Anda di halaman 1dari 10

RINGKASAN MATERI KULIAH FARMASI FISIKA II

KRISTALOGRAFI FARMASI
POLIMORFISME BAHAN AKTIF FARMASI

Dosen Pengampu : Muhammad Dzakwan, M.Si., Apt.

Kelompok :6G
Nama Anggota : 1.
2. Eka Kartika I (24185559A)
3. Marcherriva iqlima K.P (24185594A)
4. Astatin Ardhiasari (24185602A)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI SURAKARTA
2019
I. Judul Pokok Bahasan : Kristalografi Farmasi
II. Judul Materi Bahasan : Polimorfisme Bahan Aktif Farmasi
III. Deskripsi Singkat Materi Bahasan :
Polimorfisme  adalah suatu senyawa mengkristalisasi dalam bentuk lebih dari
satu spesies kristalin dengan perbedaan kisi internal. Stabilitas kimia, sifat
prosessing atau ketersediaan hayati berubah akibat polimorfisme. Senyawa
organik maupun senyawa anorganik yang memiliki minimal dua bentuk kristal
yang berbeda dalam bentuk padatan disebut bentuk polimorfisme.
Polimorfisme ditemukan pertama kali oleh E. Mitscherlich tahun 1825 pada
garam natrium fosfat, disusul belerang tahun 1832 oleh F.Wöhler & J.Liebig dan
senyawa benzamid. Polimorfisme adalah kemampuan suatu senyawa untuk berada
pada berbagai tingkat energetik yang berbeda. Konsekuensinya, setiap polimorf
memiliki karakter fisika yang berbeda, seperti suhu lebur, bobot jenis, indeks
bias,tegangan permukaan, kelarutan, laju disolusi dan bioavailabilitasnya.Pada
saat itu ditemukan bahwa sekitar 60% senyawa barbiturat,sulfonamida dan
hormon steroid adalah polimorf.McCrone (1965)mendefinisikanpolimorfisme
sebagai fase solida kristalin suatu senyawa dengan minimaldua susunan molekul
yang berbeda.
Contoh polimorfisme bahan aktif, yaitu :
1. Polimorfisme simetidin
2. Polimorfisme oleum cacao
3. Polimorfisme parasetamol
4. Polimorfisme ibu profen
IV. Uraian Pokok Bahasan dan Materi Bahasan :
A. POLIMORFISME
Polimorfisme  adalah suatu senyawa mengkristalisasi dalam bentuk lebih
dari satu spesies kristalin dengan perbedaan kisi internal. Stabilitas kimia, sifat
prosessing atau ketersediaan hayati berubah akibat polimorfisme.
Senyawa organik maupun senyawa anorganik yang memiliki minimal dua
bentuk kristal yang berbeda dalam bentuk padatan disebut bentuk
polimorfisme. Bentuk  polimorfisme ini pada umumnya dibedakan atas dua
golongan yaitu:
1. Bentuk stabil
2. Bentuk meta stabil
Bentuk stabil lebih dikenal sebagai bentuk “kristal”, sedangkan bentuk
metastabil yang lebih populer dengan sebutan bentuk “amorf”. Bentuk amorf
ini tidak dalam bentuk stabil karena pada proses pembuatan atau pada
proses penyimpanannya dapat berubah menjadi bentuk kristal yang lebih
stabil. Perubahan bentuk amorf menjadi bentuk kristal dapat disebabkan oleh
