Oleh :
CHRISTINA NI LUH HENNY WAHYUNI, S.Kep
NIM : C2221001
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA NN.AS DENGAN POST OPERASI APPENDICTOMY
TANGGAL 10-13 MEI 2021
DI RUANG TENUN
RAWAT INAP LANTAI III
RSU SURYA HUSADHA DENPASAR
Diajukan Oleh :
CHRISTINA NI LUH HENNY WAHYUNI, S.Kep
NIM .C2221001
Ns. Ni Putu Ari Wijayanti,S.Kep Ns. I Putu Wira Kusuma Putra,S.Kep., M.Kep
NIP.2013.09.1658 NIK.11.06.0046
Mengetahui
STIKES Bina Usada Bali
Profesi Ners
Ketua
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDICITIS
A. DEFINISI
Apendicitis adalah peradangan pada umbai cacing akibat infeksi. Apendiksitis
yang parah menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga
perut atau peritonitis (infeksi selaput pembungkus rongga perut) (Bararah, 2013).
Apendicitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Kowalak, 2011).
Apendicitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan
bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Price & Wilson, 2013).
Apendisitis merupakan inflamasi akut pada apendicitis verniformis dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner &
Suddarth, 2014).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan apendicitis adalah peradangan
akibat infeksi pada apendiks atau umbai cacing yang menyebabkan rasa nyeri pada
kuadran kanan bawah pada rongga abdomen.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Pencernaan makanan merupakan proses mengubah makanan dari ukuran besar
menjadi ukuran yang lebih kecil dan halus serta memecah molekul makanan yang
kompleks menjadi molekul yang sederhana dengan enzim dan organ-organ
pencernaan. Proses pencernaan pada manusia dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu:
1. Pencernaan mekanik, adalah proses pengubahan makanan dari bentuk kasar
menjadi bentuk kecil atau halus. Proses ini dilakukan dengan menggunakan gigi
di dalam mulut.
2. Pencernaan kimiawi, adalah proses perubahan makanan dari zat yang kompleks
menjadi zat-zat yang lebih sederhana dengan enzim, yang terjadi mulai dari
mulut, lambung, dan usus. Enzim adalah zat kimia yang dihasilkan oleh tubuh
yang berfungsi mempercepat reaksi-reaksi kimia dalam tubuh (Sloane, 2015)
Adapun organ-organ yang berperan dalam sistem gastrointestinal yaitu:
a. Mulut (Oral)
Di dalam mulut terjadi proses pencernaan secara kimiawi dan mekanik,
pencernaan makanan secara mekanik dibantu oleh gigi. Pencernaan makanan
secara kimiawi dibantu oleh enzim ptialin yang berfungsi untuk mengubah
makanan dalam mulut yang mengandung zat karbohidrat (amilum) menjadi
gula sederhana (maltosa) (Sloanae, 2015).
1. Gigi
Manusia memiliki empat jenis gigi untuk berbagi tugas mengunyah
makanan yaitu:
a) Gigi seri: berbentuk pipih dan tajam untuk memotong makanan.
b) Gigi taring: ujungnya yang runcing untuk mencabik dan menyobek
makanan.
c) Gigi premolar (geraham depan): bentuknya berlekuk-lekuk untuk
mengiris dan melembutkan makanan.
d) Gigi molar (geraham belakang): bentuknya berlekuk-lekuk untuk
melembutkan makanan.
2. Lidah
Dibagi atas 3 bagian: radiks lingua, dorsum lingua, dan apeks lingua
(ujung lidah). Pada bagian belakang lidah terdapat epiglotis yang berfungsi
untuk menutup jalan napas pada saat menelan makanan, sehingga makanan
masuk ke esofagus, tidak ke jalan nafas. Fungsi lidah untuk mengaduk
makanan, membentuk suara, alat pengecap dan menelan.
3. Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah menghasilkan ludah atau air liur (saliva). Kelenjar ludah
dalam mulut ada tiga pasang, yaitu:
a) Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga. Kelenjar parotis
menghasilkan ludah yang berbentuk cair.
b) Kelenjar submandibularis, terletak di rahang bawah.
c) Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis menghasilkan getah
yang mengandung air dan lendir. Ludah berfungsi untuk memudahkan
penelanan makanan, membasahi, dan melumasi makanan sehingga mudah
ditelan. Selain itu, ludah juga melindungi selaput mulut terhadap panas,
asam, dan basa.
b. Faring
Merupakan organ yang menghubungkan cavum oris dengan esofagus.
Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung limfosit untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Faring
terletak di persimpangan jalan napas dengan jalan makanan. Bagiannya terdiri
dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Fungsi faring untuk mendorong
makanan ke esofagus.
c. Kerongkongan
Kerongkongan atau esofagus merupakan saluran penghubung antara
rongga mulut dan lambung. Panjang ± 25 cm mulai dari faring – kardiak
gaster. Terdiri dari lapisan : lapisan mukosa, lapisan sub mukosa, lapisan otot
sirkuler (Pleksus Meissner), lapisan otot longitudinal (Pleksus
Auerbach/Mienterikus), serosa. Fungsinya yaitu sebagai jalan bagi makanan
yang telah dikunyah dari mulut menuju lambung. Gerakan kerongkongan
membawa makanan ke lambung dibantu oleh gerakan peristaltik (Sloane,
2015).
d. Lambung
Lambung atau ventrikulus merupakan kantung besar yang terletak di
sebelah kiri rongga perut sebagai tempat terjadinya sejumlah proses
pencernaan. Lambung terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian atas (kardiak),
bagian tengah yang membulat (fundus) dan bagian bawah (pilorus). Ujung
kardiak dan pilorus terdapat klep atau sfingter yang mengatur masuk dan
keluarnya makanan ke dan dari lambung. Dinding lambung terdiri dari otot-
otot yang tersusun melingkar, memanjang, dan menyerong. Dinding lambung
mengandung sel-sel kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar pencernaan yang
menghasilkan getah pencernaan. Getah lambung mengandung air lendir
(musin), asam lambung, enzim renin, dan ensim pepsinogen. Asam lambung
berfungsi untuk membunuh kuman penyakit atau bakteri yang masuk bersama
makanan dan juga berfungsi untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin,
pepsin berfungsi untuk memecah protein menjadi pepton dan protease dan
enzim renin befungsi untuk mengumpalkan protein susu (kasein) yang
terdapat pada susu (Sloane, 2015).
e. Usus halus (intestinum)
Merupakan bagian dari sistem cerna makanan yang berpangkal pada
pilorus dan berakhir pada caekum. Panjangnya ± 6 m, merupakan saluran
paling panjang tempat proses pencernaan makanan dan absorpsi zat-zat
makanan. Fungsi usus halus adalah:
Menerima zat makanan yang sudah dicerna/diserap melalui kapiler dan
limfe
Menyerap protein dalam bentuk asam amino
Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida dan lemak dalam bentuk
gliserol dan asam lemak
Getah intenstinum:
Enterokinase: menghasilkan enzim proteolitik, mengaktifkan tripsinogen
menjadi tripsin
Eripsin: menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino
Laktase: laktosa menjadi monosakarida
Maltase: maltose menjadi glukosa
Sukrose: sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
Tripsin: pepton menjadi asam amino
Usus halus terdiri dari :
1) Usus dua belas jari (duodenum)
Panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda, melengkung ke kiri, pada
lengkungan terdapat pankreas. Pada bagian kanan terdapat muara saluran
empedu (duktus koledukus dan saluran pankreas (duktus wirsungi/duktus
pankreatikus yang disebut “ampula vateri”. Dinding duodenum
mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar (Kelenjar
Brunner) yang menghasilkan getah intestium. Pada usus dua belas jari,
terjadi seluruh proses pencernaan karbohidrat, lemak, dan protein.
Selanjutnya proses penyerapan (absorbsi) akan berlangsung di usus kosong
dan sebagian besar di usus penyerapan.
2) Usus kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum)
Panjang jejunum + ileum ± 6 meter, 2/5 bagian atas adalah jejunum
dengan panjang ± 2,3 m, dan ileum ± 4-5 m. Lekukan jejunum dan ileum
melekat pada dinding abdomen posterior yang berbentuk kipas disebut
mesenterium. Pada mesenterium ini keluar masuk arteri dan vena
mesenterika superior dan saraf limfe. Bagian akhir ileum berhubungan
dengan caecum dengan lubangnya yang disebut orifisium ileosekalis dan
juga terdapat katup yang disebut “Valvula Baukhini”, berfungsi untuk
mencegah isi kolon masuk kembali ke ileum.
