Anda di halaman 1dari 5

Pembacaan ulang terhadap Alquran menjadi salah satu konsep yang ditawarkan oleh

syahrur. Ia menganggap bahwa Alquran seyogyanya dibaca seperti ketika masih dalam proses
pewahyuan. Hal itu didasarkan pada konsep Alquran yang shalih li kulli zaman wa makan.
Menurut syahrur, umat Islam perlu untuk melakukan restorasi pada sisi yang tidak relevan lagi
pada zaman sekarang.

Dari pemikiran tersebut, syahrur berusaha menggunakan beberapa pendekatan

Al-manhaj al-tarikhi merupakan pendekatan linguistik yang digunakan syahrur dalam


pendekatan hermeneutiknya.

Salah satu diskursus sosial yang


Apa yang melatar belakangi lahirnya pemikiran ini?

Dalam asumsi Syahrur, Alquran merupakan subject of interpretation dimana dalam


melakukan aktifitas eksegetik umat Islam saat ini perlu melakukan restorasi pada sisi-sisi yang
tidak relevan lagi, ia menganjurkan untuk memperlakukan Alquran seolah-olah baru turun.
Asumsi ini merupakan pengejawentahan dari jargon atau konsep idel Alquran salih likulli zaman
wa makan

or

Pembacaan ulang terhadap Alquran menjadi salah satu konsep yang ditawarkan oleh
syahrur. Ia menganggap bahwa Alquran seyogyanya dibaca seperti ketika masih dalam proses
pewahyuan. Hal itu didasarkan pada konsep Alquran yang shalih li kulli zaman wa makan.
Menurut syahrur, umat Islam perlu untuk melakukan restorasi pada sisi yang tidak relevan lagi
pada zaman sekarang.

Apa pemikiran pokok dari syahrur?

Tidak adanya sinonimitas dalam ayat al-Quran.

Ayat nubuwah dan risalah. Nubuwah terdiri dari mutasabih dan tafshil al kitab.

Apa tujuan yang ingin dicapai syahrur dengan pemikiran ini?

Membongkar dengan rekonstruksi atau dekonstruksi berbagai adagium yang sudah


mapan agar bisa menjawab problem kekinian.

Apa yang dilakukan syahrur ?

Menggunakan pendekatan hermeneutika yang didasarkan pada pendekatan linguistik


yang disebut dengan al-Manhaj al-Tarikhi. Ia menggabungkan metode milik al-Farisi, Ibnu Jinni,
dan Abdul Qadir al-Jurjani.

Bagaimana praktek syahrur dalam mengimplementasikan pemikirannya?

Kesetaraan gender dengan menafsiri surat an-nisa


Salah satu keinginan Syahrur adalah merestorasi sisi yang tidak relevan lagi dalam penafsiran
Al-Quran. Menurutnya, Al-Quran harus terus dimaknai hal yang diyakini oleh syahrur dalam
Alquran adalah tidak adanya sinonimitas. Konsep ini kemudian digunakan oleh syahrur untuk
menafsirkan salah satu ayat dalam Alquran yang dinilai membela kaum wanita.

Syahrur beranggapan bahwa dalam membaca Alquran,


JUDUL

Tafsir merupakan salah satu media untuk para pakar mengembangkan keilmuannya, atau
yang biasa disebut sebagai Tamrinah al-Funun. Salah satunya adalah Syahrur. Ia merupakan
mufasir kontemporer yang berlatar belakang teknik sipil. Mungkin terkesan tidak linier, namun
Syahrur menghubungkan keduanya dengan teori hermeneutikanya yakni Teori batas/hudud.

Syahrur menamai hermeneutikanya dengan sebutan teori batas, kenapa demikian karena
Ia menggunakan metode batas atas dan batas bawah dalam memahami ayat hukum. Menurut
Syahrur, selama tidak melebihi batas atas dan bawah, maka hukum itu masih bisa diformulasikan
ulang untuk menemukan hukum yang pas dengan suatu konteks. Ia mendasarkan teorinya ini
pada Alquran surat an-Nisa ayat 13-14 dengan menyoroti redaksi “tilka huduud Allah”.

Menurut Syahrur pihak yang berhak dan memiliki otoritas penuh dalam menentukan
batasan hanyalah Allah. Ia menambahkan bahwa Nabi tidak berhak menentukan dan hanya
sebagai seorang ijtihad hukum yang masa berlakunya temporal-kondisional. Tentang yang
terakhir, hemat penulis, dapat menjadikan pintu ijtihad yang lebih luas dan mungkin dapat
relevan dengan perkembangan zaman.

Dalam hukum Islam, menurut Syahrur, terdapat dua unsur yang membentuknya yakni
unsur al-istiqamah dan al-hanafiyyah. Al-istiqomah adalah batasan yang telah ditetapkan oleh
Allah dan al-hanafiyyah adalah ijtihad atau formulasi hukum di dalam batas. Di sini Syahrur
lagi-lagi menampakkan latar belakangnya dengan menggunakan fungsi-fungsi matematis dalam
menjelaskan bentuk-bentuk dalam teorinya. Namun penulis tidak akan menuliskan bagaimana
fungsi-fungsi itu diterapkan dan lebih ke penjelasan sederhana.

Syahrur menyimpulkan setidaknya ada enam bentuk dalam teori batas yang dapat
dijabarkan sebagai berikut:

Batas maksimal adalah batas paling atas yang telah ditetapkan dan tidak dapat dilampaui
tapi memungkinkan untuk diringankan.

Batas minimal merupakan batas paling bawah yang ditentukan oleh Alquran yang mana tidak
memungkinkan untuk mengurangi ketentuan tersebut akan tetapi mungkin untuk menambahnya.

Batas maksimal bersamaan dengan batas minimal …

Batas maksimal dan minimal berada dalam satu titik yaitu ketentuan batas atasnya juga menjadi
batas bawah sehingga sebuah ijtihad tidak mungkin untuk mengambil hukum yang lebih berat.

Batas maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persinggungan.

Batas maksimal positif tidak boleh dilampaui dan batas minimal negatif boleh dilampui …

Salah satu fenomena sosial yang dapat dijawab dengan hermeneutika Syahrur adalah
masalah kesetaraan gender. Fenomena ini sering menjadi sorotan dari beberapa kalangan dan
kelompok. Kesetaraan gender belakangan mempermasalahkan tentang kedudukan perempuan
dalam lingkungan sosial. Syahrur beranggapan bahwa kajian tentang kedudukan perempuan ini
belum ada yang orisinil. Ia menganggap bahwa ulama yang telah menkaji tentang fenomena ini
tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas dari kitab suci yang berakibat produk
pemikirannya sering dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zaman.

Kaum perempuan yang dipandang sebelah mata menjadi fokus utama permasalahan yang
coba untuk diselesaikan.

Menurut Syahrur, perjuangan emansipasi bagi perempuan harus terus dilakukan agar tak
terjadi penindasan baik langsung maupun tidak.

1. Teori linguistik Syahrur : sinonimitas


2. Teori limit/Hudud
3. Teori dan aplikasinya

Anda mungkin juga menyukai