beberapa faktor suhu, dan tekanan dalam waktu cepat atau lambat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pemilihan bahan zat  berkhasiat
yang berupa amorf perlu diperhatikan apakah bentuk kristal pada awalnya.
Sebab apabila pemilihan tersebut terjadi kekeliruan dalam pemilihan bentuk-
bentuk tersebut dapat menyebabkan tidak stabilnya sedian farmasi yang
dihasilkan.
Walaupun bentuk amorf pada umunya mudah larut, sehingga akan
diperoleh  bioavailablitas yang lebih besar dibandingkan dengan bentuk kristal
yang stabil, tetapi oleh karena itu sifatnya mudah mengalami perubahan
bentuk menjadi bentuk yang stabil, maka disarankan untuk tidak menggunkan
bentuk kristal amorf dalam sediaan farmasi.
Perbedaan antara bentuk amorf dengan bentuk kristal adalah pada
perbedaan dalam bentuk kelarutan, titik leleh dan pola difraksi sinar x-nya.
Ada beberapa senyawa yang memiliki bentuk polimorfisme yang dikenal
adalah kortison asetat dengan empat bentuk  polimorfi, dimana satu bentuk
diantaranya stabil dalam media cair. Kloramfenikol palmitat dengan bentuk
polimorfik dengan satu bentuk stabil dalam media cair dan lain-lain.
Untuk mengetahui bentuk polimerfik suatu bahan berkhasiat atau bahan
pembantu dapat digunakan salah satu dari beberapa cara sebagai berikut:
1. Disolusi, pengamatan terhadap bentuk amorf yang memiliki kecepatan
disolusi lebih besar.
2. Difraksi sinar X, setiap bentuk kristal memiliki susunan kisi kristal yang
berbeda dan  perbedaan tersebut akan tampak dalam perbedaan spektra
sinar X.
3. Analisa inframerah, adanya perbedaan pada penyusunan kristal akan
berpengaruh terhadap energi ikatan molekul sehingga akan berpengaruh
pula terhadap spektra inframerahnya.
4. Differential Scanning Colorimetry and Differenstial thermal analysis.
Perubahan satu bentuk polimorfik menjadi bentuk lainnya, juga akan
melibatkan perubahan energi dimana panas yang terbentuk dideteksi oleh alat
tersebut.
Perbedaan utama dari solida dan bentuk fisik lain adalah apakah padatan
berbentuk kristalin atau amorf. Pada karakterisasi Kristal,atom dan molekul
ditetapkan secara berulang dalam susunan tiga dimensi,sedangkan pada bentuk
amorf, atom atau molekul tersusun secara acak seperti dalam suatu cairan.
Semua bentuk amorf dan bentuk kristalin akan dikonversi menjadi bentuk
kristalin stabil. Polimorf menstabilkan akan dikonversi menjadi bentuk stabil
secara pelahan-lahan atau secara cepat (bergantung zatnya), dan ini merupakan
hal yang sangat penting dalam farmasi adalah bentuk yang cukup stabil untuk
menjamin usia guna-sediaan dan ketersediaan hayati.