Pada proses penyerapan karbohidrat diserap dalam bentuk glukosa,
lemak diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol, dan protein diserap
dalam bentuk asam amino, sedangkan vitamin dan mineral tidak
mengalami pencernaan dan dapat langsung diserap oleh usus halus. Pada
dinding usus penyerapan terdapat jonjot-jonjot usus yang disebut vili, vili
berfungsi memperluas daerah penyerapan usus halus sehingga sari-sari
makanan dapat terserap lebih banyak dan cepat (Brunner & Suddart,
2008).
f. Usus besar (Kolon)
Panjang: ± 1½ m, lebar 5-6 cm. Lapisan dari dalam keluar terdiri dari:
lapisan mukosa, lapisan otot sirkuler, lapisan otot longitudinal, jaringan ikat.
Fungsi menyerap vitamin, air dan memadatkan feses, tempat tinggal bakteri E.
coli (menghasilkan vitamik K yang berperan penting dalam proses pembekuan
darah), dan tempat feses.
Kolon asenden memiliki panjang 13 cm, di sebelah kanan, membujur
ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri lanjut ke
kolon transversum (dengan panjang ± 38 cm). Kolon desendens (dengan
panjang 25 cm), di bagian abdomen kiri dari atas ke bawah dan bersambungan
dengan kolon sigmoid.
Usus besar terdiri dari apendiks (bagian mendatar, bagian menurun dan
berakhir di anus. Perjalanan makanan sampai di usus besar dapat mencapai
antara 4-5 jam, lalu disimpan di usus besar selama 24 jam. Di dalam usus
besar, feses didorong secara teratur dan lambat oleh gerakan peristaltik
menuju ke rektum. Gerakan peristaltik ini dikendalikan oleh otot polos (otot
tak sadar) (Sloane, 2015).
g. Appendiks
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang
kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks memiliki lumen
sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks
terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna
untuk mendeteksi posisi appendiks.
Secara fisiologis, appendiks menghasilkan lendir 1–2 ml per hari
Lendir normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendiks. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks adalah IgA. Imunoglobulin ini berperan sebagai
pelindung terhadap infeksi (Brunner & Suddart, 2008).
C. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan keras yang
masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi usus tercemar dan
usus meradang timbulah kuman-kuman yang dapat memperparah keadaan.
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri, berbagai hal sebagai faktor pencetusnya:
1. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks dan cacing
askaris.
2. Penyebab apendiks yang lain karena parasit seperti E. hystolitica.
3. Penelitian epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan yang
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya tekanan intrasekal dan
terjadi penyumbatan sehingga meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon.
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor
prediposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak
b. Adanya fekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktur lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus.
3. Laki-laki lebih banyak dari wanit, yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendiks yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nurarif & Kusuma, 2015).
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis menurut (Nurarif&Kusuma, 2015) terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering timbul dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut adalah nyeri
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri
di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.
b. Apendisitis akut purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena
dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Apendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda
supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada
apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan
peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat
satu dengan yang lainnya.
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal
dan pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi
oleh jaringan nekrotik.
g. Apendiksitis rekurens
Yaitu terdapat riwayat nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong
dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendiksitis akut
pertama kali sembuh spontan, namun apendiksitis tidak pernah kembali
kebentuk aslinya, karena terjadi fibrosis dan jaringan parut pada apendiks.
h. Apendiksitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.
E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis umumnya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, benda asing, fekalit, striktur lantaran fibrosis akibat
adanya peradangan sebelumnya, atau adanya neoplasma. Obstruksi tersebut
mengakibatkan mukus yg diproduksi mukosa mengalami sebuah bendungan. Semakin
lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
sebuah keterbatasan sehingga menyebabkan adanya penekanan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut dapat menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan adanya edema, diapedesis bakteri, & ulserasi mukosa. Disaat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan adanya nyeri epigastrium.
Apabila sekresi mukus terus berlanjut, maka tekanan dapat terus meningkat. Hal
tersebut dapat menyebabkan adanya obstruksi vena, edema bertambah, & bakteri
dapat menembus dinding. Peradangan yg timbul meluas & mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan adanya rasa nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan
ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Apabila selanjutnya aliran arteri terganggu dapat terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan adanya gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Apabila dinding yang telah rapuh itu pecah, maka dapat terjadi
apendisitis perforasi.
