Anda di halaman 1dari 25

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : HERLIN SYAFITRI DJONI

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 024007062

Tanggal Lahir : 03 Februari 2001

Kode/Nama Mata Kuliah : MKDU4114

Kode/Nama Program Studi : PANCASILA

Kode/Nama UPBJJ : PMKM UT MITRA UCB

Hari/Tanggal UAS THE : SENIN, 05 JULI 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : HERLIN SYAFITRI DJONI


NIM : 024007062
Kode/Nama Mata Kuliah : MKDU4114
Fakultas : KESEHATAN UNIVERSITAS CITRA BANGSA
Program Studi : KEPERAWATAN
UPBJJ-UT : PMKM UT MITRA UCB

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
SENIN, 5 JULI 2021

Yang Membuat Pernyataan

HERLIN SYAFITRI DJONI


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
1. Pancasila dan pembukaan UUD tahun 1945 terdapat hubungan yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu
secara material dan secara formal.
a. Makna hubungan Pancasila dengan pembukaan UUD tahun 1945 secara formal dan material yaitu
 Hubungan Secara Formal
1. Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alenia IV dan tertulis lengkap dan dirumuskan lengkap dalam batang
tubuh.
2. Pembukaan UUD 1945, berdasarkan pengertian ilmiah, yaitu pokok kaedah Negara yang
Fundamental dan terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua macam kedudukan yaitu :
a. Sebagai dasar karena Pembukaan UUD 1945 itulah yang memberi factor-faktor mutlak bagi
adanya tertib hukum Indonesia.
b. Memasukkkan dirinya dalam tertib hukum sebagai tertib hukum tertinggi.
3. Dengan demikian Pembukaan UUD 1945 berkedudukan selain Mukaddimah dan UUD 1945
dalam kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, juga berkedudukan sebagai suatu yang bereksistensi
sendiri dengan hakikat kedudukan hukumnya berbeda dengan pasal-Pasalnya karena Pembukaan
UUD 1945 yang intinya merupakan Pancasila tidak tergantung pada batang tubuh UUD 1945
bahkan sebagai sumbernya.
4. Pancasila dengan demikian dapat disimpulkan memiliki hakikat, sifat, kedudukan dan fungsi
sebagai pokok kaedah negara yang fundamental, yang menjelmakan dirinya sebagai dasar
kelangsungan hidup negara Republik Indonesia yang di diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
5. Pancasila sebagai inti Pembukaan UUD 1945 sehingga memiliki kedudukan yang kuat, tetap dan
tidak dapat di ubah dan terletak pada kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.
 Hubungan secara material
Jadi berdasar urut-urutan tertib hukum Indonesia Pembukaan UUD 1945 merupakan tertib
hukum yang tertinggi, adapun tertib hukum Indonesia bersumber pada Pancasila, atau dengan
kata lain sebagai sumber tertib hukum Indonesia yang tertinggi. Hal ini bermakna secara material
yaitu tertib hukum Indonesia dijabarkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan
dirumuskan dalam UUD 1945. Pancasila sebagai sumber tertib hukum indonesia yaitu sumber
nilai, sumber materi, sumber bentuk dan sifat.

Selain itu, hubungannya dengan hakikat dan kedudukan pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai
pokok kaidah negara yang fundamental sehingga sesungguhnya secara material yang merupakan
esensi atau inti sari dari pokok kaidah negara fundamental tersebut tidak lain adalah pancasila
yang dijabarkan dari UUD 1945.

b. Kedudukan pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, kedudukannya yang
mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan hukum Indonesia yaitu
 Pertama, kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci. Bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 telah menyatakan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta atas
nama bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 pada hakikatnya mempunyai makna;
pertama, proklamasi adalah suatu pernyataan mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia. Kedua,
adanya proklamasi 17 Agustus 1945 memiliki konsekuensi akan adanya tindakan segera mungkin
dari bangsa Indonesia untuk menyusun sebuah negara yang merdeka dan mempunyai kedaulatan
sendiri guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu masyarakat adil dan makmur.
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang singkat dan padat ini lebih lanjut dijabarkan di
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini bisa
dilihat pada Pembukaaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea III
yang berisi tentang pernyataan kemerdekaan dan alinea IV yang berisi tentang tindakan-tindakan
nyata berkaitan dengan penyusunan dan pembentukan negara Republik Indonesia. Lebih jelas
lagi terlihat pada kalimat “.....kemudian daripada itu.....”, yang berarti setelah terbentuknya
negara Republik Indonesia maka disusunlah suatu pemerintahan negara yang rinciannya seperti
tercantum pada alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Demikianlah,
proklamasi 17 Agustus 1945 memperoleh maknanya yang lengkap di dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini disebabkan, baik itu pernyataan
atau tindakan-tindakan yang harus diwujudkan berkaitan dengan adanya proklamasi
kemerdekaan tersebut terinci secara jelas dan lengkap dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Kaelan, 1999).
 Kedua, kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara hakiki mengandung dasar, rangka dan suasana bagi negara dan tertib hukum Indonesia.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan
mengandung dasar karena Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan dasar negara, pandangan hidup, asas
kerohanian dan dasar atau landasan bagi berdirinya negara Republik Indonesia. Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan mengandung rangka
karena di atas dasar atau basis atau landasan tersebut diwujudkanlah pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara Indonesia yang tercantum dalam peraturan pokok hukum positif
Indonesia, yakni seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sementara itu, Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan mengandung suasana
karena dalam rangka mewujudkan suatu tujuan bersama seluruh bangsa dan tumpah darah
Indonesia untuk mencapai kebahagiaan baik jasmani dan rohani maka keseluruhan tujuan itu
selalu diliputi oleh asas kerohanian Pancasila seperti termuat dalam Pembukaaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonmesia
Tahun 1945 memuat nilai-nilai fundamental tentang negara Republik Indonesia. Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh karena itu merupakan dasar,
rangka dan suasana bagi kehidupan kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, sehingga memiliki
sifat yang sangat menentukan bagi bangsa dan negara Republik Indonesia Contoh konkretnya
adalah isi yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 alinea IV merupakan penjelmaan dari nilai-nilai yang terkandung dalam alinea I, II, III,
yaitu sebagai bentuk dan sifat bagi asas hukum positif dan hidup kenegaraan Republik Indonesia.
 Ketiga, kedudukan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
secara hakiki mengandung pengakuan atas adanya macam-macam hukum. Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 misalnya terdiri dari alinea I, II, III dan IV,
yang keempatnya terdapat adanya hubungan kesatuan. Alinea IV Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada hakikatnya merupakan penjelmaan alinea I, II,
III. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negra Republik Indonesia Tahun 1945 alinea I, II, III
mengandung nilai-nilai hukum kodrat, hukum Tuhan dan hukum etis atau hukum moral. Alinea I
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 misalnya saja
mengandung adanya hukum kodrat. Hal ini terlihat pada kalimat “.....kemerdekaan adalah hak
segala bangsa.....” Konsekuensi yang dimiliki alinea I ini barulah terwujud pada alinea II
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea III Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengandung adanya nilai-nilai
hukum Tuhan dan hukum etis atau hukum moral. Hal ini dapat terlihat pada kalimat “.....atas
berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.....”, yang menunjukkan pengakuan adanya hukum Tuhan.
Kalimat “.....dengan didorong oleh keinginan luhur.....” pada alinea III Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menunjukkan pengakuan terhadap adanya
hukum etis atau hukum moral.
Nilai-nilai hukum kodrat, hukum Tuhan dan hukum etis atau hukum moral yang terdapat pada
alinea I, II, III Pembukaan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 lebih lanjut dijelmakan pada
alinea IV yang merupakan dasar bagi pelaksanaan dan penjabaran hukum positif Indonesia.
Karena alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 inilah,
maka Pancasila sering disebut sebagai hukum filosofis (Notonagoro, 1975) atau sebagai asas-asas
dasar umum dari hukum positif Indonesia.
Hubungan nilai-nilai yang terdapat pada alinea I,II, III, dan IV Pembukaaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dijelaskan, bahwa hukum kodrat, hukum Tuhan dan
hukum etis, ketiganya disebut sebagai sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif
Indonesia. Hukum filosofis pada alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 merupakan sumber bentuk dan sifat yang dapat disimpulkan dari hukum
kodrat, hukum Tuhan dan hukum etis atau hukum moral pada alinea I, II, III Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pengamalan Pancasila berkali-kali mengalami penyimpangan baik pada pemerintahanorde lama,orde baru,
maupun orde transisi, dan orde reformasi. Secara ilmiah dapat dikatan penyimpangan itu terjadi karena
dilanggarnya prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Pancasila.
a. Prinsip pemikiran Pancasila apabila ditinjau dari segi intrisik dan ekstrinsik yaitu:
 Prinsip ditinjau dari segi intrinsik (segi ke dalam)
Ditinjau dari segi intrinsik atau segi ke dalam, prinsip-prinsip dalam pemikiran dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu koheren, konsisten, dan koresponden. Ketiga hal tersebut selanjutnya akan
dijelaskan sebagai berikut.
 Koheren
Koheren berasal dari bahasa Latin cohaerere berarti “lekat satu dengan lainnya” artinya satu sila
harus terkait erat dengan sila yang lain. Prinsip koherensi ini dalam pemikiran Notonagoro dikenal
sebagai prinsip kesatuan organis dan tata hubungan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis
piramidal. Uraian terdahulu telah mengungkapkan bahwa sila-sila Pancasila merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena sifatnya yang organis. Prinsip ini mengajarkan,
bahwa dalam pelaksanaan Pancasila tidak sempurna jika hanya memilih salah satu sila dengan
meninggalkan sila lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Lama dengan
memeras-meras Pancasila menjadi tri sila, dan akhirnya menjadi eka sila.
Tata hubungan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis piramidal, artinya tata hubungan
Pancasila berjenjang dan membentuk piramida. Sila pertama mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4,
dan 5. Sila ke-2 dijiwai dan didasari sila 1, dan menjiwai dan mendasari sila ke-3, ke-4, dan ke-5,
dan seterusnya. Penyimpangan yang mencolok yang pernah terjadi adalah ketika di masa PKI
dulu, yang memanipulasi Sila ke-5 demi keadilan yang sama rata, sama rasa dengan meninggalkan
Sila ke-1 yang mengakui adanya Tuhan.
 Konsisten
Konsisten (bahasa Latin consistere yang berarti “berdiri bersama” artinya “sesuai”, “harmoni”,
atau “hubungan logis”. Artinya pelaksanaan Pancasila seharusnya berdiri bersama, sesuai,
harmoni dan memiliki hubungan logis dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai contoh nilai-nilai
Pancasila yang tercermin dalam Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD NRI 1945 harus dijabarkan
secara konsisten ke dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 dan perangkat hukum di bawahnya.
Contohnya adalah: UUD NRI 1945, oleh sementara pakar hukum dianggap belum secara konsisten
menjabarkan nilai-nilai Pancasila. Buktinya adalah kekuasaan eksekutif atau Presiden yang
berlebihan dibandingkan kekuasaan lembaga tinggi negara lainnya. Solusi terhadap hal tersebut
maka diusulkanlah amandemen UUD NRI 1945, dan SU MPR 1999 telah menangkap semangat
tersebut dan merealisasikannya dengan melakukan amandemen UUD NRI 1945 tahap pertama,
dan akan dilanjutkan pada tahap-tahap selanjutnya secara bertahap.
Penyimpangan sering juga terjadi karena secara formal prosedural Pancasila selalu diakui dan
ditulis sebagai landasan ideal dan dasar dari suatu produk hukum dan kebijakan kenegaraan,
namun secara substansial nilai-nilainya tidak tercermin dalam produk hukum atau kebijakan
tersebut. Contoh dari kasus ini adalah semboyan yang didengung-dengungkan pada masa Orde
Baru bahwa Pembangunan adalah pelaksanaan Pancasila. Namun berbagai kebijakan
pembangunan ternyata secara substansial tidak mencerminkan cita rasa perlindungan dan
keadilan bagi warga negara.
 Koresponden
Koresponden berasal dari bahasa Latin com berarti “bersama”, respondere “menjawab” artinya
cocoknya praktik dengan teori, kenyataan dengan ideologi, senyatanya (das sein) dengan
seharusnya (das sollen), isi (material) dan bentuk (formal), dan lain-lain. Contoh kegagalan konsep
pembangunan sentralistik pada masa Orde Baru yang tidak memperhatikan realitas masyarakat
Indonesia adalah plural, baik ditinjau dari berbagai segi misalnya agama, etnis, geografis dan
historis.
Contoh lain adalah tradisi pengambilan sumpah jabatan, yang selalu dilafalkan akan setia kepada
Pancasila dan UUD NRI 1945, dan lain-lain, namun dalam kenyataan setelah menjabat sumpah itu
hanya berhenti dalam kata-kata tidak tercermin dalam perbuatan. Bangsa Indonesia pada masa
lalu banyak diajarkan kebiasaan berpikir dan bertindak secara formalistik kurang
mempertimbangkan aspek isi atau materinya.
Prinsip ini menuntut ditatanya kembali berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
agar dapat mencapai tujuan ideal negara. Berbagai kegagalan pelaksanaan Pancasila ada
beberapa kemungkinan jika ditinjau dari prinsip ini. Kemungkinan pertama, salah satu di antara
teori atau praktiknya yang salah. Kemungkinan kedua, kedua-duanya salah, artinya teori dan
praktiknya salah. Hal ini menyadarkan kita bahwa Pancasila seharusnya dianggap sebagai nilai-
nilai yang dinamis yang senantiasa berdialog dengan nilai-nilai lain yang sedang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Interaksi antara idealitas dengan realitas, teori dengan praktik ini
justru akan berdampak positif. Satu pihak teori akan berkembang karena dirangsang dengan data
dan fakta baru, lain pihak masalah yang muncul dalam pengalaman konkret mampu dibantu
pemecahannya dengan teori-teori yang relevan. Kecenderungan lama yang menganggap jika ada
kegagalan dalam pelaksanaan Pancasila dengan mencari kambing hitam atau oknum kiranya tidak
perlu lagi terjadi. Kegagalan harus dimaknai sebagai kritik atas ketidaktepatan teori, dan
sebaliknya kenyataan yang tidak benar harus ditata dengan konsep atau teori yang memadai.
 Prinsip Ditinjau dari Segi Ekstrinsik (Segi ke Luar)
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Pancasila juga terjadi jika tidak memperhatikan prinsip ini.
Pancasila pada awalnya dimaksudkan sebagai Dasar Negara sekaligus sebagai penyalur
kepentingan baik kepentingan horizontal, maupun kepentingan vertikal. Penyusun berpandangan
bahwa ditinjau dari segi ekstrinsiknya Pancasila harus memiliki prinsip pragmatis, artinya memiliki
nilai kegunaan, walaupun kegunaan harus dimaknai secara kritis, yaitu berguna dalam arti luas
baik ditinjau dari konteks ruang dan waktu. Tinjauan dari konteks ruang berarti berguna bagi
sebagian besar kepentingan masyarakat luas tanpa harus menyisihkan kepentingan masyarakat
yang lain, dalam konteks waktu berguna dalam jangka panjang, dengan tidak mengorbankan
jangka pendek. Prinsip ekstrinsik ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
 Penyalur Kepentingan horizontal
Kepentingan horizontal maksudnya kepentingan dari segenap komponen bangsa yang pluralistik
di antara sesama warga negara, ditinjau dari pluralitas yang tercermin dalam suku, agama, ras
dan golongan. Keberpihakan pada salah satu komponen akan berakibat reaksi dari komponen
masyarakat yang lain. Contoh perlakuan diskriminatif terhadap salah satu agama di Indonesia
akhirnya mengundang konflik berkepanjangan dan menimbulkan banyak korban di Maluku. Kasus
konflik antar etnis Madura dan Dayak di Pontianak dapat pula dianggap sebagai contoh konkret
tidak diterapkannya prinsip ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 Penyalur Kepentingan vertikal


Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam melaksanakan Pancasila harus memperhatikan adanya
berbagai kepentingan yang sifatnya vertikal, misalnya kepentingan antara warga negara dengan
penyelenggara negara, orang miskin-orang kaya, buruh-majikan, minoritas-mayoritas, dan lain-
lain. Tersumbatnya saluran kepentingan ini merupakan sumber kerawanan. Contoh: Kasus
penjarahan yang terjadi pada masa reformasi tahun 1997 di berbagai daerah di Indonesia seperti
Solo, Jakarta, Medan, dan lain-lain, itu semua akibat akumulasi dari berbagai kepentingan yang
selama ini tidak terartikulasikan dan tidak ditangkap oleh para penyelenggara negara.
Kecemburuan antara si miskin dan si kaya, antara kepentingan buruh yang dilanggar oleh
pengusaha yang berkolusi dengan penguasa.
Prinsip-prinsip ditinjau dari segi intrinsik dan ekstrinsik tersebut masih dapat ditambah dengan
prinsip-prinsip lain yang tidak bertentangan dengan nilai dasar pelaksanaan Pancasila.
b. Contoh kasus konflik diindoesia dengan pandangan Pancasila seperti: Konflik yang terjadi antar suku.
Kasus diskriminasi antar suku di Indonesia yang baru-baru ini terjadi adalah mengenai pengepungan
asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Tampaknya ada suatu oknum yang ingin memecah belah
persatuan anak bangsa dengan perusakan bendera merah putih.Sangat disayangkan ketika beberapa
aparat dan ormas menyerang, mengepung, serta menembakkan gas air mata ke asrama tersebut tanpa
melakukan investigasi lebih dalam,bahkan melalui sebuah video yang beredar, tampak mereka
melontarkan kata-kata bernada kasar dan rasis, padal beberapa mahasiswa Papua terlihat memohon
untuk meminta melakukan penjelasan dengan baik-baik terkait kasus yang tidak mereka ketahui. Sungguh
hal tersebut sangat tidak masuk akal dan merupakan suatu prihatin untuk bangsa ini. Tercatat terdapat 43
mahasiswa yang terjebak di dalam asrama dan semalaman tanpa makan dan minum karena mereka takut
untuk keluar, sebab banyak anjing penjaga. Peristiwa tersebut juga mengakibatkan beberapa mahasiswa
Papua terluka. Dan hingga pada akhirnya, mereka berhasil dibawa keluar dan dibawa oleh apparat
kepolisian untuk dilakukan pemeriksaan dan klarifikasi atas tuduhan beberapa aparat dan ormas terkait
dengan perusakan dan membuang bendera merah putih ke selokan.
Dalam kasus ini terdapat banyak pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila,
khususnya pada :
Sila pertama : KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Penyerangan yang dilakukan oleh beberapa aparat dan ormas ini sangat tidak adil dan tidak
memiliki nilai sebagai masyarakat Pancasila. Di dalam penyerangan tersebut jelas bahwa
aparat dan ormas melakukan kekerasan tanpa melakukan observasi lebih lanjut, tanpa
penjelasan sebelumnya, mereka menyerang sehingga mengakibatkan beberapa mahasiswa
Papua terluka dan hingga kelaparan karena tidak memiliki keberanian, ini merupakan sebuah
tindakan yang menunjukkan adanya ketidakadilan dan kemanusiaan.
Sila ketiga : PERSATUAN INDONESIA
Kasus tersebut yang melibatkan aparat keamanan dan ormas, rupanya ada karena terdapat
penyebaran hoaks serta ujaran kebencian yang dilakukan oleh seorang oknum melalui media
sosial whatsapp. Hal tersebutlah yang akhirnya menyebabkan amarah beberapa aparat dan
ormas. Sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat multikultur, seharusnya kita dapat
lebih berhati-hati dalam menerima informasi, berhati-hati dalam bertindak dan bertutur.
Merupakan hal yang sangat disayangkan ketika aparat dan ormas menelan mentah-mentah
informasi palsu yang tersebar melalui media sosial tersebut, sehingga menyebabkan
kebencian antar suku bangsa. Ujaran rasis yang dilontarkan pun sangat tidak sesuai dengan
Pancasila, dimana Papua juga merupakan bagian dari Indonesia, tidak seharusnya sebagai
orang yang bergelar dan berpendidikan melontarkan kata rasis, jika hal ini terus berlanjut
hingga masa yang akan datang, tentu saja hal ini menjadi ancaman bangsa Indonesia. Karena
hal tersebut dapat menyebabkan akar kebencian dan sakit hati timbul dalam diri masyarakat
Papua yang menimbulkan rasa ingin memisahkan diri dari negara Indonesia.
Sila keempat : KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN
DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN
Melarang mahasiswa Papua berpendapat. Dalam hal ini aparat dan ormas yang terlibat
melakukan tindakan main hakim sediri dan tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Dalam
sebuah video yang beredar, terdengar mahasiswa Papua ingin meminta penjelasan dan ingin
suara mereka didengar. Akan tetapi, hal tersebut tak dihiraukan oleh aparat dan ormas.
Sungguh hal ini menyimpang dari sila keempat, karena termasuk melakukan pemboikotan
terhadap pendapat orang lain.
Sila kelima : KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Dalam sila ini memiliki arti bahwa masyarakat Indonesia harus bisa hidup dengan adil.
Namun kenyataannya dalam hal tersebut, sebagai sesama rakyat Indonesia tidak ada praktek
keadilan. Aparat dan ormas sebagai mayoritas hanya ingin pendapat mereka didengar dan
dianggap benar. Sehingga mereka memandang sebelah mata kepada mahasiswa Papua,
penjarahan yang dilakukan di asrama tersebut juga sangat tidak pantas dilakukan oleh orang
yang mengaku bergelar dan berpendidikan, namun kenyataannya mereka tidak memahami
dan tidak bisa mempraktekkan nilai-nilai Pancasila.
c. Realisasi pelaksanaan Pancasila secara konkret dalam penentuan kebijakan di bindang kenegaraan
diindonesia seperti:
Realisasi Pancasila yang Objektif

Realisasi pengalaman pancasila secara objektif yaitu realisasi serta implementasi nilai-nilai pancasila
dalam segala aspek penyelenggaraan negara, terutama dalam kaitannya dengan penjabaran nilai-nilai
pancasila dalam praktis penyelenggaraan negara dan peraturan perundang-undang di indonesia.
Implementasi penjabaran pancasila yang bersifat objektif adalah merupakan perwujudan nilai-nilai
pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang realisasi kongkritnya
merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) indonesia. Implementasi Pancasila
yang objektif ini berkaitan dengan norma-norma hukum dan moral, secara lebih luas dengan norma-
norma kenegaraan.
Penjabaran Pancasila yang Objektif Pengertian penjabaran Pancasila yang objektif adalah pelaksanaan
dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif
maupun yudikatif dan semua bidang kenegaraan dan terutama realisasinya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan negara Indonesia. Hal itu dapat dirinci sebagai berikut: Tafsir Undang-Undang Dasar
1945, harus dilihat dari sudut dasar filsafat negara Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan
UUD 1945 alinea IV. Pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam undang-undang harus mengingat
dasar-dasar pokok pikiran yang tercantum dalam dasar filsafat negara Indonesia. Tanpa mengurangi sifat-
sifat undang-undang yang tidak dapat diganggu gugat, interpretasi pelaksanaannya harus mengingat
unsur-unsur yang terkandung dalam filsafat negara.
Pelaksanaan undang-undang harus lengkap dan menyeluruh, meliputi seluruh perundangundangan di
bawah undang-undang dan keputusan-keputusan administrasi dari semua tingkat penguasa negara.
Pokok kaidah negara serta pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan UUD
1945 juga didasarkan atas asas kerohanian Pancasila. Bahkan yang terlebih penting lagi adalah dalam
realisasi pelaksanaan kongkritnya yaitu dalam setiap penentuan kebijaksanaan di bidang kenegaraan
antara lain: a. Bentuk dan kedaulatan dalam negara. b. Hukum, perundang-undangan dan peradilan c.
Sistem Demokrasi d. Pemerintahan dan Pusat sampai daerah e. Politik dalam dan luar negeri f.
Keselamatan, keamanan dan pertahanan g. Kesejahteraan h. Kebudayaan i. Pendidikan dan lain
sebagainya (Notonagoro, 1971) j. Tujuan negara k. Reformasi dan segala pelaksanaannya l.
Pembangunan Nasional dan lain pelaksanaan kenegaraan
d. Realisasi pelaksanaan Pancasila secara sbjektif diindonesia:
pelaksanaan subjektif, artinya pelaksanaan dalam pribadi setiap warga negara, setiap individu, setiap
penduduk, setiap penguasa dan setiap orang Indonesia. Notonagoro menjelaskan, bahwa pelaksanaan
Pancasila secara subjektif ini memegang peranan sangat penting, karena sangat menentukan
keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan Pancasila Pandangan ini mengacu pada Penjelasan UUD NRI
1945 dinyatakan “...Yang penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat,
semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin
Undang-Undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, tetapi pelaksana atau
penguasanya bersifat perseorangan, maka Undang-Undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam
praktik. Sebaliknya, meskipun Undang-Undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat
para penyelenggara pemerintahan baik, karena bersifat kekeluargaan, maka Undang-Undang Dasar itu
tentu tidak akan merintangi jalannya negara. Jadi yang paling penting ialah semangat...”.
Pelaksanaan subjektif ini menurut Notonagoro dibentuk secara berangsur-angsur secara berjenjang
melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal, non formal, maupun informal di lingkungan keluarga
dan masyarakat. Hasil yang akan diperoleh berupa jenjang pengetahuan, kesadaran, ketaatan,
kemampuan dan kebiasaan, mentalitas, watak dan hati nurani yang dijiwai oleh Pancasila.
Pengetahuan yang didapat berupa pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafati, kiranya
perlu ditambah lagi yaitu pengetahuan ideologis. Pengetahuan yang memadai diharapkan akan
menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan Pancasila. Jenjang kesadaran akan mengantarkan manusia
pada ketaatan, taat di sini berarti taat hukum, taat moral dan taat religius. Jika ketaatan sudah diresapi
manusia, maka diharapkan akan muncul kebiasaan, dan kebiasaan yang baik akan menjadikannya sebagai
mental, watak, dan merasuk ke hati nurani.

3. Etika Pancasila merupkan refleksi kritis untuk merumuskan prinsip-prinsip kelayakan (kebaikan) dalam
mengambil keputusan Tindakan dan kehidupan bermasyarakat ,berbangsa, dan bernegara diindonesia.
a. yang dimaksud dengan Pancasila sebagai landasan etis dan moral bagi pengembangan ilmu
pengetahuan,teknologi, dan seni yaitu: Etika Pancasila adalah refleksi kritis untuk merumuskan prinsip-prinsip
kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara di Indonesia berdasarkan kualifikasi isi arti sila-sila Pancasila. Prinsip-prinsip kelayakan hidup
tersebut didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai hidup berke-Tuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan,
berkerakyatan, dan berkeadilan sosial yang secara normatif telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.Refleksi kritis Etika Pancasila meliputi 3
bidang. Pertama, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang norma dan nilai moralitas yang telah dijalani
atau dianut oleh warga bangsa Indonesia selama ini agar dapat dirumuskan menjadi prinsip-prinsip kelayakan
hidup sehari-hari, misalnya nilai-nilai yang terkandung di dalam benda-benda peninggalan bersejarah, karya
sastra, cerita rakyat. Kedua, Etika Pancasila melakukan refleksi kritis tentang situasi khusus kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan segala keunikan dan kompleksitasnya seperti telah dirumuskan di dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Ketiga, refleksi kritis tentang
berbagai paham yang dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang bidang-bidang khusus
kehidupan, misalnya paham tentang manusia, Tuhan, alam, masyarakat, sistem sosial politik, sistem ekonomi,
sistem kerja, dsb.
Tiga teori etika yang berhubungan dengan refleksi kritis terhadap bagaimana menilai perilaku yang baik secara
moral, yaitu:

• Etika Deontologi

Etika deontologi dalam perspektifnya terhadap perilaku seseorang menekankan pada motivasi, kemauan
yang baik, dan watak yang kuat untuk melakukannya sebagai kewajiban. Etika deontologi menganggap bahwa
perilaku / tindakan itu dikatakan baik jika memang baik menurut pertimbangan dari dalam dirinya sendiri dan
wajib dilakukan. Apabila perilaku itu buruk, maka buruk pula secara moral dan bukanlah kewajiban yang harus
dilakukan. Contohnya adalah tindakan menghargai sesama dan alam merupakan tindakan yang baik secara
moral, maka manusia wajib melakukannya (Keraf, 2006: 9).

• Etika Teleologis

Etika teleologis menilai suatu perilaku baik jika bertujuan baik dan menghasilkan sesuatu yang baik atau
akibat yang baik, dan buruk jika sebaliknya. Etika teleologis bersifat situasional (sesuai dengan situasi tertentu)
dan subjektif. Teori ini menganggap perilaku yang baik bisa berubah sesuai dengan kondisi yang menghasilkan
baik pada saat itu. Suatu tindakan dapat dibenarkan oleh teori ini walau melanggar norma dan nilai moral
sekalipun (Keraf, 2006: 15).
Etika teleologis berdasarkan kepentingannya menggolongkan penilaian suatu tindakan secara moral
menjadi dua, yakni : pertama adalah egoisme etis. Egoisme etis menilai baik atau buruknya suatu perilaku
berdasarkan akibat bagi pelakunya, dan dibenarkan mengejar kebahagiaan bagi dirinya sendiri. Kedua adalah
utilitarianisme, yang menganggap baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang.
Hal yang paling menonjol dari utilitarianisme adalah manfaat bagi sebanyak mungkin orang yang terlibat dalam
tindakan tersebut.
 

• Etika Keutamaan

Etika keutamaan (virtue ethics) adalah teori etika yang mengutamakan pengembangan karakter moral
pada setiap individu. Karakter-karakter moral yang dimaksud adalah nilai dan keutamaan moral, seperti
kesetiaan, kejujuran, ketulusan, dan kasih sayang. Etika keutamaan menganggap orang bermoral atau
berperilaku baik berdasarkan pribadi moralnya, yang terbentuk oleh pembelajaran dari kenyataan sepanjang
hidupnya. Orang yang bermoral bukanlah orang yang bertindak secara moral baik pada situasi saat itu saja,
melainkan orang berkepribadian moral yang utama atau menonjol, berprinsip, dan berintegritas yang tinggi
(Keraf, 2006: 22). Etika keutamaan menekankan pada cerita-cerita masyarakat tertentu yang patut untuk
dicontoh perilaku baiknya secara moral. Perilaku baik secara moral tersebut merupakan teladan yang baik, dan
itulah perilaku yang benar menurut etika keutamaan.
Etika Pancasila adalah Etika Keutamaan yang tersusun dari nilai-nilai dan keutamaan moral bagi bangsa
Indonesia. Nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan terbentuk oleh
pembelajaran dari kenyataan sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia yang panjang. Nilai-nilai Pancasila
merupakan buah hasil pikiran-pikiran dan gagasan dasar bangsa Indonesia tentang kehidupan yang dianggap
baik dalam menghadapi diri sendiri, sesama dan lingkungan hidup, serta ketaatan pada Tuhan. Nilai-nilai
Pancasila adalah tata nilai yang mendukung tata kehidupan sosial dan tata kehidupan kerohanian bangsa yang
memberi corak, watak, ciri khas masyarakat dan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan masyarakat
dan bangsa lain.
Etika Pancasila adalah Etika Teleologis yang berisi pedoman bagi warga bangsa Indonesia dalam usaha
untuk mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara di masa depan. Permasalahan bangsa Indonesia dalam
menyesuaikan diri dengan masa modernisasi di masa depan yang penting mendapat perhatian adalah
pengembangan sistem nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang substansial adalah nilai-nilai utama yang tetap
akan menjadi kepribadian bangsa sepanjang masa. Implementasi nilai-nilai Pancasila di dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara tahun 1945 akan menjadi pedoman pokok secara umum kolektif untuk semua
warga bangsa dan negara Indonesia. Implementasi nilai-nilai Pancasila di dalam peraturan-peraturan resmi
kenegaraan harus selalu menampung perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman modern.
Bangsa Indonesia di masa modernisasi perlu mempunyai kecakapan menguasai ilmu pengetahuan dan
penggunaan hasil teknologi modern. Bangsa Indonesia juga perlu mempunyai kemampuan berpikir rasional
dalam hal penggunaan sarana dan waktu untuk mencapai kesejahteraan. Pemikiran rasional yang ditumbuhkan
bagi bangsa Indonesia harus dilepaskan dari sistem nilai-nilai rasional individualistis yang menjadi ciri-ciri
masyarakat modern Barat. Pemikiran rasional yang ditumbuhkan bagi bangsa Indonesia diupayakan untuk
tetap mengutamakan semangat kekeluargaan yang sesuai dengan sistem nilai Pancasila. Notonagoro secara
lebih rinci berpandangan, bahwa jaman modern adalah jaman yang menuntut persyaratan-persyaratan sosial
yang khusus. Pertama, adanya kombinasi dan pertalian yang erat dari keseluruhan faktor-faktor fisik dan
abstrak untuk setiap permasalahan nasional, sehingga tidak dimungkinkan lagi berpikir, bersikap, dan bertindak
kompartemental. Kedua, jaman yang serba penuh alat dan produk-produk teknologi menuntut adanya manusia
yang cakap dalam bidangnya. Jaman modern mempersyaratkan pembedaan keahlian yang luas dan banyak,
tetapi karena tidak dapat berdiri sendiri-sendiri dalam memecahkan persoalan-persoalan, maka diperlukan
koordinasi yang kapabel dan efektif. Ketiga, adanya jalinan yang semakin erat pemecahan permasalahan antara
persoalan pertambahan penduduk dan persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan. Keempat, keseluruhan konteks kemasyarakatan dunia di masa globalisasi mengakibatkan semakin
dekatnya komunikasi antar bangsa dan wilayah, sehingga saling mempengaruhi antar kelompok-kelompok
masyarakat di dunia dengan hasil-hasil kebudayaannya menjadi lebih intensif. Eksistensi bangsa yang kokoh
dipersyaratkan agar tidak terpecah belah sebagai akibat masuknya nilai-nilai baru yang bertentangan dengan
sistem nilai Pancasila (Notonagoro, 1972: 8).
Kehidupan berbangsa yang kokoh dan tidak terpecah belah menjadi syarat utama bangsa Indonesia dalam
menuju kehidupan modern. Bangsa Indonesia yang sedang mengalami proses-proses perubahan menuju
modernisasi akan melalui berbagai macam gejolak. Pertama, adaptasi pada nilai-nilai kebudayaan modern.
Kedua, kemampuan menerima, menanggapi, dan memecahkan tantangan lingkungan nasional dan
internasional dengan ciri tuntutan kehidupan yang meningkat. Ketiga, keadaan sosio kultural yang sesuai, yaitu
kesiapan meninggalkan nilai-nilai lama yang menghambat dan menemukan nilai-nilai baru yang sesuai dengan
perkembangan jaman, yaitu melepaskan ciri-ciri masyarakat agraris tradisional dan memasuki masyarakat yang
dinamis rasional (Notonagoro, 1972: 9).
Etika Pancasila adalah Etika Deontologis yang menjadi penuntun untuk menumbuhkan kesadaran ber-
Pancasila bagi generasi muda Indonesia masa sekarang dan masa depan. Pembinaan kehidupan berbangsa
yang kokoh dalam menuju ke masyarakat modern adalah mempersiapkan generasi muda agar adaptif terhadap
nilai-nilai kebudayaan modern dan keadaan sosio kultural yang sesuai. Generasi muda juga dibawa oleh
jalannya waktu menuju jaman modern tersebut dengan persyaratan-persyaratan individual dan kelompok yang
lebih kompleks. Jaman juga akan membentuk pribadi-pribadi dan waktu juga akan membebani dengan
berbagai persoalan yang kompleks yang pada gilirannya akan menguji kemampuan generasi muda menerapkan
peranannya sesuai dengan perkembangan masyarakat beserta persyaratan-persyaratan sosial, kelompok, dan
individual yang dituntutnya (Notonagoro, 1972: 9).
Notonagoro berpandangan bahwa mempersiapkan generasi muda merupakan salah satu persiapan yang
penting bagi pengembangan Pancasila sebagai kepribadian bangsa. Pengembangan nilai-nilai Pancasila tersebut
dituangkan dalam pola-pola pelaksanaan melalui pendekatan sosialisasi dengan metode-metode keteladanan,
edukasi, komunikasi, dan integrasi. Generasi muda perlu memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang
nilai-nilai Pancasila melalui pendekatan sosialisasi dengan metode-metode keteladanan, edukasi, komunikasi,
dan integrasi. Pendekatan-pendekatan yang terencana perlu diarahkan untuk pematangan sikap mental
generasi muda pada umumnya, yaitu menumbuhkan ketaatan dan kesadaran ber-Pancasila. Tujuan
pengembangan nilai-nilai Pancasila adalah terwujudnya ketahanan nasional berlandaskan ideologi negara
Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam kehidupan kenegaraan, kemasyarakatan, serta
pemantapan stabilitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diwariskan adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah mendapat
kesepakatan seluruh rakyat, yaitu nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945. Sila-sila Pancasila masing-masing mengandung nilai-nilai intrinsik yang substansial,
bersifat tetap, dan merupakan kesatuan bulat dengan susunan hirarkhis piramidal. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah : Pertama, negara
persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia. Negara mengatasi segala
paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Kedua, tujuan negara, yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan / perwakilan. Keempat, negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Kelima, negara yang merdeka dan berdaulat. Keenam, anti penjajahan,
karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 mewujudkan ciri-ciri instrumental yang konsisten dengan nilai-nilai Pancasila dan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(Notonagoro, 1972: 19). 
Konsep pelaksanaan Pancasila yang bersifat subjektif dapat tercapai melalui tahap-tahap pemilikan
pengetahuan nilai-nilai Pancasila, ketaatan, dan kesadaran ber-Pancasila membawa konskwenasi perlu
dirumuskan dalam suatu sistem Etika Pancasila. Sistem Etika Pancasila adalah sistem Etika dalam pengertian
sebagai Filsafat Moral, sehingga dapat diartikan sebagai refleksi kritis perkembangan moralitas bangsa
Indonesia. Etika Pancasila adalah jenis Etika keutamaan yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber
nilai. Etika Pancasila mempunyai sifai deontologis. Etika Pancasila mensyaratkan kesadaran ber-pancasila
sebagai pendorong mengambil keputusan tindakan. Etika Pancasila juga mempunyai sifat teleologis. Etika
Pancasila menentukan masa depan bangsa Indonesia tetap berkepribadian Pancasila sebagai tujuan.
Pengertian Etika sebagai refleksi kritis moralitas perlu dibedakan dengan pengertian moralitas. Pengertian
Etika di satu sisi dapat disamakan dengan moralitas dan di sisi lain merupakan refleksi kritis terhadap moralitas.

• Etika dalam Pengertian Moralitas.

Moralitas secara etimologis berasal dari kata latin mos  (jamaknya mores) yang berarti adat istiadat atau
kebiasaan. Etika secara etimologis berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang berarti adat istiadat
atau kebiasaan. Etika dan moralitas secara etimologis sama-sama berarti adat kebiasaan yang dibakukan dalam
bentuk aturan (baik perintah atau larangan) tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia.
Keduanya berbicara tentang nilai dan prinsip moral yang dianut oleh masyarakat tertentu sebagai pedoman
dan kriteria dalam berperilaku sebagai manusia.
Moralitas adalah kebiasaan hidup yang baik dalam bermasyarakat lalu dibakukan dalam bentuk kaidah,
aturan, atau norma yang disebarluaskan, dipahami dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, aturan
atau norma ini pada dasarnya menyangkut baik atau buruknya perilaku manusia. Kaidah ini menentukan apa
yang baik harus dilakukan dan apa yang buruk harus dihindarkan. Etika dalam pengertian moralitas sering
dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia hidup dengan baik. Etika dalam
pengertian moralitas juga dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya
perilaku manusia, yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.
Kaidah, norma, aturan ini sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu,
yaitu apa yang dianggap baik dan penting oleh masyarakat. Etika juga berisikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
moral yang harus dijadikan pegangan dalam berperilaku. Etika memberi kriteria bagi penilaian moral tentang
apa yang harus dilakukan dan tentang apakah suatu tindakan dan keputusan dinilai sebagai baik atau buruk
secara moral. Jadi Etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, arah untuk hidup secara baik sebagai
manusia (Keraf, 2002: 2-3).
 

• Etika dalam Pengertian Filsafat Moral

Etika dipahami juga dalam pengertian yang berbeda dengan moralitas. Etika dimengerti sebagai refleksi
kritis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak dalam situasi konkret, yaitu situasi khusus
tertentu. Etika adalah filsafat moral, yaitu cabang filsafat yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan
benar dan salah secara moral (baik dan buruk), tentang bagaimana harus bertindak baik dalam situasi konkret.
Manusia membutuhkan Etika dalam pengertian yang kedua, berupa refleksi kritis untuk menentukan
pilihan, sikap, dan bertindak benar secara moral (baik) sebagai manusia. Refleksi kritis ini menyangkut tiga
hal. Pertama, refleksi kritis tentang norma dan nilai yang diberikan oleh Etika dan moralitas dalam pengertian
pertama, yaitu tentang norma dan nilai yang dianut selama ini. Kedua, refleksi kritis tentang situasi khusus yang
dihadapi dengan segala keunikan dan kompleksitasnya. Ketiga, refleksi kritis tentang berbagai paham yang
dianut oleh manusia atau kelompok masyarakat tentang apa saja, misalnya paham tentang manusia, Tuhan,
alam, masyarakat dan sistem sosial politik, sistem ekonomi, kerja, dsb. Refleksi kritis yang ketiga ini penting
untuk menentukan pilihan dan prioritas moral yang akan diutamakan, baik dalam hidup sehari-hari maupun
dalam situasi tertentu (Keraf, 2002: 4).
Etika atau filsafat moral adalah suatu studi atau disiplin filsafat yang memperhatikan pertimbangan-
pertimbangan mengenai pembenaran dan celaan, pertimbangan-pertimbangan mengenai kebenaran atau
kesalahan, kebaikan atau keburukan, aturan-aturan, tujuan-tujuan atau keadaan-keadaan (Runes, 1977: 98).
Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya pikiran untuk memecahkan masalah bagaimana
seseorang harus hidup apabila ingin menjadi baik (Magnis-Suseno, 1993: 17).
b. Metode-metode yang dapat di gunakan untuk menumbuhkan kesadaran berpancasila generasi muda:
 Mengarahkan generasi muda kepada hal hal yang berbau pancasila tentunya dlm bidang positif
contohnya mengikuti seminar empat pilar dan seminar lainya
 Mengajak generasi muda untuk mematuhi peraturan-peraturan yang ada
 Menumbuhkan kesadaran pada generasi muda untuk menumbhkan semnagat Pancasila
 Mengajak teman teman yang maasih kurang wawasan nya dalam pancasila untuk belajar
bersama.

4. Pancasila pada prinsipnya dibangun diatas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau
pluralitaskenyataan dan pandangan.
a. Ketentuan-ketentuan normative yang terdapat dalam pancasiladan UUD 1945 yang mengatur tentang
heterogenitas dan plurallitas :
 PANCASILA DAN PERMASALAHAN SARA
Konflik itu dapat berupa konflik vertikal maupun horisontal. Konflik vertikal misalnya antara si kuat
dengan si lemah, antara penguasa dengan rakyat, antara mayoritas dengan minoritas, dan sebagainya.
Sementara itu konflik horisontal ditunjukkan misalnya konflik antarumat beragama, antarsuku, antarras,
antargolongan dan sebagainya. Jurang pemisah ini merupakan potensi bagi munculnya konflik.
Data-data empiris menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang tersusun atas
berbagai unsur yang sangat pluralistik, baik ditinjau dari suku, agama, ras, dan golongan. Pluralitas ini di
satu pihak dapat merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak
juga merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi
bangsa.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas
kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila tetapi tidak
memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal.
Berbagai ketentuan normatif tersebut antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan
“Persatuan Indonesia“. Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
terutama pokok pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang
hak-hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD 1945 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 tentang
puncak-puncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang sesuai dengan budaya
Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap bahasa-bahasa daerah. Kiranya
dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers negara Indonesia sangat menjunjung
tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan,
bahasa dan lain-lain. Justru pluralitas itu merupakan aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa.
Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka
menyelesaikan masalah SARA ini antara lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui
adanya pluralitas kenyataan, namun mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-indonesiaan.
Kesatuan tidak boleh menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh
menghancurkan persatuan Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan
perundangan yang tidak sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena
jika tidak akan membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam
tri prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara yang
diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan, persatuan, dan
sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan kehidupan bernegara yang
diterima oleh masyarakat
 PANCASILA DAN PERMASALAHAN HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat pada kemanusiaan,
yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya manusia. Dengan demikian eksistensi
hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya
dapat dirasakan secara langsung dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk.,
1995:60).
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah utama yang harus
dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain: Pertama, HAM merupakan masalah yang sedang
hangat dibicarakan, karena (1) topik HAM merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang
menjadi keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM, demokratisasi dan
pelestarian lingkungan hidup. (2) Isu HAM selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember
sebagai peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB tanggal 10 Desember
1948. (3) Masalah HAM secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara negara donor
dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk penekanan secara ekonomis dan politis.
Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan partikularisme. Paham
universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat universal diterapkan di semua penjuru dunia.
Sementara paham partikularisme memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang
HAM sesuai dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki
ukuran dan kriteria tersendiri.
Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu (1) tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip
moral umum dan berlaku universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi. (2) tataran
ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak kewarganegaraan, sifatnya partikular,
karena terkait dengan bangsa atau negara tertentu. (3) tataran kebijakan praktis sifatnya sangat
partikular karena memperhatikan situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia dapat ditinjau dapat dilacak dalam Pembukaan
UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam
Pembukaan UUD 1945 masih bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh
UUD 1945, antara lain: Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2); Hak kebebasan beragama (Pasal 29
ayat 2); Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1); Hak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28); Hak atas pendidikan (Pasal 31
ayat 1, 2); Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34). Catatan penting
berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain: pertama, UUD 1945 dibuat sebelum
dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga
tidak secara eksplisit menyebut Hak asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga
negara. Kedua, Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi RIS
dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-undang yang diserahkan
kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Tap
MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak
Asasi Manusia.
Pada bagian pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari
pendahuluan, landasan, sejarah, pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi
bangsa Indonesia. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh yang
terdiri dari 10 bab 44 pasal.
b. Beberapa prinsip yang dapat digali dari Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka
menyelesaikan masalah SARA dindonesia:
Pancasila merupakan pedoman dari segi kehidupan berbangsa dan bernegara dan agama merupakan
bagian dari pancasila tetapi bukan berarti pancasila dapat di gunakan sebagai pedoman hidup di dalam
segi kehidupan beragama karena tidak mengandung petunjuk di dalam tata cara beragama .
Pendidikan pancasila bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur , memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani juga
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Pendidikan pancasila yang berhasil akan membuahkan sikap mental bersifat cerdas dan penuh tanggung
jawab maka pendidikan itulah yang merupakan pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari , dan
termasuk hidup beroraganisasi. sehingga warga Negara Indonesia diharapkan mampu :
• memahami
• menganalisis dan
• menjawab masalah- masalah yang di hadapi bangsanya.
Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup. Ini berate harus di jiwai
dengan jiwa Keagamaan (sebagai manifestasi/perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa) yang
merupakan satu kesatuan organisasi dan harus di jiwai.
Di dalam kehidupan berorganisasi Pancasila dapat digunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan
masalah –masalah yang dihadapi ketika berorganisasi dari pemecahan masalah karena menguasai
pengetahuan dan pemahaman tentang beraneka ragam masalah dasar kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara yang hendak di atasi
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Anda mungkin juga menyukai