Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN NY. D (46 TAHUN) DENGAN DEMAM


THYPOID DI RUANGAN ORION RSUD BANDUNG KIWARI

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah
Holistik Islami

Dosen Pembimbing:
Riandi Alfin, S.Kep.,Ners.M.Kep.

Disusun oleh:
Yulindawati
NIM 402022098

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM THYPOID

A. Pengertian

Demam tifoid dan demam parathyfoid adalah penyakit infeksi akut

usus halus. Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan

manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut. Sinonim

demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever,

enteric fever, thyphus dan paratyphus abdominalis (Mansjoer, 2000).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim

dari demam tifoid adalah typhoid fever, enteric fever. Tifoid berasal dari

bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadinya penguapan panas tubuh

serta gangguan kesadaran disebabkan demam yang tinggi (Dinda, 2008).

Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan

rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

kejadian tinggi pada daerah tropik dibandingkan daerah berhawa dingin.

Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif,

penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier. Demam Tifoid juga

dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis. Demam tifoid adalah

penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit

kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang

juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam

tifoid (termasuk paratifoid) disebabkan oleh kuman salmonella typhi,

salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C.


Jika penyebabnya adalah salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan

dibanding dengan yang disebabkan oleh salmonella typhi (Anonim, 2008).

B. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Anatomi Sistem Pencernaan

Gambar 1. Anatomi sistim pencernaan (Sherwood, 2001)

Menurut Watson (2002), secara sistematis saluran pencernaan terdiri

dari 2 bagian, yaitu:

a. Saluran pencernaan atas terdiri dari

1) Mulut

Mulut adalah permulaan dari saluran pencernaan yang terdiri atas 2

bagian yaitu bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang

antara gusi, gigi, bibir dan pipi. Sedangkan bagian dalam yaitu
rongga mulut yang dibatasi sisi-sisinya oleh tulang maksilaris dan

semua gigi, dan di sebelah belakang bersambungan dengan awal.

Didalam mulut terdapat saliva dan ludah yang dihasilkan oleh 3

kelenjar yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis dan kelenjar

seblingualis. Saliva adalah cairan yang bersifat alkali yang

mengandung misin, enzim pencernaan zat tepung yaitu ptialin dan

sedikit zat padat. Fungsi saliva yaitu ;

a) Kerja fisis membasahi mulut, membersihkan lidah dan

mempermudah saat berbicara.

b) Kerja kimiawi disebabkan oleh amilase ludah, setelah makanan

dicerna dimulut maka makanan tersebut ditelan dengan membentuk

makanan menjadi lobus dan dengan bantuan lidah lidah dan pipi sera

belakang mulut makanan masuk ke dalam faring.

2) Faring

Faring merupakan organ yang berhubungan dengan rongga mulut dan

kerongkongan (esofagus). Didalam lingkungan faring terdapat tonsil

yaitu kumpulan limfa yang mengandung limfosit yang merupakan

pertahanan terhadap infeksi.

3) Esofagus

Esofagus adalah tabung berotot yang panjangnya 20-25 cm, dimulai

dari faring sampai pintu masuk kardiak lambung. Makanan bejalan

dalam esofagus karena gerakan peristaltik. Lingkaran serabut otot di

depan makanan mengendor dan yang di belakang berkontraksi maka

gelombang peristaltik mengantar makanan ke lambung.


4) Gaster (Lambung)

Lambung menerima makanan dari esofagus melalui orifisium kardiak

dan bekerja sebagai penimbun sementara. Kontraksi otot lambung

mencapur makanan dengan getah lambung. Getah ini mengandung 0,4

% HCl yang mengasamkan semua makanan, bekerja sebagai

antiseptikdan desinfektan. Beberapa enzim pencernaan yang terdapat

dalam getah lambung yaitu:

a) Pepsin berfungsi mengubah protein menjadi pepton

b) Renin adalah ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein

dari karsinogen yang dapat larut

c) Lipase berfungsi memecahkan lemak.

b. Saluran pencernaan bagian bawah

1) Usus Halus

Usus halus adalah bagian dari saluran pencernaan makanan yang

berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum yang terdiri dari :

a) Duodenum atau usus 12 jari

Panjangnya kira-kira 25 cm, berbentuk sepatu kuda. Saluran empedu

dan saluran pankreas masuk kedalam duodenum pada suatu lubang

yang disebut ampula hepatopangkreas. Di duodenum juga terdapat

getah pangkreas yang terdiri dari 3 jenis enzim yaitu enzim amilase,

lipase dan tripsin.

b) Yeyenum dan Ileum

Yeyenum menempati 2/5 sebelah atas usus halus, sedangkan ileum

menempati 3/5 akhir.di usus terdapat getah usus (sukus enterikus)


yang terdiri dari beberapa enzim yang menyempurnakan pencernaan

semua makanan yaitu enterokinase, eripsin, intertase dan laktase.

Setelah makanan dicerna seluruhnya kemudian diabsorbsi dalam

usus halus melalui dua saluran yaitu pembuluh kapiler darah dan

saluran limfe di vili.

2) Usus Besar

Usus besar merupakan sambungan dari usus halus yang dimulai dari

katub ikosekal. Fungsi ikosekal adalah untuk mengontrol pasase isi usus

kedalam usus besar dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus.

Lapisan usus besar terdiri dari dalam keluar, yaitu selaput lendir,

lapisan otot melingkar, Lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Adapun

fungsi dari usus besar yaitu :

a) Absorbsi air, garam dan glukosa

b) Sebagai populasi bakteri

c) Sekresi musin

d) Defekasi

Bagian-bagian dari usus besar yaitu :

a) Sekum

Terletak dibawah iliaka kanan dan menempel di otot iliopsoas.

b) Apendiks verivornis

Bagian usus besar yang muncul seperti corong dari akhir sekum,

mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan

dapat dilewati oleh beberapa isi usus.


c) Kolon Asendens

Terletak disebelah kanan membujur ke atas dari ileum ke daerah

hati.

d) Kolon Tranversum

Terletak dibawah hati berbelok pada flexura hepatica, lalu berjalan

melalui tepi daerah epigastri dan umbilika.

e) Kolon Desendens

Terletak di bawah limp, membelok sebagai flexura sinistra dan

kemudian berjalan melalui daerah kanan lumbal.

f) Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam

rongga pelvis sebelah kiri.

