OLEH:
NIM. C1222044
I. TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada umbai cacing akibat infeksi. Apendiksitis
yang parah menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga
perut atau peritonitis (infeksi selaput pembungkus rongga perut) (Bararah, 2013).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Kowalak, 2015).
Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan
bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Price & Wilson, 2013)
Apendisitis merupakan inflamasi akut pada apendisitis verniformis dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Brunner &
Suddarth, 2014).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan apendisitis adalah peradangan
akibat infeksi pada apendiks atau umbai cacing yang menyebabkan rasa nyeri pada
kuadran kanan bawah pada rongga abdomen.
4) Kelenjar Ludah
Kelenjar ludah menghasilkan ludah atau air liur (saliva). Kelenjar ludah dalam
mulut ada tiga pasang, yaitu:
a) Kelenjar parotis, terletak di bawah telinga.Kelenjar parotis menghasilkan
ludah yang berbentuk cair.
b) Kelenjar submandibularis, terletak di rahang bawah.
c) Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah.
Kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis menghasilkan getah
yang mengandung air dan lendir.
Ludah berfungsi untuk memudahkan penelanan makanan,
membasahi, dan melumasi makanan sehingga mudah ditelan. Selain itu,
ludah juga melindungi selaput mulut terhadap panas, asam, dan basa.
5) Faring.
a) Merupakan organ yang menghubungkan cavum oris dengan esofagus.
b) Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe
yang banyak menganding limposit untuk pertahanan tubuh terhadap
infeksi
c) Terletak persimpangan jalan napas dengan jalan makanan
d) Bagiannya: nasofaring, orofaring, dan laringofaring
e) Fungsi: Mendorong makan ke esofagus
6) Kerongkongan.
a) Kerongkongan atau esofagus merupakan saluran penghubung antara
rongga mulut dan lambung.
b) Panjang ± 25 cm mulai dari faring – kardiak gaster
c) Terdiri dari lapisan : 1) Lap. Mukosa, 2) Lap. sub mukosa, 3) Lap. otot
sirkuler (Pleksus Meissner), 4) Lap. Otot longitudinal (Pleksus
Auerbach/Mienterikus), Serosa.
d) Fungsinya yaitu sebagai jalan bagi makanan yang telah dikunyah dari
mulut menuju lambung. Gerakan kerongkongan membawa makanan ke
lambung dibantu oleh gerakan peristaltik (Sloane, 2015).
7) Lambung.
Lambung atau ventrikulus merupakan kantung besar yang terletak di
sebelah kiri rongga perut sebagai tempat retjadinya sejumlah proses
pencernaan. Lambung terdiri dari tiga bagian, yaitu: bagian atas (kardiak),
bagian tengah yang membulat (fundus) dan bagian bawah (pilorus). Ujung
kardiak dan pilorus terdapat klep atau sfingter yang mengatur masuk dan
keluarnya makanan ke dan dari lambung. Dinidng lambung terdiri dari otot –
otot yang tersusun melingkar, memanjang, dan menyerong. Dinding lambung
mengandung sel – sel kelenjar yang berfungsi sebagai kelenjar pencernaan
yang menghasilkan getah pencernaan. Getah lambung mengandung air lendir
(musin), asam lambung, enzim renin, dan ensim pepsinogen. Asam lambung
berfungsi untuk membunuh kuman penyakit atau bakteri yang masuk bersama
makanan dan juga berfungsi untuk mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin,
pepsin berfungsi untuk memcah protein menjadi pepton dan protease dan
enzim renin befungsi untuk mengumpalkan protein susu (kasein) yang
terdapat pada susu (Sloane, 2015).
