Anda di halaman 1dari 29

OBSTRUKSI JAUNDICE

Laporan Kasus
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani kepanitraan klinik senior
Pada bagian/SMF ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran unsyiah/
RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh:
MUHAMMAD ARIEF L. : 1407101030161
DIDYA HAFSAH F. : 1407101030283
NURUL HIKMAH A. : 1407101030223
SUCI DWI LESTARI : 1407101030268
DESI RATNA SARI : 1407101030175
RAHMI ANNISA S. : 1407101030301

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr.ZAINOEL ABIDINBANDA ACEH
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat-Nya serta
shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga para penulis dapat
menyelesaikan laporan kasusyang berjudul Obstruksi jaundice.
Laporan kasus ini adalah salah satu tugas dalam menjalani kepanitraan klinik senior di
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Penulisan laporan kasus ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak,
untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada dr. Price Maya, Sp. PD selaku
pembimbing laporan kasus ini, dr. Maimun Syukri, Sp. PD-KGH selaku Kepala Bagian Ilmu
Penyakit Dalam, segenap dosen di Bagian Ilmu Penyakit Dalam dan temen-teman dokter
muda sekalian.
Para Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini masih belum
sempurna, untuk itu penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran, tentunya yang bersifat
membangun.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
semua yang membacanya.Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya
kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, April 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I LAPORAN KASUS..................................................................... 4
1.1 Identitas................................................................................................... 4
1.2 Anamnesis .............................................................................................. 5
1.3 Pemeriksaan Fisik................................................................................... 5
1.4 Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 7
1.5 Assesment .............................................................................................. 8
1.6 Theraphy................................................................................................. 8
1.7 Prognosis ................................................................................................ 9
1.8 Pengkajian .............................................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................... 11


2.1 Pendahuluan............................................................................................ 11
2.2 Definisi ................................................................................................... 12
2.3 Anatomi Sistem Hepatobilier ................................................................. 13
2.4 Metabolisme Bilirubin ............................................................................ 14
2.5 Klasifikasi .............................................................................................. 14
2.6 Patofisiologi ........................................................................................... 14
2.7 Manifestasi Klinis................................................................................... 17
2.8 Diagnosis................................................................................................. 18
2.9 Pengobatan.............................................................................................. 22
Jaundice Obstruksi.................................................................................. 23
Patogenesis dan Tipe Batu ..................................................................... 24
Gambaran Klinis Batu Kandungan Empedu........................................... 24
Komplikasi Batu Empedu....................................................................... 24
Penanganan.............................................................................................. 25
Koledokolitiasis....................................................................................... 25

BAB III PEMBAHASAN........................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28

3
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien

Nama : Adi Surya Saputra


Usia : 28 tahun
Tanggal Lahir : 28 Maret 1988
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Sabang
No. CM : 1-09-26-79
Tanggal Masuk : 4 Juni 2016
Tanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2016

1.2 Anamnesis
1.2.1 Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas
1.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kiriman spesialis penyakit dalam Banda Aceh datang dengan keluhan nyeri perut
kanan atas yang dirasakan sejak 9 hari SMRS, memberat dalam 7 hari SMRS. Nyeri perut
dirasakan seperti berdenyut – denyut dan hilang timbul, nyeri ketika ditekan tidak ada.
Keluhan ini juga disertai dengan demam. Demam dirasakan sejak 9 hari SMRS, demam
dirasakan terus menerus, namun dirasakan meningkat pada malam hari dan turun dengan obat
penurun panas. Pasien mengeluh mual sejak nyeri perut kanan atas muncul. Pasien mengeluh
mata terlihat kuning setelah 3 hari demam muncul. Keluhan muntah dirasakan 2 hari SMRS.
BAK berwarna seperti teh dan BAB seperti dempul dialami pasien 1 hari SMRS. Gatal di
kulit (+) sejak mata berwarna kuning. Mata berwarna kuning sejak 1 hari SMRSPasien juga
mengeluhkan batuk dan pilek sejak 9 hari SMRS, batuk berdahak dengan dahak berwarna
putih. Riwayat penggunaan alkohol (+) riwayat BAB hitam (-) Riwayat muntah hitam (-)
Riwayat transfusi darah (-). 7 hari SMRS Pasien pergi berobat ke dokter, pasien diberikan
paracetamol dan obat batuk. 1 hari SMRS.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat diabetes melitus (-), hipertensi (-), penyakit jantung (-), asma(-), alergi (-).
Riwayat sakit kuning disangkal, riwayat demam typhoid (+) sewaktu SMA.

