Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN MENOPAUSE

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Desmawati, M.Kep., SpMat., Ph.D

Disusun oleh :

Nurul Hidayah 1910711011

Sekar Wijayanti 1910711040

Endah Dwi Cahyani 1910711044

Apriliyanti Nur Hajriah K 1910711056

Angga Bhakti Samudra 1910711067

Bayu Sri Ramadhan 1910711069

Luthfi Sari Wibowo 1910711071

Aisyah Nur Fadhillah 1910711073

Putri Widiana Puspitasari 1910711076

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

1
2021

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
Karunia-Nya, kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini tepat waktu. Sholawat serta salam
kami curahkan pada Nabi besar kita, baginda Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Klien dengan Menopause” disusun dan ditulis
dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Maternitas II. Makalah ini akan
membahas mengenai asuhan keperawatan pada ibu dengan distosia. Izinkan kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan
makalah ini sehingga kami bisa menyeselasikan dengan sebaik-baiknya.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna karena sejatinya kesempurnaan hanya
milik Allah SWT dan kami menyadari bahwa makalah kami masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
pembaca.

Jakarta, 14 Maret 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................3
DAFTAR ISI........................................................................................................................................4
BAB 1....................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN................................................................................................................................5
A. Latar Belakang........................................................................................................................5
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................6
C. Tujuan......................................................................................................................................6
BAB II..................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN...................................................................................................................................7
1. Pengertian................................................................................................................................7
2. Prevalensi.................................................................................................................................8
3. Prognosis..................................................................................................................................9
4. Etiologi......................................................................................................................................9
5. Tanda gejala...........................................................................................................................10
6. Patofisiologi............................................................................................................................12
7. Pemeriksaan penunjang........................................................................................................13
8. Pengobatan.............................................................................................................................13
9. Komplikasi.............................................................................................................................15
10. Asuhan keperawatan.........................................................................................................20
BAB III...............................................................................................................................................23
KESIMPULAN..................................................................................................................................23
A. Kesimpulan............................................................................................................................23
B. Saran.......................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................24

4
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada era globalisasi kesehtan reproduksi seolah menjadi komoditi bagi penyedia layanan
kesehatan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi baik dari kesehatan reproduksi
bayi, remaja, dewasa, saat hamil, bersalin, nifas sampai lansia. Kesehatan reproduksi
memiliki cakuoan yang luas seperti pada saat menacarche sampai dengan saat menopause.
Banyak wanita yang merasa tidak dan gelisah ketika menopause datang (Nursyi, Ilafi
Rumaisya,2018.)

Untuk sebahagian wanita memasuki usia 50 tahun dan menjadi tua seringkali menjadi
momok yang menakutkan. Kekhawatiran ini berawal dari pemikiran bahwa dirinya akan
menjadi tidak sehat, tidak bugar, dan tidak cantik lagi, kondisi tersebut memang tidak
menyenangkan dan menyakitkan. Padahal, masa tua dan menopause merupakan salah satu
tahap yang harus dijalani seorang wanita dalam kehidupannya. Seperti halnya tahap-tahap
kehidupan yang lain, yaitu masa anak-anak dan masa reproduksi. Namun munculnya rasa
kekhawatiran yang berlebihan itu menyebabkan mereka sangat sulit menjalani masa ini
(Kronenberg, 2016 dalam Kartini, 2020).

Menopause merupakan salah satu tahapan kehidupan yang pasti akan dialami oleh semua
wanita. Menopause merupakan periode peralihan dari masa subur menuju masa tua. Usia
terjadinya menopause pada wanita berbeda-beda. Usia menopause pada wanita di Amerika
Latin yaitu 43,8 hingga 53 tahun, Amerika Utara yaitu 50,5 hingga 51,4 tahun, Eropa yaitu
50,1 hingga 52,8 tahun. Usia menopause di Asia yaitu 42,1 hingga 49,5 tahun. Usia
menopause di Indonesia yaitu 49,98 tahun (Rosenthal, 2017 dalam Kartini 2020).

Proses kehidupan wanita mengalami pertumbuhan dan perkembangan, pertumbuhan dan


perkembangan tersebut akan menyebabkan banyak perubahan pada fungsi tubuh wanita. Pra
menopause terjadi sebelum wanita mengalami menopause, pada fase pra menopause terjadi
peralihan dari masa subur menuju anovulatoir . Masalah yang sering muncul, berkurangnya

5
kesuburan, resiko terjadinya osteoporosis, dan munculnya sindrom pra menopause. Gejala
semakin serius jika tidak ditangani, karena dapat menimbulkan perubahan yang
menyebabkan kecemasan pada wanita pra menopause.

Menurut World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa prevalensi sindrom


diseluruh dunia sebesar 70–80%, di Eropa 60%, di Amerika 57%, di Malaysia 18%, di Cina
dan 10% di Jepang dan Indonesia 40%. Gejala yang dirasakan yaitu hot flashes 38%, sulit
tidur 37%, cepat lelah dalam bekerja 35%, sering lupa 33%, mudah tersinggung 26%, nyeri
pada sendi dan merasa sakit kepala yang berlebih (Saifuddin dkk, 2014 dalam Kartini,2020)

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan menopause?
2. Bagaimana prognosis dari menopause terjadi?
3. Bagaimana prevalensi dari kasus menopause?
4. Apa saja etiologi dari menopause?
5. Bagaimana patofisiologi menopause terjadi?
6. Apa saja tanda gejala yang ditimbulkan oleh penderita menopause?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis menopause?
8. Apa saja pengobatan yang dilakukan untuk menangani menopause?
9. Apa saja komplikasi dari menopause?
10. Bagaimana rencana asuhan keperawatan pada pasien menopause?
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian menopause
2. Menjelaskan prognosis menopause
3. Menjelaskan prevalensi menopause
4. Menyebutkan etiologi dari menopause
5. Menjelaskan pastofisiologi dari menopause
6. Menyebutkan tanda gejala dari menopause
7. Menjelaskan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis menopause
8. Menjelaskan pengobatan pada pasien dengan menopause
9. Menyebutkan komplikasi dari menopause
10. Menjelaskan rencana asuhan keperawatan pada pasien menopause

6
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian
Menopause adalah istilah yang digunakan ketika wanita berhenti menstruasi
secara permanen. Ini dapat didiagnosis setelah satu tahun tanpa menstruasi setelah
periode terakhir menstruasi. Menopause dapat terjadi secara alami, atau mungkin
terjadi karena kemoterapi , pembedahan, atau radiasi. Transisi menopause adalah
perkembangan dari ovarium yang berfungsi normal, sampai gagal. Ini mungkin
berlangsung beberapa tahun, dan awal transisi diidentifikasi oleh variasi panjang
siklus menstruasi (waktu antar periode).