8) Usus halus (intestinum)
Bagian dari sistem cerna makanan yang berpangkal pada pilorus dan
berakhir pada caekum. P: ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat
proses pencernaan makanan dan absorpsi zat- zat makanan. Fungsi usus halus
adalah:
a) Menerima zat makanan yang sudah dicerna/ diserap melalui kapiler dan
limfe
b) Menyerap protein dalam bentuk asam amino
c) Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida dan lemak dalam bentuk
gliserol dan asam lemak
Getah intenstinum:
a) Enterokinase: menghasilkan enzim proteolitik, mengaktifkan
tripsinogen menjadi tripsin
b) Eripsin: menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino
c) Laktase: laktosa menjadi monosakarida
d) Maltase: maltose menjadi glukosa
e) Sukrose: sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
f) Tripsin: pepton menjadi asam amino
Usus halus terdiri dari:
a) Usus dua belas jari (duodenum)
P: ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda, melengkung kekiri, pada
lengkungan terdapat pancreas. Pada bagian kanan terdapat muara
saluran empedu (duktus koledokus dan saluran pankreas (duktus
wirsungi/duktus pankreatikus yang disebut “ampula vateri”. Dinding
duodenum mempunyai lapisam mukosa yang banyak mengandung
kelenjar (Kelenjar Brunner) yang menghasilkan getah intestium
Pada usus dua belas jari, terjadi seluruh proses pencernaan
karbohidrat, lemak, dan protein. Selanjutnya proses penyerapan
(absorbsi) akan berlangsung di usus kosong dan sebagian besar diusus
penyerapan.
b) Usus kosong (jejenum) dan Usus penyerapan (ileum).
Panjang jejunum + ileum ± 6 meter, 2/5 bagian atas adalah
jejunum dengan p ± 2,3 m, dan ileum ± 4-5 m. Lekukan jejunum dan
ileum melekat pada dinding abdomen posterior yang berbentuk kipas
disebut mesenterium. Pada mesenterium ini keluar masuk arteri dan
vena mesenterika superior dan saraf limfe. Bagian akhir ileum
berhubungan dengan caecum dengan lubangnya yang disebut orifisium
ileosekalis dan juga terdapat katup yang disebut “Valvula Baukhini”,
berfungsi untuk mencegah isi kolon masuk kembali ke ileum.
Pada proses penyerapan karbohidrat diserap dalam bentuk
glukosa, lemak diserap dalam bentuk asam lemak dan gliserol, dan
protein diserap dalam bentuk asam amino, sedangkan vitamin dan
mineral tidak mengalami pencernaan dan dapat langsung diserap oleh
usus halus. Pada dinding usus penyerapan terdapat jonjot – jonjot usus
yang disebut vili, vili berfungsi memperluas daerah penyerapan usus
halus sehingga sari – sari makanan dapat terserap lebih banyak dan cepat
(Brunner & Suddart, 2015).
9) Usus besar (Kolon)
a) Panjang: ± 1½ m, lebar 5-6 cm. Lapisan dari dalam keluar terdiri dari:
lapisan mukosa, lapisan otot sirkuler, lapisan otot longitudinal, jaringan
ikat
b) Fungsi: menyerap vitamin, air & memadatkan feses, tempat tinggal
bakteri E-coli (menghasilkan vitamik K yang berperan penting dalam
proses pembekuan darah), dan tempat feses.
c) K. asenden memiliki p: 13 cm, disebelah kanan, membujur ke atas dari
ileum ke bawah hati.
d) Di bawah hati melengkung kekiri lanjut ke k. transversum (± 38 cm).
e) K. desendens (± 25 cm), dibagian abdomen kiri dari atas kebawah dan
bersambungan dengan kolon sigmoid.
f) Usus besar terdiri dari apendiks (bagian mendatar, bagian menurun dan
berakhir di anus. Perjalanan makanan sampai diusus besar dapat mencapai
antara 4 – 5 jam, lalu disimpan diusus besar selama 24 jam.
g) Didalam usus besar, feses didorong secara teratur dan lambat oleh gerakan
peristaltik menuju ke rektum. Gerakan peristaltik ini dikendalikan oleh
otot polos (otot tak sadar) (Sloane, 2015).
10) Appendiks
a) Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-
kira 10 cm dan berpangkal pada sekum.
b) Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada
bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga tanea coli yang menyatu
dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks.
C. Etiologi
Penyebab terjadinya apendisitis dapat terjadi karena adanya makanan keras yang
masuk ke dalam usus buntu dan tidak bisa keluar lagi. Setelah isi usus tercemar dan
usus meradang timbulah kuman-kuman yang dapat memperparah keadaan.
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. berbagai hal sebagai faktor
pencetusnya:
a. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks dan cacing
askaris.
b. Penyebab lain penyebab apendiks karena parasit seperti E. hystolitica.
c. Penelitian Epidemiologi mengatakan peran kebiasaan makan makanan yang
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menarik bagian intrasekal, yang berakibat timbulnya
tekanan intrasekal dan terjadi penyumbatan sehingga meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon.
