Anda di halaman 1dari 11

1.

Landfarming

Landfarming sering juga disebut dengan landtreatment atau landapplication. Cara ini
merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan di permukaan tanah.
Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ.
Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah lama digunakan, dan banyak
digunakan karena tekniknya sederhana. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan
dalam melakukan teknik ini, yaitu kondisi lingkungan, sarana, pelaksanaan, sasaran
dan biaya. Kondisi lingkungan, kondisi tanah yang tercemar, pencemar, dan
kemungkinan pelaksanaan teknik landfarming. Untuk tanah tercemar, tanah
hendaknya memiliki konduktivitas hidrolik sedang seperti lanau (loam) atau lanau
kelempungan (loamy clay). Apabila diterapkan pada tanah lempung dengan
kandungan clay lebih dari 70% akan sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan sifat
lempung yang mudah mengeras apabila terkena air. Kegiatan landfarming dapat
dilakukan secara ex-situ maupun in-situ. Namun bila letak tanah tercemar jauh diatas
muka air (water table) maka landfarming dapat dilakukan secara in-situ. pencemar
yang tersusun atas bahan yang mempunyai penguapan rendah masih sesuai untuk
ditangani secara labdfarming. Bahan pencemar yang mudah menguap tidak cocok
menggunakan teknik ini karena dilakukan secara terbuka. Sebaiknya kandungan TPH
dibawah 10% (Baker, 1990).
Kemungkinan pelaksanaannya apabila tersedia lahan, alat berat untuk menggali dan
meratakan tanah, serta kondisi lingkungan yang mendukung. Apabila ini dipenuhi,
maka memungkinkan untuk diterapkan teknik landfarming secara ex-situ. Kondisi
lingkungan; iklim di lingkungan tempat kegiatan landfarming sangat mempengaruhi
proses. Panas yang terik dapat mengakibatkan tanah cepat mengering, maka
kelembaban harus selalu dijaga dengan penyiraman. Sebaliknya pada musim hujan,
tanah menjadi terlalu jenuh air, sehingga menghambat biodegradasi pencemar karena
aerasi terhambat.
Sarana yang harus disediakan adalah lahan pengolah, pengendali limpahan air,
pengendali resapan, dan sarana pemantau. Lahan pengolah untuk menampung tanah
tercemar dan tempat pengolahan landfarming dilaksanakan. Pengendali limpahan air,
terutama berfungsi saat musim hujan, untuk menjaga kemungkinan terjadinya
pencemaran baru akibat limpahan air tercampur polutan. Pengendali resapan terletak
di dasar lahan pengolah, biasanya berupa lapisan clay yang dipadatkan sampai bersifat
kedap air (liner). Pengendali yang lebih baik adalah lapisan plastik geomembran
HDPE (High Density Polyethylene). Sarana pemantau berupa alat pemantau gas,
udara, cuaca, air tanah dan sebagainya (Cookson, 1995).
Apabila dilaksanakan secara ex-situ, tanah tercemar yang diambil dari lokasi yang
tercemar dibersihkan terlebih dahulu dari batu-batu dan bahan lain. Selanjutnya tanah
dicampur dengan nutrien dan pHnya diatur. Penambahan nutrient juga disebut
biostimulation. Pada jenis tanah tertentu, perlu ditambahkan bahan penyangga berupa
serbuk gergaji, kompos, atau bahan organik lain untuk meningkatkan porositas dan
konduktivitas hidrolik. Setelah tercampur, tanah ditebarkan di lahan pengolah.
Hamparan tanah selalu dijaga kelembabannya agar kandungan air kurang lebih 15%.
Sec   ara periodik, lapisan tanah dibajak agar tanah mendapat aerasi yang cukup.
Penambahan O2 juga disebut bioventing. Apabila diperlukan pada periode tertentu,
juga diberi nutrisi agar proses biodegradasi cepat berlangsung. Selain penambahan
nutrien dan O2, juga dapat ditambah inokulum mikroba. Nutrien umumnya adalah
pupuk NPK/urea dan sumber karbon yang mudah didegradasi. Dari hasil uji dapat
menurunkan TPH sampai 49% Selama kegiatan landfarming, secara periodik
dilakukan monitoring untuk mengamati kandungan pencemar, aktivitas mikroba, dan
pengaruhnya terhadap lingkungan. Dari data hasil monitoring dapat diketahui waktu
penyelesaian proses landfarming.
Salah satu pencemaran yang dapat terjadi pada tanah adalah pencemaran minyak
bumi. Minyak yang merembes ke dalam tanah dapat menyebabkan tertutupnya suplai
oksigen dan meracuni mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian
mikroorganisme tersebut. Tumpahan minyak di lingkungan dapat mencemari tanah
hingga ke daerah sub-surface dan lapisan aquifer air tanah. Pengolahan limbah
minyak bumi dapat dilakukan menggunakan teknik bioremediasi eks-situ. Pada teknik
ini, lapisan dasar lahan harus disiapkan agar mencegah terjadinya infiltrasi. Penyiapan
lapisan dasar harus menggunakan lapisan tanah liat dan geomembran serta dilengkapi
sistem drainase. Limbah yang keluar dari tempat bioremediasi harus ditampung untuk
kemudian diolah sebagai limbah cair.
Menurut Arifin (2004), yang menyatakan bahwa Tahapan bioremediasi minyak bumi
pada tanah adalah sebagai berikut.

