Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ACS

(ACUTE CORONARY SYNDROME)

Disusun oleh :

Nama : Devy Silvia

NIM : PO.62.20.1.16.012

Ruang : ICVCU

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES PALANGKA RAYA

PROGAM STUDI D-III KEPERAWATAN REGULER XIX

2018
BAB I

KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan
pada pembuluh darah koroner.Wasid (2007) menambahkan bahwa SKA adalah suatu fase
akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard akut/ IMA
gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-
TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur
plak aterosklerosis yang tak stabil. Harun (2007) berpendapat istilah SKA banyak digunakan
saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah coroner. Sindrom
coroner Akut merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit coroner yaitu,
angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi coroner
perkutan. Sindrom coroner Akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

B. ETIOLOGI

Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada


penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh
empat hal, meliputi:
1. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
4. Infeksi pada pembuluh darah. Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya SKA
dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
a. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
b. Stress emosi, terkejut
c. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat,
dan kontraktilitas jantung meningkat.

C. PATOFISIOLOGI
Rilantono (1996) mengatakan SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arter koroner,
aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah coroner
yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada pla coroner yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah
plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor
VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa
sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi,
dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut
fase acute thrombosis ‘trombosi akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi
makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta
trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut  bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak
melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial,
yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh
karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi
pada kejadian coroner akut(IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA
didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan
homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator
lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum
terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid
(NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/  NADPH
( nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell  Nitric Oxide
Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia,
diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung.
Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding
pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II  juga
merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding
pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte
chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri coroner akibat disfungsi endotel ringan
dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor
lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat
proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan
sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet
dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi coroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark. Sindrom coroner akut yang diteliti secara angiografi 60-70% menunjukkan
obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak
karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya
inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya Sindrom
coroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan
fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari
suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan
tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah
meningkat, frekuensi debar  jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran
coroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai
pencegahan dan terapi.
D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
Rilantono (1996) mengatakan gejala Sindrom Koroner Akut berupa keluhan nyeri
ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan
kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri
ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik,
ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag. Tapan (2002)
menambahkan gejala kliniknya meliputi:
1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati.
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri
biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit.
Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke
punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul  pada
penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih  berat
atau lebih sering.
3. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus
ditemukan, yakni:
1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik
3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard.  Nilai
normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien SKA adalah:
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini
dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2-3 liter/ menit secara kanul
hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3-0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x
NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 ug/menit (jangan lebih 200
ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan
tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun,
sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang
tidak kesakitan. Dosis 2-4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan.
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase
1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin
menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari
14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160-325
mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama  pada
stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual
atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau
UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark
miokard, dan berulangnya angina pectoris.
6. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat
agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah
dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor  platelet.,
sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk
prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi
stent koroner. Pada pemasangan stent coroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine
2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko
trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari
10-16% menjadi 0,2-5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan
trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II-III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan
setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi
darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40-60% inhibisi
dicapai dalam 3-7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of
Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada
aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner akut (SKA) meliputi:
a. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya
(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien
dengan berat badan < 70 kg.
b. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan
UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose-
independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi
platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa /
IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek
hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini
ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian
85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi-Synthelabo)
c. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan
jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan
antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI
SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan
(IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek
reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada
3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian coroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan
dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar
telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin,
Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun,
tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat
bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek
trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide
atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan
superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin
dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP,
ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
e. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam
amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba
terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan
perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB)
baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama
90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki
patensi arteri coroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-
PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata
tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat
ini  juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah
yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah coroner dengan balon dan lalu dipasang alat
yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali
mengalir menjadi normal.