Menopause yang diinduksi mengacu pada menopause yang disebabkan oleh


sesuatu selain proses alami. Misalnya, menstruasi dapat berhenti secara permanen

7
setelah operasi pengangkatan kedua ovarium (yaitu menopause bedah), atau
setelah prosedur seperti kemoterapi atau radioterapi merusak ovarium sehingga
tidak dapat berfungsi lagi.

Menopause memiliki beberapa tahap, yaitu:

a) Tahap awal
Tahap awal transisi menopause ditandai dengan siklus menstruasi yang
lebih dari 7 hari berbeda dengan lama normal (21-35 hari).
b) Tahap akhir
Tahap akhir ditandai dengan dua atau lebih siklus yang terlewat, dan
kurangnya menstruasi ( amenorea ) yang berlangsung selama 60 hari
atau lebih. Tahap akhir dari transisi menopause adalah periode ketika
gejala, akibat tubuh kekurangan estrogen, mulai terjadi.
c) Periode menstruasi terakhir
Mengacu pada fase penuaan di mana wanita melakukan transisi dari
keadaan reproduktif ke keadaan non-reproduktif dan tubuh mengalami
menstruasi terakhirnya sebelum masuk ke fase pasca menopause
d) Pasca menopause
Pasca menopause adalah waktu sejak periode menstruasi terakhir, dan
berlaku apakah menopause terjadi secara alami, atau karena operasi
atau intervensi lain. Pasca menopause juga dibagi menjadi dua tahap.
Pasca menopause dini mengacu pada lima tahun pertama setelah
periode menstruasi terakhir. Selama tahap ini, mungkin ada kehilangan
fungsi ovarium yang sedang berlangsung dan lengkap, dan kepadatan
(dan kekuatan) tulang wanita dengan cepat hilang karena kekurangan
estrogen. Terlambat pasca menopause dimulai 5 tahun setelah periode
mentruasi terakhir, dan berlanjut selama wanita tersebut hidup.

2. Prevalensi
Menurut (Sibagariang, 2010) menopause terjadi pada usia yang bervariatif,
terjadi rata-rata usia menopause 45-50 tahun. Sebagian besar wanita mulai
mengalami gejalanya pada usia 40-an dan puncaknya tercapai pada usia 50 tahun.
Kebanyakan mengalami gejala kurang dari 5 tahun dan sekitar 25% lebih dari 5

8
tahun. Pada tahun 2030, jumlah perempuan di seluruh dunia yang memasuki masa
menopause diperkirakan mencapai 1,2 miliar orang (WHO, 2014).
Di Indonesia, pada tahun 2025 diperkirakan akan ada 60 juta perempuan
menopause. Pada tahun 2016 saat ini di Indonesia 2 baru mencapai 14 juta
perempuan menopause atau 7,4 % dari total populasi yang ada. Angka harapan
hidup perempuan melonjak dari 40 tahun pada tahun 1930 menjadi 67 tahun pada
tahun 1998. Sementara perkiraan umur rata-rata usia menopause di Indonesia
adalah 48 tahun. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan jumlah perempuan
yang mengalami menopause semakin banyak (Profil Kesehatan Indonesia, 2014).
Menurut data terakhir WHO, di Indonesia dari populasi orang dewasa ada
sekitar 13,4% berat badan lebih (IMT >24,9) dan 2,4% obesitas (IMT≥30,0),
sedangkan dari populasi wanita sekitar 17,3% berat badan lebih dan 3,6%
obesitas. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018,
prevalensi penduduk berusia lebih dari 18 tahun yang mengalami obesitas
meningkat dari 14,8 persen menjadi 21,8 persen (Kemenkes RI, 2017).

3. Prognosis
Transisi menopause berakhir dengan menopause yang merupakan kemandulan
permanen dan hilangnya periode menstruasi. Meskipun sifat permanen dari
perubahan hormonal selama menopause, gejala seperti hot flushes hilang seiring
waktu, biasanya selama 3–5 tahun (meskipun bisa berlanjut selama beberapa
dekade pada beberapa wanita). Beberapa gejala seperti penipisan lapisan vagina
(atrofi genital) berlanjut selama periode pasca menopause, dan dapat memburuk
seiring berjalannya waktu. Karena kekurangan estrogen, wanita pasca menopause
berada pada peningkatan risiko jangka panjang untuk mengembangkan kondisi
seperti osteoporosis, penyakit kardiovaskular, inkontinensia urin ,infeksi saluran
kemih, dan prolaps genital.

4. Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia pada manusia menyebabkan penurunan
fungsi pada organ tubuh. Pada perempuan, menopause disebabkan oleh perubahan
fungsi fisiologis ovarium, dimana ovarium tersebut tidak lagi dapat menghasilkan
hormone esterogen dan progesterone yang cukup untuk menunjang siklus menstruasi,

9
Hal ini disebabkan oleh berkurangnya produksi folikel dan berkurangnya kemampuan
ovarium untuk mematangkan folikel tersebut sehingga tidak terjadi ovulasi. Jika
ovulasi tidak terjadi, maka korpus luteum tidak akan memproduksi progesteron pada
paruh kedua siklus. Akibatnya estrogen akan bekerja sendirian membentuk lapisan
endometrium tanpa diimbangi efek dari progesterone yang mengakibatkan tidak
terjadi menstruasi. Selain itu, bila ovulasi tidak terjadi mengakibatkan kadar estrogen
turun menjadi sangat rendah, sehingga lapisan endometrium tidak terstimulasi untuk
menyiapkan sel telur yang dibuahi. Hal ini juga berdampak pada tidak terjadinya
siklus menstruasi (Ismiati, 2010). Perubahan fungsi fisiologis ovarium seiring dengan
bertambahnya usia juga menyebabkan ovarium kurang sensitive terhadap rangsangan
hormone FSH dan LH yang juga menyebabkan penurunan hormone esterogen dan
progesterone. Tidak seimbangnya hormone pada wanita ini dimana kadar esterogen
terlalu sedikit dibandingkan FSH dan LH menyebabkan terganggunya kerja sistem
tubuh lainnya yang menimbulkan tanda dan gejala menopause.

