Disusun Oleh :
Nur Fuad Gandi
NIM 4.42.17.1.19
2021
ANALISIS PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN
FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TINGKAT
PEMBIAYAAN BERMASALAH (NON PERFORMING
FINANCING) PADA BANK UMUM SYARIAH
INDONESIA TAHUN 2016-2020
Disusun Oleh :
Nur Fuad Gandi
NIM 4.42.17.1.19
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, yang telah
melimpahkan segala kenikmatan dan keberkahan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Mini Riset dengan judul Analisis Pengaruh Faktor
Internal Dan Faktor Eksternal Terhadap Tingkat Pembiayaan Bermasalah
(Non Performing Financing) Pada Bank Umum Syariah Indonesia Tahun
2016-2020.
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan,
bimbingan, dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
3. Suyani Sri Lestari, S.E., M.Bus., selaku Ketua Program Studi Perbankan
Syariah Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Semarang.
4. Dr. Sartono, S.E., M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah Seminar Dana
Bank Syariah di kelas PS-4B yang senantiasa sabar dalam memberikan
bimbingan, nasihat dan arahan selama penyusunan Mini Riset ini.
2
5. Aris Sunindyo, S.E., M.M., selaku dosen wali PS-4B angkatan 2017 yang telah
memberikan dukungan, nasihat, dan arahan selama menempuh studi di
Politeknik Negeri Semarang.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu
dalam penyelesaian Skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun Mini Riset ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran
serta kritik yang membangun demi kesempurnaan Mini Riset ini. Akhir kata,
semoga Mini Riset ini mampu memberikan pengetahuan dan informasi bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, baik akademis maupun non akademis.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
3
Nur Fuad Gandi, NIM. 4.42.17.1.19, “Analisis Pengaruh Faktor Internal Dan Faktor
Eksternal Terhadap Tingkat Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Pada Bank Umum Syariah Indonesia Tahun 2016-2020”. Mini Riset Seminar Dana
Bank Syariah, dibawah bimbingan Dr. Sartono, S.E., M.Si., 21Januari 2021, 112
halaman.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis signifikansi pengaruh Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi
dan Gross Domestic Product (GDP) terhadap Tingkat Pembiayaan (Non
Performing Financing) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020,
baik secara simultan maupun parsial.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bank Umum Syariah di Indonesia,
sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 5 (lima) Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020 yang dipilih menggunakan teknik purposive
sampling. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
regresi linier berganda, sedangkan teknik analisis menggunakan uji signifikansi
simultan (uji F), uji koefisien determinasi (R2), dan uji signifikansi parsial (uji t)
yang diolah menggunakan program SPSS 20.00.
Hasil pembuktian hipotesis dan pembahasan menunjukkan bahwa Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi
dan Gross Domestic Product (GDP) secara simultan berpengaruh signifikan
Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing). Selanjutnya Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing). Adapun Financing to Deposit
Ratio (FDR), Nilai Tukar dan Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat Pembiayaan (Non Performing
Financing), sementara itu Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan
pengaruh terhadap Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing)pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020.
Kata Kunci: Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO),
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to
Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi dan Gross Domestic
Product (GDP) dan Non Performing Financing (NPF).
4
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR NOTASI xi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. 1
1.2. 8
1.3. 9
1.4. 10
1.4.1. 10
1.4.2. 10
1.5. 10
2.1. 12
2.1.1. 12
2.1.2. 13
2.1.3. 14
2.1.4. 18
2.1.5. 21
2.1.6. 23
5
2.1.7. 26
2.1.8. 28
2.1.9. 29
2.1.10. 31
2.1.11. 32
2.2. 35
2.3. 37
2.3.1. 37
2.3.2. 38
2.3.3. 39
2.3.4. 40
2.3.5. 41
2.3.6. 43
2.4. 44
2.5. 48
2.6. 49
3.1. 51
3.2. 51
3.3. 52
3.4. 53
3.4.1. 53
3.4.2. 53
3.5. 54
3.5.1. 54
3.5.2. 54
6
3.6. 59
3.6.1. 59
3.6.2. 60
3.6.3. 60
3.6.4. 61
3.6.5. 62
3.7. 63
3.8. 63
3.8.1. 64
3.8.2. 64
3.8.3. 64
4.1. 66
4.2. 67
4.3. 69
4.4. 70
4.4.1. 71
4.4.2. 71
4.4.3. 73
4.5. 75
4.6. 77
4.6.1. 77
4.6.2. 78
4.6.3. 79
4.7. 81
4.7.1. 81
7
4.7.2. 83
4.7.3. 84
4.7.4. 86
4.7.5. 88
4.7.6. 89
4.7.7. 89
BAB V PENUTUP 88
5.1. 92
5.2. 93
5.2.1. 93
5.2.2. 95
5.3. 97
DAFTAR PUSTAKA 94
LAMPIRAN 108
8
DAFTAR TABEL
Halaman
9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
10
DAFTAR NOTASI
Halaman
(BOPO) 23
11
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
12
BAB I
PENDAHULUAN
Bank syariah adalah bank yang beroperasi tanpa mengandalkan bunga atau sebagai
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produk yang dikembangkan
berlandaskan Al-Qur’an dan hadist. Adapun dalam Undang-Undang No.21 tahun
2008 tentang perbankan syariah pasal 1 disebutkan bahwa “perbankan syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.”.
Dalam kegiatannya, bank syariah sangat berbeda dengan bank konvesional, bank
syariah dalam kegiatan operasionalnya baik dalam menghimpun dana atau
menyalurkan dana berlandaskan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang
digunakan oleh bank syariah berimplikasi pada pemerataan hasil dan risiko antara
lembaga keuangan dengan debitur (Timothy, 2018:2). Salah satu aktivitas dominan
dari fungsi intermediasi dari perbankan syariah adalah penyaluran pembiayaan
kepada masyarakat. Penyaluran pembiayaan menjadi salah satu hal terpenting
dalam usaha memperoleh laba sebagai bisnis bank syariah.
1
2
Gambar 1.1.
Perkembangan Pembiayaan Bank Umum Syariah
di Indonesia Tahun 2016-Agustus 2020 (dalam Miliar)
Rp350.000
Rp300.000
225.146 235.456
Rp250.000 189.789 202.298
177.482
Rp200.000
Rp150.000
Rp100.000
Rp50.000
Rp-
2016 2017 2018 2019 AGU-20
Pembiayaan
Menurut Adiwarman (2010) risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh
adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Counterparty
merupakan pihak mitra yang dalam hal ini merujuk pada para nasabah yang
memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Perbankan di Indonesia baik
syariah maupun konvensional pada umumnya mengandalkan pendapatan bagi hasil
sebagai pemasukan utama dalam membiayai operasionalnya. Pada kenyataannya
tidak semua pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tersebut bebas dari
risiko, dimana sebagian memiliki risiko yang cukup besar dan dapat mengancam
kesehatan bank. Semakin besar risiko pembiayaan dalam Bank Syariah ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya rasio Non Performing Financing (NPF) (Rustam,
2018:95).
3
Gambar 1.2.
Perkembangan Non Performing Financing (NPF) Pada
Bank Umum Syariah Di Indonesia
6,00
5,68
5,35
5,00
4,67 4,77 4,56
4,42 4,61 4,47 4,41
4,00 3,83 3,82
3,26 3,44 3,36 3,32 3,23 3,41
3,00
2,00
1,00
Indonesia yaitu sebesar 5 %. Sampai akhir tahun 2016 rasio NPF mencapai 4,42 %
yang berarti bank syariah secara umum mampu untuk menekan pembiayaan
bermasalah menjadi baik dari periode sebelumnya. Tahun 2016, rata-rata rasio NPF
Bank Umum Syariah sebesar 5,29 %, dengan nilai tertinggi mencapai 6,17% pada
Mei tahun 2016. Kemudian pada awal tahun 2017 kembali mengalami kenaikan
sebesar 0,30 % semula 4,42 % menjadi 4,72 %. Tahun 2018 rasio NPF memiliki
rata-rata nilai sebesar 4,28 % dengan nilai tertinggi mencapai 5,21 % pada Januari
dan Februari pada tahun 2018. Pada awal tahun 2019, rasio NPF bank umum
syariah kembali naik sebesar 0,13% dari akhir tahun 2017 menjadi 3,44%.
Sedangkan rasio NPF pada tahun 2019 mencetak rata-rata nilai sebesar 3,42%
dengan rasio NPF tertinggi sebesar 3,58% yang berada di bulan April 2019. Pada
kuartal I 2020, rasio NPF kembali memperburuk kinerja bank umum syariah dengan
besar rasio NPF sebesar 3,43% naik 0,2% dari sebelumnya 3,23%, kondisi paling
buruk pada tahun 2020 terdapat di bulan Januari 2020 yaitu 3,46% dengan jumlah
pembiayaan bermasalah sebesar 7.720 Miliar Rupiah. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan Bank Umum Syariah dalam
mengendalikan kualitas pembiayaan di setiap tahunnya. Di samping hal tersebut,
terdapat hubungan keterbalikan antara perkembangan pembiayaan Bank Umum
Syariah dengan Non Performing Financing (NPF) yang dialaminya sampai awal
tahun 2020.