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya fekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktur lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus.
c. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendiks yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nurarif & Kusuma, 2015).
D. Manifestasi Klinis
Beberapa manifestasi klinis yang sering muncul pada apendisitis antara lain
sebagai berikut :
1. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium disekitar umbilikus atau
periumbilikus. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri beralih ke kuadaran
kanan bawah ke titik Mc Burney (terletak diantara pertengahan umbilikus dan
spina anterior ileum) nyeri terasa lebih tajam.
2. Bisa disertai nyeri seluruh perut apabila sudah terjadi perionitis karena
kebocoran apendiks dan meluasnya pernanahan dalam rongga abdomen
3. Mual
4. Muntah
5. Nafsu makan menurun
6. Konstipasi
7. Demam
(Mardalena 2017 ; Handaya, 2017)
E. Patofisiologi
Apendisitis umumnya disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, benda asing, fekalit, striktur lantaran fibrosis
akibat adanya peradangan sebelumnya, atau adanya neoplasma. Obstruksi
tersebut mengakibatkan mukus yg diproduksi mukosa mengalami sebuah
bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai sebuah keterbatasan sehingga menyebabkan
adanya penekanan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut dapat menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan adanya edema, diapedesis bakteri, & ulserasi mukosa. Disaat
inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan adanya nyeri
epigastrium.
Apabila sekresi mukus terus berlanjut, maka tekanan dapat terus meningkat.
Hal tersebut dapat menyebabkan adanya obstruksi vena, edema bertambah, &
bakteri dapat menembus dinding. Peradangan yg timbul meluas & mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan adanya rasa nyeri di daerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Apabila selanjutnya aliran arteri terganggu dapat terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan adanya gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Apabila dinding yang telah rapuh itu pecah, maka dapat
terjadi apendisitis perforasi.
Apabila seluruh proses di atas berjalan dengan lambat, omentum & usus yg
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga timbul suatu massa lokal
yang biasa disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan
menjadi abses/menghilang. Pada anak-anak, lantaran omentum lebih pendek &
apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut didukung
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang atau lemah dan memudahkan
terjadinya perforasi. Namun pada orang tua perforasi sangat mudah terjadi
lantaran telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, Arief, 2015).
F. Pathway
Hiperplasia, fekolit (massa dari feses), tumor apendiks, benda asing
Apendisitis
Risiko Syok
Dehidrasi Kekurangan volume cairan
Gangguan rasa nyaman : mual
G. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik
a. Pemeriksaan darah rutin: untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
b. Pemeriksaan foto abdomen: untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan.
c. Barium enema.
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding.
d. Laparoscopi.
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan
dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix (Kowalak, 2016).
e. Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi
peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah
mengalami perforasi (pecah).
2) Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
3) Pemeriksaan urine.
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan apendisitis.
f. Radiologi
1) Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam
penegakkan diagnosis apendisitis.
2) CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.
g. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :
1) Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan
kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda
kunci diagnosis.
2) Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri
lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat
tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.
3) Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
4) Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
5) Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
6) Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium (Nurarif & Kusuma, 2015).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita apendisitis yaitu dengan tindakan
pembedahan/Apendiktomi
1. Pengertian Apendiktomi
Apendiktomi adalah intervensi bedah untuk melakukan
pengangkatan bagian tubuh yang mengalami masalah atau mempunyai
penyakit. Apendiktomi dapat dilakukan dengan dua metode pembedahan
yaitu pembedahan secara terbuka/ pembedahan konveksional
(laparotomi) atau dengan menggunakan teknik laparoskopi yang
merupakan teknik pembedahan minimal infasif dengan metode terbaru
yang sangat efektif (Berman& kozier, 2012 dalam Manurung, Melva dkk,
2019)
Laparoskopi apendiktomi adalah tindakan bedah invasive minimal
yang paling banyak digunakan pada apendisitis akut. Tindakan ini cukup
dengan memasukkan laparoskopi pada pipa kecil (trokar) yang dipasang
melalui umbilikus dan dipantau melalui layar monitor. Sedangkan
Apendiktomi terbuka adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada
perut sisi kanan bawah atau pada daerah Mc Burney sampai menembus
peritoneum.
