Anda di halaman 1dari 132

ANALISIS PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN

FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TINGKAT


PEMBIAYAAN BERMASALAH (NON PERFORMING
FINANCING) PADA BANK UMUM SYARIAH
INDONESIA TAHUN 2016-2020

Disusun Oleh :
Nur Fuad Gandi
NIM 4.42.17.1.19

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

2021
ANALISIS PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN
FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP TINGKAT
PEMBIAYAAN BERMASALAH (NON PERFORMING
FINANCING) PADA BANK UMUM SYARIAH
INDONESIA TAHUN 2016-2020

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Tugas Mata Kuliah Seminar Dana Bank Syariah

Disusun Oleh :
Nur Fuad Gandi
NIM 4.42.17.1.19

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


JURUSAN AKUNTANSI

POLITEKNIK NEGERI SEMARANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, yang telah
melimpahkan segala kenikmatan dan keberkahan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Mini Riset dengan judul Analisis Pengaruh Faktor
Internal Dan Faktor Eksternal Terhadap Tingkat Pembiayaan Bermasalah
(Non Performing Financing) Pada Bank Umum Syariah Indonesia Tahun
2016-2020.

Mini Riset ini bertujuan untuk menganalisis signifikansi pengaruh Biaya


Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), dan Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) terhadap Return On Asset
(ROA), Nilai Tukar, Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) terhadap Tingkat
Pembiayaan (Non Performing Financing) pada Bank Umum Syariah di Indonesia
periode 2016-2020, baik secara simultan maupun parsial. Di samping itu Mini Riset
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
seminar dana bank syariah.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan, dukungan,
bimbingan, dan sumbangan pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ir. Supriyadi, M.T., selaku Direktur Politeknik Negeri Semarang.


2. Siti Arbainah, S.E., M.M., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri
Semarang.

3. Suyani Sri Lestari, S.E., M.Bus., selaku Ketua Program Studi Perbankan
Syariah Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Semarang.

4. Dr. Sartono, S.E., M.Si., selaku dosen pengampu mata kuliah Seminar Dana
Bank Syariah di kelas PS-4B yang senantiasa sabar dalam memberikan
bimbingan, nasihat dan arahan selama penyusunan Mini Riset ini.

2
5. Aris Sunindyo, S.E., M.M., selaku dosen wali PS-4B angkatan 2017 yang telah
memberikan dukungan, nasihat, dan arahan selama menempuh studi di
Politeknik Negeri Semarang.

6. Keluarga tercinta, khususnya kedua orang tua yang selalu memberikan


dukungan baik moril maupun materil.

7. Teman-teman mahasiswa Program Studi Perbankan Syariah angkatan 2017


Politeknik Negeri Semarang, yang telah memberikan semangat dan dukungan
selama menempuh studi di Politeknik Negeri Semarang.

8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu
dalam penyelesaian Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam menyusun Mini Riset ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran
serta kritik yang membangun demi kesempurnaan Mini Riset ini. Akhir kata,
semoga Mini Riset ini mampu memberikan pengetahuan dan informasi bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, baik akademis maupun non akademis.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, 20 Januari 2021

Nur Fuad Gandi


NIM. 4.42.17.1.19

3
Nur Fuad Gandi, NIM. 4.42.17.1.19, “Analisis Pengaruh Faktor Internal Dan Faktor
Eksternal Terhadap Tingkat Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Pada Bank Umum Syariah Indonesia Tahun 2016-2020”. Mini Riset Seminar Dana
Bank Syariah, dibawah bimbingan Dr. Sartono, S.E., M.Si., 21Januari 2021, 112
halaman.

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis signifikansi pengaruh Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi
dan Gross Domestic Product (GDP) terhadap Tingkat Pembiayaan (Non
Performing Financing) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020,
baik secara simultan maupun parsial.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bank Umum Syariah di Indonesia,
sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah 5 (lima) Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020 yang dipilih menggunakan teknik purposive
sampling. Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis
regresi linier berganda, sedangkan teknik analisis menggunakan uji signifikansi
simultan (uji F), uji koefisien determinasi (R2), dan uji signifikansi parsial (uji t)
yang diolah menggunakan program SPSS 20.00.
Hasil pembuktian hipotesis dan pembahasan menunjukkan bahwa Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi
dan Gross Domestic Product (GDP) secara simultan berpengaruh signifikan
Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing). Selanjutnya Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing). Adapun Financing to Deposit
Ratio (FDR), Nilai Tukar dan Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Tingkat Pembiayaan (Non Performing
Financing), sementara itu Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan
pengaruh terhadap Tingkat Pembiayaan (Non Performing Financing)pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020.
Kata Kunci: Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO),
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to
Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi dan Gross Domestic
Product (GDP) dan Non Performing Financing (NPF).

4
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ii

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR NOTASI xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. 1

1.2. 8

1.3. 9

1.4. 10

1.4.1. 10

1.4.2. 10

1.5. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 12

2.1. 12

2.1.1. 12

2.1.2. 13

2.1.3. 14

2.1.4. 18

2.1.5. 21

2.1.6. 23

5
2.1.7. 26

2.1.8. 28

2.1.9. 29

2.1.10. 31

2.1.11. 32

2.2. 35

2.3. 37

2.3.1. 37

2.3.2. 38

2.3.3. 39

2.3.4. 40

2.3.5. 41

2.3.6. 43

2.4. 44

2.5. 48

2.6. 49

BAB III METODE PENELITIAN 49

3.1. 51

3.2. 51

3.3. 52

3.4. 53

3.4.1. 53

3.4.2. 53

3.5. 54

3.5.1. 54

3.5.2. 54

6
3.6. 59

3.6.1. 59

3.6.2. 60

3.6.3. 60

3.6.4. 61

3.6.5. 62

3.7. 63

3.8. 63

3.8.1. 64

3.8.2. 64

3.8.3. 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 62

4.1. 66

4.2. 67

4.3. 69

4.4. 70

4.4.1. 71

4.4.2. 71

4.4.3. 73

4.5. 75

4.6. 77

4.6.1. 77

4.6.2. 78

4.6.3. 79

4.7. 81

4.7.1. 81

7
4.7.2. 83

4.7.3. 84

4.7.4. 86

4.7.5. 88

4.7.6. 89

4.7.7. 89

BAB V PENUTUP 88

5.1. 92

5.2. 93

5.2.1. 93

5.2.2. 95

5.3. 97

DAFTAR PUSTAKA 94

LAMPIRAN 108

CURRICULUM VITAE 111

8
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.3. Peringkat Profil Risiko Rasio KPMM 27

Tabel 2.4. Kategori Inflasi 30

Tabel 2.5. Ringkasan Penelitian Terdahulu 43

Tabel 3.1. Daftar Bank Umum Syariah di Indonesia 51

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel 53

Tabel 3.3. Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi 57

Tabel 4.1. Proses Seleksi Sampel 61

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif 62

Tabel 4.3. Uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S) 65

Tabel 4.4. Uji Multikolonearitas 66

Tabel 4.5. Uji Durbin-Waston (DW Test) 67

Tabel 4.6. Uji Runs Test 67

Tabel 4.7. Uji Park 69

Tabel 4.8. Uji Glejser 69

Tabel 4.9. Analisis Regresi Linier Berganda 70

Tabel 4.10. Uji F 73

Tabel 4.11. Uji Koefisien Determinasi (R2 ) 74

Tabel 4.12. Uji t 74

9
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1. Perkembangan Pembiayaan Bank Umum Syariah di Indonesia


Tahun 2016-Agustus 2020 (dalam Miliar) 2
Gambar 1.2. Perkembangan Non Performing Financing (NPF) Pada Bank
Umum Syariah Di Indonesia 3
Gambar 2.1. Hubungan BOPO dengan Non Performing Financing (NPF) 37

Gambar 2.2. Hubungan KPMM dengan Non Performing Financing (NPF) 38

Gambar 2.3. Hubungan Financing to Deposit Ratio (FDR) dengan Non


Performing Financing (NPF) 39
Gambar 2.4. Hubungan Nilai Tukar (Kurs) dengan Non Performing Financing
(NPF) 40
Gambar 2.5. Hubungan Inflasi dengan Non Performing Financing (NPF) 41

Gambar 2.6. Hubungan Gross Domestic Product (GDP) dengan Non


Performing Financing (NPF) 43
Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran Teoritis 47

Gambar 4.1. Grafik Histogram 64

Gambar 4.2. Grafik Normal Probability Plot 64

Gambar 4.3. Grafik Scatterplot 68

10
DAFTAR NOTASI

Halaman

Notasi 1. Rumus Non Performing Financing (NPF) 20

Notasi 2. Rumus Biaya Operasioanal terhadap Pendapatan Operasional

(BOPO) 23

Notasi 3. Rumus Kewajiban Pemyediaan Modal Minimum (KPMM) 26

Notasi 4. Rumus Financing to Deposit Ratio (FDR) 28

Notasi 5. Rumus Inflaasi (Index Harga Konsumen) 31

Notasi 5. Rumus Regresi Linier Berganda 59

11
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Penelitian 109

Lampiran 2. Statistik Deskriptif 112

Lampiran 3. Grafik Histogram 113

Lampiran 4. Grafik Normal Probability Plot 113

Lampiran 5. Uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S) 113

Lampiran 6. Uji Multikolonearitas 114

Lampiran 7. Uji Durbin-Waston (DW Test) 114

Lampiran 8. Uji Runs Test 114

Lampiran 9. Grafik Scatterplot 115

Lampiran 10. Uji Park 115

Lampiran 11. Uji Glejser 116

Lampiran 12. Analisis Regresi Linier Berganda 116

Lampiran 13. Uji Signifikansi Simultan (Uji F) 116

Lampiran 14. Uji Koefisien Determinasi (R2 ) 117

Lampiran 15. Uji Signifikansi Parsial (Uji t) 117

Lampiran 16. Tabel F 118

Lampiran 17. Tabel t 109

Lampiran 18. Tabel Durbin-Watson (DW) 110

12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hadirnya bank syariah di Indonesia semenjak tahun 1992 ternyata memberikan


nuansa dan warna bagi industri perbankan di Indonesia. Bank syariah di Indonesia
bukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama islam, akan tetapi lebih kepada adanya faktor manfaat dari
bank syariah dalam memfasilitasi kegiatan ekonomi dan lebih umum kepada krisis
(Supriyatni dan Sandra, 2008).

Bank syariah adalah bank yang beroperasi tanpa mengandalkan bunga atau sebagai
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produk yang dikembangkan
berlandaskan Al-Qur’an dan hadist. Adapun dalam Undang-Undang No.21 tahun
2008 tentang perbankan syariah pasal 1 disebutkan bahwa “perbankan syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.”.

Dalam kegiatannya, bank syariah sangat berbeda dengan bank konvesional, bank
syariah dalam kegiatan operasionalnya baik dalam menghimpun dana atau
menyalurkan dana berlandaskan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang
digunakan oleh bank syariah berimplikasi pada pemerataan hasil dan risiko antara
lembaga keuangan dengan debitur (Timothy, 2018:2). Salah satu aktivitas dominan
dari fungsi intermediasi dari perbankan syariah adalah penyaluran pembiayaan
kepada masyarakat. Penyaluran pembiayaan menjadi salah satu hal terpenting
dalam usaha memperoleh laba sebagai bisnis bank syariah.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentag


Perbankan Syariah, pembiayaan dalam prinsip syariah merupakan pendanaan yang
diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain, di mana pihak yang dibiayai
diwajibkan untuk mengembalikan dana terseebut sesuai dengan jangka waktu
tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

1
2

Pembiayaan Bank Syariah telah mengalami perkembangan sejak bank syariah


berdiri, hingga sekarang. Sebagai gambaran dari perkembangan pembiayaan pada
Bank Umum Syariah di Indonesia, berikut grafik yang penulis himpun dari Statistik
Perbankan Syariah Indonesia 2020 (posisi Agustus 2020).

Gambar 1.1.
Perkembangan Pembiayaan Bank Umum Syariah
di Indonesia Tahun 2016-Agustus 2020 (dalam Miliar)
Rp350.000
Rp300.000
225.146 235.456
Rp250.000 189.789 202.298
177.482
Rp200.000
Rp150.000
Rp100.000
Rp50.000
Rp-
2016 2017 2018 2019 AGU-20

Pembiayaan

Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK, tahun 2020 (data diolah).

Berdasarkan Gambar 1.1, menunjukkan bahwa pembiayaan Bank Umum Syariah


pada tahun 2016 - Agustus 2020 terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Menurut IBI (2018:203) pembiayaan menjadi aktivitas utama Bank Syariah, akan
tetapi investasi sejumlah dana kepada pihak lain dalam bentuk pembiayaan
memiliki risiko gagal bayar.

Menurut Adiwarman (2010) risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh
adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Counterparty
merupakan pihak mitra yang dalam hal ini merujuk pada para nasabah yang
memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Perbankan di Indonesia baik
syariah maupun konvensional pada umumnya mengandalkan pendapatan bagi hasil
sebagai pemasukan utama dalam membiayai operasionalnya. Pada kenyataannya
tidak semua pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tersebut bebas dari
risiko, dimana sebagian memiliki risiko yang cukup besar dan dapat mengancam
kesehatan bank. Semakin besar risiko pembiayaan dalam Bank Syariah ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya rasio Non Performing Financing (NPF) (Rustam,
2018:95).
3

Pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing merupakan fenomena


yang sering terjadi dalam dunia perbankan syariah karena salah satu kegiatan utama
perbankan syariah berasal dari penyaluran pembiayaan. Non Performing Financing
(NPF) adalah rasio antara pembiyaan bermasalah terhadap total pembiayaan yang
disalurkan oleh bank syariah (Djamil, 2014:66). Semakin tinggi tingkat Non
Performing Financing (NPF), menandakan bahwa semakin buruk kinerja bank
tersebut dalam menjaga kualitas pembiayaannya, sekaligus memberikan indikasi
bahwa tingkat risiko atas penyaluran pembiayaan pada bank cukup tinggi searah
dengan tingginya NPF yang dihadapi bank (Riyadi, 2011:161). Sehingga hal-hal
tersebut memberikan dampak negatif bagi kedua belah pihak (debitur dan kreditur).
Adapun perkembangan Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah di Indonesia tahun 2016-2020, dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2.
Perkembangan Non Performing Financing (NPF) Pada
Bank Umum Syariah Di Indonesia
6,00
5,68
5,35
5,00
4,67 4,77 4,56
4,42 4,61 4,47 4,41
4,00 3,83 3,82
3,26 3,44 3,36 3,32 3,23 3,41
3,00

2,00

1,00

Tingkat NPF Bank Umum Syariah

Sumber: Statistik Perbankan Syariah OJK, tahun 2020 (data diolah).

Berdasarkan Gambar 1.2, menunjukkan bahwa rasio Non Performing Financing


(NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia mengalami fluktuasi yang kecenderungan
melandai selama tahun 2016 hingga 2020. Dengan presentase melandai, maka
kinerja bank semakin membaik. Terbukti pada kuartal I dan Kuartal II tahun 2016,
rasio NPF Bank Umum Syariah telah melewati batas dari batas ketentuan Bank
4

Indonesia yaitu sebesar 5 %. Sampai akhir tahun 2016 rasio NPF mencapai 4,42 %
yang berarti bank syariah secara umum mampu untuk menekan pembiayaan
bermasalah menjadi baik dari periode sebelumnya. Tahun 2016, rata-rata rasio NPF
Bank Umum Syariah sebesar 5,29 %, dengan nilai tertinggi mencapai 6,17% pada
Mei tahun 2016. Kemudian pada awal tahun 2017 kembali mengalami kenaikan
sebesar 0,30 % semula 4,42 % menjadi 4,72 %. Tahun 2018 rasio NPF memiliki
rata-rata nilai sebesar 4,28 % dengan nilai tertinggi mencapai 5,21 % pada Januari
dan Februari pada tahun 2018. Pada awal tahun 2019, rasio NPF bank umum
syariah kembali naik sebesar 0,13% dari akhir tahun 2017 menjadi 3,44%.
Sedangkan rasio NPF pada tahun 2019 mencetak rata-rata nilai sebesar 3,42%
dengan rasio NPF tertinggi sebesar 3,58% yang berada di bulan April 2019. Pada
kuartal I 2020, rasio NPF kembali memperburuk kinerja bank umum syariah dengan
besar rasio NPF sebesar 3,43% naik 0,2% dari sebelumnya 3,23%, kondisi paling
buruk pada tahun 2020 terdapat di bulan Januari 2020 yaitu 3,46% dengan jumlah
pembiayaan bermasalah sebesar 7.720 Miliar Rupiah. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa masih kurangnya kemampuan Bank Umum Syariah dalam
mengendalikan kualitas pembiayaan di setiap tahunnya. Di samping hal tersebut,
terdapat hubungan keterbalikan antara perkembangan pembiayaan Bank Umum
Syariah dengan Non Performing Financing (NPF) yang dialaminya sampai awal
tahun 2020.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 37


tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa setiap pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko (Djamil, 2014:72).
Dapat diartikan bahwa pertumbuhan pembiayaan memiliki hubungan searah
dengan risiko pembiayaan.

Faktor-faktor penyebab dari pembiayaan bermasalah ini bisa disebabkan dari sisi
internal maupun sisi eksternal. Pengaruh faktor internal merupakan pengaruh yang
berasal dari kegiatan operasional di dalam perbankan itu sendiri yang tertuang
dalam kinerja keuangan. Kinerja keuangan suatu perbankan dapat dilihat melalui
rasio keuangannya sebagai indikator kesehatan serta sebagai alat analisis untuk
memprediksi keuntungan yang akan dihasilkan. Pengaruh eksternal meliputi faktor
5

makroekonomi yang terbentuk atas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara
makro oleh pemerintah negara (Auliani, M. M.,2016).

Secara dimensi internal, NPF perbankan syariah dapat dianalisis dengan pencapaian
yang telah diraih dengan melihat rasio keuangan berdasarkan laporan keuangannya.
Laporan keuangan dapat mencerminkan keadaan keuangan perusahaan perbankan
pada saat pelaporan keuangan. Laporan keuangan juga dapat memprediksi keadaan
perusahaan perbankan di masa mendatang. Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO) merupakan rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap
pendapatan operasional.

Hasil penelitian Lidyah (2016), Auliani dan Syaichu (2016) serta Effendi, et al.,
(2017) menyatakan bahwa Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional
(BOPO) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Namun berbeda dengan Havidz dan Setiawan (2016) serta Destiana (2018) yang
menyatakan bahwa Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO)
berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Modal merupakan faktor penting untuk pengembangan bisnis dan sekaligus dapat
menampung resiko kerugian. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
atau yang sering disebut dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang
berkaitan dengan faktor permodalan bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank untuk menanggung aktiva yang berisiko. KPMM merupakan
indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktiva sebagai
akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko.
Makin tinggi KPMM yang dimiliki bank maka makin rendah pihak bank untuk
menyalahgunakan pembiayaan yang dapat meningkatkan pembiayaan bermasalah

Hasil penelitian Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan
Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa KPMM atau Capital Adiquacy
Ratio (CAR) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Namun berbeda dengan Purnamasari dan Musdholifah (2016) serta Nihayah dan
6

Walyoto (2018) yang menyatakan bahwa KPMM atau Capital Adiquacy Ratio
(CAR) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Financing to Deposit Ratio (FDR) sebagai salah satu indikator untuk menentukan
likuiditas Bank Syariah. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang
menunjukkan perbandingan pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (DPK)
(Muhamad, 2016:193). Besarnya jumlah dana yang disalurkan bank kepada
nasabah sering kali disebabkan oleh tuntutan untuk memanfaatkan kelebihan
likuiditas. Akibatnya, penilaian terhadap pembiayaan menjadi kurang cermat dalam
mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha serta risiko pembiayaan macet
(Antonio, 2018:179).

Hasil penelitian Vanni dan Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018),
Supriani dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan
bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Namun berbeda dengan Auliani dan Syaichu (2016)
serta Destiana (2018) yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR)
berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Faktor eksternal yang terdiri atas variabel makroekonomi ternyata memberikan efek
yang serius terhadap kinerja suatu perbankan, tak terkecuali perbankan syariah.
Secara teoritis bank syariah tidak mengenal sistem bunga, sehingga profit yang
didapat bersumber dari bagi hasil dengan pelaku usaha yang menggunakan dana
dari bank syariah serta investasi dari bank syariah sendiri.

Faktor eksternal pertama yaitu Nilai Tukar. Kurs (exchange rate) atau nilai tukar
sering didefinisikan sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya
(Salvatore, 1997:9). Nilai tukar valuta asing adalah harga satuan mata uang dalam
satuan mata uang lainnya. Nilai tukar valuta asing ditentukan dalam pasar valuta
asing yaitu pasar tempat berbagai mata uang yang berbeda diperdagangkan
(Samuelson dam Nordhaus, 2004:604)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016),
Akbar (2016), dan Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018) menyimpulkan bahwa
7

variabel Nilai Tukar (Kurs) US Dollar berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Pembiayaan Bermasalah (NPF). Sedangkan hasil penelitian Sudarsono (2018)
variabel Nilai Tukar berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Pembiayaan
Bermasalah pada BUS, Sherly Yolanda dan Ariusni (2019), Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) menyimpulkan Nilai Tukar tidak
berpengaruh signifikan dan negatif, Yudhistira Ardana (2019) variabel Nilai Tukar
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah
(NPF).

Indikator kedua dari faktor eksternal yaitu inflasi. Inflasi adalah suatu keadaan
dimana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam (absolute) yang berlangsung
secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama diikuti dengan
merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Khalwaty, 2000:5). Pada
saat inflasi tinggi maka akan menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat
sehingga standar hidup masyarakat juga turun dan berimbas pada ketidakmampuan
masyarakat dalam mengembalikan pembiayaan kepada bank (Mutamimah,
2011:4).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinnul Alfian Akbar (2016), dan Fata (2017)
menyatakan bahwa variabel Inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Sedangkan hasil penelitian Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) dan Sherly Yolanda, Ariusni (2019)
Inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifkan.

Gross Domestic Product (GDP) menunjukkan indikator dari pertumbuhan ekonomi


yang menjelaskan kinerja makroekonomi secara langsung (Hasyim, 2016:10).
Ketika perekonomian negara dilanda krisis akan menyebabkan turunnya tingkat
penjualan dan mengurangi besar penghasilan perusahaan, sehingga perusahaan atau
nasabah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar utang-
utangnya dan memicu pembiayaan macet (Antonio, 2018:179).

Hasil penelitian Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017)
yang menyatakan bahwa Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF). Namun berbeda dengan Purnamasari
8

dan Musdholifah (2016) serta Purba dan Darmawan (2018) yang menyatakan
bahwa Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF).