Faktor-faktor penyebab dari pembiayaan bermasalah ini bisa disebabkan dari sisi
internal maupun sisi eksternal. Pengaruh faktor internal merupakan pengaruh yang
berasal dari kegiatan operasional di dalam perbankan itu sendiri yang tertuang
dalam kinerja keuangan. Kinerja keuangan suatu perbankan dapat dilihat melalui
rasio keuangannya sebagai indikator kesehatan serta sebagai alat analisis untuk
memprediksi keuntungan yang akan dihasilkan. Pengaruh eksternal meliputi faktor
5
makroekonomi yang terbentuk atas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara
makro oleh pemerintah negara (Auliani, M. M.,2016).
Secara dimensi internal, NPF perbankan syariah dapat dianalisis dengan pencapaian
yang telah diraih dengan melihat rasio keuangan berdasarkan laporan keuangannya.
Laporan keuangan dapat mencerminkan keadaan keuangan perusahaan perbankan
pada saat pelaporan keuangan. Laporan keuangan juga dapat memprediksi keadaan
perusahaan perbankan di masa mendatang. Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO) merupakan rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap
pendapatan operasional.
Hasil penelitian Lidyah (2016), Auliani dan Syaichu (2016) serta Effendi, et al.,
(2017) menyatakan bahwa Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional
(BOPO) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Namun berbeda dengan Havidz dan Setiawan (2016) serta Destiana (2018) yang
menyatakan bahwa Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO)
berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Modal merupakan faktor penting untuk pengembangan bisnis dan sekaligus dapat
menampung resiko kerugian. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
atau yang sering disebut dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang
berkaitan dengan faktor permodalan bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank untuk menanggung aktiva yang berisiko. KPMM merupakan
indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktiva sebagai
akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko.
Makin tinggi KPMM yang dimiliki bank maka makin rendah pihak bank untuk
menyalahgunakan pembiayaan yang dapat meningkatkan pembiayaan bermasalah
Hasil penelitian Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan
Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa KPMM atau Capital Adiquacy
Ratio (CAR) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Namun berbeda dengan Purnamasari dan Musdholifah (2016) serta Nihayah dan
6
Walyoto (2018) yang menyatakan bahwa KPMM atau Capital Adiquacy Ratio
(CAR) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Financing to Deposit Ratio (FDR) sebagai salah satu indikator untuk menentukan
likuiditas Bank Syariah. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang
menunjukkan perbandingan pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (DPK)
(Muhamad, 2016:193). Besarnya jumlah dana yang disalurkan bank kepada
nasabah sering kali disebabkan oleh tuntutan untuk memanfaatkan kelebihan
likuiditas. Akibatnya, penilaian terhadap pembiayaan menjadi kurang cermat dalam
mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha serta risiko pembiayaan macet
(Antonio, 2018:179).
Hasil penelitian Vanni dan Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018),
Supriani dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan
bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Namun berbeda dengan Auliani dan Syaichu (2016)
serta Destiana (2018) yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR)
berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Faktor eksternal yang terdiri atas variabel makroekonomi ternyata memberikan efek
yang serius terhadap kinerja suatu perbankan, tak terkecuali perbankan syariah.
Secara teoritis bank syariah tidak mengenal sistem bunga, sehingga profit yang
didapat bersumber dari bagi hasil dengan pelaku usaha yang menggunakan dana
dari bank syariah serta investasi dari bank syariah sendiri.
Faktor eksternal pertama yaitu Nilai Tukar. Kurs (exchange rate) atau nilai tukar
sering didefinisikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya
(Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satuan mata uang dalam
satuan mata uang lainnya. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta
asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan
(Samuelson dam Nordhaus, 2004:604)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016),
Akbar (2016), dan Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018) menyimpulkan bahwa
7
variabel Nilai Tukar (Kurs) US Dollar berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Pembiayaan Bermasalah (NPF). Sedangkan hasil penelitian Sudarsono (2018)
variabel Nilai Tukar berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Pembiayaan
Bermasalah pada BUS, Sherly Yolanda dan Ariusni (2019), Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) menyimpulkan Nilai Tukar tidak
berpengaruh signifikan dan negatif, Yudhistira Ardana (2019) variabel Nilai Tukar
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah
(NPF).
Indikator kedua dari faktor eksternal yaitu inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan
dimana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam (absolute) yang berlangsung
secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama diikuti dengan
merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Khalwaty, 2000:5). Pada
saat inflasi tinggi maka akan menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat
sehingga standar hidup masyarakat juga turun dan berimbas pada ketidakmampuan
masyarakat dalam mengembalikan pembiayaan kepada bank (Mutamimah,
2011:4).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinnul Alfian Akbar (2016), dan Fata (2017)
menyatakan bahwa variabel Inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Sedangkan hasil penelitian Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) dan Sherly Yolanda, Ariusni (2019)
Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifkan.
Hasil penelitian Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017)
yang menyatakan bahwa Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF). Namun berbeda dengan Purnamasari
8
dan Musdholifah (2016) serta Purba dan Darmawan (2018) yang menyatakan
bahwa Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF).
BAB I PENDAHULUAN
11
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian,
dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pelaksanaan kegiatan usaha Bank Syariah wajib memenuhi tata kelola perusahaan
yang baik, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko. Selain itu, Bank Syariah
diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dan perlindungan
nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada nasabah mengenai
12
13
2.1.2. Pembiayaan
Fungsi bank syariah yang kedua yaitu menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan (user of fund) berupa pembiayaan. Dalam arti sempit, pembiayaan
dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan
seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau
pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang
telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain
(Muhammad, 2005:17).
Pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva
produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman
dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan
modal, komitmen, dan kontijensi pada rekening administrasi serta Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI) (Rivai dan Arifin, 2010:681).
14
Fungsi pembiayaan meliputi; a) meningkatkan daya guna, peredaran, dan lalu lintas
uang; b) meningkatkan daya guna dan peredaran barang; c) meningkatkan aktivitas
investasi dan pemerataan pendapatan; d) sebagai aset terbesar yang menjadi sumber
pendapatan terbesar bank. Kemudian setiap proses pembiayaan atau penyaluran
dana harus mengacu kepada kebijakan yang berlaku, baik ketentuan Bank Indonesia
maupun kebijakan umum penyaluran dana bank sendiri yang didasarkan pada asas
penyaluran dana yang sehat. Maksud dari penyaluran dana yang sehat adalah bahwa
setiap calon nasabah harus melalui proses penilaian yang dilakukan secara objektif,
yang memberikan keyakinan bahwa nasabah tersebut dapat mengembalikan
kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian (Muhamad, 2016:135-136).
meminimalkan potensi risiko yang dapat terjadi. Selain itu, segala persyaratan
terkait pinjaman yang diberikan kepada debitur hendaknya dapat dilaksanakan oleh
debitur dengan baik sesuai kesepakatan hingga pembiayaan tersebut dilunasi.
Menurut Adiwarman (2010) risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh
adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Counterparty
merupakan pihak mitra yang dalam hal ini merujuk pada para nasabah yang
memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Perbankan di Indonesia baik
syariah maupun konvensional pada umumnya mengandalkan pendapatan bagi hasil
sebagai pemasukan utama dalam membiayai operasionalnya. Pada kenyataannya
tidak semua pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tersebut bebas dari
risiko, dimana sebagian memiliki risiko yang cukup besar dan dapat mengancam
kesehatan bank. Semakin besar risiko pembiayaan dalam Bank Syariah ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya rasio Non Performing Financing (NPF) (Rustam,
2018:95).
merupakan sumber terbesar dan paling nyata dari risiko pembiayaan. Meski
demikian, sumber-sumber risiko pembiayaan terdapat pada seluruh kegiatan bank,
termasuk di banking book dan trading book, dan baik on-balance-sheet maupun off-
balancesheet. Bank menghadapi risiko pembiayaan (counterparty risk) di berbagai
instrument keuangan, tidak hanya pinjaman – termasuk akseptasi, transaksi antar
bank, trade financing, transaksi valuta asing, financial futures, swaps, bonds,
equities, aktivitas commitments and guarantees, dan penyelesaian transaksi.
Menurut Ikatan Bankir Indonesia dalam bukunya yang berjudul “Mengelola Bisnis
Pembiayaan Bank Syariah Modul Sertifikasi Pembiayaan Syariah I” menjelaskan
bahwa risiko yang perlu menjadi perhatian bank dalam penyaluran pembiayaan,
antara lain:
6. Risiko inflasi. Akibat dari value of money (nilai uang) yang diperhitungkan
dalam aktivitas penyaluran pembiayaan (cost of fund/money of borrowing).
Secara lebih lanjut, Ikatan Bankir Indonesia juga menjelaskan mengenai komponen
yang harus dicermati oleh pihak bank dalam melakukan persetujuan pembiayaan
kepada nasabah, yang setidaknya risiko pembiayaan mengandung tiga komponen
sebagai berikut:
1. Character
Bertujuan untuk memberikan keyakinan kepada bank bahwa sifat atau
karakter orang yang akan diberi pembiayaan benar-benar dapat dipercaya.
2. Capacity
Melihat kemampuan calon nasabah dalam mengembalikan pokok
pembiayaan yang dihubungkan dengan kemampuannya dalam mengelola
bisnis usaha serta kemampuannya mencari laba.
3. Capital
Modal yang diberikan oleh bank, biasanya bank tidak 100% memberikan
seluruh modal kepada calon nasabah tetapi calon nasabah juga telah
mempunyai modal sendiri sebelumnya.
