Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KOMUNIKASI

TEKNIK KOMUNIKASI TERAUPEUTIK PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN KHUSUS (GANGGUAN JIWA)

Dosen Pembimbing :

Kastubi, S.Kep, Ns,M.Kes

Disusun Oleh :

1. Anis Sofiyeh (P27820119055)


2. Dwi Rachmawati (P27820119066)
3. Hamida Agum Nur Islami (P27820119071)
4. Mohammad Choirizal Khaidir (P27820119077)
5. Putri Dewi Nurbayti (P27820119087)
6. Rendy Andhika Putra (P27820119088)

Tingkat II Reguler B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini yang berjudul “ Teknik Komunikasi Teraupeutik Pada
Klien Dengan Gangguan Khusus (Gangguan Jiwa) ” ini dengan baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu mata kuliah
Komunikasi yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini. Tak lupa pula
ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah memberikan saran serta
bantuan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca demi terciptanya makalah yang baik dan benar di kemudian hari.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.

Surabaya, 15 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................2
1.4 Manfaat................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Komunikasi............................................................................3
2.2 Definisi Komunikasi Terapeutik..........................................................4
2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik...........................................................4
2.4 Definisi Gangguan Jiwa.......................................................................6
2.5 Penyebab Umum Gangguan Jiwa........................................................7
2.6 Tujuan Komunikasi Teraupeutik pada Pasien Gangguan Jiwa............8
2.7 Komunikasi Teraupeutik Pada Pasien Gangguan Jiwa........................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................23
3.2 Saran...................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan
fokus adanya saling pengertian antarperawat dengan pasien. Komunikasi ini
adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan pasien sehingga dapat
dikategorikan dalam komunikasi pribadi antara perawat dan pasien, perawat
membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003). Untuk itu,
perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin
dalam perilaku “caring” atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
Di sisi lain, penyakit merupakan gangguan fungsi atau adaptasi dari
proses-proses biologis dan psikofisiologis pada seseorang. Kesakitan adalah
reaksi personal, interpersonal serta kultural terhadap penyakit. Kesakitan juga
merupakan respon subjektif dari pasien, serta respon di sekitarnya terhadap
keadaan tidak sehat, tidak hanya memasukkan pengalaman tidak sehatnya
saja, tapi arti dari pengalaman tersebut bagi pasien.
Gangguan jiwa menurut Yosep (2007) adalah kumpulan dari keadaan –
keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun
dengan mental. Keabnormalan terbagi dalam dua golongan yaitu : Gangguan
jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai
gejala adalah ketegangan(tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas,
perbuatan yang terpaksa, hysteria, rasa lemah dan tidak mampu mencapai
tujuan.
Perbedaan neurosa dengan psikosa adalah jika neurosa masih
mengetahui dan mereasakan kesukarannya, serta kepribadiannya tidak jauh
dari realitas dan masih hidup dalam alam kenyataan pada umumnya
sedangkan penderita psikosa tidak memahami kesukarannya, kepribadiannya
(dari segi tanggapan, perasaan/emosi, dan dorongan motivasinya sangat
terganggu ), tidak ada integritas dan ia hidup jauh dari alam kenyataan (Zakiah
dalam Yosep, 2007). Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa dari

1
berbagai masalah sangatlah penting karena pasien tersebut berbeda dari pasien
biasanya. Pasien yang mengalami gangguan jiwa membutuhkan asuhan
keperawatan yang sangat spesifik dari segi mental atau kejiwaannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi komunikasi ?
2. Apa definisi komunikasi teraupeutik ?
3. Apa tujuan komunikasi terapeutik ?
4. Apa definisi dari gangguan jiwa ?
5. Apa penyebab umum gangguan jiwa ?
6. Apa  tujuan komunikasi pada pasien jiwa ?
7. Bagaimana komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa dengan
berbagai  masalah?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa dapat mengklasifikasikan pasien gangguan jiwa dari berbagai
masalah dan cara berkomunikasi yang baik dengan pasien.
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa dapat mengetahui definisi komunikasi.
b. Mahasiswa dapat mengetahui definisi komunikasi teraupeutik.
c. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan komunikasi terapeutik.
d. Mahasiswa dapat mengetahui definisi gangguan jiwa.
e. Mahasiswa dapat mengetahui penyebab umum gangguan jiwa
f. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan komunikasi pada pasien jiwa
g. Mahasiswa dapat mengetahui komunikasi terapeutik pada pasien
gangguan jiwa dengan berbagai masalah
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat berkomunikasi dengan pasien yang mengalami gangguan
jiwa agar dapat memenuhi kebutuhan dasar pasien.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau


pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif, sehingga pesan
yang dimaksud dapat dimengerti. Secara umum,
pengertian komunikasi adalah suatu aktivitas penyampaian informasi, baik itu
pesan, ide, dan gagasan, dari satu pihak ke pihak lainnya. Biasanya aktivitas
komunikasi ini dilakukan secara verbal atau lisan sehingga memudahkan
kedua belah pihak untuk saling mengerti. Sementara itu, komunikasi terjadi
tidak tanpa melalui sebuah proses. Proses komunikasi biasanya dimulai
dengan adanya bahan pembicaraan yang dilontarkan oleh pembicara yang
kemudian diterima oleh penerima. Beberapa ahli memiliki pendapat berbeda
tentang proses terjadinya komunikasi. Pengertian komunikasi menurut para
ahli :
1. James A. F. Stoner
Menurut James A. F. Stoner, pengertian komunikasi adalah suatu
proses pada seseorang yang berusaha untuk memberikan pengertian dan
informasi dengan cara menyampaikan pesan kepada orang lain.
2. Prof. Drs. H. A. W. Widjaya
Menurut Prof. Drs. H. A. W. Widjaya, arti komunikasi adalah
hubungan kontak antar dan antara individu maupun kelompok.
3. Anderson
Menurut Anderson, pengertian komunikasi adalah rangkaian langkah
serah terima maksud yang terjadi dengan dinamis serta konstan berubah
sesuai dengan kondisi yang berlaku.
4. Lexicographer
Menurut Lexicographer, definisi komunikasi adalah upaya yang
bertujuan untuk memberi dan meraih kebersamaan. Tujuan yang ingin
diinginkan kedua belah pihak akan tercapai bila mereka berkomunikasi

3
dan memiliki pemahaman yang selaras tentang informasi yang saling
ditransfer.
5. Aristoteles
Menurut Aristoteles, definisi komunikasi adalah usaha yang berfungsi
sebagai alat warga masyarakat dalam berperan serta dalam demokrasi.
2.2 Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses
penyembuhan klien. Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi
terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada
klien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan
fokus adanya saling pengertian antarperawat dengan pasien. Komunikasi ini
adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan pasien sehingga dapat
dikategorikan dalam komunikasi pribadi antara perawat dan pasien, perawat
membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003). Untuk itu,
perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin
dalam perilaku “caring” atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
2.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi
pasien agar mencapai kondisi yang adaptif dan positif. Komunikasi terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan pasien. Secara lebih rinci, berikut ini pemaparan
tujuan komunikasi terapeutik :
1. Realisasi dan penerimaan diri serta peningkatan penghormatan diri
pasien
Pasien yang memiliki penyakit berat kadangkala mengalami
perubahan terkait gambar dirinya. Ia tidak mampu menerima
keadaannya, mengalami penurunan harga diri, hingga merasa tidak
berarti dan mengalami depresi. Dengan komunikasi terapeutik, perawat
dapat mengembangkan pribadi pasien dengan mengarahkannya pada