4
1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma dan
alergi. Tidak ada anggota keluarga yang pernah menderita sakit kuning.
1.2.5 Riwayat Pengobatan
Riwayat minum obat penurun panas dan obat batuk
1.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien bekerja sebagai tour guide, riwayat mengkonsumsi alkohol (+), riwayat merokok
(+) sejak SMA

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Baik
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Laju nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
SuhuTubuh : 38.50 C

1.3.2 Pemeriksaan Fisik


Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor
(3 mm/ 3mm), refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+)
Telinga : Tanda radang (-/-), pengeluaran sekret (-/-), fungsi pendengaran dalam
batas normal
Hidung : Napas cuping hidung (-/-), rinorrhea (-/-), nyeri tekan sinus (-/-)
deformitas septum nasi (-)
Mulut : Stomatitis (-), ikterik sublingual (+), Pallatum ikterik (+)
Leher : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba pembesaran
kelenjar tiroid, tidak terdapat peningkatan JVP.

5
Thorax :
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris, penggunaan otot bantu napas (-), jejas (-)
Palpasi Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri, kesan normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+/+), Vesikuler (+/+)
Ronkhi(-/-) Ronkhi(-/-)
wheezing (-/-) wheezing (-/-)

Cor :
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Ictus cordis teraba di ICS V linea midklavikula
Palpasi
sinistra
Batas-batas jantung :
Atas : ICS III linea midklavikula sinistra
Perkusi
Kanan : Linea parasternalis dextra
Kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
BJ I > BJ II, reguler, murmur tidak ada, gallop
Auskultasi
tidak ada

Abdomen :
Simetris (+), Distensi (-), collateral vein (-) spidernevi
Inspeksi
(-), darm steifung (-), darm contour (-)
Nyeri tekan (+) hipokondrium kanan dan epigastrium,
Palpasi Murphy sign (-), soepel (+), Hepatomegali (-),
Spleenomegali (-), Ballotement (-)
Perkusi Tympani, Shifting dullness (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) 2-3 kali/menit kesan normal

Ekstremitas :
1. Ekstremitas Atas
Warna : Kuning kecoklatan Jari tabuh : (-)
Edema : (-/-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-)

2. Ekstremitas bawah

6
Warna : Kuning kecoklatan Jari tabuh : (-)
Edema : (+/+) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-/-) Deformitas : (-/-)
Suhu raba :N/N Kekuatan : 5/5
Pucat : (-/-)

1.3.3 Laboratorium
Pemeriksaan Pemeriksaan
Laboratorium Hasil Laboratorium Hasil
Darah Darah
(Tgl. 4/6/2016) (Tgl. 4/6/2016)
Darah Rutin Diabetes
Hb 13,7 g/dl Glukosa Darah 130 mg/dl
Sewaktu
Ht 39% Imunoserologis
Leu 7,6x103/mm3 HbsAg Negatif
Tro 211x103U/L Kimia Klinik
Erit 4,8x106/mm3 Natrium 132 mmol/L
MCV 82 fL Kalium 3,3 mmol/L
MCH 29 pg Klorida 93 mmol/L
Neutrofil batang 0% Ginjal dan Hipertensi
Neutrofil segmen 55% Ureum 12 mg/dL
Limfosit 32% Kreatinin 0,80 mg/dl
Monosit 12%
Kimia Klinik
Bilirubin Total 6,68 mg/dL
Bilirubin Direk 5,50 mg/dL
SGOT 123 U/L
SGPT 382 U/L
Protein Total 5,8 g/dL
Albumin 3,30 g/dL

Pemeriksaan Laboratorium
Darah Hasil Nilai Rujukan
Tgl. 06/06/16
Imunoserologi
Anti HCV Negatif Negatif
Hati & Empedu
ALP (Alkali Fosfatase) 325 U/L 53-128 U/L
Lemak Darah
Kolesterol Total 221 mg/dL < 200 mg/dl
HDL 14 g/dL < 60 mg/dl

LDL 180 mg/dL < 150 mg/dl

7
Trigliserida 278 mg/dL < 150 mg/dl

Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisis Hasil Nilai Rujukan
Tgl. 06/06/16
Makroskopik
Berat Jenis 1,005 1,003 – 1,030
pH 7 5–9
Leukosit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Biirubin Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Mikroskopik
Leukosit 1–2 0–5
Eritrosit 0–1 0–2
Epitel 2 –3 0– 2

1.4 Diagnosis Kerja


Obstruksi Jaundice ec dd/
1. Kolesistitis dengan kolelitiasis
2. Kolelitiasis
3. Koledokolitiasis

1.5 Tatalaksana

- Bed rest
- Diet Hati II 1700 kkal
- IV. Cefoperazone Sulbaktam 1 gram/12 jam
- IV. Omeprazole 40 mg/12 jam
- IV. Ondansetron 4 mg/8jam
- Sistenol tab 3 x 500 mg
- UDCA 3 x 1 tab
- Liverprime 2 x 1 tab
1.6 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam

8
- Quo ad fuctionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

ANALISA KASUS
Masalah Pengkajian Rencana RencanaTatalaksana
Diagnosis

1. Obstru Anamnesis: Lipid profile Terapi non


ksi farmakologis :
Pasien datang dengan Gamma GT
jaundice
keluhan nyeri perut kanan - Tirah baring
Alkali
atas nyeri dirasakan sejak 9
phospatase - Diet hati III 1700kkal
hari SMRS, memberat
dalam 1 hari SMRS. Nyeri Anti-HCV, Terapifarmakologis :
perut dirasakan hilang HAV
IFVD Nacl 0,9 % 20
timbul. Demam dirasakan
gtt/menit
selama 9 hari dan turun
dengan obat penurun IV cefoperazone +
panas. Pasien mengeluh cebactam 1 gr/12jam
mata terlihat kuning sejak
Sistenol
beberapa hari terakhir.
Mual (+) Muntah (+) Gatal Monitoring
dikulit (+) BAB berwarna
- Pantaukesadaran
dempul (+) BAK seperti
- Pantau vital sign
teh (+) riwayat penggunaan
Edukasi
alkohol (+) riwayat BAB
hitam (-) Riwayat muntah Menjelaskankepadapasiend
hitam (-) Riwayat transfusi ankeluargapasienkemungki
darah (-) nanpenyebab terjadinya
kekuningan pada pasien
Pemeriksaan Fisik:
-Menjelaskankepadapasien
PF/kes : CM rencanapemeriksaanselanju
tnya
TD : 110/70 mmHg
Laju Nadi

9
: 80 x/menit
Pernafasan
: 20 x/menit
SuhuTubuh
: 38.50 C

sklera mata ikterik (+/+)

mulut : mukosa sub lingual


ikterik (+)

abdomen simetris (+)


peristaltik (+) nyeri tekan
(+) murphy sign (-).

RT: mukosa licin, sfingter


ani ketat, massa (-),
hemoroid (-), darah (-),
lender (-), feses pucat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya yang menjadi

10
kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Untuk pendekatan diagnosis terhadap pasien ikterus perlu ditinjau kembali
patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk. (1)
Munculnya jaundice pada pasien adalah sebuah kejadian yang dramatis secara
visual. Jaundice selalu berhubungan dengan penyakit penting, meskipun hasil akhir
jangka panjang bergantung pada penyebab yang mendasari jaundice. Jaundice adalah
gambaran fisik sehubungan dengan gangguan metabolisme bilirubin. Kondisi ini
biasanya disertai dengan gambaran fisik abnormal lainnya dan biasanya berhubungan
dengan gejala-gejala spesifik. Kegunaan yang tepat pemeriksaan darah dan pencitraan,
memberikan perbaikan lebih lanjut pada diagnosa banding. Umumnya, jaundice non-
obstruktif tidak membutuhkan intervensi bedah, sementara jaundice obstruktif biasanya
membutuhkan intervensi bedah atau prosedur intervensi lainnya untuk pengobatan.(2)
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan traktus biliaris, dan
evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan yang sering dihadapi
oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara 0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya
meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan bilirubin menjadi terlihat secara klinis
sebagai jaundice. Sebagai tambahan, adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan
satu dari perubahan awal yang terlihat pada tubuh pasien.(1,2)
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang dihasilkan dari
sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin tak terkonjugasi yang tidak
larut ditransportasikan ke hati terikat dengan albumin. Bilirubin ditransportasikan
melewati membran sinusoid hepatosit ke dalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–
glucuronyl transferase mengkonjugasikan bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut
dengan asam glukoronat untuk membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin
monoglucuronide dan bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara
aktif disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin
dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh ginjal
didalam urin.(3)
Pada banyak pasien ikterus dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis dapat ditegakkan.
Namun tidak jarang diagnosis pasti masih sukar ditetapkan sehingga perlu dipikirkan
berbagai pemeriksaan lanjutan. Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier umumnya
dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti serta tes

11
laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang imaging yang non-invasif seperti
ultrasonografi, CT Scan abdomen dan pemeriksaan yang invasif seperti percutaneous
transhepatic cholangiography (PTC) dan endoscopic retrograde cholangio
pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan letak, kausa dan luas dari
lesi obstruksinya. Kemajuan yang pesat di bidang endoskopi gastrointestinal maka
ERCP dan PTC telah berkembang dari satu modalitas dengan tujuan diagnosis menjadi
tujuan terapi pada ikterus bedah.(4)

12
A. Definisi
Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti kuning.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membrane
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin seperti
sklera dan permukaan bawah lidah biasanya pertama kali menjadi kuning. Ikterus yang
ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin
sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal adalah
bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL. (5)

B. Anatomi Sistem Hepatobilier


Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus biliaris, dan hubungannya
dengan pembuluh darah penting untuk kinerja pembedahan hepatobilier karena biasanya
terdapat variasi anatomi yang luas. Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya
muncul pada 58% populasi.(6)
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas ventral
(divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal minggu keempat
kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana bagian tersebut tumbuh
diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan
asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk
kandung empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara
divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris.
Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar
aspek dorsal duodenum.(5,6)