H. TERAPI OBAT DENGAN IMPLIKASI KEPERAWATAN

JENIS OBAT DOSIS PEMAKAIAN DAN PERTIMBANGAN


Amil nitrat Inhalasi dengan menghancurkan Untuk serangan angina akut.
ampul Jarang digunakan.
Nitrogliserin
Nitrostat SL : 0,4 mg Untuk serangan angina akut, letakan
Dosis bervariasi (0,3 mg-0.6 mg) tablet dibawah lidah.
IV : dosis permulaan 5 pg/menit Untuk mengatasi angina yang berat
dan hipertensi.
Nitrobid Salep : 1-2 menit Untuk mencegah serangan angina.
Nitrotransderm Patch : 2,5-15 mg setiap 12 jam Untuk mencegah serangan angina.
Patch dilepaskan dan diganti dengan
patch barn, kulit harus dirawat
dengan baik. Beritahu kepada orang
yang menempelkan untuk tidak
menyentuh bagian obatnya.
Isosorbid dinitrat PO : 5-40 mg Untuk mencegah serangan angina.
SL : 2,5-10 mg Tersedia dalam bentuk tablet, tablet
Tablet kunyah : 5-10 mg SL, tablet kunyah,dan tablet SR.
Dapat menurunkan tekanan darah.
Toleransi dapat terjadi pada
pemakaian yang lama.
Pentaeritritol D : PO : 10-40 mg. Setiap 6 jam Untuk mencegah serangan angina.
(peritrate) SR : 20-80 mg, setiap 12 jam Toleransi dapat terjadi pada
pemakaian yang lama.
Keterangan : PO= per oral; IV= intravena; SL= sublingual; SR= sustained release.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN PRIMER ( ABCDE)
A : Airway ( Jalan Nafas)

 Ada tidaknya sumbatan jalan nafas


 Distress pernafasan
 Kemungkinan fraktur servikal

B : Breathing

 Frekuensi nafas
 Suara pernafasan
 Adanya udara keluar dari jalan nafas

C : Circulation

 Ada tidaknya denyut nadi karotis


 Ada tidaknya tanda-tanda syok
 Adanya tidaknya perdarahan eksternal

D : Disability

 GCS
 Pupil (Ukuran Pupil Dan Respons Pupil Terhadap Cahaya)
 Kemampuan Motorik (Penilaian Ekstremitas Meliputi Sensorik Dan Motorik).
 Amati Tanda-Tanda Trauma

E : Exposure

 Buka Semua pakaian pasien


 Kaji adanya injury, pendarahan atau kelainan yang lain.

PEMERIKSAAN GCS

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata ,
bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang
angka 1 – 6 tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4)   : spontan
(3)   : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2)   : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya    menekan kuku jari)

(1)    : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5)   : orientasi baik

(4)    : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat


dan waktu.

(3)    : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2)    : suara tanpa arti (mengerang)

(1)    : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6)    : mengikuti perintah

(5)    : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(4): withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)

(3): flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).

(2)    : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1)    : tidak ada respon

Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15        = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13          = CKS (cidera kepala sedang)


GCS : 3 – 8            = CKB (cidera kepala berat)

Tingkat kesadaran dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :

1. Composmentis (14-15), yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis (13-12), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
3. Delirium (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta
meronta-ronta.
4. Somnolen (9-7), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
5. Sopor (6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
6. Semi-coma (4), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya
sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
7. Koma (3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Anamnesa awal
Nama,alamat dan identitas lainnya serta riwayat sakit.

2. Metode untuk mengkaji nyeri

Menggunakan PQRST

3. Pengkajian Head to toe

Pemeriksaan dari B1-B6 pada pasien dengan ACS/SKA

 B1 : dispneu (+), diberikan 02 tambahan.


 B2 : suara jantung murmur (+), chest pain (+), crt 2 detik, akral dingin.
 B3 : pupil isokor, reflek cahaya (+).
 B4 : oliguri
 B5 : penurunan nafsu makan, mual (-), muntah (-).
 B6 : tidak ada masalah.

4. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan EKG
Berupa gambaran STEMI / NSTEMI dengan gelombang Q patologik.

 Enzim Jantung

Meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB dan troponin –
T / I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah
0,1 – 0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.

