Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KOMUNIKASI PADA LANSIA

OLEH :
KELOMPOK 1
MUTHMAINNA FATIRA RAMADHANI (2115017)
NURUL HANISAH (2115027)
PUTRIANY (2115028)
SALSABILA HANA PUTRI (2115034)
RISKA (2115033)
FADHIL HARIS (2115007)
MUH AGUSTIAWAN (2115121)

AKADEMI KEPERAWATAN MAPPAOUDANG MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PPENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah KOMUNIKASI
yang berjudul KOMUNIKASI PADA LANSIA dan salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhamad SAW.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk penulis,
kritik dan saran dari pembaca akan sangat perlu untuk memperbaiki dalam penulisan makalah
dan akan diterima dengan senang hati. Serta semoga makalah ini tercatat menjadi materi bagi
penulis untuk penulisan makalah yang lebih baik dan bermanfaat. Untuk itu kami akan
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna sempurna makalah ini.

Makassar, 11 November 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia memiliki siklus kehidupan berawal dari bayi yang baru lahir hingga
lanjut usia (lansia). Siklus kehidupan ini memiliki tahapan yang berbeda. Perbedaan itu
terlihat pula pada tahapan berkomunikasi. Komunikasi yang dilakukan oleh seorang bayi
baru saja belajar berbeda dengan yang dilakukan oleh balita. Komunikasi yang dilakukan
oleh remaja berbeda dengan orang dewasa. Demikian pula yang dilakukan oleh lansia,
topik yang dibicarakan berbeda-beda. Lansia cenderung membicarakan tentang kesehatan
dan keluarga. Lanjut usia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang
yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Pengertian lanjut usia diatas sama
pengertiannya yang tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 25 tentang Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lansia Tahun 2016-2019.
Menurut Santoso, J. (1985:2) lanjut usia merupakan salah satu fase dari
perkembangan psikologis seseorang, sebagai fase perkembangan terakhir. Gejala proses
menjadi tua sudah dimulai pada umur 65 tahun yang dikenal sebagai masa tua awal,
sedangkan umur 75 tahun merupakan masa usia lanjut. Mereka yang tergolong lanjut usia
mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik bagi para
lansia mengalami penurunan kesehatan karena antibody yang dimiliki lansia sudah tidak
sebagus saat masih muda. Mereka sangat rentan dengan berbagai penyakit termasuk jenis
penyakit yang tidak menular. 2 Berdasarkan data Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat Kementerian Kesehatan RI tahun 2018 (www.depkes.go.id) 1 penyakit tidak
menular terdiri atas kanker, stroke, ginjal kronis, diabetes melitus dan hipertensi adalah
penyakit yang sering dialami di usia lanjut. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2018 menunjukkan prevalensi penyakit tidak menular mengalami kenaikan jika
dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2013, antara lain kanker, stroke, penyakit ginjal
kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. Prevalensi kanker naik dari 1,4% (Riskesdas,
2013) menjadi 1,8%; prevalensi stroke naik dari 7% menjadi 10,9% dan penyakit ginjal
kronik naik dari 2% menjadi 3,8%. Seorang lanjut usia secara umum mengalami
perubahan dalam aspek kepribadian terutama menyangkut masalah self esteem, depresi
dan beberapa problemnya yang menyangkut tingkah laku. Dalam aspek emosi mulai
nampak adanya sikap insecure, rasa takut dan merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit, adanya sikap bingung dan putus asa. Nampak kesulitan mengikuti pikiran orang
lain, kurang bisa lagi menikmati keindahan dan ditambah adanya kemunduran pada fisik
sehingga membatasi dirinya untuk tidak sebebas berkomunikasi dengan lingkungannya
(Santoso, J., 1985: 8). Kemunduran fisik dan psikologi pada lansia menyebabkan perlu
adanya kesejahteraan dan perhatian pada lansia. Perhatian pemerintah terbentuk dari
adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia. Pada pasal 3 dijelaskan bahwa upaya peningkatan
kesejahteraan sosial lanjut usia diarahkan agar lanjut usia tetap dapat diberdayakan
sehingga berperan dalam kegiatan pembangunan dengan memperhatikan fungsi, kearifan,
pengetahuan, keahlian, keterampilan, pengalaman, usia dan kondisi fisiknya serta
terselenggaranya pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial lanjut usia.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian Komunikasi Kesehatan
2.Apa tujuan Komunikasi
3.Bagaimana Bentuk Komunikasi
4.Apa saja faktor yang memepengaruhi komunikasi
5.Bagaimana Komunikasi dengan Lansia
C. TUJUAN
Diharapkan mahasiswa mampu memahami komunikasi terapeutik dan teknik pelaksanaan
tindakan keperawatan pada pasien lansia serta dapat menerapkan komunikasi terapeutik pada
pasien lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KOMUNIKASI KESEHATAN
Komunikasi adalah suatu hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
masalah hubungan atau dapat diartikan sebagai saling tukar-menukar pendapat.
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang
untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan orang lain (Potter
& Perry, 2005: 301).Komunikasi menrupakan alat yang efektif untuk mempengaruhi
tingkah laku manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan dipelihara secara terus-
menerus. Komunikasi bertujuan untuk memudahkan, melancarkan, melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan optimal, baik komunikasi
dalam lingkup pekerjaan maupun hubungan antar manusia.
Komunikasi terapeutik merupakan istilah yang berasal dari bahasa inggris yaitu
“Communication”. Kata communication itu sendiri berasal dari kata latin
“communication” yang artinya pemberitahuan atau pertukaran ide, dengan pembicara
mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya (Suryani, 2005).
Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan (As
Hornby dalam Intan, 2005). Maka disini dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala
sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu
adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan atau
pemulihan klien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional bagi
perawat.