Berdasarkan fenomena bisnis mengenai Non Performing Financing (NPF) serta


reseach gap dari hasil penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di
Indonesia. Hal tersebut menjadi landasan untuk melakukan penelitian dengan judul
ANALISIS PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR
EKSTERNAL TERHADAP NON PERFORMING FINANCING (NPF) PADA
BANK UMUM SYARIAH INDONESIA TAHUN 2016-2020.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang masalah, hasil penelitian terdahulu, dan teori
pendukung yang relevan mengenai variabel Non Performing Financing (NPF),
bahwa Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minumum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP) maka dapat dirumuskan
pertanyaan permasalahan sebagai berikut:
1) Bagaimana signifikansi pengaruh Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM),
Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross
Domestic Product (GDP) secara simultan terhadap Non Performing
Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020?
2) Bagaimana signifikansi pengaruh Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO) secara parsial terhadap Non Performing Financing
(NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020?
3) Bagaimana signifikansi pengaruh Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF) pada
Bank Umum Syariah periode 2016-2020?
4) Bagaimana signifikansi pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR) secara
parsial terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah
periode 2016-2020?
9

5) Bagaimana signifikansi pengaruh Nilai Tukar (Kurs) secara parsial terhadap


Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-
2020?
6) Bagaimana signifikansi pengaruh Inflasi secara parsial terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020?
7) Bagaimana signifikansi pengaruh Gross Domestic Product (GDP) secara
parsial terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah
periode 2016-2020?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas maka tujuan penelitian yang ingin
dicapai dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Menganalisis signifikansi pengaruh Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM),
Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross
Domestic Product (GDP) secara simultan terhadap Non Performing
Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020.
2) Menganalisis signifikansi pengaruh Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO) secara parsial terhadap Non Performing Financing
(NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020.
3) Menganalisis signifikansi pengaruh Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) secara parsial terhadap Non Performing Financing
(NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020.
4) Menganalisis signifikansi pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR)
secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah periode 2016-2020.
5) Menganalisis signifikansi pengaruh Nilai Tukar (Kurs) secara parsial
terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah
periode 2016-2020.
6) Menganalisis signifikansi pengaruh Inflasi secara parsial terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2016-
2020.
10

7) Menganalisis signifikansi pengaruh Gross Domestic Product (GDP) secara


parsial terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah periode 2016-2020.

1.4. Manfaat Penelitian


Pada penulisan penelitian ini terdapat dua manfaat yang ingin dicapai dan
diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan meliputi, manfaat
teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis merupakan sumbangan hasil penelitian
ini terhadap teori, sementara manfaat praktis merupakan kontribusi yang positif
bagi pemecahan masalah pada upaya mengetahui faktor-faktor baik faktor internal
maupun faktor eksternal yang mempengaruhi Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah periode 2016-2020.

1.4.1. Manfaat Teoritis


Diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi dalam mengembangkan
penelitian mengenai Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO),,
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS), Nilai Tukar, Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) terhadap
Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah periode 2014-2018
dan mendukung teori-teori penelitian sebelumnya. Selain itu, diharapkan dapat
membantu memberikan informasi bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis


Diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam pembuatan dan pengambilan
keputusan maupun kebijakan sehubungan dengan faktor yang mempengaruhi
terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia.

1.5. Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan digunakan untuk menyajikan hasil penulisan secara teratur
sehingga memudahkan pembahasan. Adapun sistematika dari penulisan penelitian
ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
11

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini memuat uraian mengenai tinjauan pustaka mengenai landasan teori
pengaruh antar variabel, penelitian terdahulu, model penelitian, dan hipotesis
penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN


Bab ini menguraikan penjelasan mengenai desain penelitian, jenis dan sumber data,
metode pengumpulan data, populasi dan sampel, identifikasi dan definisi
operasional variabel, pengujian data, model, dan teknik analisis data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini merupakan bab inti dalam penelitian ini. Pada bab 4 berisi gambaran umum
objek penelitian, statistik deskriptif, uji normalitas, uji asumsi klasik, analisis
regresi linier berganda, pengujian hipotesis, serta hasil penelitian dan pembahasan.

BAB V PENUTUP
Bab ini berisi mengenai kesimpulan, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian,
dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


2.1.1. Bank Syariah
Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi
intermediasi keuangan. Bank Syariah berdiri sebagai lembaga keuangan bank yang
memiliki sistem dimana tidak mengandalkan pada bunga bank. Bank Syariah atau
bank tanpa bunga ini, bisa dikatakan sebagai lembaga keuangan yang operasional
dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah
SAW. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bank Syariah adalah lembaga keuangan
yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu
lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariah Islam, (Antonio, 2001).

Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang


perbankan syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam fatwa
Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa
tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak
mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. UU Perbankan
Syariah juga mewajibkan setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan
dana masyarakat dalam bentuk simpanan atau investasi berdasarkan prinsip syariah
harus terlebih dahulu mendapat izin OJK, sedangkan kegiatan penyaluran dana
berdasarkan prinsip syariah harus dilakukan secara berhati-hati melalui penilaian
secara seksama, agar Bank Syariah memiliki keyakinan atas kemauan dan
kemampuan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya sesuai akad serta
keyakinan atas kesesuaian dengan prinsip syariah (www.ojk.go.id).

Pelaksanaan kegiatan usaha Bank Syariah wajib memenuhi tata kelola perusahaan
yang baik, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan risiko. Selain itu, Bank Syariah
diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dan perlindungan
nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada nasabah mengenai

12
13

kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah


yang dilakukan melalui Bank Syariah (Munifatussa’idah, 2019).

2.1.2. Pembiayaan
Fungsi bank syariah yang kedua yaitu menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan (user of fund) berupa pembiayaan. Dalam arti sempit, pembiayaan
dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan
seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau
pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang
telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain
(Muhammad, 2005:17).

Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan,


Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan
uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi
hasil.

Kebijakan Bank Syariah dalam menyalurkan dana kepada masyarakat tentunya


berbeda dengan Bank konvensional. Istilah penyaluran dana pada Bank Syariah
dikenal dengan nama pembiayaan dan istilah di Bank Konvensional disebut dengan
nama kredit. Pengertian kredit dalam Bank Konvensional berarti mengharuskan
debitur untuk mengembalikan pinjaman dengan pemberian bunga kepada Bank,
maka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah pengembalian pinjaman dengan bagi
hasil berdasarkan kesepakatan antara Bank dan debitur. Misalnya, pembiayaan
dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki barang, sedangkan yang
menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan jasa.

Pembiayaan pada perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva
produktif. Menurut ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman
dana Bank Syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk
pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan
modal, komitmen, dan kontijensi pada rekening administrasi serta Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI) (Rivai dan Arifin, 2010:681).
14

Berdasarkan UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 poin ke 25


menjelasakan bahwa:

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan berupa:

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah


b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna
d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai atau diberi fasilitas dana untuk
mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan
ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

Fungsi pembiayaan meliputi; a) meningkatkan daya guna, peredaran, dan lalu lintas
uang; b) meningkatkan daya guna dan peredaran barang; c) meningkatkan aktivitas
investasi dan pemerataan pendapatan; d) sebagai aset terbesar yang menjadi sumber
pendapatan terbesar bank. Kemudian setiap proses pembiayaan atau penyaluran
dana harus mengacu kepada kebijakan yang berlaku, baik ketentuan Bank Indonesia
maupun kebijakan umum penyaluran dana bank sendiri yang didasarkan pada asas
penyaluran dana yang sehat. Maksud dari penyaluran dana yang sehat adalah bahwa
setiap calon nasabah harus melalui proses penilaian yang dilakukan secara objektif,
yang memberikan keyakinan bahwa nasabah tersebut dapat mengembalikan
kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian (Muhamad, 2016:135-136).

2.1.3. Risiko Pembiayaan


Dalam mengelola dana dari masyarakat banyak, tentunya Bank Syariah wajib
melakukan penilaian secara berkesinambungan mengenai sektor ekonomi, segmen
pasar, kegiatan usaha, dan nasabah yang mengandung risiko tinggi. Karena setiap
bisnis pasti tidak luput dari risiko, begitu pula bisnis bank. Dalam hal ini, bank
sebagai kreditur atau pihak yang memberikan pinjaman (pembiayaan) kepada
debitur tertentu, harus dapat mengkalkulasi risiko yang dapat timbul terkait
aktivitas pemberian pembiayaan tersebut. Kalkulasi itu setidaknya dapat
15

meminimalkan potensi risiko yang dapat terjadi. Selain itu, segala persyaratan
terkait pinjaman yang diberikan kepada debitur hendaknya dapat dilaksanakan oleh
debitur dengan baik sesuai kesepakatan hingga pembiayaan tersebut dilunasi.

Menurut Adiwarman (2010) risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan oleh
adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Counterparty
merupakan pihak mitra yang dalam hal ini merujuk pada para nasabah yang
memanfaatkan pembiayaan dari perbankan syariah. Perbankan di Indonesia baik
syariah maupun konvensional pada umumnya mengandalkan pendapatan bagi hasil
sebagai pemasukan utama dalam membiayai operasionalnya. Pada kenyataannya
tidak semua pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tersebut bebas dari
risiko, dimana sebagian memiliki risiko yang cukup besar dan dapat mengancam
kesehatan bank. Semakin besar risiko pembiayaan dalam Bank Syariah ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya rasio Non Performing Financing (NPF) (Rustam,
2018:95).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tanggal 02 November 2011


menyatakan bahwa risiko pembiayaan adalah risiko akibat kegagalan nasabah atau
pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank sesuai dengan perjanjian yang
disepakati. Termasuk dalam kelompok risiko pembiayaan adalah risiko konsentrasi,
yaitu risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu)
pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang
berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar dan dapat mengancam
kelangsungan usaha bank. Risiko pembiayaan dapat bersumber dari aktivitas bank,
antara lain aktivitas penyaluran dana bank baik on-balance-sheet maupun off-
balance-sheet (IBI, 2015:73).

Berdasarkan Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), risiko


kredit/pembiayaan didefinisikan sebagai potensi kegagalan peminjam
(counterpart) untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang telah
disepakati. Bank perlu mengelola risiko pembiayaan yang melekat pada seluruh
portofolio dan mempertimbangkan hubungan antara risiko pembiayaan dan risiko
lainnya. Pengelolaan risiko pembiayaan yang efektif merupakan komponen penting
bagi keberhasilan setiap organisasi perbankan. Bagi sebagian besar bank, pinjaman
16

merupakan sumber terbesar dan paling nyata dari risiko pembiayaan. Meski
demikian, sumber-sumber risiko pembiayaan terdapat pada seluruh kegiatan bank,
termasuk di banking book dan trading book, dan baik on-balance-sheet maupun off-
balancesheet. Bank menghadapi risiko pembiayaan (counterparty risk) di berbagai
instrument keuangan, tidak hanya pinjaman – termasuk akseptasi, transaksi antar
bank, trade financing, transaksi valuta asing, financial futures, swaps, bonds,
equities, aktivitas commitments and guarantees, dan penyelesaian transaksi.

Menurut Ikatan Bankir Indonesia dalam bukunya yang berjudul “Mengelola Bisnis
Pembiayaan Bank Syariah Modul Sertifikasi Pembiayaan Syariah I” menjelaskan
bahwa risiko yang perlu menjadi perhatian bank dalam penyaluran pembiayaan,
antara lain:

1. Risiko politik, didasarkan atas kebijakan/kestabilan politik (termasuk


kebijakan ekonomi, keamanan, sosial, dan budaya suatu daerah/negara).
Kebijakan politik yang tidak kondusif disuatu negara dapat memengaruhi
aktivitas bisnis debitur.
2. Risiko sifat usaha. Masing-masing bisnis/usaha mempunyai jenis dan tingkat
risiko yang berbeda-beda. Karena itu, bank harus dapat memahami aktivitas
bisnis debitur (seperti turn over usaha, spesifkasi/kekhususan usaha, bidang
investasi, dan jenis usaha) sehingga dapat melakukan mitigasi risiko untuk
menjamin fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada debitur dapat berjalan
dengan lancar.
3. Risiko geografis, timbul karena faktor alam, lingkungan, dan lokasi usaha.
Bank harus dapat menganalisis lokasi usaha debitur, seperti apakah usaha
tersebut rawan bencana, bagaimana kondisi keamanan dan akses ke lokasi
usaha, dan lainnya.
4. Risiko persaingan. Bank harus memperhatikan bagaimana tingkat persaingan
usaha debitur dalam pangsa pasar yang dimasukinnya dan konsentrasi
pembiayaan dalam suatu segmen usaha terkait persaingan bank dalam
penyaluran pembiayaannya.
5. Risiko ketidakpastian usaha. Kecermatan dalam melakukan analisis dan
proyeksi terhadap kondisi bisnis debitur, apakah dalam tahap start-up,
growth, mature, atau decline.
17

6. Risiko inflasi. Akibat dari value of money (nilai uang) yang diperhitungkan
dalam aktivitas penyaluran pembiayaan (cost of fund/money of borrowing).

Secara lebih lanjut, Ikatan Bankir Indonesia juga menjelaskan mengenai komponen
yang harus dicermati oleh pihak bank dalam melakukan persetujuan pembiayaan
kepada nasabah, yang setidaknya risiko pembiayaan mengandung tiga komponen
sebagai berikut:

1. Peluang gagal bayar (probability of default), yaitu ketidakmampuan debitur


dalam memenuhi kewajibannya kepada bank.
2. Eksposur pembiayaan (exposure financing), yaitu berkaitan dengan potensi
jumlah kerugian jika debitur gagal bayar.
3. Tingkat pemulihan (recovery rate), yaitu tingkat pengembalian pembiayaan
yang telah gagal bayar sebagai upaya pemulihan kinerja bank.

Menurut Ismail (2001:119), untuk memperkecil risiko tidak kembalinya pokok


pembiayaan dalam memberikan pembiayaan, bank harus mempertimbangkan
beberapa hal yang terkait dengan itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan
membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi pinjaman. Hal hal tersebut terdiri
dari:

1. Character
Bertujuan untuk memberikan keyakinan kepada bank bahwa sifat atau
karakter orang yang akan diberi pembiayaan benar-benar dapat dipercaya.
2. Capacity
Melihat kemampuan calon nasabah dalam mengembalikan pokok
pembiayaan yang dihubungkan dengan kemampuannya dalam mengelola
bisnis usaha serta kemampuannya mencari laba.
3. Capital
Modal yang diberikan oleh bank, biasanya bank tidak 100% memberikan
seluruh modal kepada calon nasabah tetapi calon nasabah juga telah
mempunyai modal sendiri sebelumnya.
4. Collateral
Jaminan yang diberikan calon nasabah bersifat fisik maupun non fisik.
5. Condition of economy
18

Dalam menilai suatu pembiayaan, hendaknya melihat pula dari kondisi


ekonomi pada saat ini dan di masa yang akan datang sesuai dengan sektor
masing-masing.

Sedangkan menurut Muhamad (2016:198) berpendapat bahwa prinsip dasar dari


penyaluran dana yang sehat adalah mengerti, memahami, menguasai, dan
melaksanakan prinsip 6C + 1S (Character, Capacity, Capital, Collateral,
Condition, Constraint, dan Syariah) dengan juga perlu memperhatikan kondisi sifat
amanah, kejujuran, kepercayaan dari masing-masing nasabah bank.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah wajib melakukan penilaian secara
berkesinambungan mengenai sektor ekonomi, segmen pasar, kegiatan usaha, dan
nasabah yang mengandung risiko tinggi. Setiap pejabat Bank Syariah yang terikat
dengan penyaluran dana harus memahami dan mempunyai sikap kehati-hatian yang
tinggi dalam penyaluran dana kepada nasabah yang terikat untuk memperkecil
risiko terjadinya pembiayaan bermasalah (Muhamad, 2016:139).

2.1.4. Non Performing Financing (NPF)


Salah satu resiko yang dialami oleh bank syariah adalah resiko pembiayaan yang
tercermin dalam besarnya rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing
Financing (NPF). Non Performing Financing (NPF) merupakan rasio yang
menggambarkan besarnya risiko pembiayaan pada bank syariah. Risiko
pembiayaan disebabkan oleh kegagalan nasabah dalam memenuhi kewajiban
kepada bank sesuai dengan akad pembiayaan yang telah disepakati. Sehingga
semakin tinggi risiko yang akan dihadapi nasabah pembiayaan, semakin tinggi pula
risiko yang dihadapi Bank Syariah (IBI, 2018:93).

Non Performing Financing (NPF) adalah rasio antara pembiyaan bermasalah


terhadap total pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah (Djamil, 2014:66).
Semakin tinggi tingkat Non Performing Financing (NPF), menandakan bahwa
semakin buruk kinerja bank tersebut dalam menjaga kualitas pembiayaannya,
sekaligus memberikan indikasi bahwa tingkat risiko atas penyaluran pembiayaan
pada bank cukup tinggi searah dengan tingginya NPF yang dihadapi bank (Riyadi,
2011:161).
19

Non Performing Financing (NPF), menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
9/24/Dpbs tahun 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip
syariah, Non Performing Financing adalah pembiayaan yang terjadi ketika pihak
debitur (mudharib) karena berbagai sebab tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
mengembalikan dana pinjaman. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012
tanggal 24 Oktober 2012 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
menyebutkan bahwa kualitas kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
prospek usaha, kinerja (performance) debitur dan kemampuan membayar. Pasal 12
ayat 3 menyebutkan bahwa kualitas kredit ditetapkan menjadi 5 golongan yaitu
lancar (L), dalam perhatian khusus (DPK), kurang lancar (KL), diragukan (D), dan
macet (M). berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia
kategori yang termasuk dalam NPF adalah pembiayaan kurang lancar (KL),
diragukan (D), dan macet (M).

1. Pembiayaan Lancar (Pass), Pembiayaan yang digolongkan lancar apabila


memenuhi kriteria antara lain :
a) Pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu; dan
b) Memiliki mutasi rekening yang aktif; atau
c) Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai(cash
collateral).

2. Perhatian khusus (Spesial Mention), Pembiayaan digolongkan pembiayaan


dalam perhatian khusus apabila memenuhi kriteria :
a) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga bagi hasil yang
belum melampui sembilan puluh hari (keterlambatan 1- 90 hari) dari
jatuh tempo; atau
b) Kadang-kadang terjadi cerukan; atau
c) Mutasi rekening relatif aktif; atau
d) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau
e) Didukung oleh pinjaman baru
3. Kurang Lancar (Substandard), Pembiayaan yang digolongkan ke dalam
pembiayaan kurang lancar apabila memenuhi kriteria :
20

a) Terdapat tunggakan/wanprestasi angsuran pokok dan/atau bagi hasil


dengan keterlambatan 90- 180 hari dari jatuh tempo; atau
b) Sering terjadi cerukan; atau
c) Frekuensi mutasi rekening relatif rendah; atau
d) Terjadi indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau
e) Dokumentasi pinjaman yang lemah

4. Diragukan (Doubtful), Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan


diragukan apabila memenuhi kriteria:
a) Terdapat tunggakan/wanprestasi angsuran pokok dan/atau bunga
dengan keterlambatan 180- 270 hari dari jatuh tempo; atau
b) Terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau
c) Terjadi kapitalisasi bunga; atau
d) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan
maupun pengikatan jaminan.

5. Macet (Loss), Pembiayaan yang digolongkan ke dalam pembiayaan macet


apabila memenuhi kriteria:
a) Terdapat tunggakan/wanprestasi angsuran pokok dan/atau bunga
dengan keterlambatan 180- 270 hari dari jatuh tempo; atau
b) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau
c) Dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan
pada nilai wajar.

Untuk mengetahui besarnya NPF suatu bank, BI menginstruksikan perhitungan


NPF dalam laporan keuangan perbankan nasional sesuai surat edaran
No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, tentang perhitungan Rasio Keuangan Bank
yang dirumuskan sebagai berikut:
𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
𝑁𝑃𝐹 = 𝑥 100% ........................... (1)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
Sumber: SEOJK 8/SEOJK.03/2018.

Rasio tersebut ditunjukan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang


dihadapi bank syariah. Dimana semakin tinggi rasio ini menunjukkan kualitas
pembiayaan bank syariah semakin buruk. Nilai rasio ini kemudian dibandingkan
21

dengan kriteria kesehatan NPF bank syariah melalui peringkat rasio Non
Performing Financing (NPF) yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang Penilaian Tingkat kesehatan
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Kriteria Penilaian Peringkat Rasio NPF
Kriteria Ketentuan
Peringkat 1 NPF < 1,5 %
Peringkat 2 2 % ≤ NPF < 5
%
Peringkat 3 5 % ≤ NPF < 8
%
Peringkat 4 8 % ≤ NPF < 12
%
Peringkat 5 NPF > 12 %
Sumber: SEBI 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007.

Pada Tabel 2.1 dapat diketahui bahwa semakin tinggi rasio Non Performing
Financing (NPF), menunjukkan kualitas pembiayaan Bank Syariah akan semakin
buruk. Kualitas pembiayaan yang kurang baik atau bahkan memburuk akibat
tingginya Non Performing Financing (NPF), akan berdampak pada penurunan
pendapatan yang diperoleh Bank Syariah (IBI, 2018:3). Menurut Peraturan Bank
Indonesia Nomor 17/12/PBI/2015 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh
Bank Umum, Bank Indonesia menetapkan standar ketentuan NPF bank kurang dari
5 %, apabila rasio NPF melebihi 5 % maka bank tersebut dianggap memiliki risiko
pembiayaan yang tinggi.

2.1.5. Penyebab Terjadinya Pembiayaan Bermasalah


Pembiayaan bermasalah terjadi disebabkan oleh banyak faktor, pada dasamya
pembiayaan bermasalah terjadi akibat ketidaksediaan mereka untuk
mengembalikan modal yang telah diberikan sesuai dengan kesepakatan yang
disepakati. Terjadinya pembiayaan bermasalah adalah merupakan hal yang umum
terjadi dalam lembaga keuangan perbankan maupun non perbankan, walaupun
berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegahnya melalui penyempurnaan sistem
22

dan peningkatan mutu dan kualitas sumber daya manusia yang ada, belum menutup
kemungkinan terjadinya pembiayaan bermasalah di masa mendatang.

Menurut Mahmoehidin, Non Performing Finance pada dasarnya disebabkan oleh


faktor interen dan eksteren. Faktor internal dapat berupa ketidakmampuan dalam
mengelola suatu usaha (mismanagement) dan terjadi permanfaatan dana yang tidak
sesuai dengan tujuan pemberian pembiayaan (side streaming) Sedangkan faktor
eksternal lebih disebabkan oleh kondisi makro seperti inflasi, fluktuasi harga, Gross
Domestik Bruto (GDP) dan nilai tukar mata uang asing, serta kondisi industri yang
tidak berkembang saat ini (sunset industry). Kedua faktor tersebut tidak dapat
dihindari mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga
mempengaruhi kegiatan usaha bank (Mahmoehidin, 2004:52).

Menurut Zainul Arifin (2006:222) menjelaskan bahwa penyebab terjadinya


pembiayaan bermasalah adalah karena kesulitan-kesulitan keuangan yang dihadapi
nasabah. Penyebab kesulitan keuangan perusahaan nasabah dapat dibagi dalam
faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang ada didalam perusahaan sendiri, dan
faktor utama yang paling dominan adalah faktor manajerial. Timbulnya
kesulitankesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh faktor
manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam
kebijakan pembelian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan
pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang
berlebihan pada aktiva tetap, dan permodalan yang tidak cukup.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar kekuasaan
manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangan, perubahan
dalam kondisi perekonomian dan perdagangan (makro ekonomi),
perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain.
23

2.1.6. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)


Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) atau Rasio
Efisiensi Kegiatan Operasional (REO) merupakan perbandingan antara biaya
operasional dengan pendapatan operasional dalam mengukur tingkat efisiensi dan
kemampuan bank dalam menunjang kegiatan operasional. Semakin kecil rasio
biaya (beban) operasionalnya akan lebih baik, karena biaya yang dikeluarkan lebih
kecil dibandingkan pendapatan yang diterima (Rivai dan Arifin, 2010:866).

Sedangkan menurut Bank Indonesia melalui SE BI No 6/73/Intern/2004 Efisiensi


operasi diukur dengan membandingkan total biaya operasi dengan total pendapatan
operasi atau sering menggunakan istilah BOPO. Rasio ini bertujuan untuk
mengukur kemapuan pendapatan operasional dalam menutup biaya operasional.
Rasio yang meningkat mencerminkan kurang mampunya bank dalam menekan
biaya operasional dan meningkatkan pendapatan operasionalnya yang dapat
menimbulkan kerugian karena bank kurang efisien dalam mengelola usahanya.