1. Penyiapan lokasi

Lapisan tanah dipadatkan dengan ketebalan minimal 60 cm dan permeabilitas K< 10-
7 m/detik atau jenis lapisan sintetis lain yang mempunyai karakteristik sama.
Selanjutnya dilapisi dengan geomembran dengan ketebalan 1,5-2,0 mm, lapisan
gravel 30 cm, dan penutup sementara.

2. Tahap bioremediasi

Limbah minyak bumi yang diolah, maksimal mengandung minyak 20% berat.
Kemudian dicampur dengan tanah bulking agent sampai rata. Perbandingan antara
materi pencampur (tanah dan bulking agent lain) dengan limbah sludge maksimal 3:1.
Agar terjaga kelembabannya maka dicampur dengan air yang sudah diperkaya nutrien
untuk pertumbuhan bakteri. Mikroba atau bakteri perombak minyak bumi dapat
ditambahkan ke dalam air pencampur untuk mempercepat proses dan untuk menjamin
terjadinya penurunan TPH (Total Petroleum Hydrocarbon). Penggunaan bakteri
perombak minyak bumi sebaiknya menggunakan bakteri lokal yang diisolasi dari
lokasi atau tempat lain di Indonesia. Penggunaan bakteri impor hanya diizinkan
apabila bakteri tersebut termasuk GMO (genetically modified microorganism) dan
harus mendapat persetujuan dari Departemen Pertanian. Melakukan pengamatan
terhadap penurunan kandungan minyak atau dalam bentuk TPH untuk meyakinkan
terjadinya proses biodegradasi dapat dilakukan dengan pengukuran terhadap
pertumbuhan jumlah bakteri dalam tanah dan transformasi nitrogen. Proses
bioremediasi limbah sludge lebih baik dilakukan pada kondisi aerob, sehingga perlu
suplai oksigen. Kelembaban perlu dijaga agar tidak terlalu basah dan tidak terlalu
kering. Pengolahan secara bioremediasi dinyatakan layak apabila berhasil
menurunkan kadar minyak sebesar 70% dari total kandungan minyak sebelum proses
dalam waktu 4 bulan dan menurunkan kandungan petroleum hidrokarbon dengan C<
9 sebesar 80% dari total kandungan C< 9 sebelum proses dalam waktu 4 bulan.
Limbah padat sisa bioremediasi dapat ditimbun ke dalam landfill dan atau
dimanfaatkan. Landfilling harus sesuai tata cara landfill yang diatur pemerintah.
Contoh kasus : Bioremediation of petroleum hydrocarbons through landfarming:
Are simplicity and cost-effectiveness the only advantages.
Daftar Pustaka
Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case
Study in East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International
Symposium “Environmental        Degradation and Ecosystem Restoration in East
Asia” Tokyo University – Japan. 9 p.
Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural
Recovery of Cold    Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP
Seminar.
Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-
Hill, Inc.      Toronto.