Komunikasi Menurut Para ahli

 Komunikasi merupakan proses pemindahan dan pertukaran pesan, dimana pesan


ini dapat berbentuk fakta. gagasan. perasaan. data atau informasi dari seseorang
kepada orang lain. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruni dan
mengubah informasi yang diminiki serta ungkan laku orang vang menerima pesan
tersebut. (Achmad S. Ruky).
 Komunikasi merupakan proses yang dinamis. Proses in secara konstan berubah
sesuai dengan situasi yang berlaku. (Anderson)
 Komunikasi menurut Anwar Arifin merupakan sebuah konsep multi makna.
Dalam makna social, komunikasi merupakan proses social yang berkaitan dengan
kegiatan manusia dan kaitannya dengan pesan dan perilaku. (Anwar Arifin)
 Atep Aditya Barata mendefinisikan komunikasi sebagai proses pengiriman dan
penerimaan pesan, berita atau informasi yang terjadi diantara dua orang atau
lebih. Proses ini dilakukan secara efektif agar pesan yang disampaikan dapat
dipahami oleh penerimanya.
 Komunikasi timbul ole karena adanya dorongan kebutuhan seseorang untuk
mengurangi rasa ketidakpastian, untuk bertindak secara efektif, dan untuk
mempertahankan atau memperkuat ego. (Barnlund)
 Komunikasi dapat didefinisikan sebagai prilaku verbal atau simbolik dimana
pengirimnya berusaha mendapatkan efek yang dikehendakinya dari penerima
(BF. Skinner).

Dalam buku 'Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar' karangan Dedy Mulyana, Bernard
Berelson dan Gary A. Steiner menyatakan bahwa komunikasi merupakan sebuah
tindakan atau proses transmisi informasi, gagasan, emosi, ketrampilan, dan
semacamnya. Hal yang di transmisikan ini dapat berupa simbol-simbol, kata-kata,
gambar, figur, grafik dan semacamnya.