4
pertumbuhan pasien yang meliputi realisasi diri, penerimaan diri, serta
peningkatan penghormatan diri. Dengan demikian, diharapkan terjadinya
perubahan dalam diri pasien. Pasien yang pada awalnya tidak bisa
menerima dirinya dan penyakit yang dideritanya dengan apa adanya,
menjadi mampu menerima dirinya.
2. Pasien mampu membina hubungan interpersonal dan saling bergantung
dengan orang lain.
Komunikasi terapeutik dilakukan agar pasien dapat belajar
bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dalam hal ini perawat
perlu melakukan komunikasi yang jujur, terbuka, dan menerima pasien
apa adanya. Dengan begitu, perawat dapat membantu pasien
meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling
percaya. Hubungan mendalam yang digunakan perawat dalam
berinteraksi dengan pasien merupakan area untuk mengekpresikan
kebutuhan, memecahkan masalah, dan meningkatkan kemampuan pasien
dalam membina hubungan.
3. Meningkatkan fungsi dan kemampuan pasien untuk memuaskan
kebutuhannya serta mencapai tujuan yang realistis.
Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu
tinggi atau malah terlalu rendah, tanpa mengukur kemampuan dirinya.
Seseorang yang merasa kenyataan dirinya mendekati ideal, akan
memiliki harga diri yamg tinggi. Sebaliknya seseorang yang merasa
kenyataan hidupnya jauh dari ideal akan merasa rendah diri. Dengan
komunikasi terapeutik, perawat akan membantu pasien mengetahui
batasan serta kemampuan dirinya, sehingga dapat menetapkan ideal diri
atau tujuan yang tepat (baca juga: komunikasi yang efektif).
4. Pasien memiliki rasa identitas yang jelas dan peningkatan integritas diri
Rasa identitas menyangkut status, peran, serta jenis kelamin
seseorang. Pasien yang mengalami gangguan identitas diri biasanya
memiliki integritas diri yang rendah serta perasaan rendah diri. Dengan
komunikasi terapeutik, perawat dapat membantu pasien meningkatkan
integritas diri serta identitas diri yang jelas. Untuk melakukannya,

5
perawat perlu menggali semua aspek kehidupasn pasien, baik di masa
sekarang ataupun masa lalu.
5. Membantu pasien mengurangi beban perasaan dan pikirannya
Dengan komunikasi terapeutik, perawat dapat membantu pasien
untuk memperjelas beban perasaan serta pikiran yang dialaminya,
kemudian membantu menguranginya.
6. Membantu pasien mencapai tingkat kesembuhan yang diharapkan.
Komunikasi terapeutik mempermudah perawat dalam menjalin
hubungan saling percaya dengan pasien, dengan begitu pencapaian tujuan
asuhan keperawatan akan lebih efektif dan memberikan kepuasan secara
profesional.
7. Membantu meningkatkan kualitas asuhan keperawatan bagi pasien
Kualitas hubungan antara perawat dengan pasiennya sangat
mempengaruhi kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien. Komunikasi terapeutik berbeda dengan hubungan sosial biasa.
Komunikasi terapeutik harus memberi dampak percepatan kesembuhan
pasien. Perawat harus menyadari hal ini dalam melakukan komunikasi
dengan pasien.
8. Membantu pasien mengambil tindakan untuk mengubah situasi
Bila pasien percaya pada hal yang diperlukan, perawat dapat
membantu pasien dalam mengambil tidakan untuk mengubah situasi
yang ada.
2.4 Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah gangguan pada otak yang ditandai oleh
terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan
panca indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi
penderita dan keluarganya (Stuart & Sundeen, 1998). Gangguan jiwa dapat
mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial dan ekonomi.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam

6
melaksanakan peran sosial. Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam.
Gangguan Jiwa ada yang bersumber dari hubungan dengan orang lain yang
tidak memuaskan, misalnya seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan
semena-mena, cinta tidak terbalas, kehilangan seseorang yang dicintai,
kehilangan pekerjaan, dan lain-lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang
disebabkan faktor organik, kelainan saraf dan gangguan pada otak
(Djamaludin, 2001). Jiwa atau mental yang sehat tidak hanya berarti bebas
dari gangguan. Seseorang bisa dikatakan jiwanya sehat jika dia bisa dan
mampu untuk menikmati hidup, punya keseimbangan antara aktivitas
kehidupannya, mampu menangani masalah secara sehat, serta berperilaku
normal dan wajar, sesuai dengan tempat atau budaya dimana dia berada.
Orang yang jiwanya sehat juga mampu mengekpresikan emosinya secara baik
dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya, sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan.
Penyakit kejiwaan, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa adalah gangguan
yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah
gangguan otak yang ditandai oleh tegangguanya emosi. Proses berfikir,
perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indra), penyakit mental ini
menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita(dan keluarga).
Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan
manifestasi-manifestasi psikologis atau perilaku terkait dengan penderitaan
yang nyata dan kinerja yang buruk, dan disebabkan oleh gangguan biologis,
sosial, psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi.Gangguan jiwa mewakili suatu
keadaan tidak beres yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu konsep
normatif. Setiap jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan
gejala-gejala yang khas.
2.5 Penyebab Umum Gangguan Jiwa
Sumber penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh factor-faktor pada
ketiga unsur yang terus-menerus saling mempengaruhi(Yosep,2007) yaitu:
1. Faktor – faktor somatik (somatogenik) atau organobiologis :
a. Neroanatomi
b. Nerofisiologi