Pre-treatment untuk Meningkatkan


Biodegradabilitas Senyawa-Senyawa Pencemar
Dalam konteks pengolahan limbah secara biologis dan bioremediasi lahan tercemar, tingkat
biodegradabilitas bahan-bahan pencemar berbeda-beda, ada yang tinggi dan ada yang rendah.
Jika bahan-bahan pencemar dari limbah tersebut memiliki biodegradabilitas yang tinggi, maka
proses pengolahan limbah secara biologis atau proses bioremediasi bisa lebih cepat dan efisien.
Demikian pula dalam konteks bioremediasi, tingkat biodegradabilitas (selain bioavailability serta
faktor-faktor lainnya) menentukan keberhasilan dan efisiensi penguraian atau bioremediasi
cemaran lahan atau tanah.

Pre-treatment diperlukan untuk bahan-bahan pencemar yang tidak mudah terdegradasi secara
biologis (ditandai oleh nilai COD tinggi dan BOD rendah). Pre-treatment bisa dilakukan melalui
metode-metode fisika, kimia, dan biologis atau enzymatis. Proses pre-treatment secara kimiawi
bisa dilakukan memakai oksidator kuat, a.l. H2 O2 , ozon, kombinasi ozon &
peroksida, hypochlorit, reagen fenton, UV/ozon, UV/H2 O2 .

Percobaan pertama dilakukan pada air limbah pabrik pulp. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
pre-treatment berhasil meningkatkan nilai ratio BOD/COD sebesar 500% dari sekitar 0,15
menjadi sekitar 0,75. Eksperimen pre-treatment akan dilanjutkan pada beberapa air limbah
lainnya (dengan rasio BOD/COD rendah) dan pada senyawa-senyawa yang mencemari tanah
(misalnya cemaran minyak, pewarna textil, POPs).

(M. Abdul Kholiq, Mei 2008, balaitl.com)

Bioremediasi Cemaran Minyak dengan


Teknik Landfarming
Remediasi adalah tindakan untuk memulihkan kembali suatu keadaan lingkungan yang telah
tercemar. Bila di dalam remediasi digunakan organisme hidup, maka teknik itu disebut
bioremediasi. Bioremediasi cemaran minyak antara lain dilakukan dengan teknik landfarming.
Teknik yang serumpun adalah teknik biopile dan teknik komposting.

Agensia Biologi

Dalam pengertian yang lebih sempit, bioremediasi secara khusus digunakan bagi teknik yang
memanfaatkan mikroba di dalam remediasi. Bila agensia biologi yang digunakan adalah
tumbuhan, maka teknologinya disebut fitoremediasi. Bioremediasi dianggap sebagai alternatif
yang lebih murah. Oleh karena itu bioremediasi, baik secara sendiri maupun kombinasi dengan
metode lain, telah berkembang dan makin banyak digunakan dalam pemulihan air dan tanah
tercemar.

Teknik Landfarming
Bioremediasi cemaran minyak antara lain dilakukan dengan teknik landfarming. Teknik yang
serumpun adalah teknik biopile dan teknik komposting. Berbeda dengan teknik biopile, teknik
landfarming tidak memerlukan sistem aerasi dengan blower dan sistem pemipaan.