Komunikasi Terapeutik Menurut Para Ahli

 Northouse (1998): Komunikasi terapeutik adalah kemampuan perawat dalam


membantu klien untuk dapat beradaptasi dengan stress yang dialaminya. Serta
mengatasi gangguan psikologis, dan belajar untuk berhubungan baik dengan
orang lain.
 Stuart G.W (1998): Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal
antara perawat dan pasiennya. Dimana dalam hubungan ini perawat dan klien
bersama-sama belajar untuk memperbaiki pengalaman emosional klien
 Sundeen (1990): hubungan terapeutik merupakan sebuah hubungan kerjasama.
Hubungan ini ditandai dengan tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan
pengalaman antara perawat dan pasien untuk membina hubungan intim yang
terapeutik.
 Mahmud Machfoeds (2009): Komunikasi Terapeurik merupakan pengalaman
interaktif antara perawat dan pasien ya ng didapatkan secara bersama melalui
komunikasi. Komunikasi disini bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang
pasien hadapi.
 Wahyu Purwaningsih dan Ina Karlina (2010): komunikasi terapeutik berfokus
pada klien dalam memenuhi kebutuhan klien, serta memiliki tujuan spesifik, dan
batas waktu yang ditetapkan bersama. Merupakan hubungan timbal balik saling
berbagi perasaan yang berorientasi pada masa sekarang.

Komunikasi Interpersonal Terhadap Lansia

Komunikasi interpersonal merupakan proses penyampaian informasi, pikiran dan


sikap tertentu antara 2 orang atau lebih yang terjadi pergantian pesan baik sebagai
komunikan maupun komunikator dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian,
mengenai masalah yang akan dibicarakan dan akhirnya diharapkan terjadi perubahan
perilaku (Ngalimun, 2018:9). Menurut Andrianti, N. (2018:39), komunikasi
interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik
secara verbal maupun non verbal. Komunikasi interpersonal adalah proses
pemindahan informasi dan pengertian antara 2 orang atau lebih, yang masing-masing
berusaha untuk memberikan arti pada pesan-pesan simbolik yang dikirim melalui
suatu media yang menimbulkan umpan balik (Laksana, W.M., 2015:67).

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan aktif bukan pasif. Komunikasi


interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim pada penerima pesan, begitu
pula sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima
pesan (Ngalimun, 2018:4). Sedangkan menurut (Lalongkoe, R.M. dan Edison A.T.,
2014:94), komunikasi interpersonal merupakan proses penyebaran informasi dan
berbagi yang dilakukan minimal oleh 2 orang, secara langsung, dengan tatap muka,
dan bersifat 2 arah serta memiliki tujuan khusus.

Situasi komunikasi interpersonal dianggap penting karena prosesnya berlangsung


secara dialogis. Komunikasi yang berlangsung secara dialogis selalu lebih baik dari
pada secara monologis. Monolog menunjukkan satu bentuk komunikasi ketika
seseorang berbicara sedangkan yang lain mendengarkan jadi tidak ada interaksi, yang
aktif hanya komunikatornya sedangkan komunikan bersifat pasif (Laksana, W.M.,
2015:68).

Komunikasi interpersonal mempunyai 2 pendekatan dasar yakni komunikasi


diadik dimana komunikasi antara 2 orang dalam situasi tatap muka. Dilakukan dalam
bentuk percakapan dialog dan wawancara. Percakapan ini bersifat lebih intim, akrab
dan lebih personal. Wawancara lebih formal atau serius. Lalu ada komunikasi triadik
dimana komunikasi antar pribadi yang melibatkan lebih dari 3 orang (seorang
komunikator dan 2 orang komunikan). Komunikasi interpersonal berlangsung secara
dialogis sehingga memungkinkan interaksi dan dianggap sebagai komunikasi paling
ampuh dalam mengubah sikap, opini, kepercayaan dan perilaku komunikan, karena
dilakukan secara tatap muka (Lalongkoe, R.M. dan Edison A.T., 2014:95).