Apabila seluruh proses di atas berjalan dengan lambat, omentum & usus yg
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga timbul suatu massa lokal yang
biasa disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menjadi
abses/menghilang. Pada anak-anak, lantaran omentum lebih pendek & apediks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut didukung dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang atau lemah dan memudahkan terjadinya perforasi. Namun
pada orang tua perforasi sangat mudah terjadi lantaran telah ada gangguan pembuluh
darah (Mansjoer, Arief, 2010).
F. PATHWAY
Apendisitis
Risiko Syok
Dehidrasi Kekurangan volume cairan
Gangguan rasa nyaman : mual
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin: untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
2. Pemeriksaan foto abdomen: untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan.
3. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
4. Laparoscopy
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiber optic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat
langsung dilakukan pengangkatan appendiks (Kowalak, 2016).
Diagnostik :
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan
yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
b. Test protein reaktif (CRP) → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
c. Pemeriksaan urine
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urine.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding
seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis
yang hampir sama dengan apendisitis.
2. Radiologi
a. Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan
diagnosis apendisitis.
b. CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.
3. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :
a. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci
diagnosis.
b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
c. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
d. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
e. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
f. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium (Nurarif & Kusuma, 2015).
H. PENATALAKSANAAN
1. Farmakologi
a. Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila diagnose apendisitis
telah ditegakan dan harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko
perforasi.
b. Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan pembedahan
dilakukan.
c. Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
d. Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakkan yang harus dilakukan
adalah operasi membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi
dengan cara pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses apendiks dilakukan drainage (Brunner&Suddarth, 2014).
2. Nonfarmakologi
a. Mencakup upaya meredakan nyeri, mencegah defisit volume cairan,
mengatasi ansietas, mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh
gangguan potensial atau aktual pada saluran gastrointestinal,
mempertahankan integritas kulit dan mencapai nutrisi yang optimal.
b. Bed rest total posisi fowler.
c. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
d. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
e. Sebelum operasi, siapkan pasien untuk menjalani pembedahan, mulai jalur
intra vena berikan antibiotik, dan masukan selang nasogastrik (bila terbukti
ada ileus paralitik), jangan berikan laksatif.
f. Setelah operasi, posisikan pasien fowler tinggi, berikan analgetik narkotik
sesuai program, berikan cairan oral apabila dapat ditoleransi.
g. Jika drain terpasang di area insisi, pantau secara ketat adanya tanda-tanda
obstruksi usus halus, hemoragi sekunder atau abses sekunder (Brunner &
Suddarth, 2014).
I. KOMPLIKASI
Adapun jenis komplikasi yang terjadi:
1. Abses
Abses ialah sebuah peradangan appendiks yang berisi pus.
2. Perforasi
Perforasi ialah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri dapat
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam waktu 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui pra
operatif pada 70 % kasus dengan gambaran klinis yag timbul lebih dari waktu 36
jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5̊C, tampak adanya toksik, nyeri tekan
seluruh perut, dan adanya leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
3. Peritononitis
Peritonitis ialah suatu peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang bisa saja terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Apabila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum maka akan menyebabkan timbulnya aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit dapat mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oligouria (Kowalak, 2016).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN APPENDISITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No.MR.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Klien dengan pre dan post operasi apendisitis biasanya memiliki keluhan
adanya nyeri. Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar
umbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai
dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan: biasanya klien mengatakan nyeri muncul
tidak diketahui apa sebabnya.
Berapa lama keluhan terjadi: biasanya klien mengatakan nyeri timbul
seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul.
Bagaimana sifat dan hebatnya keluhan: biasanya klien mengatakan nyeri
yang dirasakan sangat mengganggu aktivitas, sehingga aktivitas pasien
harus dibantu keluarga.
Di mana keluhan timbul: nyeri pada perut kanan bawah merambat sampai
epigastrum seperti tanda-tanda maag.
Keadaan apa yang memperberat dan memperingan: biasanya klien
mengatakan nyeri muncul ketika merubah posisi, bertambah nyeri saat
batuk, miring ke kanan ataupun saat diraba.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Untuk mengetahui riwayat tindakan operasi abdomen yang lalu. Kebiasaan
makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga
meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan
fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga
menjadi appendisitis akut.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah keluarga dan klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetik
atau familial.
