BAB 1 FR Kruris
BAB 1 FR Kruris
PENDAHULUAN
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari
5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3
juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah
sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi (Depkes RI, 2011).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, tahun 2008
jumlah korban meninggal akibat kecelakaan 20.188 jiwa dari 59.164 kasus
kecelakaan, tahun 2009 terdapat 19.979 jiwa dari 62.960 kasus kecelakaan
dan tahun 2010 terdapat 19.873 jiwa dari 66.488 kasus kecelakaan (BPS RI,
2012 dalam Oktasari, 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
tercatat sebanyak 4.888 jiwa (5,8%) mengalami fraktur (BPPK, 2013 dalam
1
2
Prasetyo, 2014). Hal ini dapat disimpulkan bahwa angka kejadian fraktur
cukup besar.
Fraktur cruris tibia fibula adalah terputusnya kontinuitas tulang tibia dan
fibula. Secara klinis bisa berupa fraktur terbuka bila disertai kerusakan pada
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah) sehingga
memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah
dengan udara luar dan fraktur tertutup (Zairin, 2012).
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur
dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
kecelakaan. Sedangkan pada usia lanjut (Usila) prevalensi kecenderungan
lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis
yang terkait dengan perubahan hormon (Lukman & Ningsih, 2012).
Jenis fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur pada bagian
ekstremitas atas sebesar 36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2%.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Dari 45.987 orang dengan kasusu
fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami
fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775
orang mengalami fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-
tulang kecil dikaki dan 336 orang mengalami fraktur fibula. Walaupun
peran fibula dalam pergerakan ekstremitas bawah sangat sedikit, tetapi
3
Tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Sebagian besar fraktur di sebabkan oleh
kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan,
penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Bila terkena
kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan
lunak juga pasti rusak (Zairin, 2012).
Tanda dan gejala fraktur adalah nyeri terus menerus dan bertambah beratnya
sampai fragmen tulang di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur
merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
4
Selain itu fraktur akan bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut
diantaranya syok, sindrom emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan
arteri, infeksi, dan avaskuler nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang
lama akan terjadi mal union, delayed union, non union atau bahkan
perdarahan. Prinsip penanggulangan cedera muskoluskeletal adalah
recognition (mengenali), reduction (mengembalikan), retaining
(mempertahankan), dan rehabilition (rehabilitasi). Meskipun demikian
masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut
sampai tindakan setelah atau post operasi (Rizal Ahmad et al, 2014).
Indonesia sendiri data yang valid belum ada tapi melihat kondisi sekarang,
dimana masyarakat dengan mudahnya bisa membeli kendaraan bermotor
terutama roda dua, maka diperkirakan angka tersebut jauh lebih tinggi, yang
sangat potensial menimbulkan angka kesakitan, kecacatan, ataupun
meninggal (Rizal Ahmad et al, 2014).
Berdasarkan data dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut melalui karya tulis ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Open Fraktur Tibia Fibula Dextra Post Pemasangan Fiksasi Eksternal Pada
Tn.H di Ruang Orthopedi Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin”
meliputi biopsikososial dan spiritual guna memberikan asuhan keperawatan
yang komprehensif.