A. PENDAHULUAN
Membayangkan bagaimana manusia Indonesia menjelang satu abad Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu bergantung pilihan paradigma yang digunakan.
Jika pilihannya paradigma positivistik, tentu mengandaikan sejarah berjalan secara linier
dan bisa diprediksi sepanjang semua persyaratan telah dipenuhi untuk ketepatan sebuah
proyeksi masa depan. Akan tetapi jika menggunakan logika paradigma konstruktivistik, dan
terlebih lagi paradigma kritis, tentu bukan dengan asumsi bahwa di masa depan tidak ada
yang terelakan. Semuanya bisa berubah tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, karena
sejarah tidak berjalan secara linieristik, melainkan berlangsung secara dialektik, dan bahkan
sejarah bisa zig-zag.
Mempertimbangkan pilihan-pilihan paradigmatik tersebut, untuk keperluan diskripsi
dan analisis ini akan berusaha mengkombinasikan di antara ketiga paradigma tersebut,
meskipun tidak bermaksud membenturkan satu dengan yang lain. Harus diakui,
antarparadigma tersebut asumsi-asumsi teoretik yang dibangunnya memang berbeda secara
diametral, terutama antara paradigma positivistik dan paradigma kritis. Akan tetapi dengan
pertimbangan bahwa dunia sosial, khususnya Indonesia, memang sangat beragam dan
bergerak dinamis serta memiliki kompleksitas persoalan begitu tinggi (njlimet), terkadang
penggunaan logika berpikir eklektif dan kombinatif tersebut menjadi tidak terhindarkan.
Menganalisis perkembangan masyarakat secara futuristik tentu juga harus didahului
dengan upaya melihat, memahami, dan mengkritisi kondisi objektif kekinian yang
digunakan sebagai pijakan untuk memprediksi masyarakat yang dibayangkan di masa
depan. Dengan menggunakan paradigma positivistik tentu bisa diperhitungkan dan kalau
perlu didisain serta dikendalikan sejak sekarang dengan mengikuti dan memenuhi kriteria-
kriteri yang ditetapkan sebagai prasyarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana dapat kita
saksikan bahwa kondisi objektif masyarakat sekarang masih bersifat eklektif dalam arti
karakter sebagai masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian masyarakat
informasi sudah dapat kita saksikan dan terjadi dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Kondisi objektif ini sudah bisa kita jadikan pijakan untuk melihat kira-kira seperti apa masa
depan Indonesia di masa mendatang, atau setidaknya jika kita sepakati pada satu abad
Indonesia merdeka, tepatnya tahun 2045.
Dengan meperhatikan kondisi objektif kekinian dan membayangkan atau bahkan
mengharapkan masyarakat satu abad Indonesia merdeka mendatang, tentu dapat digunakan
sebagai pertimbangan utama kira-kira pendidikan seperti apa yang bisa memberikan
kontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia di masa mendatang. Sudah tentu sepakat
lebih dulu bagaimana Indonesia yang kita cita-citakan itu. Jika mengacu pada cita-cita
kemerdekaan maka sudah jelas bahwa Indonesia yang kita bayangkan adalah sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “…untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana pengalaman sejarah selama ini, tidaklah mudah untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaan itu. Setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, setelah melalui
pergulatan dan proses jatuh-bangun, bangsa ini juga belum semuanya mampu mewujudkan
cita-citanya tersebut. Untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berperan aktif
dalam percaturan menciptakan dunia yang lebih adil misalnya, masih jauh dari harapan.
Belum lagi ketika konstelasi politik global juga terus menunjukkan dinamikanya sendiri,
sering kali posisi Indonesia masih dipandang, dijadikan objek, dan belum posisi yang
memandang dan menjadi subjek aktif. Oleh karena itu untuk menjadi negara dan bangsa
yang berdaulat di masa mendatang masih menjadi tantangan maha besar. Ini semua
bergantung dari kecermatan kita sebagai bangsa mengidentifikasi berbagai persoalan
mendasar dan kecermatan dalam mengantisipasi kecenderungan global.