13
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-hepatik dan
ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier, termasuk kelenjar
peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal Hearing), dan duktus biliaris
intrahepatik membentuk saluran intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan
dan kiri), duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris
komunis merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.(3,5,6)
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus biliaris.
Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter 0,4-0,8 cm. Duktus
biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi: supraduodenal, retroduodenal, dan
intrapankreatik. Duktus biliaris komunis kemudian memasuki dinding medial duodenum,
mengalir secara tangensial melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila
mayor pada bagian kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos
yang membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum
secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk
membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater.(4,5)
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut pleksus vaskular
peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang arteri hepatika, dan pleksus ini
mengalir kedalam sistem vena porta atau langsung kedalam sinusoid hepatikum.(6)

C. Metabolime Normal Bilirubin


Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel retikuloendotelial, cincin
heme setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah menjadi biliverdin yang berwarna hijau.
Biliverdin berubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan
dengan albumin membentuk kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel
hati. Bentuk bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek
berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan melalui
urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin dikonjugasikan dengan asam
glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke saluran empedu. Pada reaksi diazo Van
den Berg memberikan reaksi langsung sehingga disebut bilirubin direk. Bilirubin indirek
yang berlebihan akibat pemecahan sel darah merah yang terlalu banyak, kekurang mampuan
sel hati untuk melakukan konjugasi akibat penyakit hati, terjadinya refluks bilirubin direk
dari saluran empedu ke dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu menyebabkan
tingginya kadar bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia dengan
manifestasi klinis berupa ikterus.(5)

14
D. Klasifikasi
Klasifikasi umum jaundice: pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice obstruktif
selalu ditunjuk sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin
melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice non-obstruktif. Bentuk ini
akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau sebuah kondisi pre-hepatik.(7)

E. Patofisiologi
Metabolisme bilirubin terjadi dalam tiga fase antara lain fase prehepatik, intrahepatik
dan posthepatik. Disfungsi pada salah satu atau lebih dari fase ini dapat menimbulkan
jaundice.(3)
Fase Prehepatik 
Tubuh manusia memproduksi kurang lebih 4 mg/kg BB bilirubin perhari dari
metabolisme heme.Sekitar 80% dari heme merupakan hasil dari katabolisme eritrosit, dengan
20% sisanya dihasilkan dari erithropoiesis yang tidak efektif serta perombakan mioglobin
otot dan sitokrom. Bilirubin yang terbentuk akan ditransportasi dari plasma menuju hepar
untuk dikonjugasikan dan diekskresi. (5,6)

Fase Intahepatik 
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan tidak larut air, dan karena itu dapat
dengan mudah melewati blood-brain barrier atau melewati plasenta. Di dalam hepatosit,
bilirubin tak terkonjugasi akan dikonjugasi dengan gula yang dikatalis enzim glucoronosyl
transferase dan akhirnya larut dalam cairan empedu. (5,6)
Fase Pascahepatik 
Setelah larut dalam empedu, bilirubin ditransportasikan melalui duktus biliaris dan
duktus cystic untuk disimpan sementara dalam kandung empedu, atau melewati ampula Vater
dan masuk keduodenum. Di dalam usus, sejumlah bilirubin akan diekskresikan di dalam
tinja, sementarasisanya dimetabolisme oleh flora normal usus menjadi urobilinogen dan
kemudian akan direabsorbsi. Sebagian besar urobilinogen akan difiltrasi dari darah oleh
ginjal dan diekskresikan di dalam urin. Sebagian kecil urobilinogen diabsorbsi di dalam usus
dan direekskresi ke dalam empedu. (5,6)

F. Gangguan Metabolisme Bilirubin

15
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi / indirek.

1.1. Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua
atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran
eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis intravaskular
(kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom
yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.(3,5)
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin
tak terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek
meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi pembentukkan
urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam urine (warna
gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin abnormal (anemia sel
sickle), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi serum (Rhesus Inkompatibilitas
transfusi) dan malaria tropika berat.(3,5)
1.2 Penurunan pengambilan hepatik

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari


albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam
flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake inI. (3)

1.3. Penurunan konjugasi hepatik

Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin


tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase. Terjadi
pada :
1. Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I.
2. Sindroma Crigler Najjar II (3)

2. Hiperbilirubinemia konjugasi/direk

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi bilirubin


ke dalam empedu. Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan intrahepatik
dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit akan

16
menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul
hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan : Hepatitis, sirosis
hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat yang.meracuni hati fosfor,
klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada trimester terakhir kehamilan
hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor, ikterus pasca bedah. Obstruksi saluran
bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai
bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.(5)
Obstruksi total dapat disertai tinja yang akolik. Penyebab tersering obstruksi
bilier ekstrahepatik adalah :
 Obstruksi saluran empedu didalam hepar. Contohnya pada kasus Sirosis hepatis,
abses hati, hepatokolangitis, tumor maligna primer dan sekunder.
 Obstruksi di dalam lumen saluran empedu : batu empedu, askaris.
 Kelainan di dinding saluran empedu : atresia bawaan, striktur traumatik, tumor
saluran empedu.
 Tekanan dari luar saluran empedu : tumor caput pancreas, tumor Ampula Vatery,
pancreatitis, metastasis tumor di ligamentum hepatoduodenale (2,3)