3. Pola fungsi Gordon
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena dirawat di rumah sakit.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien pre op akan terganggu nutrisi dan metabolismenya akibat rasa nyeri
yang disertai mual dan muntah.
Klien yang dilakukan anestesi tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus.
c. Pola eliminasi
Setelah sakit biasanya klien dengan apendisitis BAB 4-5x sehari dengan
konsistensi agak cair. Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih
menggunakan dower chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan
pasien akan dilatih untuk berkemih.
d. Pola aktivitas dan latihan
Umumnya klien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas/bergerak karena
rasa nyeri pre dan post op apendisitis.
Pada post op adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang
lemah. Namun, setelah 6 jam pasien diharapkan sudah mampu untuk bergerak
miring kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian
berjalan.
e. Pola tidur dan istirahat
Adanya rasa nyeri pre dan post op apendisitis dapat mengganggu kenyamanan
pola istirahat tidur klien.
f. Pola kognitif perseptual
Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan penghidung tidak
mengalami gangguan.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien pre op dapat mengalami cemas karena rasa nyeri yang tidak kunjung
hilang dan ketidaktahuan tentang perawatan post operasi appendiks.
h. Pola hubungan dan peran
Dengan adanya keterbatasan dalam beraktivitas/bergerak kemungkinan
penderita tidak bisa melakukan perannya secara baik dalam keluarganya serta
dalam komunitas masyarakat.
Pada klien post op yang harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja,
dan masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah reproduksi karena bekas operasi tidak ada
hubungannya dengan alat reproduksi.
j. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan
post operasi. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien
terhadap stres tersebut.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya dower chateter dan nyeri pre dan post operasi memerlukan adaptasi
klien dalam menjalankan ibadahnya.
4. Pemeriksaan fisik
a. Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah dan menahan sakit.
b. Kesadaran pasien : Composmentis.
c. Vital sign:
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan : Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
Suhu : Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena demam.
BB : Biasanya mengalami penurunan.
d. Mata: konjungtiva anemis
e. Mulut dan bibir: mukosa bibir kering, mulut terasa pahit, sianosis
f. Pernafasan: adanya pernafasan dangkal, takipnea
g. Abdomen:
Auskultasi: penurunan atau tidak ada peristaltik usus
Palpasi: nyeri pada daerah kuadran kanan sekitar epigastrium dan
umbilikus yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney
(setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), ditemukan
tanda Psoas dan Obturator positif, meningkat karena berjalan, bersin,
batuk, atau napas dalam bawah, nyeri sekitar umbilikus, distensi
abdomen.
Perkusi: Timpani saat diperkusi
h. Integumen: kulit tampak pucat, turgor kulit kering, sianosis, luka pembedahan
pada abdomen sebelah kanan bawah.
i. Ekstremitas: Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri
yang hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan.
B. DIAGNOSA
1. Pre operasi
a. Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan aktif d/d kulit tampak
kering, membran mukosa kering, peningkatan suhu tubuh, peningkatan
frekuensi nadi, penurunan turgor kulit, mual dan muntah, dehidrasi.
b. Risiko syok b/d hipovolemia d/d dehidrasi, sianosis.
c. Ketidakefektifan pola nafas b/d efek anastesi umum, nyeri, posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru, keletihan d/d penurunan ekspansi paru, sesak
nafas, pernafasan cuping hidung, takipnea.
d. Nyeri akut b/d agen cedera biologis: peningkatan tekanan intra luminal d/d
ekspresi wajah nyeri, sikap melindungi area nyeri, mengekspresikan perilaku
gelisah.
e. Gangguan rasa nyaman: mual b/d distensi lambung d/d mual, sensasi muntah,
keenganan terhadap makanan.
f. Hipertermi b/d inflamasi, sepsis (infeksi) d/d kulit terasa hangat.
g. Ansietas b/d prosedur pembedahan: apendiktomi d/d gelisah, wajah tegang,
lemah, mulut kering, letih.