Pada teknik landfarming kebutuhan oksigen dipenuhi melalui udara yang masuk melalui pori-pori
tanah dan melalui pengadukan atau pembalikan tanah secara berkala. Pengadukan dan
pembalikan berkala ini sebagaimana dilakukan oleh para petani untuk menggemburkan tanah.
Oleh karena itu, teknik yang meniru cara-cara perlakukan tanah oleh para petani ini disebut
dengan teknik landfarming.

Sebagaimana pada teknik biopile, pada teknik landfarming ini juga ditambahkan nutrisi-nutrisi,
dijaga kelembaban, dan dilakukan perlakuan-perlakukan yang lain untuk meningkatkan aktivitas
mikroba dalam mendegradasi senyawa-senyawa pencemar hidrokarbon dari minyak.

Keunggulan Teknik Landfarming

Dibanding dengan teknik-teknik bioremediasi yang lain, teknik landfarming menawarkan


beberapa keunggulan atau keuntungan, di antaranya:
1. Tidak memerlukan sistem aerasi secara khusus.
2. Praktis tidak memerlukan energi untuk aerasi.
3. Kemudahan dalam
4. Kemudahan dalam menambahkan nutrisi, mengatur kelembaban, dan di mana perlu
penambahan mikroba secara berkala/bertahap (bersamaan dengan pembalikan).

R&D Teknik Landfarming di BTL

Riset dan pengembangan teknik landfarming dilakukan khususnya di Lab. Mikrobiologi untuk
pengembangan mikroba pendegrafasi, di Lab. Proses dan Bioremediasi untuk optimasi proses,
yaitu mencari kondisi optimum terbaik untuk proses biodegradasi, dan di bantu oleh Lab. Analitik
untuk memantau penurunan konsentrasi minyak (TPH) dari waktu ke waktu.

Teknik landfarming diaplikasikan untuk mengolah drilling mud yang mengandung minyak (TPH)
sekitar 11 %. Setelah dicampurkan beberapa bahan tambahan lainnya, nilai TPH dapat
diturunkan dari 8% menjadi 1 % dalam waktu 2 bulan. Hasil ini sekaligus mematahkan asumsi
awal, bahwa waktu yang diperlukan untuk teknik landfarming adalah 6 bulan atau lebih.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dengan aplikasi mikroba pendegradasi dan setelah
optimasi kondisi proses, waktu bioremediasi dengan teknik landfarming dapat dipersingkat
menjadi 2 bulan.
Soil conditions are often controlled to optimize the rate of contaminant degradation. Conditions normally
controlled include:

 Moisture content (usually by irrigation or spraying).


 Aeration (by tilling the soil with a predetermined frequency, the soil is mixed and aerated).
 pH (buffered near neutral pH by adding crushed limestone or agricultural lime).
 Other amendments (e.g., Soil bulking agents, nutrients, etc.).

Contaminated media is usually treated in lifts that are up to 18 inches thick. When the desired level of
treatment is achieved, the lift is removed and a new lift is constructed. It may be desirable to only remove
the top of the remediated lift, then construct the new lift by adding more contaminated media to the
remaining material and mixing. This serves to inoculate the freshly added material with an actively
degrading microbial culture, and can reduce treatment times.

 Landfarming is a full-scale bioremediation technology, which usually incorporates liners and other
methods to control leaching of contaminants, which requires excavation and placement of contaminated
soils, sediments, or sludges. Contaminated media is applied into lined beds and periodically turned over
or tilled to aerate the waste.

Soil conditions are often controlled to optimize the rate of contaminant degradation. Conditions normally
controlled include:

 Moisture content (usually by irrigation or spraying).


 Aeration (by tilling the soil with a predetermined frequency, the soil is mixed and aerated).
 pH (buffered near neutral pH by adding crushed limestone or agricultural lime).
 Other amendments (e.g., Soil bulking agents, nutrients, etc.).

Contaminated media is usually treated in lifts that are up to 18 inches thick. When the desired level of
treatment is achieved, the lift is removed and a new lift is constructed. It may be desirable to only remove
the top of the remediated lift, then construct the new lift by adding more contaminated media to the
remaining material and mixing. This serves to inoculate the freshly added material with an actively
degrading microbial culture, and can reduce treatment times.

