Anda di halaman 1dari 12

Kiai Haji Ahmad Dahlan 

atau Muhammad Darwis (bahasa Arab: ‫ ;أحم د دحالن‬lahir


di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54
tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah.
Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa
itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat
penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

A. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia merupakan anak
keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Dia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq,  Maulana 'Ainul
Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng
Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai
Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy
(Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa
ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH.
Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak kiai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Di samping itu K.H. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik kiai
Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya
dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Dia
pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3] [4]
KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di
pemakaman Karangkajen, Yogyakarta [5] [6].
B. Guru-guru
1. KH.Abu Bakar (ayahnya) - Yogyakarta
2. KH.Ahmad Soleh (Kaka Ipar) - Yogyakarta
3. KH.Muchsin - Yogyakarta
4. KH.Abdul Hamid - Yogyakarta
5. Kiyai Muhamad Nur - Yogyakarta
6. KH.Raden Dahlan – Semarang
7. Syaikh Mishri - Mekah
8. Syaikh Muhammad Sholeh as Samarani (Kiyai Sholeh Darat)
9. Syaikh Mahfudz Termas
10. Syaikh Khayat al Makki
11. Syaikh Sayyid Babussijjil
12. Syaikh Amin
13. Syaikh Bakri Syatho al Makki
14. Syaikh Asyari Bacean
15. Syaikh Hasan
16. Syaikh Ahmad Khotib Minangkabau
17. Syaikh Jamil Djambek
18. Syaikh Najrowi Banyumas
19. Syaikh Nawawi al Bantani

C. Karya
Kitab-kitab yang beliau pelajari serta mengilhami kehidupan dan perjuangannya adalah:
1. Ahlu - sunah wal jama’ah dalam ilmu aqaid
2. Mazhab imam syafi’ie dalam ilmu fiqih
3. Imam ghozali dalam ilmu tasawuf
4. Kitab Tauhid (Syeikh Muhammad Abduh)
5. Kitab Tafsir Juz Amma (Syeikh Muhammad Abduh)
6. Kitab Kanzul ‘Ulum (Gudang Ilmu-ilmu)
7. Kitab Dairatul Maarif (Farid Wajdi)
8. Kitab fil Bid’ah (Inbu Taimiyah), diantaranya adalah At-Tawasul Wasilah karya Ibnu
Taimiyah
9. Kitab Islam wan Nashraniyyah (Syeikh Muhammad Abduh)
10. Kitab Izzharul Haqq (Rahmatullah al-Hindi)
11. Kitab-kitab Hadist (Ulama Al-Hanbali)
12. Kitab-kitab Tafsir al-Manar (Sayyid Rasyid Ridha) dan majalah Urwatus Wustqa
13. Tafshilun Nasjatain Tashilus Sahadatain
14. Matan al-Hikam Ibnu Athailah
15. Al-Qashaid ath-thasyiah Abdullah al-Aththas, dan lain-lain.
D. Pemikiran
Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa tidak banyak naskah tertulis dan dokumen yang
dapat dijadikan bahan untuk mengkaji dan merumuskan pemikiran KH Ahmad Dahlan.
Menurut penelitian Mulkhan naskah agak lengkap terdapat dalam penerbitan Hoofbestuur
Taman Pustaka pada tahun 1923 sesaat setelah Kyai Ahmad Dahlan wafat.
Berdasarkan sumber dan bahan yang tersedia, pokok-pokok pikiran dan pandangan KH
Ahmad Dahlan bisa dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:
a. Dalam bidang aqidah, pandangan KH Ahmad Dahlan tidak berbeda, sejalan, dan sesuai
dengan pemikiran ulama salaf.
b. Menurut pandangan KH Ahmad Dahlan, beragama adalah beramal; Amal artinya
memberikan manfaat dan berbuat sesuatu, amalnya juga sesuai dengan dalil yang
berpedoman dengan Al-Quran dan As Sunnah.
c. Ahmad Dahlan berulang kali menekankan bahwa setiap manusia harus mempergunakan
akal untuk memperbaiki soal i’tikad dan keyakinan, usaha dan tujuan kehidupan ini,
serta memahami kebenaran yang sejati. Akal manusia tidak boleh dibajak oleh hawa
nafsu. Maka apabila merujuk pada 7 falsafah ajaran KH Ahmad Dalan yang ditulis oleh
KRH. Hadjid maka KH Ahmad Dahlan sering mengingatkan akal manusia jangan
sampai lengah. Dinyatakan oleh KH. Ahmad Dahlan:
“𝘓𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩, 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘳 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴–𝘮𝘦𝘯𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩, 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘯𝘨𝘴𝘢𝘳𝘢 𝘥𝘪
𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳𝘢𝘵. 𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘭𝘦𝘯𝘨𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘵𝘪–𝘩𝘢𝘵𝘪.
𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘦𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢
𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩–𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭, 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯
𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘭𝘪𝘢𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳𝘢𝘵. 𝘒𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘦𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘢𝘴𝘪𝘭”.
Maka diantara ayat yang juga menjadi refleksi KH. Ahmad Dahlan adalah ayat yang
berbunyi:

‫َأفَ َرَأيْ َت َم ِن اخَّت َ َذ لَهَ ُه ه ََوا ُه َوَأ َض هَّل ُ اهَّلل ُ عَىَل ِعمْل ٍ َوخَمَت َ عَىَل مَس ْ ِع ِه َوقَلْ ِب ِه َو َجعَ َل عَىَل‬
َ ِ ِ ‫ِإ‬
‫ون‬َ ‫بَرَص ِ ِه ِغشَ َاو ًة فَ َم ْن هَي ْديه م ْن ب َ ْعد اهَّلل َأفَال تَذك ُر‬
َّ ِ ِ ِ
𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘸𝘢 𝘯𝘢𝘧𝘴𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪
𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘭𝘮𝘶-𝘕𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩
𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘤𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘵𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘶𝘵𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘴
𝘱𝘦𝘯𝘨𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢? 𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘵𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩
(𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘵). 𝘔𝘢𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯.
d. Dasar pokok hukum Islam adalah Al-Quran dan As Sunnah. Jika dari keduanya tidak
diketemukan kaidah hukum yang eksplisit maka ditentukan berdasarkan kepada
penalaran dengan mempergunakan akal pikiran (logis), qiyas, serta ijma’.
e. Terdapat lima jalan untuk memahami Al-Quran yaitu mengerti artinya, memahami
maksudnya (tafsir), mentadabburinya, serta bertanya apakah sudah benar-benar
mengamalkan ayat al-Quran yang dipelajarinya serta tidak pindah atau mencari ayat lain
sebelum mengamalkannya. Disini kita kembali menemukan tradisi kunci
Muhammadiyah yang tumbuh dari KH. Ahmad Dahlan yaitu ayat al Quran menjadi
landasan letupan untuk beramal. Maka dalam Muhammadiyah amal usaha adalah
perwujudan ayat Al Quran dalam bentuk tindakan nyata. Ilmu tidak boleh berhenti pada
tataran ilmu, namun ia harus terwujudkan dalam amal sholih, karena amal sholeh akan
bermanfaat bagi banyak manusia.
f. Kyai Haji Ahmad Dahlan menyatakan bahwa tindakan nyata adalah wujud kongkrit dari
penterjemahan Al-Quran, dan organisasi adalah wadah dari tindakan nyata tersebut.
Untuk memperoleh pemahaman demikian, orang Islam harus selalu memperluas dan
mempertajam kemmapuan akal pikiran dengan ilmu manthiq atau logika.
g. Sebagai landasan agar seseorang suka dan bergembira maka orang tersebut harus yakin
bahwa mati adalah bahaya, akan tetapi lupa lupa kepada kematian merupakan bahaya
yang jauh lebih besar dari kematian itu sendiri. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi
adalah bukan berarti KH Ahmad Dahlan mengajarkan tentang bersikap fatalistik, justru
ingat kematian dijadikan sarana untuk berbuat yang terbaik ketika di dunia. Di samping
itu, Kyai menyatakan selanjutnya, bahwa harus ditanamkan dalam hati seseorang ghirah
dan gerak hati untuk maju dengan landasan moral keikhlasan dalam beramal.
h. Pembinaan generasi muda (kader) dilakukan Kyai dengan jalan interaksi langsung.
Untuk melaksanakan teorinya tersebut Kyai mendirikan kepanduan Hizbul Wathan, dan
pengajian pemuda-remaja yang dikenal dengan nama Fathul Asrar Miftahus Sa’adah.
KH. Ahmad Dahlan memandang kaderisasi generasi muda adalah keniscayaan untuk
membentuk masa depan yang lebih baik. Dari sini mungkin kita bisa menjawab
pertanyaan besar yang sering diajukan oleh peneliti, “Mengapa KH. Ahmad Dahlan
jarang mempunyai tulisan?’ maka, jawaban yang paling memungkinkah adalah karena
KH. Ahmad Dahlan telah menghabiskan waktunya untuk membina generasi muda
sebagai ‘investasi’ masa depan.
i. Strategi menghadapi perubahan sosial akibat modernisasi adalah merujuk kembali Al-
Quran, menghilangkan sikap fatalisme, sikap taklid. Strategi tersebut dilakukan dengan
cara menyalakan jiwa dan semangat ijtihad melalui kemampuan berpikir logis-rasional
dan mengkaji realitas sosial.
j. Objek gerakan dakwah Muhammadiyah meliputi rakyat kecil, kaum fakir-miskin, para
pejabat, hartawan dan juga para cendikiawan dan intelektual.
k. KH. Ahmad Dahlan juga memandang bahwa Muhammadiyah didirikan dalam rangka
berbakti pada negeri, maka pada saat Letusan Gunung Kelud pada tahun 1919 yang
menelan korban tidak sedikit, maka Muhammadiyah menginisiasi lahirnya Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKO). Lembaga ini menjadi satu dari empat unsur pembantu
pimpinan yang dibentuk Hooftbestuur Muhammadiyah saat itu dan diketuai oleh Kiai
Sudjak, maka relawannya dikenal dengan nama Laskar Sudjak.
E. Peran Dalam Pendidikan di Indonesia

Setelah kembalinya Ahmad Dahlan dari menuntut pendidikan di Mekkah maka ia turut
mengajar anak-anak yang menjadi murid ayahnya. Anak-anak ini belajar di waktu siang dan
sore di Mushola. Pada tahun 1906, Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta dan menjadi guru
agama di Kauman. Pihak Keraton Yogyakarta juga mengangkat Ahmad Dahlan sebagai
khatib tetap di Masjid Agung. Tugas-tugas beliau digunakan untuk mengamalkan ilmunya.
Dia menggunakan serambi Masjid Agung untuk memberi pelajaran kepada orang-orang
yang tidak dapat belajar di surau-surau tempat pengajian yang berjadwal tetap. Ahmad
Dahlan juga membangun asrama untuk menerima murid-murid dari luar kota dan luar
daerah. Juga membangun surau untuk menambah kemakmuran kampung Kauman dalam
bidang pengajian dan pendidikan pada masa itu.

Ahmad Dahlan mengajar juga di Kweekschool di Yogyakarta dan Opleidingschool voor


Inlandsche Ambtenaren sebuah sekolah untuk pegawai pribumi di Magelang. Peran dalam
pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal
sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek
School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (khusus laki-laki),
yang bertempat di Patang puluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat
Muhammadiyah (khusus Perempuan), di Suronatan Yogyakarta. Ahmad Dahlan selain
mendirikan organisasi Muhammadiyah, juga mendirikan sekolah dengan menggunakan
nama Muhammadiyah. Pendirian sekolah tersebut dipengaruhi oleh 2 faktor baik secara
internal maupun eksternal, yaitu :

1. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri, yaitu
sikap beragama dan sistem pendidikan Islam.

Sikap beragama umat Islam saat itu pada umumnya belum dapat dikatakan sebagai
sikap beragama yang rasional. Sikap beragama yang demikian bukanlah terbentuk
secara tiba-tiba pada awal abad ke 20 itu, tetapi merupakan warisan yang berakar jauh
pada masa terjadinya proses Islamisasi beberapa abad sebelumnya. Seperti diketahui
proses Islamisasi di Indonesia sangat di pengaruhi oleh dua hal, yaitu Tasawuf
/Tarekat dan mazhab fikih, dan dalam proses tersebut para pedagang dan kaum sufi
memegang peranan yag sangat penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau
daerah-daerah hampir di seluruh nusantara ini.

2. Faktor eksernal, yaitu faktor yang disebabkan oleh politik penjajahan kolonial Belanda

Faktor tersebut antara lain tanpak dalam sistem pendidikan Kolonial serta usaha ke arah
westrnisasi dan kristenisasi. Pendidikan demikian pada awal abad ke 20 telah meyebar
dibeberapa kota, sejak dari pendidikan dasar sampai atas, yang terdiri dari lembaga
pendidikan guru dan sekolah kejuruan. Adanya lembaga pendidikan kolonial terdapatlah
dua macam pendidikan diawal abad 20, yaitu pendidikan Islam tradisional dan
pendidikan Kolonial. Kedua jenis pendidikan ini dibedakan, bukan hanya dari segi
tujuan yang ingin dicapai, tetapi juga dari kurikulumnya.

Pendidikan kolonial melarang masuknya pelajaran agama dalam sekolah-sekolah


kolonial, dan dalam artian ini orang menilai pendidikan Kolonial sebagai pendidikan
yang bersifat sekuler, disamping sebagai peyebar kebudayaan Barat. Hal ini merupakan
salah satu sisi politik etis yang disebut politik asosiasi yang pada hakekatnya tidak lain
dari usaha westernisasi yang bertujuan menarik penduduk asli Indonesia ke dalam orbit
kebudayaan Barat. Dari lembaga pendidikan ini lahirlah golongan intlektual yang
biasanya memuja Barat dan menyudutkan tradisi nenek moyang serta kurang
menghargai Islam, agama yang dianutnya. Hal ini agaknya wajar, karena mereka lebih
dikenalkan dengan ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat yang sekuler tanpa
mengimbanginya dengan pendidikan agama, konsumsi moral dan jiwanya. Sikap umat
yang demikianlah yang dimaksud sebagai ancaman dan tantangan bagi Islam diawal
abad ke 20.

Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha
membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan
dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling
bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model
Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu
yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda
merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Melihat
ketimpangan tersebut KH. Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang
sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum,
material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut
(agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan
mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

Menurut Dahlan, materi pendidikan yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an dan
Hadits, membaca, menulis, berhitung, Ilmu bumi, dan menggambar. Materi Al-Qur’an dan
Hadits meliputi; Ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan
nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an dan Hadits menurut akal,
kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan,
nafsu dan kehendak, Demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika
kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).

Muhammadiyah yang ada sejak tahun 1912 telah menggarap dunia pendidikan, namun
perumusan mengenai tujuan pendidikan yang spesifik baru disusun pada 1936. Pada
mulanya tujuan pendidikan ini tampak dari ucapan K.H. Ahmad Dahlan: “ Dadiji kjai sing
kemajorean, adja kesel anggonu njambut gawe kanggo Muhammadiyah”( Jadilah manusia
yang maju, jangan pernah lelah dalam bekerja untuk Muhammadiyah). Untuk mewujudkan
tujuan pendidikan tersebut, menurut K.H. Ahmad Dahlan materi pendidikan atau kurikulum
pendidikan hendaknya meliputi:

 Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik
berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah.
 Pendidikan Individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang
utuh, yang kesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan
dan intelek, antara perasaan dan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
 Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesedihan dan
keinginan hidup masyarakat. Dilihat dari sudut kurikulum,sekolah tersebut mengajrakan
tidak hanya ilmu umum tetapi juga ilmu agama sekaligus. Hal ini merupakan trobosan
baru bahwa pada saat itu lembaga pendidikan umum (sekolah) hanya mengajarkan
pelajaran umum dan sebaliknya lembaga pendidikan agama (pesantren) hanya
mengajarkan pelajaran agama. Dengan kurikilum tersebut, Ahmad Dahlan berusaha
membentuk individu yang utuh dengan memberikan pelajaran agama dan umum
sekaligus.

Di dalam menyampaikan pelajaran agama K.H. Ahmad Dahlan tidak   menggunakan


pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
Cara belajar-mengajar di pesantren pada umumnya menggunakan
sistem Weton  dan Sorogan, sementara madrasah Muhammadiyah menggunakan
sistem masihal seperti sekolah Belanda. Bahan pelajaran di pesantren mengambil dari kitab-
kitab agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya mengambil
dari kitab agama dan buku-buku umum. Menurut Toto Suharto, Ahmad Dahlan memadukan
antara pendidikan Agama dan pendidikan umum sedemikian rupa, dengan tetap berpegang
kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain kitab-kitab klasik berbahasa Arab, kitab-
kitab kontemporer berbahasa Arab juga dipelajari dilembaga Muhammadyah yang
dipadukan dengan pendidikan umum. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan
otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah
Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan antara guru-murid yang akrab.

Bagi K.H. Ahmad Dahlan, ajaran Islam tidak akan membumi dan dijadikan pandangan
hidup pemeluknya, kecuali dipraktekkan. Betapa pun bagusnya suatu program, menurut
Dahlan, jika tidak dipraktekkan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H.
Ahmad Dahlan tidak terlalu banyak mengelaborasi ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi ia lebih
banyak mempraktikkannya dalam amal nyata. Praktek amal nyata yang fenomenal ketika
menerapkan apa yang disebut dalam surat Al-Maun yang secara tegas memberi peringatan
kepada kaum muslim agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan membantu fakir
miskin. Untuk mengamalkan isi surat Al-Ma’un sK.H. Ahmad Dahlan juga mengajak santri-
santrinya ke pasar Beringharjo, Malioboro, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Di tempat-
tempat itu berkeliaran pengemis dan kaum fakir. K.H. Ahmad Dahlam memerintahkan
setiap santrinya untuk membawa fakir itu ke Mesjid Besar. Dihadapan para santri, K.H.
Ahmad Dahlan membagikan sabun, sandang dan pangan kepada kaum fakir. K.H. Ahmad
Dahlan meminta fakir miskin untuk tampil bersih. Sejak saat itulah, Muhammadiyah aktif
dalam menyantuni fakir miskin dan yatim piatu.

Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-


Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan
agama Islam, sehingga terwujud masyaraIslam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu,
Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam
dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan pendidikan
agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok
pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman.
Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang
bersifat umum. Metode baru yang diterapkan oleh sekolah  Muhammadiyah mendorong
pemahaman Al-Qur’an dan Hadis secara bebas oleh para pelajar sendiri.  Sebagai sebuah
organisasi yang memperhatikan perkembangan pendidikan di Indonesia, maka
Muhammadiyah melakukan usaha mengembangkan pendidikan dengan cara mendirikan
sekolah-sekolah umum dan mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan
pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.

F. Pengalaman Organisasi

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah,


ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan
berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di
masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul
Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin
mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan
agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut
tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18
November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi,
baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa
Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi
Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu
Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula orang yang
hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan
pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus
1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan
lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[7] di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di
antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,
Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu
alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada
1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith
di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai
Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.[10]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya
untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-
cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam
aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan
anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).

G. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia
melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik
Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no.
657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:

1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran
Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan
pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.

H. Pesan Terakhir
Menjelang ajalnya, KH Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada iparnya, KH Ibrahim, yang
mengurusnya ketika KH.A Dahlan sakit. KH Ibrahim ini pula yang menggantikan KH.A
Dahlan sebagai Ketua HB Muhammadiyah (kini Ketua Umum PP Muhammadiyah).
Pesannya sebagai berikut:

“Him, agama Islam itu kami misalkan laksana gayung yang sudah rusak vorm (pegangan)-
nya, dan rusak pula kalengnya, sudah sama bocor dimakan teyeng (karat), sehingga tidak
dapat digunakan pula sebagai gayung.
Oleh karena kita umat Islam perlu akan menggunakan gayung tersebut, tetapi tidak dapat
karena gayung itu sudah sangat rusaknya. Sedang kami tidak mempunyai alat untuk
memperbaikinya, tetapi tetangga dan kawan-kawan di sekitarku itu banyak yang memegang
dan mempunyai alat itu, tetapi mereka juga tidak banyak yang memegang dan mempunyai
alat itu, tetapi mereka juga tidak mengetahui bahwa alat-alat yang dipegang dan dimiliki itu
dapat digunakan untuk memperbaiki gayung yang kami butuhkan itu.

Maka perlulah kamu mesti berani meminjam untuk memperbaikinya. Siapakah tetangga dan
kawan-kawan yang ada di sekitar kamu itu? Ialah mereka kaum cerdik pandai dan mereka
orang-orang yang terpelajar yang mereka itu tidak tahu memahami agama Islam. Padahal,
mereka itu pada dasarnya merasa dan mengakui bahwa pribadinya itu Muslim juga.

Karena banyak mereka itu memang daripada keturunan kaum muslimin, malah ada yang
keturunan dari penghulu-penghulu dan kiai-kiai terkemuka. Tetapi, karena mereka melihat
keadaan umat Islam pada umumnya keadaan krisis dalam segala-galanya, mereka tidak ingin
menjadi umat yang bobrok. Oleh karena itu dekatilah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya sehingga mereka mengenal kita, dan kita mengenal mereka. Sehingga, perkenalan
kita bertimbal balik, sama-sama memberi dan sama-sama menerima”. (Syuja’, 2009: 192-
193).
I. Daftar Pustaka

 Salam, Yunus (1968). Riwayat Hidup KHA. Dahlan. Amal dan perjuangannya. Jakarta:
Depot Pengadjaran Muhammadijah.
 Kutojo, Sutrisno, Mardanas Safwan (1991). K.H. Ahmad Dahlan: riwayat hidup dan
perjuangannya. Bandung: Angkasa.
 Ricklefs, M.C. (1994). A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford:
Stanford University Press.
 Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge
University Press. ISBN 0-521-54262-2.
 Muhammad Sulaiman. 𝑀𝑎𝑘𝑛𝑎 𝐴𝑔𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑖𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑡 𝐾𝐻. 𝐴ℎ𝑚𝑎𝑑
𝐷𝑎ℎ𝑙𝑎𝑛, 𝘑𝘦𝘫𝘢𝘬-𝘫𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘍𝘪𝘭𝘴𝘢𝘧𝘢𝘵 𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥𝘪𝘺𝘢𝘩, 𝘔𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘉𝘢𝘴𝘪𝘴 𝘌𝘵𝘪𝘬
𝘍𝘪𝘭𝘰𝘴𝘰𝘧𝘪𝘴 𝘉𝘢𝘨𝘪 𝘗𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2019

Anda mungkin juga menyukai