2. Post Operasi
a. Ketidakefektifan pola nafas b/d efek anastesi umum, nyeri, posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru, keletihan d/d penurunan ekspansi paru, sesak
nafas, pernafasan cuping hidung, takipnea.
b. Nyeri akut b/d agens cedera fisik: prosedur bedah d/d ekspresi wajah nyeri,
sikap melindungi area nyeri, mengekspresikan prilaku gelisah.
c. Hipertermi b/d inflamasi, sepsis (infeksi) d/d kulit terasa hangat.
d. Kerusakan integritas jaringan b/d prosedur bedah d/d jaringan rusak.
e. Resiko infeksi b/d adanya luka insisi akibat pembedahan operasi d/d prosedur
invasif.
C. INTERVENSI
DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI
D. EVALUASI
1. Evalusi formatif
Evaluasi ini disebut juga evaluasi berjalan di mana evaluasi dilakukan sampai
dengan tujuan tercapai. Selama melakukan asuhan keperawatan diharapkan:
a. Turgor kulit tidak terganggu, membran mukosa lembab, intake cairan tidak
terganggu, output urine tidak terganggu, tidak ada warna urine keruh, tidak
ada bola mata cekung dan lunak, tidak ada diare.
b. Tidak ada nadi lemah, tidak ada kulit pucat, tidak ada tanda lesu, tidak ada
penurunan kesadaran.
c. Tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada retraksi dinding dada,
tidak ada sianosis, tidak ada suara nafas tambahan, frekuensi pernafasan
normal 16 -20 x/menit, irama pernafasan teratur, tidak ada pernafasan cuping
hidung.
d. Nyeri yang dilaporkan berkurang, tidak ada ekspresi nyeri wajah.
e. Hasrat/keinginan untuk makan, merasakan makanan, intake makanan
meningkat, mual dan muntah berkurang.
f. Melaporkan kenyamanan suhu, penurunan suhu kulit, ttv dalam rentang
normal.
g. Integritas kulit tidak terganggu, suhu kulit tidak terganggu, elastisitas kulit
tidak terganggu, tidak ada lesi pada kulit, tidak ada jaringan parut pada kulit,
tidak terjadi nekrosis.
h. Suhu tubuh tidak terganggu, integritas mukosa tidak terganggu, tidak terjadi
infeksi berulang.
i. Tidak ada wajah tegang, tidak ada gangguan istirahat, tidak ada peningkatan
tekanan darah, tidak ada gangguan tidur.
2. Evaluasi somatif
Merupakan evaluasi akhir di mana dalam metode evaluasi ini menggunakan
SOAP.
S : data yang didapatkan melalui keluhan pasien dan anamnesis (wawancara)
O : data yang diamati atau diobservasi oleh perawat dan tenaga
medis lainnya melalui pemeriksaan fisik.
A : tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tindakan
P : rencana yang akan dilanjutkan, bila tujuan tersebut tidak tercapai
DAFTAR PUSTAKA
OLEH :
CHRISTINA NI LUH HENNY WAHYUNI, S.Kep
NIM.C2221001
I. PENGKAJIAN
A. Tanggal Masuk : 10 Mei 2021
B. Tanggal Pengkajian : 10 Mei 2021
C. Jam Pengkajian : 14.30 WITA
D. CM : xx
E. Sumber Data : Observasi, wawancara, pemeriksaan fisik
F. Identitas
1. Identitas klien
Nama : Nn. AS
Umur : 18 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Sidakarya Denpasar
Status Pernikahan : Belum kawin
2. Penanggung Jawab Pasien
Nama : Ny. EP
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Sidakarya Denpasar
Status Pernikahan : Kawin
Hub. Dengan PX : Ibu kandung
G. Riwayat Kesehatan
1. Alasan Utama Masuk Rumah Sakit dan Perjalanan Penyakit Saat Ini
a. Keluhan Utama Saat Masuk Rumah Sakit
Pasien mengatakan nyeri perut di sebelah kanan bawah sejak tanggal 9 Mei 2021.
b. Keluhan Utama Saat Pengkajian
Pasien mengatakan nyeri pada daerah luka operasi di perut sebelah kanan bawah.
4. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi obat-obatan, makanan, maupun
kondisi lingkungan.
Keterangan Genogram
: laki-laki : keturunan
: perempuan : tinggal bersama
: laki-laki meninggal : pasien
: perempuan meninggal
5. Eliminasi
Sebelum salit : pasien mengatakan BAB 1x sehari dengan konsistensi lembek, warna
kuning kecoklatan. BAK 5-6x/ hari, urine berwarna kuning jernih. Tidak ada nyeri
saat BAK maupun BAB.