G. Manifestasi Kinis Jaundice


Pasien dengan jaundice mungkin hadir tanpa gejala sama sekali atau bahkan hadir
dengan kondisi yang mengancam jiwa. Pasien yang hadir dengan penyakit akut, yang
biasanya karenainfeksi, mungkin datang karena demam, menggigil, nyeri abdomen, dan flu-
like symptom. Pada pasien ini, perubahan warna kulit mungkin bukan menjadi keluhan utama
mereka. (8)

17
Pasien dengan jaundice non infeksi mungkin mengeluh penurunan berat badan atau
pruritus. Nyeri abdomen adalah gejala yang biasanya muncul pada carsinoma pankreas atau
tractus biliaris. Kadang-kadang pasien hadir dengan jaundice dan disertai manifestasi
ekstrahepatik dari penyakit hati. (8)
H. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan
diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan mengadakan penilaian
klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung kepada apakah hiperbilirubinemia
bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap
harus dipikirkan kemungkinan adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin
disebabkan oleh hemolisis, sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar dan bukan
karena penyakit hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin
yang gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu
dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu
saluran empedu atau keganasan kaput pankreas) (8)
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian
kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit perut
(painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar yang lebih tinggi,
warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang berbeda dimana ikterus lebih
memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan
kekuningan (yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik (8)
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan melalui
penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil pemeriksaan fungsi hepar
serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai contoh, ikterus yang disertai demam dan
terdapat fase prodromal seperti anoreksia, malaise dan nyeri tekan hepar menandakan
hepatitis. Ikterus yang disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu
penyakit xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan
adanya suatu anemia hemolitik (3)
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa gatal,
keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan, adanya kontak

18
dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau
tindakan pembedahan.(8)
Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang
menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi, menurunnya transpor atau
konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan
jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum
meningkatnya produksi bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis
termasuk sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin
menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab umum
kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik, sirosis, kolestasis induksi-obat.
Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan oleh beragam gangguan termasuk
koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau
kolangitis sklerosing primer. Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu
membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang
biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh
ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus,
anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis
non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya.
Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan.
Jaundice dari batu duktus biliaris umum. Biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri
dan demam (kolangitis). Serangan jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan
hilangnya berat badan diduga sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah
kolesistektomi, batu kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus
diperkirakan.(5,6,8)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu, limpa, mencari tanda-tanda
stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi, palmar eritema bekas garukan di kulit karena
pruritus, tanda-tanda asites. Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien
dengan anemia hemolitik. Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan
pada saluran empedu bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal
Courvoisier). Hukum Courvoisier “Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin
disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya striktur

19
neoplastik tumor (tumor, ampula, duodenum, CBD), striktur kronis, atau limfadenopati
portal.(8)
Pemeriksaan Penunjang
Tes ini biasanya berisi beberapa tes yang dilakukan bersamaan pada contoh darah
yang diambil menurut Davey 2006 yaitu:
1. Alanine Aminotransferase (ALT) — suatu enzim yang utamanya ditemukan di
hati, paling baik untuk memeriksa hepatitis. Dulu disebut sebagai SGPT (Serum Glutamic
Pyruvate Transaminase). apilla i berada di dalam sel hati/hepatosit. Jika sel rusak, maka
enzim ini akan dilepaskan ke dalam aliran darah.
2. Alkaline Phosphatase (ALP) – suatu enzim yang terkait dengan saluran
empedu seringkali meningkat jika terjadi sumbatan.
3. Aspartate Aminotransferase (AST) – enzim ditemukan di hati dan di beberapa
tempat lain di tubuh seperti jantung dan otot. Dulu disebut sebagai SGOT (Serum Glutamic
Oxoloacetic Transaminase), dilepaskan pada kerusakan sel-sel parenkim hati, umumnya
meningkat pada infeksi akut.
4. Bilirubin – biasanya dua tes bilirubin digunakan bersamaan (apalagi pada
jaundice): Bilirubin total mengukur semua kadar bilirubin dalam darah; Bilirubin direk
untuk mengukur bentuk yang terkonjugasi.
5. Albumin – mengukur protein yang dibuat oleh hati dan memberitahukan apakah
hati membuat protein ini dalam jumlah cukup atau tidak.
6. Protein total – mengukur semua protein (termasuk albumin) dalam darah,
termasuk berfungsi memerangi infeksi. (1)
Tergantung pada pertimbangan dokter, beberapa tes tambahan mungkin diperlukan
untuk melengkapi seperti gamma-glutamyl transferase (GGT), lactic acid
dehydrogenase (LDH) dan prothrombine time (PT).
Ada beberapa potensi disfungsi hati di mana tes fungsi hati disarankan untuk
dilakukan. Beberapa di antaranya adalah orang yang memiliki riwayat diketahui atau
berpotensi terpapar virus hepatitis; mereka yang merupakan peminum berat, individu
dengan riwayat keluarga menderita penyakit hati, mereka yang mengonsumsi obat yang
kadang dapat merusak hati (3)
Tes fungsi hati juga disarankan pada temuan tanda dan gejala penyakit hati, beberapa
diantaranya adalah: kelelahan, kelemahan, berkurangnya selera makan, mual, muntah,
pembengkakan atau nyeri perut, jaundice, urine gelap, tinja berwarna terang, pruritus (gatal-
gatal). Pada dasarnya tidak ada tes tunggal yang digunakan untuk menegakkan diagnosis.