5. Tanda gejala
1) Tanda dan Gejala Fase Pra menopause/Perimenopause
Pra menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita yang telah
memasuki proses penuaan (aging), yang ditandai dengan penurunan
kadar hormon estrogen dari ovarium yang berperan dalam hal
reproduksi dan seksualitas. Penurunan fungsi hormon dalam tubuh
akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi tubuh dan gejala-
gejala pra menopause akan mulai timbul.
Gejala-gejala yang dirasakan oleh wanita pra menopause
adalah: hot flushes, night sweat (berkeringat pada malam hari), dryness
vaginal (kekeringan pada vagina), penurunan daya ingat, insomnia
(susah tidur), depresi, cemas, fatigue (rasa lelah), penurunan libido,
drypareunia (rasa sakit ketika berhubungan seksual), dan inkontinensia
urin (Proverawati, 2010 dalam Aries Wahyuningsih, Erawati, Defri
Putri Arisandi, 2016).
Perubahan fisik dan hormonal yang terjadi akan mempengaruhi
keadaan psikologis seorang wanita. Tanda dan gejala psikologis dari
sindrom pra menopause adalah ingatan menurun, kecemasan, mudah
tersinggung, stres dan depresi (Mulyani, 2013 dalam Aries
Wahyuningsih, Erawati, Defri Putri Arisandi, 2016)
Menurut Marethiafani Fajriana, Siti Moetmainnah P.Merry
Tiyas A. 2013 pada jurnalnya, tanda dan gejala yang dialami pada fase
perimenopause adalah sebagai berikut :

10
1) Keluhan vasomotor berupa perasaan panas secara tiba-tiba di
daerah muka yang diikut dengan adanya keringat malam serta
masalah pada persendian.
2) Keluhan psikis berupa depresi, mudah lelah, cepat marah,
penurnan daya ingat dan konsentrasi.
3) Keluhan urogenital meliputi inkontinensia urin, dispareuni,
serta masalah seksual

2) Tanda dan Gejala Fase Pascamenopause


1) Gejala vasomotor
Gejala berlangsung selama 1-2 tahun setelah menopause pada
kebanyakan wanita, tetapi dapat berlanjut hingga 10 tahun atau lebih
pada wanita lain. Rasa panas memerah adalah alasan utama wanita
mencari perawatan saat menopause. Rasa panas memerah tidak hanya
mengganggu wanita saat bekerja dan mengganggu aktivitas sehari-hari,
tetapi juga mengganggu tidur.
2) Atrofi urogenital
Atrofi urogenital menyebabkan vagina kering dan pruritus,
dispareunia, disuria, dan urgensi buang air kecil. Masalah ini merespon
terapi yang dilakukan dengan baik.
3) Osteoporosis
Gejala muskuloskeletal yang ditandai dengan sakit punggung, patah
tulang pada trauma minimal, penurunan tinggi badan, dan mobilitas
sering terjadi karena osteoporosis. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi termasuk usia, ras Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga,
kerangka tubuh kecil, riwayat patah tulang sebelumnya, menopause
dini, dan ooforektomi sebelumnya. Faktor risiko yang dapat diubah
termasuk penurunan asupan kalsium dan vitamin D, merokok, dan
gaya hidup yang tidak banyak bergerak. Kondisi medis yang terkait
dengan peningkatan risiko osteoporosis termasuk anovulasi selama
tahun-tahun reproduksi (misalnya, akibat olahraga berlebihan atau
gangguan makan), hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, penyakit ginjal
kronis, dan penyakit yang memerlukan penggunaan kortikosteroid
sistemik.
4) Depresi
Studi tentang suasana hati selama menopause umumnya
mengungkapkan peningkatan risiko depresi selama perimenopause
dengan penurunan risiko selama tahun-tahun pascamenopause. The
Penn Ovarian Aging Study, sebuah studi kohort, menunjukkan gejala
depresi meningkat selama transisi menopause, dan menurun setelah
menopause.
5) Disfungsi kognitif
Masalah daya ingat merupakan keluhan umum pada wanita
perimenopause dan postmenopause baru-baru ini. Kesulitan kognitif
mungkin merupakan konsekuensi dari gangguan tidur akibat rasa panas