Rasio biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Mengingat kegiatan utama bank pada
prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara (intermediasi) yaitu menghimpun dan
menyalurkan dana (diantaranya dana masyarakat), maka biaya dan pendapatan
operasional bank didominasi oleh biaya untuk bagi hasil atau imbal hasil (Dendawijaya,
2009:119). Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dapat
dirumuskan sebagai berikut:

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
𝐵𝑂𝑃𝑂 = 𝑥 100% ……………..(2)
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙

Sumber: SEOJK 8/SEOJK.03/2018.

Menurut Rivai dan Arifin (2010:901-912) komponen dari rasio Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) meliputi:

1. Biaya Operasional
Terdiri atas semua biaya dalam rupiah dan valuta asing yang dikeluarkan atas
kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah, seperti beban bonus
titipan wadiah, beban transaksi valuta asing, biaya perbaikan aktiva ijarah,
24

premi (peminjaman dana dan asuransi), tenaga kerja (gaji dan upah, serta
honorarium), pelatihan, sewa, promosi, pajak, pemeliharaan, dan penyusutan.

2. Pendapatan Operasional
Terdiri atas semua pendapatan dalam rupiah dan valuta asing, yang merupakan
hasil langsung dari kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh Bank Syariah,
seperti pendapatan dari penyaluran dana (bagi hasil, margin, sewa, bonus
SWBI, dan bonus lainnya), pendapatan operasional lainnya (jasa investasi
terikat, jasa layanan, pendapatan transaksi valuta asing, koreksi PPAP, koreksi
penyisihan penghapusan Transaksi Rekening Administratif).

Menurut Kuncoro dan Suhardjono (2011:168), efisiensi bank berkaitan dengan


pengendalian biaya. Efisiensi operasional berarti biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan keuntungan lebih kecil dari pada keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan aktiva tersebut. Dengan adanya efisiensi pada lembaga perbankan
terutama efisiensi biaya maka akan diperoleh tingkat keuntungan yang optimal,
sehingga penambahan jumlah dana yang berdampak pada peningkatan efisiensi
dalam mengelola pengeluaran bank.

Ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013
tentang Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah, rasio Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) digunakan untuk mengukur efisiensi
kegiatan operasional Bank Syariah. Menurut Riyadi (2011:159), apabila nilai rasio
BOPO suatu bank menunjukkan angka di atas 90 % dan mendekati 100 %, ini
berarti bahwa kinerja bank tersebut menunjukkan tingkat efisiensi yang sangat
rendah. Tetapi jika rasio BOPO rendah, misalnya mendekati 75 % ini berarti kinerja
bank menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi.

Berikut kriteria penilaian peringkat BOPO atau REO berdasarkan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang Penilaian
Tingkat kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
25
26

Tabel 2.2.
Kriteria Penilaian Peringkat Rasio BOPO
Kriteria Ketentuan
Peringkat 1 BOPO ≤ 83 %
Peringkat 2 83 % < BOPO ≤ 85 %
Peringkat 3 85 % < BOPO ≤ 87 %
Peringkat 4 87 % < BOPO ≤ 89 %
Peringkat 5 BOPO > 89 %
Sumber: SEBI 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007.

2.1.7. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)


Modal yang dimiliki oleh suatu bank pada dasarnya harus cukup untuk menutupi
seluruh risiko usaha yang dihadapi oleh bank. Tingkat kecukupan modal bank
dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang disebut dengan rasio kecukupan modal
atau Capital Adequacy Ratio (CAR) (Arifin, 2005:138). CAR atau yang juga
disebut dengan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) adalah rasio
kecukupan modal dengan menunjukkan kemampuan bank saat mempertahankan
modal yang mencukupi serta kemapuan manajemen bank dalam mengidentifikasi,
mengukur, mengawasi, serta mengontrol risiko-risiko yang mungkin timbul karena
pengaruh dari kinerja suatu bank pada saat menghasilkan suatu keuntungan dan
menjaga besamya modal bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011:519).

Menurut Rivai dan Arifin (2010:785), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum


Bank (CAR) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur proporsi modal sendiri
dibandingkan dengan dana dari luar, di dalam pembiayaan kegiatan usaha
perbankan. Semakin besar rasio ini maka semakin baik posisi modal sebuah bank.
Kemampuan setiap bank dalam meningkatkan modal akan tercermin dari besarnya
CAR, hal ini merupakan salah satu ukuran tingkat kemampuan dan kesehatan bank,
yang akhirnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank.
Modal bank meliputi; modal disetor, cadangan umum, cadangan lainnya, sisa laba
tahun lalu, dan laba tahun berjalan.

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (CAR) memperlihatkan seberapa besar


jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung risiko, yang dibiayai dari modal
27

sendiri (Sutanto, 2013:364). Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada Aktiva


Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Yang dimaksud dengan aktiva dalam
perhitungan ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva
yang bersifat kontingen dan/atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga.
Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang
besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri
atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah, penjamin atau sifat barang
jaminan (Muhammad, 2014:145). Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐵𝑎𝑛𝑘
𝐾𝑃𝑀𝑀 = 𝑥 100% ………………. (3)
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑖𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝑅𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

Sumber: POJK No. 21/POJK.03/2014.

Semakin tinggi CAR menunjukkan bahwa bank syariah yang bersangkutan mampu
membiayai seluruh kegiatan operasionalnya dan siap untuk menyalurkan
pembiayaan kepada masyarakat. Sebaliknya semakin rendah CAR menunjukkan
bahwa bank syariah yang bersangkutan tidak mampu membiayai seluruh kegiatan
operasionalnya dan tidak siap untuk menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat
(Dendawijaya, 2009:121).

Kemudian dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014


tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah menjelaskan
bahwa untuk meningkatkan kualitas permodalan bank, komponen dan persyaratan
instrumen modal terdiri dari:

1. Modal inti (Tier 1)


a. Modal inti utama (Common Equity Tier 1), yang mencangkup instrumen
modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks) dan saldo
laba.
b. Modal inti tambahan (Additional Tier 1), berupa instrumen keuangan yang
bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat
non kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu.

2. Modal pelengkap (Tier 2)


28

a. Instrumen modal dalam bentuk saham atau lainnya yang memenuhi


syarat.
b. Agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang
tergolong sebagai modal pelengkap.
c. Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan
jumlah paling tinggi sebesar 1,25 % (satu koma dua puluh lima persen)
dari ATMR untuk risiko pembiayaan dan cadangan tujuan.

Selanjutnya kriteria peringkat profil risiko rasio KPMM menurut Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Umum Syariah, dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3.
Peringkat Profil Risiko Rasio KPMM
Profil Risiko Ketentuan
Peringkat 1 8 % dari ATMR
Peringkat 2 9 %-12 % dari ATMR
Peringkat 3 10 %-11 % dari ATMR
Peringkat 4 atau 5 11 %-14 % dari ATMR
Sumber: POJK No. 21/POJK.03/2014.

Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang


Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, bahwa standar
ketentuan rasio KPMM paling rendah sebesar 8 % dari ATMR sesuai dengan profil
risiko bank. Sedangkan ketentuan perhitungan ATMR diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.03/2018 tentang Perhitungan Aset
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk Risiko Kredit Bank Umum Syariah.

2.1.8. Financing to Deposit Ratio (FDR)


Financing to Deposit Ratio (FDR) mengambarkan seberapa jauh kemampuan bank
dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan
mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Dengan kata
lain, seberapa jauh dana pembiayaan kepada nasabah kredit dapat mengimbangi
kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang ingin menarik
kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan kredit.
29

Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan


likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan jumlah dana yang diperlukan
untuk pembiayaan menjadi semakin besar (Dendawijaya, 2009:116)

Menurut Rivai dan Arifin (2010:785), Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah
perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak
ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Rasio ini dipergunakan untuk mengukur
sampai sejauh mana dana pinjaman yang bersumber dari dana pihak ketiga. Tinggi
rendahnya rasio FDR menunjukkan tingkat likuiditas bank tersebut. Sehingga
semakin tinggi FDR suatu bank, menandakan bank yang kurang likuid
dibandingkan dengan bank yang mempunyai angka rasio lebih kecil.

Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah perbandingan antara pembiyaan yang


diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan oleh
pihak bank (Muhamad, 2016:193). Rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) dapat
dirumuskan sebagai berikut:

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
𝐹𝐷𝑅 = ……………………(4)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑎𝑛𝑎 𝑃𝑖ℎ𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝐷𝑃𝐾)

Sumber: SEOJK No. 8/SEOJK.03/2018.

2.1.9. Nilai Tukar (Kurs)


Nilai tukar dari suatu negara merupakan hal yang penting, dimana bersamaan
dengan harga-harga domestik, nilai tukar menentukan biaya dari produk suatu
negara bagi pembeli luar negeri dan akan mempengaruhi ekspor dari negara
tersebut, begitu juga dengan impor (Puspopranoto, 2004:214).

Nilai tukar (Kurs) merupakan perbandingan antara unit suatu mata uang dan
sejumlah mata uang lainnya dimana unit tersebut bisa ditukar (Ikatan bankir
Indonesia, 2013:81).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar yaitu (Karim,
2002:88) :
30

1) Faktor Fudamental

Faktor yang berkaitan dengan indikator ekonomi seperti inflasi, suku bunga,
perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi pasar, dan intervensi
Bank Sentral.

2) Faktor Teknis

Faktor yang berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada
saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap,
maka harga valas akan naik dan sebaliknya.

3) Sentimen Pasar

Sentimen pasar lebih banyak disebablan oleh rumor atau berita-berita politik
yang bersifat insidentil yang dapat mendorong harga valas naik atau turun
secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah
berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal

Menurut Kewal (2012) Nilai tukar atau disebut juga kurs valuta dalam berbagai
transaksi atupun jual beli valuta asing dikenal ada empat jenis, yaitu.

1) Selling rate (kurs jual), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu.

2) Middle rate (kurs tengah), yaitu kurs jual dan kurs beli valuta asing terhadap
mata uang nasional, yang ditetapkan oleh Bank Sentral pada suatu saat tertentu

3) Buying rate (kurs beli). yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu

4) Falt rate ( kurs flat), yaitu kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank notes
dan traveler chaque dimana dalam kurs tersebut telah diperhitungkan promosi dan
biaya lain-lain

Perkembangan nilai tukar sangat berpengaruh pada kegiatan ekonomi, dimana


ketika semakin tingginya jumlah mata uang lokal yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan 1 Dollar akan meningkatkan potensi semakin tingginya rasio NPF.
31

Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pelemahan kondisi ekonomi secara umum,
dan juga disebabkan oleh besarnya tingkat pinjaman yang ditanggung oleh debitur
yang bergerak di bidang bisnis perdagangan internasional maupun perusahaan yang
harus memasok bahan baku yang dibayar dengan Dollar. Beban perusahaan akan
menjadi semakin besar dan memperbesar peluang tingginya risiko gagal bayar
(NPL) atas pinjaman yang diperoleh dari bank (Usman, 2015:550).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan Nilai Tukar (Kurs) berdasarkan pada laporan Nilai Tukar (Kurs)
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).

2.1.10. Inflasi
Salah satu masalah dalam perekonomian yang selalu dihadapi setiap negara adalah
inflasi. Inflasi merupakan suatu gejala ekonomi yang menunjukkan naiknya tingkat
harga secara umum yang berkesinambungan. Syarat inflasi yaitu terjadi kenaikan
harga-harga secara umum dan terus-menerus. Jika hanya satu atau dua jenis barang
saja yang naik, itu bukan merupakan inflasi. Kenaikan harga yang bersifat
sementara, umpamanya kenaikan harga karena musiman, menjelang hari raya,
bencana, dan sebagainya, tidak disebut sebagai inflasi (Ali, 2016:186).

Buruknya masalah inflasi akan berbeda dari satu waktu ke waktu lainnya, dan
berbeda pula dari negara satu ke negara lainnya. Tingkat inflasi biasanya digunakan
sebagai ukuran bank menunjukkan sampai dimana buruknya permasalahan
ekonomi yang dihadapi suatu negara (Nur Rianto, 2010:84).

Ditinjau dari parah tidaknya suatu inflasi, Dwi Eko Waluyo (2007: 172)
mengelompokkan inflasi dalam suatu periode dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4.
Kategori Inflasi

Kategori Inflasi Besarnya Inflasi


Inflasi Ringan < 10 % pertahun
Inflasi Sedang 10 %-30 % pertahun
Inflasi Berat 30 %-100 % pertahun
Hyperinflation >100 % pertahun
Sumber: Buku Ekonomika Makro (2010:172)
32

Indikator makroekonomi yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi selama satu
periode tertentu, yaitu (M. Nur Rianto Al Arif, 2010:94) :

Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index), adalah angka indeks yang
menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu
periode tertentu. Angka IHK diperoleh dengan menghitung harga-harga barang dan
jasa utama yang dikonsumsi masyarakat dalam satu periode tertentu. Masing-
masing harga barang dan jasa tersebut diberi bobot (weighted) berdasarkan tingkat
keutamaannya. Barang dan jasa yang dianggap paling penting diberi bobot yang
paling besar. Di Indonesia, penghitungan IHK dilakukan dengan
mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas pokok. Untuk lebih
mencerminkan keadaan yang sebenarnya, penghitungan IHK dilakukan dengan
melihat perkembangan regional yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi
kota-kota besar terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia. Adapun rumus
perhitungan IHK adalah sebagai berikut:

(𝐼𝐻𝐾−𝐼𝐻𝐾−1 )
𝐼𝐻𝐾 = 𝑥 100% ………………. (5)
𝐼𝐻𝐾−1

Sumber : Badan Pusat Statistik

Dilihat dari cakupan komoditas yang dihitung IHK kurang mencerminkan tingkat
inflasi yang sebenarnya. Tetapi IHK sangat berguna karena menggambarkan
besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, sebab IHK memasukkan
komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan Inflasi berdasarkan pada laporan kuartalan yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia (BI).

2.1.11. Gross Domestic Product (GDP)


Berdasarkan laman resmi Badan Pusat Statistik (BPS), GDP adalah salah satu
indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu
periode, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan.

Gross Domestic Product (GDP) yaitu nilai barang dan jasa yang diproduksi di
dalam negara yang bersangkutan untuk kurun waktu tertentu. Interpretasi dari
33

pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa yang akan dihitung dalam kategori


GDP adalah produk atau output yang berupa barang dan jasa dalam suatu
perekonomian yang diproduksi oleh input atau faktor-faktor produksi yang dimiliki
oleh warga negara yang bersangkutan maupun oleh warga negara asing yang tinggal
secara geografis di negara itu (Erni dan Danang, 2012:16).

Dalam pengelompokan GDP ada dua kategori yaitu GDP nominal dan GDP riil.
Secara definitif yang dimaksud dengan GDP nominal adalah pengukuran nilai
output (barang dan jasa) yang dihasilkan suatu negara menurut harga yang berlaku
pada saat output tersebut diproduksi. Sedangkan GDP riil merupakan ukuran output
yang diproduksi pada kurun waktu tertentu menurut harga konstan pada tahun
tertentu (sebagai tahun dasar) dan seterusnya digunakan untuk penghitungan
pendapatan Nasional pada tahun berikutnya (Erni dan Danang, 2012:17).

Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung output barang dan
jasa perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Untuk tujuan
ini, para ekonom menggunakan GDP riil (real GDP), yang nilai barang dan jasanya
diukur dengan menggunakan harga konstan. Yaitu, GDP riil menunjukkan apa yang
terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak
(Mankiw, 2003:22).

Ada tiga macam pendekatan yang digunakan dalam perhitungan GDP menurut
Badan Pusat Statistika yaitu:

1. GDP Berdasarkan Pendekatan Pengeluaran


Cara paling mudah untuk memahami pendekatan pengeluaran pada GDP
adalah membagi pengeluaran agregat menjadi empat komponen: konsumsi,
investasi, pembelian pemerintah, dan ekspor neto.

Konsumsi, atau secara lebih spesifik pengeluaran konsumsi perorangan,


adalah pembelian barang dan jasa akhir oleh rumah tangga selama satu tahun.

Investasi, atau secara lebih spesifik investasi domestik swasta bruto, adalah
belanja pada barang kapital baru dan tambahan untuk persediaan. Secara lebih
34

umum, investasi meliputi belanja pada produksi saat ini yang tidak digunakan
untuk konsumsi saat ini.

Pembelian pemerintah, atau secara lebih spesifik konsumsi dan investasi


bruto pemerintah, mencakup belanja semua tingkat pemerintahan pada
barang dan jasa. Pembelian pemerintah dan juga GDP, tidak mencakup
pembayaran transfer, seperti Social Security, bantuan kesejahteraan, dan
asuransi pengangguran. Pembayaran tersebut mencerminkan bantuan
pemerintah kepada penerimanya dan tidak mencerminkan pembelian
pemerintah yang sebenarnya atau penghasilan penerima bantuan dalam
pengertian yang sebenarnya.

Ekspor neto sama dengan nilai ekspor barang dan jasa dikurangi impor
barang dan jasa. Ekspor neto tidak hanya meliputi nilai perdagangan barang
tetapi juga jasa (atau invisibels, seperti pariwisata, asuransi, akuntansi, dan
konsultasi).

Dalam pendekatan pengeluaran, pengeluaran agregat negara sama dengan


penjumlahan konsumsi (C), investasi (I), pembelian pemerintah (G), dan
ekspor neto, yaitu nilai ekspor (X), dikurangi dengan nilai impor (M), atau
(X-M). Penjumlahan komponen tersebut menghasilkan pengeluaran agregat,
atau GDP:

𝐺𝐷𝑃 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)

2. GDP Berdasarkan Pendekatan Pendapatan

Pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendapatan yang


diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya
digunakan dalam proses produksi). Jadi kita dapat mengatakan bahwa:

GDP = w + r + i + p

Keterangan:

Y = Pendapatan Nasional

r = Pendapatan dari upah, gaji, dsb


35

w = Pendapatan bersih dari sewa

i = Pendapatan dari bunga

p = Pendapatan dari keuntungan perusahaan/perorangan

Suatu produk jadi biasanya diproses oleh beberapa perusahaan dalam


perjalanannya menuju konsumen. Nilai tambah dari setiap perusahaan sama
dengan harga jual barang perusahaan tersebut dikurangi dengan jumlah yang
dibayarkan atas input dari perusahaan lain. Nilai tambah tiap tahap
mencerminkan pendapatan atas pemilik sumber daya pada tahap yang
bersangkutan. Penjumlahan nilai tambah pada semua tahap produksi sama
dengan nilai pasar barang akhir, dan penjumlahan nilai tambah seluruh barang
dan jasa akhir adalah sama dengan GDP berdasarkan pendekatan pendapatan

3. GDP Berdasarkan Pendekatan Produk Neto

Perhitungan produk neto dengan menjumlahkan nilai tambah yang


diwujudkan oleh perusahaan-perusahaan di berbagai lapangan usaha dalam
perekonomian. Nilai tambah adalah pertambahan nilai rupiah suatu barang
sebagai hasil dari kegiatan suatu perusahaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perhitungan GDP atas harga konstan berdasarkan pendekatan pengeluaran
pada laporan kuartalan yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

2.2. Landasan Syariah


Pada dasarnya setiap manusia dalam aktivitasnya baik yang bersifat duniawi
maupun ukhrawi tidak lepas daripada tujuan (maqosyid) dari apa yang akan ia
peroleh selepas aktivitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan sudut
pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia peroleh, maka
tidak jarang dan sangat tidak menutup kemungkinan proses untuk menuju pada
tujuan maqosyidnya pun berwarna warni.

Salah satu contoh aktivitas sosial ekonomi, banyak dari manusia sendiri yang
terjebak dalam hal, lebih mengedepankan pada pemenuhan hak pribadi dan
mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu maupun masyarakat
36

umum. Seperti halnya pemilik dana yang berlebih yang seharusnya bisa membantu
kepada pihak yang kekurangan dana untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup
dan hajatnya. Salah satu bentuk pertolongan dari pemilik dana berlebih (Shahibul
Mal) adalah meminjamkan dana yang dimilikinya untuk dipergunakan oleh
penerima manfaat tersebut. Sebagaimana terdapat firman Allah SWT dalam surat
Al-Maidah: 2

۟ ُ‫وا َعلَى ْٱل ِبرِّ َوٱل َّت ْق َو ٰى ۖ َو ََل َت َع َاو ُنو ۟ا َعلَى ْٱْل ْثم َو ْٱلع ُْد ٰ َو ِن ۚ َوٱ َّتق‬
َ َّ ‫وا‬
.... َّ‫ٱَّلل ۖ إِن‬ ۟ ‫َو َت َع َاو ُن‬
ِ ِ
َ َّ
‫ِٱَّلل َشدِي ُد ْٱل ِع َقاب‬

....Wa ta'āwanụ 'alal-birri wat-taqwā wa lā ta'āwanụ 'alal-iṡmi wal-'udwāni


wattaqullāh, innallāha syadīdul-'iqāb.

Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS.
Al-Maidah: 2).

Tentunya alasan memberikan pertolongan bagi pemilik dana berlebih kepada


seseorang yang kekurangan dana, harus adanya persetujuan yang dilandaskan atas
dasar suka sama suka dan kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk saling
menepati janji membayar, baik berupa janji lisan maupun tertulis (akad
pembiayaan) atau berupa instrumen pembiayaan. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah: 282

ٌ‫ْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى َفا ْك ُتبُوهُ ۚ َو ْل َي ْك ُتبْ َب ْي َن ُك ْم َكا ِتب‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
ٍ ‫ِين آ َم ُنوا إِ َذا َت َدا َي ْن ُت ْم ِبدَ ي‬
‫ِب ْال َع ْدل‬
ِ ۚ....
Yaa ai-yuhaal-ladziina aamanuu idzaa tadaayantum bidainin ila ajalin musamman
faaktubuuhu walyaktub bainakum kaatibun bil ‘adli....

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya…‟ (QS.
AlBaqarah: 282).

Kehidupan manusia tidak lepas dari norma, sehingga norma-norma yang


diberlakukan dapat memberikan solusi bagi masyarakat seperti halnya memberi
37

keadilan dan kejujuran dalam hal pencapaian manusia pada tujuan dari aktivitasnya
sehingga tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka. Adab atau norma
bagi orang yang diberikan pertolongan berupa pinjaman oleh orang lain, hendaknya
dikembalikan secepatnya ketika penerima mampu untuk mengembalikannya. Hal
ini diatur dalam hadist Rasulullah sebagai berikut.

“Rasulullah saw. bersabda: Menunda-nunda hutang bagi orang yang mempu


adalah zalim. Apabila salah seorang diantara kalian dipindahkan hutangnya
kepada orang lain, maka hendaklah ia menerima pemindahan tersebut.”(HR.
Bukhari dan Muslim).

2.3. Hubungan Antar Variabel


2.3.1. Pengaruh Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
terhadap Non Performing Financing (NPF)
Biaya yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas bank syariah biasanya berbentuk
arus keluar atau berkurangnya aset seperti kas atau setara kas, persediaan dan aset
tetap. Biaya operasional merupakan beban yang biasa timbul dalam aktivitas entitas
syariah terkait kegiatan operasional bank. Ketika biaya operasional yang
dikeluarkan semakin besar, maka biaya yang digunakan sebagai pembentukan
pencadangan untuk mengantisipasi kerugian akibat tidak kembalinya dana yang
disalurkan melalui pembiayaan akan semakin berkurang dan tidak dapat menutup
risiko atas penyaluran pembiayaan (IBI, 2018:283).