Figure 4-13b:
Typical Land Treatment Unit  

Land Treatment is a full-scale bioremediation technology in which contaminated soils, sediments, or


sludges are turned over (i.e., tilled) and allowed to interact with the soil and climate at the site. The waste,
soil, climate, and biological activity interact dynamically as a system to degrade, transform, and
immobilize waste constitutes. Wastes are periodically tilled to aerate the waste.

Soil conditions are often controlled to optimize the rate of contaminant degradation. Conditions normally
controlled include:

 Moisture content (usually by irrigation or spraying).


 Aeration (by tilling the soil with a predetermined frequency, the soil is mixed and aerated).
 pH (buffered near neutral pH by adding crushed limestone or agricultural lime).
 Other amendments (e.g., Soil bulking agents, nutrients, etc.).

A Land Treatment site must be managed properly to prevent both on-site and off-site problems with
ground water, surface water, air, or food chain contamination. Adequate monitoring and environmental
safeguards are required.

Landfarming and Land Treatment are both medium- to long-term technologies.

Ex situ landfarming has been proven most successful in treating petroleum hydrocarbons. Because
lighter, more volatile hydrocarbons such as gasoline are treated very successfully by processes that use
their volatility (i.e., soil vapor extraction), the use of aboveground bioremediation is usually limited to
heavier hydrocarbons. As a rule of thumb, the higher the molecular weight (and the more rings with a
PAH), the slower the degradation rate. Also, the more chlorinated or nitrated the compound, the more
difficult it is to degrade. (Note: Many mixed products and wastes include some volatile components that
transfer to the atmosphere before they can be degraded.)

Limitations:
Factors that may limit the applicability and effectiveness of the process include:

 A large amount of space is required.


 Conditions affecting biological degradation of contaminants (e.g., temperature, rain fall) are
largely uncontrolled, which increases the length of time to complete remediation.
 Inorganic contaminants will not be biodegraded.
 Volatile contaminants, such as solvents, must be pretreated because they would volatilize into the
atmosphere, causing air pollution.
 Dust control is an important consideration, especially during tilling and other material handling
operations.
 Runoff collection facilities must be constructed and monitored.
 Topography, erosion, climate, soil stratigraphy, and permeability of the soil at the site must be
evaluated to determine the optimum design of facility.
 Waste constitutes may be subject to "Land-ban" regulation and thus may not be applied to soil for
treatment by landfarming (e.g., some petroleum sludges).
Biochemical oxygen demand (BOD) provides an estimate of the aerobic biological decomposition of the
soil organics by measuring the oxygen consumption of the organic material that can be readily or
eventually biodegraded. Chemical oxygen demand (COD) is a measure of the oxygen equivalent of the
organic content in a sample that can be oxidized by a strong chemical oxidant such as dichromate or
permanganate. Sometimes COD and BOD can be correlated, and the COD/BOD ratio can give another
indication of biological treatability or treatability by chemical oxidation. COD is also useful in assessing the
applicability of wet air oxidation.

Dalam aplikasi teknik bioremediasi dikenal dua teknik yang sangat umum diterapkan yaitu biopile dan
landfarming. Pada teknik biopile, tanah tercemar ditimbun diatas lapisan kedap air dan suplai udara yang
diperlukan oleh mikroba dilakukan dengan memasang perpipaan untuk aerasi (pemberian udara)
dibawah tumpukan tanah tercemar. Pompa udara dipasang diujung perpipaan sehingga semua bagian
tanah yang mengandung mikroba dan polutan berkontak dengan udara. Dengan teknik ini, ketinggian
tanah timbunan adalah 1 sampai 1,5 meter. Teknik landfarming dilakukan dengan menghamparkan tanah
tercemar diatas lapisan kedap air. Ketebalan hamparan tanah 30 – 50 cm memungkinkan kontak mikroba
dengan udara. Untuk menjamin bahwa semua bagian dari tanah yang diolah terkontak dengan udara
maka secara berkala hamparan tanah tersebut di balikkan. Nama landfarming digunakan karena proses
pembalikan tanah yang dilakukan sama dengan pembalikan tanah pada saat persiapan lahan untuk
pertanian.

