Anda di halaman 1dari 10

STRATEGIC LEADERSHIP

PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) Tbk

Dosen Pengampu : Ely Susanto, S.IP.,MBA.,Ph.D.

Disusun oleh :

1. Dyah Ayu Putri Natyas (452447)


2. M Iqbal Gentur Bismono (452506)
3. Wisudoto Patria Masiprahma (452587)

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Garuda Indonesia (Persero) Tbk PT (GIAA) adalah perusahaan penerbangan
sipil pertama dan flag carriers Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
beroperasional sejak 26 Januari 1949. Armada pertamanya merupakan hasil kerja
sama antara Garuda Indonesia dengan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM)
sebagai bagian dari penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik
Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar. Di usia ke-72 tahunnya, Garuda Indonesia
telah melayani lebih dari 70 tujuan di seluruh dunia dan mengoperasikan 210 armada
pesawat, yang terdiri dari 142 pesawat di Garuda Indonesia dan 68 pesawat di bawah
bendera Citilink.
Pada tanggal 11 Februari 2011, Garuda Indonesia mendaftarkan diri menjadi
perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia dengan saham kepemilikan sejumlah 30
miliar lembar saham dengan nilai nominal Rp 459,- per lembarnya. Mayoritas
kepemilikan dari Garuda Indonesia dimiliki oleh pemerintah RI dengan proporsi
60,54%, kemudian PT Trans Airways dengan 25,62%, dan sisanya pada publik
dengan 13,84%.
Pandemi yang diakibatkan oleh infeksi COVID-19 sejak berjalan lebih dari 1
tahun mengakibatkan arus kas negatif $129 juta (Rp 1,8 triliun) dan peningkatan
akumulasi hutangnya menjadi Rp 70 triliun pada awal 2021. Defisit ini disebabkan oleh
pendapatan hanya sebesar $ 56 juta dengan pengeluaran sewa pesawat $ 56 juta,
perawatan pesawat $ 20 juta, bahan bakar avtur $ 20 juta, dan gaji pegawai $ 20 juta.
Untuk mengatasi keadaan katastropik ini, Garuda Indonesia menempuh restrukturisasi
hutang, sewa pesawat, maksimalisasi penerbangan sewa dan kargo, serta negosiasi
kontrak pegawai hingga opsi penawaran pensiun dini. Kemudian, berdasarkan
wawancara dengan Menteri BUMN pada tanggal 3 Juni 2021, untuk keluar dari krisis
tersebut, Garuda Indonesia akan difokuskan untuk melayani rute domestik untuk
menangkap jumlah perjalanan dan meningkatkan pendapatan.
Selain terdampak pandemi Covid-19 Garuda Indonesia mengalami kerugian
disebabkan pada beberapa hal yang pertama permasalahan yang berhubungan
dengan lessor dimana banyak lessor yang tersandung kasus korupsi manajemen
Garuda sebelumnya, harga penyewaan pesawat yang diluar kewajaran menjadi salah
satu penyebab kesulitan yang dialami Garuda Indonesia. Kedua, banyaknya pesawat
yang dimiliki Garuda Indonesia mengakibatkan susahnya pemberlakuan efisiensi
dimasa Covid-19 yang telah dicanangkan untuk penanganan kesulitan likuiditasnya.
Ketiga, bisnis model yang kurang tepat mengakibatkan Garuda indonesia tidak mampu
bertahan pada masa sulit. Menurut Erick Thohir Garuda seharusnya mengevaluasi
bisnis model perusahaan untuk upaya penyesuaian terhadap dampak pandemi Covid-
19 misalnya mengaktifkan rute domestik, dimana rute inilah yang paling diminati para
pelancong domestik sebanyak 78% (Kompas.com).
Carut marut kondisi Garuda Indonesia memunculkan beberapa skema untuk
menyelamatkan maskapai yaitu pemerintah akan menyuntikkan modal kepada Garuda
indonesia, dilakukan restrukturisasi yang mencegah kebangkrutan Garuda Indonesia,
secara bersamaan melakukan restrukturisasi dan pendirian maskapai baru pengganti,
dan yang terakhir melakukan likuidasi terhadap maskapai (finance.detik.com).
Pada masa sebelum pandemi Kementerian BUMN telah melakukan langkah
awal Restrukturisasi organisasi PT Garuda Indonesia Tbk dengan melakukan
pergantian kepengurusan melalui RUPSLB pada tanggal 22 januari 2020 yang
kemudian menunjuk Irfan Setiaputra sebagai direktur utama menggantikan Ari Askara.
Selain perubahan pada susunan direksi RUPSLB tersebut juga menetapkan susunan
komisaris baru. Menteri BUMN Bapak Erick Thohir menyampaikan bahwa penunjukan
Irfan Setiaputra diharapkan merupakan sosok yang tepat untuk mengawal good
corporate governance (GCG), sehingga dapat membawa perusahaan menjadi lebih
baik. Namun kinerja keuangan dan penerapan GCG yang buruk, serta ditambah
dengan kondisi Pandemi Covid 19 yang sangat berdampak pada industri penerbangan
semakin membuat perusahaan dihadapkan dengan permasalahan yang kompleks.
Himbauan pemerintah bagi perusahaan maskapai penerbangan untuk meminimalisir
terjadinya PHK pada masa Pademi Covid 19 juga turut menjadi pertimbangan bagi PT
Garuda Indonesia Tbk yang merupakan perusahaan BUMN dalam menentukan
langkah restrukturisasi yang akan ditempuh.