1. Persoalan Kultural
Bangsa ini pernah menjadi pelaku sejarah peradaban manusia ketika mampu
menunjukkan karya-karyanya seperti pengetahuan tentang sistem pertanian akrab
lingkungan, arsitektur penuh presisi dan indah, psikologi yang menyejukan hati, dan filsafat
hidup harmoni. Juga karya peradaban material seperti Borobudur, Prambanan, teknologi
pamor keris, wayang, gamelan, kapal, dan industri logam. Semua itu tercipta berkat
kepemilikan atas etos kerja yang ketat dalam menjalankan disiplin, tlaten, ketekunan,
presisi, dan akurasi. Akan tetapi mengapa terjadi semacam keterputusan peradaban? Tiba-
tiba saja bangsa ini menjadi bangsa kerdil, tidak visioner, dan pemalas. Malas berpikir,
malas menulis, dan malas nyambut gawe. Singkatnya menjadi bangsa yang tidak
mempunyai sejarah, sebagai subjek aktif pencipta peradaban. Dalam sekian lama kita
menjadi bangsa kalah terus di bidang apa saja dengan bangsa-bangsa maju. Kita praktis
hanya menjadi bangsa penonton kemajuan bangsa lain. Kita hanya menjadi penyaksi kisah
sukses bangsa-bangsa lain. Tiba-tiba kita menjadi bangsa yang kehilangan daya produksi,
dan terus terjebak dalam konsumerisme parah.
Situasinya sekarang sungguh berbanding terbalik, bangsa ini dalam perjalanan
selanjutnya masuk dalam periode paceklik peradaban. Tidak usah jauh-jauh, tengoklah
dapur kita dan kemudian mari kita identifikasi perabotan rumah tangga kita, hampir
semuanya tidak ada yang buatan bangsa kita sendiri kecuali cobek-munthu bikinan Muntilan
warisan keterampilan nenek moyang. Lalu keluar sebentar dan tengoklah warung burjo
Kuningan, warung tradisional itu pun penuh dengan dagangan buatan asing, mulai dari
belasan merk minuman sasetan hingga makanan mie instan yang bahan bakunya tepung
terigu impor itu. Memang ada gorengan tempe dan tahu, tetapi kita mengetahui semua
bahwa kedelai yang merupakan bahan baku produk yang kita banggakan itu juga impor.
Katanya bangsa agraris dan maritim, tetapi beras, jagung, garam, dan bahkan ikan lele aja
impor. Kemudian lihatlah jalan kita yang padat lalu lintasnya penuh dengan kendaraan
bermotor, semuanya adalah impor. Bahkan sepeda pancal pun juga impor dari RRC, dan
hanya tinggal sebagian yang buatan Klaten, itu pun di ece-ece (dilecehkan) halah mung
gawean Klaten.
Tidak hanya itu, apa yang melekat dalam tubuh kita semua ini, sebagian besar adalah
impor. Mulai dari arloji, sepatu, sandal, kacamata, baju, celana, tas, dan asesorisnya serta
lipstick, parfum, deodorant, dan lain-lain semuanya adalah impor. Sepuluh tahun terakhir ini
bangsa ini gemrubyuk pakai busana muslim, di mana-mana muncul komunitas hijaber.
Tetapi ketahuilah, 70 persen produk busana muslim buatan Tiongkok. Juga ramai-ramai
makan buah kurma, tetapi kebanyakan impor dari Australia. Bahkan batik yang kita
banggakan itu, juga tidak luput dari serbuan batik buatan Tiongkok, terutama batik printing.
Apalagi barang-barang elektronik, mulai dari kulkas, televisi, radio, tape recorder,
kamera, AC, kipas angin, pemanas air, dan lain-lain hampir 90 persen impor. Terlebih lagi
barang elektronik penunjang komunikasi dan informasi, seperti komputer, HP, gadget,
berserta alat kelengkapannya, tidak satupun produk dalam negeri. Di bidang perangkat
lunaknya memang ada sedikit buatan bangsa ini sendiri, tetapi kebanyakan meniru tanpa
modifikasi. Baru-baru ini saya menyaksikan pameran ICT di Singapura (Oktober, 2016),
yang persertanya perusahaan seluruh dunia. Indonesia hanya diwakili oleh 5 perusahaan IT
yang bergerak di bidang aplikasi perangkat lunak. Sementara Tiongkok, Korea Selatan,
Taiwan, Jerman, AS, dan Kanada, bahkan Singapura, tampil dengan gagah bersama ratusan
perusahaan IT baik perangkat lunak maupun perangkat keras. Tiongkok misalnya, arena
pamerannya menyita tempat yang luasnya satu alun-alun, sementara Indonesia hanya mojok
menempati ruang 6 x 8 m.