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) digunakan untuk


mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola kegiatan operasional.
Artinya semakin baik rasio BOPO menunjukkan bahwa semakin baik tingkat
efisiensi pengelolaan biaya operasional yang dijalankan oleh bank, sehingga dapat
memaksimalkan tingkat pendapatan. Peningkatan pendapatan ini mencerminkan
semakin baiknya kualitas pembiayaan, sehingga menyebabkan penurunan
pembiayaan bermasalah (Riyadi, 2011:159).

Pandangan di atas dikuatkan dengan hasil penelitian Auliani dan Syaichu (2016),
Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), serta Supriani dan Sudarsono (2018) yang
38

menyatakan bahwa Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)


berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat


dirumuskan hipotesis 2 sebagai berikut:

H2: Diduga Biaya Operasional terhadap Pendapat Operasional (BOPO)


secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.

Penjelasan dari hipotesis 2 dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.
Hubungan BOPO dengan NPF

BOPO H2 NPF

Sumber: Dendawijaya (2009), IBI (2018), Auliani dan Syaichu (2016), Lidyah
(2016), Effendi, et al., (2017), dan Supriani dan Sudarsono (2018).

2.3.2. Pengaruh Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) terhadap


Non Performing Financing (NPF)
Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), menunjukkan
kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha
serta menampung kemungkinan risiko kerugian, salah satunya risiko pembiayaan
(Muhamad, 2016:194). Penetapan kewajiban modal minimum Bank Syariah,
dilakukan untuk pengawasan sehingga besarnya modal yang dimiliki bank dapat
menutup risiko kerugian akibat tidak dapat memperoleh kembali tagihan atas
pinjaman yang diberikan (Rustam, 2018:365).

Semakin tinggi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), maka semakin


besar sumber daya finansial yang dapat digunakan sebagai keperluan
pengambangan usaha serta mengantisipasi potensi kerugian akibat penyaluran
pembiayaan. Sehingga semakin besar rasio Kewajiban Penyediaan Modal
39

Minimum (KPMM) berpengaruh pada penurunan pembiayaan bermasalah dan


rasio Non Performing Financing (NPF) (Fahmi, 2015:301).

Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar
(2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019)
menyatakan bahwa Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 3 sebagai berikut:

H3: Diduga Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) secara parsial


berpengaruh signifikan terhadap NPF.

Penjelasan hipotesis 3 dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2.
Hubungan KPMM dengan NPF

KPMM H3 NPF

Sumber: Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari,
et al., (2019).

2.3.3. Pengaruh Financing to Deposit Ratio (FDR) terhadap Non Performing


Financing (NPF)
Menurut Rivai dan Arifin (2010:785), Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah
perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak
ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank. Rasio ini dipergunakan untuk mengukur
sampai sejauh mana dana pinjaman yang bersumber dari dana pihak ketiga. Tinggi
rendahnya rasio FDR menunjukkan tingkat likuiditas bank tersebut. Sehingga
semakin tinggi FDR suatu bank, menandakan bank yang kurang likuid
dibandingkan dengan bank yang mempunyai angka rasio lebih kecil.
40

Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vanni dan
Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018), Supriani dan Sudarsono (2018),
dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio
(FDR) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 4 sebagai berikut:

H4: Diduga Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial berpengaruh


signifikan terhadap NPF.

Penjelasan hipotesis 4 dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.
Hubungan Financing to Deposit Ratio (FDR) dengan NPF

FDR H4 NPF

Sumber: Vanni dan Rokhman (2017), Nihayah dan Walyoto (2018), Supriani
dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019)

2.3.4. Pengaruh Nilai Tukar (Kurs) terhadap Non Performing Financing (NPF)
Nilai tukar (Kurs) merupakan perbandingan antara unit suatu mata uang dan
sejumlah mata uang lainnya dimana unit tersebut bisa ditukar (Ikatan bankir
Indonesia, 2013:81).

Perkembangan nilai tukar sangat berpengaruh pada kegiatan ekonomi, dimana


ketika semakin tingginya jumlah mata uang lokal yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan 1 Dollar akan meningkatkan potensi semakin tingginya rasio NPF.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari pelemahan kondisi ekonomi secara umum,
dan juga disebabkan oleh besarnya tingkat pinjaman yang ditanggung oleh debitur
yang bergerak di bidang bisnis perdagangan internasional maupun perusahaan yang
harus memasok bahan baku yang dibayar dengan Dollar. Beban perusahaan akan
menjadi semakin besar dan memperbesar peluang tingginya risiko gagal bayar
(NPL) atas pinjaman yang diperoleh dari bank (Usman, 2015:550).
41

Selain itu menurut Sadono Sukirno, semakin tinggi kurs, semakin tinggi NPF
karena kurs sangat penting dalam transaksi internasional hal ini berkaitan dengan
sektor ekspor. Jika kurs tinggi, nilai rupiah juga tinggi sehingga semakin banyak
nilai rupiah yang dikeluarkan masyarakat dan mengurangi upaya mereka dalam
melunasi hutangnya. Karena adanya kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar
yang tinggi akan mengakibatkan nilai rupiah menurun dalam arti semakin banyak
rupiah yang akan dikeluarkan untuk suatu transaksi, hal tersebut akan berdampak
secara langsung terhadap masyarakat. Bagi mereka yang telah mempunyai
angsuran pembiayaan pada bank syariah, akan cenderung tidak memenuhi
kewajibannya. Hal itu yang akan menyebabkan tingginya tingkat NPF (Sukirno,
2002: 358).

Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika
(2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan Vanni, K. M., & Rokhman,
W. (2018) menyatakan bahwa Nilai Tukar (Kurs) berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF).

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 5 sebagai berikut:

H5: Diduga Nilai Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
NPF.

Penjelasan hipotesis 5 dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4.
Hubungan Nilai Tukar (Kurs) dengan NPF

Kurs H5 NPF

Sumber: Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan
Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018).

2.3.5. Pengaruh Inflasi terhadap Non Performing Financing (NPF)


Inflasi merupakan suatu gejala ekonomi yang menunjukkan naiknya tingkat harga
secara umum yang berkesinambungan. Syarat inflasi yaitu terjadi kenaikan harga-
42

harga secara umum dan terus-menerus. Jika hanya satu atau dua jenis barang saja
yang naik, itu bukan merupakan inflasi. Kenaikan harga yang bersifat sementara,
umpamanya kenaikan harga karena musiman, menjelang hari raya, bencana, dan
sebagainya, tidak disebut sebagai inflasi (Ali, 2016:186).

Pengaruh perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan
menyebabkan menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup
masyarakat juga turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk
membayar angsuran pembiayaannya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga
mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut
tidak mengalami peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar
angsurannya menjadi melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh
penghasilannya sudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
sebagai akibat dari harga-harga yang meningkat (Mutamimah dan Chasanah, 2012:
52).

Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Havids dan
Setiawan (2016), Rajha (2016), Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018) dan Supriani
dan Sudarsono (2018) menyatakan bahwa Inflasi berpengaruh signifikan terhadap
Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 6 sebagai berikut:

H6: Diduga Inflasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.


Penjelasan hipotesis 6 dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5.
Hubungan Inflasi dengan NPF

Inflasi H6 NPF

Sumber: Havids dan Setiawan (2016), Rajha (2016), Vanni, K. M., &
Rokhman, W. (2018) dan Supriani dan Sudarsono (2018).
43

2.3.6. Pengaruh Gross Domestic Product (GDP) terhadap Non Performing


Financing (NPF)
Penurunan kualitas pembiayaan dapat disebabkan kondisi perekonomian. Aspek
makroekonomi diperlukan untuk memberikan gambaran bahwa lingkungan
eksternal memberikan pengaruh pada bisnis debitur. Saat kondisi ekonomi lemah,
maka tingkat daya beli masyarakat akan cenderung menurun sehingga laba bisnis
semakin menurun. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan pembayaran angsuran
nasabah pembiayaan. Ketidaktepatan pembayaran angsuran menimbulkan kualitas
pembiayaan semakin buruk bahkan terjadi pembiayaan macet (IBI, 2018:116).

Selain itu, kelancaran pelunasan pembiayaan dipengaruhi tingkat pendapatan


masyarakat yang dicerminkan oleh GDP. Semakin tinggi tingkat pendapatan
masyarakat, maka kemungkinan terjadi pembiayaan macet akan kecil. Ketika
perekonomian negara dilanda krisis akan menyebabkan turunnya tingkat penjualan dan
mengurangi besar penghasilan perusahaan yang disebabkan turunnya daya beli,
sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajiban membayar
utang-utangnya dan memicu pembiayaan macet (Antonio, 2018:179).

Pandangan tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar
(2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa
Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF).

Berdasarkan landasan teoritis dan hasil-hasil empiris di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis 7 sebagai berikut:

H7: Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap NPF.

Penjelasan hipotesis 7 dapat dilihat pada Gambar 2.6.


44

Gambar 2.6.
Hubungan Gross Domestic Product (GDP) dengan NPF

GDP H7 NPF

Sumber: Antonio (2018), Akbar (2016), Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017).

2.4. Ringkasan Penelitian Terdahulu


Tabel 2.5.
Ringkasan Penelitian Terdahulu
MODEL
NO PENELITI VARIABEL HASIL PENELITIAN
ANALISIS
1. Auliani dan Y: NPF. Analisis Regresi
Syaichu (2016) Linier Berganda. 1. BOPO dan SBIS
berpengaruh positif dan
X1: BOPO. signifikan terhadap NPF.
Diponegoro X2: CAR. 2. CAR dan Inflasi
Journal of X3: FDR. berpengaruh negatif dan
Management Vol. X4: SBIS. signifikan terhadap NPF.
5, No. 3. X5: Inflasi. 3. FDR dan Kurs
X6: Kurs. berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
NPF.
2. Lidyah (2016) Y: NPF. Analisis Regresi
Linier Berganda. 1. BI Rate dan BOPO
berpengaruh positif dan
X1: BI Rate. signifikan terhadap NPF.
I-Finance Vol. 2, X2: CAR. 2. CAR berpengaruh
No. 1. X3: BOPO. negatif dan signifikan
X4: Inflasi. terhadap NPF.
3. Inflasi berpengaruh
tidak signifikan terhadap
NPF.
3. Effendi, et al., Y: NPF. Analisis Regresi
(2017) Linier Berganda. 1. GDP dan BOPO
berpengaruh positif dan
X1: ROA. signifikan terhadap NPF.
X2: CAR. 2. CAR, ROA, SIZE, RR,
Jurnal Penelitian X3: GDP. dan Inflasi berpengaruh
Sosial Keagamaan X4: BOPO. negatif dan signifikan
Walisongo Vol. X5: NOM. terhadap NPF.
25, No. 1. X6: SIZE. 3. NOM berpengaruh
X7: RR. positif dan tidak signifikan
X8: Inflasi. terhadap NPF.
Bersambung…
45

Lanjutan (1)
4. Supriani dan Y: NPF. Analisis Regresi
Sudarsono (2018) Linier Berganda. 1. CAR, FDR, dan BOPO
berpengaruh positif dan
X1: CAR. signifikan terhadap NPF.
X2: FDR. 2. ROA, BI Rate, dan
Equilibrium X3: BOPO. Inflasi berpengaruh positif
(Jurnal Ekonomi X4: ROA. dan tidak signifikan
Syariah) Vol. 6, X5: BI Rate. terhadap NPF.
No. 1. X6: Inflasi.
5. Akbar (2016) Y: NPF. Analisis Regresi
Linier Berganda. 1. BOPO dan SBIS
berpengaruh positif dan
X1: BOPO. signifikan terhadap NPF.
I-Economic Vol. X2: CAR. 2. CAR dan Inflasi
2, No. 2. X3: FDR. berpengaruh negatif dan
X4: SBIS. signifikan terhadap NPF.
X5: Inflasi. 3. FDR dan Kurs
X6: Kurs. berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
NPF.

6. Destiana (2018) Y: NPF. Analisis Regresi


Linier Berganda. 1. FDR berpengaruh positif
dan tidak signifikan
X1: FDR. terhadap NPF.
JRKA Vol. 4, No. X2: CAR. 2. BOPO dan Inflasi
1. X3: BOPO. berpengaruh negatif dan
tidak signifikan terhadap
NPF.
3. CAR berpengaruh
negatif dan signifikan
terhadap NPF.

7. Wulandari, et al., Y: NPF. Analisis Regresi


(2019) Linier Data Panel. 1. CAR dan FDR
berpengaruh negatif dan
X1: CAR. signifikan terhadap NPF.
X2: FDR. 2. SBIS berpengaruh
KnE Sciences, X3: SBIS. negatif dan tidak signifikan
pages: 453-468 terhadap NPF.
8. Fajar Artika Resti Y: pembiayaan Error Correction 1. Nilai Tukar tukar,
(2019) bermasalah Model (ECM)
Inflasi, IPI dan SBIS
sektor Industri
Program Studi Manufaktur tidak signifikan dalam
Ekonomi
jangka pendek
Pembangunan,
Fakultas
46

terhadap pembiayaan
bermasalah sektor

Bersambung…
Lanjutan (2)
Ekonomi Dan X1: Nilai 2. industri manufaktur di
Bisnis, Tukar.
Indonesia.
Universitas X2: Inflasi.
Muhammadiyah X3: IPI. 3. jangka panjang inflasi,
Surakarta X4: SBIS.
IPI dan SBIS yang
digunakan di dalam
penelitian terbukti
secara statistik
berpengaruh
signifikan terhadap
pembiayaan
bermasalah sektor
Industri Manufaktur d

9. Muhammad Iqbal Y: Non regresi data panel FDR tidak berpengaruh


Ali (2018) Performing dengan metode signifikan terhadap NPF,
Financing Fixed Effect CAR berpengaruh negatif
Model (FEM). signifikan terhadap NPF,
Kementerian X1: FDR, dan SBIS berpengaruh
Riset, Teknologi X2: CAR, positif signifikan terhadap
Dan Pendidikan X3: SBIS NPF. Dari ketiga variabel
Tinggi tersebut, variabel yang
Universitas berpengaruh dominan
Sriwijaya terhadap NPF adalah
Fakultas SBIS.
Ekonomi
10. Vanni, K. M., & Y: Non regresi linier 1. FDR berpengaruh
Rokhman, W. Performing berganda
negatif dan signifikan
(2018). Financing
(NPF) terhadap Non
EQUILIBRIUM:
Performing Financing
Jurnal Ekonomi
Syariah, Volume X1: FDR (NPF),
5, Nomor 2, X2: Kurs,
2. Kurs berpengaruh
2017, 306 - 319 X3: Inflasi
positif dan signifikan
47

terhadap Non
Performing Financing
(NPF),
3. Inflasi berpengaruh
positif dan tidak
signifikan terhadap
Non Performing
Financing (NPF),
4. serta Financing to
Deposit Ratio (FDR),
Kurs, dan Inflasi secara
bersama-sama
berpengaruh signifikan
terhadap Non
Bersambung…
Performing Financing
(NPF)

Lanjutan (3)

11. Havidz dan Y: NPF Analisis Regresi


Setiawan (2015) Linier Data Panel. 1. GDP berpengaruh
X1: GDP. positif dan tidak signifikan
X2: ROA. terhadap NPF.
X3: FDR. 2. ROA, SIZE, dan BOPO
Asian Journal of X4: CAR. berpengaruh negatif dan
Economic X5: SIZE. signifikan terhadap NPF.
Modelling Vol. 3, X6: Inflasi. 3. FDR dan CAR
No. 3. X7: BOPO. berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
NPF.
4. Inflasi berpengaruh
positif dan tidak signifikan
terhadap NPF.

12. Rajha (2016) Y: NPF. Analisis Regresi


Linier Berganda. 1. GDP dan BOPO
berpengaruh positif dan
Journal of signifikan terhadap NPF.
Finance and Bank X1: ROA. 2. CAR, ROA, SIZE, RR,
Management X2: CAR. dan Inflasi berpengaruh
Vol. 4, No. 1. X3: GDP.
48

X4: BOPO. negatif dan signifikan


X5: NOM. terhadap NPF.
X6: SIZE. 3. NOM berpengaruh
X7: RR. positif dan tidak signifikan
X8: Inflasi. terhadap NPF

13. Kusmayadi, et al., Y: NPF. Analisis Regresi


(2017) Linier Berganda. 1. GDP berpengaruh
negatif dan signifikan
X1: GDP. terhadap NPF.
X2: Inflasi. 2. Inflasi dan SBIS
Iqtishadina (Jurnal X3: SBIS. berpengaruh negatif dan
Kajian Ekonomi signifikan terhadap NPF.
dan Bisnis Islam)
Vol. 10, No. 2.
Sumber: Auliani dan Syaichu (2016), Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), Supriani dan Sudarsono
(2018), Akbar (2016), Destiana (2018), Wulandari, et al., (2019), Fajar Artika Resti (2019),
Muhammad Iqbal Ali (2018), Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018), Havidz dan Setiawan
(2015), Rajha (2016), dan Kusmayadi, et al., (2017).

2.5. Kerangka Pemikiran Teoritis


Berdasarkan tinjauan pustaka dan penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan,
maka dikembangkan model pemikiran teoritis yang mendasari penelitian ini. Penelitian
ini menganalisis signifikansi pengaruh Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS), Nilai Tukar (Kurs), Inflas dan Gross Domestic Product
(GDP) terhadap Non Performing Financing (NPF). Berikut model penelitian yang
dikembangkan dalam penelitian ini ditujukkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7.
Kerangka Pemikiran Teoritis

BOPO
(X1)

KPMM H2
(X2)
H3

NPF
FDR H4
(X3) (Y)

H5
Nilai Tukar (Kurs)
(X4)
49

Sumber: Auliani dan Syaichu (2016), Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), Supriani dan
Sudarsono (2018), Akbar (2016), Destiana (2018), Wulandari, et al., (2019), Fajar
Artika Resti (2019), Muhammad Iqbal Ali (2018), Vanni, K. M., & Rokhman, W.
(2018), Havidz dan Setiawan (2015), Rajha (2016), dan Kusmayadi, et al., (2017).

2.6. Hipotesis Penelitian

H1: Diduga Biaya Operasional terhadap Pendapat Operasional (BOPO), Kewajiban


Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi, Gross Domestic Product (GDP) secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap NPF.

H2: Diduga BOPO secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.

H3: Diduga KPMM secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.

H4: Diduga FDR secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.


H5: Diduga Nilai Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.

H6: Diduga Inflasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap NPF.

H7: Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap NPF.
50
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian merupakan sebuah proses investigasi ilmiah terhadap sebuah masalah
yang dilakukan secara teroganisir, sistematik, berdasarkan data yang terpercaya,
bersifat kritikal dan objektif yang bertujuan untuk menemukan jawaban atau
pemecahan atas suatu masalah yang diteliti (Ferdinand, 2014:1).

Penelitian terapan dilakukan dengan tujuan bukan untuk memberikan sebuah


kontribusi baru pada ilmu, melainkan untuk memecahkan sebuah masalah yang saat
ini dihadapi oleh manajemen atau organisasi perusahaan tertentu. Selain itu,
penelitian terapan juga harus dilakukan melalui sebuah proses yang terorganisasi
dan sistemik yang mana masalah diidentifikasi dengan baik dan benar, data
dikumpulkan dan dianalisis secara ilmiah serta kesimpulan ditarik secara obyektif
untuk pengambilan keputusan yang efektif (Ferdinand, 2014:5-6).

Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas, yang mencari penjelasan dalam


bentuk hubungan sebab akibat (cause effect) antar beberapa konsep atau beberapa
variabel atau beberapa strategi yang dikembangkan dalam manajemen. Penelitian
ini diarahkan untuk menggambarkan adanya hubungan sebab akibat antara
beberapa situasi yang digambarkan dalam variabel, dan atas dasar tersebut dapat
ditarik sebuah kesimpulan umum (Ferdinand, 2014:7).

Dalam penelitian ini akan diuji apakah variabel Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum (KPMM),
Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic
Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah di Indonesia.

3.2. Jenis dan Sumber


Data Pembagian jenis dan sumber data menurut Kuncoro (2013:145-148) sebagai
berikut:

51
52

1. Data menurut sumbernya


a. Data primer adalah data yang diperoleh dengan survei lapangan yang
menggunakan semua metode pengumpulan data orisinal.
b. Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang atau instansi di luar dari peneliti sendiri.
2. Data menurut sifatnya
a. Data kualitatif adalah data yang tidak diukur dalam suatu skala numerik
(angka), yang dapat dibedakan menjadi data nominal dan ordinal.
b. Data kuantitatif adalah data yang diperoleh dari sampel atau populasi yang
berupa angka, yang dapat dibedakan menjadi data interval dan rasio.
3. Data menurut dimensi waktu
a. Data runtut waktu (time series) adalah data yang secara kronologis disusun
menurut waktu pada suatu variabel tertentu. Data digunakan untuk melihat
pengaruh perubahan dalam rentang waktu tertentu.
b. Data silang tempat (cross section) adalah data yang dikumpulkan pada
suatu titik. Data digunakan untuk mengamati responden dalam satu
periode.
c. Data panel (pooling) adalah kombinasi antara data runtut waktu (time
series) dengan silang tempat (cross section). Berdasarkan penjelasan di
atas, data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya
adalah data sekunder, yang diperoleh dari laporan publikasi triwulan Bank
Umum Syariah, Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Data berdasarkan sifatnya adalah data kuantitatif dengan skala rasio dari NPF,
Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minumum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR),
Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP). Kemudian
berdasarkan waktu pengambilannya, penelitian ini menggunakan data panel,
yaitu gabungan data time series dan cross section.

3.3. Metode Pengumpulan


Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
dokumenter. Studi dokumenter merupakan metode pengumpulan data di mana data
53

dikumpulkan dari hasil studi sebelumnya yang didokumentasi dalam bentuk


laporan, jurnal, dan lainnya (Sulistyorini, 2017:58). Data dalam penelitian ini
diperoleh dari laporan keuangan triwulan yang dipublikasi oleh Bank Umum
Syariah serta laporan publikasi kuartalan dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat
Statistik (BPS) periode 2016-2020.

3.4. Populasi dan Sampel


3.4.1. Populasi
Menurut Sulistyorini (2017:62), populasi merupakan keseluruhan objek penelitian
yang ingin diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bank Umum
Syariah di Indonesia. Adapun jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia yang
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember tahun 2020 sebanyak
14 (empat belas) Bank Umum Syariah terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.
Daftar Bank Umum Syariah di Indonesia
No Nama Bank Umum Syariah
1. PT. Bank Muamalat Indonesia.
2. PT. Bank BRI Syariah.
3. PT. Bank Syariah Mandiri.
4. PT. Bank Mega Syariah Indonesia.
5. PT. Bank Syariah Bukopin.
6. PT. BCA Syariah.
7. PT. Bank Panin Dubai Syariah.
8. PT. Maybank Syariah Indonesia.
9. PT. BPD Jawa Barat Banten Syariah.
10. PT. Bank BNI Syariah.
11. PT. Bank Victoria Syariah.
12. PT. Bank Tabungan Pensiunan Nasioanal Syariah.
13. PT. Bank Aceh Syariah.
14. PT. BPD Nusa Tenggara Barat.
Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Desember 2020.

3.4.2. Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2016:81). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan Purposive Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan
54

pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2016:85). Adapun kriteria pengambilan sampel


dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bank Umum Syariah yang terdaftar sebagai Bank Devisa pada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) per Desember 2020 dan telah berdiri minimal 5 (lima) tahun.
2. Bank Umum Syariah yang berturut-turut mempublikasikan laporan keuangan
triwulan selama 5 tahun, pada periode 2016 sampai dengan 2020.
3. Bank Umum Syariah yang dapat memberikan informasi lengkap mengenai data
yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi; NPF, Biaya Operasional atas
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum
(KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR).