Komunikasi interpersonal yang dilakukan menghasilkan hubungan interpersonal


yang efektif dan kerja sama bisa ditingkatkan maka perlu bersikap terbuka, sikap
percaya, sikap mendukung dan terbuka yang mendorong timbulnya sikap yang saling
memahami, menghargai, dan saling mengembangkan kualitas (Ngalimun, 2018:8).

B. TUJUAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK


Dengan memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik, perawat akan lebih
mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih efektif
dalam mencapai tujuan asuhan keperawatan yang telah diterapkan, memberikan kepuasan
profesional dalam pelayanan keperawatan dan akan meningkatkan profesi.

Tujuan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994) adalah :

1. Membantu pasien untuk memperielas dan mengurangi beban perasaan dan


fikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila
pasien percaya pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri
C. BENTUK KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Bentuk komunikasi terdiri dari komunikasi verbal dan non verbal (Potter dan Perry dalam
Christina, dkk., 2003) :
1. Komunikasi verbal
Komunikasi verbal mempunyai karakteristik jelas dan ringkas. Pembendaharaan
kata mudah dimengerti, mempunyai arti denotatif dan konotatif, intonasi
mempengaruhi isi pesan, kecepatan bicara yang memiliki tempo dan jeda yang
tepat. Syarat komunikasi verbal:
a. Jelas dan ringkas
Komunikasi berlangsung efektif, sederhana, pendek dan langsung. makin
sedikit katakata yang digunakan, makin kecil terjadi kerancuan. ulang
bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerima pesan perlu
mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa, dan di mana. Ringkas
dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara
sederhana.
b. Pembendaharaan Kata
Penggunaan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pasien. komunikasi
tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata
dan ucapan.
c. Arti denotatif dan konotatif
Perawat harus mampu memilih kata-kata yang tidak banyak
disalahtafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi,
terapi dan kondisi klien. Arti denotatif memberikan pengertian yang sama
terhadap kata yang digunakan, sedangkan ati konotatif merupakan
perasaan, pikiran, atau ide yang terdapat dalam suatu kata
d. Intonasi Nada
Suara pembicaraan mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan
yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara angsung
mempengaruhi nada suaranya.
2. Komunikasi non Verbal
Komunikasi non verbal berdampak yang lebih besar dari pada komunikasi verbal.
Stuart dan Sundeen dalam suryani, (2006) meengatakan bahwa sekitar 7 %
pemahaman dapat ditimbulkan karena kata-kata, sekitar 30% karena bahasa
paralinguistik dan 55% karena bahasa tubuh. Komunikasi non verbal dapat
disampaikan melalui beberapa cara yaitu :
a. Penampilan fisik
Penampilan fisik perawat mempengaruhi persepsi klien terhadap
pelayanan keperawatanyang diterima. Adapun contohnya adalah cara
berpakaian, dan berhias menunjukan kepribadiannya.
b. Sikap Tubuh dan Cara Berialan
Perawat dapat menyimpulkan informasi yang bermanfaat dengan
mengamati sikap tubuh dan langkah klien.langkah dapat dipengaruhi
olehfaktor fisik, seperti rasa sakit, obat dan fraktur
c. Ekpresi wajah
Hasil penelitian menunjukan enam keadaan emosi utama yang tampak