3) Rektum

Merupakan struktur lanjutan dari kolon sigmoid. Panjang rektum adalah

sekitar 12 cm dan berjalan melalui diafragma pelvis menjadi kanal

anus.

4) Anus

Jalan keluar dari sisa makan yang diatur oleh jaringan otot lurik yang

membentuk baik sfinger internal dan eksternal.

2. Fisiologi Sistem Pencernaan

Fungsi utama sistem pencernaan adalah memindahkan nutrient, air dan

elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh.

Manusia menggunakan molekul-molekul organik yang terkandung dalam

makanan dan O2 untuk menghasilkan energi (Sherwood, 2001).


Makanan harus dicerna agar menjadi molekul-molekul sederhana yang

siap diserap dari saluran pencernaan ke dalam sistem sirkulasi untuk

didistribusikan ke dalam sel. Menurut Sherwod (2001), secara umum sistem

pencernaan melakukan empat proses pencernaan dasar, yaitu:

a. Motilitas

Motilitas mengacu pada kontraksi otot yang mencampur dan

mendorong isi saluran pencernaan. Otot polos di saluran pencernaan terus

menerus berkontraksi dengan kekuatan rendah yang disebut tonus.

Terhadap aktivitas tonus yang terus menerus terdapat dua jenis dasar

motilitas pencernaan yaitu :

1) Gerakan propulsif (mendorong) yaitu gerakan memajukan isi saluran

pencernaan ke depan dengan kecepatan yang berbeda-beda. Kecepatan

propulsif bergantung pada fungsi yang dilaksanakan oleh setiap organ

pencernaan.

2) Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, mencampur

makanan dengan getah pencernaan. Kedua, mempermudah penyerapan

dengan memajankan semua bagian isi usus ke permukaan penyerapan

saluran pencernaan.

b. Sekresi

Sejumlah getah pencernaan disekresikan ke dalam lumen saluran

pencernaan oleh kelenjar-kelenjar eksokrin. Setiap sekresi pencernaan

terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organik spesifik yang penting

dalam proses pencernaan (misalnya enzim, garam empedu, dan mukus).

Sekresi tersebut dikeluarkan ke dalam lumen saluran pencernaan.


c. Pencernaan

Pencernaan merupakan proses penguraian makanan dari struktur

yang kompleks menjad struktur yang lebih sederhana yang dapat diserap

oleh enzim. Manusia mengonsumsi tiga komponen makanan utama, yaitu:

1) Karbohidrat

Kebanyakan makanan yang kita makan adalah karbohidrat dalam

bentuk polisakarida, misalnya tepung kanji , daging (glikogen), atau

tumbuhan (selulosa). Bentuk karbohidrat yang paling sederhana adalah

monosakarida seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa.

2) Protein

Protein terdiri dari kombinasi asam amino yang disatukan oleh ikatan

peptida. Protein akan diuraikan menjadi asam amino serta beberapa

polipeptida kecil yang dapat diserap dalam saluran pencernaan.

3) Lemak

Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigelsida.

Produk akhir pencernaan lemak adalah monogliserida dan asam lemak.

Proses pencernaan dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatik.

Dengan menambahkan H2O dan enzim akan memutuskan ikatan

tersebut sehingga molekul-molekul kecil menjadi bebas.

d. Penyerapan

Proses penyerapan dilakukan di usus halus. Proses penyerapan

memindahkan molekul-molekul dan vitamin yang dihasilkan setelah

proses pencernaan berhenti dari lumen saluran pencernaan ke dalam darah

atau limfe.
Saluran pencernaan (traktus digestivus) merupakan saluran dengan

panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan melalui bagian tengaj tubuh

menuju ke anus. Pengaturan fungsi saluran pencernaan bersifat kompleks

dan sinergistik. Terdapat empat faktor yang berperan dalam pengaturan

fungsi pencernaan, yaitu:

1) Fungsi otonom otot polos.

2) Pleksus saraf intrinsic.

3) Saraf ekstrinsik.

4) Hormon saluran pencernaan.

Proses pencernaan dimulai ketika makanan masuk ke dalam organ

pencernaan dan berakhir sampai sisa-sisa zat makanan dikeluarkan dari organ

pencernaan melalui proses defekasi.

a. Pencernaan Oral

Makanan masuk melalui rongga oral (mulut). Langkah awal adalah

proses mestikasi (mengunyah). Terjadi proses pemotongan, perobekan,

penggilingan, dan pencampuran makanan yang dilakukan oleh gigi.

Tujuan mengunyah adalah menggiling dan memecah makanan,

mencampur makanan dengan air liur, dan merangsang papil pengecap.

Ketika merangsang papil pengecap maka akan menimbulkan sensasi

rasa dan secara refleks akan memicu sekresi saliva. Di dalam saliva

terkandung protein air liur seperti amilase, mukus, dan lisozim. Fungsi

saliva dalam proses pencernaan adalah:

1) Memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja enzim amilase.


2) Mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel

makanan dengan adanya mukus sebagai pelumas.

3) Memiliki efek antibakteri oleh lisozim.

4) Pelarut untuk molekul-molekul yang merangsang pupil pengecap.