B. ANALISA DATA
1. DATA SUBJEKTIF
Klien mengatakan nyeri dada pada bagian dada kiri, skala nyeri 6 (sedang), nyeri seperti
ditekan benda berat, klien mengatakan lemah karena kekurangan oksigen
2. DATA OBJEKTIF
Klien tampak tegang, pucat karena oksigen jaringan menurun, klien dalam keadaan
bedrest

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan kerusakan transport oksigen
melalui membrane alveolar dan membrane kapiler
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen penyebab biologis
5. Intoleran Aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
6. Cemas berhubungan dengan stress

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosis Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Pantau adanya 1. Mengetahui adanya
pola nafas tindakan keperawatan pucat dan sianosis sianosis pada px
berhubungan selama …x… jam 2. Pantau kecepatan, 2. Mengetahui
dengan diharapkan pola nafas irama, kedalaman kecepatan, irama,
hiperventilasi pasien efektif dengan dan upaya kedalaman dan upaya
kriteria hasil : pernafasaN pernafasaN
1.       TTV dalam rentang 3. Perhatikan 3. Retraksi dada
normal, tidak ada pergerakan dada, mengindikasikan
retraksi dada, tidak amati kesimetrisan, kelainan pada paru-
ada penggunaan otot penggunaan otot- paru lobus tertentu
bantu nafas otot bantu 4. Mengetahui hambatan
2.       Pasien tidak 4. Pantau pernafasan jalan napas.
mengeluh susah yang berbunyi 5. Mengetahui pola
bernafas. seperti nafas px
mendengkur Mengetahui suara nafas
5. Pantau pola px
pernafasan
6. Auskultasi suara
nafas