11
di malam hari atau akibat dari efek perubahan lingkungan hormonal di
daerah otak yang mempengaruhi kognisi.
6) Disfungsi seksual
Disfungsi seksual wanita setelah menopause adalah masalah kompleks
dengan banyak etiologi. Banyak wanita mengalami disfungsi seksual
selama menopause, meskipun kejadian dan penyebab pastinya tidak
diketahui. Disfungsi seksual mungkin melibatkan penurunan minat
atau keinginan untuk memulai aktivitas, serta penurunan gairah atau
kemampuan untuk mencapai orgasme selama hubungan seksual.
Penyebab disfungsi seksual seringkali multifaktorial, termasuk
masalah psikologis seperti depresi atau gangguan kecemasan, konflik
dalam hubungan, masalah yang berkaitan dengan pelecehan fisik atau
seksual sebelumnya, penggunaan obat-obatan, atau masalah fisik yang
membuat aktivitas seksual tidak nyaman, seperti endometriosis atau
atrofi. vaginitis.
7) Masalah gangguan tidur
Wanita dengan insomnia lebih mungkin dibandingkan yang lain untuk
melaporkan masalah seperti kecemasan, stres, ketegangan, dan gejala
depresi. Gangguan tidur selama menopause telah dikaitkan dengan
defisiensi estrogen, karena estrogen eksogen telah terbukti
memperbaiki tidur subjektif dan objektif, yang dikaitkan dengan
penurunan rasa panas. (Pronob K. Dalal & Manu Agarwal,2015)
6. Patofisiologi
Pada wanita menopause, hilangnya fungsi ovarium secara bertahap akan
menurunkan kemampuannya dalam menjawab rangsangan hormon-hormon
hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid. Saat dilahirkan, wanita mempunyai
kurang lebih 750.000 folikel primordial. Dengan meningkatnya usia jumlah
folikel tersebut akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah
folikel primordial menurun sampai 8300 buah, yang disebabkan oleh adanya
proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis yaitu proses folikel
primordial yang mati dan terhenti pertumbuhannya. Proses tersebut terjadi terus-
menerus selama kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun
fungsi ovarium menjadi sangat menurun. Apabila jumlah folikel mencapai jumlah
yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan hormon yang berakibat
terjadinya insufisiensi korpus luteum, siklus haid anovulatorik dan pada akhirnya
terjadi oligomenore (Speroff, 2005).
Perubahan-perubahan dalam sistem vaskularisasi ovarium sebagai akibat
proses penuaan dan terjadinya sklerosis pada sistem pembuluh darah ovarium
diperkirakan sebagai penyebab gangguan vaskularisasi ovarium. Apabila folikel
sudah tidak tersedia berarti wanita tersebut telah memasuki masa menopause.
Pada usia menopause berat ovarium tinggal setengah sampai sepertiga dari berat
sebelumnya. Terjadinya proses penuaan dan penurunan fungsi ovarium
menyebabkan ovarium tidak mampu menjawab rangsangan hipofisis untuk
menghasilkan hormon steroid (Speroff, 2005).

12
Ovarium pada saat menopause tidak lagi menghasilkan estradiol (E2)atau
inhibin dan progesteron dalam jumlah yang bermakna, dan estrogen hanya
dibentuk dalam jumlah kecil. Oleh karena itu, FSH (Folicle Stimulating Hormone)
dan LH (Luteinizing Hormone) tidak lagi dihambat oleh mekanisme umpan balik
negatif estrogen dan progesteron yang telah menurun dan sekresi FSH dan LH
menjadi meningkat dan FSH dan LH plasmameningkat ke tingkat yang tinggi.
Fluktuasi FSH dan LH serta berkurangnya kadar estrogen menyebabkan
munculnya tanda dan gejala menopause, antara lain rasa hangat yang menyebar
dari badan ke wajah (hot flashes), gangguan tidur, keringat di malam hari,
perubahan urogenital, osteopenia/ kepadatan tulang rendah, dan lain – lain (Lubis,
2011).
7. Pemeriksaan penunjang
Ada beberapa pemeriksaan yang harus dilakukan diantaranya:
1. Pap Smear, mengetahui adanya perubahan lapisan vagina akibat perubahan kadar
estrogen.
2. Pemeriksaan mikroskopik
3. Menghitung darah lengkap
4. USG panggul atau CT jika massa dipanggul teridentifikasi.
5. Pemeriksaan HCG, pada monopouse HCG akan negative(-)
6. Terapi HRT (Hormone Resplacement Teraphy), terhindar dari serangan osteoporosis,
menurunkan resiko penyakit jantung, mengurangi keluhan monopouse terutama panas
(hot flush), menghilangkan perasaan tak nyaman, menstabilkan emosi, membangkitkan
kembali libido, dan mempertajam daya ingat.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
a. Pap smear
b. Feses untuk melihat adanya darah samar
c. Pemeriksaan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan tingkat estrogen dengan tes
darah
d. Biopsi endomentrium: menyingkirkan dugaan hiperplasia dan kanker endomentrium
pada wanita pascamenopause yang mengalami perdarahan uterus
e. USG transvagina : mengevaluasi massa panggul dan perdarahan.

8. Pengobatan
Tidak semuan wanita pasca menopause perlu menjalani Terapi Sulih Hormon
(TSH). Setiap wanita sebaiknya mendiskusikan resiko dan keuntungan yang diperoleh
dari TSH dengan dokter pribadinya. Banyak ahli yang menganjurkan TSH dengan
tujuan untuk :
a. Mengurangi gejala menopause yang tidak diinginkan
b. Membantu mengurangi kekeringan pada vagina

13
c. Mencegah terjadinya osteoporosis

Beberapa efek samping dari TSH :

a. Perdarahan vagina
b. Nyeri payudara
c. Mual
d. Muntah
e. Perut kembung
f. Kram Rahim

Untuk mengurangi resiko dari TSH dan tetap mendapatkan kauntungan dari TSH,
para ahli menganjurkan :

a. Menambahkan progesterone terhadap estrogen


b. Menambahkan testosterone terhadap estrogen
c. Menggunakan dosis estrogen yang paling rendah
d. Melakukan pemeriksaan secara teratur, termasuk pemeriksaan panggul, dan
Pap smear sehingga kelainan bisa ditemukan sedini mungkin.

Estrogen tersedia dalam bentuk alami dan sintesis (dibuat di laboratorium).


Estrogen sintesis ratusan kali lebih kuat dibandingkan estrogen alami sehingga tidak
secara rutin diberikan kepada wanita menopause. Untuk mencegah hot flashes dan
osteoporosis hanya diperlukan estrogen alami dalam dosis yang sangat rendah. Dosis
tinggi cenderung menimbulkan masalah, diantaranya sakit kepala, migren. Estrogen
bisa diberikan dalam bentuk tablet atau tempelan kulit (estrogen transdermal).