3.5. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel


3.5.1. Identifikasi Variabel
Penelitian ini disusun untuk menganalisis signifikansi pengaruh variabel
independen yang terdiri dari; Biaya Operasional atas Pendapatan Operasional
(BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum (KPMM), Financing to Deposit
Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP)
terhadap variabel dependen Non Performing Financing (NPF). Hubungan variabel
independen dengan variabel dependen adalah kenaikan dan penurunan variabel
dependen dipengaruhi oleh pergerakan variabel independen.

3.5.2. Definisi Operasional Variabel


Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen (Y); Non Performing
Financing (NPF) dan variabel independen (X); Biaya Operasional atas Pendapatan
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minumum (KPMM),
Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic
Product (GDP). Adapun definisi operasional dari setiap variabel dapat dilihat pada
Tabel 3.2.
55

Tabel 3.2.
Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Skala Metode Pengukuran
Operasional
1 Non Rasio Rasio 𝑁𝑃𝐹
Performing perbandingan 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛 𝐵𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ
=
Financing antara jumlah 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
(NPF) pembiayaan 𝑥 100%
bermasalah
(kurang lancar,
diragukan, dan
macet) dengan
total
pembiayaan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2018 tentang Rencana
Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Biaya Rasio Rasio 𝐵𝑂𝑃𝑂
Operasional perbandingan 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
=
terhadap antara biaya 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜𝑛𝑎𝑙
Pendapatan operasional 𝑥 100%
Operasional dengan
(BOPO) pendapatan
operasional.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2018 tentang Rencana
Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
3. Kewajiban Rasio Rasio 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
𝐾𝑃𝑀𝑀 = 𝑥 100%
Penyediaan perbandingan 𝐴𝑇𝑀𝑅
Modal antara modal
Minimum yang dimiliki
(KPMM) bank dengan
jumlah aktiva
tertimbang
menurut risiko
(ATMR).
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah.

Bersambung…
56
57

Tabel 3.2. (Lanjutan 1)


4. Financing Rasio Rasio 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎𝑎𝑛
𝐹𝐷𝑅 = 𝑥 100%
to Deposit perbandingan 𝐷𝑃𝐾
Ratio (FDR) antara
pembiayaan
yang diberikan
dengan dana
pihak ketiga
(DPK).
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8/POJK.03/2018 tentang Rencana
Bisnis Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
5. Nilai Tukar Nilai tukar Rupiah Kurs Rupiah Indonesia (Rp.)
(Kurs) (Kurs) terhadap Dollar Amerika (USD).
merupakan
perbandingan
antara unit suatu
mata uang dan
sejumlah mata
uang lainnya
dimana unit
tersebut bisa
ditukar (IBI,
2013:81).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Nilai Tukar (Kurs)
berdasarkan pada laporan Nilai Tukar (Kurs) yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia (BI).
6. Inflasi Dikutip dari Rasio Menurut Bank Indonesia
laman (www.bi.go.id), indikator yang
resmi Bank sering digunakan untuk mengukur
Indonesia (BI),
tingkat inflasi adalah Indeks Harga
inflasi secara
sederhana Konsumen (IHK)
diartikan
sebagai (𝐼𝐻𝐾 − 𝐼𝐻𝐾−1 )
𝐼𝐻𝐾 = 𝑥 100%
kenaikan harga 𝐼𝐻𝐾−1
secara umum
dan terus
menerus dalam
jangka waktu
tertentu.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Inflasi berdasarkan
pada laporan Inflasi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI).
58

Bersambung…
59

Tabel 3.2. (Lanjutan 2)


7. Gross Menjumlahkan Rasio
Domestic nilai
Product pengeluaran atas 𝐺𝐷𝑃 = 𝐶 + 𝐼 + 𝐺 + (𝑋 − 𝑀)
barang dan jasa Dan
(GDP)
yang dihasilkan
dalam
perekonomian
kepada 4
(empat)
komponen,
meliputi;
konsumsi rumah
tangga (C),
pengeluaran
pemerintah (G),
investasi (I), dan
ekspor dikurangi
impor (x-m)
(www.bps.go.id)
.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan Inflasi berdasarkan
pada laporan Inflasi yang diterbitkan oleh Badan Pusar Statistik (BPS).
Sumber: www.ojk.go.id; www.bi.go.id dan www.bps.go.id.

3.6. Pengujian Data


3.6.1. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2018:161-167), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Dalam uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal.
Apabila asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah
sampel kecil. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal
atau tidak yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik.

1. Analisis Grafik
Dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi
dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Pada prinsip normalitas
dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari
grafik atau melihat histogram dari residualnya. Pada grafik histogram
berdistribusi normal jika pola pada grafik membentuk satu garis lurus diagonal,
60

dan ploting data mengikuti arah garis diagonal, sedangkan grafik normal plot
berdistribusi normal jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti
arah garis diagonal, maka menunjukkan pola distribusi normal dan model regresi
memenuhi asumsi normalitas.
2. Analisis Statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat uji Non-Parametrik
Kolmogrov-Smirnov (K-S). Uji statistik Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov
(K-S) residual berdistribusi normal jika memiliki nilai signifikan > 0,05.

3.6.2. Uji Asumsi Klasik


Uji asumsi klasik bertujuan untuk memberikan kepasian bahwa model regresi linier
berganda yang diestimasikan memiliki ketepatan dalam estimasi tidak bias dan
konsisten. Uji asumsi klasik yang digunakan untuk melihat apakah model regresi
linier berganda hasil estimasi merupakan model yang memenuhi persyaratan BLUE
(Best Linear Unbias Estimator) atau model regresi linier berganda yang terbaik dan
tidak bias (Sulistyorini, 2017:88). Maka tujuan tersebut harus dilakukan dengan
melakukan pengujian terhadap 3 (tiga) uji asumsi klasik sebagai berikut:

3.6.3. Uji Multikolonearitas


Menurut Ghozali (2018:107-109), uji multikolonearitas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen.
Jika variabel independen saling berkorelasi, maka variabel tersebut tidak ortogonal.
Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama
variabel independen sama dengan 0 (nol).

Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolonearitas pada model regresi adalah
Nilai Tolerance dan lawanya Variance Inflation Factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel
independen lainya. Tolerance mengukur variabilitas variabel independen yang
terpilih dan tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jika nilai Tolerance
lebih besar dari 0,10 atau sama dengan VIF lebih kecil dari 10 maka dapat
disimpulkan data terbebas dari gejala multikolonearitas.
61

3.6.4. Uji Autokorelasi


Menurut Ghozali (2018:111), uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah
model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t
dengan kesalahan periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan
ada problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang beruntun
sepanjang waktu berkaitan satu sama lain di mana residual (kesalahan penganggu)
tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya.

Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Dalam
penelitian ini untuk mendeteksi ada atau tidaknya masalah autokorelasi adalah
sebagai berikut:

1. Uji Durbin-Waston (DW Test)


Uji Durbin-Waston hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first
order auticorrelatio) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam
model regresi dan tidak ada variabel lag antara variabel independen (Ghozali,
2018:112). Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi dapat dilihat
pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3.
Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi
Hipotesis Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif No decision dl ≤ d ≤ du
Tidak ada korelasi negatif Tolak 4 – dl < d < 4
Tidak ada korelasi negatif No decision 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl
Tidak ada autokorelasi, Tidak ditolak du < d < 4 – du
positif atau negatif
Sumber: Ghozali (2018:112).

2. Uji Run Test


Run Test digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat korelasi yang
tinggi. Jika antar residual tidak terdapat hubungan korelasi maka dikatakan
bahwa residual adalah acak atau random. Run Test digunakan untuk melihat
apakah data residual terjadi secara random atau tidak sistematis, dengan nilai
signifikansi > 0,05 maka tidak terdapat autokorelasi (Ghozali, 2018:121).
62

3.6.5. Uji Heteroskedastisitas


Menurut Ghozali (2018:137), uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan
ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas, dan jika berbeda
disebut heteroskedastisitas. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas yaitu:

1. Grafik Scatterplot
Grafik Plot antara nilai prediksi variabel terikat (dependen) yaitu ZPRED
dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot
antara SRESID dan ZPRED di mana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi,
dan sumbu X adalah residual (Y prediksi-Y sesungguhnya) yang telah
distudentized. Dengan dasar analisis sebagai berikut:
a. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu
yang teratur (bergelombang, melebar dan kemudian menyempit), maka
mengindikasi telah terjadi heteroskedastisitas.
b. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah
angka 0 (nol) pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
2. Uji Park
Apabila koefisien parameter beta dari persamaan regresi tersebut signifikan
secara statistik (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa dalam data model empiris
yang diestimasi terdapat heteroskedastisitas, dan sebaliknya jika parameter beta
tidak signifikan secara statistik maka asumsi homokedastisitas pada data model
tidak dapat ditolak (Ghozali: 2018:142).
3. Uji Glejser
Uji Glejser dengan cara membandingkan nilai absolute residual (resabs) dengan
variabel independen (bebas) lainya. Data terbebas dari masalah
heteroskedastisitas jika nilai signifikansi antara variabel independen dengan nilai
absolute residual lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan data terbebas dari
masalah heteroskedastisitas (Ghozali: 2018:143-144).
63

3.7. Model Analisis Regresi Linier Berganda


Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda
dengan alat bantu SPSS 24.00, analisis regresi digunakan untuk menguji
kemampuan memprediksi atau pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Kemampuan memprediksi ini ditunjukkan dari nilai koefisien untuk
masing-masing variabel independen (Sulistyorini, 2017:80-84). Persamaan regresi
juga disebut sebagai model regresi berganda, sebagai berikut:

(5)….. Y = α + b₁ x₁ + b₂ x₂ + b₃ x₃ + b₄ x₄ + b5x5 + b6x6 +

b7x7+ e

Keterangan:
Y = Non Performing Financing (NPF).
X₁ = Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
X₂ = Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
X₃ = Financing to Deposit Ratio (FDR).
X₄ = Nilai Tukar (Kurs)
X5 = Inflasi
X6 = Gross Domestic Product (GDP)
α = Konstanta
b₁ = Koefisien Regresi Parsial Variabel BOPO
b2 = Koefisien Regresi Parsial Variabel KPMM
b3 = Koefisien Regresi Parsial Variabel FDR
b4 = Koefisien Regresi Parsial Variabel Nilai Tukar (Kurs)
b5 = Koefisien Regresi Parsial Variabel Inflasi
b6 = Koefisien Regresi Parsial Variabel GDP
e = Error term

3.8. Teknik Analisis


Data Pengujian ini bertujuan mengukur ketepatan fungsi regresi dalam menaksir
nilai aktual yang diukur dari goodness of fit. Secara statistik, hal ini dapat diukur
melalui uji F, koefisien determinasi (R2), dan uji t. Perhitungan statistik dapat
dikatakan signifikan apabila nilai uji statistik berada pada daerah di mana H0 ditolak
64

dan atau sebaliknya dikatakan tidak signifikan apabila nilai uji statistik berada
dalam daerah di mana H0 tidak ditolak (Ghozali, 2018:97).

3.8.1. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)


Menurut Ghozali (2018:98), uji F digunakan untuk menguji apakah seluruh
variabel-variabel independen yang dimasukkan dalam model regresi secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen. Kriteria pengambilan
keputusan hipotesis uji F dalam penelitian ini dengan tingkat signifikansi 0,05
sebagai berikut:

1. Jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima Ha ditolak, artinya variabel independen
secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel dependen.
2. Jika F hitung > Ftabel maka H0 ditolak Ha diterima, artinya variabel independen
secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen.

3.8.2. Uji Koefisien Determinasi (R2)


Menurut Ghozali (2017:20-21), uji koefisien determinasi (R2 ) digunakan untuk
mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi adalah antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai R2
yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan
variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendeteksi satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen, untuk melihat nilai R2
digunakan nilai adjusted R2 , dengan alasan nilai adjusted R2 memiliki kebiasan
yang kecil dibandingkan dengan nilai R2.

3.8.3. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)


Menurut Ghozali (2018:98-99), uji t pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan
seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual atau parsial
dalam menerangkan variabel dependen. Pada tingkat signifikansi 0,05 dengan
pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jika thitung < ttabel maka H0 diterima Ha ditolak, artinya salah satu variabel
independen tidak mempengaruhi variabel dependen.
65

2. Jika thitung > ttabel maka H0 ditolak Ha diterima, artinya salah satu variabel
independen mempengaruhi variabel dependen.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Bank Umum Syariah di Indonesia yang
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember tahun 2020 yaitu
sebanyak 14 (empat belas) Bank Umum Syariah. Dari 14 Bank Umum Syariah ini,
digunakan metode purposive sampling untuk mendapatkan sampel Bank Umum
Syariah yang memenuhi syarat untuk penelitian ini. Proses seleksi sampel dapat
dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1.
Proses Seleksi Sampel
NO KRITERIA JUMLAH
1. Bank Umum Syariah yang terdaftar sebagai Bank Devisa
pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2020 dan 14
telah berdiri minimal 5 (lima) tahun.
2. Bank Umum Syariah yang berturut-turut mempublikasikan
laporan keuangan triwulan selama 5 tahun, pada periode 5
2016 sampai dengan 2020.
3. Bank Umum Syariah yang dapat memberikan informasi
lengkap mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini meliputi; NPF, Biaya Operasional atas Pendapatan 5
Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal
Minumum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR).
Jumlah Sample Penelitian (5x4x5) – 5* 95
(* 5 data triwulan IV setiap bank)

Berdasarkan Tabel 4.1., maka Bank Umum Syariah yang memenuhi kriteria
purposive sampling pada penelitian ini adalah 5 (lima) Bank Umum Syariah
meliputi; PT Bank Syariah Mandiri, PT Bank BRI Syariah, PT Bank BNI Syariah,
PT Bank Muamalat Indonesia, dan PT Bank Mega Syariah. Total data pada
penelitian ini adalah 100 data yang diperoleh dari laporan keuangan triwulan 4
(empat) Bank Umum Syariah di atas dari tahun 2016-2020.

66
67

4.2. Analisis Statistik Deskriptif


Menurut Ghozali (2018:19), statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan data
kuantitatif dengan tujuan memberikan gambaran atau deskripsi suatu data.
Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari, jumlah
sampel (N), rata-rata sampel (mean), standar deviasi, nilai maksimum, dan 53 nilai
minimum. Hasil analisis statistik deskriptif untuk variabel NPF (Y), BOPO (X1),
KPMM (X2), FDR (X3), Nilai Tukar (X4), Inflasi (X5), dan GDP (X6) ditujukkan
pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2.
Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
NPF 3.9521 1.24905 95
BOPO 91.1432 5.42891 95
KPMM 18.1077 4.60115 95
FDR 82.9576 8.60365 95
Nilai Tukar 14009.84 794.839 95
Inflasi 3.1600 .70439 95
GDP 4.9716 .48595 95

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.2., menggambarkan deskripsi variabel-variabel secara


statistik. Maksimum menunjukkan nilai terbesar dari suatu rangkaian pengamatan,
minimum menunjukkan nilai terkecil dari suatu rangkaian pengamatan, dan mean
menunjukkan hasil penjumlahan nilai seluruh data dibagi dengan banyaknya data,
sementara standar deviasi menunjukkan akar dari jumlah kuadrat dari selisih nilai
data dengan nilai rata-rata dibagi banyaknya data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 95 (sembilan puluh lima) data
pada laporan triwulan Bank Umum Syariah selama 5 (lima) tahun, mulai tahun
2016 sampai dengan tahun 2020. Adapun uraian hasil analisis deskriptif sebagai
berikut:

1. Non Performing Financing (NPF), memiliki mean sebesar 3.9521dengan


standar deviasi sebesar 1.24905. Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari
nilai mean, menandakan variabel Non Performing Financing (NPF)
68

mempunyai distribusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel
Non Performing Financing (NPF).
2. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), memiliki nilai
mean sebesar 91,1432 dengan standar deviasi sebesar 5,42891. Dengan nilai
standar deviasi lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) mempunyai distribusi
yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO).
3. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), memiliki mean sebesar
18,1077 dengan standar deviasi sebesar 4,60115. Dengan nilai standar deviasi
lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga tidak ada
kesenjangan dari variabel Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
4. Financing to Deposit Ratio (FDR), memiliki nilai mean sebesar 82,9576
dengan standar deviasi sebesar 8,60365. Dengan nilai standar deviasi lebih
kecil dari nilai mean, menandakan variabel Financing to Deposit Ratio (FDR)
mempunyai distribusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel
Financing to Deposit Ratio (FDR).
5. Nilai Tukar (Kurs), memiliki mean sebesar 14009,84 dengan standar deviasi
sebesar 794,839. Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai mean,
menandakan variabel Nilai Tukar (Kurs) mempunyai distrbusi yang kecil.
Sehingga tidak ada kesenjangan dari variabel Nilai Tukar (Kurs).
6. Inflasi, memiliki mean sebesar 3,1600 dengan standr deviasi sebesar 0,70439.
Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai mean, menandakan variabel
Inflasi mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga tidak ada kesenjangan dari
variabel Inflasi.
7. Gross Domestic Product (GDP), memiliki mean sebesar 4,9716 dengan standr
deviasi sebesar 0,48595. Dengan nilai standar deviasi lebih kecil dari nilai
mean, menandakan variabel Inflasi mempunyai distrbusi yang kecil. Sehingga
tidak ada kesenjangan dari variabel Inflasi.
69

4.3. Uji Normalitas


Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal (Ghozali, 2018:161-163).
Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan analisis grafik dan
analisis statistik. Analisis grafik meliputi grafik histogram dan normal P-Plot,
sedangkan analisis statistik menggunakan uji Non-Parametrik
KolmogrovSmirnov (K-S). Hasil uji normalitas dengan analisi grafik, dapat
dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2.
Gambar 4.1.
Grafik Histogram

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Gambar 4.2.
Grafik Normal Probability Plot

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 24.00.


70

Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar bar pada grafik
histogram berada di bawah kurva, maka residual dinyatakan berdistribusi normal.
Kemudian Gambar 4.2 menunjukkan titik-titik pada grafik normal P-Plot menyebar
di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal. Maka dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi normal dan model regresi memenuhi
asumsi normalitas (Ghozali, 2018:163).
Selain menggunakan analisis grafik, pengujian normalitas dapat ditujukkan melalui
uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S), yang dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3.
Uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 95
Mean 0E-7
Normal Parametersa,b
Std. Deviation .85443715
Absolute .089
Most Extreme Differences Positive .089
Negative -.046
Kolmogorov-Smirnov Z .865
Asymp. Sig. (2-tailed) .443
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.3., menunjukkan nilai signifikansi hasi uji Non-Parametrik


Kolmogorov-Smirnov (K-S) sebesar 0,443 > 0,05. Data dikatakan berdistribusi
normal jika nilai signifikansi > 0,05 (Bahri, 2018:165). Dengan demikian data
dalam penelitian ini berdistribusi normal.

4.4. Uji Asumsi Klasik


Uji asumsi klasik bertujuan untuk memberikan kepastian bahwa model regresi
linier berganda yang dihasilkan akan valid jika digunakan untuk memprediksi suatu
masalah. Model regresi linier berganda dapat disebut model yang baik jika model
tersebut memenuhi kriteria Best Linear Unbeased Estimator (BLUE) atau model
regresi linier yang terbaik dan tidak bias (Bahri, 2018:161). Uji asumsi klasik dalam
71

penelitian ini terdiri dari; uji multikolinieritas, uji heteroskedastisitas, dan uji
autokorelasi.

4.4.1. Uji Multikolinieritas


Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas (independen) (Ghozali, 2018:107). Hasil uji
multikolinieritas dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4.
Uji Multikolonearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
(Constant)
BOPO .903 1.107
KPMM .833 1.201
1 FDR .805 1.242
Nilai Tukar .305 3.279
Inflasi .550 1.819
GDP .429 2.329

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa seluruh variabel independen yang


terdiri dari BOPO, KPMM, FDR, Nilai Tukar, Inflasi, dan GDP memiliki nilai
Tolerance lebih dari 0,1 dan nilai VIF kurang dari 10. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat multikolonearitas pada variabel independen pada model
regresi (Ghozali, 2018:109).

4.4.2. Uji Autokorelasi


Uji autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah model regresi linier terdapat
korelasi antara kesalahan penganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode
t-1 (sebelumnya) (Ghozali, 2018:111). Metode pengujian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji Durbin-Waston dan Runs Test.

Uji Durbin-Waston (DW Test) digunakan untuk mensyaratkan adanya intercept


(konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi di antara variabel
independen (Ghozali, 2018:112). Hasil uji autokorelasi dengan Durbin-Waston,
dapat dilihat pada Tabel 4.5.
72

Tabel 4.5.
Uji Durbin-Waston (DW Test)
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson
Square Estimate
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.5. menunjukkan bahwa nilai Durbin-Waston (DW) sebesar


0,813 dengan signifikansi 0,05, jumlah data (n) 95, jumlah variabel independen (k)
6, diperoleh batas bawah (dL) sebesar 1,5346 dan batas atas (du) sebesar 1,8021.
Sebagaimana Tabel 4.4, nilai Durbin-Waston (DW) lebih kecil dari batas atas (du)
dan lebih dari 4-1,8021 (4-du) atau 1,8021 > 0,813 < 2,1979. Maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi negatif pada model regresi (Ghozali,
2018:112).

Adapun uji Runs Test, digunakan untuk menguji apakah antar residual terdapat
korelasi yang tinggi (Ghozali, 2018:121). Hasil uji Runs Test dapat dilihat pada
Tabel 4.6.

Tabel 4.6.
Uji Runs Test
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea -.03115
Cases < Test Value 47
Cases >= Test Value 48
Total Cases 95
Number of Runs 29
Z -4.022
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Median
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.6. hasil uji Runs Test menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig
(2-tailed) 0,000 lebih besar dari 0,05 (Ghozali, 2018:121). Hal ini dapat
73

disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi dalam penelitian ini dan konsisten


dengan hasil sebelumnya.

4.4.3. Uji Heteroskedastisitas


Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi
terjadi ketidaksamaan varian residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain
(Ghozali, 2018:137). Pada penelitian ini, uji heteroskedastisitas dilakukan dengan
menggunakan uji grafik Scatterplot, uji Park, dan uji Glejser. Hasil uji
heteroskedastisitas dengan grafik Scatterplot dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3.
Grafik Scatterplot

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Gambar 4.3. menunjukkan titik-titik pada grafik Scatterplot menyebar


secara acak, serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak terjadi
heteroskedastisitas. Akan tetapi analisis menggunakan grafik plots memiliki
kelemahan yang cukup signifikan, oleh karena jumlah pengamatan mempengaruhi
hasil ploting. Semakin sedikit jumlah pengamatan semakin sulit
menginterpretasikan hasil grafik plots. Maka diperlukan uji statistik yang lebih
menjamin keakuratan hasil (Ghozali, 2018:139). Adapun uji statistik yang akan
digunakan adalah uji Park dan uji Glejser, yang dapat dilihat pada Tabel 4.7. dan
Tabel 4.8.
74

Tabel 4.7.
Uji Park
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -9.308 15.885 -.586 .559
BOPO .024 .059 .045 .406 .686
KPMM .047 .072 .075 .653 .515
1 FDR .023 .039 .068 .575 .567
Nilai Tukar .000 .001 .075 .395 .694
Inflasi .016 .578 .004 .028 .978
GDP -.312 .949 -.053 -.329 .743
a. Dependent Variable: LN_RES
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa tidak ada variabel independen yang
signifikan atau lebih dari 0,05. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
heteroskedastisitas pada model regresi (Ghozali, 2018:142). Hasil ini konsisten
dengan hasil uji grafik Scatterplot. Sementara hasil uji Glejser, dapat dilihat pada
Tabel 4.8.

