Anda di halaman 1dari 3

Hermeneutika Abdullah Saeed, Kontekstualisasi Dan Nilai-nilai Hierarkis.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, tuntutan untuk


memunculkan sesuatu yang baru semakin gencar disuarakan. Semua berusaha untuk masuk ke
dalam zona ‘relevan’ agar tak tergerus arus zaman dan dapat eksis hingga di kemudian hari.
Termasuk di dalamnya al-Quran dengan jargonnya shalih li kulli zaman wa makan. Maka dari itu
diperlukan adanya pendekatan baru dalam memahami apa yang ingin disampaikan al-Quran
dengan harapan dapat diterima oleh zaman dengan problematika dan kompleksitas di dalamnya.
Berawal dari spirit untuk membuat penafsiran al-Quran yang selalu relevan dengan
zaman, banyak mufasir kontemporer yang muncul untuk mewujudkannya. Mulai dari Fazlur
Rahman dengan double movement-nya, Nasr Hamid Abu Zayd dengan al-tafsir al-tarikhi al-
siyaqi-nya, dan Abdullah Saeed dengan Contextuallity approch-nya. Pada kesempatan kali ini,
penulis ingin sedikit memaparkan konsep milik salah satu dari tiga nama di atas yakni konsep
milik Abdullah Saeed.
Abdullah Saeed merupakan salah satu kontributor tafsir kontemporer yang berpengaruh
pada disiplin ilmu tafsir. Terbukti dengan konsep contextuallity approach dan gagasannya
tentang nilai-nilai hirarki dalam al-Quran yang dinilai membantu dalam memahami ayat-ayat al-
Quran yang relevan dengan zamannya. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah buku
Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach.
Menurut Saeed, dalam menafsirkan ayat al-Quran, melihat konteks adalah salah satu
langkah yang menjadi keharusan dilakukan. Namun demikian, bukan berarti Ia menafikan
pemahaman teks al-Quran itu sendiri. Hal ini kemudian, sebagaimana Lien Iffah dalam
tulisannya, menyebutkan bahwa Saeed adalah mufasir dengan pandangan quasi-objektif
modernis. Menggali makna asli dari teks dan melihat konteks yang mengitari teks tersebut. Ini
yang kemudian disebut sebagai contextuallity approach atau pendekatan kontekstual.
Kaum kontekstualis, termasuk Saeed di dalamnya, meyakini bahwa al-Quran sebaiknya
dipahami sebagaimana ia dipahami dan dipraktikkan oleh generasi abad ke-7 M di satu sisi, dan
bagaimana ia bisa dipraktikkan pada konteks modern di sisi lain. Ini yang kemudian oleh Saeed
disebut dengan konteks makro I (awal abad ke-7 M) dan konteks makro II (konteks modern).
Penafsiran kontekstual menuntut untuk para mufasir untuk tetap memerhatikan sifat
hirarkis dari nilai yang terdapat pada teks al-Quran. Saeed kemudian merumuskan nilai-nilai
hirarkis al-Quran tersebut untuk kemudian digunakan dalam penafsiran itu sendiri. Ia
merumuskan nilai-nilai tersebut menjadi lima bagian dimulai dari yang paling dasar.
Pertama, nilai-nilai wajib atau obligatory values. Nilai ini merupakan nilai dasar yang
ditegaskan dalam al-Quran. Nilai ini tidak bergantung pada konteks, dengan kata lain tidak akan
berubah sepanjang zaman. Dalam pengertian lain, nilai ini dapat juga disebut sebagai inti Islam.
Saeed menguraikan nilai ini menjadi beberapa sub-kategori meliputi; (1) keyakinan-
keyakinan (bersifat metafisis) seperti, keyakinan pada Tuhan, Malaikat, Hari Akhir, dst. (2)
praktik ibadah fundamental (mahdah) seperti salat, puasa, dan haji. (3) hal yang sudah jelas halal
dan haramnya serta terkuatkan dengan praktik Nabi.
Tentang yang terakhir, Saeed menambahkan bahwa sedikit sekali ayat yang yang
menyatakan tentang kategori tersebut.
Kedua, nilai-nilai fundamental atau fundamental values. Nilai ini merupakan nilai yang
disebutkan berulang-ulang dalam al-Quran. Saeed menghubungkan nilai ini dengan konsep
maqasid al-syariah karena menurutnya nilai ini mencakup tentang dasar-dasar asasi yang ada
pada manusia. Misalnya seperti perlindungan atas jiwa seseorang, keluarga, atau harta benda.
Ketiga, nilai-nilai perlindungan atau protectical values. Nilai perlindungan oleh Saeed
diposisikan sebagai penguat dan pendukung dari nilai fundamental karena menurutnya nilai
fundamental menjadi tidak bermakna kalau tidak dipraktikkan. Sebagai contoh, perlindungan
akan harta kepemilikan harus dibarengi dengan misal, pelarangan mencuri, hukuman atasnya,
dst.
Keempat, nilai-nilai implementasi atau implementational values. Nilai ini merupakan
spesifikasi dari nilai perlindungan yang akan diimplementasikan ke dalam masyarakat. Pada nilai
ini, Saeed mencoba untuk melihat lebih dalam apa tujuan yang hendak dicapai al-Quran pada
ayat tersebut.
Saeed mencontohkan tentang hukuman potong tangan pada pencuri. Ia berkesimpulan
bahwa ayat tersebut tujuannya bukan spesifik di potong tangannya namun lebih kepada apa yang
pada waktu itu dapat membuat pelaku jera dan tidak akan mengulanginya lagi. Hukum potong
tangan relevan pada abad ke-7 M di daerah Arab dan belum tentu relevan pada masa ini. Saeed
juga menambahkan bahwa ayat al-Quran sendiri mengafirmasinya dengan adanya ayat-ayat
pemaafan atas perbuatan apabila pelaku telah bertaubat.
Kelima, nilai-nilai instruksional atau instructional values. Nilai ini berupa instruksi,
arahan, maupun petunjuk yang spesifik dalam al-Quran yang berhubungan dengan konteks.
Menurut Saeed, nilai instruksional perlu dieksplorasi dengan hati-hati untuk melihat apakah
instruksi tersebut bersifat universal atau terbatas yang kemudian tentang bagaimana menentuka
level penerapannya, tambah Saeed dalam bukunya.
Saeed merumuskan pendekatan kontekstualnya dan nilai-nilai hirarkis, sebagaimana
disebutkan di awal, merupakan usaha untuk menjaga agar pesan al-Quran tetap relevan dan juga
sebagai respon ketidak setujuannya terhadap pendekatan yang tekstual. Melalui pendekatan
kontekstual, Saeed seakan-akan berpesan bahwa makna al-Quran tidak cukup hanya dimaknai
secara literar.
Setelah membaca penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Saeed berusaha
untuk menjaga pesan al-Quran tetap relevan dengan merumuskan pendekatan baru yakni
pendekatan kontekstual. Alih-alih menafikan penafsiran berbasis teks, Saeed memilih untuk
menjadikannya tahap awal dalam menafsirkan al-Quran.

Anda mungkin juga menyukai