1.2 Karir Irfan Setiaputra dan dan Pengalaman Penanganan GCG


Pengalaman dan prestasi Irfan Setiaputra dalam memimpin bisnis di beberapa
perusahaan sebelumnya menjadi pertimbangan bagi Kementerian BUMN untuk
kemudian memilihnya menjadi Dirut Garuda. Salah satu pengalaman yang berharga
bagi Irfan Setiaputra adalah ketika berkesempatan memimpin di PT INTI yang
merupakan BUMN bergerak dibidang telekomunikasi dimulai pada Maret 2009. Pada
perjalanan karirnya di PT INTI Irfan Setiaputra banyak melakukan pembenahan pada
disiplin GCG seperti penertiban penggunaan corporate credit card jajaran direksi, nol
SPJ Jakarta-Bandung, dan SK untuk menentukan batasan hak Direksi. Namun
demikian karir Irfan Setiaputra di PT INTI hanya berlangsung selama 3 tahun yang
kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri pada Juli 2012 dengan
menyampaikan keberatannya kepada penerimaan gaji yang kecil dan dianggap
menjadi salah satu penyebab terjadinya penyimpangan di jajaran pimpinan BUMN.
Seperti disampaikan oleh Irfan Setiaputra bahkan terdapat pendapat dari salah
seorang di Kementerian BUMN mengatakan “Gini deh, lu embat sedikit-sedikit, kecil-
kecil, gue tutup mata deh.” Hal tersebut bertentangan dengan Irfan Setiaputra dan
menjadi alasan untuk dirinya mengajukan pengunduran diri. Setelah itu Irfan
Setiaputra menangani beberapa perusahaan seperti PT Titan Mining Indonesia, PT
Cipta Kridatama, ABM Investama Tbk, Reswara Minergi Hartama, dan Sigfox
Indonesia sebelum akhirnya bergabung dengan PT Garuda Indonesia Tbk
(https://swa.co.id).
BAB II
PERMASALAHAN