Kalau kita sakit bagaimana? 95 persen industri farmasi adalah impor, karena itu
obat-obatan juga impor. Bayangkan jika bangsa ini terkena embargo produk industri
farmasi, tentu bisa kiamat negeri ini. Belum lagi peralatan kedokteran dan industri rumah
sakit, praktis semuanya adalah impor. Kalau misalnya jarum suntik dihentikan impornya,
maka bisa dibayangkan betapa paniknya bangsa ini. Pertanyaan sederhana dapat diajukan,
tidak bisakah bangsa ini membuat jarum suntik standar kedokteran? Apa pun alasanya, fakta
menunjukkan bangsa ini belum bisa membuatnya, sementara membuat paku saja, kalau
dipukul sering mleyok. Masuklah ke toko Ace Hardware, hampir semua produk peralatan
apa pun bukan buatan bangsa ini.
Di bidang rekreasi, lihat aja mulai dari peralatan olahraga hingga peralatan memancing,
semuanya adalah impor. Kalau kita main badminton, tenis, bolavoli, basket, apalagi golf,
semua peralatannya adalah impor. Kang Bonijo mancing di sungai Opak Jogjakarta, di
tempat raja-raja Mataram bertapa mencari wahyu itu, bukan lagi pakai walesan dari bambu
tapi sudah pakai tongkat pancing buatan Tiongkok. Senar pancing pun juga impor, termasuk
kailnya. Ungkapan jika membantu orang miskin, jangan diberi ikan, tetapi berilah kail
adalah bagus. Akan tetapi sayangnya kailnya pun impor.
Begitu gandrungnya bangsa ini dengan barang-barang impor, sampai-sampai binatang
peliharaan pun impor. Lihatlah kucing, anjing, dan sapi pun juga impor. Kucing anggora,
persia, kucing Barat begitu banyak digemari oleh bangsa ini, hingga kucing lokal banyak
dibuang di tempat sampah, kleleran memelas. Sementara kucing-kucing impor itu hasil
evolusi di negara bermusim dingin, jadi di bawa ke sini sebenarnya melakukan penyiksaan.
Sapi pun juga banyak yang impor, seperti limousine dan brahman semua dari luar. Bukan
hanya itu pengetahuan pemeliharaan, obat-obatan juga impor. Bahkan kacaunya,
mengumpat aja bangsa ini juga impor, termasuk ekspresi kekagetan atau pun kekaguman.
Pengetahuan pun juga jas buka iket blangkon, sama juga sami mawon. Hampir semua
teori-teori yang kita pakai untuk menjelaskan fenomena alam maupun social kebudayaan,
semuanya juga impor. Ilmu pengetahuan dan teknologi atau sain, humaniora seperti filsafat,
sastra, bahasa, dan sejarah, serta ilmu-ilmu sosial juga semuanya impor. Hampir 90 persen
perdebatan dan discourse dalam dunia pendidikan kita, tentang pengetahuan Barat. Karena
itu tidak heran jika dalam dunia akademik, peran bangsa ini tidak begitu signifikan dalam
kasanah pustaka ilmu pengetahuan, ilmu sosial, dan humaniora. Di bidang sosial budaya
yang kita banggakan, tetapi untuk menjelaskan semua fenomena sosial budaya di negeri ini,
juga kebanyakan kita pinjaam dari kalangan indonesianis.
Keyakinan pun juga impor, mulai dari Budha, Hindu, Kristen, dan Islam. Dibelanya mati-
matian di antara pertarungan antarkeyakinan hingga melupakan sistem keyakinan leluhurnya
sendiri. Bahkan keyakinan leluhurnya dibuli habis-habisan atas nama keyakinan impor.
Negara juga bersikap aneh, malah memformalkan sikapnya dengan membuat regulasi dan
menetapkan lima agama sebagai agama yang boleh dipeluk. Hanya ada dua Negara di dunia
ini yang menetapkan dan membatasi keyakinan agama yang dilegalkan oleh Negara, yaitu
Indonesia dan Israel. Akibatnya, keyakinan lokal tidak pernah mendapat apresiasi, tetapi
dibiarkan tanpa perlindungan, dan bahkan dipinggirkan tak bertepi.
Belum lagi kemampuan manajerial bangsa ini, yang hingga sekarang masih belum
beranjak dari pertanyaan fundamental, apakah bangsa ini sesungguhnya bisa melakukan
pengelolaan? Sudah banyak bukti bahwa persoalan kemampuan memanage dalam berbagai
aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari bangsa ini patut dipertanyakan.
