Anda di halaman 1dari 16

RESUME

ASPEK-ASPEK

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

Disusun Oleh

FAJRI
NPM: 61902055FH18

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GUNUNG RINJANI

TA 2020/2021
HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL

A. Hukum Transaksi Bisnis Internasional


1. Hukum Transaksi Bisnis Internasional

Hukum transaksi bisnis internasional adalah hukum yang dipergunakan


sebagai dasar transaksi bisnis lintas batas negara, yaitu perangkat kaidah, asasasas,
dan ketentuan hukum, termasuk institusi dan mekanismenya, yang digunakan untuk
mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam suatu transaksi bisnis dalam hubungan
dengan obyek transaksi, prestasi para pihak, serta segala akibat yang timbul dari
akibat transaksi.

Hukum transaksi bisnis internasional dapat diklasifikasikan atas dua jenis,


yaitu yang bersifat publik dan yang bersifat privat. Hukum transaksi bisnis
internasional yang bersifat publik adalah perangkat ketentuan, termasuk institusi dan
mekanismenya, yang dibuat negara-negara (bilateral, regional, maupun universal). Ini
dimaksudkan untuk menciptakan suatu kondisi bisnis tertentu, umumnya bersifat
memajukan, menciptakan kondisi bisnis yang adil, terbuka dan kondusif, melindungi
kepentingan para pelaku bisnis, menghindarkan para pihak dari implikasi kebijakan
pemerintah yang bersifat merugikan, seperti: Australian-Chinese Bilateral Investment
Agreement, Treaty of Rome 1957, Agreement on the Common Effective Preferential
Tariff (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area ( AFTA), dan WTO
Agreement.

Hukum transaksi bisnis internasional yang bersifat privat adalah


ketentuanketentuan, tentang hak dan kewajiban, yang dibentuk oleh para pihak, untuk
mengatur transaksi, obyek, peristiwa-peristiwa bisnis beserta akibat-akibatnya, yang
disepakati dan dituangkan dalam bentuk kontrak tertentu, seperti: Joint Venture
Agreement, Licence Agreement, dan buy and sell agreement, termasuk pula hukum
yang dipilih para pihak, serta ketentuan-ketentuan bisnis yang dibentuk oleh badan
atau kelompok-kelompok bisnis privat, yang oleh pelaku bisnis ditunjuk sebagai
ketentuan yang diacu untuk keperluan kegiatan bisnis yang dilakukan, seperti UCPDC
(Uniform Customs and Practice for Documentary Cred. 15), Convention on the
jurisdicrion of the sales of goods (1995) Convention on the jurisdicrion of the selected
forum in intemational sales of goods (1958), dan lain-lain.

1
2. Transaksi Bisnis Internasional

Bisnis internasional adalah kegiatan komersial (commercial activity) lintas


batas negara, yang dilakukan antarindividu atau perusahaan yang berkewarganegaraan
berbeda, berdasarkan prediksi-prediksi tententu (future outcome), dan bertujuan untuk
memperoleh keuntungan tertentu (engage in for gain).

Transaksi bisnis internasional adalah, ". . .act of transacting or conducung any


business: management: proceeding that which is done: an affair". Kemudian
disebutkan ". . . it may involve selling, leasing, borrowing, mortaging or lending ...It
must therefore consist of an act or agreement, or several acts or agreements, or several
acts Or agreements having some connection with each other, in which more than one
person is concerned, and by which the legal relations of such persons between
themselves are al tered. .. ," yang berkewarganegaraan berbeda.

Hakikat transaksi bisnis adalah suatu kegiatan atau proses yang meliputi
kegiatan tawar-menawar (negotiation) antara satu pihak dengan pihak bisnis lainnya,
tentang hak dan kewajiban para pihak sehubungan dengan obyek bisnis, prestasi,
resiko, peristiwa serta implikasi dari setiap peristiwa yang timbul akibat transaksi,
termasuk implikasi dari setiap peristiwa di luar hubungan bisnis, seperti peristiwa
alam, tindakan pemerintah, serta tindakan pihak ketiga lainnya.