B. BAHAN AKTIF FARMASI


Banyak penelitian mengenai BAF yangikut serta membahas berbagai
bentuk solid yang mempengaruhi produksi kristal.Bentuk-bentuk tersebut
termasuk polimorf,garam, dan ko-kristal3,4.Karakterisasi kristal merupakan
halyang penting untuk dilakukan dalamtahapan produksi bahan farmasi.
Adabanyak metode karakterisasi yang diketahuiberguna untuk mengetahui dan
mengontroltahapan kristalisasi dan metode-metode ini sangat bergantung pada
sifat kunci dari bahan yang akan diinvestigasi.
Telah diketahui bahwa sekitar 95% BAF berada dalam fase solida(kristal)
yang umumnya diperoleh melalui proses sintesis dan kristalisasi.Demikian
pula halnya dengan sediaan farmasi yang 40% di antaranyaadalah solid.Pada
awalnya, BAF yang dinilai potensial dan telah dikenali sertadipahami struktur
molekul kimianya, diproduksi para ahli kimia, BAFdinilai siap untuk
diformulasi dan diuji secara klinis.Tetapi fakta yang terungkap pada tahun-
tahun berikutnya menunjukkan bahwa kinerjaformulasi berbagai BAF
tergantung pada parameter lain, yakni: habit danpolimorf kristal. Satu habit
kristal dapat ditabletkan dengan mudah, namun habit lain dari BAF yang sama
justru tidak. Meskipun suhu leburdan pola difraksi sinar-X nya sama. Satu
polimorf kristal memiliki kelarutan absolut dan bioavailabilitas 5-10 kali lebih
besar dibandingkanpolimorf lain dari BAF yang sama. BAF produk pabrik A
dapat menghasilkan sediaan suspensi yang stabil, akan tetapi dengan BAF
samanamun produksi pabrik B, sediaan hanya stabil dalam waktu
singkat,kemudian membentuk kue . Fakta tersebut pada akhirnya diketahui
disebabkan oleh fenomena polimorfisme BAF. Oleh karena itu, sejaktahun
1969 mulai ditemukan artikel-artikel yang membahas tentangpolimorfisme
dan aplikasinya dalam dunia farmasi.
Polimorfisme ditemukan pertama kali oleh E. Mitscherlich tahun
1825padagaram natrium fosfat, disusul belerang tahun 1832 oleh F.Wöhler &
J.Liebig dan senyawa benzamid. Polimorfisme adalah kemampuan suatu
senyawa untuk berada pada berbagai tingkat energetik yang berbeda.
Konsekuensinya, setiap polimorf memiliki karakter fisika yang berbeda,
seperti suhu lebur, bobot jenis, indeks bias,tegangan permukaan, kelarutan,
laju disolusi dan bioavailabilitasnya.Pada saat itu ditemukan bahwa sekitar
60% senyawa barbiturat,sulfonamida dan hormon steroid adalah
polimorf.McCrone (1965)mendefinisikanpolimorfisme sebagai fase solida
kristalin suatu senyawa dengan minimaldua susunan molekul yang
berbeda.Sedangkan kristal solvat dan hidrat BAF dikenal sebagai
psudopolimorf. Istilah aktualnya adalah solvatomorf dan hidratomorf.
Eksistensi polimorf menyebabkan perbedaan efikasi BAF. Bentuk
asamsenyawa novobiosin yang berada dalam kondisi amorf, bersifat
metastabil dan aktif biologis. Di dalam sediaan suspensi, bentuk metastabil
akan(cake)berubah menjadi bentuk stabil yang kurang larut dan
kehilanganaktifitasnya (Mullins et al 1960).
Laju disolusi kloramfenikol palmitat B(metastabil) 4x lebih tinggi
dibandingkan bentuk A. Sedangkan lajudisolusi bentuk C berada di antara A
dan B. Hal ini terjadi akibatperbedaan energi bebas di antara A dan B cukup
besar (- 774 kalori/mol)sehingga bentuk B lebih cepat diabsorpsi daripada A.
Untuk sediaansuspensi kloramfenikol palmitat dipilih bentuk B karena aktif
secarabiologis. Bentuk C juga tidak menunjukkan aktivitas biologis.
Perbedaan dalam laju disolusi dan kelarutan juga ditunjukkansenyawa
yang bersifat psudopolimorf atau hidratomorf. Senyawaampisilin anhidrat
menunjukkan kelarutan dalam air 20% lebihtinggi daripada bentuk trihidrat.
Demikian pula secara yangdicobakan pada anjing dan manusia, suspensi per
oral menunjukkanabsorpsi bentuk anhidrat yang lebih efisien (Poole et al
1968). Disampingitu, polimorfisme juga dapat menyebabkan terjadinyacrystal
growth partikel solida tersuspensi.