4. Collateral
Jaminan yang diberikan calon nasabah bersifat fisik maupun non fisik.
5. Condition of economy
18
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah wajib melakukan penilaian secara
berkesinambungan mengenai sektor ekonomi, segmen pasar, kegiatan usaha, dan
nasabah yang mengandung risiko tinggi. Setiap pejabat Bank Syariah yang terikat
dengan penyaluran dana harus memahami dan mempunyai sikap kehati-hatian yang
tinggi dalam penyaluran dana kepada nasabah yang terikat untuk memperkecil
risiko terjadinya pembiayaan bermasalah (Muhamad, 2016:139).
Non Performing Financing (NPF), menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
9/24/Dpbs tahun 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip
syariah, Non Performing Financing adalah pembiayaan yang terjadi ketika pihak
debitur (mudharib) karena berbagai sebab tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
mengembalikan dana pinjaman. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012
tanggal 24 Oktober 2012 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
menyebutkan bahwa kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan kemampuan membayar. Pasal 12
ayat 3 menyebutkan bahwa kualitas kredit ditetapkan menjadi 5 golongan yaitu
lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), dan
macet (M). berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia
kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar (KL),
diragukan (D), dan macet (M).
dengan kriteria kesehatan NPF bank syariah melalui peringkat rasio Non
Performing Financing (NPF) yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang Penilaian Tingkat kesehatan
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Kriteria Penilaian Peringkat Rasio NPF
Kriteria Ketentuan
Peringkat 1 NPF < 1,5 %
Peringkat 2 2 % ≤ NPF < 5
%
Peringkat 3 5 % ≤ NPF < 8
%
Peringkat 4 8 % ≤ NPF < 12
%
Peringkat 5 NPF > 12 %
Sumber: SEBI 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007.
Pada Tabel 2.1 dapat diketahui bahwa semakin tinggi rasio Non Performing
Financing (NPF), menunjukkan kualitas pembiayaan Bank Syariah akan semakin
buruk. Kualitas pembiayaan yang kurang baik atau bahkan memburuk akibat
tingginya Non Performing Financing (NPF), akan berdampak pada penurunan
pendapatan yang diperoleh Bank Syariah (IBI, 2018:3). Menurut Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum, Bank Indonesia menetapkan standar ketentuan NPF bank kurang dari
5 %, apabila rasio NPF melebihi 5 % maka bank tersebut dianggap memiliki risiko
pembiayaan yang tinggi.
dan peningkatan mutu dan kualitas sumber daya manusia yang ada, belum menutup
kemungkinan terjadinya pembiayaan bermasalah di masa mendatang.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang ada didalam perusahaan sendiri, dan
faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya
kesulitankesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor
manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam
kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan
pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang
berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang tidak cukup.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar kekuasaan
manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan
dalam kondisi perekonomian dan perdagangan (makro ekonomi),
perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.
23
Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan utama bank pada
prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara (intermediasi) yaitu menghimpun dan
menyalurkan dana (diantaranya dana masyarakat), maka biaya dan pendapatan
operasional bank didominasi oleh biaya untuk bagi hasil atau imbal hasil (Dendawijaya,
2009:119). Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dapat
dirumuskan sebagai berikut:
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝑥 100% ……………..(2)
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Menurut Rivai dan Arifin (2010:901-912) komponen dari rasio Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) meliputi:
1. Biaya Operasional
Terdiri atas semua biaya dalam rupiah dan valuta asing yang dikeluarkan atas
kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah, seperti beban bonus
titipan wadiah, beban transaksi valuta asing, biaya perbaikan aktiva ijarah,
24
premi (peminjaman dana dan asuransi), tenaga kerja (gaji dan upah, serta
honorarium), pelatihan, sewa, promosi, pajak, pemeliharaan, dan penyusutan.
2. Pendapatan Operasional
Terdiri atas semua pendapatan dalam rupiah dan valuta asing, yang merupakan
hasil langsung dari kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah,
seperti pendapatan dari penyaluran dana (bagi hasil, margin, sewa, bonus
SWBI, dan bonus lainnya), pendapatan operasional lainnya (jasa investasi
terikat, jasa layanan, pendapatan transaksi valuta asing, koreksi PPAP, koreksi
penyisihan penghapusan Transaksi Rekening Administratif).
Ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013
tentang Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah, rasio Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) digunakan untuk mengukur efisiensi
kegiatan operasional Bank Syariah. Menurut Riyadi (2011:159), apabila nilai rasio
BOPO suatu bank menunjukkan angka di atas 90 % dan mendekati 100 %, ini
berarti bahwa kinerja bank tersebut menunjukkan tingkat efisiensi yang sangat
rendah. Tetapi jika rasio BOPO rendah, misalnya mendekati 75 % ini berarti kinerja
bank menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi.
Berikut kriteria penilaian peringkat BOPO atau REO berdasarkan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang Penilaian
Tingkat kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
25
26
Tabel 2.2.
Kriteria Penilaian Peringkat Rasio BOPO
Kriteria Ketentuan
Peringkat 1 BOPO ≤ 83 %
Peringkat 2 83 % < BOPO ≤ 85 %
Peringkat 3 85 % < BOPO ≤ 87 %
Peringkat 4 87 % < BOPO ≤ 89 %
Peringkat 5 BOPO > 89 %
Sumber: SEBI 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007.
𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑘
𝐾𝑃𝑀𝑀 = 𝑥 100% ………………. (3)
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜
Semakin tinggi CAR menunjukkan bahwa bank syariah yang bersangkutan mampu
membiayai seluruh kegiatan operasionalnya dan siap untuk menyalurkan
pembiayaan kepada masyarakat. Sebaliknya semakin rendah CAR menunjukkan
bahwa bank syariah yang bersangkutan tidak mampu membiayai seluruh kegiatan
operasionalnya dan tidak siap untuk menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat
(Dendawijaya, 2009:121).
Selanjutnya kriteria peringkat profil risiko rasio KPMM menurut Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum Syariah, dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3.
Peringkat Profil Risiko Rasio KPMM
Profil Risiko Ketentuan
Peringkat 1 8 % dari ATMR
Peringkat 2 9 %-12 % dari ATMR
Peringkat 3 10 %-11 % dari ATMR
Peringkat 4 atau 5 11 %-14 % dari ATMR
Sumber: POJK No. 21/POJK.03/2014.
Menurut Rivai dan Arifin (2010:785), Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah
perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak
ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Rasio ini dipergunakan untuk mengukur
sampai sejauh mana dana pinjaman yang bersumber dari dana pihak ketiga. Tinggi
rendahnya rasio FDR menunjukkan tingkat likuiditas bank tersebut. Sehingga
semakin tinggi FDR suatu bank, menandakan bank yang kurang likuid
dibandingkan dengan bank yang mempunyai angka rasio lebih kecil.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
𝐹𝐷𝑅 = ……………………(4)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝐷𝑃𝐾)
Nilai tukar (Kurs) merupakan perbandingan antara unit suatu mata uang dan
sejumlah mata uang lainnya dimana unit tersebut bisa ditukar (Ikatan bankir
Indonesia, 2013:81).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar yaitu (Karim,
2002:88) :
30
1) Faktor Fudamental
Faktor yang berkaitan dengan indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga,
perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar, dan intervensi
Bank Sentral.
2) Faktor Teknis
Faktor yang berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada
saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap,
maka harga valas akan naik dan sebaliknya.
3) Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebablan oleh rumor atau berita-berita politik
yang bersifat insidentil yang dapat mendorong harga valas naik atau turun
secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah
berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal
Menurut Kewal (2012) Nilai tukar atau disebut juga kurs valuta dalam berbagai
transaksi atupun jual beli valuta asing dikenal ada empat jenis, yaitu.
1) Selling rate (kurs jual), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu.
2) Middle rate (kurs tengah), yaitu kurs jual dan kurs beli valuta asing terhadap
mata uang nasional, yang ditetapkan oleh Bank Sentral pada suatu saat tertentu
3) Buying rate (kurs beli). yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu
4) Falt rate ( kurs flat), yaitu kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank notes
dan traveler chaque dimana dalam kurs tersebut telah diperhitungkan promosi dan
biaya lain-lain
Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pelemahan kondisi ekonomi secara umum,
dan juga disebabkan oleh besarnya tingkat pinjaman yang ditanggung oleh debitur
yang bergerak di bidang bisnis perdagangan internasional maupun perusahaan yang
harus memasok bahan baku yang dibayar dengan Dollar. Beban perusahaan akan
menjadi semakin besar dan memperbesar peluang tingginya risiko gagal bayar
(NPL) atas pinjaman yang diperoleh dari bank (Usman, 2015:550).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan Nilai Tukar (Kurs) berdasarkan pada laporan Nilai Tukar (Kurs)
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).
2.1.10. Inflasi
Salah satu masalah dalam perekonomian yang selalu dihadapi setiap negara adalah
inflasi. Inflasi merupakan suatu gejala ekonomi yang menunjukkan naiknya tingkat
harga secara umum yang berkesinambungan. Syarat inflasi yaitu terjadi kenaikan
harga-harga secara umum dan terus-menerus. Jika hanya satu atau dua jenis barang
saja yang naik, itu bukan merupakan inflasi. Kenaikan harga yang bersifat
sementara, umpamanya kenaikan harga karena musiman, menjelang hari raya,
bencana, dan sebagainya, tidak disebut sebagai inflasi (Ali, 2016:186).