Dengan demikian, hakikat suatu transaksi adalah proses negosiasi dalam


proses penyusunan suatu kontrak bisnis. Hukum transaksi, dalam kaitan dengan ini,
adalah hukum kontrak dan hukum yang dipilih oleh para pihak, untuk mengatur
hubungan serta akibat yang timbul dari akibat transaksi yang dilakukan.

Hukum transaksi bisnis internasional, dalam kaitan dengan hal demikian,


mempunyai hubungan erat dengan hukum perdata internasional, yaitu sebagai bagian
hukum perdata internasional yang berhubungan dengan masalah perbedaan bahasa,
yang harus dituntaskan melalui kontrak bisnis internasional, penentuan hukum yang
berlaku (choice of law), penentuan forum (choice of forum), dan aspek-aspek lain
yang terkait, seperti masalah hukum yang berlaku atau forum yang dipakai dalam hal
tidak terdapat suatu pilihan hukum dan menunjukan forum yang tegas.

Bidang ini meliputi seluruh bidang usaha yang bersifat mencari keuntungan
seperti perdagangan barang dan jasa, penyaluran barang, pengadaan sarana prasarana

2
kehidupan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan perusahaan, baik dari
segi permodalan (investment), tenaga kerja, maupun manajemen. Bentuk nyata
kegiatan ini dapat dilihat dalam berbagai aktivitas komersial, seperti, usaha
transportasi, penyediaan perumahan (property business), bursa saham, jual-beli
barang dagang, sewa-menyewa, bisnis tranportasi, money changer, perhotelan, dan
penyediaan jasa (service), lainnya.

Kegiatan ini, karena berorientasi kepada keuntungan, sangat bergantung


kepada prediksi-prediksi yang ketat, cermat, dan efisien, disamping semaksimal
mungkin menghindari kejadian atau resiko-rgsiko yang dapat mengakibatkan
pemborosan. Dalam kaitan dengan hal itu, para pelaku bisnis sebaiknya juga
mengetahui risikorisiko yang dapat timbul dari akibat penggunaan hukum terutama
hukum kontrak, sebagai suatu instrumen yang lazim digunakan dalam suatu transaksi
bisnis, yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari setiap hubungan bisnis.

Tujuan utama bisnis internasional adalah akumulasi keuntungan sebesar-


besarnya (optimum profid). Tujuan ini merupakan karakteristik dasar perdagangan
internasional, yang berkembang dari sekadar lintasan pertukaran hasil produksi
antarnegara,' ke esensinya yang lebih kompleks, yaitu sarana pemenuhan kepentingan
nasional negara negara, termasuk sumber devisa, perluasan pasar, sarana akumulasi
modal dan keuntungan produsen yang bergerak dalam bidang itu.

Orientasi demikian, pada pasca Perang Dunia II, telah mengakibatkan


perdagangan internasional sebagai ajang persaingan produk, harga dan tarif
antarnegara. Tujuan utama persaingan adalah memperoleh pasar seluasluas nya dan
keuntungan sebesar-besarnya. Pihak produsen senantiasa berusaha berbuat maksimal
untuk memperluas pasarnya ke berbagai negara, sementara pemerintah yang
meletakkan kepentingan tidak sedikit terhadap perdagangan demikian, juga
melakukan berbagai upaya untuk memperbesar produksi dalam negerinya,
memperlancar ekspor hasil-hasil produksi nasionalnya, termasuk melindungi
produsen dan pasar domestiknya melalui kerja sama internasional atau pun melalui
sistem tarif

3
B. PERLINDUNGAN KEPENTINGAN BISNIS DAN UNIFIKASI HUKUM
PERDATA
1. Pentingnya Unifikasi

Pluralisme hukum dalam sistem hukum perdata internasional merupakan


sumber masalah yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan bisnis internasional.
Setiap negara merdeka memiliki sistem hukum perdata nasionalnya sendiri sehingga
ragam hukum perdata internasional itu ada sebanyak ragam negaranegara merdeka
yang ada.