2. Tahap Operasi Apendiktomi
1) Tindakan sebelum operasi
a. Observasi pasien
b. Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah
dehidrasi dan mengganti cairan yang telah hilang
c. Pemberian analgesik dan antibiotik melalui intravena
d. Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral
e. Pasien diminta melakukan tirah baring
2) Tindakan Operasi
a. Perawat dan dokter menyiapkan pasien untuk tindakan
anastesi sebelum dilakukan pembedahan
b. Pemberian cairan intravena ditujukan untuk meningkatkan
fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan yang telah
hilang.
c. Aspirin dapat diberikan untuk mengurangi peningkatan suhu.
d. Terapi antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.
3) Tindakan pasca operasi
a. Observasi TTV
b. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini
dapat mengurangi tegangan pada luka insisi sehingga
membantu mengurangi rasa nyeri
c. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak
ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien
dapat berdiri tegak dan duduk diluar kamar
d. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan
diberikan cairan melalui intravena. Cairan peroral biasanya
diberikan bila pasien dapat mentoleransi
e. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada
hari berikutnya dapat diberikan makanan lunak.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien.
Meliputi: nama, tempat/tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR.
2. Riwayat Kesehatan.
a. Keluhan Utama.
Klien dengan pre dan post op apendisitis biasanya memiliki keluhan adanya nyeri.
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus. Nyeri perut
yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah
4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang.
1) Sejak kapan keluhan dirasakan: biasanya klien mengatakan nyeri muncul
tidak diketahui apa sebabnya.
2) Berapa lama keluhan terjadi: biasanya klien mengatakan nyeri timbul seperti
ditusuk-tusuk dan hilang timbul.
3) Bagaimana sifat dan hebatnya keluhan: biasanya klien mengatakan nyeri yang
dirasakan sangat mengganggu aktivitas, sehingga aktivitas pasien harus
dibantu keluarga.
4) Dimana keluhan timbul: nyeri pada perut kanan bawah merambat sampai
epigastrum seperti tanda-tanda maag.
5) Keadaan apa yang memperberat dan memperingan: biasanya klien
mengatakan nyeri muncul ketika merubah posisi, bertambah nyeri saat batuk,
miring ke kanan ataupun saat diraba.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu.
Untuk mengetahui riwayat tindakan operasi abdomen yang lalu. Kebiasaan
makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi sehingga
meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan fungsi
appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga menjadi
appendisitis akut.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga.
Apakah keluarga dan klien beresiko terhadap penyakit yang bersifat genetik atau
familial.
3. Pola Fungsi Gordon.
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah sakit.
b. Pola nutrisi dan metabolism
Klien pre op akan terganggu nutrisi dan metabolismenya akibat rasa nyeri yang
disertai mual dan muntah.
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus
c. Pola eliminasi
Setelah sakit biasanya klien dengan apendisitis BAB 4-5x sehari dengan
konsistensi agak cair. Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih
menggunakan dower chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan
pasien akan dilatih untuk berkemih.
d. Pola aktivitas dan latihan
Umumnya klien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas / bergerak karena
rasa nyeri pre dan postop apendisitis. Pada post op
adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun,
setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk bergerak miring
kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.
e. Pola tidur dan istirahat
Adanya rasa nyeri pre dan post op apendisitis dapat mengganggu kenyamanan
pola istirahat tidur klien.
f. Pola kognitif perceptual
Sistem penglihatan, pendengaran, pengecap, peraba dan
penghidung tidak mengalami gangguan.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien pre op dapat mengalami cemas karena rasa nyeri yang tidak kunjung
hilang dan ketidaktahuan tentang perawatan post operasi appendiks.
h. Pola hubungan dan peran
Dengan adanya keterbatasan dalam beraktivitas / bergerak kemungkinan
penderita tidak bisa melakukan perannya secara baik dalam keluarganya serta
dalam komunitas masyarakat. Pada klien post op yang harus menjalani
perawatan di rumah sakit maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien
baik dalam keluarga, tempat kerja dan masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada
hubungannya dengan alat reproduksi.
j. Pola penanggulangan stress
Setres dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan post
operasi. Gali adanya stress pada klien dan mekanisme koping klien terhadap
stress tersebut
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya nyeri pre dan post operasi memerlukan adaptasi klien dalam
menjalankan ibadah.