20
Terkadang beberapa kali tes berselang diperlukan untuk menentukan jika suatu pola ada dan
membantu menentukan penyebab kerusakan hati. Ketika penyakit hati sudah dideteksi,
tes fungsi hati biasanya tetap berlanjut secara berkala untuk memantau tingkat
keberhasilan terapi atau perjalanan penyakit.(2)
7. Darah Rutin
Pemeriksaan darah dilakukan untuk mengetahui adanya suatu anemia dan juga
keadaan infeksi.(2,3)
8. Pemeriksaan Urin
Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat
apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak.(2,3)
9. Pemeriksaan Serologi Virus
IgM epatitis A adalah pemeriksaan untuk hepatitis A akut. Hepatitis Bakut
ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B.(2,3)
10. Biopsi hati
Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan untuk ikterus hepatoseluler dan beberapa
kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan
(drug induced).(2,3)
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang pencitraan yang
pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya. Dengan sonografi dapat
ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang melebar, adanya batu atau massa tumor.
Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada hepatobilier untuk deteksi batu empedu,
pembesaran kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali.
Tidak ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab
ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif. Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan
sonografi ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan
hepatobilier antara lain ginjal. (7)

Pemeriksaan Radiologi

21
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang bermanfaat karena sebagian besar batu
empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus karena zat
kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang sakit.(7)
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah
pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre atography). Dengan bantuan
endoskopi melalui muara ampula Vater kontras dimasukkan kedalam saluran empedu.
Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan
pada muara Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin
timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara vater tidak dapat dimasuki kanul.(6,7)
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya
dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic
Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui
jarum yang ditusukkan ke hilus hati dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung
jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah
pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan
hati dapat diperlihatkan lokasinya dengan tepat.(6,7)
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian adanya keganasan dilakukan
biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-
tanda obstruksi saluran empedu karena dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran
empedu.(8)

K. Pengobatan
Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika
penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan
menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup
mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan
penyebab dasarnya sudah mencukupi. (3)

22
Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan
tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan drainase
via kateter untuk striktura (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk
membantu pengeluaran batu disaluran empedu sumbatan maligna yang non-operabel,
drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati
(transhepatik) atau secara endoskopik (ERCP). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang
mempunyai risiko tinggi dapat dilakukan “ERCP terapeutik”. Prinsip dari ERCP
terapeutik adalah memotong sfingter papilla Vateri dengan kawat yang dialiri arus
listrik sehingga muara menjadi besar (spingterotomi endoskopik). Papilotomi
endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan
batu di duktus kholedokus. (2,3)

JAUNDICE OBSTRUKTIF
Hambatan aliran empedu yang disebabkan oleh sumbatan mekanik menyebabkan
terjadinya kolestasis yang disebut sebagai ikterus obstruktif saluran empedu, sebelum
sumbatan melebar. Aktifitas enzim alkalifosfatase akan meningkat dan ini merupakan tanda
adanya kolestasis. Infeksi bakteri dengan kolangitis dan kemudian pembentukan abses
menyertai demam dan septisemia yang tidak jarang dijumpai sebagai penyulit ikterus
obstruktif. (2,3)

23
Patogenesis dan Tipe Batu
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 kategori mayor:
1. Batu kolesterol
2. Batu pigmen coklat atau batu kalsium bilirubin
3. Batu pigmen hitam yang kaya aka residu hitam yang tidak terekstraksi.
Gambaran klinis Batu Kandung Empedu
Pasien dengan batu empedu dibagi menjadi 3 kelompok :
1. pasien dengan batu asimptomatik
2. pasien dengan batu empedu simptomatik
3. pasien dengan komplikasi batu empedu seperti : kolesistitis akut, ikterus, kolangitis
dan pangkreatitis.
Gejala batu empedu yang paling sering adalah kolik bilier, keluhan ini didefinisikan
sebagai nyeri perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang 12 jam dengan lokasi
nyer perut di atas atau epigastrium tetapi bisa juga di kiri atau perikondrial.
Komplikasi Batu Empedu
1. Kolesisititis akut
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan atas dengan mual muntah dan demam, dan
kurang lebih 15 % pasien mengalami kolesistitis akut. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
nyeri tekan perut kanan atas dan sering teraba empedu yang membesar disertai dengan tanda-
tanda peritonitis. Pemeriksaan labaratorium menunjukkan leukositosis dan juga didapatkan
kenaikan ringan billirubin dan faal hati akibat kompresi local pada saluran empedu.
Patogenesis kolesistitis akut akibat tertutupnya duktus sistikus oleh batu terjepit. Kemudian
terjadi hidrop dari kandung empedu. Penambahan kandung empedu dan edema kandung
empedu menyebabkan iskemia dari dinding kandung empedu yang berkembang ke proses
nekrosis dan perforasi. Jadi permulaanya terjadi peradangan steril dan pada tahap kemudian
terjadi super infeksi bakteri dapat juga disebabkan oleh lumbur batu empedu. Kompllikasi
lain seperti ikterus, kolangitis, dan pancreatitis.
Penegakkan diagnosis penyakit batu empedu:
1. USG (Ultrasonography)
2. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
3. EUS (Endoscopic Ultrasonography)
4. MRCP (Magnetic Resonant Cholangio Pancreatgraphic)