2.1 Penerapan GCG


Permasalahan Garuda dalam penerapan GCG :
1. 2005-2014 → Skandal atas pembelian pesawat terbang dan pengadaan mesin dari
Airbus SAS dan Rolls Royce PLC yang melibatkan mantan direktur utama Garuda
Emirsyah Satar dikarenakan menerima suap sebesar Rp. 20 Milyar dan beberapa yang
lain diterima dalam bentuk barang.
2. 2019 → Rekayasa laporan keuangan tahun 2018 melalui pengakuan pendapatan Garuda
Indonesia atas transaksi Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Layanan Konektivitas
Dalam Penerbangan antara PT Mahata Aero Teknologi dengan PT Citilink Indonesia,
anak usaha Garuda. Hal tersebut membuat laba Garuda pada tahun 2018 tercatat pada
laporan keuangan mengalami peningkatan pesat menjadi US$ 809.850 jauh dari kondisi
tahun sebelumnya yang mengalami kerugian sebesar US$216,5 juta.
3. 2019 → Praktik kartel dilakukan oleh Garuda indonesia bersama dengan perusahaan
penerbangan lain dalam bisnis pengiriman kargo pada rentan waktu 2003-2006 yang
berdampak hukuman denda sebesar Rp 190 Miliar yang ditetapkan oleh Pengadilan
Federal Australia.
4. 2019 → Terjadi rangkap jabatan direksi Garuda Indonesia yaitu Direktur Utama Garuda
Indonesia Ari Askhara, Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah, dan
Direktur Utama Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo di susunan komisaris Sriwijaya
Air. Hal tersebut melanggar pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
5. 2019 → Kasus penyelundupan Motor Harley Davidson dan sepeda brompton yang
diketahui atas permintaan dari Direktur Utama Garuda pada saat itu yaitu Ary Ashkara
(https://nasional.kontan.co.id).

2.2 Dampak Pandemi Covid-19


Pandemi covid-19 memberikan dampak signifikan terhadap industri
penerbangan khususnya Garuda Indonesia yang membuatnya semakin terpuruk,
dimana fokus penerbangan Garuda Indonesia melayani penerbangan internasional
dan hanya beberapa rute penerbangan domestik. Dampak pandemi covid-19
menimbulkan beberapa permasalahan antara lain :
1. Pembatasan penerbangan mengakibatkan Garuda Indonesia mencatatkan
kerugian $ 120 juta pada kuartal I 2020.
2. Garuda Indonesia mengalami krisis finansial dan juga krisis kepercayaan yang
mengakibatkan saham Garuda Indonesia yang tercatat pada BEI dengan nama
GIAA bergerak menurun.

2.3 Kondisi Finansial Garuda Indonesia


Kondisi keuangan Garuda Indonesia berada di dalam kompleksitas problem
yang saling berkelindan satu sama lain sehingga menyebabkan hutang sebesar Rp 70
T dan diperkirakan akan terus bertambah Rp 1 T setiap bulannya. Beberapa di
antaranya adalah:
1. Pembayaran biaya sewa pesawat yang mahal. Garuda Indonesia harus
membayar sewa pesawat lebih mahal daripada maskapai lain membayar sewa
pesawat dengan jenis yang sama. Hal ini ditengarai berasal dari fraud pada
perjanjian kerja sama antara Garuda Indonesia dengan lessor armada pesawat
yang disewakan. Lessor yang dibahas pada kasus Garuda Indonesia ini adalah
entitas usaha yang memberikan jasa penyewaan armada pesawat kepada
Garuda Indonesia. Saat ini ada 36 lessor pesawat yang bekerja sama dan
beberapa di antaranya dicurigai memiliki kontrak koruptif yang merugikan
Garuda Indonesia.
2. Penurunan jumlah penumpang. Pandemi Covid-19 sangat memukul industri
penerbangan dengan menurunkan jumlah wisatawan asing hingga 88,45% dan
wisatawan domestik hingga 30%. Kedua perubahan tersebut menyebabkan
penurunan akumulatif transportasi udara hingga 60% di sepanjang tahun 2020.
3. Biaya operasional pesawat yang tinggi. Berdasarkan laporan tahunan
perusahaan di tahun 2020, Garuda Indonesia mencatatkan pendapatan sebesar
$ 50 juta dan pengeluaran $ 150 juta setiap bulannya. Dalam kata lain, setiap
bulan Garuda Indonesia harus menderita $ 100 juta (Rp 1,4 T). Biaya terbesar
berasal dari sewa pesawat ($ 56 juta), perawatan pesawat ($20 juta), bahan
bakar avtur ($20 juta), dan gaji pegawai ($20 juta).
4. Biaya kepegawaian. Walaupun hingga tanggal 31 Desember 2020, Garuda
Indonesia masih menunggak biaya tunjangan gaji karyawan hingga Rp 327
Miliar ($ 23 juta), tidak dapat dipungkiri bahwa besarnya tunggakan gaji tersebut
diakibatkan oleh struktur kepegawaian yang terlalu gemuk. Sepanjang tahun
2020, Garuda Indonesia harus membayar gaji pegawai sebesar $ 20 juta.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penerapan GCG