Terdapat suara skeptis, bahwa bangsa ini sejak ditinggalkan Belanda tidak pernah
menunjukkan kemampuannya dalam memanage apa pun yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat. Lihat saja misalnya, dari soal manajemen transportasi, lalu lintas jalan raya,
pertambangan, kehutanan, air, perumahan, tata ruang perkotaan, dan apalagi manajemen
sumber daya manusianya, semuanya menunjukkan bangsa ini kurang mampu memanage.
Lebih konkret lagi, lihatlah situasi jalan-raya kita yang penuh dengan kekacauan,
mulai dari pengguna jalan hingga, kondisi fisiknya, trotoar, dan kanan-kiri jalan. Aturannya
sudah jelas ada dan bahkan terasa sangat ambisius dalam arti jika ditaati maka akan tercipta
situasi paling tertib di dunia karena mengatur hingga yang kecil-kecil. Akan tetapi faktanya
semua tahu, betapa kacaunya situasi jalan raya kita, yang sama sekali tidak menunjukkan
budaya tertib berlalu-lintas. Saling srobot, ngebut, bunyi klakson bersautan, suara knalpot
memekakan telinga, dan buang sampah dari dalam mobil seenaknya sendiri. Zebracross
yang merupakan arena hak publik untuk menyeberang jalan menjadi semacam perlintasan
maut, karena tidak ada jaminan selamat. Trotoar pun yang merupakan hak publik bagi
pejalan kaki penuh dengan pedagang kaki-lima, jual bensin eceran, dan penuh dengan
rintangan akibat sering digunakan sebagai tempat jualan berbagai pedagang. Belum lagi
parkir hingga menjorok ke badan jalan, semakin menambah kekacauan dan kemacetan luar
biasa. Sementara itu tiang listrik dan tiang telepon diletakan berserakan tanpa mengindahkan
pertimbangan estetika, dan terlebih lagi kabel-kabelnya yang sangat semrawut.
Pemandangannya semakin menyebalkan karena fasilitas publik jalan raya dipenuhi dengan
sampah visual. Papan reklame dipasang dan digantung di mana-mana tanpa mempedulikan
aspek kerapian dan keindahan. Situasi menyebalkan dan sekaligus menyeramkan itu
semakin menjadi-jadi ketika kondisi badan jalan yang sering tidak karuan, rusak, berlubang,
dan tidak rata karena sering digali lagi, bongkar lagi, dan tidak dikembalikan seperti kondisi
semula sebagai akibat tiadanya koordinasi antarbadan atau antardinas terkait yang
mengurusi jalan raya. Semua itu mengindikasikan, tiadanya sistem pengaturan fasilitas
publik secara nasional yang komprehensif dan sinergis. Itu semua peroalan dasarnya adalah
soal kultur, sebuah kultur bangsa ini yang justru ke arah serba negatif.
1
http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/presscenter/pressreleases/2017/03/22/indonesia-s-
human-development-index
100% seluruh penduduk mengenyam pendidikan hingga SMP pada tahun 2015. Tujuan
MDGs ke 2, yakni ketidaksetaraan akses pendidikan dan latihan memiliki 3 indikator, yaitu:
(1) partisipasi di tingkat SD dan SMP; (2) proporsi murid yang bersekolah hingga kelas 5
dan tamat SD; (3) melek huruf usia 15-24 tahun. Secara umum gambaran angka partisipasi
murni (APM) di tingkat SD belum sungguh-sungguh mengalami progress yang terus positif,
melainkan mengalami fluktuasi dalam 3 tahun terakhir. Angka APM SMP mengalami
peningkatan dengan trend fluktuatif. Upaya keras masih dibutuhkan untuk mencapai target
100% seluruh penduduk Indonesia bersekolah hingga jenjang SMP. Terlebih terkait
partisipasi anak perempuan yang rasio partisipasinya lebih kecil dari anak laki-laki. Kondisi
ini menunjukkan profil pendidikan di Indonesia, dimana makin tinggi jenjang pendidikan,
makin rendah angka partisipasi perempuan.
Akan tetapi problem mendasar yang perlu segera mendapat solusi adalah bagaimana
target kuantitatif tersebut mampu bergeser ke target kualitatif. Harus diakui bahwa secara
kualitatif mutu pendidikan di Indonesia kurang merata, dan sepertinya makin ke pinggiran
makin rendah mutunya. Jadi berbagai lembaga pendidikan dari jenjang SD hingga
SMA/SMK yang berkualitas lebih terkonsentrasi di daerah perkotaan, sedangkan di daerah
pedesaan jauh lebih rendah kualitasnya.