melalui ekspresi wajah, terkejut, takut,marah, jijik bahagia dan sedih.
Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar peenting dalam
menentukan pendapat interpersonal.
d. Sentuhan Kasih sayang, dukungan emosional, dan perhatian diberikan
melalui sentuhan. Sentuhan merupakan bagian penting dalam hubungan
perawat-klien, namun harus memperhatikan norma sosial.
e. Metakomunikasi
Komunikasi tidak hanya tergantung pada pesan tetapi juga pada hubungan
antara pembicara dengan lawan bicaranya. Metakomunikasi adalah suatu
komentar terhadap isi pembicaraan dan sifat hubungan antara yang
berbicara, yaitu pesan di dalam pesan yang menyampaikan sikap dan
perasaan pengirim terhadap pendengar. Contoh: tersenyum ketika sedang
marah.
Stuart dan Sundeen dalam Taufik (2010:45) menjelaskan bahwa dalam prosesnya
komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap persiapan atau tahap
pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. Adapun
penjelasan dari masingmasing tahapan tersebut sebagai berikut:
(1) Tahap pra-interaksi
pada tahap prainteraksi, perawat/dokter sebagai komunikator yang
melaksanakan komunikasi terapeutik mempersiapkan dirinya untuk bertemu
dengan klien atau pasien. Sebelum bertemu pasien, perawat/ dokter haruslah
mengetahui beberapa informasi mengenai pasien, baik berupa nama, umur,
jenis kelamin, keluhan penyakit, dan sebagainya. Apabila perawat/ dokter
telah dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum bertemu dengan pasien,
maka ia akan bisa menyesuaikan cara yang paling tepat dalam menyampaikan
komunikasi terapeutik kepada pasien, sehingga pasien dapat dengan nyaman
berkonsultasi dengan petugas/dokter.
(2) Tahap perkenalan atau tahap orientasi
pada tahap ini antara petugas/dokter dan pasien terjadi kontak dan pada tahap
ini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk
diamati. Kualitas-kualitas lain seperti sifat bersahabat kehangatan,
keterbukaan dan dinamisme juga terungkap.
(3) Tahap kerja
Tahap kerja atau sering disebut sebagai tahap lanjutan adalah tahap
pengenalan lebih jauh, dilakukan untuk meningkatkan sikap penerimaan satu
sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi
masalah yang ada, pada tahap ini termasuk pada tahap persahabatan yang
menghendaki agar kedua pihak harus merasa mempunyai kedudukan yang
sama, dalam artian ada keseimbangan dan kesejajaran kedudukan. Secara
psikologis komunikasi yang bersifat terapeutik akan membuat pasien lebih
tenang, dan tidak gelisah.
(4) Tahapan terminasi
pada tahap ini terjadi pengikatan antar pribadi yang lebih jauh, merupakan
fase persiapan mental untuk membuat perencanaan tentang kesimpulan
perawatan yang didapat dan mempertahankan batas hubungan yang
ditentukan, yang diukur, antara lain, mengantisipasi masalah yang akan timbul
karena pada tahap ini merupakan tahap persiapan mental atas rencana
pengobatan, melakukan peningkatan komunikasi untuk mengurangi
ketergantungan pasien pada petugas/dokter. Terminasi merupakan akhir dari
setiap pertemuan antara petugas dengan klien. Bahwa tahap terminasi dibagi
dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara
adalah akhir dari setiap pertemuan, pada terminasi ini klien akan bertemu
kembali pada waktu yang telah ditentukan, sedangkan terminasi akhir terjadi
jika klien selesai menjalani pengobatannya.