Penerapan GCG yang baik memerlukan dukungan dari kesesuaian antara
budaya dan strategi perusahaan (Match Strategy and Culture). Dengan berpedoman
pada nilai budaya perusahaan yang baik maka praktek dalam menjalankan
operasional bisnis akan dilakukan dengan berintegritas dan taat pada pelaksanaan
GCG.
Dalam menjalankan operasional bisnis yang dilakukan oleh Garuda Indonesia
terlihat sangat jelas bahwa budaya perusahaan tidak terinternalisasi dengan baik
dalam setiap diri individu karyawannya terlebih hal ini terjadi pada jajaran direksinya.
Sehingga hal tersebut semakin memberikan gambaran bahwa struktur dan proses
tidak berfungsi dengan baik dalam mendukung terlaksananya GCG di Garuda
Indonesia. Pada struktur seharusnya divisi kepatuhan dan komite audit melakukan
tugasnya secara independen untuk dapat memberikan masukan mengenai
penyimpangan yang terjadi kepada dewan komisaris. Sementara pada proses dalam
hal ini pemimpin tidak memberikan contoh yang baik bagi seluruh anggota organisasi
dengan berperilaku menyimpang dari nilai-nilai perusahaan.
Penunjukan Irfan Setiaputra menjadi Dirut Garuda diyakini oleh Kementerian
BUMN akan membawa perubahan kepada penerapan GCG di Garuda Indonesia
dengan mengandalkan keberhasilannya pada penerapan GCG di perusahaan BUMN
sebelumnya yaitu PT INTI. Dengan portofolio keterampilan Company-specific human
capital yang dimiliki pada perusahaan sebelumnya tentang prosedur dan budaya Irfan
Setiaputra berusaha membentuk budaya baru yang relevan dengan kondisi penerapan
GCG di Garuda Indonesia. Irfan setiaputra menunjukkan komitmennya dalam
penerapan GCG pada saat konferensi pers dengan menyampaikan bahwa jika
terdapat hal-hal yang harus dikoreksi maka dengan segala hormat akan dilakukan
penegakan GCG dengan sebaik-baiknya yang merupakan amanah dari Kementerian
BUMN (www.antaranews.com).

3.2 Dampak Pandemi Covid-19


Garuda Indonesia dengan segala permasalahan mulai dari penerapan GCG
yang tidak sesuai ditambah lagi adanya pandemi covid-19 memang memberikan
dampak yang sangat serius, begitu pula kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah untuk penanganan penyebaran pandemi covid-19 di dalam negeri
menimbulkan dampak buruk bagi industri besar, menengah, dan kecil meskipun ada
beberapa bidang bisnis yang mengalami peningkatan misalkan industri yang
berhubungan dengan bidang kesehatan. Berikut merupakan dampak pandemi covid-
19 bagi Garuda Indonesia yang memaksa manajemen untuk melakukan beberapa
kebijakan intern seperti dikemukakan dibawah ini :
1. Pembatasan penerbangan mengakibatkan Garuda Indonesia mencatatkan
kerugian $ 120 juta pada kuartal I 2020.
2. Merumahkan sementara 800 karyawan yang berstatus kontrak atau Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
3. Tidak memberikan gaji bagi PKWT dan hanya diberi fasilitas asuransi,
kesehatan, konsesi terbang dan THR yang telah dibayarkan sebelumnya.
4. Manajemen Garuda Indonesia mengambil opsi pensiun dini bagi karyawan
tetap, sebayak 500 karyawan telah mengambil tawaran pensiun dini.
5. Melakukan pemotongan gaji terhadap jajaran direksi sampai karyawan, dan
menunda pembayaran gaji sampai batas waktu yang belum ditentukan.