4. Pemeriksaan Fisik.
a. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah dan menahan sakit.
b. Kesadaran pasien : Composmentis.
c. Vital sign:
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan : Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan meningkat
Suhu : Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena
demam.
BB : Biasanya mengalami penurunan.
d. Mata: konjungtiva anemis
e. Mulut dan bibir: mukosa bibir kering, mulut terasa pahit, sianosis
f. Pernafasan: adanya pernafasan dangkal, takipnea
g. Abdomen:
Auskultasi: penurunan atau tidak ada peristaltic usus
Palpasi: nyeri pada daerah kuadran kanan sekitar epigastrium dan umbilikus
yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak
antara umbilikus dan tulang ileum kanan), ditemukan tanda Psoas dan Obturator
positif, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam bawah, nyeri
sekitar umbilicus, distensi abdomen.
Perkusi: Timpani saat diperkusi
h. Integumen: kulit tampak pucat, tugor kulit kering, sianosis, luka pembedahan
pada abdomen sebelah kanan bawah.
i. Ekstremitas: Apakah ada keterbatasan dalam aktivitas karena adanya nyeri yang
hebat, juga apakah ada kelumpuhan atau kekakuan
B. DIAGNOSA
a. Pre Operasi
1) Kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan aktif d/d kulit tampak kering,
membran mukosa kering, peningkatan suhu tubuh, peningkatan frekuensi nadi,
penurunan turgor kulit, mual dan muntah, dehidrasi.
2) Risiko syok b/d hipovolemia d/d dehidrasi, sianosis.
3) Ketidakefektifan pola nafas b/d efek anastesi umum, nyeri, posisi tubuh ysng
menghambat ekspansi paru, keletihan d/d penurunan ekspansi paru, sesak nafas,
pernafasan cuping hidung, takipnea.
4) Nyeri akut b/d agens cedera biologis: penigkatan tekanan intra luminal d/d
ekspresi wajah nyeri, sikap melindungi area nyeri, mengekspresikan prilaku
gelisah.
5) Gangguan rasa nyaman: mual b/d distensi lambung d/d mual, sensasi muntah,
keenganan terhadap makanan.
6) Hipertermi b/d inflamasi, sepsis (infeksi) d/d kulit terasa hangat.
7) Ansietas b/d prosedur pembedahan: apendiktomi d/d gelisah, wajah tegang,
lemah, mulut kering, letih.
b. Post Operasi
1) Ketidakefektifan pola nafas b/d efek anastesi umum, nyeri, posisi tubuh ysng
menghambat ekspansi paru, keletihan d/d penurunan ekspansi paru, sesak nafas,
pernafasan cuping hidung, takipnea.
2) Ansietas b/d prosedur pembedahan: apendiktomi d/d gelisah, wajah tegang,
lemah, mulut kering, letih.
3) Nyeri akut b/d agens cedera fisik: prosedur bedah d/d ekspresi wajah nyeri, sikap
melindungi area nyeri, mengekspresikan prilaku gelisah.
4) Hipertermi b/d inflamasi, sepsis (infeksi) d/d kulit terasa hangat.
5) Kerusakan integritas jaringan b/d prosedur bedah d/d jaringan rusak.
6) Resiko infeksi b/d adanya luka insisi akibat pembedahan operasi d/d prosedur
invasif.
C. INTERVENSI
2. Cairan [luka] yang berbau busuk mengenai bagaimana menghindari keluarga pasien mengenai
Brunner & Suddart. (2013).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Kowalak, dkk . (2011). Buku Ajar Patofisiologi,Proses Penyakit, Tanda dan Gejala,
Penatalaksanaan, Efek Pengobatan dan Ilustrasi Berwarna. Jakarta : EGC.
Mansjoer, A. (2015) Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: CV. Trans Info Media
Nurarif, Huda Amin & Kusuma, Hardhi. (2014) .Handbook for Health Student.
Yogyakarta:Media Action Publishing.
Huda Nurarif, Amin. (2015).Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
Nanda. Yogjakarta:Mediaction
Price & Wilson (2013) Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.