ACS
Disusun oleh :
NIM : PO.62.20.1.16.012
Ruang : ICVCU
2018
BAB I
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Andra (2006) mengatakan Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kejadian kegawatan
pada pembuluh darah koroner.Wasid (2007) menambahkan bahwa SKA adalah suatu fase
akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil/ APTS yang disertai Infark Miocard akut/ IMA
gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q (IMA-
TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur
plak aterosklerosis yang tak stabil. Harun (2007) berpendapat istilah SKA banyak digunakan
saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh darah coroner. Sindrom
coroner Akut merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa penyakit coroner yaitu,
angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan
elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi coroner
perkutan. Sindrom coroner Akut merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
Rilantono (1996) mengatakan SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arter koroner,
aktivasi kaskade pembekuan dan platelet, pembentukan trombus, serta aliran darah coroner
yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada pla coroner yang kaya lipid dengan fibrous
cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque disruption ‘disrupsi plak’. Setelah
plak mengalami ruptur maka faktor jaringan (tissue factor) dikeluarkan dan bersama faktor
VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa
sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi,
dan agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut
fase acute thrombosis ‘trombosi akut’. Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi
makrofage dan sel T limfosit, proteinase, dan sitokin, menyokong terjadinya ruptur plak serta
trombosis tersebut. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab terhadap destabilisasi plak
melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan sel endotelial,
yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak. Oleh
karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi
pada kejadian coroner akut(IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA
didapatkan kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif. Endotelium mempunyai peranan
homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor maupun vasodilator
lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan sebelum
terjadinya plak). Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid
(NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/ NADPH
( nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide
Synthase (eNOS). Oksigen reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia,
diabetes, aterosklerosis, perokok, hipertensi, dan gagal jantung.
Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal pada dinding
pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Angiotensin II juga
merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat meningkatkan inflamasi dinding
pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan monocyte
chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial.
Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri coroner akibat disfungsi endotel ringan
dekat lesi atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor
lebih dominan (yakni endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor
relaksator (yakni nitrit oksid dan prostasiklin). Nitrit Oksid secara langsung menghambat
proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan
sebagai proatherogenic. Melalui efek melawan, TXA2 juga menghambat agregasi platelet
dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi coroner, menekan fibrilasi ventrikel, dan
luasnya infark. Sindrom coroner akut yang diteliti secara angiografi 60-70% menunjukkan
obstruksi plak aterosklerosis yang ringan sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak
karena beberapa hal, yakni tipis - tebalnya fibrous cap yang menutupi inti lemak, adanya
inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. Adapun mulai terjadinya Sindrom
coroner akut, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni aktivitas/ latihan
fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari
suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan
tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah
meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran
coroner juga meningkat. Dari mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai
pencegahan dan terapi.
D. PATHWAY
E. MANIFESTASI KLINIS
Rilantono (1996) mengatakan gejala Sindrom Koroner Akut berupa keluhan nyeri
ditengah dada, seperti: rasa ditekan, rasa diremas-remas, menjalar ke leher,lengan kiri dan
kanan, serta ulu hati, rasa terbakar dengan sesak napas dan keringat dingin, dan keluhan nyeri
ini bisa merambat ke kedua rahang gigi kanan atau kiri, bahu,serta punggung. Lebih spesifik,
ada juga yang disertai kembung pada ulu hati seperti masuk angin atau maag. Tapan (2002)
menambahkan gejala kliniknya meliputi:
1. Terbentuknya thrombus yang menyebabkan darah sukar mengalir ke otot jantung dan
daerah yang diperdarahi menjadi terancam mati.
2. Rasa nyeri, rasa terjepit, kram, rasa berat atau rasa terbakar di dada (angina). Lokasi nyeri
biasanya berada di sisi tengah atau kiri dada dan berlangsung selama lebih dari 20 menit.
Rasa nyeri ini dapat menjalar ke rahang bawah, leher, bahu dan lengan serta ke
punggung. Nyeri dapat timbul pada waktu istirahat. Nyeri ini dapat pula timbul pada
penderita yang sebelumnya belum pernah mengalami hal ini atau pada penderita yang
pernah mengalami angina, namun pada kali ini pola serangannya menjadi lebih berat
atau lebih sering.
3. Selain gejala-gejala yang khas di atas, bisa juga terjadi penderita hanya mengeluh seolah
pencernaannya terganggu atau hanya berupa nyeri yang terasa di ulu hati. Keluhan di atas
dapat disertai dengan sesak, muntah atau keringat dingin.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Wasid (2007) mengatakan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus
ditemukan, yakni:
1. Sakit dada
2. Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/ NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik
3. Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutama
CKMB dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai
normal troponin ialah 0,1--0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien SKA adalah:
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini
dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2-3 liter/ menit secara kanul
hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara
sublingual (SL) (0,3-0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x
NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5-10 ug/menit (jangan lebih 200
ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan
tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun,
sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang
tidak kesakitan. Dosis 2-4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan.
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat siklooksigenase
1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut
menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin
menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari
14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160-325
mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada
stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual
atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau
UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark
miokard, dan berulangnya angina pectoris.
6. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat
agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah
dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet.,
sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk
prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi
stent koroner. Pada pemasangan stent coroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine
2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko
trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari
10-16% menjadi 0,2-5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan
trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik
trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II-III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun
tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila
dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan
setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi
darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi
sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40-60% inhibisi
dicapai dalam 3-7 hari. Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of
Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif
daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada
aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner akut (SKA) meliputi:
a. Heparin: Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya
(tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada
pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang
dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12
ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien
dengan berat badan < 70 kg.
b. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH): Diberikan pada APTS atau
NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan
UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose-
independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi
platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian
trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa /
IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek
hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. Termasuk dalam preparat ini
ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan
NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian
85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of
Fraxiparin . Sanofi-Synthelabo)
c. Warfarin: Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan
jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan
antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS
Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
d. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I): obat ini perlu diberikan pada NSTEMI
SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan
(IKP). Pada STEMI, bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek
reperfusi. Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup
kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin. Ada
3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian coroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas. Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan
dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar
telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin,
Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun,
tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat
bila jumlah platelet < 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek
trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide
atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan
menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan
superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin
dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP,
ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS.
e. Direct Trombin Inhibitors: Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam
amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba
terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan
perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 17,28.
f. Trombolitik: dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB)
baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari
Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama
90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki
patensi arteri coroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-
PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2
penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata
tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
g. Kateterisasi Jantung: selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat
ini juga semakin maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah
yang kekurangan atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan
membuka sumbatan pembuluh darah coroner dengan balon dan lalu dipasang alat
yang disebut stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali
mengalir menjadi normal.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN PRIMER ( ABCDE)
A : Airway ( Jalan Nafas)
B : Breathing
Frekuensi nafas
Suara pernafasan
Adanya udara keluar dari jalan nafas
C : Circulation
D : Disability
GCS
Pupil (Ukuran Pupil Dan Respons Pupil Terhadap Cahaya)
Kemampuan Motorik (Penilaian Ekstremitas Meliputi Sensorik Dan Motorik).
Amati Tanda-Tanda Trauma
E : Exposure
PEMERIKSAAN GCS
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata ,
bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang
angka 1 – 6 tergantung responnya.
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu
kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4): withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(3): flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan
terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
1. Composmentis (14-15), yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap
dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis (13-12), yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
3. Delirium (11-10), yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta
meronta-ronta.
4. Somnolen (9-7), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila
dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
5. Sopor (6-5), yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
6. Semi-coma (4), yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya
sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
7. Koma (3), yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap
pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
PENGKAJIAN SEKUNDER
1. Anamnesa awal
Nama,alamat dan identitas lainnya serta riwayat sakit.
Menggunakan PQRST
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EKG
Berupa gambaran STEMI / NSTEMI dengan gelombang Q patologik.
Enzim Jantung
Meningkat paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal, terutama CKMB dan troponin –
T / I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah
0,1 – 0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl.
B. ANALISA DATA
1. DATA SUBJEKTIF
Klien mengatakan nyeri dada pada bagian dada kiri, skala nyeri 6 (sedang), nyeri seperti
ditekan benda berat, klien mengatakan lemah karena kekurangan oksigen
2. DATA OBJEKTIF
Klien tampak tegang, pucat karena oksigen jaringan menurun, klien dalam keadaan
bedrest
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan kerusakan transport oksigen
melalui membrane alveolar dan membrane kapiler
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen penyebab biologis
5. Intoleran Aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
6. Cemas berhubungan dengan stress
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosis Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Pantau adanya 1. Mengetahui adanya
pola nafas tindakan keperawatan pucat dan sianosis sianosis pada px
berhubungan selama …x… jam 2. Pantau kecepatan, 2. Mengetahui
dengan diharapkan pola nafas irama, kedalaman kecepatan, irama,
hiperventilasi pasien efektif dengan dan upaya kedalaman dan upaya
kriteria hasil : pernafasaN pernafasaN
1. TTV dalam rentang 3. Perhatikan 3. Retraksi dada
normal, tidak ada pergerakan dada, mengindikasikan
retraksi dada, tidak amati kesimetrisan, kelainan pada paru-
ada penggunaan otot penggunaan otot- paru lobus tertentu
bantu nafas otot bantu 4. Mengetahui hambatan
2. Pasien tidak 4. Pantau pernafasan jalan napas.
mengeluh susah yang berbunyi 5. Mengetahui pola
bernafas. seperti nafas px
mendengkur Mengetahui suara nafas
5. Pantau pola px
pernafasan
6. Auskultasi suara
nafas
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta: EGC
Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKU
Andra. (2006). Sindrom Koroner Akut. Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif. Diakses 9
Januari 2017. http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=197 .
Wasid (2007). Tinjauan Pustaka Konsep Baru Penanganan Sindrom Koroner Akut. Diakses
tanggal 9 Januari 2018. http://nursingbrainriza.blogspot.co.id/2007/05/tinjauan-pustaka-
konsep-baru
Pradiphta, Panji. 2016. “Laporan Pendahuluan ACS”. Diakses tanggal 9 Januari 2018.
anjipradipthawebsite.blogspot.co.id/2016/01/laporan-pendahuluan-acs.html