Saat sakit : pasien mengatakan sudah BAK 1x setelah operasi, tidak ada nyeri
saat BAK. Pasien belum BAB setelah operasi.
9. Manajemen Koping
Sebelum sakit : pasien mengatakan jika memiliki masalah apapun termasuk masalah
kesehatan, pasien menceritakannya pada ibunya.
Saat sakit : pasien mengatakan menyerahkan kepada orangtuanya untuk
mengambil keputusan tentang pengobatannya selama sakit.
I. Pemeriksaan Fisik
1. Vital Sign
TD : 100/60 mmHg
Suhu : 36,3 ̊C
Nadi : 94 x/menit
RR : 18 x/menit
2. Kesadaran : composmentis
GCS : 15
Eye :4
Motorik :5
Verbal :6
3. Keadaan Umum:
a. Sakit/ nyeri : Ringan √ Sedang Berat
Skala nyeri : 6 (dari 0-10)
Lokasi nyeri : perut kuadran kanan bawah
b. Status gizi : Gemuk √ Normal Kurus
BB : 54 kg TB : 155 cm
c. Sikap : √ Tenang Gelisah Menahan nyeri
d. Personal hygiene : √ Bersih Kotor
Lain-lain :-
e. Orientasi waktu/ tempat/ orang : √ Baik Terganggu
4. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
a. Kepala
Bentuk : √ Mesochepale Mikrochepale
Hidrochepale
Lain-lain :-
Lesi/luka : Hematome Perdarahan Luka sobek
Lain-lain :-
b. Rambut
Warna : hitam
Distribusi rambut : merata
Kelainan :-
c. Mata
Penglihatan : √ Normal Kaca Mata/ Lensa
Lain-Lain :-
Sklera : Ikterik √ Tidak ikterik
n. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
*Darah Lengkap tanggal 10 Mei 2021
Jenis Hasil Normal Interpretasi
WBC 13,06 4,1 - 11 Abnormal
HGB 12,1 12 - 16 Normal
HCT 37,3 36 - 46 Normal
PLT 267 145 - 445 Normal
Rontgen
1) Foto thorax tanggal 10 Mei 2021:
Kesan : cor dan pulmo saat ini tak tampak kelainan
2) USG Abdomen Atas Bawah
Kesan : Tampak appendix yang edematous
Hepar, gall bladder, pancreas, lien, ginjal kanan kiri, buli, uterus dan adnexa
tak tampak kelainan
o. Terapi Medik
No Terapi Dosis Fungsi Terapi Cara Pemakaian
1. Rycef 3x1 gram Antibiotik Intravena
2. RL 20 tpm Mempertahankan Intravena
keseimbangan cairan
3. Tramal 250mg + 28 tpm Analgetik Intravena
Blastofen 100mg dalam (mikro
Dextrose 5% 500ml set)
4. Asam mefenamat 3x500mg Analgetik Oral
II. ANALISA DATA DAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nama Klien : NN. AS No RM : xx
Umur /JK : 18 tahun / Perempuan Dx Medis : post operasi
appendictomy
Masalah
No Tanggal Data Fokus Etiologi
Keperawatan
1. 10 Mei DS : Tindakan pembedahan Nyeri akut
2021 Pasien mengatakan nyeri
pada daerah luka operasi Luka insisi
P : Luka operasi
appendictomy Kerusakan jaringan/sel
Q : Nyeri dirasakan seperti Tubuh melepaskan zat kimia
ditusuk-tusuk (histamin, bradikinin,
R : Perut sebelah kanan prostaglandin, serotonin)
bawah
S : skala nyeri 6 (dari 0-10) Talamus (otak
T : Nyeri dirasakan terus- menginterpretasikan signal,
menerus, nyeri bertambah memproses informasi zat kimia
jika pasien berubah posisi
dari telentang ke miring Stimulus korteks serebri
kanan atau kiri, nyeri
berkurang jika pasien tidur
terlentang Mempersepsi Nyeri
DO :
-KU : lemah
-Pasien tampak meringis
-Terdapat nyeri tekan pada
perut di kuadran kanan
bawah
-TD : 100/60 mmHg
-Suhu : 36,3 ̊C
-Nadi : 94 x/menit
-RR : 18x/menit
2. 10 Mei DS : Tindakan pembedahan Intoleransi
2021 Pasien mengatakan sulit aktivitas
melakukan aktivitas sendiri Luka insisi
karena masih terasa nyeri
pada daerah luka operasi Keterbatasan gerak
DO : Intoleransi aktivitas
-Pasien tampak lemah
-Pasien tampak berbaring