7
c. Nerokimia
d. Tingkat kematangan dan perkembangan organik
2. Faktor – faktor psikologik (psikogenik) atau psikoedukatif
a. Interaksi ibu-anak: normal(rasa percaya dan rasa aman) atau abnormal
bedasarkan kekurangan, distorsi, dan keadaan yang terputus(perasaan
tak percaya dan kebimbangan).
b. Peranan ayah
c. Persaingan antara saudara kandung
d. Intelegensi
e. Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan dan masyarakat
f. Kehilangan yang menngakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu atau
rasa salah
g. Konsep diri, pengertian identitas diri sendiri lawan peranan yang tidak
menentu
h. Keterampilan, bakat, dan kreatifitas
i. Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya
j. Tingkat perkembangan emosi
3. Faktor-faktor sosio-budaya(sosiogenik) atau sosiokultural
a. Kestabilan keluarga
b. Pola mengasuh anak
c. Tingkat ekonomi
d. Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
2.6 Tujuan Komunikasi Teraupeutik pada Pasien Gangguan Jiwa
1. Perawat dapat memahami ornag lain
2. Menggali perilaku klien
3. Memahami perlunya member pujian
4. Memperoleh informasi klien
2.7 Komunikasi Teraupeutik Pada Pasien Gangguan Jiwa
 Klien dengan Masalah Perilaku Kekerasan
a. Pengertian perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan

8
definisi tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara
verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku
kekerasan dapat terjadi dalm dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung
perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan.
b. Tanda dan Gejala perilaku Kekerasan
Data perilaku kekerasan dapat diperoleh melalui observasi atau
wawancara tentang perilaku berikut ini :
1. Muka merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Jalan mondar mandir
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7. Mengancam secara verbal atau fisik
8. Melempar atau memukul benda/ orang lain
9. Mengepalkan tangan
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak mempunyai kemampuan mencegah/mengontrol perilaku
kekerasan
c. Tindakan Keperawatan Pasien dengan Perilaku Kekerasan
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien
a. Beri salam/panggil nama pasien
b. Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan
c. Jelaskan hubungan interaksi
d. Jelaskan tentang kontrak yang dibuat
e. Lakukan kontak singkat tapi sering
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekarasan
a. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
b. Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab kesal/jengkel
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
a. Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami saat marah
b. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien

9
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda kesal yang dialaminya
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
a. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan
b. Bicarakan dengan klien apakah cara yang klien lakukan agar
masalahnya selesai
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien
b. Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang dilakukan klien
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruksif dalam merespon
terhadap kemarahan
a. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru
yang sehat?”
b. Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat
c. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan
a. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien
b. Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara memilih
c. Bantu keluarga untuk menstimulasi cara tersebut
d. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari
saat marah
8. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan
a. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap apa
yang telah dilakuakn keluarga terhadap klien selama ini
b. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien
c. Jelaskan cara-cara merawat klien
d. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
e. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi

10
9. Klien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya (jenis, waktu,dosis dan efek)
a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien
keluarga
b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum
obat tanpa seizin dokter
c. Jelaskan prinsip benar minum obat(baca nama yang tertera
dalam obat, dosis obat,waktu dan cara minum)
d. Ajarkan klien minum dengan tepat waktu
e. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan
efek yang tidak menyenangkan
f. Beri pujian,jika klien minum obat dengan benar
 Klien dengan Masalah Harga Diri Rendah
a. Pengertian harga diri rendah
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti
dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negative terhadap
diri sendiri dan kemampuan diri
b. Tanda dan gejala harga diri rendah
1. Mengkritik diri sendiri
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Penurunan produktivitas
5. Penolakan terhadap kemampuan diri
c. Tindakan keperawatan pasien dengan harga diri rendah
1. Membina hubungan saling percaya perawat-klien
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