Buruknya masalah inflasi akan berbeda dari satu waktu ke waktu lainnya, dan
berbeda pula dari negara satu ke negara lainnya. Tingkat inflasi biasanya digunakan
sebagai ukuran bank menunjukkan sampai dimana buruknya permasalahan
ekonomi yang dihadapi suatu negara (Nur Rianto, 2010:84).
Ditinjau dari parah tidaknya suatu inflasi, Dwi Eko Waluyo (2007: 172)
mengelompokkan inflasi dalam suatu periode dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4.
Kategori Inflasi
Indikator makroekonomi yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi selama satu
periode tertentu, yaitu (M. Nur Rianto Al Arif, 2010:94) :
Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index), adalah angka indeks yang
menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu
periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan
jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-
masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat
keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang
paling besar. Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan
mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih
mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan
melihat perkembangan regional yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi
kota-kota besar terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia. Adapun rumus
perhitungan IHK adalah sebagai berikut:
(𝐼𝐻𝐾−𝐼𝐻𝐾−1 )
𝐼𝐻𝐾 = 𝑥 100% ………………. (5)
𝐼𝐻𝐾−1
Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat
inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan
besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan
komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan Inflasi berdasarkan pada laporan kuartalan yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia (BI).
Gross Domestic Product (GDP) yaitu nilai barang dan jasa yang diproduksi di
dalam negara yang bersangkutan untuk kurun waktu tertentu. Interpretasi dari
33
Dalam pengelompokan GDP ada dua kategori yaitu GDP nominal dan GDP riil.
Secara definitif yang dimaksud dengan GDP nominal adalah pengukuran nilai
output (barang dan jasa) yang dihasilkan suatu negara menurut harga yang berlaku
pada saat output tersebut diproduksi. Sedangkan GDP riil merupakan ukuran output
yang diproduksi pada kurun waktu tertentu menurut harga konstan pada tahun
tertentu (sebagai tahun dasar) dan seterusnya digunakan untuk penghitungan
pendapatan Nasional pada tahun berikutnya (Erni dan Danang, 2012:17).
Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung output barang dan
jasa perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Untuk tujuan
ini, para ekonom menggunakan GDP riil (real GDP), yang nilai barang dan jasanya
diukur dengan menggunakan harga konstan. Yaitu, GDP riil menunjukkan apa yang
terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak
(Mankiw, 2003:22).
Ada tiga macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP menurut
Badan Pusat Statistika yaitu:
Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah
belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan. Secara lebih
34
umum, investasi meliputi belanja pada produksi saat ini yang tidak digunakan
untuk konsumsi saat ini.
Ekspor neto sama dengan nilai ekspor barang dan jasa dikurangi impor
barang dan jasa. Ekspor neto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang
tetapi juga jasa (atau invisibels, seperti pariwisata, asuransi, akuntansi, dan
konsultasi).
𝐺𝐷𝑃 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)
GDP = w + r + i + p
Keterangan:
Y = Pendapatan Nasional
Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan GDP atas harga konstan berdasarkan pendekatan pengeluaran
pada laporan kuartalan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Salah satu contoh aktivitas sosial ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang
terjebak dalam hal, lebih mengedepankan pada pemenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu maupun masyarakat
36
umum. Seperti halnya pemilik dana yang berlebih yang seharusnya bisa membantu
kepada pihak yang kekurangan dana untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup
dan hajatnya. Salah satu bentuk pertolongan dari pemilik dana berlebih (Shahibul
Mal) adalah meminjamkan dana yang dimilikinya untuk dipergunakan oleh
penerima manfaat tersebut. Sebagaimana terdapat firman Allah SWT dalam surat
Al-Maidah: 2
۟ ُوا َعلَى ْٱل ِبرِّ َوٱل َّت ْق َو ٰى ۖ َو ََل َت َع َاو ُنو ۟ا َعلَى ْٱْل ْثم َو ْٱلع ُْد ٰ َو ِن ۚ َوٱ َّتق
َ َّ وا
.... َّٱَّلل ۖ إِن ۟ َو َت َع َاو ُن
ِ ِ
َ َّ
ِٱَّلل َشدِي ُد ْٱل ِع َقاب
ٌْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى َفا ْك ُتبُوهُ ۚ َو ْل َي ْك ُتبْ َب ْي َن ُك ْم َكا ِتب َ َيا أَ ُّي َها الَّذ
ٍ ِين آ َم ُنوا إِ َذا َت َدا َي ْن ُت ْم ِبدَ ي
ِب ْال َع ْدل
ِ ۚ....
Yaa ai-yuhaal-ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidainin ila ajalin musamman
faaktubuuhu walyaktub bainakum kaatibun bil ‘adli....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya…‟ (QS.
AlBaqarah: 282).
keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan dari aktivitasnya
sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka. Adab atau norma
bagi orang yang diberikan pertolongan berupa pinjaman oleh orang lain, hendaknya
dikembalikan secepatnya ketika penerima mampu untuk mengembalikannya. Hal
ini diatur dalam hadist Rasulullah sebagai berikut.
Pandangan di atas dikuatkan dengan hasil penelitian Auliani dan Syaichu (2016),
Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), serta Supriani dan Sudarsono (2018) yang
38
Gambar 2.1.
Hubungan BOPO dengan NPF
BOPO H2 NPF
Sumber: Dendawijaya (2009), IBI (2018), Auliani dan Syaichu (2016), Lidyah
(2016), Effendi, et al., (2017), dan Supriani dan Sudarsono (2018).
Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar
(2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019)
menyatakan bahwa Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 3 sebagai berikut:
Gambar 2.2.
Hubungan KPMM dengan NPF
KPMM H3 NPF
Sumber: Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari,
et al., (2019).
Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vanni dan
Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018), Supriani dan Sudarsono (2018),
dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio
(FDR) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 4 sebagai berikut:
Gambar 2.3.
Hubungan Financing to Deposit Ratio (FDR) dengan NPF
FDR H4 NPF
Sumber: Vanni dan Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018), Supriani
dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019)
2.3.4. Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) terhadap Non Performing Financing (NPF)
Nilai tukar (Kurs) merupakan perbandingan antara unit suatu mata uang dan
sejumlah mata uang lainnya dimana unit tersebut bisa ditukar (Ikatan bankir
Indonesia, 2013:81).
Selain itu menurut Sadono Sukirno, semakin tinggi kurs, semakin tinggi NPF
karena kurs sangat penting dalam transaksi internasional hal ini berkaitan dengan
sektor ekspor. Jika kurs tinggi, nilai rupiah juga tinggi sehingga semakin banyak
nilai rupiah yang dikeluarkan masyarakat dan mengurangi upaya mereka dalam
melunasi hutangnya. Karena adanya kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar
yang tinggi akan mengakibatkan nilai rupiah menurun dalam arti semakin banyak
rupiah yang akan dikeluarkan untuk suatu transaksi, hal tersebut akan berdampak
secara langsung terhadap masyarakat. Bagi mereka yang telah mempunyai
angsuran pembiayaan pada bank syariah, akan cenderung tidak memenuhi
kewajibannya. Hal itu yang akan menyebabkan tingginya tingkat NPF (Sukirno,
2002: 358).
Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika
(2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan Vanni, K. M., & Rokhman,
W. (2018) menyatakan bahwa Nilai Tukar (Kurs) berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF).
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 5 sebagai berikut:
H5: Diduga Nilai Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
NPF.
Gambar 2.4.
Hubungan Nilai Tukar (Kurs) dengan NPF
Kurs H5 NPF
Sumber: Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan
Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018).
harga secara umum dan terus-menerus. Jika hanya satu atau dua jenis barang saja
yang naik, itu bukan merupakan inflasi. Kenaikan harga yang bersifat sementara,
umpamanya kenaikan harga karena musiman, menjelang hari raya, bencana, dan
sebagainya, tidak disebut sebagai inflasi (Ali, 2016:186).
Pengaruh perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan
menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup
masyarakat juga turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk
membayar angsuran pembiayaannya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga
mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut
tidak mengalami peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar
angsurannya menjadi melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh
penghasilannya sudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
sebagai akibat dari harga-harga yang meningkat (Mutamimah dan Chasanah, 2012:
52).
Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Havids dan
Setiawan (2016), Rajha (2016), Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018) dan Supriani
dan Sudarsono (2018) menyatakan bahwa Inflasi berpengaruh signifikan terhadap
Non Performing Financing (NPF).
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 6 sebagai berikut:
Gambar 2.5.
Hubungan Inflasi dengan NPF
Inflasi H6 NPF
Sumber: Havids dan Setiawan (2016), Rajha (2016), Vanni, K. M., &
Rokhman, W. (2018) dan Supriani dan Sudarsono (2018).
43
Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar
(2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa
Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF).
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 7 sebagai berikut:
H7: Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap NPF.
Gambar 2.6.
Hubungan Gross Domestic Product (GDP) dengan NPF
GDP H7 NPF
Sumber: Antonio (2018), Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017).
Lanjutan (1)
4. Supriani dan Y: NPF. Analisis Regresi
Sudarsono (2018) Linier Berganda. 1. CAR, FDR, dan BOPO
berpengaruh positif dan
X1: CAR. signifikan terhadap NPF.