Masalah ini, antara lain, mengakibatkan timbulnya keraguan dan kekhawatiran


pihak-pihak pelaku bisnis terhadap keamanan, kepastian, dan jaminan perlindungan
hukum yang mungkin mereka peroleh. Karena keragaman demi kian merupakan
sebab sengketa yang sangat berpengaruh terhadap konsistensi penerapan prediksi-
prediksi bisnis, efisiensi dan akhirnya keuntungan yang akan diperoleh. Keragaman
demikian juga sering meng-akibatkan batalnya suatu transaksi karena tidak sahnya
kontrak.

Dalam kaitan dengan kerja sama antarbangsa, secara publik maupun privat,
yang semakin meningkat dalam pembangunan ekonomi internasional, dapat menjadi
sebab merosotnya partisipasi pihak-pihak yang potensial untuk terlibat dalam
hubungan-hubungan semacam itu. Profesor Kollewijn sangat memahami persoalan
itu. Karena itu, pada tahun 1929 ia telah mempersoalkan prinsip hukum apakah yang
paling sesuai digunakan untuk menentukan status personil seseorang, dengan
demikian menentukan pula hukum yang paling tepat diberlakukan terhadap hubungan
hukum yang dilakukannya? prinsip nasionalitas, ataukah prinsip domicilie.

Seluruh sistem hukum yang ada di dunia pada prinsipnya dapat


diklasifikasikan atas dua kelompok besar, yaitu sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law Systems) dan sistem hukum Anglo Saxon (Common Law Systems).
Perbedaan prinsip kedua sistem hukum ini adalah prinsip yang pertama
mengutamakan prinsip hukum tertulis, sedangkan sistem yang kedua mengutamakan
sistem hukum kebiasaan (living law system). Dalam hal penentuan status personil,
sistem hukum Anglo Saxon mengutamakan prinsip domisili, sedangkan sistem hukum
Eropa Kontinental mengutamakan prinsip nasionalitas.

4
Istilah unifikasi hukum dipadankan dengan makna pengharmonisan (harmo
nization) keragaman sistem hukum yang ada untuk membentuk uniformitas sistem
hukum yang diberlakukan untuk semua negara pembentuk atau semua negara yang
menerimanya.

Dalam perspektif hukum perdata internasional, jalan menuju unifikasi ini


dapat diklasifikasikan atas dua jenis, yaitu penyatuan hukum dan penyatuan kaidah-
kaidah hukum.

Pengertian penyatuan hukum adalah tindakan pengubahan sistem hukum


perdata internasional intern negara-negara, yang turut serta dalam tindakan demikian
itu, menjadi satu sistem hukum perdata internasional (konvensi) yang diberlakukan di
antara mereka atau termasuk terhadap pihak (negara) lain yang menerima untuk diikat
oleh konvensi demikian. Dengan demikian, yang seragam atau menjadi satu adalah
hukum positifnya (droit uniforme - uniform law). Misalnya, Konvensi Jenewa 1930,
tentang wissel dan chegue.

Termasuk pengertian kedua adalah tindakan untuk menyatukan (hanya)


kaidah-kaidah hukum perdata internasional"! negara-negara yang menyetujui tindakan
demikian untuk dibentuk satu kesatuan kaidah (konvensi) yang kelak dapat digunakan
oleh hakim-hakim atau pengadilan untuk memutuskan perkara-perkara yang
dihadapinya. Dengan demikian, yang kelak seragam adalah keputusankeputusan
hakimnya (harmony of decision) dari negara-negara anggota konvensi itu seperti
Konvensi Den Haag 1965 (Convention Jurisdiction, Appli cable Law and Recognition
of Decrees Relating to Adoption).

Unidroit adalah sebutan umum untuk Institut Unifikasi Hukum Perdata.?


Unidroit merupakan badan internasional yang dibentuk atas sponsor Liga Bangsa-
Bangsa, berkedudukan di Roma, dan bertujuan menciptakan cara untuk
mengharmonisasikan dan mengkoordinasikan ketentuan-ketentuan hukum perdata
dari negara-negara anggotanya dan mempromosikan penerimaan sistem hukum
perdata yang uniform.