5) Penyangga bikarbonat di air liur menetralkan asam di makanan serta

asam bakteri di mulut sehingga membantu mencegah karies.

b. Menelan

Selanjutnya adalah proses deglutition (menelan). Menelan dimulai

ketika bolus di dorong oleh lidah menuju faring. Tekanan bolus di faring

merangsang reseptor tekanan yang kemudian mengirim impuls aferen ke

pusat menelan di medula. Pusat menelan secara refleks akan mengaktifkan

otot-otot yang berperan dalam proses menelan. Tahap menelan dapat

dibagi menjadi 2, yaitu:

1) Tahap orofaring: berlangsung sekitar satu detik. Pada tahap ini

bolusdiarahkan ke dalam esofagus dan dicegah untuk masuk ke saluran

lain yang berhubungan dengan faring.

2) Tahap esofagus: pada tahap ini, pusat menelan memulai gerakan

peristaltik primer yang mendorong bolus menuju lambung. Gelombang

peristaltik berlangsung sekitar 5-9 detik untuk mencapai ujung

esophagus.

c. Kerja Lambung

Selanjutnya, makanan akan mengalami pencernaan di lambung. Di

lambung terjadi proses motilita. Terdapat empat aspek proses motilitas di

lambung, yaitu:
1) Pengisian lambung (gastric filling): volume lambung kosong adalah 50

ml sedangkan lambung dapat mengembang hingga kapasitasnya 1 liter

2) Penyimpanan lambung (gastric storage): pada bagian fundus dan korpus

lambung, makanan yang masuk tersimpan relatif tenang tanpa adanya

pencampuran. Makanan secara bertahap akan disalurkan dari korpus ke

antrum.

3) Pencampuran lambung (gastric mixing): kontraksi peristaltik yang kuat

merupakan penyebab makanan bercampur dengan sekresi lambung dan

menghasilkan kimus. Dengan gerakan retropulsi menyebankan kimus

bercampur dengan rata di antrum. Gelombang peristaltik di antrum akan

mendorong kimus menuju sfingter pilorus.

4) Pengosongan lambung (gastric emptying): kontraksi peristaltik antrum

menyebabkan juga gaya pendorong untuk mengosongkan lambung.

Selain melaksanakan proses motilitas, lambung juga mensekresi

getah lambung. Beberapa sekret lambung diantaranya:

1) Sel-sel partikel secara aktif mengeluarkan HCL ke dalam lumen

lambung. Fungsi HCL dalam proses pencernaan adalah :

a) Mengaktifkan prekusor enzim pepsinogen menjadi pepsin dan

membentuk lingkungan asam untuk aktivitas pepsin.

b) Membantu penguraian serat otot dan jaringan ikat.

c) Bersama dengan lisozim bertugas mematikan mikroorganisme dalam

makanan.

2) Pepsinogen: pada saat di ekresikan ke dalam lambiung, pepsinogen

mengalami penguraian oleh HCL menjadi bentuk aktif, pepsin. Pepsin


berfungsi dalam pencernaan protein untuk menghasilkan fragmen-

fragmen peptida. Karena fungsinya memecah protein, maka peptin

dalam lambung harus disimpan dan disekresikan dalam bentuk inaktif

(pepsinogen) agar tidak mencerna sendiri sel-sel tempat ia terbentuk.

3) Sekresi mukus: mukus berfungsi sebagai sawar protektif untuk

mengatasi beberapa cedera pada mukosa lambung.

4) Sekresi Gastrin: di daerah kelenjar pilorus (PGA) lambung terdapat sel

G yang mensekresikan gastrin. Aliran sekresi getah lambung akan

dihentikan bertahap seiring dengan mengalirnya makanan ke dalam

usus. Di dalam lambung telah terjadi pencernaan karbohidrat dan mulai

tejadi pencernaan protein. Makanan tidak diserap di lambung. Zat yang

diserap di lambung adalah etil alkohol dan aspirin.

d. Kerja usus halus

Makanan selanjutnya memasuki usus halus. Usus halus merupakan

tempat berlangsungnya pencernaan dan penyerapan. Usus halus di bagi

menjadi tiga segmen, yaitu:

1) Duodenum (20 cm/ 8 inci): pencernaan di lumen duodenum di bantu

oleh enzim-enzim pankreas. Garam-garam empedu mempermudah

pencernaan dan penyerapan lemak.

2) Jejenum (2,5 m/ 8 kaki)

3) Ileum (3,6 m/12 kaki)

Proses motalitas yang terjadi di dalam usus halus mencakup

Segmentasi yang merupakan proses mencampur dan mendorong secara

perlahan kimus. Kontraksi segmental mendorong kimus ke depan dan ke


belakang. Kimus akan berjalan ke depan karena frekuensi segmentasi

berkurang seiring dengan panjang usus halus. Kecepatan segmentasi di

duodenum adalah 12 kontraksi/menit, sedangkan kecepatan segmentasi di

ileum adalah 9 kontraksi/menit. Segmentasi lebih sering terjadi di bagian

awal usus halus daripada di bagian akhir, maka lebih banyak kimus yang

terdorong ke depan daripada ke belakang. Akibatnya, kimus secara

perlahan bergerak maju ke bagian belakang usus halus dan selama proses

ini kimus mengalami proses maju mundur sehingga terjadi pencampuran

dan penyerapan yang optimal.

e. Kerja Kolon

Dalam empat jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum

terminalis dan dengan perlahan melewati bagian proximal kolon sepanjang

saluran. Transport lambat ini memungkinkan reabsorbsi efisien terhadap

air dan elektrolit. Materi sisa dari makanan mencapai dan mengembangkan

anus, biasanya kira-kira 12 jam.

f. Defekasi

Bila terjadi pergerakan massa ke rektum, kontraksi rektum dan

relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan

massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari sfingter

ani interni dan sfingter ani eksternus. Keinginan berdefekasi muncul

pertama kali saat tekanan rektum mencapai 18 mmHg dan apabila

mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas

dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks

intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dinding rektum).