C. POLIMORFISME BAHAN AKTIF FARMASI


a. Polomorfise Simetidin
Telah diketahui bahwa simetidin memiliki tiga bentuk polimorf A, B
dan C. Pada umumnya energi termal atau tribomekanik akan mengubah
polimorf simetidin. Dalam hal ini, transformasi polimorfik tersebut akan
diikuti melalui perubahan disolusi. Polimorf simetidin dihasilkan melalui
metode rekristalisasi dari berbagai pelarut yang berbeda. Karakterisasi
dengan menggunakan DSC, difraktometer Sinar-X serbuk, dan mikroskop
electron (SEM).
Penggilingan bahan baku dan polimorf simetidin selama 30. 60, 90,
120, dan 150 menit diikuti dengan uji disolusinya. Transformasi polimorfik
terjadi pada polimorf C menjadi bentuk stabil , sedangkan polimorf A dan
B masing masing masih dalam bentuk stabil. Polimorf A, B, dan C masing
masing menunjukkan crystal habit dan difraktogram yang berbeda.
Produk penggilingan bahan baku, A, B, dan C menunjukkan habit yang
mirip. Profil disolusi menunjukkan bahwa hasil penggilingan bentuk murni
dan polimorf simetidin tidak meningkatkan laju disolusi tetapi bahkan
menurunkan. Dapat disimpulkan bahwa polimorf A merupakan bentuk
yang paling stabil di antara bentuk polimorf simetidin diikuti B dan C.
Dalam profil disolusi, polimorf C menunjukkan laju disolusi terendah
dan penggilingan tidak meningkatkan laju disolusi simetidin. Dengan
demikian dalam pemilihan bahan baku simetidin diperlukan pemahaman
terhadap polimorf yang sebaiknya digunakan dengan tujuan untuk
memperoleh sediaan yang baik.

b. Polimorfisme Oleum Cacao


Dalam perancangan obat, bahan obat yang sering mengalami
polimorfisme adalah Oleum cacao yang berasal dari biji Theobroma cacao
L. Menurut Farmakope Indonesia III Oleum cacao adalah lemak coklat
padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theobroma cacao
L.yang telah dikupas dan dipanggang. Dalam polimorfnya lemak coklat
memiliki beberapa bentuk, diantaranya adalah :
1) Bentuk α melebur pada 24°C diperoleh dengan pendinginan secara tiba-
tiba sampai 0oC.  
2) Bentuk β diperoleh dari cairan oleum cacao yang diaduk pada suhu 18-
23oC titik leburnya 28-31oC
3) Bentuk stabil β diperoleh dari bentuk β’, melebur pada 34-35oC diikuti
dengan kontraksi volume.
4) Bentuk γ melebur pada suhu 18oC, diperoleh dengan menuangkan
oleum cacao suhu 20oC sebelum dipadatkan ke dalam wadah yang
didinginkan pada suhu yang sangat dingin. Pembentukan polimorfisa ini
tergantung dari derajat pemanasan, proses  pendinginan dan keadaan
selama proses.
Pembentukan kristal non stabil dapat dihindari dengan cara :
a. Jika massa tidak melebur sempurna, sisa-sisa krsital mencegah
pembentukan kristal non stabil.
b. Sejumlah kristal stabil ditambahkan ke dalam leburan untuk
mempercepat perubahan dari bentuk non stabil ke bentuk stabil.
(istilahnya “seeding”).
c. Leburan dijaga pada temperatur 28-32 0C selama 1 jam atau 1 hari.
Lemak cokelat sangat mudah mengalami polimorfisme dikarenakan oleh titik
leburnya yang sangat rendah yakni sekitar 31derajat Celicius -34 derajat
Celcius. Peristiwa ini sering terjadi pada pembuatan suppositoria yang
menggunakan lemak cokelat sebagai basis. Untuk mengatasi peristiwa ini,
lemak cokelat diberikan perlakuan kusus diantaranya:
1. Oleum cacao tidak meleleh seluruhnya, cukup dua pertiganya saja yang
dilelehkan
2. Penambahan sejumlah kecil bentuk Kristal stabil ke dalam lelehan oleum
cacao untuk mempercepat perubahan bentuk tidak stabil menjadi bentuk stabil.
3. Pembekuan lelehan selama beberapa jam atau beberapa hari.
5. Untuk menaikkan titik lebur lemak coklat digunakan penambahan cera atau
cetaceum (spermaseti). Penambahan cera flava tidak boleh lebih dari 6%
sebab akan menghasilkan campuran yang mempunyai titik lebur di atas 37°C
dan tidak boleh kurang dari 4% karena akan diperoleh titik lebur di bawah titik
leburnya (<33°C).
6. Untuk menurunkan titik lebur lemak coklat dapat digunakan tambahan
sedikit kloralhidrat atau fenol, atau minyak atsiri.