X2: FDR. 2. ROA, BI Rate, dan
Equilibrium X3: BOPO. Inflasi berpengaruh positif
(Jurnal Ekonomi X4: ROA. dan tidak signifikan
Syariah) Vol. 6, X5: BI Rate. terhadap NPF.
No. 1. X6: Inflasi.
5. Akbar (2016) Y: NPF. Analisis Regresi
Linier Berganda. 1. BOPO dan SBIS
berpengaruh positif dan
X1: BOPO. signifikan terhadap NPF.
I-Economic Vol. X2: CAR. 2. CAR dan Inflasi
2, No. 2. X3: FDR. berpengaruh negatif dan
X4: SBIS. signifikan terhadap NPF.
X5: Inflasi. 3. FDR dan Kurs
X6: Kurs. berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
NPF.
terhadap pembiayaan
bermasalah sektor
Bersambung…
Lanjutan (2)
Ekonomi Dan X1: Nilai 2. industri manufaktur di
Bisnis, Tukar.
Indonesia.
Universitas X2: Inflasi.
Muhammadiyah X3: IPI. 3. jangka panjang inflasi,
Surakarta X4: SBIS.
IPI dan SBIS yang
digunakan di dalam
penelitian terbukti
secara statistik
berpengaruh
signifikan terhadap
pembiayaan
bermasalah sektor
Industri Manufaktur d
terhadap Non
Performing Financing
(NPF),
3. Inflasi berpengaruh
positif dan tidak
signifikan terhadap
Non Performing
Financing (NPF),
4. serta Financing to
Deposit Ratio (FDR),
Kurs, dan Inflasi secara
bersama-sama
berpengaruh signifikan
terhadap Non
Bersambung…
Performing Financing
(NPF)
Lanjutan (3)
Gambar 2.7.
Kerangka Pemikiran Teoritis
BOPO
(X1)
KPMM H2
(X2)
H3
NPF
FDR H4
(X3) (Y)
H5
Nilai Tukar (Kurs)
(X4)
49
Sumber: Auliani dan Syaichu (2016), Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), Supriani dan
Sudarsono (2018), Akbar (2016), Destiana (2018), Wulandari, et al., (2019), Fajar
Artika Resti (2019), Muhammad Iqbal Ali (2018), Vanni, K. M., & Rokhman, W.
(2018), Havidz dan Setiawan (2015), Rajha (2016), dan Kusmayadi, et al., (2017).
H7: Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap NPF.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diuji apakah variabel Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum (KPMM),
Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic
Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah di Indonesia.
51
52
Data berdasarkan sifatnya adalah data kuantitatif dengan skala rasio dari NPF,
Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minumum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR),
Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP). Kemudian
berdasarkan waktu pengambilannya, penelitian ini menggunakan data panel,
yaitu gabungan data time series dan cross section.
Tabel 3.1.
Daftar Bank Umum Syariah di Indonesia
No Nama Bank Umum Syariah
1. PT. Bank Muamalat Indonesia.
2. PT. Bank BRI Syariah.
3. PT. Bank Syariah Mandiri.
4. PT. Bank Mega Syariah Indonesia.
5. PT. Bank Syariah Bukopin.
6. PT. BCA Syariah.
7. PT. Bank Panin Dubai Syariah.
8. PT. Maybank Syariah Indonesia.
9. PT. BPD Jawa Barat Banten Syariah.
10. PT. Bank BNI Syariah.
11. PT. Bank Victoria Syariah.
12. PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasioanal Syariah.
13. PT. Bank Aceh Syariah.
14. PT. BPD Nusa Tenggara Barat.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Desember 2020.
3.4.2. Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2016:81). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan Purposive Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan
54
1. Bank Umum Syariah yang terdaftar sebagai Bank Devisa pada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) per Desember 2020 dan telah berdiri minimal 5 (lima) tahun.
2. Bank Umum Syariah yang berturut-turut mempublikasikan laporan keuangan
triwulan selama 5 tahun, pada periode 2016 sampai dengan 2020.
3. Bank Umum Syariah yang dapat memberikan informasi lengkap mengenai data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi; NPF, Biaya Operasional atas
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum
(KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR).
Tabel 3.2.
Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Skala Metode Pengukuran
Operasional
1 Non Rasio Rasio 𝑁𝑃𝐹
Performing perbandingan 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
=
Financing antara jumlah 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
(NPF) pembiayaan 𝑥 100%
bermasalah
(kurang lancar,
diragukan, dan
macet) dengan
total
pembiayaan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2018 tentang Rencana
Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Biaya Rasio Rasio 𝐵𝑂𝑃𝑂
Operasional perbandingan 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
=
terhadap antara biaya 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Pendapatan operasional 𝑥 100%
Operasional dengan
(BOPO) pendapatan
operasional.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2018 tentang Rencana
Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
3. Kewajiban Rasio Rasio 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
𝐾𝑃𝑀𝑀 = 𝑥 100%
Penyediaan perbandingan 𝐴𝑇𝑀𝑅
Modal antara modal
Minimum yang dimiliki
(KPMM) bank dengan
jumlah aktiva
tertimbang
menurut risiko
(ATMR).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah.
Bersambung…
56
57
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Nilai Tukar (Kurs)
berdasarkan pada laporan Nilai Tukar (Kurs) yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia (BI).
6. Inflasi Dikutip dari Rasio Menurut Bank Indonesia
laman (www.bi.go.id), indikator yang
resmi Bank sering digunakan untuk mengukur
Indonesia (BI),
tingkat inflasi adalah Indeks Harga
inflasi secara
sederhana Konsumen (IHK)
diartikan
sebagai (𝐼𝐻𝐾 − 𝐼𝐻𝐾−1 )
𝐼𝐻𝐾 = 𝑥 100%
kenaikan harga 𝐼𝐻𝐾−1
secara umum
dan terus
menerus dalam
jangka waktu
tertentu.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Inflasi berdasarkan
pada laporan Inflasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).
58
Bersambung…
59
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Inflasi berdasarkan
pada laporan Inflasi yang diterbitkan oleh Badan Pusar Statistik (BPS).
Sumber: www.ojk.go.id; www.bi.go.id dan www.bps.go.id.
1. Analisis Grafik
Dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi
dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Pada prinsip normalitas
dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari
grafik atau melihat histogram dari residualnya. Pada grafik histogram
berdistribusi normal jika pola pada grafik membentuk satu garis lurus diagonal,
60
dan ploting data mengikuti arah garis diagonal, sedangkan grafik normal plot
berdistribusi normal jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti
arah garis diagonal, maka menunjukkan pola distribusi normal dan model regresi
memenuhi asumsi normalitas.
2. Analisis Statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat uji Non-Parametrik
Kolmogrov-Smirnov (K-S). Uji statistik Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov
(K-S) residual berdistribusi normal jika memiliki nilai signifikan > 0,05.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonearitas pada model regresi adalah
Nilai Tolerance dan lawanya Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel
independen lainya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang
terpilih dan tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jika nilai Tolerance
lebih besar dari 0,10 atau sama dengan VIF lebih kecil dari 10 maka dapat
disimpulkan data terbebas dari gejala multikolonearitas.
61
Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Dalam
penelitian ini untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah autokorelasi adalah
sebagai berikut:
1. Grafik Scatterplot
Grafik Plot antara nilai prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED
dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot
antara SRESID dan ZPRED di mana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi,
dan sumbu X adalah residual (Y prediksi-Y sesungguhnya) yang telah
distudentized. Dengan dasar analisis sebagai berikut:
a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu
yang teratur (bergelombang, melebar dan kemudian menyempit), maka
mengindikasi telah terjadi heteroskedastisitas.
b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah
angka 0 (nol) pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
2. Uji Park
Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut signifikan
secara statistik (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam data model empiris
yang diestimasi terdapat heteroskedastisitas, dan sebaliknya jika parameter beta
tidak signifikan secara statistik maka asumsi homokedastisitas pada data model
tidak dapat ditolak (Ghozali: 2018:142).
3. Uji Glejser
Uji Glejser dengan cara membandingkan nilai absolute residual (resabs) dengan
variabel independen (bebas) lainya. Data terbebas dari masalah
heteroskedastisitas jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan nilai
absolute residual lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan data terbebas dari
masalah heteroskedastisitas (Ghozali: 2018:143-144).
63
b7x7+ e
Keterangan:
Y = Non Performing Financing (NPF).
X₁ = Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
X₂ = Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
X₃ = Financing to Deposit Ratio (FDR).
X₄ = Nilai Tukar (Kurs)
X5 = Inflasi
X6 = Gross Domestic Product (GDP)
α = Konstanta
b₁ = Koefisien Regresi Parsial Variabel BOPO
b2 = Koefisien Regresi Parsial Variabel KPMM
b3 = Koefisien Regresi Parsial Variabel FDR
b4 = Koefisien Regresi Parsial Variabel Nilai Tukar (Kurs)
b5 = Koefisien Regresi Parsial Variabel Inflasi
b6 = Koefisien Regresi Parsial Variabel GDP
e = Error term
dan atau sebaliknya dikatakan tidak signifikan apabila nilai uji statistik berada
dalam daerah di mana H0 tidak ditolak (Ghozali, 2018:97).
1. Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima Ha ditolak, artinya variabel independen
secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel dependen.
2. Jika F hitung > Ftabel maka H0 ditolak Ha diterima, artinya variabel independen
secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen.
