendiri dan unsur klien (Uripni, dkk, 2002).

B. Fase Orientasi/Introduksi
Adalah fase awal interaksi antara perawat dengan klien yang bertujuan
untuk merencanakan apa yang yang akan dilakukan pada fase selanjutnya. Pada
fase ini perawat dapat melakukan:

12
1) Memulai hubungan dan membina hubungan saling percaya. Kegiatan ini
mengindikasi kesiapan perawat untuk membantu klien,
2) Memperjelas keluhan, masalah, atau kebutuhan klien dengan mengajukan
pertanyaan tentang perasaan klien, dan
3) Merencanakan kontrak/kesepakatan yang meliputi lokasi, kapan, dan lama
pertemuan; bahan/materi yang akan diperbincangkan; dan mengakhiri
hubungan sementara (Anjaswarni, 2013).
Dalam memulai interaksi atau hubungan terapeutik, menumbuhkan
kepercayaan seorang klien sangat penting. Klien yang memiliki pengalaman
interpersonal yang menyakitkan akan sulit menerima dan terbuka pada orang
asing. Tugas dari perawat adalah bagaimana ia dapat mengeksploitasi pikiran,
perasaan, perbuatan klien, dan mengidentifikasi masalah, serta merumuskan
tujuan untuk klien.
Pada tahap perkenalan ini tidak ada pembatasan diri antara perawat-klien
dalam konteks komunikasi terapeutik. Perawat menjadi rujukan pertama untuk
mengutarakan keluhan yang dirasakan sehingga klien membuka diri. Dari
keterbukaan tersebut akan dapat memudahkan perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan.

C. Fase Kerja
Adalah fase yang terpenting karena menyangkut kualitas hubungan
perawat-klien dalam asuhan keperawatan. Selama berlangsungnya fase kerja ini,
perawat tidak hanya mencapai tujuan yang telah diinginkan bersama tetapi yang
lebih bermakna adalah bertujuan untuk memandirikan klien. Pada fase ini
perawat menggunakan teknik-teknik komunikasi dalam berkomunikasi dengan
klien sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (sesuai kontrak) (Anjaswarni,
2013).
Tahap kerja merupakan tahap untuk mengimplementasikan rencana
keperawatan yang telah dibuat pada tahap orientasi. Perawat menolong klien
untuk mengatasi cemas, meningkatkan kemandirian, dan tanggung jawab
terhadap diri sendiri serta mengembangkan mekanisme koping konstruktif
(Nurjannah, 2001). Kecemasan yang dihadapi oleh klien rata-rata terjadi

13
dalam fase ini. Namun, demi kebaikan dari klien maka fase ini tidak dapat
dihindari dan harus disikapi dengan baik serta diterima demi kesembuhan dari
klien tersebut. Tetapi bagaimanapun juga bila hal ini tidak mendapat persetujuan
datri klien maka hal tersebut tidak akan dilakukan oleh perawat.
Tindakan ini hanya akan dilakukan bila ada persamaan persepsi, ide, dan
pikiran antara klien dengan perawat dalam melaksanakan tindakan keperawatan
untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan keperawatan yakni dengan
mempercepat proses kesembuhan sehingga sangat diperlukan adanya
kemandirian sikap dari klien dalam mengambil keputusan.
Pada fase kerja, pasien akan dieksplorasi stressor yang tepat dan
mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi,
pikiran, perasaan, dan perbuatan pasien. Maka dari itu, perawat akan membantu
pasien dalam mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung
jawab pada diri sendiri. Perawat dengan pasien akan bekerjasama untuk
mengidentifikasi masalah dan menyusun tujuan spesifik yang berorientasi pada
masalah klien.
Kemudian untuk menanggapi pesan yang disampaikan oleh pasien,
seorang perawat dapat menggunakan beberapa teknik dalam berkomunikasi.
Teknik yang biasanya digunakan saat perawat berhadapan dengan pasien antara
lain yaitu:
1. Mendengar aktif
Keuntungan yang diperoleh jika mampu mengembangkan ketrampilan
mendengar aktif adalah:
a) Pasien dan keluarga merasa didengar dan dipahami
b) Pasien dan keluarga merasa dirinya berharga dan penting
c) Pasien dan keluarga menjadi mudah untuk mendengarkan apa yang kita
sampaikan
d) Pasien dan keluarga merasa nyaman
e) Pasien dan keluarga mampu berkomunikasi
2. Mengajukan pertanyaan
Tujuannya untuk mendapatkan informasi yang spesifik apa yang disampaikan
oleh pasien dan keluarga, antara lain:

14
a) Pertanyaan terbuka, yaitu memberikan dorongan kepada pasien untuk
memilih topik yang akan digunakan. Contoh: “Apa yang sedang Anda
pikirkan?”
b) Pengulangan pertanyaan, yaitu mengulang kembali pikiran utama yang
telah diekspresikan oleh pasien dan keluarga. Contoh: “Anda mengatakan
bahwa Ibu Anda telah meninggalkan Anda ketika Anda berusia 5 tahun?”
c) Pertanyaan klarifikasi, berupaya untuk menjelaskan ide atau pikiran
pasien yang tidak jelas atau meminta pasien untuk menjelaskan artinya.
Contoh: “Saya tidak jelas apa yang Anda maksudkan, dapatkah Anda
memperjelasnya kembali?”
d) Pertanyaan refleksi, yaitu mengarahkan kembali ide, perasaan, pertanyaan
dan isi pembicaraan kepada pasien. Contoh:”Anda tampak tegang dan
cemas, apakah ini berhubungan dengan pembicaraan ibu Anda semalam?”
e) Pertanyaan berbagi persepsi, yaitu meminta pasien untuk memastikan
pengertian perawat tentang apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan
oleh pasien. Contoh: “Anda tersenyum tetapi saya merasa bahwa Anda
sangat marah terhadap saya?”
3. Memberikan informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan
untuk pasien dan keluarga. Pada teknik komunikasi tidak dibenarkan petugas
kesehatan memberikan nasehat kepada pasien karena tujuan tindakan ini adalah
memfasilitasi pasien dalam mengambil keputusan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam memberikan informasi adalah:
a) Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti pasien
b) Katakan dengan jelas
c) Gunakan kata-kata yang positif
d) Tunjukkan sikap yang antusias
4. Memberikan umpan balik
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan dalam melakukan umpan balik:
a) Pelajari hasil kerjanya dengan teliti. Beri tanda pada hal-hal yang perlu
diperbaiki

15
b) Ketika menyampaikan umpan balik perlihatkan contoh-contoh dari kesalahan
yang telah dibuat
c) Kembangkan argumen mengenai dampak negatif yang bisa muncul dari
kesalahan yang dibuat
d) Pastikan penerima umpan balik menyadari kekeliruan, kekurangan, atau
kesalahan
f) Gali lebih dalam mengenai hambatan yang ditemui
g) Dorong penerima umpan balik untuk menemukan jalan keluar dan langkah-
langkah untuk memperbaiki tugasnya/cara kerjanya
h) Buat kesepakatan mengenai perbaikan yang akan dilakukan (Anita Murwani
dan Istichomah, 2009).
Selain itu, seorang perawat juga perlu memperhatikan sikap tertentu untuk
melakukan komunikasi terapeutik, antara lain:
1. Berhadapan, arti posisi ini adalah “saya siap untuk Anda”.
2. Mempertahankan kontak mata, kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien, posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengarkan sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan
keterbukaan berkomunikasi.
5. Tetap relaks, tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberikan respons pada klien.
6. Berjabat tangan, menunjukkan perhatian dan memberikan kenyamanan pada
pasien serta penghargaan atas keberadaannya (Anita Murwani dan
Istichomah, 2009).
D. Fase Terminasi
Dalam fase terminasi ini merupakan fase persiapan mental untuk
membuat kesimpulan dan mempertahankan batas hubungan, fase ini juga
mengantisipasi masalah yang akan timbul, dan fase ini memungkinkan ingatan
pasien pada pengalaman perpisahan sebelumnya sehingga pasien merasa sunyi,
menolak, dan depresi (Anita Murwani dan Istichomah, 2009).