Ketika feses masuk rektum, distensi dinding rektum menimbulkan

sinyal aferen menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan

gelombang peristaltik dalam kolon descendens, sigmoid, rektum,

mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltik mendekati

anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus

mienterikus dan dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga

terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rektum terenggang.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai

relfeks defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi

parasimpatis. Bila ujung saraf dalam rektum terangsang, sinyal akan

dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon

descendens, sigmoid, rektum, dan anus melalui serabut parasimpatis

pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik

dan merelaksasi sfingter ani internus, mengubah refleks defekasi intrinsik

menjadi proses defekasi kuat. Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis

menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glottis,

kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun ke

bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik

keluar cincin anus mengeluarkan feses (Guyton, 2008).

C. Etiologi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah salmonella typhi,

salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C

(Widodo, 2009).
D. Patofisiologi

Kuman salmonella typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan

makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam

lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid

plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella

typhi kemudian menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe dan mencapai

kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati

kelenjar-kelenjar limfe ini salmonella typhi masuk kealiran darah melalui duktus

thoracicus. Kuman-kuman salmonella typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi

portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan

bagian-bagian lain system retikuloendotial (Admin, 2008).

Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid

disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-

eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab

utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin

Salmonella typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu

terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat Salmonella typhi

berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena Salmonella typhi dan

endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada

jaringan yang meradang (Admin, 2008).


E. Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini

termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun

1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-

penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga

dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-

undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada,

sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti (Ashkenazi,

2002).

Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih

sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang

menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber

penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan

salmonella thypi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier.

Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram tinja

(Dinda, 2008).

Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan

yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di

daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan

masih terus mengekskresi salmonella thypi dalam tinja dan air kemih selama

lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk

terjadinya carrier. Kuman-kuman salmonella thypi berada didalam batu empedu

atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat

radang menahun (Dinda, 2008).


F. Manifestasi Klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala yang

timbul sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia,

tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran

penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai

gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini

menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah berpengalaman pun mengalami

kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid (Dinda, 2008).

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan

penyakit akut pada umumnya. Yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,

anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk

dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya dijumpai suhu badan meningkat.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam,

bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan

tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa

samnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada

orang Indonesia (Widodo, 2009).

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,

terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam sumsum dan

penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan

jumlah lekosit antara 3000 – 4000 /mm 3 ditemukan pada fase demam. Hal ini

diakibatkan oleh penghancuran lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu


hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium

panas yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit

meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.

2. Pemeriksaan urine

Didapatkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan

peningkatan lekosit dalam urine.

3. Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya perdarahan

usus dan perforasi.

4. Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella typhi

dan biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5. Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin ). Adapun

antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman salmonella adalah

antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau lebih pada

minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih

dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian

menunjukkan diagnosa positif dari infeksi salmonella typhi.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau komplikasi

akibat demam tifoid.


H. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

1. Komplikasi intestinal :

a. Perdarahan usus

b. Perforasi usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstra-intestinal :

a. Komplikasi kardiovaskular :

Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan

tromboflebitis.

b. Komplikasi darah :

Anemia hemolitik, trombositopenia dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru :

Pneumonia, empiema dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung empedu :

Hepatitis dan kolesistisis.

e. Komplikasi ginjal :

Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang :

Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.

g. Komplikasi neuropsikatrik :

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, SGB, psikosis dan

sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang

terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan

umum terutama bila perawatan pasien kurang sempurna (Ramadoni, 2008).

I. Penatalaksanaan

Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu perawatan, diet dan

obat-obatan.

1. Perawatan

Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,

observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7

hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi pasien harus

dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-

ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia

hipostatik dan dekubitus.

Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang

terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

2. Diet

Dimasa lampau, pasien dengan demam tifoid diberi bubur saring,

kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan

pasien. Karena usus perlu diistirahatkan.

Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini

dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

3. Obat

Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah :


a. Kloramfenikol

b. Thiamfenikol

c. Ko-trimoksazol

d. Ampisillin dan Amoksisilin

e. Sefalosporin generasi ketiga

f. Fluorokinolon.

Obat-obat simptomatik :

a. Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin).

b. Kortikosteroid (tapering off Selama 5 hari).

c. Vitamin B komp. Dan C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran

dan kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh darah

kapiler.
J. Pathway

Makanan, Minuman, Air Tercemae

Mengandung Salmonella Thypi

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna


Proses penyakit
Thypus Abdominalis
MK: Kurang pengetahuan
Masuk ke lambung Toksemia Usus halus
MK: Cemas
Salmonella dimusnakan Ductus Thoracicus Salmonella bersarang
oleh asam lambung di jaringan limfoid
Masuk kehati plaque payeri

Produksi asam lambung Salmonella Thypii Mukosa membran


meningkat berkembang biak payeri cedera/luka
Berkembag biak
Mual dan muntah dihati/limfa Hipertrofi Tukak pada mukosa
payeri
Anorexia Pembesaran Penekanan pada saraf
limfa di hati Perdarahan perforasi
MK: Nutrisi Kurang intestinal
Dari Kebutuhan Tubuh Nyeri ulu hati
MK: Resiko Kekurangan Proses Infeksi
VolmeCairan Splenomegali MK: Gangguan Rasa
Nyaman Nyeri MK: Hypertermi
Penurunan /peningkatan
Mobilitas usus

Penurunan /peningkatan
Peristaltik usus

MK: Konstipasi/Diare
K. Fokus Pengkajian

Dasar data atau data fokus pengkajian klien dengan demam thypoid

antara lain :

1. Pengumpulan Data

a. Wawancara

1) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa,

agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor

register dan diagnosa medik.

2) Keluhan utama

Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak

turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia,

diare serta penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella

typhi ke dalam tubuh.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.

5) Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6) Riwayat psikososial dan spiritual


Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang

digunakan. Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring

total dan lemah.

7) Pola-pola fungsi kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual

dan muntah saat makan sehingga makan hanya sedikit bahkan

tidak makan sama sekali, penurunan berat badan, tidak toleran

terhadap diet/sensitive misalnya buah segar/sayur, produk susu,

makanan berlemak. Penurunan lemak subkutan/massa otot,

kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa

pucat, luka, inflamasi rongga mulut.

b) Pola eliminasi

Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh

karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak

mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning

kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi peningkatan suhu

tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,

sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.

c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien terganggu karena harus tirah baring total,

agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan dibantu.