11
g. Beri perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengidentifikasi aspek yang dimiliki klien dapat
menilai  kemampuan yang digunakan
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
b. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi nilai negative
c. Utamakan memeberi pujian realistic
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
a. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat
digunakan selama sakit
b. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaan
4. Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan
yang dimiliki
a. Rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan
b. Tingkatkan kegiatan yang sesuai dengan toleransi kondisi klien
c. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya
a. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan rumah
6. Klien dapat memanfaatkan system pendukung yang ada
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara
merawat klien dengan harga diri rendah
2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan rumah
d. Tindakan dan peran keluarga dalam meningkatkan harga diri
klien
1. Meningkatkan harga diri klien
2. Menjalin hubungan saling percaya
3. Memberi kegiatan sesuai kemampuan klien

12
4. Meningkatkan kontak dengan orang lain
5. Dorong mengungkapkan pikiran dan perasaannya
6. Bantu melihat prestasi dan kemampuan klien
7. Bantu mengenal harapan
8. Membantu klien mengungkapkan upaya yang bisa digunakan
dalam menghadapi masalah
9. Menetapkan tujuan yang nyata
10. Bantu klien mengungkapkan beberapa rencana menyelsaikan
masalah
11. Membantu memilih cara yang sesuai untuk klien
 Klien dengan Masalah Halusinasi
a. Pengertian halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana
pasien mengalami perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu
berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan atau penghiduan.
Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Menurut Varcarolis, halusinasi dapat didefinisikan sebagai
terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat
stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi
pendengaran, penglihatan, penciuman dan pengecapan. Pasien
merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada. Pasien merasa ada suara
padahal tidak ada stimulus suara. Melihat bayangan orang atau sesuatu
yang menakutkan padahal tidak ada bayangan tersebut. Membaui bau-
bauan tertentu padahal orang lain tidak mersakan hal yang serupa.
Merasakan mengecap sesuatu padahal orang lain tidak sedang makan
sesuatu apapun. Merasakan sensasi rabaan padahal tidak ada apapun
dalam permukaan kulit.
b. Faktor Penyebab Halusinasi
1. Predisposisi
a) Faktor  Perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya
rendahnya control dan kehangatan keluarga menyebabkan klien

13
tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya
diri dan lebih rentan terhadap stress.
b) Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak
kecil akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya
c) Faktor Biokimia
Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di
dalam tubuh akan menghasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferase (DMP). Akibat bekepanjangan menyebabkan
teraktifasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi
ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine.
d) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab
mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini
berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil
keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e) Faktor genetic dan pola asuh
f) Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh
orangtua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil
studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Rawlins dan heacock, 1993 mencoba memecahkan
masalah halusinasi berlandaskan atas hakikatkeberadaan seseorang
individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsure-unsur
bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5
dimensi yaitu :
a. Dimensi fisik

14
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik
seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan,
demam hingga delirium, intoksikasi alcohol dan kesulitan untuk
tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang
tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi
dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.
Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga
dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
c. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri
untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua
perilaku klien.
d. Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal
dan comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi social, control diri dan harga diri yang
tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
system control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman dirinya atau orang lain individu
cenderung untuk itu.
e. Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan
hidup, rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan

15
jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri. Irama
sirkandiannya terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan
bangun saat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rezeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain
yang menyebabkan takdirnya memburuk.
c. Tindakan keperawatan pasien dengan halusinasi
1. Membina hubungan saling percaya perawat-klien
a. Sapa klien dengan ramah dan baik verbal maupun nonverbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien adanya
g. Beri perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenali halusinasi
a. Adakan kontak yang sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya, bicara
dan tertawa tanpa stimulus, memandang ke kiri/ke kanan/ ke
depan seolah-olah ada teman bicara
c. Bantu klien mengenal halusinasinya
d. Jika menemukan klien yang sedang halusinasi, tanyakan apakah
ada suara yang didengar
e. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan
f. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu,
namun perawat sendiri tidak mendengarnya
g. Katakan bahwa klien lain juga ada seperti klien
h. Katakan bahwa perawat akan membantu klien
i. Diskusikan dengan klien :
 Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusiansi

16
 Waktu dan frekuensi terjadinya halusiansi(pagi, siang, sore,
dan malam atau jika sendiri sedih, jengkel/sedih). Diskusikan
dengan klienapa yang dirasakan jika terjadi
halusinasi(marah/takut,senang,sedih) lalu beri kesempatan
mengungkapkan perasaannya.
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi(tidur, marah, menyibukkan diri)
b. Diskusikan manfaat cara yang dilakukan klien, jika bermanfaat
beri pujian
c. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya
halusinasi:
 Katakan “saya tidak mau dengar kamu”(pada saat halusinasi
terjadi)
 Menemui orang lain(perawat/teman/anggota keluarga) untuk
bercakap-cakap atau mengatakan halusinasi yang terdengar
 Membuat jadwal kegiatan sehari-hari agar halusinasi tidak
sampai muncul
 Meminta keluarga/teman/perawat menyapa klien jika tampak
berbicara sendiri
d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutus halusinasi secara
bertahap
e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih,
evaluasi hasil dan beri pujian jika berhasil
f. Anjurkan klien mengikuti terapi aktifitas kelompok orientasi
realita, stimulasi persepsi
4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi
a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami
halusinasi
b. Diskusikan dengan keluarga(pada saat kunjungan
berkunjung/kunjungan rumah) :
 Gejala halusinasi yang dialami klien

17
 Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi
 Cara merawat anggota yang halusinasi di rumah, beri kegiatan,
jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama
 Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat
bantuan : halusinasi tidak terkontrol, risiko menciderai orang
5. Klien memanfaatkan obat yang baik
a) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi,
dan manfaat obat
b) Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya
c) Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek
samping obat yang dirasakan
d) Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi
e) Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip yang benar
d. Tindakan keperawatan keluarga pasien dengan halusinasi
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien
2) Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis
halusinasi yang dialmi pasien, tanda dan gejala halusinasi
3) Beri kesempatan pada keluarga untuk memperagakan cara merawat
pasien dengan halusinasi langsung di depan pasien
4) Buat perencanaan pulang bersama keluarga
 Klien dengan Masalah Isolasi Sosial
a. Pengertian Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain.
b. Tanda dan gejala isolasi social
1. Gejala subjektif
- Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain

18
- Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
- Respons verbal kurang dan sangat singkat
- Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
- Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
- Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
- Klien merasa tidak berguna
- Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
- Klien merasa ditolak
2. Gejala objektif
- Klien banyak diam dan tidak mau berbicara
- Tidak mengikutu kegiatan
- Banyak berdiam diri di kamar
- üKlien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat
- Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
- Kontak mata kurang
- Kurang spontan
- Apatis(acuh terhadap lingkungan)
- Ekspresi wajah kurang berseri
- Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
- Mengisolasi diri
- Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
- Masukan makanan dan minuman terganggu
- Retensi urine dan feses
- Aktivitas menurun
- Kurang energi(tenaga)
- Rendah diri
c. Tindakan keperawatan terhadap pasien isolasi social
1. Membina hubungan saling percaya
Untuk membina hubungan saling percaya pada pasien isolasi
sosial kadang perlu waktu yang tidak singkat. Perawat harus

19
konsisten bersikap terapeutik pada pasien.Tindakan yang harus
dilakukan dalam membina hubungan saling percaya adalah :
a) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien
b) Berkenalan dengan pasien
c) Menanyakan perasaan dan keluhan klien saat ini
d) Buat kontrak asuhan : apa yang akan dilakukan bersama klien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya dimana
e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh demi kepentingan terapi
f) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap klien
g) Penuhi kebutuhan dasar klien saat berinteraksi
2. Membantu klien menyadari perilaku isolasi social
Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadarkan klien
bahwa isolasi sosial merupakan masalah dan perlu diatasi : hal
tersebut dapat digali dengan menanyakan :
a) Pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain
b) Menayakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain
c) Diskusikan keuntungan bila klien memiliki banyak teman dan
bergaul akrab dengan mereka
d) Diskusikan kerugian bila klien hanya mengurung diri dan tidak
bergaul dengan orang lain
e) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik klien
3. Melatih klien cara-cara berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
a) Jelaskan kepada klien cara berinteraksi dengan orang lain
b) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain
c) Beri kesempatan klien mempraktikkan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan di hadapan perawat
d) Mulialah bantu klien berinteraksi dengan satu orang teman/
anggota keluarga