16
Pada fase ini, perawat memberi kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan keberhasilan dirinya dalam mencapai tujuan terapi dan
ungkapan perasaannya. Selanjutnya perawat merencanakan tindak lanjut
pertemuan dan membuat kontrak pertemuan selanjutnya bersama klien. Fase ini
merupakan fase yang sulit untuk kedua belah pihak dalam hubungan terapeutik.
Rasa percaya dan hubungan intim yang telah terbina berada pada tingkat yang
optimal. Perawat dan juga klien akan merasakan kehilangan.
Untuk membina hubungan yang terapeutik ini perawat perlu mengetahui
proses komunikasi yang dapat membantu pasien memecahkan masalahnya. Yang
harus ada dalam proses komunikasi adalah :
a. Sender (pemberi pesan); individu yang bertugas mengirimkan pesan.
b. Receiver (penerima pesan); seseorang yang menerima pesan, bias berbentuk
pesan yang sudah diinterpretasikan.
c. Pesan; informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan
akan efektif bila jelas dan terorganisasi yang diekspresikan oleh si pengirim
pesan.
d. Media; metode yang digunakan dalam pesan yaitu kata, bisa dengan cara
ditulis, diucapkan, diraba, dan dicium.
e. Umpan balik; penerima pesan memberikan informasi/pesan kembali kepada
pengirim pesan dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik
merupakan proses yang kontinu karena memberikan respons pesan dan
mengirimkan pesan berupa stimulus yang baru kepada pengirim pesan
(Anita Murwani dan Istichomah, 2009).

SPSK Terlampir :

17
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Hari/Tanggal : Senin, 20 Januari 2020 No.RM :-


Jam : 08.30 wita Nama : Tn. N
Pertemuan Ke : I (pertama) Asal : Tegal Belodan
Topik : BHSP ( Bina Hubungan Jenis Kelamin : L
Saling percaya

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
DS : Klien mengatakan ingin cepat pulang
DO : Klien tampak tenang, kontak mata kurang Klien tidak mau
berinteraksi dengan temannya dan jika di tanya hanya di jawab dengan
senyuman.
2. Diangnosa Keperawatan
Harga diri rendah situasional berhubungan dengan riwayat kehilangan
ditandai dengan klien berbicara pelan, kontak mata kurang, menolak
interaksi.
3. Tujuan Khusus
Agar klien dapat saling membina hubungan dan meningkatkan rasa percaya
diri.
4. Tindakan
- Sapa klien dengan ramah, baik dengan komunikasi terapeutik
- Jelaskan pertemuan kepada klien yang akan kita lakukan.
- Tanyakan apakah klien setuju dengan tindakan yang kita lakukan.
- Melanjutkan prosedur tindakkan
- Melakukan BHSP (Bina Hubungan Saling Percaya)