Usaha dan hasil-hasil penting dari badan ini antara lain, konvensi uniform
tentang hukum jual beli internasional benda-benda bergerak (Convention relating toa
Uniform Law on the International Sale of Goods 1964) dan kontrak jual beli benda-

5
benda bergerak (Convention relating toa Uniform Law on the Formation of Contracts
for the Intemational Sale of Goods 1964).

Badan ini juga mengadakan pertemuan ilmiah berkala, dengan melibatkan


organisasi-organisasi internasional yang bergerak dalam bidang unifikasi hukum.
Dalam pertemuannya yang pertama telah dibahas masalah metodologi unifikasi
hukum untuk tingkat universal, regional, dan juga federal. Dalam pertemuannya yang
kedua dan yang ketiga telah dibahas masalah hakim setiap negara terhadap bentuk
hukum uniform ini.

Dalam pertemuannya yang keempat dibahas masalah karakteristik unifikasi,”


termasuk cara yang paling tepat untuk melakukan unifikasi di seluruh negara, yang
sistem hukumnya tidak sama. Pertemuannya yang kelima membahas masalah teknis
berkenaan dengan pemberian bantuan untuk negara-negara berkembang dalam
pembentukan uniformitas hukum, termasuk cara untuk mengkoordinasikan dan
melakukan pembagian kerja bagi organisasi-organisasi internasional yang bergerak
dalam bidang itu.

Unifikasi hukum perdata internasional, dalam kaitan dengan transaksi bisnis


internasional, merupakan suatu yang sangat penting, yaitu untuk menjamin kepastian
dan perlindungan hukum, unifikasi dalam bidang hukum dagang merupakan salah
satu bidang unifikasi yang sangat penting, terutama dalam perspektif orientasi baru
masyarakat internasional, yaitu pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
bangsa-bangsa, unifikasi ini meliputi berbagai bidang hukum perdata, termasuk
bisnis, angkutan (transportasi), ataupun hubungan keperdataan lainnya,

Unifikasi dalam bidang hukum ini telah dimulai sejak konferensi Den Haag
1893: . unifikasi ini dilakukan pada tingkat regional dan tingkat global oleh berbagai
badan pemerintah ataupun non-pemerintah, pada tingkat ASEAN, hal itu baru sampai
pada tingkat bilateral, dan dalam perspektif AFTA, hal itu perlu ditindaklanjuti untuk
sampai pada level regional.

6
C. Perlindungan Kepentingan Bisnis Dan Perlindungan Hak Milik Intelektual

Perlindungan hak milik intelektual (protection of intellectual property right)


adalah perlindungan terhadap setiap hak yang timbul dari hasil kreativitas (crearivity)
dan penemuan (innowation) manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan dalam bidang perdagangan dan industri.Masalah ini merupakan permasalahan
yang sangat rumit. Forum GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang
semula dibentuk untuk tujuan penanganan masalah-masalah tarif dan perdagangan,
sejak 1980 telah memperluas perhatiannya ke arah hak milik intektual.

Konferensi-konferensi GATT, sejak itu, tidak terbatas hanya membahas


masalah-masalah berkenaan dengan perlirdungan merk dagang, tetapi bahkan
menuntut penempatan masalah hak milik intelektual secara keseluruhan di bawah
kewenangan GATT:Ide ini berasal dari Amerika Serikat. Ide ini telah menjadi sebab
alotnya persidangan-persi dangan GATT karena harus berhadapan dengan ide negara
berkembang yang lebih menghendaki WIPO (World Intellectual Property
Organization) sebagai lembaga yang berwenang atas masalah tersebut. WIPO adalah
organisasi internasional yang secara khusus didirikan untuk mengkoordinasi kerja
sama antarnegara dalam bidang perlindungan hak milik intelektual. Indonesia telah
meratifikasi Konvensi WIPO (Convention Establishing the World interllectual
Property Organization) dengan Keppres No. 24 Tahun 1974.