Krim estrogen bisa dioleskan pada vagina untuk mencegah penipisan lapisan
vagina (sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi saluran kemih dan beser) dan
untuk mencegah timbulnya nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Wanita pasca
menopause yang mengkonsumsi estrogen tanpa progesterone memiliki resiko
menderita kanker endometrium. Rasiko ini berhubungan dengan dosis dan lamanya
pemakaian estrogen. Jika terjadi perdarahan abnormal dari vagina, dilakukan biopsy
lapisan rahim. Mengkonsumsi progesterone bersamaan dengan estrogen dapat
mengurangi resiko terjadinya kanker endometrium. Biasanya Terapi Sulih Hormon
estrogen tidak dilakukan pada wanita yang menderita :

14
a. Kanker payudara atau kanker endometrium stadium lanjut
b. Perdarahan kelamin dengan penyebab yang tidak pasti
c. Penyakit hati akut
d. Penyakit pembekuan darah darah Porfiria intermiten akut.

Kepada wanita tersebut biasanya diberikan obat anti-cemas, progesterone atau


klonidin untuk mengurangi hot flashes. Untuk mengurangi depresi, kecemasan,
mudah tersinggung, dan susah tidur bisa diberikan anti-depresi.

Penatalaksanaan pada wanita menopause menurut Indarti (2004) adalah :

1) Gizi Seimbang
Mengkonsumsi gizi seimbang antara lain dengan cara makan makanan yang
mengandung zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh dan dapat bermanfaat serta
dapat diolah oleh tubuh yaitu antara lain:
a) Protein
Untuk pertumbuhan, perbaikan sel-sel tubuh dan produksi enzim serta
hormon, karena ada 2 protein yaitu, protein nabati yang berasal dari
kacang-kacangan, serta protein hewani yang berasal dari hewan,
seperti daging, keju.
b) Kalsium
Untuk membantu penyerapan kalsium, menguatkan tulang dalam
tubuh. Contohnya keju, susu.
c) Vitamin
Sebagai petahanan atau sebagai daya tahan dan sebagian vitamin bagus
untuk menghaluskan kulit. Contohnya sayur-sayuran.
d) Zat besi
Untuk memproduksi sel darah merah. Contoh susu, brokoli.
2) Pengendalian Emosi
Untuk mengendalikan emosi pada wanita menopause dapat dilakukan dengan
cara olahraga rileks, seperti berjalan kaki atau naik sepeda. Ada 4 tips yang
dapat dilakukan untuk olahraga rileks:
a) Tarik nafas dalam-dalam dan keluarkan secara perlahan-lahan.

15
b) Berkeringat adalah hal yang baik, dengan berkeringat berarti tubuh
sedang bekerja keras, otot dan jantung dapat menerima rangsangan
secukupnya.
c) Jika belum merasa lelah dan tubuh menjadi lebih enak hendaknya
olahraga tersebut dilakukan setiap hari.
d) Lakukan pemanasan sebelum olahraga, dan lakukan pendinginan
setelah selesai olahraga (Indarti, 2004).

9. Komplikasi
a) Hubungan Menopause dengan Osteoporosis
Osteoporosis ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan
microarchitectural jaringan tulang, yang menyebabkan peningkatan
kerapuhan tulang dan peningkatan risiko terjadinya patah tulang bahkan
dengan sedikit atau tanpa trauma. Terjadinya kehilangan tulang belakang
dimulai pada usia 20-an, tetapi perubahan keseluruhan terjadi sampai usia
menopause. Kepadatan tulang femur berada pada puncak pada pertengahan
hingga akhir usia 20-an dan mulai menurun sekitar usia 30 tahun.
Ketika kadar estrogen menurun, remodeling tulang meningkat. Setiap unit
perbaikan dimulai oleh pelepasan osteoklas diikuti oleh pengisian osteoblast.
Estrogen memberikan sebuah penekanan tonik terhadap perbaikan
dan memelihara keseimbangan antara aktivitas osteoklastik dan osteoblastik,
dengan tidak adanya estrogen, aktivitas osteoklastik mendominasi, yang
berakibat pada resorbsi tulang.
b) Hubungan Menopause dengan Kardiovaskuler
Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu penyebab kematian pada
wanita, terhitung sekitar 45% dari angka mortalitas. Faktor risiko
nonmodifiable termasuk usia dan riwayat keluarga. Faktor risiko yang dapat
dimodifikasi termasuk merokok, obesitas, dan gaya hidup. Kondisi medis yang
terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung termasuk diabetes,
hipertensi, dan hiperkolesterolemia.
Pada wanita menopause HDL kolesterol adalah satu indikator untuk
terjadinya penyakit jantung koroner, dimana untuk setiap peningkatan 10
mg/dL risiko akan menurun sampai 50%. Trigeliserida juga merupakan
faktor risiko penting untuk penyakit jantung koroner, dimana terjadi
peningkatan penyakit jantung jika kadar trigeliserida meningkat dan kadar
HDL yang rendah. Banyak bukti yang mengatakan bahwa pengaruh
kardioprotektif dari terapi pengganti estrogen adalah pada kadar lipid serum.
Menopause adalah faktor risiko untuk CVD karena penarikan estrogen
memiliki efek merugikan pada fungsi dan metabolisme kardiovaskuler.

16
Menopause berdampak negatif pada banyak faktor risiko tradisional untuk
CVD, termasuk perubahan distribusi lemak tubuh dari gynoid ke pola android,
berkurangnya toleransi glukosa, lipid plasma abnormal, peningkatan
tekanan darah, peningkatan tonus simpatis, disfungsi endotel dan peradangan
pembuluh darah. Risiko penyakit kardiovaskuler pada wanita menopause
berkaitan secara langsung dengan penurunan kadar estrogen. Risiko tersebut
semakin meningkat pada wanita yang menjalani bilateral ovariectomy yang
mana penurunan kadar estrogen secara tiba-tiba. Estrogen diketahui memiliki
efek protektif terhadap kardiovaskuler melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1) Peningkatan ekspresi gen yang mengatur prostacyclin
synthethase dan nitric oxide synthethase dengan efek
vasodilator,
2) Inhibisi progresivitas atelesklerosis dengan mekanisme anti-
inflamatorik dan anti-oksidan yang mencegah ruptur plak
dapat terjadi Re-endoteliasasi yang cepat ketika terjadi vascular
injury
3) Memperbaiki kadar lipid dengan penurunan total kolesterol dan
LDL disertai peningkatan kadar HDL, dan
4) Insidensi diabetes mellitus menurun ketika usia reproduktif
semakin panjang.
Penurunan kadar estrogen pada wanita menopause menimbulkan dampak yang
buruk terhadap metabolisme dan fungsi kardiovaskuler. Oleh karena itu,
menaopause menjadi salah satu risiko dari berbagai penyakit
kardiovaskuler,
meliputi :
a. Distribusi lemak yang berubah (dari gynoid menjadi android),
b. Penurunan toleransi kadar gula darah,
c. Kadar lipid plasma yang abnormal,
d. Peningkatan tekanan darah,
e. Peningkatan tonus simpatis,
f. Disfungsi endotel, dan
g. Inflamasi pada vaskuler.