Pembatasan aktivitas kerja sampai dengan efek proses penyakit.

d) Pola kenyamanan (nyeri)


Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang

dengan defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata,

foofobia.

e) Pola aktifitas, tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan

suhu tubuh, kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah.

Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare, merasa gelisah

dan ansietas.

f) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya

dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.

g) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan

penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak

terdapat suatu waham pad klien.

h) Pola hubungan dan peran

Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di

rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.

i) Pola reproduksi dan seksual

Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah

karena harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum

menikah tidak mengalami gangguan.

j) Pola penanggulangan stress


Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena

keadaan sakitnya.

k) Pola tata nilai dan kepercayaan

Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest

total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang

dideritanya saat ini.

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38-

410 C, muka kemerahan.

2) Tingkat kesadaran

Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).

3) Sistem respirasi

Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan

gambaran seperti bronchitis.

4) Sistem kardiovaskuler

Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin

rendah, takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses

imflamasi dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan

vitamin K). Hipotensi termasuk postural.

5) Sistem integumen

Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut


agak kusam. Kulit dan membran mukosa seperti turgor buruk,

kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).

6) Sistem muskuloskeletal

Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.

7) Sistem gastrointestinal

Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas),

mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa

tidak enak, peristaltik usus meningkat.

8) Sistem abdomen

Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi

lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan

perut kembung serta pada auskultasi peristaltik usus meningkat.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan darah tepi

Didapatkan adanya anemi oleh karena intake makanan yang terbatas,

terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan darah dalam

sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah.

Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000-4000 /mm 3

ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh penghancuran

lekosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari

darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas yaitu pada

minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit meningkat

akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.

2) Pemeriksaan urine
Didaparkan proteinuria ringan (< 2 gr/liter) juga didapatkan

peningkatan lekosit dalam urine.

3) Pemeriksaan tinja

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya

perdarahan usus dan perforasi.

4) Pemeriksaan bakteriologis

Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan

biakan darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.

5) Pemeriksaan serologis

Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

Adapun antibodi yang dihasilkan tubuh akibat infeksi kuman

salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O

adalah 1 : 20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi

peningkatan titer antibodi yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada

pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan

diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.

6) Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau

komplikasi akibat demam tifoid.

L. Fokus Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin dijumpai pada pasien demam

thypoid adalah

1. Hypertermi bernubungan

dengan infeksi kuman salmonella thypi


2. Risiko kurang volume

cairan berhubungan dengan Kehilangan banyak melalui rute normal (diare

berat, muntah), status hipermetabolik dan pemasukan terbatas.

3. Perubahan pola eliminasi

BAB; Diare berhubungan dengan inflamasi iritasi dan malabsorpsi usus,

adanya toksin dan penyempitan segemental usus

4. Perubahan pola eliminasi

BAB; Konstipasi berhubungan dengan masukan cairan buruk, diet rendah

serat dan kurang latihan, inflamasi, iritasi.

5. Nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan absorbsi nutrien, status

hipermetabolik, secara medik masukan dibatasi.

6. Nyeri berhubungan dengan

Hiperperistaltik, diare lama, iritasi kulit/jaringan, ekskoriasi fisura

perirektal

7. Cemas berhubungan

dengan Faktor psikologi/rangsang simpatis (proses inflamasi), ancaman

konsep diri, ancaman terhadap perubahan/perubahan status kesehatan dan

status sosial ekonomi.

8. Kurang pengetahun

(kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan

berhubungan dengan kesalahaninterpretasi informasi, kurang mengingat

dan tidak mengenal sumber informasi.

M. Fokus Intervensi
1. Hypertermi berhubungan dengan

infeksi kuman salmonella thypi

a. Tujuan : peningkatan suhu tubuh dapat terkontrol selama proses infek

berlangsung.

b. Intervensi :

1) Beri kompres hangat pada daerah dahi dan aksilla

Rasional : Vasodilatasi pembuluh darah mempercepat evaporasi

sehingga menyebabkan suhu badan turun.

2) Pantau tanda-tanda vital

Rasional : Untuk mengetahui adanya perubahan suhu tubuh secara

mendadakdan sebagai indikasi intervensi selanjutnya.

3) Klien bedrest total di tempat tidur

Rasional : Dengan bedrest total mempercepat pemulihan dan dapat

mencegah timbulnya serangan yang dapat memperburuk keadaan

klien,

2. Risiko kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan banyak

cairan melalui rute normal (diare berat, muntah), status hipermetabolik dan

pemasukan terbatas.

a. Tujuan : klien akan menampakkan volume cairan adekuat atau

mempertahankan cairan adekuat dibuktikan oleh membran mukosa

lembab, turgor kulit baik dan pengisian kapiler baik, TTV stabil,

keseimbangan masukan dan haluaran dengan urine normal dalam

konsentrasi/jumlah.
b. Intervensi :

1) Awasi masukan dan haluaran urine, karakter dan jumlah feces,

perkirakan IWL dan hitung SWL.

Rasional : Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan,

fungsi ginjal dan kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman

untuk penggantian cairan.

2) Observasi TTV.

Rasional : Hipotensi (termasuk postural), takikardi, demam dapat

menunjukkan respon terhadap dan/atau efek kehilangan cairan.

3) Observasi adanya kulit kering berlebihan dan membran mukosa,

penurunan turgor kulit, prngisisan kapiler lambat.

Rasional : Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi.

4) Ukur BB tiap hari.

Rasional : Indikator cairan dan status nutrisi.

5) Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring dan hindari kerja.

Rasional : Colon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk

menurunkan kehilangan cairan usus.

6) Catat kelemahan otot umum dan disritmia jantung

Rasional : Kehilangan cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidak

seimbangan elektrolit. Gangguan minor pada kadar serum dapat

mengakibatkan adanya dan/atau gejala ancaman hidup.

7) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :

a) Cairan parenteral, transfusi

darah sesuai indikasi.


Rasional : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan

penggatntian cairan untuk memperbaiki kehilangan/anemia.

b) Anti diare.

Rasional : Menurunkan kehilangan cairan dari usus.

c) Antiemetik

Rasional : Digunakan untuk mengontrol mual dan muntah pada

eksaserbasi akut.

d) Antipiretik

Rasional : Mengontrol demam. Menurunkan IWL.

e) Elektrolit tambahan

Rasional : Mengganti kehilangan cairan melalui oral dan diare.

3. Perubahan pola eliminasi BAB; Diare berhubungan dengan inflamasi

iritasi dan malabsorpsi usus, adanya toksin dan penyempitan segemental

usus.

a. Tujuan :

1) Klien akan melaporkan penurunan frekuensi defakasi, konsistensi

kembali normal.

2) Klien akan mampumengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.

b. Intervensi :

1) Observasi dan catat ferkuensi defakasi, karekteristik, jumlah dan

faktor pencetus.

Rasional : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji

beratnya episode.
2) Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.

Rasional : Istirahat menurunkan motalitas usus juga menurunkan laju

metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi.

Defakasi tiba-tiba dapat terjadi tanpa tanda dan dapat tidak

terkontrol, peningkatan resiko inkontinensia/jatuh bila alat-alat tidak

dalam jangkauan tangan.

3) Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan.

Rasional : Menurunkan bau tak sedap untuk menghindari rasa malu

klien.

4) Identifikasi makanan/cairan yang mencetuskan diare.

Rasional : Menghindari iritan dan meningkatkan istirahat usus.

5) Observasi demam, takhikardi, lethargi, leukositosis/leukopeni,

penurunan protein serum, ansietas dan kelesuan.

Rasional : Tanda toksik megakolon atau perforasi dan peritonitis

akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik segera.

6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :

a) Antikolinergik.

Rasional : Menurunkan motalitas/peristaltik gastrointestinal dan

menurunkan sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan

diare.

b) Steroid

Rasional : Diberikan untuk menurunkan proses inflamasi.

c) Antasida
Rasional : Menurunkan iritasi gaster, mencegah inflamasi dan

menurunkan resiko infeksi pada kolitis.

d) Antibiotik

Rasional : Mengobati infeksi supuratif lokal.

7) Bantu/siapkan intervensi bedah.

Rasional : Mungkin perlu bila perforasi atau obstruksi usus terjadi

atau penyakit tidak berespon terhadap pengobatan medik.

4. Konstipasi berhubungan dengand masukan cairan buruk, diet rendah serat

dan kurang latihan, inflamasi, iritasi.

a. Tujuan : Klien akan menampakkan/melaporkan kembali pola fungsi

usus yang normal.

b. Intervensi :

1) Observasi bisisng usus.

Rasional : Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh inflamasi

intraperitoneal, obat-obatan. Adanya bunyi abnormal menunjukkan

adanya komplikasi.

2) Amati adanya keluhan nyeri abdomen.

Rasional : Mungkin berhubungan adanya distensi gas atau terjadinya

komplikasi.

3) Observasi gerakan usus, amati feses, konsistensi, warna dan jumlah.

Rasional : Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi

ketepatan intervensi.

4) Anjurkan makan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila

masukan oral diberikan.


Rasional : Menurunkan risiko iritasi mukosa.

5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses,

supositoria gliserin sesuai indikasi.

Rasional : Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan

perlahan/evakuasi feses.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien, status

hipermetabolik, secara medik masukan dibatasi.

a. Tujuan : Klien akan menunjukkan/menampakkan BB

stabil atau peningkatan BB sesuai sasaran dan tidak ada tanda-tanda

malnutrisi.

b. Intervensi :

1) Timbang BB setiap hari atau sesuai indikasi.

Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan

terapi.

2) Dorong tirah baring dan/atau pembatasan aktifitas selama fase sakit

akut.

Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah

penurunan kalori dan simpanan energi.

3) Anjurkan istirahat sebelum makan.

Rasional : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk

makan.

4) Berikan kebersihan mulut terutama sebelum makan.

Rasional : Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.

5) Ciptakan lingkungan yang nyaman.


Rasional : Lingkungan yang nyaman menurunkan stress dan

lebih kondusif untuk makan.

6) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus.

Rasional : Mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala.

7) Dorong klien untuk menyatakan perasaan masalah mulai

makanan/diet.

Rasional : Keragu-raguan untuk makan mungkin diakibatkan oleh

takut makan akan menyebabkan eksaserbasi gejala.

8) Kolaborasi dengan tim gizi/ahli diet sesuai indikasi, mis : cairan

jernih berubah menjadi makanan yang dihancurkan, rendah sisa,

protein tinggi, tinggi kalori dan rendah serat.

Rasional : Memungkinkan saluran usus untuk mematikan kembali

proses pencernaan. Protein untuk penyembuhan integritas jaringan.

Rendah serat menurunkan respon peristaltik terhadap makanan.

9) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :

a) Preparat Besi.

Rasional : Mencegah/mengobati anemi.

b) Vitamin B12

Rasional : Penggantian mengatasi depresi sumsum tulang karena

proses inflamasi lama, Meningkatkan produksi SDM (sel darah

merah) dan memperbaiki anemia.

c) Asam folat.

Rasional : Kehilangan folat umum terjadi akibat penurunan

masukan /absorpsi.
d) Nutrisi parenteral total, terapi IV sesuai indikasi.

Rasional : Program ini mengistirahatkan GI sementara

memberikan nutrisi penting.

6. Nyeri berhubungan dengan Hiperperistaltik, diare lama, iritasi

kulit/jaringan, ekskoriasi fisura perirektal.

a. Tujuan :

1) Klien akan melaporkan nyeri hialng/terkontrol.