Sistem Landfarming Landfarming yang disebut juga sebagai land treatment atau land aplication,
merupakan teknik bioremediasi yang dilaksanakan di permukaan tanah baik secara in-situ maupun ex-
situ. Teknik ini merupakan metode bioremediasi yang paling awal dan sederhana serta sangat umum
diterapkan dalam meremediasi tanah tercemar minyak. Peralatan yang dibutuhkan sama dengan
peralatan dalam pembajakan lahan pertanian. Landfarming sesuai untuk kondisi: a. Tanah tercemar
yang memiliki hydroulic conducitivity sedang seperti lanau (loam) atau lanau lempung (loam clay). b.
Pencemar yang memiliki vapor pressure rendah hingga menengah seperti solar, minyak tanah, minyak
pelumas, lumpur minyak, dan lumpor bor. c. Workability, dimana relokasi tanah dimungkinkan untuk
aplikasi exsitu. d. Waktu pelaksanaan dan modal yang memadai serta kondisi cuaca yang mendukung.

2.9.2. Operasi Landfarming Dalam penerapannya, operasi bioremediasi landfarming terdiri dari: a.
Operasi Tanah Setelah diambil dari tempat aslinya, tanah digelar di lokasi landfarm. Penggelaran tanah
dilakukan secara berlapis dengan ketinggian 30 cm sampai 50 cm untuk lapisan pertama. Penyesuaian
diri mikroba terhadap makanannya terjadi pada lapisan pertama dan lapisan selanjutnya memanfaatkan
konsorium mikroba dari lapisan pertama. Lapian kedua dan berikutnya digelar dengan ketebalan
gembur antara 15 cm sampai 30 cm dan diatur membentuk gundukan memanjang yang paralel
(windrows) untuk mengurangi pengaruh erosi angin. Penggelaran dihentikan saat timbunan tanah
mencapai ketebalan maksimum 80 cm. 34 b. Aerasi Aerasi dimaksudkan untuk mencapai suplai udara
yang cukup serta homogenitas semua elemen reaksi yang ada. Aerasi dilakukan dengan metode
pembajakan (tilling) dengan peralatan seperti traktor pembajak atau alat pembajak lain yang biasa
digunakan di lahan pertanian. Pembajakan dilakukan secara periodik minimal 14 hari sekali, namun
harus dihentikan saat hujan datang minimal 2  24 jam guna menghindari jenuhnya pori tanah oleh air.
c. Penambahan Air Air dapat disemprotkan langsung ke permukaan tanah tercemar. Kelembaban tanah
harus dijaga antara 12% sampai 30% berat tanah atau 30% sampai 80% kapasitas ladang. d.
Penambahan Nutrien Penambahan nutrien dapat menggunakan urea, NPK, dan lainnya hingga jumlah N
dan P mampu menunjang reaksi biodegradasi pencemar minyak. Dalam proses bioremediasi tanah
tercemar hidrokarbon, kompos berperan sebagai media pengaya tanah yang akan merangsang
pertumbuhan mikroorganisme tanah. Kompos memiliki kandungan Nitrogen (N) dan Fospor (P) dalam
jumlah besar yang sangat diperlukan oleh mikroorganisme tanah bagi pertumbuhan dan proses
metabolismenya. (Indarto, 1999) e. Penciptaan Kondisi Ideal Kondisi pH, hydroulic conductivity lapisan
tanah dan suhu yang ideal juga perlu dijaga. Penambahan asam ataupun basa perlu dilakukan bila pH
tanah jauh dari kondisi netral (5 > pH > 8). Media penyangga perlu ditambahkan (maksimal 30% volume
tanah) bila 35 lapisan tanah terlalu banyak mengandung clay sehingga hydroulic conductivity dan
porositas tanah dapat meningkat.