Tabel 4.8.
Uji Glejser
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -5.129 2.997 -1.711 .091
BOPO .013 .011 .130 1.214 .228
KPMM .000 .014 .003 .025 .980
1 FDR .017 .007 .256 2.266 .056
Nilai Tukar .000 .000 .259 1.413 .161
Inflasi .030 .109 .038 .278 .782
GDP .098 .179 .085 .547 .586
a. Dependent Variable: AbsRES
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.8 menunjukkan tidak ada satupun variabel independen yang
signifikan secara statistik mempengaruhi variabel dependen nilai absolut atau nilai
75

signifikansi lebih dari 0,05. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini
tidak terjadi gejala heteroskedastisitas (Ghozali, 2018:144).

4.5. Analisis Regresi Linier Berganda


Setelah estimasi model analisis regresi berganda dan pengujian data dilakukan,
maka model regresi harus diinterpretasikan ke dalam bentuk nyata pemecahan
masalah penelitian. Interpretasi ini dilakukan pada koefisien regresi yang
merupakan kemampuan variabel independen dalam memprediksi variabel
dependen (Sulistyorini, 2017:112), dapat dilihat pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9.
Analisis Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
B Std. Error
(Constant) 13.422 4.789
BOPO .139 .018
KPMM .054 .022
1 FDR -.075 .012
Nilai Tukar -.001 .000
Inflasi -.001 .174
GDP -1.063 .286
a. Dependent Variable: NPF
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.9. dapat dirumuskan persamaan regresi linier berganda


sebagai berikut:
NPF = 13,422 + 0,139 BOPO + 0,054 KPMM – 0,075 FDR – 0,001 Nilai Tukar
– 0,001 Inflasi – 1,063 GDP + e
Berdasarkan persamaan regresi linier berganda di atas, intepretasi dari masing-
masing variabel sebagai berikut:
1. Konstanta sebesar 13,422. Hal ini menunjukkan apabila variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR),
Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP) bernilai
konstan, maka nilai Non Performing Financing (NPF) sebesar 13,422.
76

2. Koefisien regresi Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)


sebesar 0,139 menunjukkan setiap peningkatan Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO) sebesar 1 (satu) satuan, akan berdampak pada
peningkatan Non Performing Financing (NPF) sebesar 0,139 dengan asumsi
variabel Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to
Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product
(GDP) dianggap konstan.
3. Koefisien regresi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sebesar
0,054 menunjukkan setiap peningkatan Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) sebesar 1 (satu) satuan, akan berdampak pada peningkatan
Non Performing Financing (NPF) sebesar 0,054 dengan asumsi variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Financing to Deposit
Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP)
dianggap konstan.
4. Koefisien regresi Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar – 0,075
menunjukkan setiap peningkatan Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar 1
(satu) satuan, akan berdampak pada peningkatan Non Performing Financing
(NPF) sebesar – 0,075 dengan asumsi variabel Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP)
dianggap konstan.
5. Koefisien regresi Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar – 0,075
menunjukkan setiap peningkatan Financing to Deposit Ratio (FDR) sebesar 1
(satu) satuan, akan berdampak pada peningkatan Non Performing Financing
(NPF) sebesar – 0,075 dengan asumsi variabel Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP)
dianggap konstan.
6. Koefisien regresi Nilai Tukar (Kurs) sebesar – 0,001 menunjukkan setiap
peningk Nilai Tukar (Kurs) sebesar 1 (satu) satuan, akan berdampak pada
peningkatan Non Performing Financing (NPF) sebesar – 0,001 dengan asumsi
variabel Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO),
77

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio


(FDR), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP) dianggap konstan.
7. Koefisien regresi Inflasi sebesar – 0,001 menunjukkan setiap peningk Inflasi
sebesar 1 (satu) satuan, akan berdampak pada peningkatan Non Performing
Financing (NPF) sebesar – 0,001 dengan asumsi variabel Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs),
dan Gross Domestic Product (GDP) dianggap konstan.
8. Koefisien regresi Gross Domestic Product (GDP) sebesar – 1,063
menunjukkan setiap peningk Gross Domestic Product (GDP) sebesar 1 (satu)
satuan, akan berdampak pada peningkatan Non Performing Financing (NPF)
sebesar – 1,063 dengan asumsi variabel Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), dan Inflasi
dianggap konstan.

4.6. Pembuktian Hipotesis


Pengujian hipotesis bertujuan mengukur ketepatan fungsi regresi dalam menaksir
nilai aktual yang diukur dari goodness of fit. Secara statistik, hal ini dapat diukur
melalui uji F, koefisien determinasi (R2), dan uji t. Perhitungan statistik dapat
dikatakan signifikan apabila nilai uji statistik berada pada daerah di mana H0
ditolak dan atau sebaliknya dikatakan tidak signifikan apabila nilai uji statistik
berada dalam daerah di mana H0 tidak ditolak (Ghozali, 2017:20-21).

4.6.1. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)


Uji F digunakan untuk menguji apakah seluruh variabel-variabel independen yang
dimasukkan dalam model regresi secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel dependen (Ghozali, 2018:98). Uji F pada dasarnya menunjukkan apakah
semua variabel independen (BOPO, KPMM, FDR, Nilai Tukar, Inflasi dan GDP)
yang dimasukkan dalam model dan mempunyai pengaruh secara simultan terhadap
variabel dependen (NPF). Adapun hasil uji F terlihat pada Tabel 4.10.
78

Tabel 4.10.
Uji F
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 78.026 6 13.004 16.676 .000b
1 Residual 68.626 88 .780
Total 146.652 94
a. Dependent Variable: NPF
b. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Pembuktian hipotesis 1 (satu) dilakukan dengan uji F. Berdasarkan Tabel 4.10.


dihasilkan Fhitung = 16,676 > Ftabel = 2,33 atau signifikansi 0,000 < 0,05, yang
berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi dan
Gross Domestic Product (GDP) secara simultan terhadap Non Performing
Financing (NPF).

Dengan demikian, hipotesis 1 (satu) yang menyatakan “Diduga Biaya Operasional


terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi,
dan Gross Domestic Product (GDP) secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia
Periode 2016-2020”, dinyatakan diterima.

4.6.2. Uji Koefisien Determinasi (R2 )


Uji koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa jauh
kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi adalah antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai R2 yang kecil menandakan
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen
amat terbatas, sedangkan nilai yang mendekati satu menandakan variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk
memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2018:97). Hasil uji koefisien
determinasi (R2 ) dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 4.11.
79

Tabel 4.11.
Uji Koefisien Determinasi (R2 )
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson
Square Estimate
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.

Berdasarkan Tabel 4.11. dihasilkan nilai Adjusted R Square pada uji koefisien
determinasi (R2 ) adalah 0,500 atau 50%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi
pengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) sebesar 50%, sedangkan 50%
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

4.6.3. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)


Uji t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen secara individual atau parsial dalam menerangkan variabel dependen
(Ghozali, 2018:98-99). Adapun hasil uji t terlihat pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12.
Uji t
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) 13.422 4.789 2.802 .006
BOPO .139 .018 .604 7.867 .000
KPMM .054 .022 .200 2.501 .014
1 FDR -.075 .012 -.515 -6.343 .000
Nilai Tukar -.001 .000 -.528 -3.996 .000
Inflasi -.001 .174 .000 -.003 .997
GDP -1.063 .286 -.414 -3.718 .000
a. Dependent Variable: NPF

Sumber: Data Sekunder, diolah dengan SPSS 20.00.


80

Berdasarkan Tabel 4.12, maka dapat dilakukan pembuktian hipotesis terhadap


masing-masing variabel independen sebagai berikut:

1. Pembuktian Hipotesis 2
Pembuktian hipotesis 2 (dua) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) = 7.867 > t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0.05, yang berarti
terdapat pengaruh yang signifikan antara Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO) secara parsial terhadap Non Performing
Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 2 (dua) yang menyatakan bahwa
“Diduga BOPO secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020”, dinyatakan diterima.
2. Pembuktian Hipotesis 3
Pembuktian hipotesis 3 (tiga) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
= 2.501 > t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.014 < 0.05, yang berarti terdapat
pengaruh yang signifikan antara Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan
demikian, hipotesis 3 (tiga) yang menyatakan bahwa “Diduga KPMM secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan
diterima.
3. Pembuktian Hipotesis 4
Pembuktian hipotesis 4 (empat) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel
4.12. dihasilkan t hitung variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) = -|6.343| >
t tabel = 1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0.05, yang berarti terdapat pengaruh
yang signifikan antara Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial
terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 4
(empat) yang menyatakan bahwa “Diduga FDR secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan diterima.
81

4. Pembuktian Hipotesis 5
Pembuktian hipotesis 5 (lima) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Nilai Tukar (Kurs) = -|3.996| > t tabel = 1.66216 atau
signifikansi 0,000 < 0,05, yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara
Nilai Tukar (Kurs) secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF).
Dengan demikian, hipotesis 5 (lima) yang menyatakan bahwa “Diduga Nilai
Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”,
dinyatakan diterima.
5. Pembuktian Hipotesis 6
Pembuktian hipotesis 6 (enam) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Inflasi = -|0.003| < t tabel = 1.66216 atau signifikansi
0,997 > 0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Inflasi
secara parsial terhadap Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian,
hipotesis 6 (enam) yang menyatakan bahwa “Diduga Inflasi secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan ditolak.
6. Pembuktian Hipotesis 7
Pembuktian hipotesis 7 (tujuh) dilakukan dengan uji t. Berdasarkan Tabel 4.12.
dihasilkan t hitung variabel Gross Domestic Product (GDP) = -|3.718| > t tabel =
1.66216 atau signifikansi 0.000 < 0,05, yang berarti tidak terdapat pengaruh
yang signifikan antara Gross Domestic Product (GDP) secara parsial terhadap
Non Performing Financing (NPF). Dengan demikian, hipotesis 6 (enam) yang
menyatakan bahwa “Diduga Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020”, dinyatakan diterima.

4.7. Pembahasan
4.7.1. Pembahasan Hipotesis 1
Berdasarkan pembuktian hipotesis 1 (satu) diketahui bahwa variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi,
dan Gross Domestic Product (GDP) secara simultan berpengaruh signifikan
82

terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia
periode 2016-2020. Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar, Inflasi,
dan Gross Domestic Product (GDP) layak dijadikan alat prediksi untuk
mengendalikan Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020.

Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi (R2 ) (lihat Tabel 4.11), dihasilkan nilai
Adjusted R Square sebesar 0,500 atau 50%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel
Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai
Tukar (Kurs), Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi
pengaruh terhadap Non Performing Financing (NPF) sebesar 50%, sedangkan 50%
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan uji F dan koefisien determinasi (R2 ) terlihat adanya kontroversi hasil.
Seharusnya hasil R2 menguatkan uji F, yang artinya jika uji F signifikan maka R2
cenderung tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Ghozali (2018:97), bahwa
semakin besar nilai R2 , maka semakin besar pula nilai F. Namun dalam penelitian
ini nilai uji F signifikan, sedangkan nilai R2 rendah (50%), artinya variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs),
Inflasi dan Gross Domestic Product (GDP) memberikan kontribusi pengaruh
terhadap Non Performing Financing (NPF), tetapi tidak besar.

Hal ini tidak menjadi masalah, karena berdasarkan Sulistyorini (2017:110-111)


menyatakan bahwa dalam nilai adjusted R2 yang tinggi menunjukkan bahwa model
regresi linier berganda yang diestimasi memiliki kelayakan yang tinggi sebagai
pemecah masalah penelitian. Namun bukan berarti bahwa nilai adjusted R2 yang
rendah membuat model regresi linier berganda yang diestimasikan tidak memiliki
kelayakan sebagai model pemecah masalah penelitian. Hal disebabkan karena nilai
adjusted R2 merupakan uji pelengkap ketika uji F dan uji t telah dilakukan. Dengan
kata lain ketika bangunan model sudah dinyatakan layak maka uji variabel-variabel
83

independen pembangun model diuji kemampuannya untuk menjelaskan variabel


dependen. Katakanlah jika adjusted R2 tinggi namun model tidak regresi tidak
memenuhi uji asumsi klasik, maka model tersebut bukan penaksir yang baik.

Insukindro (1998) dalam Ghozali (2018:97) menekankan bahwa koefisien


determinasi hanyalah salah satu dan bukan satu-satuya kriteria memilih model yang
baik. Alasannya bila suatu estimasi regresi linier menghasilkan koefisien
determinasi yang tinggi, tetapi tidak konsisten dengan teori ekonometrika yang
dipilih oleh peneliti, atau tidak lolos dari uji asumsi klasik, maka model tersebut
bukanlah model penaksir yang baik dan seharusnya tidak dipilih menjadi model
empirik.

4.7.2. Pembahasan Hipotesis 2


Berdasarkan pembuktian hipotesis 2 (dua) menunjukkan bahwa variabel Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) secara parsial berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah
di Indonesia periode 2016-2020.

Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh IBI (2018:283), yang
menyatakan bahwa ketika beban operasional yang dikeluarkan bank semakin besar,
maka beban yang digunakan sebagai pembentukan pencadangan dalam
mengantisipasi kerugian akibat tidak kembalinya dana yang disalurkan melalui
pembiayaan akan semakin berkurang dan tidak dapat menutup risiko atas
penyaluran pembiayaan. Menurut Rivai dan Arifin (2010:406), menyatakan bahwa
besarnya rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
disebabkan karena tingginya biaya dana yang dihimpun dan rendahnya pendapatan
dari penanaman dana. Sehingga semakin efisien biaya operasional yang
dikeluarkan bank, hal ini menandakan keuntungan yang didapat bank akan semakin
besar, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi yang bermasalah akan
semakin kecil.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Auliani dan Syaichu
(2016), Lidyah (2016), Effendi, et al., (2017), serta Supriani dan Sudarsono (2018)
yang menyatakan bahwa Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
84

Berdasarkan aspek arah pengaruh menunjukkan variabel Biaya Operasional


terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh positif terhadap Non
Performing Financing (NPF) (lihat Tabel 4.12), artinya semakin tinggi nilai Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) cenderung meningkatkan
Non Performing Financing (NPF). Hal ini sesuai dengan pandangan yang
dikemukakan oleh Muhamad (2016:197), bahwa besarnya dana operasional setiap
bank syariah dapat diputarkan dalam pembiayaan yang diberikan, yang bersumber
dari pendapatan terbesar. Namun besarnya pendapatan yang akan diputar menjadi
pembiayaan dapat menimbulkan risiko operasi bisnis perbankan yang terbesar dan
berakibat pada pembiayaan bermasalah. Sehingga ketika rasio BOPO naik akan
berdampak pada peningkatan Non Performing Financing (NPF). Kemudian
menurut Dendawijaya (2009:120), rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO) digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Semakin efisien kinerja suatu bank,
maka bank berada pada posisi sehat yang artinya kecenderungan terjadi pembiayaan
bermasalah dapat diatasi, sehingga menurunkan rasio Non Performing Financing
(NPF).

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Auliani dan Syaichu (2016),
Lidyah (2016), dan Effendi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa Biaya
Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh positif
terhadap Non Performing Financing (NPF).

4.7.3. Pembahasan Hipotesis 3


Berdasarkan pembuktian hipotesis 3 (tiga) menunjukkan bahwa variabel Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) secara parsial berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia
periode 2016-2020.

Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Muhamad (2016:194),
bahwa rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) menunjukkan
kemampuan bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha
serta menampung kemungkinan risiko kerugian, salah satunya adalah risiko
pembiayaan. Menurut Dendawijaya (2009:153), apabila rasio Kewajiban
85

Penyediaan Modal Minimum (KPMM) semakin besar, maka tingkat keuntungan


bank juga akan meningkat. Sehingga rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) menjadi indikator terhadap kemampuan bank dalam menutup penurunan
aktiva sebagai akibat kerugian-kerugian bank yang disebabkan aktiva berisiko,
dengan menggunakan modal tanpa harus mengurangi keuntungan yang diperoleh
Bank Syariah. Rustam (2018:369) menyatakan bahwa perhitungan kebutuhan
modal minimum didasarkan pada Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
dengan memperhitungkan risiko penyaluran dana. Nilai ATMR yang rendah
mengambarkan risiko pembiayaan yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
permodalan bank yang diukur dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) harus mampu menutup seluruh risiko usaha Bank Syariah,
termasuk risko kerugian akibat terjadinya pembiayaan bermasalah.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Effendi, et
al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh signifikan
terhadap Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan aspek arah pengaruh menunjukkan variabel Kewajiban Penyediaan


Modal Minimum (KPMM) berpengaruh negatif terhadap Non Performing
Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2014-2018 (lihat
Tabel 4.12), artinya peningkatan pada Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) cenderung menurunkan Non Performing Financing (NPF). Hal ini sesuai
dengan pandangan yang dikemukakan oleh Fahmi (2015:301), bahwa semakin
tinggi Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) maka semakin besar
sumber daya finansial yang dapat digunakan sebagai keperluan pengambangan
usaha serta mengantisipasi potensi kerugian akibat penyaluran pembiayaan.
Sehingga semakin besar rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
berpengaruh pada penurunan pembiayaan bermasalah. Selain itu menurut Rustam
(2018:365), yang menyatakan bahwa Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang
mengandung risiko, yang dibiayai modal sendiri. Dengan demikian semakin tinggi
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Syariah, maka kerugian
akibat pembiayaan bermasalah akan semakin menurun.
86

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Effendi, et
al., (2017), Destiana (2018), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) berpengaruh positif terhadap
Non Performing Financing (NPF).

4.7.4. Pembahasan Hipotesis 4


Berdasarkan pembuktian hipotesis 4 (empat) menunjukkan bahwa variabel
Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020.

Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Rivai dan Arifin
(2010:560), bahwa rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) digunakan untuk
mengukur likuiditas bank, dengan kata lain seberapa jauh pemberian dana kepada
nasabah dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan
nasabah yang akan menarik kembali dananya yang telah disalurkan. Sehingga
tingginya rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) akan berdampak pada risiko
pembiayaan, hingga terjadi pembiayaan bermasalah. Menurut Antonio (2018:179),
besarnya jumlah dana yang disalurkan bank kepada nasabah sering kali disebabkan
oleh tuntutan memanfaatkan kelebihan likuiditas. Sehingga penilaian pembiayaan
menjadi kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko
pembiayaan macet. Muhamad (2016:193), menyatakan bahwa semakin tinggi rasio
Financing to Deposit Ratio (FDR) maka menandakan semakin rendah kemampuan
likuiditas Bank Syariah. Tingkat rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) yang
tinggi akan memberikan pengaruh yang tinggi pula terhadap pembiayaan
bermasalah.

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Vanni dan
Rokhman (2017), Supriani dan Sudarsono (2018), dan Wulandari, et al., (2019)
yang menyatakan bahwa Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan aspek arah pengaruh menunjukkan variabel Financing to Deposit


Ratio (FDR) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF)
Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2014-2018 (lihat Tabel 4.12), artinya
87

semakin tinggi nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) cenderung menurunkan nilai
Non Performing Financing (NPF). Seharusnya secara teoritis variabel Financing to
Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing
(NPF). Hal ini didasarkan pada pandangan yang dikemukakan oleh Umam dan
Utomo (2017:345), yang menyatakan bahwa semakin besar penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan akan memberikan konsekuensi risiko pembiayaan yang
semakin besar. Dan ketika pembiayaan yang disalurkan bermasalah, maka bank
akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang dititipkan masyarakat.
Hal ini menandakan semakin tinggi rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) akan
berpengaruh pada peningkatan Non Performing Financing (NPF) pada Bank
Syariah. Kemudian menurut Muhamad (2016:193), semakin tinggi rasio Financing
to Deposit Ratio (FDR) menandakan semakin rendah kemampuan likuiditas Bank
Syariah, dan artinya semakin rendah likuiditas maka akan berdampak pada
peningkatan pembiayaan bermasalah.

Namun hasil penelitian menunjukkan Financing to Deposit Ratio (FDR)


berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF), yang artinya
peningkatan variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) akan berdampak pada
penurunan Non Performing Financing (NPF), begitu pula sebaliknya. Hal ini
dikarenakan, sampel Bank Umum Syariah yang digunakan dalam penelitian ini
telah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan yang
ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah pembiayaan yang bersumber dari
dana pihak ketiga (DPK) dan semakin berkurangnya Non Performing Financing
(NPF).

Dapat dikatakan bahwa penurunan Non Performing Financing (NPF) menandakan


pencapaian kinerja Bank Umum Syariah yang semakin baik dalam menjaga kualitas
pembiayaannya dengan aktivitas pemantauan penggunaan pembiayaan, sehingga
berdampak pada peningkatan kesadaran nasabah dalam memenuhi kewajiban
membayar angsuran kepada bank. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kenaikan
variabel Financing to Deposit Ratio (FDR) dapat berdampak pada penurunan Non
Performing Financing (NPF).
88

Penelitian ini kontradiksi dengan penelitian Destiana (2018), Nihayah dan Walyoto
(2018), serta Supriani dan Sudarsono (2018) yang menyatakan bahwa Financing to
Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Non Performing Financing
(NPF). Namun sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016), Vanni
dan Rokhman (2017), dan Wulandari, et al., (2019) yang menyatakan bahwa
Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh negatif terhadap Non Performing
Financing (NPF).

4.7.5. Pembahasan Hipotesis 5


Berdasarkan pembuktian hipotesis 5 (lima) menunjukkan bahwa variabel Nilai
Tukar secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020.

Ketika depresiasi mata uang IDR/USD terjadi, maka muncul kemungkinan nasabah
mengalami kesulitan dalam mengembalikan pembiayaan yang diberikan bank
syariah, sehingga rasio pembiayaan bermasalah perbankan syariah meningkat. Di
sisi lain, pengelolaan dana bank syariah dalam bentuk penyaluran dana melalui
pembiayaan (financing) cenderung menghindari risiko yang berhubungan dengan
valuta asing, sehingga dalam kegiatan operasional bank syariah yang berhubungan
langsung dengan risiko dari fluktuasi nilai tukar adalah pada aktivitas treasury yakni
pemenuhan kebutuhan likuiditas bank (Fauziyah, 2015).

Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yulita
(2014), Kartika (2017), Auliani dan Syaichu (2016), Akbar (2016), dan Vanni, K.
M., & Rokhman, W. (2018) menyimpulkan bahwa variabel Nilai Tukar (Kurs) US
Dollar berpengaruh positif dan signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF). Dan berbanding terbalik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sudarsono (2018) variabel Nilai Tukar berpengaruh negatif terhadap Pembiayaan
Bermasalah pada BUS, Sherly Yolanda dan Ariusni (2019), Muhammad Arfan
Harahap dan Anjur Perkasa Alam (2020) menyimpulkan Nilai Tukar tidak
berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Non Performing Financing (NPF),
serta penelitian Yudhistira Ardana (2019) yang menyatakan variabel Nilai Tukar
berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Pembiayaan Bermasalah
(NPF).
89

4.7.6. Pembahasan Hipotesis 6


Berdasarkan pembuktian hipotesis 6 (enam) menunjukkan bahwa variabel Inflasi
secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020.

Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan bukti empiris yang dihasilkan oleh
Mutamimah dan Chasanah (2012: 52) yang menyatakan bahwa pengaruh
perubahan inflasi terhadap NPF adalah inflasi yang tinggi akan menyebabkan
menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga standar hidup masyarakat juga
turun. Sebelum inflasi, seorang debitur masih sanggup untuk membayar angsuran
pembiayaannya, namun setelah inflasi terjadi, harga-harga mengalami peningkatan
yang cukup tinggi, sedangkan penghasilan debitur tersebut tidak mengalami
peningkatan, maka kemampuan debitur tersebut dalam membayar angsurannya
menjadi melemah sebab sebagian besar atau bahkan seluruh penghasilannya sudah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sebagai akibat dari harga-
harga yang meningkat.