2) Klien akan menampakkan perilaku rileks dan mampu tidur/istirahat

dengan tepat.

b. Intervensi :

1) Dorong klien untuk melaporkan nyeri yang dialami.

Rasional : Mencoba untuk mentoleransi nyeri daripada meminta

analgesik.

2) Observasi laporan kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya,

intensitas (skala 0-10), selidiki dan laporkan perubahan karakteristik

nyeri.

Rasional : Nyeri sebelum defakasi sering terjadi dengan tiba-tiba

dimana dapat berat dan terus menerus. Perubahan karakterisik nyeri

dapat menunjukkan penyebaran penyakit/terjadinya komplikasi.

3) Amati adanya petunjuk nonverbal, selidiki perbedaan petunjuk

verbal dan nonverbal.

Rasional : Bahasa tubuh/petunjuk nonverbal dapat secara psikologis

dan fisiologis dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk

untuk mengidentifikasi luas/beratnya masalah.


4) Kaji ulang faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya atau

menghilangnya nyeri.

Rasional : Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor

pemberat atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

5) Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, ubah posisi dan

aktifitas senggang.

Rasional : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian

dan meningkatkan kemampuan koping.

6) Observasi/catat adanya distensi abdomen dan TTV.

Rasional : Dapat menunjukkan terjadinya obstruksi usus karena

inflamasi, edema dan jaringan parut.

7) Kolaborasi dengan tim gizi/ahli diet dalam melakukan modifikasi

diet dengan memberikan cairan dan meningkatkan makanan padat

sesuai toleransi.

Rasional : Istirahat usus penuh dapat menurunkan nyeri/kram.

8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :

a) Analgesik

Rasional : Nyeri bervariasi dari ringan sampai berat dan perlu

penanganan untuk memudahkan istirahat secara adekuat dan

prose penyembuhan.

b) Antikolinergik

Rasional : Menghilangkan spasme saluran GI dan berlanjutnya

nyeri kolik.

c) Anodin supp.
Rasional : Merilekskan otot rectal dan menurunkan nyeri

spasme.

7. Cemas berhubungan dengan Faktor psikologi/rangsang simpatis (proses

inflamasi), ancaman konsep diri, ancaman terhadap perubahan atai

perubahan status kesehatan dan status sosial ekonomi.

a) Tujuan :

1) Klien akan menampakkan perilaku rileks dan melaporkan

penurunan kecemasan sampai tingkat mudah ditangani.

2) Klien akan menyatakan kesadaran perasaan kecemasan dan cara

sehat menerimanya.

b. Intervensi :

1) Amati petunjuk perilaku mis : gelisah, peka rangsang, menolak,

kurang kontak mata, perilaku menarik perhatian.

Rasional : Indikator derajat kecemasan/stress. Hal ini dap terjadi

akibat gejala fisik kondisi juga reaksi lain.

2) Dorong klien untuk mengeksplorasi perasaan dan berikan umpan

balik.

Rasional : Membuat hubungan teraupetik. Membantu klien/orang

terdekat dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress.

Klien dengan diare berat/konstipasi dapat ragu-ragu untuk meminta

bantuan karena takut terhadap staf.

3) Berikan informasi nyata/akurat tentang apa yang dilakukan mis :

tirah baring, pembatasan masukan peroral dan posedur.


Rasional : Keterlibatan klien dalam perencanaan perawatan

memberikan rasa kontrol dan membantu menurunkan kecemasan.

4) Berikan lingkungan tenang dan istitahat.

Rasional : Memindahkan klien dari stress luar meningkatkan

relaksasi dan membantu menurunkan kecemasan.

5) Dorong klien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilakum

perhatian.

Rasional : Tindakan dukungan dapat membantu klien merasa stress

berkurang, memungkinkan energi dapat ditujukan pada

penyembuhan/perbaikan.

6) Bantu klien untuk mengidentifikasi/memerlukan perilaku koping

yang digunakan pada masa lalu.

Rasional : Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan

masalah/stress saat ini, meningktkan rasa kontrol diri klien.

7) Bantu klien belajar mekanisme koping baru mis : teknik mengatasi

stress, keterampilan organisasi.

Rasional : Belajar cara baru untuk mengatasi masalah dapat

membantu dalam menurunkan stress dan kecemasan, meningkatkan

kontrol penyakit.

8) Kolaborai tim medis dalam pemberian sedatif sesuai indikasi.

Rasional : Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan

memudahkan istirahat.
8. Kurang pengetahun (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahaninterpretasi

informasi, kurang mengingat dan tidak mengenal sumber informasi.

a. Tujuan :

1) Klien akan menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan

pengobatan.

2) Klien akan dapat mengidentifikasi situasi stress dan tindakan khusus

untuk menerimanya.

3) Klien akan berpartisipai dalam program pengobatan.

4) Klien akan melakukan perubahan pola hidup tertentu.

b. Intervensi :

1) Kaji persepsi klien tentang proses penyakit.

Rasional : Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran

kebutuhan belajar individu.

2) Jelaskan tentang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor

yang menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan

faktor penyebab.

Rasional : Pengetahuan dasar yang akurat memberikan klien

kesempatan untuk membuat keputusan informasi/pilihan tentang

masa depan dan kontrol penyakit kronis. Meskipun kebanyakan klien

tahu tentang proses penyakitnya sendiri, merek dapat mengalami

informai yang tertinggal atau salah konsep.

3) Jelaskan tentang obat yang diberikan, tujuan, frekuensi, dosis dan

kemungkinan efek samping.


Rasional : Meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan

kerjasama dalam program.

4) Tekankan pentingnya perawatan kulit mis : teknik cuci tangan

dengan baik dan perawatan perineal yang baik.

Rasional : Menurunkan penyebran bakteri dan risiko iritasi

kulit/kerusakan, infeksi.

5) Anjurkan menghentikan merokok.

Rasional : Dapat meningkatkan motalitas usus, meningkatkan gejala.