c) Hubungan Menopause dengan Hipertensi


Sekitar 30 – 50% wanita menopause mengalami hipertensi (TD > 140/90
mmHg) sebelum usia 60 tahun. Bahkan, sebuah studi sebelumnya yang lain
menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi wanita menopause (41%) lebih
tinggi daripada pria yang lanjut usia. Hipertensi pada wanita menopause
tersebut berdampak menjadi berbagai gejala, seperti nyeri dada tidak spesifik,
sakit kepala, palpitasi, mudah lelah, dan lainnya.
Penurunan rasio estrogen dan androgen akan menurunkan efek
vasorelaksan pada dinding endotel sehingga meningkatkan faktor

17
vasokonstriksi seperti endothelin. Penurunan kadar estrogen pada wanita
menopause akan meningkatkan regulasi renin angiotensin system (RAS)
sehingga aktivitas renin pada plasma meningkat. Sebuah studi menunjukkan
bahwa pemberian losartan yang menghambat angiotensin-1 (AT-1) pada tikus
yang menopause dapat menurunkan tekanan darah, meskipun tidak bisa
mencapai tekanan darah normal.
Hal tersebut menandakan bahwa RAS tidak menjadi satu-satunya faktor yang
memengaruhi wanita menopause mengalami hipertensi. Kadar endothelin
plasma juga meningkat pada wanita menopause. Fungsi endothelin diperatarai
oleh dua reseptor, yaitu ETA dan ETB. Peran endothelin sebagai
vasokonstiktor umumnya berlangsung karena reseptor ETA. Sementara, ETB
justru bekerja sebaliknya yang mana reseptor tersebut bekerja dengan
mediator vasorelaksan, yaitu nitrit oksida (NO).
Wanita menopause juga berisiko mengalami resistensi insulin. Hal
tersebut menyebabkan metabolisme lipid terganggu dan diikuti peningkatan
berat badan. Peningkatan lemak visera abdomen memicu peningkatan
berbagai agen inflamatorik dan stress oksidatif sehingga aktivitas simpatis
juga akan meningkat. Sebuah studi menyebutkan bahwa sekalipun tidak terjadi
peningkatan berat badan, ada kecenderungan redistribus lemak tubuh yang
mana lebih banyak menumpuk di abdomen daripada subkutis panggul. Pada
akhirnya, hal tersebut akan menyebabkan wanita menopause mengalami
hipertensi.
d) Hubungan Menopause dengan Penyakit Gagal Jantung Kongestif
Menopause dini atau yang terjadi pada usia <45 tahun diketahui meningkatkan
risiko kardiovaskuler. Namun, investigasi untuk mengamati hubungan usia
terjadi menopause dengan kejadian gagal jantung kongestif belum banyak
dilakukan.
Terdapat perbedaan fungsi anatomis dan fisiologis otot jantung (miokardium)
antara pria dan wanita, sehingga sebuah literatur menyebutkan bahwa ada
perbedaan jenis gagal jantung berdasarkan jenis kelamin. Gagal jantung
dengan disfungsi diastolik atau dikenal juga dengan istilah preserved ejection
fraction heart failure (HFpEF) cenderunng terjadi pada wanita daripada pria.
Esterogen memiliki berbagai pengaruhi bagi sistem kardiovaskuler sehingga
defisiensi esterogen diketahui sebagia penyebab perbedaan pathogenesis dan
progresivitas penyakit kardiovaskuler, termasuk gagal jantung pada wanita
menopause.
Penelitian Multi-Ethnic study of Atheresclerosis (MESA) juga melakukan
investigasi mengenai bagaimana hubungan menopause terhadap risiko
menderita.
gagal jantung kongestif. Kriteria gagal jantung kongestif ditegakkan
berdasarkan tiga hal, yaitu:

18
1) Diagnosis oleh dokter berdasarkan kondisi klinis serta
mendapatkan terapi gagal jantung,
2) Terdapat gambaran edema atau kongesti paru pada pemeriksaan
thorax rontgen,
3) Fungsi ventrikel kiri yang buruk dan dilatasi ventrikel berdasarkan
echocardiography.

e) Hubungan Menopause dengan Penyakit Jatung Koroner (PJK)


Pada wanita menopause, baik secara alami maupun melalui tindakan operatif,
kadar hormon esterogen menurun. Hal tersebut menyebabkan risiko penyakit
kardiovaskuler, seperti penyakit jantung koroner, cenderung meningkat pada
wanita menopause. Bahkan, esterogen disebutkan memiliki efek protektif
terhadap pembentukan aterosklerosis.
Selain bekerja pada sistem reproduksi, esterogen juga memiliki fungsi
untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler. Salah satu caranya
yaitu dengan menurunkan kadar low density lipoprotein (LDL) dan
meningkatkan kadar high density lipoprotein (HDL). Selain itu, esterogen
juga dapat menurunkan risiko relatif penyakit kardiovaskuler karena
kemampuannya menghambat oksidasi LDL, mengubah metabolisme
prostaglandin, serta menyebabkan vasodilatasi.
Pembentukan aterosklerosis menjadi salah satu dampak dari penurunan
kadar estrogen pada wnaita menopause. Lebih dari 500.000 wanita menopause
meninggal akibat menderita penyakit kardiovaskuler setiap tahunnya. Dari
berbagai kasus tersbeut, hiperkolestrolemia menjadi risiko paling banyak
ditemukan. Peningkatan kadar LDL diikuti dengan akumulasi kolesterol
sehingga memicu pembentukan plak aterosklerosis.