D. PASIEN LANSIA
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung di rumah sakit (Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit). Orang lanjut usia (lansia) pada umumnya menderita lebih dari satu penyakit. Hal
ini pun membuat mereka harus mendatangi sejumlah dokter spesialis untuk berobat
(Maharani, 2014).
Pada kenyataannya, pasien lansia berbeda dengan pasien kebanyakan. Pasien
lansia mempunyai cara khusus dalam perawatannya mengingat usianya sudah tidak muda
lagi dan kebanyakan dari pasien lansia mempunyai penyakit yang kompleks dan atau
beberapa penyakit sekaligus. Kegiatan ini, menurut Depkes (1993:1b), untuk memberikan
bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan, dan pertolongan kepada lanjut usia
secara individu maupun kelompok, seperti di rumah atau lingkungan keluarga,
puskesmas, yang diberikan perawat. Untuk asuhan keperawatan yang masih dapat
dilakukan anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan,
diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan
melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti. Adapun asuhan keperawatan dasar
yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau
pasif, antara lain, untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa
dukungan tentang personal hygiene, kebersihan lingkungan serta makanan yang sesuai
dan kesegaran jasmani; untuk lanjut usia yang telah mengalami pasif, yang tergantung
pada orang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama sama seperti pada lanjut usia aktif, dengan
bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas. Khususnya bagi yang lumpuh, perlu
dicegah agar tidak terjadi dekubitus.Lanjut usia mempunyai potensi besar untuk terjadi
dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia dalam Perwari
(2015).