c. Polimorfisme parasetamol
Parasetamol adalah senyawa derivate para amino fenol. Parasetaml
merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan
digunakan sejak tahun 1893. Efek analgesic, parasetamol serupa dengan
parasetamol berupa serbuk hablur berwarna putih, tidak berbau dan rasanya
sedikit pahit. Parasetamol memiliki kelarutan 1:70 dalam air, 1:20 salam air
mendidih, 1:7 dalam alcohol, 1:3 aseton, 1:40 dalam gliserol, 1:9 dalam
propilenglikol, sangat mudah larut dalam klorofom, praktis tidak larut dalam
eter dan larut dalam larutan alkali hidroksida. Jarak lebur parasetamol antara
168 derajat Celsius dan 172 derajat Celsius.
Parasetamol mempunyai tiga bentuk polimorf yaitu bentuk monoklin
(bentuk I), bentuk ortorombik (bentuk II) dan bentuk sangat tidak stabil
(bentuk III). Bentuk monoklin umumnya digunakan pada pembuatan tablet.
Bentuk ini mempunyai struktur dengan sedikit datar. Pada proses pembuatan
tablet, kristal bentuk ini dibuat menggunakan proses granulasi basah dan
membutuhkan bahan tambahan berupa plasticizer pada formulasinya.
Sebaliknya, bentuk ortorombik tersusun atas molekul-molekul yang terkikat
oleh ikatan hydrogen yang tersusun pada baris antiparallel. Bentuk ini
mempunyai struktur yang lebih datar sehingga menghasilakn aliran yang
bersifat plastis selama proses pengempaan. Bentuk ortorombik dapat
dihasilkan dari pendinginan lelehan parasetamol secara perlahan dan
kristalisasi larutan etanol yang disertai proses seeding dengan kondisi
terkontrol.
d. Polimorfisme Ibu Profen
Pada umumnya senyawa organic dan anorganik yang relevan bagi dunia
kefarmasian dapat berada pada satu atau berbagai bentuk kristal. Sifat dimana
suatu senyawa memiliki lebih dari satu bentuk kristal disebut polimorfisme.
Polimorf mempunyai kandungan kimia yang sama, tetapi bentuk kristal yang
berbeda. Perbedaan bentuk kristal ini menyebabkan sifat fisika yang berbeda
seperti bobot jenis, kekerasan, kemampuan tabletasi, indeks bias, suhu lebur,
stabilitas, dan laju disolusi. Perbedaan dalam sifat fisika dari berbagai bentuk padat
memiliki efek penting dalam proses pengo- lahan zat aktif menjadi sediaan obat.
Berbagai proses farmasi selama pe- ngembangan obat seperti pengeringan,
penggilingan, dan penggerusan secara signifikan mempengaruhi bentuk kristal zat
aktif di dalam sediaan obat. Oleh karena itu, sejak awal disarankan untuk memilih
bentuk polimorfik zat aktif yang memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang paling
stabil selama proses pengembangan obat (Soewandhi, Sundani. 2006).
Umumnya, bentuk kristal dari ibuprofen menunjukkan beberapa kekurangan
yang akan mempengaruhi sifat-sifatnya dalam memformulasi. Ibuprofen memiliki
sifat alir yang buruk karena sifat kohesif yang terlalu tinggi. Masalah lainnya
dalam memformulasi bahan ini adalah kecenderungan yang tinggi untuk lengket
pada cetakan dan mempu- nyai laju disolusi yang buruk. Karena kekurangan
tersebut maka diperlu- kan suatu cara yang dapat memper- baiki sifat-sifatnya,
salah satunya dengan cara memilih bentuk kristal ibuprofen yang lebih baik
dibandingkan kristal bahan baku ibuprofen yang umum digunakan.
Pada tahun 2005, Nada dan Al- Saidan melakukan penelitian untuk
memodifikasi bentuk kristal ibu- profen menggunakan metode Kristalisasi
pendinginan dan penguapan dengan pelarut etanol. Modifikasi kristal ini juga
dilakukan oleh Garekani, dimana digunakan pelarut metanol dan etanol (Garekani,
et al, 2001). Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa modifikasi kristal ibuprofen dengan pelarut-pelarut tertentu dapat
memperbaiki dan meningkatkan karakter dari zat tersebut, seperti sifat alir serbuk,
kompresibilitas dan kecepatan disolusi. Berdasarkan penelitian di atas, maka
dilakukan modifikasi kristal untuk menghasilkan bentuk kristal ibuprofen dengan
karakter yang baik. Pada penelitian ini, digunakan metode kristalisasi dengan cara
pendinginan, penguapan, dan penambahan air. Pembentukan kristal ini dilakukan
terhadap larutan jenuh ibuprofen dalam beberapa pelarut yaitu etanol, metanol dan
aseton. Kristal yang diperoleh kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan
mikroskop optik, Scanning Electron Microscopy (SEM), Differential Scanning
Calorimetry (DSC) dan Difraksi Sinar-x Serbuk, serta karakterisasi sifat
farmasetiknya yaitu laju alir, indeks kompresibilias, sudut repose, dan disolusi
V. Pentingnya Materi Bahasan Dalam Perkuliahan Farfis II :
Dapat mengetahui tentang polimorfisme bahan aktif farmasi pada obat yang masih
sering dikonsumsi oleh masyarakat. Kemudian terdapat empat contoh obat yang
mengalami polimorfisme bahan aktif farmasi yang diberikan pada makalah ini
yaitu:
1. Polimorfisme simetidin
2. Polimorfisme oleum cacao
3. Polimorfisme parasetamol
4. Polimorfisme ibu profen