20
e) Bila klien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah
interaksi dengan dua,tiga,empat orang dan seterusnya
f) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan
oleh klien
g) Siap mendengarkan ekspresi perasaan klien dengan orang lain.
Beri dorongan terus menerus agar klien tetap semangat
meningkatkan interaksinya.
4. Diskusikan dengan klien tentang kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki
5. Inventarisir kelebihan klien yang dapat dijadikan motivasi unutk
membangun kepercayaan diri klien dalam pergaulan
6. Ajarkan kepada klien koping mekanisme yang konstruktif
7. Libatkan klien dalam interaksi dan terapi kelompok secara bertahap
8. Diskusikan dengan keluarga pentingnya interaksi klien yang dimulai
dengan keluarga terdekat
9. Eksplorasi keyakinan agama klien dalam menumbuhkan sikap
pentingnya sosialisasi dengan lingkungan sekitar
d. Tindakan keperawatan keluarga pasien dengan isolasi social
Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien isolasi
sosial di rumah adalah :
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Menjelaskan tentang :
a) Masalah sosial dan dampaknya pada pasien
b) Penyebab isolasi social
c) Cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial antara lain :
 Membina hubungan saling percaya dengan pasien dengan cara
bersikap peduli dan tidak ingkar janji
 Memberikan semangat dan dorongan kepada pasien untuk bisa
melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain yaitu
tidak mencela kondisi pasien dan memberikan pujian yang
wajar

21
 Tidak membiarkan pasien dirumah
 Membuat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan pasien
3. Memperagakan cara merawat pasien dengan isolasi social
4. Membantu keluarga mempraktikkan cara merawat yang telah
dipelajari, mendiskusikan yang dihadapi
5. Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi interpersonal dengan
fokus adanya saling pengertian antarperawat dengan pasien. Untuk itu,
perawat memerlukan kemampuan khusus dan kepedulian sosial yang
mencakup ketrampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin
dalam perilaku “caring” atau kasih sayang/cinta (Johnson, 1989) dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
Secara langsung, gangguan psikologis / jiwa dapat dijelaskan dengan
mengetahui penyebab psikologis itu sendiri. Penyebab tersebut diantara
lainnya seperti stres, pengalaman trauma, dan masalah pada masa kanak-
kanak. Sementara itu, gangguan fisik diakibatkan oleh penyebab fisik yang
beraneka ragam. Dengan mengetahui perbedaan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa gangguan psikologis seharusnya disembuhkan dengan sarana psikologi
seperti psikoterapi dan terapi perilaku, sedangkan gangguan fisik
disembuhkan secara medis.
3.2 Saran
1. Pengobat harus bisa menghadapi pasien dengan gangguan fisik dan jiwa
agar terjadi hubungan terapeutik dengan pasien. Walaupun pasien
mempunyai gangguan persepsi sensori, pengobat harus merawat pasien
dengan baik dan mengetahui teknik-teknik komunikasi yang harus lebih
diperhatikan.
2. Pengobat mampu menguasai cara-cara berkomunikasi dengan pasien yang
terganggu fisik dan mentalnya lebih efektif karena telah mengetahui
bagaimana terapeutik berkomunikasi dengan pasien gangguan fisik dan
jiwa, serta mengetahui hambatan yang akan ditemui pada saat akan
berkomunikasi.
3. Pengobat mampu menerapkan teknik-teknik komunikasi, cara
berkomunikasi, tahapan komunikasi serta faktor yang menghambat
komunikasi pada pasien gangguan fisik dan jiwa.

23
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, 2008, Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan, Bandung,


Redika Aditama.

Kariyoso, 1994, Pengantar Komunikasi Bagi Siswa Perawat, Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Liliweri, Alo, 2007, Dasar- Dasar Komunikasi Kesehatan, Yogyakarta, Pustaka


Pelajar.

Liputan 6, 2019, Proses Komunikasi dan Pengertiannya Menurut Para Ahli,


Liputan 6, https://www.liputan6.com/citizen6/read/3877665/proses-
komunikasi-dan-pengertiannya-menurut-para-ahli#:~:text=Pengertian
%20Komunikasi%20Menurut%20Para%20Ahli&text=Menurut%20James
%20A.%20F.,menyampaikan%20pesan%20kepada%20orang%20lain,
Diakses pada tanggal 15 November 2020.
Ivony, 2018, 13 Tujuan Komunikasi Terapeutik, Pakar Komunikasi,
https://pakarkomunikasi.com/tujuan-komunikasi-terapeutik, Diakses pada
tanggal 15 November 2020.

24

Anda mungkin juga menyukai