2 Gangguan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi, 1. Manifestasi distress


pertukaran gas tindakan keperawatan kedalaman, dan pernapasan
berhubungan selama …x… jam kemudahan tergantung pada
dengan diharapkan px tidak bernapas derajat keterlibatan
ketidakseimbangan mengalami gangguan 2. Pantau saturasi O2 paru dan status
perfusi dan pertukaran gas dengan oksimetri kesehatan umum
ventilasi dengan kriteria hasil: nadi 2. Mengetahui saturasi
1.      TTV dalam rentang 3. Pantau hasil gas O2 px
normal darah 3. Mengetahui hasil gas
2.      Hasil AGD dalam 4. Pantau kadar darah px
rentang normal elektrolit 4. Mengetahui kadar
5. Pantau status elelktrolit px
mental px 5. Mengetahui status
6. Observasi terhadap mental px
sianosis, terutama 6. Mengetahui adannya
membran mukosa sianosis pada px
mulut
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Pantau nyeri dada 1. Mengetahui adanya
perfusi jaringan tindakan keperawatan 2. Pantau TTV nyeri dada pada px
berhubungan selama …x24 jam 3. Lakukan pengkajian 2. Mengetahui kondisi
dengan kerusakan diharapkan perfusi komprehensif umum px.
transport oksigen jaringan pasien efektif terhadap sirkulasi 3. Mengetahui adanya
melalui membrane dengan kriteria hasil : perifer (misalnya tanda-tanda penurunan
alveolar dan1.   TTV DBN nadi, edema, warna perfusi jaringan
membrane kapiler - TD (120-140/80-90 kulit, dan suhu) 4. Menurunkan beban
mm/Hg) 4. Tingkatkan istirahat kerja organ dalam
- RR (16-24xC) 5. Memberikan terapi tubuh
- N (60-100x/mnt) oksigen 5. Memenuhi kebutuhan
- S (36.5-37.5ºC) 6. Kolaborasi oksigen tubuh
2. Membran mukosa pemberian obat 6. Meningkatkan
merah muda berdasarkan keefektifan perfusi
program (misalnya, jaringan px
analgesik,
antikoagulan,
vasodilator)
4 Nyeri Akut Setelah diberikan 1. Lakukan 1. Mengetahui lokasi,
berhubungan asuhan keperawatan pengkajian nyeri karakteristik, durasi,
dengan agen selama…x24 jam, secara frekuensi, kualitas,
penyebab biologis diharapkan px mampu komprehensif intensitas dan faktor
mengatasi nyeri meliputi lokasi, presipitasi nyeri px
dengan kriteria hasil : karakteristik, 2. Mengetahui perasan px
1. Nyeri px hilang/ durasi, frekuensi, terhadap nyeri
berkurang kualitas, intensitas 3. Membantu px
2. Px mampu dan faktor mengndalikan nyeri
mengendalikan nyeri presipitasi. 4. Memberikan
3. Px merasa nyaman 2. Observasi isyarat kenyamanan kepada px
non verbal 5. Mengendalikan nyeri
ketidaknyamanan px
3. Berikan informasi 6. Menurunkan nyeri px
tentang nyeri,
seperti penyebab
nyeri, berapa lama
akan berlangsung
dan antisipasi
ketidaknyamanan
akibat prosedur
4. Kendalikan faktor
lingkungan yang
dapat
mempengaruhi
respon pasien
terhadap
ketidaknyamanan
(misalnya suhu
ruangan,
pencahayaan, dan
kegaduhan)
5. Ajarkan teknik non
farmakologis
( misalnya
relaksasi, distraksi,
kompres hangat)
6. Kolaborasi
pemberian
analgetik
5 Intoleran Aktifitas Setelah diberikan 1. Monitor frekuensi 1. Mengidentifikasi
berhubungan asuhan keperawatan nadi dan nafas kemajuan atau
dengan selama…x24 jam, sebelum dan penyimpangan dari
ketidakseimbangan diharapkan px mampu sesudah sasaran yang
antara suplai dan beraktifitas secara melakukan diharapkan
kebutuhan oksigen normal dengan aktifitas 2. Gejala-gejala tersebut
kriteria hasil : 2. Tunda aktifitas jika merupakan tanda
1. Klien freuensi nadi dan intoleransi aktifitas.
mendemonstrasikan nafas meningkat konsumsi oksigen
peningkatan toleransi secara cepat dan meningkat jika aktifitas
terhadap aktifitas klien mengeluh meningkat dan daya
2. Klien dapat sesal nafas dan tahan tubuh klien dapat
melakukan aktifitas, kelelahan, bertahan lebih lama jika
dapat berjalan lebih tingkatkan aktifitas ada waktu istirahat di
jauh tanpa mengalami secara bertahap antara kktifitas
nafas tersengal-sengal 3. Bantu klien 3. Membantu menurunkan
sesak nafas dan melaksanakan kebutuhan oksigen
kelelahan aktifitas sesuai yang meningkat akibat
dnegan peningkatan aktifitas
kebutuhannya. 4. Aktifitas fisik
Beri klien waktu meningkatkan
tanpa diganggu kebutuhan oksigen dan
berbagai aktifitas sistem tubuh akan
4. Pertahankan terapi berusaha
oksigen selama menyesuaikannya.
aktifitas dan 5. Hal tersebut dapat
lakukan tindakan merupakan tanda awal
pencegahan dari komplikai
terhadap khusunya gagal nafas
komplikasi akibat
omobilisasi jika
klien dianjurkan
tirah baring
5. Konsultasikan
dengan dokter jika
sesak nafas tetap
atau bertambah
berat saat istirahat
6 Cemas Setelah diberikan 1. Kaji tingkat 1. Mengetahi tingkat
berhubungan asuhan keperawatan kecemasan px kecemasan px
dengan stress selama…x24 jam, 2. Beri dorongan 2. Membantu px
diharapkan px mampu kepada pasien mengungkapkan
mengatasi cemas mengungkapkan tentang perasaan
denagn kriteria hasil : secara verbal cemasnya
1. Pasien mampu pikiran dan 3. Mengurangi cemas px
mengendalikan cemas perasaan untuk 4. Membantu px
2 Pasien tidak gelisah mengeksternalisasi mengendalikan cemas
kan cemas 5. Meminimalkan faktor
3. Bantu pasien untuk pencetus cemas
memfokuskan 6. Menurunkan cemas px
pada situsi saat ini,
sebagai cara untuk
mengidentifikasi
mekanisme koping
yang dibutuhkan
untuk mengurangi
cemas.
4. Intruksikan pasien
tentang
pengguanaan
teknik relaksasi
5. Kurangi
rangsangan yang
berlebihan dengan
menyediakan
lingkungan yang
tenang, kontak
denga orang lain
jika dibutuhkan,
serta pembatasan
pengguanaan
kafein dan
stimulasi lain
6. Kolaborasi
pemberian obat
untuk menurunkan
ansietas, jika perlu

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKU

Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut. Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif. Diakses 9
Januari 2017. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197 .

Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut. Diakses
tanggal 9 Januari 2018. http://nursingbrainriza.blogspot.co.id/2007/05/tinjauan-pustaka-
konsep-baru

Pradiphta, Panji. 2016. “Laporan Pendahuluan ACS”. Diakses tanggal 9 Januari 2018.
anjipradipthawebsite.blogspot.co.id/2016/01/laporan-pendahuluan-acs.html

Anda mungkin juga menyukai