di tempat tidur
-Aktivitas pasien masih dibantu
keluarga dan perawat
V. IMPLEMENTASI
Hari/ No. Jam Tindakan Keperawatan Evaluasi Paraf
Tgl Dx
Senin I 16.00 Mengukur TTV S : pasien bersedia diukur Henny
10 dan TTV
Mei III O:
2021 TD : 100/60 mmHg
S : 36,5 ̊C
N : 98 x/menit
RR : 18 x/menit
VI. EVALUASI
No Hari/ No. Jam Evaluasi Paraf
Tanggal Dx
O:
KU : baik
Pasien tampak tenang
Terdapat nyeri tekan pada perut di kuadran
kanan bawah
-TD : 110/70 mmHg
-Suhu : 36,2 ̊C
-Nadi : 76 x/menit
-RR : 18x/menit
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2 Kamis II 09.00 S: Henny
13 Mei Pasien mengatakan sudah bisa berjalan di sekitar
2021 tempat tidur, berjalan ke toilet, makan dan
minum bisa sendiri
O:
KU stabil
Pasien tampak makan dan minum mandiri
Pasien tampak berjalan ke toilet sendiri
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
3 Kamis III 09.00 S: Henny
13 Mei -Pasien mengatakan nyeri pada daerah luka
2021 operasi sudah berkurang
-Pasien mengatakan tidak demam
O:
Tampak luka operasi pada perut kuadran kanan
bagian bawah, keadaan luka tertutup balutan,
panjang luka ± 5 cm, tidak tampak rembesan
darah pada balutan, tidak tampak kemerahan
maupun bengkak di sekitar balutan luka operasi
-TD : 110/70 mmHg
-Suhu : 36,2 ̊C
-Nadi : 76 x/menit
-RR : 18x/menit
A : Tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
Kondisi Klien:
Pasien mengatakan nyeri pada daerah luka operasi di perut sebelah kanan bawah.
Data Fokus
Pasien mengatakan nyeri pada daerah luka operasi di perut sebelah kanan bawah. Nyeri
dirasakan terus-menerus, nyeri bertambah jika pasien berubah posisi dari telentang ke miring
kanan atau kiri, nyeri berkurang jika pasien tidur terlentang. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-
tusuk, skala nyeri 6 (dari 0- 10). Nyeri tersebut mengakibatkan pasien menjadi sulit
melakukan aktivitas sendiri.
ORIENTASI
Salam terapeutik
“Selamat pagi adik, saya perawat henny yang bertugas hari ini dari jam 8 s/d jam 2
siang nanti”
Evaluasi / Validasi
“Bagaimana perasaan adik pagi ini? Apa semalam bisa tidur?”
FASE KERJA
“Pertama saya akan mengukur suhu tubuh adik. Saya naikkan lengan baju sebelah kiri ya dik.
Permisi, saya mau membersihkan ketiak adik dengan tisu terlebih dahulu, lalu saya letakkan
thermometer di ketiak adik, tolong dijepit sebentar ya.”
”Sambil menunggu pengukuran suhunya, saya akan menghitung denyut nadi dan pernafasan
adik.”
“Denyut nadi adik 86x per menit, denyutnya teratur. Sedangkan pernafasan adik 20x per
menit, irama nafas teratur. Untuk denyut nadi dan pernafasan adik dalam batas normal ya.”
“Selanjutnya saya akan mengukur tekanan darah adik. Lengan baju sebelah kanan saya
naikkan sedikit ya dik.”
“Tekanan darah adik 110/70 mmHg, dalam batas normal ya. Lengan bajunya saya turunkan
sekarang.”
“Sekarang saya ambil termometernya ya. Suhu tubuh adik 36,5 ̊C, adik tidak demam,
suhunya dalam batas normal. Lengan bajunya saya turunkan ya.”
TERMINASI
Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan
Evaluasi subjektif:
“Bagaimana perasaan adik setelah diukur tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi, serta
pernafasannya? Selama tindakan apa adik ada keluhan?”
Evaluasi objektif:
TD : 110/70mmHg, suhu : 36,5C, frekuensi nadi : 86x/menit, frekuensi nafas : 20x/menit.