f) Hubungan Estrogen dengan Profil Lipid


Setelah menopause, karena kekurangan estrogen, wanita memiliki peningkatan
risiko obesitas sentral, hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan hipertensi.
Kolesterol adalah molekul organik dalam darah yang terdiri atas dua bentuk
kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL-C) dan kolesterol lipoprotein
densitas tinggi (HDL-C). LDL dianggap sebagai bentuk yang kolesterol buruk
karena penumpukan dalam arteri dan dapat menyebabkan komplikasi jantung.
Penurunan estrogen juga dapat memengaruhi profil lipid pada wanita
menopause. Estrogen endogen memiliki efek supresi pada aktivitas lipase di
hati; Kadar estrogen yang rendah sebelum dan setelah menopause berkorelasi
dengan aktivitas lipase yang tinggi di hati. Selanjutnya, aktivitas lipase yang
tinggi akan menyebabkan penurunan kadar kolesterol HDL2 dan peningkatan
sedikit pada partikel LDL padat sehingga berkorelasi dengan peningkatan
risiko CVD. Selain itu, estrogen juga berkontribusi dalam pengaturan
lipoprotein lipase, dan lipoprotein lipase bertanggung jawab untuk

19
menghidrolisis TG menjadi kilomikron dan VLDL; Karena itu, penurunan
estrogen selama menopause dapat menyebabkan disregulasi lipoprotein lipase.
Estrogen ditransfer ke sel-sel jaringan adiposa dan sel-sel hati dengan cara
endokrin dan parakrin. Dalam adiposit 17-beta-estradiol dapat disimpan
sebagai esternya dengan asam lemak rantai panjang. Terbukti bahwa reseptor
estrogen hadir dalam adiposit dan hepatosit tetapi kerapatannya jauh lebih
rendah daripada di gonad. Pada tingkat sel, estrogen mengatur produksi
mRNA untuk protein tertentu, di antaranya protein yang terlibat dalam
metabolisme lipid. Dalam jaringan adiposa 17-beta-estradiol memiliki efek
langsung pada lipoprotein lipase (LPL) dan hormon-sensitif lipase (HSL).
Dalam hati 17-beta-estradiol mengatur laju sintesis apolipoprotein
struktural untuk VLDL dan HDL. 17-beta-estradiol mengurangi laju
sintesis apoB-100, sementara merangsang sintesis apoA-I dan apoA-II. Fraksi
HDL yang mengandung apoA-I dan apoA-II diperlukan untuk kilomikron dan
degradasi VLDL serta transportasi kolesterol langsung dan tidak langsung ke
hati. Selain itu, dalam estrogen hepatosit merangsang sintesis apoC-III, dan
juga menurunkan sintesis lipase hati (HL). Kesimpulannya, 17-beta-estradiol
mengatur metabolisme lipid dalam adiposit dan hepatosit memodulasi
konsentrasi zat lipid dalam plasma. Kurangnya 17-beta-estradiol memicu
berbagai kelainan metabolisme lipid pada wanita setelah menopause.
Perubahan profil lipid yang terjadi pada wanita menopause dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Namun, disisi lain kelebihan
berat badan juga merupakan risiko penyakit kardiovaskuler dan cenderung
menaikkan kadar kolesterol. Umumnya orang gemuk memiliki kadar
trigliserida yang berlebihan hal ini dapt berpotensi untuk berubah menjadi
Very-Low Density Lipoprotein (VLDL) dan HDL ke hati. Pembentukan
VLDL yang berlebihan dimana dapat menyebabkan tingginya jumlah LDL di
aliran darah. Obesitas dapat menyebabkan perbandingan antara HDL dengan
LDL cenderung menurun karena kadar trigliserid secara umum meningkat
sehingga memperbesar risiko aterogenesis. Makin tinggi IMT risiko menderita
penyakit jantung koroner (PJK) lebih tinggi, sedangkan risiko terendah pada
IMT ≤22. Pada perempuan dengan IMT >29 mempunyai 3 kali risiko
terjadinya PJK dibandingkan dengan perempuan yang memilikinormal

10. Asuhan keperawatan

No Diagnosa
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional,kebutuhan tidak terpenuhi,krisis
maturasional
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan atau kendala lingkungan
3. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan fungsi
No Diagnosa Tujuan&Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
(NOC) (NIC)

20
1. Ansietas b.d krisis Setelah dilakukan Tindakan Pengurangan Kecemasan :
situasional,kebutuhan keperawatan selama 2x24 1) Berada disisi klien untuk
tidak terpenuhi,krisis jam, masalah keperawatan meningkatkan rasa aman
maturasional dapat teratasi dengan dan mengurangi
kriteria : ketakutan
2) Pahami situasi krisis
yang terjadi dari
Tingkat kecemasan : perspektif klien
1) Tidak dapat 3) Dengarkan klien
beristirahat 4) Puji/kuatkan perilaku
dipertahankan pada yang baik secara tepat
2 (cukup berat) 5) Dorong keluarga untuk
ditingkatkan ke 4 mendampingi klien cara
(ringan) yang tepat
2) Kekhawatiran 6) Dorong verbalisasi
berlebihan perasaan, persepsi, dan
dipertahankan pada ketakutan
2 (cukup berat) 7) Bantu klien
ditingkatkan ke 4 mengidentifikasi situasi
(ringan) yang memicu kecemasan
3) Nyeri dipertahankan 8) Instruksikan klien untuk
pada 2 (cukup berat) menggunakan Teknik
ditingkatkan ke 4 relaksasi
(ringan)

Monitor tanda-tanda vital :


Tingkat rasa takut : 1) Monitor tekanan darah,
1) Peningkatan tekanan nadi, suhu, dan status
darah dipertahankan pernafasan dengan tepat
pada 3 (sedang)
ditingkatkan ke
5(tidak ada)
2) Peningkatan denyut
nadi radialis
dipertahankan pada
3 (sedang)
ditingkatkan ke
5(tidak ada)
3) Ketakutan
dipertahankan pada
3 (sedang)
ditingkatkan ke
5(tidak ada)
2. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan tindakan 1) Kaji fisiologis pasien
b.d hambatan/kendala keperawatan 2x24 jam yang menyebabkan
lingkungan masalah keperawatan dapat kelelahan sesuai dengan
teratasi dengan : konteks usia dan
perkembangan
Status kenyamanan : 2) Anjurkan pasien untuk
Lingkungan memilih aktivitas