Pendekatan Keperawatan Lanjut Usia Berdasarkan kondisi di lapangan, nyatanya


perawatan bagi lanjut usia mempunyai pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan Fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadiankejadian
yang dialami pasien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ
tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit
yang dapat dicegah atau ditekan progresivitasnya. Perawatan fisik secara umum
bagi pasien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni pasien lanjut usia yang
masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang
lain sehingga untuk kebutuhan sehari-hari masih mampu melakukan sendiri;
pasien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan
pasien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan
keberhasilan perorangan untuk mempertahankan kesehatannya. Kebersihan
perorangan (personal hygiene) sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya
peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila keberihan kurang
mendapat perhatian.
2. Pendekatan psikis
Perawat harus mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan
edukatif pada lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing, dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan
waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para
lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Triple S”, yaitu
sabar, simpatik, dan service. Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan
pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara
perlahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah
pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah
beban, bila perlu diusahakan agar dimasa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas
dan bahagia.
3. Pendekatan Sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka.
Pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang
dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan sosial antara lanjut usia
dan lanjut usia maupun lanjut usia dan perawat sendiri. Perawat memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lajut usia untuk mengadakan
komunikasi dan melakukan rekreasi, misalnya jalan pagi, menonton film, atau
hiburan-hiburan lain misalnya bermain dengan anakanak yang memiliki keceriaan
luar biasa seperti yang dilakukan oleh Sekolah Cita Persada, Cinere, Depok pada
tanggal 30 Maret 2017 lalu dengan mendatangi Graha Werdha AUSSI Kusuma
Lestari. Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton tv, mendengar radio, atau membaca majalah dan surat kabar. Dapat
disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya
dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para
pasien lanjut usia
4. Pendekatan Spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya, terutama bila pasien
lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian. Sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi pasien lanjut usia yang menghadapi kematian, Dr. Tony
Setyabudhi mengemukakan bahwa maut seringkali menggugah rasa takut. Rasa
takut semacam ini didasari oleh berbagai macam faktor, seperti tidakpastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit atau penderitaan yang sering
menyertainya, kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga atau
lingkungan sekitarnya.

E. FAKTOR YANG MEMENGERUHI KOMUNIKASI


Faktor yang memegaruhi komunikasi baik sebagai faktor pendukung maupun
penghambat terjadinya komunikasi yang efektif tidak lepas dari unsur dalam komunikasi.
Menurut Potter dan Perry (2009), unsur-unsur komunikasi diataranya ialah:
1. Referen
Referan ialah sesuau yang memotivasi seseorang untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Kualitas tidaknya komunikasi seseorang bisa dilihat dari sumber
informasi yang disampaikan. Faktor sumber yang memengaruhi proses
komunikasi ialah bahasa yang digunakan, ketersediaan sumber, dan faktor teknis.
2. Pengirim dan Penerima
Pengirim adalah pihak yang mengirimkan/ menyampaikan informasi/ pesan.
Sedangkan penerima adalah pihak yang menerima dan menguraikan kode pesan.
Komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan efektif tidak jarang karena faktor
penampilan dan sikap pengirim dan penerima yang meliputi sikap, ekspresi
verbal, dan non verbal.
3. Pesan
Pesan merupakan isi dari komunikasi. Pesan mengandung bahasa verbal,
nonverbal, dan simbolik. Teknik penyampaian pesan yang digunakan sering
terganggu karena faktor bahasa. Oleh karena itu, penyampaian pesan harus
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
4. Media
Media merupakan alat penyampaian dan penerimaan pesan melalui indra
penglihatan, pendengaran, dan taktil. Ekspresi wajah mengirimkan pesan visual,
kata-kata memasuki saluran pendengaran, dan sentuhan menggunakan saluran
taktil. Individu akan lebih memahami suatu pesan jika pengirim menggunakan
berbagai media.
5. Umpan Balik
Umpan balik merupakan pesan yang dikembalikan oleh penerima. Unsur ini
menunjukkan bahwa penerima telah mengerti arti pesan dari pengirim. Pengirim
dan penerima harus saling terbuka dan sensitif terhadap masing-masing pesan agar
komunikasi berjalan efektif.
6. Variabel Interpersonal
Variabel ini merupakan faktor dalam diri pengirim dan penerima yang
memengaruhi komunikasi. Persepsi merupakan salah satu bentuk variabel yang
memberikan pandangan unik masingmasing individu yang terbentuk oleh harapan
dan pengalaman individual. Persepsi akan sangat memengaruhi jalannya
komunikasi karena dalam berkomunikasi harus ada kesamaan persepsi dan
pengertian.
7. Lingkungan
Lingkungan merupakan tempat interaksi bagi pengirim dan penerima. Lingkugan
yang efektif harus memenuhi kebutuhan fisik, emosional, dan keamanan peserta
komunikasi. Tujuan komunikasi akan tercapai jika lingkungan diciptakan
senyaman mungkin, terutama pada lansia dan anak-anak.