1. Jika thitung < ttabel maka H0 diterima Ha ditolak, artinya salah satu variabel
independen tidak mempengaruhi variabel dependen.
65
2. Jika thitung > ttabel maka H0 ditolak Ha diterima, artinya salah satu variabel
independen mempengaruhi variabel dependen.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1.
Proses Seleksi Sampel
NO KRITERIA JUMLAH
1. Bank Umum Syariah yang terdaftar sebagai Bank Devisa
pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2020 dan 14
telah berdiri minimal 5 (lima) tahun.
2. Bank Umum Syariah yang berturut-turut mempublikasikan
laporan keuangan triwulan selama 5 tahun, pada periode 5
2016 sampai dengan 2020.
3. Bank Umum Syariah yang dapat memberikan informasi
lengkap mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini meliputi; NPF, Biaya Operasional atas Pendapatan 5
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal
Minumum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR).
Jumlah Sample Penelitian (5x4x5) – 5* 95
(* 5 data triwulan IV setiap bank)
Berdasarkan Tabel 4.1., maka Bank Umum Syariah yang memenuhi kriteria
purposive sampling pada penelitian ini adalah 5 (lima) Bank Umum Syariah
meliputi; PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, PT Bank BNI Syariah,
PT Bank Muamalat Indonesia, dan PT Bank Mega Syariah. Total data pada
penelitian ini adalah 100 data yang diperoleh dari laporan keuangan triwulan 4
(empat) Bank Umum Syariah di atas dari tahun 2016-2020.
66
67
Tabel 4.2.
Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
NPF 3.9521 1.24905 95
BOPO 91.1432 5.42891 95
KPMM 18.1077 4.60115 95
FDR 82.9576 8.60365 95
Nilai Tukar 14009.84 794.839 95
Inflasi 3.1600 .70439 95
GDP 4.9716 .48595 95
Data yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 95 (sembilan puluh lima) data
pada laporan triwulan Bank Umum Syariah selama 5 (lima) tahun, mulai tahun
2016 sampai dengan tahun 2020. Adapun uraian hasil analisis deskriptif sebagai
berikut:
mempunyai distribusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel
Non Performing Financing (NPF).
2. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), memiliki nilai
mean sebesar 91,1432 dengan standar deviasi sebesar 5,42891. Dengan nilai
standar deviasi lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) mempunyai distribusi
yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
3. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), memiliki mean sebesar
18,1077 dengan standar deviasi sebesar 4,60115. Dengan nilai standar deviasi
lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga tidak ada
kesenjangan dari variabel Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
4. Financing to Deposit Ratio (FDR), memiliki nilai mean sebesar 82,9576
dengan standar deviasi sebesar 8,60365. Dengan nilai standar deviasi lebih
kecil dari nilai mean, menandakan variabel Financing to Deposit Ratio (FDR)
mempunyai distribusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel
Financing to Deposit Ratio (FDR).
5. Nilai Tukar (Kurs), memiliki mean sebesar 14009,84 dengan standar deviasi
sebesar 794,839. Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai mean,
menandakan variabel Nilai Tukar (Kurs) mempunyai distrbusi yang kecil.
Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel Nilai Tukar (Kurs).
6. Inflasi, memiliki mean sebesar 3,1600 dengan standr deviasi sebesar 0,70439.
Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel
Inflasi mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari
variabel Inflasi.
7. Gross Domestic Product (GDP), memiliki mean sebesar 4,9716 dengan standr
deviasi sebesar 0,48595. Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai
mean, menandakan variabel Inflasi mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga
tidak ada kesenjangan dari variabel Inflasi.
69
Gambar 4.2.
Grafik Normal Probability Plot
Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar bar pada grafik
histogram berada di bawah kurva, maka residual dinyatakan berdistribusi normal.
Kemudian Gambar 4.2 menunjukkan titik-titik pada grafik normal P-Plot menyebar
di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Maka dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi normal dan model regresi memenuhi
asumsi normalitas (Ghozali, 2018:163).
Selain menggunakan analisis grafik, pengujian normalitas dapat ditujukkan melalui
uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S), yang dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3.
Uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 95
Mean 0E-7
Normal Parametersa,b
Std. Deviation .85443715
Absolute .089
Most Extreme Differences Positive .089
Negative -.046
Kolmogorov-Smirnov Z .865
Asymp. Sig. (2-tailed) .443
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
penelitian ini terdiri dari; uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji
autokorelasi.
Tabel 4.4.
Uji Multikolonearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
BOPO .903 1.107
KPMM .833 1.201
1 FDR .805 1.242
Nilai Tukar .305 3.279
Inflasi .550 1.819
GDP .429 2.329
Tabel 4.5.
Uji Durbin-Waston (DW Test)
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson
Square Estimate
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Adapun uji Runs Test, digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat
korelasi yang tinggi (Ghozali, 2018:121). Hasil uji Runs Test dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Tabel 4.6.
Uji Runs Test
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea -.03115
Cases < Test Value 47
Cases >= Test Value 48
Total Cases 95
Number of Runs 29
Z -4.022
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Median
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Berdasarkan Tabel 4.6. hasil uji Runs Test menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig
(2-tailed) 0,000 lebih besar dari 0,05 (Ghozali, 2018:121). Hal ini dapat
73
Gambar 4.3.
Grafik Scatterplot
Tabel 4.7.
Uji Park
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -9.308 15.885 -.586 .559
BOPO .024 .059 .045 .406 .686
KPMM .047 .072 .075 .653 .515
1 FDR .023 .039 .068 .575 .567
Nilai Tukar .000 .001 .075 .395 .694
Inflasi .016 .578 .004 .028 .978
GDP -.312 .949 -.053 -.329 .743
a. Dependent Variable: LN_RES
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa tidak ada variabel independen yang
signifikan atau lebih dari 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
heteroskedastisitas pada model regresi (Ghozali, 2018:142). Hasil ini konsisten
dengan hasil uji grafik Scatterplot. Sementara hasil uji Glejser, dapat dilihat pada
Tabel 4.8.
Tabel 4.8.
Uji Glejser
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -5.129 2.997 -1.711 .091
BOPO .013 .011 .130 1.214 .228
KPMM .000 .014 .003 .025 .980
1 FDR .017 .007 .256 2.266 .056
Nilai Tukar .000 .000 .259 1.413 .161
Inflasi .030 .109 .038 .278 .782
GDP .098 .179 .085 .547 .586
a. Dependent Variable: AbsRES
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Berdasarkan Tabel 4.8 menunjukkan tidak ada satupun variabel independen yang
signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolut atau nilai
75
signifikansi lebih dari 0,05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas (Ghozali, 2018:144).
Tabel 4.9.
Analisis Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
B Std. Error
(Constant) 13.422 4.789
BOPO .139 .018
KPMM .054 .022
1 FDR -.075 .012
Nilai Tukar -.001 .000
Inflasi -.001 .174
GDP -1.063 .286
a. Dependent Variable: NPF
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Tabel 4.10.
Uji F
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 78.026 6 13.004 16.676 .000b
1 Residual 68.626 88 .780
Total 146.652 94
a. Dependent Variable: NPF
b. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.
Tabel 4.11.
Uji Koefisien Determinasi (R2 )
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson
Square Estimate
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF
Berdasarkan Tabel 4.11. dihasilkan nilai Adjusted R Square pada uji koefisien
determinasi (R2 ) adalah 0,500 atau 50%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi
pengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) sebesar 50%, sedangkan 50%
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
1. Pembuktian Hipotesis 2
Pembuktian hipotesis 2 (dua) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) = 7.867 > t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0.05, yang berarti
terdapat pengaruh yang signifikan antara Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO) secara parsial terhadap Non Performing
Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 2 (dua) yang menyatakan bahwa
“Diduga BOPO secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020”, dinyatakan diterima.
2. Pembuktian Hipotesis 3
Pembuktian hipotesis 3 (tiga) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
= 2.501 > t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.014 < 0.05, yang berarti terdapat
pengaruh yang signifikan antara Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan
demikian, hipotesis 3 (tiga) yang menyatakan bahwa “Diduga KPMM secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan
diterima.
3. Pembuktian Hipotesis 4
Pembuktian hipotesis 4 (empat) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel
4.12. dihasilkan t hitung variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) = -|6.343| >
t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0.05, yang berarti terdapat pengaruh
yang signifikan antara Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial
terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 4
(empat) yang menyatakan bahwa “Diduga FDR secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan diterima.
81
4. Pembuktian Hipotesis 5
Pembuktian hipotesis 5 (lima) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Nilai Tukar (Kurs) = -|3.996| > t tabel = 1.66216 atau
signifikansi 0,000 < 0,05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara
Nilai Tukar (Kurs) secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF).
Dengan demikian, hipotesis 5 (lima) yang menyatakan bahwa “Diduga Nilai
Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”,
dinyatakan diterima.
5. Pembuktian Hipotesis 6
Pembuktian hipotesis 6 (enam) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Inflasi = -|0.003| < t tabel = 1.66216 atau signifikansi
0,997 > 0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Inflasi
secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian,
hipotesis 6 (enam) yang menyatakan bahwa “Diduga Inflasi secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan ditolak.
6. Pembuktian Hipotesis 7
Pembuktian hipotesis 7 (tujuh) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Gross Domestic Product (GDP) = -|3.718| > t tabel =
1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh
yang signifikan antara Gross Domestic Product (GDP) secara parsial terhadap
Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 6 (enam) yang
menyatakan bahwa “Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan diterima.