Dari semua dampak yang telah dikemukakan diatas covid-19 bukan hanya
dialami oleh Indonesia tetapi seluruh negara didunia dan merubah kebiasaan
masyarakat dunia. Hal ini berbanding lurus dengan permintaan akan jasa dan
penawaran yang diinginkan masyarakat era pandemi. Pandemi covid-19 memaksa
pelaku industri beradaptasi dan mencari jalan tengah untuk bertahan dalam semua
kebiasaan bisnis yang berbeda. Misalkan saja sebelum pandemi Garuda Indonesia
berfokus untuk rute internasional, ketika terjadi pandemi secara tiba-tiba pemerintah
melakukan penutupan rute internasional, seharusnya manajemen dengan sigap
melakukan evaluasi dan mengalihkan penerbangan untuk rute domestik sebagai
peluang baru. Berikut langkah-langkah yang bisa dilakukan Garuda Indonesia dalam
mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19, yaitu :

1. Menganalisis perilaku baru yang terbentuk pada masyarakat, kemudian


mengidentifikasi peluang bisnis yang muncul.

Langkah 1 : Perubahan kebiasaan secara berurutan yaitu dengan memulai


dengan perubahan perilaku yang besar untuk mengidentifikasi produk atau
permintaan tertentu yang kemungkinan besar akan muncul atau bahkan
akan berkurang sebagai akibat adanya pandemic.

Langkah 2 : Identifikasi jenis dan perubahan tren baru dengan


mengkategorikan perubahan perilaku dalam jangka pendek atau panjang
dan apakah perubahan atau tren tersebut telah ada sebelum pandemi
ataukah memang benar-benar merupakan tren baru.

2. Membagi pergeseran permintaan masyarakat ke dalam matriks untuk


mengetahui kemungkinan peluang yang akan terjadi.
3. Membuat suatu bisnis model yang baru atau penyesuaian dari bisnis lama
untuk menangkap peluang yang ada.
4. Melakukan alokasi ulang terhadap modal yang telah diinvestasikan secara
radikal.

Empat langkah diatas bisa dilakukan oleh manajemen Garuda Indonesia untuk
mengurangi dampak krisis perushaan yang disebabkan oleh pandemi covid-19 secara
bertahap dan memicu perusahaan untuk terus berkembang, sehingga mampu
bertahan dan memupuk kepercayaan kepada pihak-pihak yang berkepentingan baik
intern maupun ekstern misalkan investor.
3.3 Penyehatan Kondisi Finansial
Dengan rumitnya masalah keuangan yang dialami Garuda Indonesia, maka
penyelesaian problemnya juga membutuhkan beberapa langkah yang tidak
sederhana. Saat ini Kementerian BUMN sedang mengkaji 4 opsi penyelamatan
Garuda Indonesia, yaitu: pemberian pinjaman untuk meningkatkan ekuitas;
penggunaan hukum perlindungan kebangkrutan untuk restrukturisasi hutang; pendirian
maskapai baru dengan model bisnis baru; dan terakhir, likuidasi Garuda Indonesia.
Beberapa opsi penyehatan juga telah diajukan untuk membawa Garuda Indonesia dari
keterpurukannya. Untuk mengatasi masalah tersebut, opsi perbaikan di bawah ini
dapat dijadikan pertimbangan, seperti:
1. Renegosiasi sewa pesawat dengan lessor. Beberapa lessor terindikasi
melakukan kecurangan dalam perjanjian awal sewa guna armada pesawat yang
digunakan oleh Garuda Indonesia. Untuk perusahaan lessor tersebut, Garuda
Indonesia akan melakukan standstill atau penghentian kerja sama, dan
negosiasi keras. Sedangkan untuk lessor yang terbukti tidak terindikasi curang
dan berperforma baik, Garuda Indonesia akan mengajukan negosiasi ulang
biaya sewa armada pesawat mereka. Saat ini, Garuda Indonesia telah
mengembalikan 12 unit pesawat kepada salah satu lessor yang kontraknya
berakhir pada tahun 2027.
2. Perubahan model bisnis Garuda Indonesia. Dengan penurunan jumlah
wisatawan asing yang signifikan, Garuda Indonesia seharusnya membidik pasar
wisata dan transportasi udara lokal. Hal ini terbukti dengan penurunan
wisatawan domestik yang jauh lebih sedikit pada tahun 2020. Intensifikasi
perjalanan dari dan menuju lokasi wisata prioritas harus ditingkatkan untuk
mendukung program pariwisata nasional. Garuda Indonesia juga melirik opsi
peningkatan kinerja pada industri kargo yang masih luas.
3. Pemangkasan biaya operasional perusahaan. Tingginya biaya operasional
dipengaruhi oleh tingginya sewa pesawat, perawatan pesawat, bahan bakar,
dan gaji pegawai. Penggunaan terlalu banyak jenis pesawat turut
mempengaruhi tingginya biaya perawatan.
4. Merampingkan struktur kepegawaian. Perampingan struktur akan berbanding
lurus dengan penurunan biaya kepegawaian. Pada posisi puncak, jumlah
komisaris akan dikurangi hingga hanya berjumlah 2 atau 3 orang saja. Garuda
Indonesia juga melakukan percepatan penyelesaian kontrak kerja sama dengan
pegawai berstatus perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Manajemen juga
mempercepat pensiun untuk karyawan berusia lebih dari 45 tahun dan
menawarkan opsi pensiun dini untuk semua karyawan tanpa memandang usia
dan lama bekerja. Selain itu Garuda Indonesia juga membuka opsi aktivitas
bekerja melalui metode work from home (WFH) untuk menurunkan biaya
operasional.
BAB IV
REKOMENDASI