Penemuan ini yang menyatakan bahwa Inflasi berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Muhammad Arfan Harahap (2018) dan Anjur Perkasa Alam
(2020) , Lidyah (2016), Irfan, M (2016) dan Sherly Yolanda, Ariusni (2019) Inflasi
berpengaruh negatif dan tidak signifkan. Bertolak belakang dengan peneltian yang
dilakukan Dinnul Alfian Akbar (2016), dan Fata (2017) menyatakan bahwa variabel
Inflasi berpengaruh positif signifikan terhadap Non Performing Financing
(NPF).

4.7.7. Pembahasan Hipotesis 7


Berdasarkan pembuktian hipotesis 7 (tujuh) menunjukkan bahwa variabel Gross
Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-
2020.

Hal ini sesuai dengan pendangan yang dikemukakan oleh Antonio (2018:179),
bahwa perekonomian yang dilanda krisis atau resesi menjadi penyebab terjadinya
90

risiko pembiayaan. Turunnya penjualan mengurangi penghasilan masyarakat,


sehingga dapat mempengaruhi kemampuan nasabah dalam memenuhi
kewajibannya kepada bank. Hal ini menyebabkan bertambahnya outstanding
pembiayaan bermasalah. BI (2018:116), menyatakan bahwa aspek makroekonomi
menjadi lingkungan eksternal yang memberikan pengaruh pada bisnis nasabah.
Kondisi makroekonomi dalam negeri maupun global dapat memberikan dampak
pada industri usaha nasabah, dan industri yang terkait bidang usaha nasabah. Maka
bank perlu melakukan analisis atas kondisi makroekonomi dalam negeri maupun
global. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak
perekonomian terhadap usaha nasabah dan kelangsungan usaha yang dibiayai oleh
Bank Syariah. Sehingga kemampuan nasabah dalam membayar kembali
pembiayaan yang bersumber dari pendapatan bisnis nasabah dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian yang semakin membaik.

Hasil penelitian ini menunjukkan Gross Domestic Product (GDP) secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini
dikarenakan kondisi Gross Domestic Product (GDP) merupakan salah satu aspek
makroekonomi dalam negeri maupun global yang dapat memberikan dampak pada
industri usaha nasabah, dan industri yang terkait bidang usaha nasabah salah
satunya perusahaan Bank Umum Syariah yang terpengaruh akan nilai Non
Performing Financing (NPF).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016),
Effendi, et al., (2017), dan Kusmayadi, et al., (2017) yang menyatakan bahwa Gross
Domestic Product (GDP) berpengaruh signifikan terhadap Non Performing
Financing (NPF). Namun berkontradiksi dengan penelitian Havidz dan Setiawan
(2015), Azizi (2016), Purnamasari dan Musdholifah (2016), Rajha (2016), serta
Purba dan Darmawan (2018) yang menyatakan bahwa Gross Domestic Product
(GDP) berpengaruh tidak signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).

Berdasarkan aspek arah pengaruh menunjukkan variabel Gross Domestic Product


(GDP) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF) Bank
Umum Syariah di Indonesia periode 2016-2020 (lihat Tabel 4.12), artinya semakin
tinggi nilai Gross Domestic Product (GDP) cenderung menurunkankan Non
91

Performing Financing (NPF). Secara teoritis variabel Gross Domestic Product


(GDP) berpengaruh negatif terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini
didasarkan pada pandangan Djamil (2014:73), faktor penyebab terjadinya
pembiayaan bermasalah adalah kesulitan keuangan yang dihadapi nasabah. Faktor
kesulitan tersebut disebabkan oleh perubahan dalam kondisi perekonomian dan
perdagangan. Kondisi ekonomi meningkat maka kemampuan nasabah dalam
memenuhi kewajibannya akan meningkat, sehingga kemungkinan pembiayaan
bermasalah semakin menurun. Budisantoso dan Nuritomo (2014:146),
mengemukakan bahwa terhentinya kegiatan usaha nasabah akan menyebabkan
berkurangnya kemampuan nasabah untuk mengembalikan dana yang telah diterima
dari bank, sehingga pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Dan dapat dikatakan
kondisi nasabah akibat perekonomian yang memburuk, menyebabkan kemampuan
nasabah dalam menghasilkan pendapatan semakin berkurang dan berdampak pada
peningkatan pembiayaan bermasalah.

Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2016),


Kusmayadi, et al., (2017), serta Purba dan Darmawan (2018) yang menyatakan
Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh negatif terhadap Non Performing
Financing (NPF). Namun bertolah belakang dengan penelitian Havidz dan
Setiawan (2015), Azizi (2016), Rajha (2016), dan Effendi, et al., (2017) yang
menyatakan bahwa Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh positif terhadap
Non Performing Financing (NPF).
BAB V
PENUTUP

5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai
berikut:

1. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban


Penyediaan Modal Minimum (KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR),
Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan Gross Domestic Product (GDP) secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF)
pada Bank Umum Syariah di Indonesia Periode 2016-2020.
2. BOPO secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020.
3. KPMM secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020.
4. Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum
Syariah di Indonesia periode 2016-2020.
5. Nilai Tukar (Kurs) secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Non Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia periode
2016-2020.
6. Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah di Indonesia periode 2016-
2020.
7. Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020.

92
93

5.2.Implikasi
5.2.1. Implikasi Teoritis
Implikasi teoritis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) secara parsial


berpengaruh positif dan signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Rivai dan
Arifin (2010:406), menyatakan bahwa besarnya rasio Biaya Operasional
terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) disebabkan karena tingginya biaya
dana yang dihimpun dan rendahnya pendapatan dari penanaman dana. Sehingga
semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank, hal ini menandakan
keuntungan yang didapat bank akan semakin besar, sehingga kemungkinan suatu
bank dalam kondisi yang bermasalah akan semakin kecil. Dan Muhamad
(2016:197), bahwa besarnya dana operasional setiap bank syariah dapat
diputarkan dalam pembiayaan yang diberikan, yang bersumber dari pendapatan
terbesar. Namun besarnya pendapatan yang akan diputar menjadi pembiayaan
dapat menimbulkan risiko operasi bisnis perbankan yang terbesar dan berakibat
pada pembiayaan bermasalah.
2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF). Hal ini sesuai
dengan pandangan yang dikemukakan oleh Muhamad (2016:194), bahwa rasio
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) menunjukkan kemampuan
bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha serta
menampung kemungkinan risiko kerugian, salah satunya adalah risiko
pembiayaan. Menurut Dendawijaya (2009:153), apabila rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) semakin besar, maka tingkat keuntungan
bank juga akan meningkat. Sehingga rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) menjadi indikator terhadap kemampuan bank dalam
menutup penurunan aktiva sebagai akibat kerugian-kerugian bank yang
disebabkan aktiva berisiko, dengan menggunakan modal tanpa harus
mengurangi keuntungan yang diperoleh Bank Syariah. Rustam (2018:369)
menyatakan bahwa perhitungan kebutuhan modal minimum didasarkan pada
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dengan memperhitungkan risiko
94

penyaluran dana. Nilai ATMR yang rendah mengambarkan risiko pembiayaan


yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa permodalan bank yang diukur
dengan rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) harus mampu
menutup seluruh risiko usaha Bank Syariah, termasuk risko kerugian akibat
terjadinya pembiayaan bermasalah.
3. Financing to Deposit Ratio (FDR) secara parsial berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF). Hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Umam dan Utomo
(2017:345), yang menyatakan bahwa semakin besar penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan akan memberikan konsekuensi risiko pembiayaan yang
semakin besar. Dan Muhamad (2016:193), semakin tinggi rasio Financing to
Deposit Ratio (FDR) menandakan semakin rendah kemampuan likuiditas Bank
Syariah, yang artinya semakin rendah likuiditas maka akan berdampak pada
peningkatan rasio Non Performing Financing (NPF). Hal ini dikarenakan,
sampel Bank Umum Syariah yang digunakan dalam penelitian ini telah
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan dengan
penurunan Non Performing Financing (NPF) yang menandakan pencapaian
kinerja Bank Umum Syariah yang semakin baik dalam menjaga kualitas
pembiayaannya dengan aktivitas pemantauan penggunaan pembiayaan.
4. Nilai Tukar secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Ketika depresiasi mata uang IDR/USD terjadi,
maka muncul kemungkinan nasabah mengalami kesulitan dalam
mengembalikan pembiayaan yang diberikan bank syariah, sehingga rasio
pembiayaan bermasalah perbankan syariah meningkat. Di sisi lain, pengelolaan
dana bank syariah dalam bentuk penyaluran dana melalui pembiayaan
(financing) cenderung menghindari risiko yang berhubungan dengan valuta
asing, sehingga dalam kegiatan operasional bank syariah yang berhubungan
langsung dengan risiko dari fluktuasi nilai tukar adalah pada aktivitas treasury
yakni pemenuhan kebutuhan likuiditas bank.
5. Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Non
Performing Financing (NPF). Hal ini berarti bahwa tingkat inflasi yang negatif,
apabila terjadinya peningkatan pada tingkat inflasi maka akan menurunkan
95

tingkat pembiayaan bermasalah pada bank syariah di Indonesia. Penyebab tidak


signifikannya ialah pada nilai pembiayaan dan pembiayaan bermasalah pada
bank syariah relatif kecil dibandingkan dengan bank konvensional maka nilai
infalsi masih dapat terkendali dan tidak mempengaruhi secara signifikannya
tingkat pembiayaan bermasalah pada bank syariah di Indonesia.
6. Gross Domestic Product (GDP) secara parsial berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah di
Indonesia periode 2016-2020.Hal ini sesuai dengan pendangan yang
dikemukakan oleh Antonio (2018:179), bahwa perekonomian yang dilanda
krisis atau resesi menjadi penyebab terjadinya risiko pembiayaan. Turunnya
penjualan mengurangi penghasilan masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi
kemampuan nasabah dalam memenuhi kewajibannya kepada bank. Hal ini
menyebabkan bertambahnya outstanding pembiayaan bermasalah. BI
(2018:116), menyatakan bahwa aspek makroekonomi menjadi lingkungan
eksternal yang memberikan pengaruh pada bisnis nasabah. Kondisi
makroekonomi dalam negeri maupun global dapat memberikan dampak pada
industri usaha nasabah, dan industri yang terkait bidang usaha nasabah. Maka
bank perlu melakukan analisis atas kondisi makroekonomi dalam negeri maupun
global. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak
perekonomian terhadap usaha nasabah dan kelangsungan usaha yang dibiayai
oleh Bank Syariah. Sehingga kemampuan nasabah dalam membayar kembali
pembiayaan yang bersumber dari pendapatan bisnis nasabah dipengaruhi oleh
kondisi perekonomian yang semakin membaik.

5.2.2. Implikasi Manajerial


Penelitian ini memperoleh beberapa bukti analisis data berdasarkan penemuan
penelitian. Hasil penelitian dapat direkomendasikan beberapa implikasi sesuai
dengan prioritas yang diberikan sebagai masukan bagi manajemen Bank Umum
Syariah di Indonesia. Implikasi manajerial berfokus terhadap variabel-variabel
yang berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing (NPF) pada
penelitian ini, dengan disusun berdasarkan signifikansinya mulai dari variabel
dengan signifikansi tertinggi sampai dengan terendah. Adapun implikasi
manajerial dapat diuraikan sebagai berikut:
96

1. Berdasarkan hasil analisis Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional


(BOPO) merupakan variabel yang memiliki pengaruh signifikan pertama
dalam mengoptimalkan Non Performing Financing (NPF) (Signifikansi
0,000). Apabila Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Bank Umum Syariah tidak melebihi 90 % (Riyadi, 2011:159), menunjukkan
Bank Syariah mampu mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan
operasional. Sehingga menggambarkan tingkat efisiensi dan kemampuan Bank
Syariah dalam menunjang kegiatan operasional. Oleh karena itu, Bank Umum
Syariah diharapkan melakukan pengawasan terhadap biaya operasional yang
dikeluarkan untuk meningkatkan tingkat efisiensi Bank Umum Syariah,
sehingga mampu mengendalikan Non Performing Financing (NPF).
2. Berdasarkan hasil analisis Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM)
merupakan variabel yang memiliki pengaruh signifikan kedua dalam
mengoptimalkan Non Performing Financing (NPF) (Signifikansi 0,014). Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum (KPMM) akan berdampak pada penurunan rasio Non Performing
Financing (NPF). Rasio Non Performing Financing (NPF) yang rendah
menggambarkan keberhasilan Bank Umum Syariah dalam mengelola risiko
pembiayaan. Oleh karena itu, Bank Umum Syariah diharapkan meningkatkan
besaran Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, sehingga risiko
kerugian akibat penyaluran pembiayaan dapat dikelola dengan baik dan
kualitas pembiayaan tetap terjaga.
3. Berdasarkan hasil analisis Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan
variabel yang memiliki pengaruh signifikan ketiga dalam mengoptimalkan Non
Performing Financing (NPF) (Signifikansi 0,000). Hal ini menunjukkan bahwa
apabila Financing to Deposit Ratio (FDR) Bank Umum Syariah tidak melebihi
batas maksimum Bank Indonesia pada Peraturan Bank Indonesia Nomor
15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum, maka jumlah dana
yang disalurkan melalui pembiayaan telah digunakan secara maksimal,
sehingga menggambarkan tingkat likuiditas Bank Umum Syariah yang baik.
97

Oleh karena itu, Bank Umum Syariah diharapkan melakukan pengawasan


dalam menentukan pembiayaan yang disalurkan atas dana pihak ketiga (DPK)
serta menjaga kualitas pembiayaan, sehingga mampu meminimalisir besarnya
Non Performing Financing (NPF).

5.3.Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini tidak terlepas dari beberapa keterbatasan maupun kelemahan yang
kemungkinan dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasan dalam
penelitian ini adalah:

1. Periode penelitian, penelitian ini hanya menggunakan periode pengamatan


mulai dari 2014-2018 (5 tahun).
2. Hasil uji Koefisien Determinasi (R2) sebesar 50 % yang menunjukkan
rendahnya kontribusi pengaruh variabel Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO), Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM), Financing to Deposit Ratio (FDR), Nilai Tukar (Kurs), Inflasi, dan
Gross Domestic Product (GDP) terhadap Non Performing Financing (NPF).

5.4. Saran

Adapun saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan dapat memperpanjang periode


penelitian serta dapat menggunakan lebih tepat variabel-variabel yang
mempengaruhi Non Performing Financing (NPF) pada Bank Umum Syariah,
sehingga mampu memberikan hasil penelitian yang lebih baik.
2. Bagi Bank Umum Syariah, terkait dengan risiko pembiayaan diharapkan
mampu meminimalisir potensi terjadinya Non Performing Financing (NPF)
dengan mengoptimalkan pengawasan kepada para debitur, meningkatkan
prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan, serta kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) dalam pengendalian internal bank.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ibrahim Hasyim, Ekonomi Makro, Jakarta: Prenadamedia Group, Ed. 1, Cet.
ke-1, 2016, h. 186.

Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani: 160.

Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2018. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cetakan
Kedua Puluh Sembilan. Jakarta: Gema Insani.

Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2018. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cetakan
Kedua Puluh Sembilan. Jakarta: Gema Insani.

Asnaini. (2014). Fakor-Faktor Yang Memp engaruhi Non Performing Financing


(NPF)…. V(02), 264–280.

Auliani, M. M. (2016). Analisis Pengaruh Faktor Internal dan Faktor Eksternal


Terhadap Tingkat Pembiayaan Bermasalah pada Bank Umum Syariah Di
Indonesia Periode Tahun 2010-2014. Diponegoro Journal of Management,
5(3), 1–14. http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dbr

Dahlan Rahmat (2014). Pengaruh Tingkat Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah
dan Tanya Inflasi terhadap Pembiayaan Bank Shariah di Indonsia. Jurnal
Etikonomi Vol 13, No 2.

Dahlan, Rahmat. (2014). Pengaruh Tingkat Bonus Sertifikat Bank Indonesia


Syariah dan Tingkat Inflasi terhadap Pembiayaan Bank Syariah di
Indonesia.Jurnal Etikonomi Vol. 13, No. 2.

Dendawijaya, Lukman. 2009. Manajemen Perbankan. Edisi Kedua. Bogor:


Ghalian Indonesia.

Djamil, Faturrahman. 2014. Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank


Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.

Dwi Eko Waluyo, Ekonomika Makro, Malang: UMM Press, Ed. Revisi, Cet. ke-5,
2007, h. 172.

Erni Umi Hasanah dan Danang Sunyoto, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro,
Yogyakarta: CAPS, Cet. ke-1, 2012, h. 16.

Fahmi, Irham. 2015. Manajemen Perbankan: Konvensional dan Syariah. Edisi


Pertama. Jakarta: Mitra Wacana Media.

98
99

Hasyim, Ali Ibrahim. 2016. Ekonomi Makro. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.

Herry Sutanto dan Khaerul Umam, Manajemen Pemasaran Bank Syariah,


Bandung: Pustaka Setia, Cet. ke-1, 2013, h. 364.

Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah


Modul Sertifikasi Pembiayaan Syariah I, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Ed. 1, 2015.

Ikatan Bankir Indonesia. 2018. Memahami Bisnis Bank Syariah. Cetakan Ketiga.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

______. 2018. Mengelola Bisnis Pembiayaan Bank Syariah. Cetakan Kedua.


Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

______. 2018. Strategi Bisnis Pembiayaan Bank Syariah. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ismail. Perbankan Syariah, Jakarta: Prenadamedia Group, Ed. 1, 2011.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islam. Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
2008.

Khalwaty, Tajul. Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.2000.

Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. 2011. Manajemen Perbankan Teori dan


Aplikasi. Edisi Kedua. Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi.

Kuncoro, Mudrajad. 2013. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi
Keempat. Jakarta: PT Erlangga.

M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam: Konsep, Teori, dan Analisis,
Bandung: Alfabeta, Cet. ke-1, 2010, h. .

Mahmoedin, Melacak Kredit Bermasalah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004,


hlm.52.

Mudrajat Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi,


BPFE Yogyakarta, 2011, hlm 519

Muhamad. 2016. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Edisi Kedua.


Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Muhamad. 2016. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Edisi Kedua. Yogyakarta:


UPP AMP YKPN.

Muhammad, 2014, Manajemen Dana Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, h. 145.
100

Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005,

Mukhlis,Imam.2015. Ekonomi Keuangan dan Perbankan: Teori dan


Aplikasi.Jakarta: Salemba Empat.

Munifatussa’idah, A. (2019). Determinan non performing financing (npf) pada


bank umum syariah di indonesia periode 2014-2018.

Mutamimah dan Siti Nur Zaidah Chasanah. 2012. Analisis Eksternal Dan Internal
Dalam Menentukan Non Performing Financing Bank Umum Syariah Di
Indonesia. Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Volume 19 Nomor 1 ISSN 1412-3126,
Halaman 49-64.

Paul A. Samuelson, William D. Nordhaus, 2010. Economics. Nineteenth Edition.


International Edition, Singapore.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban


Penyadiaan Modal Minimum Bank Umum Syariah (diakses tanggal 14 Juli
2018).

Peraturan Perundang-undangan Perbankan Indonesia No. 21 Tahun 2008 Pasal 1


Ayat 1.

Poetry, Zakiyah Dwi dan Sanrego, Yulizar D. (2014) Pengaruh Variabel Makro dan
Mikro Terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah.
Tazkia Islamic Finance and Business Review, Vol. 6, No. 2.

Popita, Mares Suci Ana. 2013. Analisis Penyebab Terjadinya Non Performing
Financing pada Bank Umum Syariah di Indonesia. Accounting Analysis
Journal (AAJ). Vol. 2, No. 4.

Puspopranoto,Sawaljo.2004.Keuangan Perbankan dan Pasar keuangan.Jakarta:


Pustaka LP3ES Indonesia.

Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. 2010. Islamic Banking: Sebuah Teori,
Konsep, dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Riyadi, Selamet. 2011. Banking Assets and Liability Management. Edisi Ketiga.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Rustam, Bambang Rianto. 2018. Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Era


Digital: Konsep dan Penerapan di Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Salemba
Empat.

Salvatore, D., 1997. Ekonomi Internasional. Edisi kelima, Penerbit Erlangga,


Jakarta.

Statistika Perbankan Syariah Agustus 2020, website OJK Indonesia


101

Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tanggal 27 Maret 2013 tentang
Pembukaan Jaringan Kantor Bank Umum Syariah (diakses tanggal 12
Desember 2020).

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/DPbS tanggal 30 Oktober 2007 tentang
Penilaian Tingkat kesehatan Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah
(diakses tanggal 13 Desember 2020).

Tifanny, Timothy Arsya. 2018. “Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Biaya
Operasional Pada Pendapatan Operasional (BOPO), Financing To Deposit
Ratio (FDR), Sertifikat BankK Indonesia Syariah (SBIS), Dan Inflasi
Terhadap Risiko Pembiayaan Bermasalah Pada Bank Umumu Syariah Di
Indonesia Periode Tahun 2012-2016”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas
Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta: Yogyakarta.

Usman, Berto & Kamaludin, Darmansyah. 2015. Determinan Non Performing Loan
(NPL) Pada Industri Perbankan (Bukti Empiris Perusahaan Go Publik di
Bursa Efek Indonesia).

Vanni, K. M., & Rokhman, W. (2018). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Non Performing Financing Pada Perbankan Syariah Di Indonesia Tahun 2011-
2016. Equilibrium: Jurnal Ekonomi Syariah, 5(2), 306.
https://doi.org/10.21043/equilibrium.v5i2.2776

Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Pustaka Alvabet, Jakarta,


2005, hlm. 138.

https://tafsirweb.com/1886-quran-surat-al-maidah-ayat-2.html

www.bps.go.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020.

www.bi.go.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020.

www.ojk.go.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020.

www.bankmuamalat.co.id diakses pada tanggal 10 Oktober 2020.

www.syariahmandiri.co.id diakses pada tanggal 11 Oktober 2020.

www.bnisyariah.co.id diakses pada tanggal 11 Maret 2019.

www.megasyariah.co.id diakses pada tanggal 11 Maret 2019.