2.9.3. Bulking Agent Penambahan bulking agent atau agen penyangga dapat mencegah pemadatan
tanah dan meningkatkan porositas tanah serta suplai oksigen. Peningkatan porositas seringkali diikuti
dengan menurunnya kadar kelembaban tanah sehingga diperlukan agen penyangga untuk
mempertahankannya selama proses biodegradasi berlangsung (Savage et all., 1985 dalam Eweis, 1998).
Jenis agen penyangga yang dapat digunakan antara lain rumput kering, Woodchips dan jerami.

2.9.4. Kondisi Iklim Sisitem lanfarming bersifat terbuka, sehingga kinerjanya dipengaruhi juga oleh faktor
iklim meliputi curah hujan, suhu, dan angin. Air hujan yang jatuh secara langsung maupun run-off di
lahan landfarm selain meningkatkan kelembaban tanah juga menyebabkan erosi. Kadar kelembaban
tanah mempengaruhi efektivitas kerja bakteri. Jika lokasi landfarm memiliki curah hujan tinggi (> 30
inches), maka dibutuhkan pelindung hujan seperti terpal, plastik, atau struktur greenhouse. Dalam hal
ini, run-off maupun run-on dari air hujan harus dikontrol dengan menggunakan tanggul yang dibuat di
sekeliling landfarm. 36 Sistem pengumpulan leachate di dasar landfarm dan sistem pengolahan leachate
juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran air tanah. Erosi landfarm juga dapat terjadi
selama musim angin. Erosi akibat angin berupa terseretnya tanah digundukan (rows) dan berkurangnya
kelembaban tanah. 2.9.5. Kerugian dan Keuntungan Landfarming Dalam bioremediasi ex-situ
sebenarnya ada beberapa teknik diantaranya landfarming, biopiling, dan soil slurry bioreactor. Setiap
teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari landfarming, antara
lain: a. Mudah dalam desain dan pengoperasiannya. b. Tingkat reduksi TPH mampu mencapai 90%. Dari
suatu penelitian dilaporkan bahwa dalam waktu 77 hari, 42 mg/kg dari 2,4 dichlorophenoxyacetic acid
berhasil direduksi hingga menjadi 4 mg/kg (Fiorenza et al., 1991 dalam Cookson, 1995). c. Waktu
pengolahan yang dibutuhkan cukup singkat (biasanya 3 bulan sampai 2 tahun dalam kondisi optimal). d.
Biaya operasi tidak terlalu tinggi karena tidak mengkonsumsi listrik. Sedangkan kerugian dari sistem
landfarming antara lain: a. Konsentrasi senyawa kimia di bawah 0,1 mg/kg sangat sulit dicapai b. Tidak
efektif untuk mengolah lahan tercemar dengan konsentrasi TPH di atas 50.000 mg/kg c. Kurang tepat
bagi pencemar yang mudah menguap seperti bensin. d. Membutuhkan lahan yang luas dan biaya
investasi yang besar. e. Dipengaruhi oleh cuaca. Hujan dapat menjadi faktor penghamb
What is Landfarming? Landfarming, also known as land treatment or land application, is an
above-ground remediation technology for soils that reduces concentrations of petroleum
constituents through biodegradation. As with other biological treatments, under proper
conditions, landfarming can transform contaminants into non -hazardous substances

This technology usually involves spreading contaminated soils in a thin layer on the ground
surface and stimulating aerobic microbial activity within the soils through aeration and/or the
addition of minerals, nutrients, and moisture. ü Each strip shall be clearly marked on a board, by
the Contractor, with the following information: : v Date of spreading v Treatment applied Each
strip is recorded by marking the date of spreading & treatment applied.

Anda mungkin juga menyukai