4.7. Pembahasan
4.7.1. Pembahasan Hipotesis 1
Berdasarkan pembuktian hipotesis 1 (satu) diketahui bahwa variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi,
dan Gross Domestic Product (GDP) secara simultan berpengaruh signifikan
82
terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia
periode 2016-2020. Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi,
dan Gross Domestic Product (GDP) layak dijadikan alat prediksi untuk
mengendalikan Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020.
Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi (R2 ) (lihat Tabel 4.11), dihasilkan nilai
Adjusted R Square sebesar 0,500 atau 50%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi
pengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) sebesar 50%, sedangkan 50%
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Berdasarkan uji F dan koefisien determinasi (R2 ) terlihat adanya kontroversi hasil.
Seharusnya hasil R2 menguatkan uji F, yang artinya jika uji F signifikan maka R2
cenderung tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Ghozali (2018:97), bahwa
semakin besar nilai R2 , maka semakin besar pula nilai F. Namun dalam penelitian
ini nilai uji F signifikan, sedangkan nilai R2 rendah (50%), artinya variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs),
Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi pengaruh
terhadap Non Performing Financing (NPF), tetapi tidak besar.
Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh IBI (2018:283), yang
menyatakan bahwa ketika beban operasional yang dikeluarkan bank semakin besar,
maka beban yang digunakan sebagai pembentukan pencadangan dalam
mengantisipasi kerugian akibat tidak kembalinya dana yang disalurkan melalui
pembiayaan akan semakin berkurang dan tidak dapat menutup risiko atas
penyaluran pembiayaan. Menurut Rivai dan Arifin (2010:406), menyatakan bahwa
besarnya rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
disebabkan karena tingginya biaya dana yang dihimpun dan rendahnya pendapatan
dari penanaman dana. Sehingga semakin efisien biaya operasional yang
dikeluarkan bank, hal ini menandakan keuntungan yang didapat bank akan semakin
besar, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi yang bermasalah akan
semakin kecil.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Auliani dan Syaichu
(2016), Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), serta Supriani dan Sudarsono (2018)
yang menyatakan bahwa Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
84
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Auliani dan Syaichu (2016),
Lidyah (2016), dan Effendi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh positif
terhadap Non Performing Financing (NPF).
Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Muhamad (2016:194),
bahwa rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) menunjukkan
kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha
serta menampung kemungkinan risiko kerugian, salah satunya adalah risiko
pembiayaan. Menurut Dendawijaya (2009:153), apabila rasio Kewajiban
85
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Effendi, et
al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF).
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Effendi, et
al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh positif terhadap
Non Performing Financing (NPF).
Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Rivai dan Arifin
(2010:560), bahwa rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) digunakan untuk
mengukur likuiditas bank, dengan kata lain seberapa jauh pemberian dana kepada
nasabah dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan
nasabah yang akan menarik kembali dananya yang telah disalurkan. Sehingga
tingginya rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) akan berdampak pada risiko
pembiayaan, hingga terjadi pembiayaan bermasalah. Menurut Antonio (2018:179),
besarnya jumlah dana yang disalurkan bank kepada nasabah sering kali disebabkan
oleh tuntutan memanfaatkan kelebihan likuiditas. Sehingga penilaian pembiayaan
menjadi kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko
pembiayaan macet. Muhamad (2016:193), menyatakan bahwa semakin tinggi rasio
Financing to Deposit Ratio (FDR) maka menandakan semakin rendah kemampuan
likuiditas Bank Syariah. Tingkat rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) yang
tinggi akan memberikan pengaruh yang tinggi pula terhadap pembiayaan
bermasalah.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Vanni dan
Rokhman (2017), Supriani dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019)
yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
semakin tinggi nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) cenderung menurunkan nilai
Non Performing Financing (NPF). Seharusnya secara teoritis variabel Financing to
Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing
(NPF). Hal ini didasarkan pada pandangan yang dikemukakan oleh Umam dan
Utomo (2017:345), yang menyatakan bahwa semakin besar penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan akan memberikan konsekuensi risiko pembiayaan yang
semakin besar. Dan ketika pembiayaan yang disalurkan bermasalah, maka bank
akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang dititipkan masyarakat.
Hal ini menandakan semakin tinggi rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) akan
berpengaruh pada peningkatan Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Syariah. Kemudian menurut Muhamad (2016:193), semakin tinggi rasio Financing
to Deposit Ratio (FDR) menandakan semakin rendah kemampuan likuiditas Bank
Syariah, dan artinya semakin rendah likuiditas maka akan berdampak pada
peningkatan pembiayaan bermasalah.
Penelitian ini kontradiksi dengan penelitian Destiana (2018), Nihayah dan Walyoto
(2018), serta Supriani dan Sudarsono (2018) yang menyatakan bahwa Financing to
Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing
(NPF). Namun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Vanni
dan Rokhman (2017), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh negatif terhadap Non Performing
Financing (NPF).
Ketika depresiasi mata uang IDR/USD terjadi, maka muncul kemungkinan nasabah
mengalami kesulitan dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan bank
syariah, sehingga rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah meningkat. Di
sisi lain, pengelolaan dana bank syariah dalam bentuk penyaluran dana melalui
pembiayaan (financing) cenderung menghindari risiko yang berhubungan dengan
valuta asing, sehingga dalam kegiatan operasional bank syariah yang berhubungan
langsung dengan risiko dari fluktuasi nilai tukar adalah pada aktivitas treasury yakni
pemenuhan kebutuhan likuiditas bank (Fauziyah, 2015).
Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulita
(2014), Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan Vanni, K.
M., & Rokhman, W. (2018) menyimpulkan bahwa variabel Nilai Tukar (Kurs) US
Dollar berpengaruh positif dan signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF). Dan berbanding terbalik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sudarsono (2018) variabel Nilai Tukar berpengaruh negatif terhadap Pembiayaan
Bermasalah pada BUS, Sherly Yolanda dan Ariusni (2019), Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) menyimpulkan Nilai Tukar tidak
berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Non Performing Financing (NPF),
serta penelitian Yudhistira Ardana (2019) yang menyatakan variabel Nilai Tukar
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah
(NPF).
89
Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan bukti empiris yang dihasilkan oleh
Mutamimah dan Chasanah (2012: 52) yang menyatakan bahwa pengaruh
perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan menyebabkan
menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup masyarakat juga
turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk membayar angsuran
pembiayaannya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga mengalami peningkatan
yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut tidak mengalami
peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar angsurannya
menjadi melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh penghasilannya sudah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai akibat dari harga-
harga yang meningkat.
Penemuan ini yang menyatakan bahwa Inflasi berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Muhammad Arfan Harahap (2018) dan Anjur Perkasa Alam
(2020) , Lidyah (2016), Irfan, M (2016) dan Sherly Yolanda, Ariusni (2019) Inflasi
berpengaruh negatif dan tidak signifkan. Bertolak belakang dengan peneltian yang
dilakukan Dinnul Alfian Akbar (2016), dan Fata (2017) menyatakan bahwa variabel
Inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF).
Hal ini sesuai dengan pendangan yang dikemukakan oleh Antonio (2018:179),
bahwa perekonomian yang dilanda krisis atau resesi menjadi penyebab terjadinya
90
Hasil penelitian ini menunjukkan Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini
dikarenakan kondisi Gross Domestic Product (GDP) merupakan salah satu aspek
makroekonomi dalam negeri maupun global yang dapat memberikan dampak pada
industri usaha nasabah, dan industri yang terkait bidang usaha nasabah salah
satunya perusahaan Bank Umum Syariah yang terpengaruh akan nilai Non
Performing Financing (NPF).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016),
Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa Gross
Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF). Namun berkontradiksi dengan penelitian Havidz dan Setiawan
(2015), Azizi (2016), Purnamasari dan Musdholifah (2016), Rajha (2016), serta
Purba dan Darmawan (2018) yang menyatakan bahwa Gross Domestic Product
(GDP) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:
92
93
5.2.Implikasi
5.2.1. Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:
5.3.Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak terlepas dari beberapa keterbatasan maupun kelemahan yang
kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasan dalam
penelitian ini adalah:
5.4. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini sebagai berikut:
Ali Ibrahim Hasyim, Ekonomi Makro, Jakarta: Prenadamedia Group, Ed. 1, Cet.
ke-1, 2016, h. 186.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani: 160.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2018. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cetakan
Kedua Puluh Sembilan. Jakarta: Gema Insani.
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2018. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cetakan
Kedua Puluh Sembilan. Jakarta: Gema Insani.
Dahlan Rahmat (2014). Pengaruh Tingkat Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah
dan Tanya Inflasi terhadap Pembiayaan Bank Shariah di Indonsia. Jurnal
Etikonomi Vol 13, No 2.
Dwi Eko Waluyo, Ekonomika Makro, Malang: UMM Press, Ed. Revisi, Cet. ke-5,
2007, h. 172.
Erni Umi Hasanah dan Danang Sunyoto, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro,
Yogyakarta: CAPS, Cet. ke-1, 2012, h. 16.
98
99
Hasyim, Ali Ibrahim. 2016. Ekonomi Makro. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Ikatan Bankir Indonesia. 2018. Memahami Bisnis Bank Syariah. Cetakan Ketiga.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
______. 2018. Strategi Bisnis Pembiayaan Bank Syariah. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islam. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
2008.