1. Hak Milik Intelektual


Istilah kekayaan intelektual (intellectual property), hak paten (patent),
hak Cipta (intellectual property right), hak milik industri (industrial property),
dan hak merk dagang (trademark) sering kali agak sulit dibedakan maknanya.
Banyak orang cenderung memadankan istilah-istilah itu dengan istilah merk
dagang saja.
Hak milik intelektual adalah hak yang melekat pada setiap ciptaan dan
penemuan manusia. Hak milik ini meliputi seluruh ciptaan dan penemuan baru
dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, industri, atau bidang
lainnya, termasuk ciptaan dan penemuan yang merupakan kombinasi
antarbidang itu. Hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta untuk melakukan
eksploitasi atas ciptaannya, termasuk hak ekslusif atas setiap fasilitas
berkenaan dengan karya itu. Hak ini merupakan hak milik intelektual dalam

7
bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Pemberian hak ini dimaksudkan
untuk mening katkan dinamika ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Hak milik industri adalah hak milik intelektual berkenaan dengan
manfaat dari suatu penemuan dalam bidang industri. Hak ini meliputi: patent,
utility, models, industrial design, trademarks, servicemarks, trade name,
indication of source appelations of origin, and the repression of unfair
competition. Hak paten adalah hak untuk menggunakan sendiri ciptaan atau
penemuannya, termasuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
ditunjuknya. Hak (atas) merk dagang (tertentu) adalah milik intelektual dalam
bidang perdagangan. Ciriutama hak milik ini adalah adanya unsur
penunjukkan atas asal-usul barang (indication of origin)
Pembahasan ini kiranya cukup menjelaskan karakteristik dan
perbedaan dari masing-masing istilah. Bahwa hak milik intelektual adalah hak
yang menunjukkan indikasi paling luas, yaitu meliputi hak cipta, hak milik
industri beserta bagian-bagiannya, hak paten, dan hak atas merk dagang.

2. Perlindungan Internasional Hak Milik Intelektual Dalam Bidang Perdagangan


Internasional
Perlindungan internasional hak milik intelektual, untuk pertama kali
diberi. kan oleh The Paris Union-1883 (The Paris Convention for the
Protection of Indus trial Property). Konvensi ini merupakan bentuk
perlindungan unilateral perta dihasilkan oleh suatu konferensi diplomatik, di
Paris, 20 Maret 1883.

Usaha pengadaptasian dan penyempurnaan substansi konvensi itu


meru. pakan sebab dilakukannya beberapa amandemen terhadap konvensi,
antara lain di Den Haag (1925), di London (1934), di Lisabon (1958), dan di
Stockhlom (1968).
Secara prinsip, konvensi tersebut mengatur tentang hak milik indusari,
termasuk hak paten, berkenaan dengan elemen-elemen dari hak itu.
Dinyatakan bahwa hak milik industri sebagaimana tercantum dalam konvensi
itu, meliputi antara lain paten, model, desain industri, merk dagang, nama
dagang dan larangan terhadap kompetisi yang bersifat tidak jujur (Pasal 1 ayat
2 Konwensi ParisLondon 1934). Dianut juga prinsip perlindungan yang sama