N. Evaluasi

Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama demam tifoid

dikatakan berhasil/efektif jika :

1. Klien mampu mengontrol

diare/konstipasi melalui fungsi usus optimal/stabil.

2. Komplikasi minimal/dapat

dicegah.

3. Stres mental/emosi

minimal/dapat dicegah dengan menerima kondisi dengan positiKlien

mampu mengetahui/memahami/menyebutkan informasi tentang proses

penyakit, kebutuhan pengobatan dan aspek jangka panjang/potensial

komplikasi berulangnya penyakit.


Asuhan Keperawatan
Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki
1. Risiko Defisit Nutrisi (D.0032)
Luaran : Status Nutrisi Membaik (L.03030)
 Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat
 Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat meningkat
 Penyiapan dan penyimpanan makanan yang aman meningkat
 Sikap terhadap makanan/minuman sesuai dengan tujuan kesehatan
 Frekuensi makan membaik
 Indeks massa tubuh (IMT) membaik
 Nafsu makan membaik
 Membran mukosa membaik
Intervensi Keperawatan: 
a. Manajemen Nutrisi (I.03119)
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
 Lakukan oral hygiene sebelum makan bila perlu
 Fasilitasi menentukan program diet 
 Sajikan makanan secara menarik dengan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan jika perlu
b. Manajemen Gangguan Makan (I.03111)
 Monitor asupan dan keluarnya makanan dan cairan serta kebutuhan kalori
 Timbang berat badan secara rutin
 Berikan penguatan positif terhadap keberhasilan target dan perubahan
perilaku
 Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan situasi pemicu
pengeluaran makanan
 Ajarkan pengaturan diit yang tepat
 Ajarkan keterampilan koping untuk penyelesaian masalah perilaku makan
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan , kebutuhan kalori
dan pilihan makanan 
2. Hipertermia (D.0130)
Luaran: Termoregulasi Membaik (L.14134)
 Menggigil, Pucat, takipnea, dan takikardi menurun
 Suhu tubuh membaik
 Suhu Kulit membaik
 Ventilasi membaik
 Tekanan darah membaik
Intervensi Keperawatan: Manajemen Hipertermia (I.15506)
 Identifikasi penyebab hipertermi
 Monitor suhu tubuh
 Monitor kadar elektrolit
 Monitor Haluaran Urin
 Monitor Komplikasi akibat hipertermia
 Sediakan lingkungan yang dingin
 Longgarkan atau lepaskan pakaian
 Basahi dan kipasi permukaan tubuh
 Berikan Cairan Oral
 Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis
 Lakukan pendinginan eksternal
 Anjurkan tirah baring
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena jika perlu
. Diare (D.0020)
Luaran : Eliminasi Fekal membaik(L.04033)
 Kontrol pengeluaran feses meningkat
 Urgensi menurun
 Nyeri abdomen menurun
 Kram abdomen menurun
 Konsistensi feses membaik
 Frekuensi defekasi membaik
 Peristaltik usus membaik
Intervensi Keperawatan: Manajemen Diare (I.03101)
 Identifikasi penyebab diare
 Identifikasi riwayat pemberian makanan
 Identifikasi gejala invaginasi
 Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi tinja
 Monitor tanda dan gejala hipovolemia
 Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah perianal
 Monitor jumlah pengeluaran diare
 Monitor keamanan penyiapan makanan
 Berikan asupan cairan oral, misalnya larutan gula garam, oralit, atau pedialit
 Pasang jalur kanulasi intravena (infus)
 Berikan cairan intravena jika perlu
 Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit
 Ambil sampel feses untuk kultur jika perlu
 Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
 Anjurkan menghindari makanan pembentuk gas, pedas, dan mengandung
laktosa
 Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
 Kolaborasi pemberian obat antispasmodik
 Kolaborasi pemberian obat pengeras feses seperti atapulgit
4. Nyeri Akut (D.0077)
Luaran: Tingkat nyeri menurun (L.08066)
 Keluhan nyeri menurun
 Meringis menurun
 Sikap protektif menurun
 Gelisah dan kesulitan tidur menurun
 Anoreksia, mual, muntah menurun
 Ketegangan otot dan pupil dilatasi menurun
 Pola napas dan tekanan darah membaik
Intervensi Keperawatan: Manajemen Nyeri (I.08238)
 Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
5. Defisit Pengetahuan b/d kurang terpapar informasi (D.0111)
Luaran: Tingkat pengetahuan (L.12111)
 Perilaku sesuai anjuran meningkat
 Verbalisasi minat dalam belajar meningkat
 Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik meningkat
 Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai dengan
topik meningkat
 Perilaku sesuai dengan pengetahuan meningkat
 Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi menurun
 Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
 Perilaku membaik
Intervensi Keperawatan: Edukasi kesehatan
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
 Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
 Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan 
 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya
 Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
 Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat
DAFTAR PUSTAKA

Ashurst JV, Truong J, Woodbury B. 2021. Salmonella Typhi. Treasure Island (FL):


StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519002/
Bhandari J, Thada PK, DeVos E. 2022. Typhoid Fever. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557513/
Bhutta Z. A. 2006. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid
fever. BMJ (Clinical research ed.), 333(7558), 78–82.
https://doi.org/10.1136/bmj.333.7558.78
Ingrid Koo. 2020. An Overview of Typhoid Fever. Verywell Health.
https://www.verywellhealth.com/what-is-typhoid-fever-1958782
John L Brusch MD. 2022. Typhoid Fever. Medscape Emedicine.
https://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.
Pamela.C.A.et.al.2008. Nursing: Understanding Disease. Lippincott William &
Wilkins : Norristown Road.
PPNI. 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta
PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta
PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II.
DPP PPNI. Jakarta
Veeraraghavan, et.al. 2018. Typhoid fever: issues in laboratory detection, treatment
options & concerns in management in developing countries. Future science OA,
4(6), FSO312. https://doi.org/10.4155/fsoa-2018-0003.

Anda mungkin juga menyukai