P
A
G
E
1
1
8

LAMPIRAN
P
Lampiran 1. Data Penelitian A
G
NP BOP KPM Inflas
E
N QUARTA FDR Nilai Tukar GDP
BANK F O M i1
O L-TAHUN 1
(%) (%) (%) (%) (Rp) (%)8 (%)
1 BSM Q1-2016 6.4 94.44 13.39 80.16 Rp 13.276,- 4.45 4.92
2
2 BSM Q2-2016 5.5 93.76 13.69 82.31 Rp 13.180,- 3.45 5.18
8
3 BSM Q3-2016 5.4 93.93 13.50 80.40 Rp 12.998,- 3.07 5.02
3
4 BSM Q4-2016 4.9 94.12 14.01 79.19 Rp 13.436,- 3.02 4.94
2
5 BSM Q1-2017 4.9 93.82 14.40 77.75 Rp13.320,- 3.61 5.01
1
6 BSM Q2-2017 4.8 93.89 14.37 80.03 Rp 13.319,- 4.37 5.01
5
7 BSM Q3-2017 4.6 94.22 14.92 78.29 Rp 13.492,- 3.72 5.06
9
8 BSM Q4-2017 4.5 94.44 15.89 77.66 Rp 13.548,- 3.61 5.19
3
9 BSM Q1-2018 3.9 91.20 15.59 73.92 Rp 13.756,- 3.40 5.06
7
10 BSM Q2-2018 3.9 90.09 15.62 75.47 Rp 14.404,- 3.12 5.27
7
11 BSM Q3-2018 3.6 89.73 16.46 79.08 Rp 14.929,- 2.88 5.17
5
12 BSM Q4-2018 3.2 91.16 16.26 77.25 Rp 14.481,- 3.13 5.18
8
13 BSM Q1-2019 3.0 86.03 15.62 79.39 Rp 14.244,- 2.48 5.07
6
14 BSM Q2-2019 2.8 83.92 15.84 81.63 Rp 14.141,- 3.28 5.05
9
P
15 BSM Q3-2019 2.6 83.28 16.08 81.41 Rp 14.174,- A
3.39 5.02
G
6 E
16 BSM Q4-2019 2.4 82.89 16.15 75.54 Rp 13.901,- 1
2.72 4.97
1
4 8
17 BSM Q1-2020 2.4 82.87 16.43 74.13 Rp 16.367,- 2.96 2.97
9
18 BSM Q2-2020 2.5 81.26 17.41 74.16 Rp 14.302,- 1.96 5.32
7
19 BSM Q3-2020 2.6 81.95 17.68 74.56 Rp 14.918,- 1.42 5.05
6
20 BRIS Q1-2016 4.8 90.70 14.66 82.73 Rp 13.276,- 4.45 4.92
4
21 BRIS Q2-2016 4.8 90.41 14.06 87.92 Rp 13.180,- 3.45 5.18
7
22 BRIS Q3-2016 5.2 90.99 14.30 83.98 Rp 12.998,- 3.07 5.02
2
23 BRIS Q4-2016 4.5 91.33 20.63 81.47 Rp 13.436,- 3.02 4.94
7
24 BRIS Q1-2017 4.7 93.67 21.14 77.56 Rp13.320,- 3.61 5.01
1
25 BRIS Q2-2017 4.8 92.78 20.38 76.79 Rp 13.319,- 4.37 5.01
2
26 BRIS Q3-2017 4.8 92.03 20.98 73.14 Rp 13.492,- 3.72 5.06
2
27 BRIS Q4-2017 6.4 95.24 20.29 71.87 Rp 13.548,- 3.61 5.19
3
Bersambung…
Lampiran 1. (Lanjutan 1)
28 BRIS Q1-2018 4.9 90.75 23.95 68.70 Rp 13.756,- 3.40 5.06
2
29 BRIS Q2-2018 5.1 89.92 29.31 77.78 Rp 14.404,- 3.12 5.27
3
P
30 BRIS Q3-2018 5.3 91.49 30.07 76.40 Rp 14.929,- A
2.88 5.17
G
0 E
31 BRIS Q4-2018 6.7 95.32 29.73 75.49 Rp 14.481,- 1
3.13 5.18
1
3 8
32 BRIS Q1-2019 5.6 95.67 27.82 79.55 Rp 14.244,- 2.48 5.07
8
33 BRIS Q2-2019 4.9 96.74 26.88 85.25 Rp 14.141,- 3.28 5.05
8
34 BRIS Q3-2019 4.4 96.78 26.55 90.40 Rp 14.174,- 3.39 5.02
5
35 BRIS Q4-2019 5.2 96.80 25.26 80.12 Rp 13.901,- 2.72 4.97
2
36 BRIS Q1-2020 5.0 90.18 21.99 92.10 Rp 16.367,- 2.96 2.97
0
37 BRIS Q2-2020 3.9 89.93 23.73 91.01 Rp 14.302,- 1.96 5.32
9
38 BRIS Q3-2020 3.3 90.39 19.38 82.65 Rp 14.918,- 1.42 5.05
5
39 BNIS Q1-2016 2.7 85.37 15.85 86.26 Rp 13.276,- 4.45 4.92
7
40 BRIS Q2-2016 2.8 85.88 15.56 86.92 Rp 13.180,- 3.45 5.18
0
41 BRIS Q3-2016 3.0 86.28 15.82 85.79 Rp 12.998,- 3.07 5.02
3
42 BRIS Q4-2016 2.9 86.88 14.92 84.57 Rp 13.436,- 3.02 4.94
4
43 BRIS Q1-2017 3.1 87.29 14.44 82.32 Rp13.320,- 3.61 5.01
6
44 BRIS Q2-2017 3.3 86.50 14.33 84.44 Rp 13.319,- 4.37 5.01
8
45 BRIS Q3-2017 3.2 87.60 14.90 81.40 Rp 13.492,- 3.72 5.06
9
P
46 BNIS Q4-2017 2.8 87.62 20.14 80.21 Rp 13.548,- A
3.61 5.19
G
9 E
47 BRIS Q1-2018 3.1 86.53 19.42 71.98 Rp 13.756,- 1
3.40 5.06
1
8 8
48 BRIS Q2-2018 3.0 85.43 19.24 77.42 Rp 14.404,- 3.12 5.27
4
49 BRIS Q3-2018 3.0 85.49 19.22 80.03 Rp 14.929,- 2.88 5.17
8
50 BRIS Q4-2018 2.9 85.37 19.31 79.62 Rp 14.481,- 3.13 5.18
3
51 BRIS Q1-2019 2.9 82.96 18.23 76.42 Rp 14.244,- 2.48 5.07
0
52 BRIS Q2-2019 3.0 79.85 18.38 87.07 Rp 14.141,- 3.28 5.05
3
53 BRIS Q3-2019 3.0 80.67 18.73 84.74 Rp 14.174,- 3.39 5.02
5
54 BRIS Q4-2019 3.3 81.26 18.88 74.31 Rp 13.901,- 2.72 4.97
3
55 BRIS Q1-2020 3.8 76.53 19.29 70.62 Rp 16.367,- 2.96 2.97
0
56 BRIS Q2-2020 3.9 82.88 20.66 71.67 Rp 14.302,- 1.96 5.32
0
Bersambung…

Lampiran 1. (Lanjutan 2)

57 BRIS Q3-2020 3.4 84.00 20.60 70.62 Rp 14.918,- 1.42 5.05


4
58 BMI Q1-2016 6.0 97.32 12.10 97.30 Rp 13.276,- 4.45 4.92
7
59 BMI Q2-2016 7.2 99.00 12.74 99.11 Rp 13.180,- 3.45 5.18
3
P
60 BMI Q3-2016 4.4 98.89 12.75 96.47 Rp 12.998,- A
3.07 5.02
G
3 E
61 BMI Q4-2016 3.8 97.76 12.74 95.13 Rp 13.436,- 1
3.02 4.94
1
3 8
62 BMI Q1-2017 4.5 98.19 12.83 90.93 Rp13.320,- 3.61 5.01
6
63 BMI Q2-2017 4.9 97.40 12.94 89.00 Rp 13.319,- 4.37 5.01
6
64 BMI Q3-2017 4.5 98.10 11.58 86.14 Rp 13.492,- 3.72 5.06
4
65 BMI Q4-2017 4.4 97.68 13.62 84.41 Rp 13.548,- 3.61 5.19
3
66 BMI Q1-2018 4.7 98.03 10.16 88.41 Rp 13.756,- 3.40 5.06
6
67 BMI Q2-2018 3.8 98.24 12.34 84.37 Rp 14.404,- 3.12 5.27
7
68 BMI Q3-2018 1.6 92.78 15.92 79.03 Rp 14.929,- 2.88 5.17
5
69 BMI Q4-2018 2.9 94.38 12.12 73.18 Rp 14.481,- 3.13 5.18
8
70 BMI Q1-2019 4.4 99.13 12.58 71.17 Rp 14.244,- 2.48 5.07
3
71 BMI Q2-2019 5.4 99.04 12.01 68.05 Rp 14.141,- 3.28 5.05
1
72 BMI Q3-2019 5.6 98.83 12.42 68.51 Rp 14.174,- 3.39 5.02
4
73 BMI Q4-2019 5.2 99.50 19.42 73.51 Rp 13.901,- 2.72 4.97
2
74 BMI Q1-2020 5.6 97.94 12.12 73.77 Rp 16.367,- 2.96 2.97
2
75 BMI Q2-2020 5.7 98.19 12.13 74.81 Rp 14.302,- 1.96 5.32
0
P
76 BMI Q3-2020 5.6 98.38 12.48 73.80 Rp 14.918,- A
1.42 5.05
G
9 E
77 BMS Q1-2016 4.1 84.92 22.22 95.85 Rp 13.276,- 1
4.45 4.92
1
8 8
78 BMS Q2-2016 4.1 89.07 22.86 95.97 Rp 13.180,- 3.45 5.18
6
79 BMS Q3-2016 3.7 89.50 22.97 98.13 Rp 12.998,- 3.07 5.02
4
80 BMS Q4-2016 3.3 88.16 23.53 95.24 Rp 13.436,- 3.02 4.94
0
81 BMS Q1-2017 3.4 88.82 25.76 97.56 Rp13.320,- 3.61 5.01
3
82 BMS Q2-2017 3.2 88.80 20.89 96.06 Rp 13.319,- 4.37 5.01
0
83 BMS Q3-2017 3.1 89.42 21.94 91.57 Rp 13.492,- 3.72 5.06
4
84 BMS Q4-2017 2.9 89.16 22.19 91.05 Rp 13.548,- 3.61 5.19
5
85 BMS Q1-2018 2.8 93.58 23.41 94.26 Rp 13.756,- 3.40 5.06
4
Bersambung…
Lampiran 1. (Lanjutan 3)
86 BMS Q2-2018 2.6 93.34 22.91 92.49 Rp 14.404,- 3.12 5.27
3
87 BMS Q3-2018 2.4 93.78 21.38 94.35 Rp 14.929,- 2.88 5.17
6
88 BMS Q4-2018 2.1 93.84 20.54 90.88 Rp 14.481,- 3.13 5.18
5
89 BMS Q1-2019 1.9 94.91 21.05 99.23 Rp 14.244,- 2.48 5.07
1
90 BMS Q2-2019 1.7 95.43 20.45 97.12 Rp 14.141,- 3.28 5.05
8
P
91 BMS Q3-2019 1.7 94.85 20.22 98.77 Rp 14.174,- A
3.39 5.02
G
5 E
92 BMS Q4-2019 1.7 93.71 19.96 94.53 Rp 13.901,- 1
2.72 4.97
1
2 8
93 BMS Q1-2020 2.5 93.08 19.37 97.24 Rp 16.367,- 2.96 2.97
5
94 BMS Q2-2020 2.2 92.81 19.28 83.73 Rp 14.302,- 1.96 5.32
7
95 BMS Q3-2020 4.3 90.13 21.96 76.19 Rp 14.918,- 1.42 5.05
3
Sumber : www.bankmuamalat.co.id, www.bnisyariah.co.id, www.syariahmandiri.co.id,
www.megasyariah.co.id., https://www.brisyariah.co.id/.

Lampiran 2. Statistik Deskriptif


Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
NPF 3.9521 1.24905 95
BOPO 91.1432 5.42891 95
KPMM 18.1077 4.60115 95
FDR 82.9576 8.60365 95
Nilai Tukar 14009.84 794.839 95
Inflasi 3.1600 .70439 95
GDP 4.9716 .48595 95
P
Lampiran 3. Grafik Histogram A
G
E
1
1
8

Lampiran 4. Grafik Normal Probability Plot

Lampiran 5. Uji Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S)


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 95
Mean 0E-7
Normal Parametersa,b
Std. Deviation .85443715
Absolute .089
Most Extreme Differences Positive .089
Negative -.046
Kolmogorov-Smirnov Z .865
Asymp. Sig. (2-tailed) .443
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
P
A
G
E
Lampiran 6. Uji Multikolonearitas 1
Model Collinearity Statistics 1
8
Tolerance VIF
(Constant)
BOPO .903 1.107
KPMM .833 1.201
1 FDR .805 1.242
Nilai Tukar .305 3.279
Inflasi .550 1.819
GDP .429 2.329

Lampiran 7. Uji Durbin-Waston (DW Test)


Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson
Square Estimate
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF

Lampiran 8. Uji Runs Test


Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea -.03115
Cases < Test Value 47
Cases >= Test Value 48
Total Cases 95
Number of Runs 29
Z -4.022
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Median
P
Lampiran 9. Grafik Scatterplot A
G
E
1
1
8

Lampiran 10. Uji Park


Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -9.308 15.885 -.586 .559
BOPO .024 .059 .045 .406 .686
KPMM .047 .072 .075 .653 .515
1 FDR .023 .039 .068 .575 .567
Nilai Tukar .000 .001 .075 .395 .694
Inflasi .016 .578 .004 .028 .978
GDP -.312 .949 -.053 -.329 .743
a. Dependent Variable: LN_RES
P
Lampiran 11. Uji Glejser A
G
Coefficientsa
E
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig. 1
Coefficients 1
B Std. Error Beta
8
(Constant) -5.129 2.997 -1.711 .091
BOPO .013 .011 .130 1.214 .228
KPMM .000 .014 .003 .025 .980
1 FDR .017 .007 .256 2.266 .056
Nilai Tukar .000 .000 .259 1.413 .161
Inflasi .030 .109 .038 .278 .782
GDP .098 .179 .085 .547 .586
a. Dependent Variable: AbsRES

Lampiran 12. Analisis Regresi Linier Berganda


Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
B Std. Error
(Constant) 13.422 4.789
BOPO .139 .018
KPMM .054 .022
1 FDR -.075 .012
Nilai Tukar -.001 .000
Inflasi -.001 .174
GDP -1.063 .286
a. Dependent Variable: NPF

Lampiran 13. Uji Signifikansi Simultan (Uji F)


ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression 78.026 6 13.004 16.676 .000b
1 Residual 68.626 88 .780
Total 146.652 94
a. Dependent Variable: NPF
b. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
P
Lampiran 14. Uji Koefisien Determinasi (R2 ) A
G
Model Summaryb E
Model R R Square Adjusted R Std. Error of the Durbin-Watson 1
Square Estimate 1
8
1 .729a .532 .500 .88309 .813
a. Predictors: (Constant), GDP, FDR, KPMM, BOPO, Inflasi, Nilai Tukar
b. Dependent Variable: NPF

Lampiran 15. Uji Signifikansi Parsial (Uji t)


Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients Standardized t Sig.
Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) 13.422 4.789 2.802 .006
BOPO .139 .018 .604 7.867 .000
KPMM .054 .022 .200 2.501 .014
1 FDR -.075 .012 -.515 -6.343 .000
Nilai Tukar -.001 .000 -.528 -3.996 .000
Inflasi -.001 .174 .000 -.003 .997
GDP -1.063 .286 -.414 -3.718 .000
a. Dependent Variable: NPF
P
Lampiran 16. Tabel F A
G
Titik Persentase Distribusi F E
untuk Probabilita = 0,05 1
1
8
PA
GE
Lampiran 17. Tabel t 109
Titik Persentase Distribusi t (df = 81 –120)
PA
GE
Lampiran 18. Tabel Durbin-Watson (DW) 112
Tabel Durbin-Watson (DW), α = 5%
k=1 k=2 k=3 k=4 k=5
n dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU
71 1.5865 1.6435 1.5577 1.6733 1.5284 1.7041 1.4987 1.7358 1.4685 1.7685
72 1.5895 1.6457 1.5611 1.6751 1.5323 1.7054 1.5029 1.7366 1.4732 1.7688
73 1.5924 1.6479 1.5645 1.6768 1.5360 1.7067 1.5071 1.7375 1.4778 1.7691
74 1.5953 1.6500 1.5677 1.6785 1.5397 1.7079 1.5112 1.7383 1.4822 1.7694
75 1.5981 1.6521 1.5709 1.6802 1.5432 1.7092 1.5151 1.7390 1.4866 1.7698
76 1.6009 1.6541 1.5740 1.6819 1.5467 1.7104 1.5190 1.7399 1.4909 1.7701
77 1.6036 1.6561 1.5771 1.6835 1.5502 1.7117 1.5228 1.7407 1.4950 1.7704
78 1.6063 1.6581 1.5801 1.6851 1.5535 1.7129 1.5265 1.7415 1.4991 1.7708
79 1.6089 1.6601 1.5830 1.6867 1.5568 1.7141 1.5302 1.7423 1.5031 1.7712
80 1.6114 1.6620 1.5859 1.6882 1.5600 1.7153 1.5337 1.7430 1.5070 1.7716
81 1.6139 1.6639 1.5888 1.6898 1.5632 1.7164 1.5372 1.7438 1.5109 1.7720
82 1.6164 1.6657 1.5915 1.6913 1.5663 1.7176 1.5406 1.7446 1.5146 1.7724
83 1.6188 1.6675 1.5942 1.6928 1.5693 1.7187 1.5440 1.7454 1.5183 1.7728
84 1.6212 1.6693 1.5969 1.6942 1.5723 1.7199 1.5472 1.7462 1.5219 1.7732
85 1.6235 1.6711 1.5995 1.6957 1.5752 1.7210 1.5505 1.7470 1.5254 1.7736
86 1.6258 1.6728 1.6021 1.6971 1.5780 1.7221 1.5536 1.7478 1.5289 1.7740
87 1.6280 1.6745 1.6046 1.6985 1.5808 1.7232 1.5567 1.7485 1.5322 1.7745
88 1.6302 1.6762 1.6071 1.6999 1.5836 1.7243 1.5597 1.7493 1.5356 1.7749
89 1.6324 1.6778 1.6095 1.7013 1.5863 1.7254 1.5627 1.7501 1.5388 1.7754
90 1.6345 1.6794 1.6119 1.7026 1.5889 1.7264 1.5656 1.7508 1.5420 1.7758
91 1.6366 1.6810 1.6143 1.7040 1.5915 1.7275 1.5685 1.7516 1.5452 1.7763
92 1.6387 1.6826 1.6166 1.7053 1.5941 1.7285 1.5713 1.7523 1.5482 1.7767
93 1.6407 1.6841 1.6188 1.7066 1.5966 1.7295 1.5741 1.7531 1.5513 1.7772
94 1.6427 1.6857 1.6211 1.7078 1.5991 1.7306 1.5768 1.7538 1.5542 1.7776
95 1.6447 1.6872 1.6233 1.7091 1.6015 1.7316 1.5795 1.7546 1.5572 1.7781
96 1.6466 1.6887 1.6254 1.7103 1.6039 1.7326 1.5821 1.7553 1.5600 1.7785
97 1.6485 1.6901 1.6275 1.7116 1.6063 1.7335 1.5847 1.7560 1.5628 1.7790
98 1.6504 1.6916 1.6296 1.7128 1.6086 1.7345 1.5872 1.7567 1.5656 1.7795
99 1.6522 1.6930 1.6317 1.7140 1.6108 1.7355 1.5897 1.7575 1.5683 1.7799
100 1.6540 1.6944 1.6337 1.7152 1.6131 1.7364 1.5922 1.7582 1.5710 1.7804
101 1.6558 1.6958 1.6357 1.7163 1.6153 1.7374 1.5946 1.7589 1.5736 1.7809
102 1.6576 1.6971 1.6376 1.7175 1.6174 1.7383 1.5969 1.7596 1.5762 1.7813
103 1.6593 1.6985 1.6396 1.7186 1.6196 1.7392 1.5993 1.7603 1.5788 1.7818
104 1.6610 1.6998 1.6415 1.7198 1.6217 1.7402 1.6016 1.7610 1.5813 1.7823
105 1.6627 1.7011 1.6433 1.7209 1.6237 1.7411 1.6038 1.7617 1.5837 1.7827
106 1.6644 1.7024 1.6452 1.7220 1.6258 1.7420 1.6061 1.7624 1.5861 1.7832
107 1.6660 1.7037 1.6470 1.7231 1.6277 1.7428 1.6083 1.7631 1.5885 1.7837
108 1.6676 1.7050 1.6488 1.7241 1.6297 1.7437 1.6104 1.7637 1.5909 1.7841
109 1.6692 1.7062 1.6505 1.7252 1.6317 1.7446 1.6125 1.7644 1.5932 1.7846
110 1.6708 1.7074 1.6523 1.7262 1.6336 1.7455 1.6146 1.7651 1.5955 1.7851
111 1.6723 1.7086 1.6540 1.7273 1.6355 1.7463 1.6167 1.7657 1.5977 1.7855
112 1.6738 1.7098 1.6557 1.7283 1.6373 1.7472 1.6187 1.7664 1.5999 1.7860
113 1.6753 1.7110 1.6574 1.7293 1.6391 1.7480 1.6207 1.7670 1.6021 1.7864
114 1.6768 1.7122 1.6590 1.7303 1.6410 1.7488 1.6227 1.7677 1.6042 1.7869
115 1.6783 1.7133 1.6606 1.7313 1.6427 1.7496 1.6246 1.7683 1.6063 1.7874
CURRICULUM VITAE

I. DATA PRIBADI

Nama : Nur Fuad Gandi


NIM : 4.42.17.1.19
Tempat/Tgl. Lahir : Kab. Semarang,
31 Juli 1998
Jenis Kelamin : Laki-
laki
Agama : Islam
Pekerjaan :
Mahasiswa/Pelajar Perguruan Tinggi :
Politeknik Negeri Semarang
Alamat Rumah : Jl. Kyai Mojo No.52 Genuk Barat Rt.03/Rw.03,
Kel. Genuk, Kec. Ungaran Barat, Kab. Semarang
Telp/No.HP : 089624992096
E-mail : nurfuadgandi11@gmail.com

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN NAMA PENDIDIKAN


2005-2011 SD Negeri 02 Nyatnyono
2011-2014 MTs Negeri Salatiga
2014-2017 SMA Negeri 1 Ungaran
2017-Sekarang Politeknik Negeri Semarang

III. PENGALAMAN ORGANISASI

TAHUN NAMA ORGANISASI JABATAN


2014-2015 Wakil
Koordinator
Rohis At-Tarbiya SMA Negeri 1 Ungaran
Departemen
Dakwah

2015-2016 Rohis At-Tarbiya SMA Negeri 1 Ungaran Ketua

2017-2018 Kelompok Studi Ekonomi Islam Anggota


Depart. Riset

111
PA
GE
112

IV. PRESTASI

TAHUN NAMA KEGIATAN PRESTASI


2015 Lomba Cerdas Cermat Keislaman Se-Jawa Juara II
Tengah

V. Pengalaman Workshop/Seminar/Talkshow/Kuliah Umum

Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara Posisi


2017 Wawasan Alamameter dan Politeknik Negeri Peserta
Orientasi Akademik. Semarang
2017 Pengembangan Spiritual Politeknik Negeri Peserta
Mahasiswa. Semarang
2017 Latihan Dasar Kepemimpinan. Politeknik Negeri Peserta
Semarang
2017 Kuliah Umum Program Studi Program Studi Peserta
Perbankan Syariah “Era Digitalisasi Perbankan Syariah
Perbankan: Perbankan Syaraih Politeknik Negeri
Tidak Butuh SDM?”. Semarang
2018 Kuliah Umum Program Studi Program Studi Peserta
Perbankan Syariah “Pengawasan Perbankan Syariah
dan Penilaian Kesehatan Bank Politeknik Negeri
Syariah dalam Gerbang Semarang
Pembayaran Nasional”
2018 Seminar Peradaban Islam #6 Program Studi Peserta
“Membangun Generasi Khoiro Perbankan Syariah
Ummah”. Politeknik Negeri
Semarang
2018 Seminar Nasional “Prospek KSEI Jazirah Peserta
Perekonomian Indonesia dan Politeknik Negeri
Regulasi Perpajakan Terhadap Semarang
UMKM”.
2019 Seminar Nasional “Meningkatkan KSEI Jazirah Peserta
Pembangunan Sosial Ekonomi Politeknik Negeri
Indonesia melalui Optimalisasi Semarang
Sociopreneurship di Era Industri
4.0”.
Semarang, 21 Januari 2021

Nur Fuad Gandi


NIM. 4.42.17.1.19

Anda mungkin juga menyukai