24
Penangganan Batu Kandung Empedu
Untuk batu kandung empedu simtomatik dilakukan kolestitektomi terbuka apabila
kolesistektomi laparaskopi gagal atau tidak memungkinkan. Koletitektomi laparoskopi telah
menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu empedu simtomatik. Untuk penanggana
profilaksis batu empedu asimtomatik tidak dianjurkan karena sebahagian pasien dengan batu
asimtomatik tidak mengalami keluhan. Penatalaksanaan batu saluran empedu dengan
menggunakan ERCP Teurapeutik.

Choledokholitiasis
Choledokholitiasis adalah batu pada duktus kholedukus. Efek patofisiologi
mencermnkan efek backup konstitue kegagalannya untuk masuk ke usus halus untuk
diekskresi sehingga terjadi retensi bilirubin yang menghasilkan campuran hiperbilirubinemia
dengan kelebihan billirubin konjugasi yang masuk kedalam urin sehingga manifestasinya
adalah :
1. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa masuk kedalam saluran
cerna usus halus.
2. Pruritus disebabkan karena peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
3. Ostheoporosis
4. Hiperlipidemia
Pengobatan :
1. Kolestiramin anti pruritus diberikan 4-16 mg perhari dibagi 2 dosis.
2. Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D
3. Vitamin A
4. Pembedahan, ekstraksi batu empedu di duktus, insersi sten, dan drainase via kateter.

BAB III
PEMBAHASAN

25
Studi kasus dilakukan pada pasien a.n. Tn. AS, umur 28 tahun. Berdasarkan keluhan
utama yaitu nyeri pada perut kanan atas seperti berdenyut – denyut, dan keluhan penyerta
lainnya berupa demam, mual dan muntah, batuk dan pilek, urin seperti teh, feses seperti
dempul dan mata berwarna kuning, ditetapkan diagnosis kerja yaitu obstruksi jaundice. Hal
ini selain berdasarkan data yang diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, juga
berdasarkan dukungan data – data yang diperoleh dari pemeriksaan penunjang. Juga
berdasarkan data – data tersebut ditetapkan beberapa differential diagnosis yang
kemungkinan dapat menyebabkan keadaan tersebut. Differential diagnosis pada keadaan ini
dapat berupa
1. koledokolitiasis yang disertai dengan kolesistitis.
2. Kolelitiasis yang disertai dengan kolesistitis.
Diagnosis pertama yang diduga menyebabkan keadaan obstruksi jaundice pada pasien
ini adalah koledokolitiasis yang disertai dengan kolesistitis. Hal ini berdasarkan data dari
anamnesis, dimana didapatkan keluhan nyeri perut kanan atas yang dirasakan berdenyut –
denyut yang disertai dengan demam, mata kuning, kencing seperti teh, feses seperti dempul
dan gatal-gatal. Keluhan demam dan nyeri perut kanan atas timbul bersamaan, sedangkan
mata kuning timbul 3 hari setelah demam, urin berubah warna menjadi lebih pekat dan
kotoran berubah menjadi pucat. Hal ini dialami 8 hari setelah demam. Keluhan demam terus
menerus dialami pasien sampai dibawa ke rumah sakit (hari ke-9 setelah demam). Dari data
anamnesis tersebut, dipikirkan adanya suatu koledokolitiasis karena adanya nyeri kolik bilier.
Kemungkinan diagnosis kolelitiasis juga belum dapat disingkirkan karena gejala – gejalanya
yang sulit dibedakan. Dipikirkan juga adanya kolesistitis karena adanya gejala demam yang
mengarah ke proses infeksi. Kemungkinan kedua proses ini terjadi bersamaan yaitu adanya
proses infeksi di kandung empedu dan adanya batu di kandung empedu atau di saluran
empedu.
Dari pemeriksaan fisik dijumpai temperature tubuh meningkat, yaitu 38,5 derajat
celcius. Sklera mata tampak ikterik, begitu juga dengan mukosa sublingual dan pallatum.
Pada abdomen didapatkan nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan epigastrium, didapatkan
Murphy sign (-). Berdasarkan data pemeriksaan fisik ini, kemungkinan diagnosis diatas
masih sesuai, namun belum dapat dibedakan lokasi sumbatan, apakah di duktus sistikus atau
duktus koledukus.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan bilirubin total dan
terkonjugasi (direct), peningkatan SGOT, SGPT dan alkali fosfatase. Leukositosis dan
peningkatan neutrofil segmen tidak dijumpai. Pemeriksaan lipid profile menunjukkan adanya