F. KOMUNIKASI DENGAN LANSIA


Proses komunikasi dengan lansia harus memperhatikan beberapa hal yaitu faktor
fisik, psikologi, dan lingkungan untuk menerapkan keterampilan komunikasi yang tepat.
Selain itu, juga harus menggunakan konsentrasi penuh dalam berkomunikasi dengan
lansia. Perubahan pada lansia juga mengakibatkan lansia mengalami kesulitan dalam
komunikasi (Zen, 2013).
1. Teknik Berkomunikasi Dengan Lansia
Menurut Aspiani (2014), karakteristik lansia berbeda-beda sehingga kita harus
memahami lansia tersebut. Dalam berkomunikasi dengan lansia ada teknik-teknik
khusus agar komunikasi yang dilakukan berlangsung lancar dan sesuai tujuan
yang diinginkan, yaitu:
a. Teknik Asertif
Asertif adalah sikap yang dapat menerima dan memahami lansia dengan
menunjukkan sikap peduli dan sabar untuk mendengarkan dan
memerhatikan ketika lansia berbicara agar maksud komunikasi dapat
dimengerti. Asetif merupakan pelaksanaan dan etika berkomunikasi.
b. Responsif
Reaksi terhadap fenomena yang terjadi pada lansia merupakan suatu
bentuk perhatian yang dapat diberikan. Ketika terdapat perubahan sikap
terhadap lansia sekecil apapun hendaknya mengklarifikasi tentang
perubahan tersebut.
c. Fokus
Sikap ini merupakan upaya untuk tetap konsisten terhadap komunikasi
yang diinginkan. Hal ini perlu diperhatikan karena umumnya lansia senang
menceritakan hal yang tidak relevan.
d. Suportif
Perubahan yang terjadi pada lansia, baik aspek fisik maupun psikis secara
bertahap menyebabkan emosi lansia menjadi labil. Perubahan ini dapat
disikapi dengan menjaga kestabilan emosi lansia, misalnya dengan
mengiyakan, senyum, dan mengaggukkan kepala ketika lansia berbicara.
e. Klarifikasi
Perubahan yang terjadi pada lansia menyebabkan proses komunikasi tidak
berjalan dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan
ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu dilakukan agar
maksud pembicaraan dapat dimengerti.
f. Sabar dan Ikhlas
Perubahan pada lansia yang terkadang merepotkan dan kekanakkanakan.
Apabila tidak disikapi dengan sabar dan ikhlas akan menimbulkan
perasaan jengkel sehingga komunikasi tidak berjalan dengan baik. Hal
tersebut menimbulkan kerusakan hubungan komunikasi.
Menurut Zen (2013), dalam berkomunikasi dengan lansia ada beberapa teknik
yang dapat dilakukan yaitu:
a. Pendekatan perawatan terhadap lansia baik secara fisik, psikologis, sosial,
dan spiritual serta menunjukkan rasa hormat dan keprihatinan;
b. Berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dengan menggunakna
kalimat sederhana dan pendek, kecepatan dan tekanan suara tepat, berikan
kesempatan lansia untuk bicara, hindari pertanyaan yang mengakibatkan
lansia menjawab “ya” dan “tidak” dan ubah topik pembicaraan jika lansia
sudah tidak tertarik;
c. Komunikasi nonverbal yang meliputi perilaku, kontak mata, ekspresi
wajah, postur dan tubuh, dan sentuhan;
d. Meningkatkan komunikasi dengan lansia yaitu dengan memulai kontak.
e. Suasana komunikasi harus diciptakan senyaman mungkin saat
berkomunikasi dengan lansia, misalnya posisi duduk berhadapan, jaga
privasi, penerangan yang cukup, dan kurangi kebisingan.
2. Hambatan berkomunikasi dengan lansia
Proses komunikasi dengan lansia akan terganggu apabila ada sikap agresif dan
sikap non asertif. Sikap agresif ditandai dengan beberapa perilaku, diantaranya
berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain, meremehkan orang lain,
memepertahankan haknya dengan menyerang orang lain, menonjolkan diri
sendiri, dan mempermalukan orang lain di depan umum. Sedangkan tanda sikap
non asertif diantaranya ialah menarik diri bila diajak berbicara, merasa tidak
sebaik orang lain, merasa tidak berdaya, tidak berani mengungkap keyakinan,
membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya, tampil pasif (diam),
mengkuti kehendak orang lain, mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga
hubungan baik dengan orang lain. Selain itu, kendala lain dalam berkomunikasi
dengan lansia ialah gangguan neurologi yang menyebebkan gangguan bicara,
penurunan daya pikir, mudah tersinggung, sulit menjalin hubungan mudah
percaya, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan fisik, dan
hambatan lingkungan (Aspiani, 2014).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Komunikasi adalah suatu hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
masalah hubungan atau dapat diartikan sebagai saling tukar-menukar pendapat.
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang
untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan orang lain (Potter
& Perry, 2005: 301).Komunikasi menrupakan alat yang efektif untuk mempengaruhi
tingkah laku manusia, sehingga komunikasi dikembangkan dan dipelihara secara terus-
menerus. Komunikasi bertujuan untuk memudahkan, melancarkan, melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka mencapai tujuan optimal, baik komunikasi
dalam lingkup pekerjaan maupun hubungan antar manusia.

Proses komunikasi dengan lansia harus memperhatikan beberapa hal yaitu faktor fisik,
psikologi, dan lingkungan untuk menerapkan keterampilan komunikasi yang tepat. Selain
itu, juga harus menggunakan konsentrasi penuh dalam berkomunikasi dengan lansia.
Perubahan pada lansia juga mengakibatkan lansia mengalami kesulitan dalam
komunikasi

B. SARAN
Dalam berkomunikasi dengan pasien lansia tenaga kesehatan seperti perawat harus benar-
benar mengetahui dan paham mengenai teknik-teknik, prinsi, dan sikap untuk berkomunikasi
dengan lansia. Dikarenakan pasien lansia berbeda dengan klien yang berusia remaja dan dewasa
DAFTAR PUSTAKA

Bandiyah, S. (2015), Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik, Nuha Medika, Yogyakarta

Karumi, N.A (2016), “Peran Perawat Dalam Komunikasi Antar pribadi Dengan Lansia Untuk
Membangun Kreativitas (Studi Kasus di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda)”,
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman, Vol.4, No.2, Hal. 102-111, [Internet]. Available
from: ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id [diakses pada tanggal 25 Februari 2019]

Liliweri, A. (2018), Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Damaiyanti, Mukhripah. (2010). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung:


Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai