Anda di halaman 1dari 17

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD IBN

ABDUL WAHAB DAN AL-TAHTAWI

Ronista Alvinia Madu


Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung
e-mail: alviniamadu@gmail.com

Abstrak: Munculnya pembaharuan di sebuah tempat akan selalu berkaitan erat


dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Pembaharuan
dapat diartikan apa saja hal yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh
penerima pembaharuan yang sesungguhnya lebih merupakan upaya atau usaha
perbaikan keadaan baik dari segi cara, konsep dan serangkaian metode yang bisa
diaplikasikan dalam rangka menghantarkan hal ahwal manusia yang lebih baik.

Dalam hubungannya dengan pembaharuan pendidikan Islam akan memberi


pengertian bahwa pembaharuan sebagai suatu upaya melakukan proses perubahan
kurikulum, cara, metodologi, situasi dan pendidikan Islam dari yang tradisional
(ortodox) ke arah yang lebih rasional dan profesional sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu.

Mempelajari perbandingan konsep pendidikan Islam ialah untuk mengetahui


perbedaan-perbedaan kekuatan apa saja yang melahirkan bentuk-bentuk sistem
pendidikan yang berbeda-beda di dunia ini. Misalnya seperti perbandingan konsep
pendidikan Islam menurut antar tokoh, pastinya setiap tokoh memiliki ide pemikiran
masing-masing untuk membuat pendidikan Islam lebih maju dan berkembang. Setiap
tokoh pasti memiliki caranya sendiri dalam hal ini, seperti ide pemikiran konsep
pendidikan Islam dalam perspektif Muhammad ibn Abdul Wahab dengan Al-
Tahtawi.

Kata Kunci: Pembaharuan, Pendidikan, Ilmu Pengetahuan


THE CONCEPT OF ISLAMIC EDUCATION IN THE PERSPECTIVE OF
MUHAMMAD IBN ABDUL WAHAB AND AL-TAHTAWI

Abstract: the emergence of renewal in a place will always be closely related to the
progress of developing science and technology. Renewal can be interpreted as
anything that has not been understood, accepted, or implemented by the recipient of
renewal which is actually more an effort or effort to improve conditions both in terms
of methods, concepts and a series of methods, concept and a series of methods that
can be applied in order to deliver better human things.

In conjuction with the renewal of Islamic education it will give an


understanding that renewal is an effort to process the curriculum, methods,
methodologies, situations, and Islamic education from the traditional (orthodox)
towards a more rational and professional in line with the development of science an
technology at that time.

Studying the comparison of the concept of Islamic education is to find out


what differences in power give birth to different forms of educational systems in the
world. For example, such as the comparison of the concept of Islamic education
according to figures, of course each character has their own ideas to make Islamic
education more advanced and developing. Each character must have his own way in
this matter. Like the ideas of Muhammad ibn Abdul Wahab and Al-Tahtawi..

Keywords: Renewal, Education, Science

PENDAHULUAN

Problematika pendidikan Islam sebagaimana halnya pendidikan lainnya


merupakan persoalan besar yang senantiasa berada dalam proses dan tidak akan
pernah mencapai titik akhir. Oleh karena itu debat akademik mengenai pendidikan
Islam tidak akan pernah selesai dan tidak mungkin dielakkan (Mastuhu, 1992: 1)
Gerakan wahabi didirikan pada abad ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul
Wahab (1703-1792) dari Najd, Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahab mengampanyekan
usaha memberantas praktik-praktik yang dilakukan umat Islam yang dianggapnya
bid’ah. Gerakan wahabi salafi berpusat di Arab Saudi. Dan didanai oleh pemerintah
Arab Saudi. Gerakan Wahabi berkembang ke luar Arab Saudi karena dibawa oleh
para sarjana lulusan sejumlah perguruan tinggi di Arab Saudi atau universitas di luar
Arab Saudi yang mendapat bantuan finansial dan/ tenaga pengajar dari Arab Saudi
seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab) yang merupakan
cabang dari universitas Muhammad Ibnu Su’ud yang berada di Riyadh Arab Saudi
(A. Fatih Syuhud: 82)

Al-Tahtawi adalah pembawa pemikiran pembaharuan yang besar


pengaruhnya di pertengahan pertama dari abad ke Sembilan belas di Mesir. Dalam
gerakan pembaharuan Muhammad Ali Pasya, At-Tahtawi turut memainkan peranan.
Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan,
dan meninggal di kairo pada tahun 1873. Ketika Muhammad Ali mengambil alih
seluruh kekayaan yang dikuasai itu, ia terpaksa belajar di masa kecilnya dengan
bantuan keluarga dari ibunya. Ketika berumur 16 tahun ia pergi ke Kairo untuk
belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia selesai dari studinya di al-
Azhar pada tahun 1922.

METODE

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena tujuan


penelitian ini hendak mendeskripsikan tentan konsep pendidikan Islam dalam
perspektif Muhammad ibn Abdul Wahab dan Al-Tahtawi. Penelitian ini
menggunakan metode historis / sejarah ialah studi tentang masa lalu dengan
menggunakan paparan dan penjelasan. Metode historis ialah metode yang bertujuan
untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan
mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan mensintesis bukti untuk menetapkan
fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan dan dalam hubungan hipotesis
tertentu.

Ciri khas penelitian historis ialah periode waktu: kegiatan, peristiwa,


karakteristik, dan nilai-nilai dikaji dalam konteks waktu. Contoh penelitian ini
misalnya: “Peran Penting Para Tokoh dalam Sosiologi Pendidikan”.

PEMBAHASAN
Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Muhammad ibn Abdul Wahab.
Muhammad Bin Abdul Wahab lahir di Uyainah, Najd, dari keluarga faqih,
baik teolog maupun qadi’ (hakim) yang terhormat, ayahnya sebagai guru pribadinya
beliau mempelajari faqih Hanbali, dan membaca karya-karya klasik tentang tafsir,
hadist dan tauhid (Syamsuez Salihima, 2013: 161)
Ajaran wahabiyah adalah suatu gerakan keagaamaan, kadang disebut sebagai
paham wahabi, didirikan atas dasar ajaran Nabi Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-
1791, Beliau banyak menulis berbagai subyek keislaman, seperti teologi, tafsir,
hukum Islam dan kehidupan Nabi Muhammad SAW, menekankan ajarannya pada
tauhid (keesaan Allah), tawassul (perantara), ziarah kubur, takfir, Bid’ah, ijtihad dan
taklid.
Tema pokok ajarannya adalah tauhid karena beliau memandang tauhid
sebagai Islam itu sendiri. Beliau berpendapat keesaan Allah diwahyukan dalam tiga
bentuk, yaitu: Pertama. Tauhid Rububiyah, penegasan keesaan Tuhan dan tindakan-
Nya, Tuhan sendiri adalah pencipta, penyedia, dan penentu alam semesta.
Kedua. Tauhid al-Asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifatnya), yang
berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit,
semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang ada di bawah
tanah. (QS. Thaha ayat 6, surah 20)
Ketiga, Tauhid al-Ilahiyah: menjelaskan hanya tuhan yang berhak disembah.
Penegasan “Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad sebagai utusanNya”
berarti bahwa semua bentuk ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada
Tuhan: Muhammad tidak untuk disembah tetapi sebagai Nabi, beliau seharusnya
dipatuhi dan diikuti (Syamsuez Salihima, 2013: 122)
Muhammad ibn Abdul Wahab nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn
Abdul Wahab ibn Sulaiman-al Tamimiy. Ia dilahirkan pada tahun 1115H/1703 M. Di
Al-Uyainat daerah Najd Saudi Arabia. Ia mulai belajar agama pada ayahnya sendiri.
Kemudian menuntut ilmu ke Madinah dan berguru kepada beberapa Syaikh di
antaranya Syaikh Sulaiman Al-Khurdi. Muhammad Al-Hayyat Al-Sind, Abdullah ibn
Ibrahim, Syaikh Ali Affandy Al-Dagistani Muhammad ibn Abdul Wahab yang
dikenal dengan gerakan wahabiyah. Gerakan tersebut lahir bukan sebagai kemajuan
barat, tetapi sebagai reaksi terhadap paham tauhid mereka telah dirusak oleh
kebiasaan-kebiasaan yang timbul di bawah pengaruh tarekat-tarekat seperti pujaan
dari kepatuhan yang berlebihan pada syaikh-syaikh tarekat, ziarah ke kuburan-
kuburan wali dengan maksud meminta syafa’at atau pertolongan dari mereka dan
sebaginya.
Istilah Wahabi sebenarnya diberikan oleh musuh-musuh aliran ini. Pengikut
Muhammad ibn Abdul Wahab menyebut diri mereka dengan nama Al-Muslimun atau
Muwahhidun, yang berarti pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah
SWT. Mereka juga menyebut diri mereka sebagai Mazhab Hanbali atau ahl as-salaf
(Maunah, dkk. 2005: 78)
Timbulnya gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari keadaan politik, perilaku
keagamaan, dan sosial ekonomi umat Islam berada dalam keadaan yang lemah. Turki
Usmani (Kerajaan Ottoman) yang menjadi penguasa tunggal Islam saat itu sedang
mengalami kemunduran dalam segala bidang. Banyak, daerah kekuasaannya yang
melepaskan diri, terutama daerah-daerah di dalam daratan Eropa. Kelemahan ini
menyebabkan timbulnya emirat-emirat kecil yang berusaha menguasai daerah-daerah
tertentu.
Selain kelemahan politik perilaku keagamaan umat saat itu merupakan faktor
yang paling mendorong munculnya gerakan Wahabi. Pada umumnya terutama di
semenanjung Arabia, telah terjadi distorsi pemahaman al-Qur’an. Semangat keilmuan
yang meramaikan zaman klasik telah pudar dan digantikan dengan sikap fatalis dan
kecenderungan mistis (Binti Maunah, 2018: 215-216)
Menurut Wahabi, tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Telah
diselubungi khurafat dan faham kesufian. Masjid-masjid banyak ditinggalkan karena
orang lebih cenderung menghiasi diri dengan zimat, penangkal penyakit, dan tasbih.
Mereka belajar pada seorang fakir atau darwis serta memuja mereka sebagai orang-
orang suci dan sebagai perantara Tuhan. Dalam, keyakinan mereka, Tuhan terlalu
jauh untuk dicapai manusia melalui pemujaan langsung, maka tidak hanya pada guru
yang masih hidup, kepada yang sudah matipun mereka memohon perantara. Sebagian
umat telah meninggalkan akhlak yang diajarkan Al-Qur’an bahkan banyak yang
sudah tidak menghiraukan lagi. Kota Makkah dan Madinah telah menjadi tempat
yang penuh penyimpangan akidah, sementara ibadah haji sudah menjadi amalan yang
dilecehkan dan ringan.
Menurut Muhammad ibn Abdul Wahab, Kebiasaan-kebiasaan itu
mengandung syirik atau politisme yang harus diberantas. Semua itu adalah bid’ah
(sesuatu yang asing) yang dibawa orang luar masuk ke dalam Islam. Bid’ah itu mesti
dibuang dan orang harus kembali kepada tauhid Islam yang sebenarnya. Bid’ah
masuk sesudah zaman salaf (sesudah zaman Nabi Muhammad Saw. Para sahabat,
imam-imam dan ulama-ulama besar. Mereka disebut salaf dalam Islam. Untuk
memurnikan Islam, semua bid’ah harus dibuang.
Ada dua inti ajaran Wahabi; pertama, kembali kepada ajaran yang asli,
maksudnya adalah ajaran Islam yang dianut dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad
Saw. Sahabat dan para tabi’iin; dan kedua, prinsip yang berhubungan dengan tauhid.
Pada dua inti ajaran tersebut Muhammad ibn Abdul Wahab memusatkan
pemikirannya pada masalah tauhid. Ia berpendapat sebagai berikut:
a. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah dan orang yang
menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh
dibunuh.
b. Orang Islam yang meminta pertolongan kepada syaikh, wali atau
kekuatan gaib, telah menjadi musyrik dan bukan lagi penganut
paham tauhid yang murni.
c. Menyebut nama nabi, syaikh atau malaikat sebagai perantara
dalam doa adalah syirik.
d. Meminta syafaat selain Kepada Allah, syirik.
e. Bernazar kepada selain Allah, syirik.
f. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-Qur’an, hadits dan Qiyas
merupakan kekufuran.
g. Tidak percaya kepada Qada dan Qadar Tuhan merupakan
kekufuran.
h. Menafsirkan Al-Qur’an dengan takwil atau interpretasi bebas
adalah kufur (Nasution, 1982: 24-25)
Hasil gerakan Wahabi sangat luas jangkauan pengaruhnya. Pada tahap
pertama ia menggoncangkan kesadaran Umat Muslim. Ketegasan diperlihatkan tidak
hanya terdapat penyembahan wali, tetapi juga peribadatan-peribadatan dan mazhab
ortodok yang diterima umat. Dengan pernyataan bahwa mereka telah mengingkari
ajaran Islam trensendental yang murni dan melepaskan status mereka sebagai orang
yang benar-benar mukmin.
Gerakan Muhammad ibn Abdul Wahab pada abak ke 18 M, lebih tepat
dikatakan sebagai gerakan pemurnian Islam yang secara keras untuk memberantas
bid’ah, kurafat dalam pengamalan Islam. Atau dalam bahasa lain, ia ingin
menyembuhkan borok-borok yang diderita oleh umat Islam, karena dalam pemikiran
dan usahanya hanya terbatas dalam mengembalikan tauhid yang murni dan ibadah
yang benar sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Sahabat-sahabatnya
dan para thabiin. Oleh karena itu, Muhammad ibn Abdul Wahab oleh Iqbal dikatakan
sebagai “pembaharupuritan agung.”
Gerakan Abdul Wahab ini dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah yang menganut
Mazhab hambali. Hanya disayangkan gerakan tersebut sangat keras sekali tanpa
mengenal toleransi atau tanpa kompromi, sehingga menimbulkan kemarahan rakyat.
Seharusnya dalam gerakannya tersebut menggunakan strategi dakwah bilhikmah
sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an surat An-Nahl ayat 125 (Ajaklah manusia
kepada jalan Tuhanmu berdasarkan kebijaksanaan dan tutur kata yang baik dan
ajaklah mereka berdiskusi dengan cara yang paling baik).
Pada ayat tersebut terdapat tiga prinsip bagi pelaksanaan dak’wah yaitu:
a. Kebijaksaan yang baik, yaitu suatu kebijaksanaan yang diambil
berdasarkan atas pertimbangan yang matang berlandaskan pada
informasi tentang hakikat kehidupan psikologi manusia sebagai
objek da’wah. Informasi tersebut merupakan bahan pengetahuan
yang secara objektif menggambarkan tentang keseluruhan
kehidupan manusia dalam segala dimensi dan aspeknya menurut
situasi dan kondisi yang melingkupinya.
b. Perilaku yang dinyatakan dalam bentuk penasihatan atau ajakan
serta keterangan-keterangan yang disampaikan dengan metode
yang cukup baik dilihat dari segi kedayagunaan psikologis
manusia.
c. Sistem penyampaian secara tatap muka antar pribadi atau antar
kelompok yang dilakukan secara tertib dan berlangsung secara
konsisten atas dasar pendekatan pendekatan psikologis.
Firman Allah tersebut memerintahkan pada kita agar melakukan dakwah yang
dilandasi dengan suatu kebijaksanaan dan penyampaian dengan lisan yang menarik
serta dengan melalui diskusi atau dialog yang berlangsung sebaik mungkin. Atas
dasar metode yang baik, maka misi dakwah akan diterima dengan sadar dan sukarela
oleh manusia yang dijadikan objek dakwah tanpa harus mengggunakan kekerasan
(Maunah, dkk., 2005: 82-83)
Mengenai pendapat Muhammad ibn Wahab yang menyatakan memperoleh
pengetahuan selain dari al-Qur’an, Hadits dan Qiyas merupakan kekufuran,
merupakan pemikiran yang kurang tepat. Sebab, dalam Islam anjuran untuk menuntut
ilmu itu dimulai dari ayunan sampai liang lahat dan mengenai tempatnya tidak hanya
di negara-negara Islam, tetapi dapat ke negara-negara manapun termasuk non-Islam,
seperti Cina, Amerika dan lain-lain, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi Muhammad
SAW. “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.”
Pernyataan Nabi Muhammad Saw tersebut mengandung maksud bahwa
menuntut ilmu itu dapat dilakukan di mana saja, karena negeri Cina di masa Nabi
Muhammad Saw. Merupakan negeri yang paling jauh dan negeri Cina bukan
merupakan negeri agama melainkan negeri industry seperti kain sutra, porselin dan
lain-lain. Bila kita simak maksud hadits tersebut Nabi Muhammad Saw.
Memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu dunia sehingga mencapai
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Dalam surat Yunus ayat 101 disebutkan: “perhatikan (pelajarilah) apa-apa
yang ada di langit dan di bumi….”. Ayat tersebut tegas memerintahkan manusia
untuk memperhatikan apa-apa yang ada di langit, seperti matahari, bulan, bintang,
guna menyadarkan manusia dan mengetahui bahwa semua itu merupakan ciptaan
Allah SWT. Selain itu juga manusia harus memperhatikan apa-apa yang ada di bumi,
seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, benda-benda yang ada di dalam tanah, seperti
emas, perak, batu bara, benda-benda yang ada di laut seperti ikan, mutiara dan lain-
lainnya. Ringkasnya, ayat tersebut memerintahkan manusia untuk mempelajari
beraneka macam ilmu pengetahuan untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan
di bumi karena tanpa ilmu pengetahuan, manusia tidak dapat memperhatikan apa
yang ada di langit dan di bumi.
Atas dasar pemikirannya tersebut, hal yang wajar jika para pakar menyatakan
bahwa gerakan wahabisme tidak dapat dipertimbangkan sebagai gerakan modernisme
dalam Islam dan dinyatakan sebagai anti intelektual sekalipun ia menghimbau ijtihad.

Percaya pada Qada dan Qadar merupakan suatu keharusan karena semua
ikhtiar kita pada akhirnya akan kembali pada ketentuan Tuhan. Misalnya mengenai
ajal manusia, sekeras apapun usaha kita untuk mengobati penyakit tapi jika Allah
menentukan lain atau diluar batas kemampuan manusia, maka kita harus menerima
dengan lapang dada karena itu sudah merupakan ketentuan Tuhan. Sebagai manusia,
kita harus terus berusaha semaksimal mungkin. Mengenai Qada dan Qadar terdapat
suatu golongan menjadikannya sebagai rukun iman yang keenam, selama
pemahamannya tersebut benar tidak menjadi persoalan, sebab apabila terjadi
kekeliruan terhadap pemahaman Qada dan Qadar akan mengakibatkan umat Islam
berpaham fatalism atau statis karena semua kehidupannya sudah ditentukan oleh
Tuhan. Hal ini akan menyebabkan kemunduran bagi umat Islam, sedangkan dalam
Islam umat harus dinamis untuk mencapai kemajuan. Allah telah menegaskan dalam
al-Qur’an, “tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau hambanya apabila kaum
atau hambanya itu tidak mengubahnya sendiri.” (QS. al-Rad: 13) (Binti Maunah,
2018: 216-222)

Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Al Tahtawi.


Al-Tahtawi dilahirkan pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di
Mesir bagian selatan. Ia berasal dari keluarga ekonomi lemah. Harta kekayaan orang
tuanya termasuk dalam kekayaan Mesir yang diambil oleh Muhammad Ali pada masa
kekuasannya. Di masa kecilnya, Al-Tahtawi terpaksa belajar dengan bantuan dari
keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun, ia memperoleh kesempatan belajar di Al-
Azhar Kairo. Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar
disana selama 2 tahun, kemudian di angkat menjadi imam tentara pada tahun 1824
(Binti Maunah, 2018: 222)
Rifa’ah Tahtawi merupakan seorang ulama al-Azhar yang ditunjuk sebagai
imam dan mahasiswa di Paris, Perancis. Menurut John W. Livington dalam Western
Science and Educational Reform in the Tought of Syaykh Rifa’a al-Tahtawi, Tahtawi
merupakan ulama pertama yang membuka diri terhadap pengetahuan barat. Bahkan,
ia lebih banyak menggunakan waktu untuk belajar daripada menjadi imam. Selama di
Paris ia belajar beberapa disiplin ilmu pengetahuan, sejarah, ilmu politik, dan lain-
lain dari sejumlah guru besar, antara lain: Caussin de Percival, Sylvestre de Sacy, dan
E. F. Jomard. Pengalamannya yang begitu luas tentang Perancis dituangkan di dalam
bukunya, Takhlis al-Ibriz fi Takhlis Bariz (Zuhairi Misrawi, 2010: 4)
Ide-ide Al-Tahtawi adalah sebagai berikut:
a. Pembaruan Bidang Agama
Ide pembaruan bidang dalam bidang keagaaman terdiri dari
pentingnya kehidupan duniawi, pintu ijtihad masih terbuka perlunya
pengembangan syariat dan bekal pengetahuan modern bagi para
ulama, reinterpretasi paham Qada dan Qadari agar tidak mengarah
kepada fatalism. Menurut Al-Tahtawi, manusia mempunyai dua
tujuan, Pertama, menjalankan perintah Tuhan dan mencari
kesejahteraan dunia. Kesejahteraan dapat diperoleh dengan berpegang
pada sendi-sendi agama. Budi pekerti luhur dan kemajuan ekonomi
Islam pada masa itu tidak mementingkan kehidupan dunia. Kedua,
syariat harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi yang modern.
Menurutnya, prinsip dan syariat tidak bertentangan dengan
kebanyakan hukum Islam. Qada dan Qadar Tuhan, tetapi harus
berusaha terlebih dahulu, baru berserah diri kepada Tuhan. Mengenai
soal fatalism Al-Tahtawi bependapat manusia tidak boleh berserah dan
mengembalikan segala-segalanya kepada Allah.
b. Pembaruan Bidang Ekonomi
Ide pembaruan dalam bidang ekonomi diantaranya
pembangunan bidang ekonomi harus mengakar pada potensi sendiri.
Mengingat ekonomi Mesir tergantung dalam bidang pertanian, maka ia
menghendaki agara bidang pertanian mendapat prioritas untuk
dikembangkan.
c. Pembaharuan Bidang Pemerintahan
Ide pembaharuan dalam bidang pemerintahan termasuk bidang
kenegaraan ia menyatakan bahwa di suatu negara terdiri dari empat
golongan, yaitu raja, kaum ulama, dan ahli-ahli, tentara dan kaum
produsen. Dan golongan pertama adalah golongan pemerintah dan dua
golongan lainnya adalah golongan rakyat yang harus patuh dan setia
kepada pemerintah. Raja mempunyai kekuasaan eksekutif mutlak,
tetapi harus dibatasi oleh syariat dan syura dengan para ulama. Raja
harus menghormati ulama dan memandang mereka sebagai mitra
dalam menjalankan pemerintahan.
Ide-ide pembaharuan Al-Tahtawi ini menyentuh berbagai
bidang kehidupan masyarakat seperti bidang politik, ekonomi,
pendidikan dan keagamaan. Di bidang keagaaman ide yang
dilontarkan sangat sejalan dengan maksud ayat Al-Qur’an yang
menyatakan, sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum atau hamba sebelum mereka mengubahnya sendiri. Hal ini
relevan dengan ciri ajaran Islam yang menekankan keseimbangan
antara persoalan duniawi dan ukhrawi, sebab dalam Islam bukan
hanya mementingkan soal ukhrawi semata, tetapi juga soal hidup di
dunia sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Qashash: 77`
Berdasarkan ayat tersebut umat Islam harus mementingkan
kehidupan duniawi dan ukhrawi dan tidak boleh hanya satu kehidupan
duniawi semata atau ukhrawi semata.
Mengenai syariat yang harus disesuaikan dengan
perkembangan modern, merupakan suatu pemikiran yang cemerlang
agar Islam dapat menjawab tantangan zaman. Oleh sebab itu, umat
Islam tidak tertinggal dalam kemajuan zaman dengan alasan bahwa
syariat memang harus senantiasa diperbarui terus menerus sesuai
dengan tuntutan ruang dan waktu. Sebab, dalam kondisi
perkembangan zaman yang bagaimanapun Islam harus memberikan
jawaban.
Mengenai pemikirannnya dalam bidang politik yang
menyatakan bahwa kekuasaan absholut raja harus dibatasi oleh syariat,
dan raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum terpelajar
seperti dokter, ekonom, teknokrat dan lain sebagainya. Pemikirannya
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kekuasaan politik yang
digariskan dalam Al-Qur’an diantaranya dalam QS. al-Nisa’: 58-59,
dan kandungan QS. Al-Hajj: 4), menyatakan bahwa dalam rangka
melaksanakan tugas-tugasnya para penguasa dituntut untuk selalu
melakukan musyawarah, yakni bertukar pikiran dengan siapa yang
dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua. Mengenai
raja harus dibatasi dengan syariat. Hal itu langkah yang terbaik karena
raja sebagai manusia biasa yang di dalam diri pribadinya terdapat sifat
keserakahan kezaliman, lupa atau khilaf. Untuk menghindari
terjadinya keserakahan dan kezaliman seorang raja, maka kekuasaanya
harus dibatasi dengan syariat hukum, sehingga dalam melaksanakan
kekuasaannya seorang raja berpedoman pada syariat yang digariskan.
d. Dalam Bidang Ekonomi
Mengenai pemikiran dalam bidang ekonomi, seharusnya tidak
hanya terfokus pada bidang pertanian semata, walaupun negaranya
agraris, tetapi harus terfokus pada bidang industri yang mengolah
hasil-hasil pertanian, khususnya dan industri lain pada umumnya, agar
negaranya tidak tergantung pada negara lain atau tidak mudah
diombang-ambingkan atau di dekte oleh negara lain. Saat negaranya
memerlukan barang hasil industry, maka dalam bidang ekonomi
sebagai upaya pemenuhan kebutuhan negaranya harus percaya pada
kemampuan diri sendiri.
e. Dalam Bidang Pendidikan
Mengenai pembaharuan bidang pendidikan yang diterapkan
bersifat universal, yaitu dengan tidak membeda-bedakan antara laki-
laki dan perempuan, hal itu merupakan suatu pemikiran yang tepat.
Sebab, dalam Islam antara laki-laki dan wanita mempunyai kedudukan
yang sama dihadapan Tuhan, yang berbeda dihadapan Tuhan hanyalah
iman dan taqwanya seseorang. Pembaruan pendidikan yang
dimaksudkan agar umat Islam bersifat dinamis dan meninggalkan sifat
statis. Jika, pejabat atau petugas administrasi mempunyai pendidikan
yang baik, sungguh suatu pemikiran yang cemerlang untuk
mempersiapkan para aparat yang professional dalam melaksanakan
tugasnya.
Para ulama telah sepakat bahwa mencari ilmu itu wajib bagi
setiap Muslim dan Muslimah, ada yang fardu ‘ain da nada yang fardu
kifayah. Fardu ain adalah menuntut ilmu yang menjadi keharusan
untuk memahami agamanya, baik akidah maupun perilaku (akhlak)
dan juga profesi duniawi, sehingga dapat mencukupi kebutuhan
umatnya. Adapun yang fardu kifayah adalah ilmu yang mendukung
tegaknya agama dan dunia bagi umat Islam dan umat manusia pada
umumnya, yaitu ilmu agama dan ilmu pengetahuan duniawi.

Ide-ide pembaharuan pemikiran Al-Tahtawi di Mesir


selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh pembaruan seperti
Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Oleh
sebab itu, tidaklah berlebihan bila Al-Tahtawi dinyatakan sebagai
pelopor pembaruan pemikiran di Mesir (Binti Maunah, 2018: 223-
227)
Salah satu jalan untuk mencapai kesejahteraan menurut Al-
Tahtawi ialah berpegang teguh pada agama dan budi pekerti yang
baik. Kunci untuk itu adalah pendidikan. Oleh karena itu tujuan
pendidikan hendaknya diarahkan kepada pendidikan hendaknya
diarahkan kepada pendidikan kepribadian, dan buka semata-mata
memompakan pengetahuan.
Tujuan pendidikan hendaknya mementingkan pendidikan
jasmani, kesejahteraan keluarga, menanamkan rasa persahabatan ; dan
diatas itu semua, menanamkan ‘patriotisme’, hub al-wattan, suatu
motif pokok yang sanggup membina mengarahkan rakyat untuk
membangun masyarakat yang berperadaban.
Mengajar, demikian Al-Tahtawi, harus dihubungkan dengan
problema-problema masyarakat dan menanamkan pengertian-
pengertian yang bersangkutan dengan panggilan tanah air.

Pendidikan dasar mesti bersifat universal, merata dan sama


untuk semua golongan. Didikan menengah harus berkwalitas tinggi,
dan anak-anak perempuan harus menerima didikan sama dengan anak
laki-laki (Supardjo: 68)

Perbandingan Perbandingan Ide Pemikiran Muhammad ibn Abdul


Wahab dan Al-Tahtawi

Muhammad ibn Abdul Wahab Al-Tahtawi


Inti dari ajaran wahabi adalah kembali Mengenai pembaharuan bidang
kepada ajaran yang asli, maksudnya pendidikan, yang diterapkan bersifat
adalah ajaran Islam yang dianut dan universal, yaitu dengan tidak
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad membeda-bedakan antara laki-laki dan
SAW, sahabat, serta para tabi’in. dan, perempuan, hal itu merupakan suatu
prinsip yang berhubungan dengan tauhid. pemikiran yang tepat. Sebab, dalam
Pada dua inti ajaran tersebut Muhammad Islam antara laki-laki dan perempuan
ibn Abdul Wahab memusatkan sama dihadapan Tuhan. Yang berbeda
pemikirannya pada masalah tauhid. dihadapan Tuhan adalah iman dan
Gerakan Muhammad ibn Abdul Wahab taqwanya seseorang.
dikenal sebagai gerakan pemurnian Islam
secara keras untuk memberantas bid’ah,
kurafat, dalam pengamalan Islam.
Bahkan, aliran ini tidak segan untuk
membunuh seseorang jika seseorang
tersebut menyembah selain Allah
Subhanahu Wa Ta’ala

KESIMPULAN
1. Inti ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab adalah memusatkan
pemikirinnya pada masalah tauhid. Gerakan Muhammad ibn Abdul
Wahab dikenal sebagai gerakan pemurnian Islam secara keras untuk
memberantas bid’ah, kurafat dalam pengamalan Islam. Bahkan aliran ini
tidak segan untuk membunuh seseorang jika seseorang tersebut
menyembah selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
2. Ide pemikiran Al-Tahtawi mengenai pembaharuan bidang pendidikan
bersifat universal, tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Pendidikan bersifat merata dan sama untuk semua golongan.
3. Perbandingan ide pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab dan Al-
Tahtawi cukup berbeda. Wahabi menggunakan cara yang keras untuk
menegakkan pemikirannya, sedangkan Al-Tahtawi memiliki cara yang
lebih fleksibel untuk pembaharuan pada bidang pendidikan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Dalam menyelesaikan naskah jurnal ini, penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Hj.
Binti Maunah, M.Pd.I, selaku dosen mata kuliah Perbandingan Pendidikan Islam
IAIN Tulungagung yang telah memberikan kepada penulis untuk melaksanakan studi
literatur mandiri. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan ini sehingga penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusun
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak kekurangan.
Untuk itu, kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
penulisan berikutnya. Semoga jurnal ini bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Maunah, Binti. 2018. Perbandingan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kalimedia
Misrawi, Zuhairi. 2010. AL-AZHAR. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Syamsuez Salihima. 2013. Konsep Pembaharuan Muhammad Bin Abdul Wahab.
Rihlah. 1(1): 161

Anda mungkin juga menyukai