8
oleh setiap negara anggota konvensi, terhadap setiap warga negara anggota
konvensi lainnya (Pasal 2 Konwensi-Paris London 1934), prinsip ini disebut
prinsip asimilasi. Keuntungan dari penggunaan prinsip ini adalah
diberlakukannya prinsip diskriminasi.
Konvensi ini menganut sistem terbuka, yaitu suatu sistem yang
menentukan bahwa keanggotaan konvensi itu tidak terbatas pada negara-
negara penandatangan konvensi, tetapi juga negara ketiga (third state) yang
bermaksud mengikatkan diri.
Secara kelembagaan, dikenal pula lembaga perlindungan hak milik
intelektual, United Biro for the Protection of Intellectual Property (UBPIP),
yang pada mulanya berkantor di Bern, dan kemudian pindah ke Jenewa
(1960).2 Biro ini menyelenggarakan beberapa fungsi, antara lain riset,
publikasi, dan pendesainan draft-draft konvensi.Pada tahun 1967, terdapat
suatu kemajuan. Melalui Konferensi Stockholm 1967, diterimalah WIPO
(World Intelellectual Property Organization), sebagai suatu organisasi
internasional yang menangani masalah perlindungan hak milik intelektual. Di
Paris berdiri pula Union for the Protection of New Variety of Plant, sebagai
gejala meningkatnya peran organisasi internasional dalam usaha perlindungan
hak milik intelektual.
3. Sistem Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Indonesia
Sebagai negara yang sedang membangun, masalah paten merupakan
masalah yang sangat rumit bagi Indonesia. Kerumitan ini merupakan refleksi
dari adanya tekanan dua kepentingan yang sama kuatnya, yaitu tekanan
kepentingan yang bersifat internal dan tekanan yang bersifat eksternal. Akan
halnya kebanyakan negara berkembang, Indonesia membutuhkan kondisi-
kondisi tertentu dalam pemanfaatan hak milik intelektual asing yang
memungkinkan Indonesia tampil lebih layak dalam persaingan perdagangan
internasional dan melindungi kepentingan nasional.
a. Sistem Aktif pada Sistem Hukum Merk
Undang-undang No. 21 Tahun 1961 (UU Merk) menganut sistem
pasif, yaitu pengakuan terhadap pemilikan hak merk didasarkan pada
pendaftaran atas merk itu. Pendaftaran akan diterima, sepanjang atas
merk yang hendak didaf tarkan itu belum pernah dilakukan
pendaftarannya, dan pihak yang dianggap berhak atas merk itu adalah

9
pihak yang pertama kali mendaftarkan merk itu. Keaslian pemilikan
merk, cenderung tidak dipersoalkan, bahkan cenderung diabaikan. Hal
ini sangat berbeda dengan sistem aktif yang mengutamakan pembuktian
keaslian kepemilikan dalam pendaftaran suatu merk.” Sebagai mana
dianut UU Merk yang baru yaitu Undang-Undang No. 10 Tahun 1992.
b. Perlindungan melalui Yurisprudensi
Sistem ini memegang peranan penting dalam perbaikan citra
Indonesia dalam soal perlindungan hak milik intelektual. Mahkamah
Agung melalui beberapa putusannya telah melakukan perbaikan penting.
Dalam putusannya No. 677/ Sip/1972, 13 Desember 1972,4 menyatakan
bahwa, hanya pemakai merk pertama di Indonesia yang beritikad baik
yang diberi perlindungan.” Hal demikian kemudian ditegaskannya dalam
putusannya No.220/Pdt. 1986, 16 Desember 1986. Hal ini menunjukkan
dua indikasi penting, pertama, perkembangan sikap positif Indonesia
terhadap perlindungan hak milik intelektual: dan kedua, terbukanya
kesempatan bagi pihak asing, pemilik asli merk, untuk meminta
perdindungan hukum melalui sistem hukum Indonesia.
c. Sistem Perlindungn Paten di Indonesia
Dengan UU No. 6 Tahun 1989 (UU Paten), Indonesia telah
mengambil langkah penting dalam meningkatkan prestisenya di
panggung perdagangan internasional. Hal ini sangat penting bagi
perjalanan Indonesia sebagai suatu negara yang menggantungkan
pendapatan nasionalnya pada sektor itu.
Sistem perlindungan paten yang dianut undang-undang tersebut
dilakukan melalui:
1. penegasan beberapa terminologi tentang paten, penemuan,
penemu, pemegang paten, dan lain-lain
2. pembatasan pemberian paten hanya terhadap penemuan baru
yang bersifat inventif dan dapat diterapkan dalam industri,
3. penetapan cara, proses, dan prosedur permintaan paten,
penetapan batas-batas pengalihan paten: dan lain-lain.
Unsur sistem perlindungan paten di Indonesia adalah adanya
unsur pembatasan status paten, unsur proses dan prosedur permintaan
yang pasti, dan unsur pengalihan paten.