26
dislipidemia dengan peningkatan kadar kolesterol total, LDL dan trigliserida serta penurunan
HDL. Adanya peningkatan bilirubin terkonjugasi dan peningkatan kadar alkali fosfatase
menunjukkan adanya obstruksi post hepatik. Peningkatan kadar bilirubin > 5 mg/dl dapat
dipikirkan adanya batu pada duktus koledokus. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT memang
dapat menunjukkan adanya proses hepatik yang menyebabkan ikterik, namun peningkatan ini
juga dapat terjadi akibat retensi empedu yang menyebabkan iritasi dan inflamasi sekunder
pada hepatoselular. Tidak adanya peningkatan leukosit dan neutrofil segmen bukan berarti
tidak ada proses infeksi. Hal ini disebabkan gejala – gejala klinis yang mendukung ke arah
infeksi. Disamping itu, pemeriksaan darah dilakukan pada hari ke-9 setelah pasien
mengalami demam. Peningkatan kadar kolestrol pada pasien ini kemungkinan sudah ada
sebelum adanya penyakit ini dan keadaan tersebut menjadi faktor resiko untuk terbentuknya
batu empedu.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan yaitu, adanya obstruksi post hepatik yang
menyebabkan retensi empedu sehingga mengakibatkan timbulnya gejala dan tanda - tanda
klinis diatas. Dengan adanya peningkatan kadar SGOT dan SGPT, dapat dipikirkan lokasi
obstruksi pada duktus koledukus, sehingga diagnosis kerja yang pertama adalah
Koledokolitiasis. Walaupun idealnya diperlukan pemeriksaan penunjang semisal USG atau
ERCP (endoscopic retrograde cholangio-pancreatography) untuk menentukan lokasi
obstruksi. Namun peningkatan serum transaminase ini juga dapat disebabkan oleh keadaan
fatty liver, karena pada pasien terdapat factor resiko terjadinya fatty liver, yaitu dislipidemia
dan adanya konsumsi alkohol. Kesimpulan kedua yaitu dengan adanya tanda – tanda infeksi
yang menyertai, dapat dipikirkan suatu proses infeksi akibat sumbatan pada saluran empedu,
sehingga dapat membuat mukosa kandung empedu dan salurannya mengalami peregangan,
iskemia, yang selanjutnya dapat menjadi inflamasi dan infeksi. Oleh karena itu diambil
kesimpulan diagnosis pada pasien ini adalah obstruksi jaundice ec. koledokolitiasis disertai
dengan kolesistitis.
Adanya kemungkinan penyebab obstruksi jaundice yang lain seperti carcinoma
pankreas dapat disingkirkan. Hal ini karena pada carcinoma pankreas biasanya dijumpai pada
pasien dengan usia tua, disamping itu pada carcinoma pankreas tidak dijumpai nyeri kolik.
Adanya kemungkinan penyebab hepatik, seperti hepatitis viral akut dapat disingkirkan
dengan beberapa alasan, yaitu pada hepatitis viral akut tidak dijumpai peningkatan kadar
alkali fosfatase.
Adapun tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah tatalaksana etiologi dan
tatalaksana simptomatik. Tatalaksana etiologi yaitu antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri

27
dan ursodepxycholic acid untuk mengeleminasi batu saluran empedu. Antibiotik yang
digunakan pada kasus ini adalah antibiotik spektrum luas, yaitu cefoferazon sulbaktam 2
gram per 12 jam. Tatalaksana simptomatik yang diberikan berupa antiemetik (ondansetron)
untuk mengurangi mual dan muntah, antipiretik (paracetamol dan n-asetylsistein) untuk
menurunkan demam dan proton-pump inhibitor untuk mengurangi nyeri perut dan mual-
muntah.

DAFTAR PUSTAKA
1. Davey P. At a Glance Medicine. Ikterus.Jakarta :Erlangga Medical Series.2006
2. Silbernagl S. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Ikterus. Jakarta: EGC.
2007.hal 168

28
3. Sulaiman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006.
4. Grace PA. At a Glance Ilmu Bedah . Jakarta: Erlangga Medical Series. 2007
5. Price JA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit. Jakarta:EGC. 2006.
Hal 472.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC. 2011. Hal 641.
7. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI. 2006. Hal 422-425
8. Swarts, M. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 2004. Hal 238.
9. Norton JG, Gustav P. Disease of the Gallbladder and Bile Duct. In Horrison
Principle of Medicine. Dennis K. 2015 : 18 th edition

29

Anda mungkin juga menyukai