4.1 Penerapan GCG


Melakukan Penguatan Corporate Governance (Internal) melalui perbaikan
struktur dan proses yang dijabarkan dibawah ini :

Struktur :
1. Memastikan struktur jajaran dewan direksi terdapat dua fungsi yang terpisah
yaitu fungsi eksekutif dan non eksekutif sehingga dapat terlaksana dual
control.
2. Memastikan independensi dari divisi kepatuhan dan komite audit.
3. Alur mekanisme pelaporan dan pengungkapan yang jelas dan terinformasi
kepada seluruh anggota organisasi atau perusahaan.
Proses :
1. Memasukkan aspek kepatuhan kepada nilai-nilai perusahaan menjadi salah
satu parameter penilaian kinerja.
2. Pemimpin harus mencerminkan atau merefleksikan nilai-nilai perusahaan dan
dapat memberikan contoh bagi orang yang dipimpinnya.

4.2 Penanggulangan Dampak Pandemi Covid-19


Dalam penanggulangan dampak covid-19 Garuda Indonesia dapat
mempertimbangkan beberapa hal berikut :
1. Evaluasi dan menyusun ulang target serta fokus kinerja saat ini yang
berorientasi pada permintaan yang lebih sering muncul pada bisnis
penerbangan.
2. Memberikan promosi dan inovasi bisnis penerbangan yang menyasar pada
generasi millenial dimana menurut survei yang dilakukan katadata.com lebih
berani dalam hal travelling pada masa pendemi.
3. Melakukan realokasi modal dan mengalokasikannya ke bisnis yang related dan
memiliki peluang dalam masa pandemi, hal ini termasuk dalam tindakan yang
eksperimental untuk manajemen perusahaan.

4.3 Restrukturisasi Finansial


Garuda Indonesia melakukan restrukturisasi finansial dengan melakukan
beberapa hal berikut :

Meningkatkan pendapatan :
1. Mengubah sasaran pengguna transportasi udara dari trayek internasional
menjadi domestik yang lebih tinggi throughput-nya.
2. Meningkatkan investasi pada bisnis kargo yang masih belum banyak
pesaingnya dengan memanfaatkan armada pesawat yang idle.
Menurunkan pengeluaran :
1. Menghentikan sewa guna armada pesawat yang terlalu mahal, tidak produktif,
dalam kontrak yang merugikan, atau terindikasi koruptif.
2. Mengurangi variasi pesawat yang digunakan untuk menurunkan biaya
operasional perawatan pesawat yang berbeda-beda.
3. Merampingkan struktur organisasi dan mengurangi jumlah pegawai yang tidak
produktif dalam masa pandemi.

Anda mungkin juga menyukai