B. Strategi Komunikasi Dalam Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


I. Fase Orientasi
a. Salam Terapeutik

18
Selamat pagi bapak perkenalkan kami Mahasiswa dari STIKES
ADVAITA MEDIKA TABANAN, yang bertugas pada pagi hari ini
dari pukul 07.00 wita hingga 13.00 wita siang nanti
b. Evaluasi/Validasi
Bapak boleh saya tahu nama bapak siapa?
Bagaimana keadaan bapak saat ini?
c. Kontrak
 Topik
Bapak sekarang saya akan melakukan bina hubungan saling
percaya yang bertujuan agar bapak bisa membina dan
meningkatkan rasa saling percaya.
 Waktu
Bapak dalam tindakkan ini saya memerlukan waktu kira-kira
sekitar 5 hingga 10 menit.
 Tempat
Bapak saya akan melakukan tindakkan ini di tempat bapak
berada.
II. Fase Kerja
- Bapak sebelum saya mulai tindakkan ini, apakah bapak ada yang ingin
ditanyakan?
- Jika tidak saya mulai tindakkannya
- Bagaimana kabar bapak ?
- Bapak jika boleh saya tahu bagaimana ceritanya bapak bisa disini?
- Bapak darimana?
III. Fase Terminasi
1. Evaluasi
a. Evaluasi Subjektif
Bagaimana perasaan bapak setelah tadi mengobrol?
b. Evaluasi Objektif
Klien tampak cemas, kontak mata kurang
2. Rencana Tindak Lanjut

19
Bapak jika bapak ingin bercerita kembali bapak dapat memanggil saya
atau teman saya yang sedang bertugas ya pak.
3. Kontrak Yang Akan Datang
 Topik
Bapak nanti saya akan datng kembali memberikan bapak massage atau
pijat.
 Waktu
Kira-kira saya membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 10 menit.
 Tempat
Saya akan melakukan tindakkannya di tempat saat ini bapak berada.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Kegiatan komunikasi interpersonal antara perawat dengan
Pasien ODGJ di Kampung Investasi Hati dilakukan dengan tahap-
tahap komunikasi yaitu prainteraksi, orientasi, tahap kerja, dan
terminasi. Para perawat melakukan keempat tahap-tahap komunikasi
pada lansia dengan cara mendekatkan komunikasi secara
interpersonal Komunikasi sering kali dilakukan oleh perawat
terlebih dahulu, untuk membangun atau membuka percakapan yang
terjadi. Setiap perawat memahami karakter masing-masing pasien,
karena setiap pasien ODGJ mengalami gangguan psikologis yang
berbeda. Komunikasi yang dilakukan perawat yang disesuaikan
dengan karakter pasien akan mempermudah perawat dalam
berinteraksi atau melakukan kegiatan didalam panti. kemudian
menumbuhkan rasa nyaman dengan lingkungan panti juga menjadi
hal yang diperhatikan perawat dalam proses membentuk kedekatan.
Para perawat menciptakan lingkungan dengan suasana kekeluargaan
yang penuh dengan keramahan dan kenyamanan layaknya orang
orang normal tanpa membuat pembatas dengan pasien ODGJ
3.2 Saran
Sebagai perawat harus tetap melakukan komunikasi dengan
baik pada pasien khusunya pada pasien ODGJ, karena pada pasien
ODGJ memerlukan teman berbicara agar pasien mau terbuka
dengan masalahnya, sehingga sebagai perawat harus melakukan
komunikasi yang efektif.

21
DAFTAR PUSTAKA

Alo Liliweri,M.S.2003,Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar:


Yogyakarta
Kemenkes Ri. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri
Mundakir. (2006). Komunikasi Keperawatan Aplikasi Dalam Pelayanan.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Marhaeni. (2009). Ilmu komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Jakarta Selatan:Pusdiknakes.
Patricia A. Potter, Anne G. Perry. Fundamental keperawatan.singapore:Elsevier
Jalaluddin Rakhmat, 2003. Psikologi Komunikasi. Penerbit PT. Remaja Rosda
Karya. Bandung
https://nationalgeographic.grid.id/read/13946526/bali-peringkat-4-jumlah-
penderita-gangguan-jiwa-berat-di-indonesia
http://pohoseng.com/komunikasi-pada-pasien-gangguan-fisik-dan jiwa
https://nationalgeographic.grid.id/jumlah-penderita-gangguan-jiwa-di-indonesia
AnjaswariTri.2016.KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN.

22

Anda mungkin juga menyukai