VI. Referensi
 Goeswin Agoes. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. ITB : Bandung
 Putri, Sabrina. 2011. Oleum cacao.http://id.scribd.com/doc/56234011/Oleum-
Cacao Makalah. (21/01/2014)
 Soewandi, Sunandi Nurono. 2007. Polimorfisme Diklofenak Natrium. J.Sains
Tek. Far., 12(1)2007.
 SundaniN.S.,Führer,C.,1983,Beitragzur Aufklärung kristallographischer
VeränderungenvonArzneistoffenbeimechanischerBearbeitung,
Dissertation,NaturwissenschaftlichenFakultätderTUCarolo
WilhelminazuBraunschweig.
 SundaniN.S.,Jessie,S.P.,Rachmat,M.,Moegihardjo,2005,“ProfilDisolusi
CampuranPeritektikMixed-crystalsIbuprofendanAsetaminofen”,
,ActaPharmaceuticaIndonesia,ITB,VolXXX,No.2,68-71
 Juwita, oki. 2008. Kristalisasi dan karakter kristal parasetamol, universitas
indonseia : depok
 Soewandhi, Sundani N. 2006. Kristalografi Farmasi I. Bandung: ITB. 9-12,
104-105,208.
 Resenack N & Muller B.W. (2002). International Journal of
Pharmaceutis.Ibuprofen Crystal with Optimized Properties,Vol. 245, Hal, 9-24

Anda mungkin juga menyukai