10
d. Bilateral Agreement
Perlindungan paten juga dapat dilakukan dengan cara unilateral,
yaitu dengan cara menjadi anggota dari suatu konvensi unilateral,
maupun dengan cara bilateral yaitu dengan cara membentuk perjanjian
(bilateral agreement) tentang hal itu dengan nagara lain.
Dari sikap Indonesia terhadap Konvensi Paris dan Bern,
tampaknya Indonesia cenderung untuk memilih sistem bilateral.
Dari perspektif kepentingan kedaulatan negara, bentuk perjanjian
ini memang lebih menguntungkan. Bentuk ini memungkinkan suatu
negara membentuk suatu perjanjian tanpa harus mengorbankan
kedaulatannya. Suatu negara dapat secara bebas membentuk perjanjian
yang paling menguntungkan pihaknya. Hal ini mungkin dilakukan
karena masing-masing negara tetap memiliki kedaulatan untuk
menentukan kehendaknya, dan karenanya juga kebebasan untuk memilih
substansi perjanjian yang paling menguntungkan. Dalam konteks
ini,sprinsip reciprocity dan prinsip cooperation dapat mencapai
bentuknya yang paling proporsional.
Hak milik intelektual meliputi hak cipta dan hak milik industri
(antara lain hak paten dan merk dagang),
Salah satu faktor penyebab pentingnya perlindungan hak milik
intelektual, baik secara nasional maupun internasional, adalah lemahnya
perlindungan terhadap hak itu di negara-negara berkembang:
Perlindungan internasional terhadap hak milik intelektual dapat
mengambil dua bentuk, yaitu unilateral dan/atau bilateral, Perlindungan
internasional unilateral antara lain diberikan oleh Konvensi Paris (hak
milik industri).
Konvensi Bern (hak cipta), dan terakhir melalui Persetujuan
TRIPs WTO Agreement,Secara kelembagaan, perlindungan hak milik
intelektual diberikan oleh UBPIP/BIRPI dan WIPO, terakhir melalui
WTO, Indonesia menganut sistem perlindungan pasif, tetapi di samping
itu berlaku juga perlindungan berdasarkan yurisprudensi dan sistem
perundangundangan.

11
Dalam perspektif perlindungan internasional, Indonesia
cenderung menganut sistem bilateral agreement, Indonesia perlu
menyesuaikan, secepatnya, peraturan perundangnya dengan ketentuan-
ketentuan Persetujuan TRIP Masyarakat pengusaha dapat menggunakan
saluransaluran hukum publik maupun privat untuk melindungi
kepentingan bisnisnya, khususnya dalam kaitan dengan HAKI.

D. Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional Melalui Arbitrase

Penyelesaian sengketa yang sifatnya efektif merupakan idaman setiap pihak


yang terlibat dalam suatu transaksi bisnis. Salah satu alasan yang menjadi dasar
pertimbangan hal demikian adalah bahwa suatu sengketa hampir mutlak merupakan
faktor penghambat perwujudan prediksi-prediksi bisnis. Suatu sengketa dapat
menghadirkan risiko-risiko merugikan yang tidak dikehendaki dan dapat
mengacaukan prediksi-prediksi bisnis. Hal ini menjadi sangat perlu diperhatikan
terutama dalam kaitan dengan visi bisnis yang mendasari kegiatan demikian itu, yaitu
efisiensi dan profit.

Kelebihan Arbitrase, Setiap sengketa hukum yang muncul dari kontrak dagang
internasional pada dasarnya dapat diselesaikan melalui peradilan nasional suatu
negara, atau arbitrase, yang sepenuhnya dapat ditentukan oleh pihak-pihak
bersangkutan. Akan tetapi, pada kenyataannya terdapat kecenderungan pihak asing
lebih memilih arbitrase sebagai forum peyelesaian sengketa. Hal ini terutama tampak
dalam praktek berkontrak antara pihak asing yang berasal dari negara maju dengan
pihak kontrak yang berasal dari negara-negara berkembang.

Kelemahan Arbitrase dan Jalan Keluarnya

Kelemahan paling mendasar dari forum arbitrase adalah pada pelaksanaan


keputusannya. Misalnya, pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri berkenaan
dengan aset atau harta perusahaan yang terletak di negara pihak yang dikalahkan.
Kelemahan lain berkenaan dengan hal ini adalah berkenaan dengan bonafiditas para
pihak. Pelaksanaan keputusan arbitrase membutuhkan jaminan bonafiditas, dalam
bentuk kerelaan para pihak untuk mentaati keputusan tersebut. Suatu keputusan
arbitrase dapat sama sekali kehilangan kekuatannya jka salah satu pihak atau pihak-
pihak yang terlibat dalam sengketa tidak memenuhi syarat bonafiditas. Jika hal

12
demikian tidak ada, suatu forum arbitrase dapat menjadi forum yang sangat lemah,
seperti:

a. Beru
bahnya forum arbitrase menjadi forum yang sangat mahal. Hal ini dapat
terjadi jika pihak yang kalah mengelak untuk melaksanakan kewajiban,
tidak mentaati keputusan. Misalnya, melakukan oposisi dengan cara
meminta agar keputusan itu tidak dilaksanakan, stay of execution, melalui
pengadilan.
b. Forum itu digunakan untuk menghindari kewajiban, misalnya dengan cara
membuat penafsiran-penafsiran yang berbeda tentang unsur-unsur
perjanjian, misalnya terhadap unsur penentuan adanya sengketa dan unsur
kewenangan arbitrase.
c. Forum itu digunakan untuk melakukan penyelundupan hukum. Misalnya,
menggunakan forum itu untuk melakukan forum shopping. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara membuat penafsiran-penafsiran yang berbeda
terhadap syarat penentuan adanya sengketa dan yurisdiksi arbitrase.

Sengketa dagang internasional adalah sengketa dagang yang timbul dari


hubungan dagang internasional berdasarkan kontrak! ataupun tidak.? Dalam formulasi
pertama, sengketa dagang internasional dapat menyangkut substansi kontrak ataupun
mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak itu.

Sengketa demikian, apapun bentuknya, merupakan masalah yang umumnya


diusahakan dihindari oleh para pihak karena betapapun sederhananya, masalah
demikian cenderung merupakan penghambat sirkulasi proses bisnis, yang umumnya
berpengaruh terhadap efisiensi waktu, biaya, dan bonafiditas perusahaan.

Karakteristik sengketa demikian, merupakan salah satu sebab yang


menernpatkan arbitrase dagang internasional sebagai salah satu forum penyelesaian
sengketa terpilih, yang secara dominan digunakan dalam penyelesaian sengketa-
sengketa dagang internasional. Suatu arbitrase dianggap internasional apabila:

1. para pihak, pada saat membentuk perjanjian, memiliki tempat usaha (place of
business) di negara yang berbeda.

13
2. tempat arbitrase, yang ditentukan di dalam perjanjian arbitrase, terletak di luar
negara tempat usaha para pihak
3. tempat pelaksanaan sebagian besar kewajiban terpenting dari hubungan dagang
yang dibentuk para pihak dilaksanakan di luar negara tempat usaha para pihak,
yang berhubungan paling erat dengan obyek sengketa (most closety connected)
4. obyek perjanjian arbitrase berhubungan dengan lebih dari satu Negara.

Dengan demikian, arbitrase dagang internasional adalah arbitrase yang


menangani sengketa-sengketa yang timbul dari hubungan dagang internasional,
berciri internasional.

Hukum yang pertama kali dipakai dalam penyelesaian sengketa dagang


internasional adalah hukum yang dipilih oleh para pihak, pilihan dan penentuan
hukum ini harus dinyatakan secara tegas dalam choice of law clause oleh para pihak
di dalam kontraknya, jika ketentuan demikian begitu kabur atau bahkan tidak ada,
hukum yang seharusnya dipakai dapat ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip
penentuan hukum yang akan dipakai,. diantara prinsip atau teori yang ada, dianjurkan
untuk mengedepankan teori most characteristic connection.

Pada dasarnya, penyelesaian sengketa secara ex aeguo et bono diterima oleh


ketentuan-ketentuan dan praktek hukum perdata internasional, selaras dengan sikap
masyarakat internasional itu, Indonesia juga berpandangan sama dalam pemberlakuan
prinsip ex aeguo et bono.

14
DAFTAR PUSTAKA

Putra, Ida Bagus, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Bandung, Refika Aditama, 2008

15

Anda mungkin juga menyukai