21
1) Kesejahteraan 3) Batasi stimuli
psikologis lingkungan (untuk
dipertahankan pada memfasilitasi relaksasi)
3 ditingkatkan ke 4 4) Bantu pasien
2) Perawatan sesuai mempriotitaskan
dengan kebutuhan kegiatan untuk
dipertahankan pada mengakomodasi energy
3 ditingkatkan ke 5 yang diperlukan
3) Lingkungan yang 5) Ajarkan pasien teknik
kondusif untuk tidur nafas dalam
dipertahankan 3
ditingkatkan ke 5
4) Adaptasi lingkungan
yang dibutuhkan
dipertahankan pada
3 ditingkatkan ke 5
Tingkat kelelahan :
1) Gangguan
konsentrasi
dipertahankan pada
3 ditingkatkan ke 5
2) Penurunan libido
3) Kualitas tidur
normal
3. Disfungsi seksual b.d Setelah dilakukan tindakan 1) Monitor timbulnya stress
perubahan fungsi 2x24 jam masalah kecemasan sebagai
keperawatan dapat teratasi kemungkinan penyebab
dengan disfungi seksual
2) Berikan informasi
Pengetahuan : Fungsi tentang fungsi seksual
seksual 3) Bantu pasien latihan otot
1) Perubhan fisik panggul
terkait dengan usia
2) Perubahan emosi
terkait usial
3) Menggunakan terapi
penggantian
hormone sesuai
kebutuhan
4) Beradaptasi dalam
seks sesuai
kebutuhan

22
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Menopause adalah istilah yang digunakan ketika wanita berhenti menstruasi
secara permanen. Ini dapat didiagnosis setelah satu tahun tanpa menstruasi setelah
periode terakhir menstruasi. Menopause dapat terjadi secara alami, atau mungkin
terjadi karena kemoterapi , pembedahan, atau radiasi. Transisi menopause adalah
perkembangan dari ovarium yang berfungsi normal, sampai gagal. Ini mungkin
berlangsung beberapa tahun, dan awal transisi diidentifikasi oleh variasi panjang
siklus menstruasi (waktu antar periode).
Transisi menopause berakhir dengan menopause yang merupakan kemandulan
permanen dan hilangnya periode menstruasi. Meskipun sifat permanen dari perubahan
hormonal selama menopause, gejala seperti hot flushes hilang seiring waktu, biasanya
selama 3–5 tahun (meskipun bisa berlanjut selama beberapa dekade pada beberapa
wanita). Beberapa gejala seperti penipisan lapisan vagina (atrofi genital) berlanjut
selama periode pasca menopause, dan dapat memburuk seiring berjalannya waktu.
Karena kekurangan estrogen, wanita pasca menopause berada pada peningkatan risiko
jangka panjang untuk mengembangkan kondisi seperti osteoporosis, penyakit
kardiovaskular, inkontinensia urin ,infeksi saluran kemih, dan prolaps genital.

23
B. Saran
Diharapkan pembaca dapa memahami isi makalah kami dan memperluas
wawasan dari berbagai sumber lain karena makalah ini jauh dari kesempurnaan. Kami
mengharpkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk kemajuan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Aries Wahyuningsih, Erawati, Defri Putri Arisandi, 2016. UPAYA PENCEGAHAN
SINDROM PRA MENOPAUSE PADA WANITA PRA MENOPAUSE. JURNAL
PENELITIAN KEPERAWATAN Volume 2, No. 1, Januari 2016

Fauzia NP. 2018. http://repository.unimus.ac.id/2738/4/BAB%20II.pdf

Hikmah. 2014. Thesis. UIN Malang. http://etheses.uin-malang.ac.id/508/6/10620098%20Bab


%202.pdf

https://healthengine.com.au/info/menopause (Diakses pada 14 Maret 2021)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57637/Chapter%20II.pdf?
sequence=5&isAllowed=y

Kartini,2020. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usia Menopause. HIJP :


HEALTH INFORMATION JURNAL PENELITIAN Volume 12, Nomor 1, Juni 2020

Lita,R.(2020). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Reproduksi “MENOPAUSE” .


Palembang.

Marethiafani Fajriana, Siti Moetmainnah P.Merry Tiyas A. 2013. Sindroma Perimenopause


pada Akseptor Kontrasepsi progesterone, Kombinasi, dan Non-hormonal. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah Volume 1 Nomor 2 Tahun 2013.

24
Mulyani, N.(2017). Menopause Akhir Siklus Menstruasi pada Wanita di Usia Pertengahan.
Yogyakarta.

Nursyi, Ilafi Rumaisya,2018. Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Wanita Usia 49-55 Tahun
Tentang Menopause Di Desa Weru RT 02 RW 05 Weru Sukoharjo Tahun 2015. Jurnal
Biometrika dan Kependudukan, Vol 7, No. 1 Juli 2018: 67-77

Pronob K. Dalal and Manu Agarwal. 2015. Postmenopausal syndrome. Indian J Psychiatry.
2015 Jul; 57(Suppl 2): S222–S232.

Yunita R. 2011. Asuhan Kebidanan Gangguan Reproduksi dengan Menopause pada Ny.S
P6A0 Umur 55 Tahun di BPS Ny. Widiyati Banjar Negara. Diploma Tesis. Universitas
Muhammadiyah Purworejo. Purworejo,

Zaitun. 2020. Penerapan Menghadapi Menopause pada Ibu Usia 40-45 Tahun di Kemukiman
Unoe Kecamatan Glumpang Baro Kabupaten Pidie. Jurnal Pengabdian Masyarakat
(Kesehatan). Vol.2 No.1. Universitas Ubudiyah Indonesia. Banda Aceh.

25

Anda mungkin juga menyukai