Kuncoro, Mudrajad. 2013. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi
Keempat. Jakarta: PT Erlangga.
M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori, dan Analisis,
Bandung: Alfabeta, Cet. ke-1, 2010, h. .
Mutamimah dan Siti Nur Zaidah Chasanah. 2012. Analisis Eksternal Dan Internal
Dalam Menentukan Non Performing Financing Bank Umum Syariah Di
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Volume 19 Nomor 1 ISSN 1412-3126,
Halaman 49-64.
Poetry, Zakiyah Dwi dan Sanrego, Yulizar D. (2014) Pengaruh Variabel Makro dan
Mikro Terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah.
Tazkia Islamic Finance and Business Review, Vol. 6, No. 2.
Popita, Mares Suci Ana. 2013. Analisis Penyebab Terjadinya Non Performing
Financing pada Bank Umum Syariah di Indonesia. Accounting Analysis
Journal (AAJ). Vol. 2, No. 4.
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking: Sebuah Teori,
Konsep, dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Riyadi, Selamet. 2011. Banking Assets and Liability Management. Edisi Ketiga.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 tentang
Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah (diakses tanggal 12
Desember 2020).
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang
Penilaian Tingkat kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
(diakses tanggal 13 Desember 2020).
Tifanny, Timothy Arsya. 2018. “Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Biaya
Operasional Pada Pendapatan Operasional (BOPO), Financing To Deposit
Ratio (FDR), Sertifikat BankK Indonesia Syariah (SBIS), Dan Inflasi
Terhadap Risiko Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Umumu Syariah Di
Indonesia Periode Tahun 2012-2016”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas
Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.
Usman, Berto & Kamaludin, Darmansyah. 2015. Determinan Non Performing Loan
(NPL) Pada Industri Perbankan (Bukti Empiris Perusahaan Go Publik di
Bursa Efek Indonesia).
https://tafsirweb.com/1886-quran-surat-al-maidah-ayat-2.html
LAMPIRAN
P
Lampiran 1. Data Penelitian A
G
NP BOP KPM Inflas
E
N QUARTA FDR Nilai Tukar GDP
BANK F O M i1
O L-TAHUN 1
(%) (%) (%) (%) (Rp) (%)8 (%)
1 BSM Q1-2016 6.4 94.44 13.39 80.16 Rp 13.276,- 4.45 4.92
2
2 BSM Q2-2016 5.5 93.76 13.69 82.31 Rp 13.180,- 3.45 5.18
8
3 BSM Q3-2016 5.4 93.93 13.50 80.40 Rp 12.998,- 3.07 5.02
3
4 BSM Q4-2016 4.9 94.12 14.01 79.19 Rp 13.436,- 3.02 4.94
2
5 BSM Q1-2017 4.9 93.82 14.40 77.75 Rp13.320,- 3.61 5.01
1
6 BSM Q2-2017 4.8 93.89 14.37 80.03 Rp 13.319,- 4.37 5.01
5
7 BSM Q3-2017 4.6 94.22 14.92 78.29 Rp 13.492,- 3.72 5.06
9
8 BSM Q4-2017 4.5 94.44 15.89 77.66 Rp 13.548,- 3.61 5.19
3
9 BSM Q1-2018 3.9 91.20 15.59 73.92 Rp 13.756,- 3.40 5.06
7
10 BSM Q2-2018 3.9 90.09 15.62 75.47 Rp 14.404,- 3.12 5.27
7
11 BSM Q3-2018 3.6 89.73 16.46 79.08 Rp 14.929,- 2.88 5.17
5
12 BSM Q4-2018 3.2 91.16 16.26 77.25 Rp 14.481,- 3.13 5.18
8
13 BSM Q1-2019 3.0 86.03 15.62 79.39 Rp 14.244,- 2.48 5.07
6
14 BSM Q2-2019 2.8 83.92 15.84 81.63 Rp 14.141,- 3.28 5.05
9
P
15 BSM Q3-2019 2.6 83.28 16.08 81.41 Rp 14.174,- A
3.39 5.02
G
6 E
16 BSM Q4-2019 2.4 82.89 16.15 75.54 Rp 13.901,- 1
2.72 4.97
1
4 8
17 BSM Q1-2020 2.4 82.87 16.43 74.13 Rp 16.367,- 2.96 2.97
9
18 BSM Q2-2020 2.5 81.26 17.41 74.16 Rp 14.302,- 1.96 5.32
7
19 BSM Q3-2020 2.6 81.95 17.68 74.56 Rp 14.918,- 1.42 5.05
6
20 BRIS Q1-2016 4.8 90.70 14.66 82.73 Rp 13.276,- 4.45 4.92
4
21 BRIS Q2-2016 4.8 90.41 14.06 87.92 Rp 13.180,- 3.45 5.18
7
22 BRIS Q3-2016 5.2 90.99 14.30 83.98 Rp 12.998,- 3.07 5.02
2
23 BRIS Q4-2016 4.5 91.33 20.63 81.47 Rp 13.436,- 3.02 4.94
7
24 BRIS Q1-2017 4.7 93.67 21.14 77.56 Rp13.320,- 3.61 5.01
1
25 BRIS Q2-2017 4.8 92.78 20.38 76.79 Rp 13.319,- 4.37 5.01
2
26 BRIS Q3-2017 4.8 92.03 20.98 73.14 Rp 13.492,- 3.72 5.06
2
27 BRIS Q4-2017 6.4 95.24 20.29 71.87 Rp 13.548,- 3.61 5.19
3
Bersambung…
Lampiran 1. (Lanjutan 1)
28 BRIS Q1-2018 4.9 90.75 23.95 68.70 Rp 13.756,- 3.40 5.06
2
29 BRIS Q2-2018 5.1 89.92 29.31 77.78 Rp 14.404,- 3.12 5.27
3
P
30 BRIS Q3-2018 5.3 91.49 30.07 76.40 Rp 14.929,- A
2.88 5.17
G
0 E
31 BRIS Q4-2018 6.7 95.32 29.73 75.49 Rp 14.481,- 1
3.13 5.18
1
3 8
32 BRIS Q1-2019 5.6 95.67 27.82 79.55 Rp 14.244,- 2.48 5.07
8
33 BRIS Q2-2019 4.9 96.74 26.88 85.25 Rp 14.141,- 3.28 5.05
8
34 BRIS Q3-2019 4.4 96.78 26.55 90.40 Rp 14.174,- 3.39 5.02
5
35 BRIS Q4-2019 5.2 96.80 25.26 80.12 Rp 13.901,- 2.72 4.97
2
36 BRIS Q1-2020 5.0 90.18 21.99 92.10 Rp 16.367,- 2.96 2.97
0
37 BRIS Q2-2020 3.9 89.93 23.73 91.01 Rp 14.302,- 1.96 5.32
9
38 BRIS Q3-2020 3.3 90.39 19.38 82.65 Rp 14.918,- 1.42 5.05
5
39 BNIS Q1-2016 2.7 85.37 15.85 86.26 Rp 13.276,- 4.45 4.92
7
40 BRIS Q2-2016 2.8 85.88 15.56 86.92 Rp 13.180,- 3.45 5.18
0
41 BRIS Q3-2016 3.0 86.28 15.82 85.79 Rp 12.998,- 3.07 5.02
3
42 BRIS Q4-2016 2.9 86.88 14.92 84.57 Rp 13.436,- 3.02 4.94
4
43 BRIS Q1-2017 3.1 87.29 14.44 82.32 Rp13.320,- 3.61 5.01
6
44 BRIS Q2-2017 3.3 86.50 14.33 84.44 Rp 13.319,- 4.37 5.01
8
45 BRIS Q3-2017 3.2 87.60 14.90 81.40 Rp 13.492,- 3.72 5.06
9
P
46 BNIS Q4-2017 2.8 87.62 20.14 80.21 Rp 13.548,- A
3.61 5.19
G
9 E
47 BRIS Q1-2018 3.1 86.53 19.42 71.98 Rp 13.756,- 1
3.40 5.06
1
8 8
48 BRIS Q2-2018 3.0 85.43 19.24 77.42 Rp 14.404,- 3.12 5.27
4
49 BRIS Q3-2018 3.0 85.49 19.22 80.03 Rp 14.929,- 2.88 5.17
8
50 BRIS Q4-2018 2.9 85.37 19.31 79.62 Rp 14.481,- 3.13 5.18
3
51 BRIS Q1-2019 2.9 82.96 18.23 76.42 Rp 14.244,- 2.48 5.07
0
52 BRIS Q2-2019 3.0 79.85 18.38 87.07 Rp 14.141,- 3.28 5.05
3
53 BRIS Q3-2019 3.0 80.67 18.73 84.74 Rp 14.174,- 3.39 5.02
5
54 BRIS Q4-2019 3.3 81.26 18.88 74.31 Rp 13.901,- 2.72 4.97
3
55 BRIS Q1-2020 3.8 76.53 19.29 70.62 Rp 16.367,- 2.96 2.97
0
56 BRIS Q2-2020 3.9 82.88 20.66 71.67 Rp 14.302,- 1.96 5.32
0
Bersambung…
Lampiran 1. (Lanjutan 2)
I. DATA PRIBADI
111
PA
GE
112
IV. PRESTASI