Fenomena itu boleh jadi merupakan implikasi dari model kekuasaan Jawa. Sudah
sejak lama pilihan paradigma pembangunan di Indonesia menggunakan pendekatan
sentralistik yang sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. Model ini diterapkan
secara efektif pada era kerajaan Mataram dengan kota Jogja sebagai pusat dan sekaligus titik
pemusatan kekuasaan. Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya berjudul The Idea of
Power in Javanese Culture menggambarkan kekuasaan Jawa seperti daya pancaran lampu
pijar. Asumsinya adalah: (1) Raja dan Keraton merupakan sumber cahaya yang mengalir
dan memancarkan kekuasaan sehingga dapat memangku jagad raya dan negara atau menjadi
paku jagad semesta alam; (2) Kekuasaan raja Jawa seperti cahaya lampu pijar, makin dekat
dengan bolamnya makin terang, makin jauh makin lemah cahayanya hingga makin redup
dan hilang sinar-sinar yang berasal dari bolam sumbernya.
Dalam memberikan layanan publik pun juga menggunakan cara pandang yang sama
dengan daerah pedesaan atau pinggiran dalam posisi yang dipandang oleh pusat. Oleh
karena daerah pinggiran memang tidak perlu diperkuat, dan bahkan dibiarkan lemah, maka
pemberian layanan fasilitas publik pun sekehendak pemerintah pusat. Akibatnya semua
pelayanan publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan pun mengikuti pola pancaran
lampu pijar, makin jauh dari pusat makin minim dan jelek.
Oleh karena itu lembaga legislatif harus mendorong kebijakan yang menggunakan
paradigma pembangunan yang dimulai dari pinggir. Sebuah paradigma yang menjadikan
daerah pinggiran sebagai awal dari perubahahan, dan kemudian bergerak ke pusat.
Hortstmann dan Wadley (2006) dalam kata pengantar buku Centering the Margin: Agency
and Narative in Southeast Asian Borderlands menjelaskan bahwa dinamika sosial yang
terjadi di daerah pinggiran justru akan semakin menentukan kelangsungan negara-bangsa di
masa depan. Dalam prinsip centering the margin, menjadikan daerah pinggiran sebagai titik
awal perubahan bergerak secara dinamis ke arah pusat, sehingga titik kekuatan sebuah
negara ada dalam bingkainya yang berwujud kuatnya pertahanan di daerah perbatasan baik
secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan kebijakan seperti itu maka masyarakat nelayan
yang terpinggirkan dan sektor kelautan yang senantiasa tidak diprioritaskan akan menjadi
pusat perhatian dalam dinamika pembangunan nasional.
Sudah tentu mengubah paradigma ini tidak mudah, karena mengalihkan lokus
perhatian di daerah perbatasan bergerak ke pusat, pada prinsipnya mengubah paradigma
negara agraris menjadi negara maritim. Selama ini paradigma negara agraris lebih
dominan berpengaruh pada para pengambil keputusan, dengan orientasi memperkuat di
pusat. Sementara itu paradigma negara maritim yang lebih cenderung berorientasi
membangun kekuatan dari pinggir, kurang begitu populer.
Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran
Angkatan darat sebagai sebuah kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia
yang berorientasi ke darat daripada ke laut. Dalam masa pemerintahan Soeharto,
sentralisasi politik maupun ekonomi mengalami puncaknya dan menjadikan Jawa
secara tuntas sebagai pusat Indonesia. Dalam perkembangan sejarah nusantara semacam
itulah, konstruksi Indonesia sebagai archipelagic state atau negara yang semestinya
berbasis maritim telah terkonstruksi semakin dalam menjadi negara “darat” yang
berpusat di Jawa. Konstruksi negara “darat” yang mengagungkan sentralisme politik dan
ekonomi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kawasan perbatasan yang
dengan demikian diperlakukan sekadar sebagai kawasan pinggiran, marjinal, excluded
dan terbiarkan (Riwanto Tirtosudarmo, 2010, Mencari Indonesia, Jakarta: LIPI Press.)
Oleh karena itu sudah saatnya para pengambil kebijakan mulai memperhatikan
prinsip centering the marjin jika memang menginginkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia benar-benar kuat. Dalam pada itu, berbagai program pembangunan pelayanan
publik pun juga harus lebih memprioritaskan yang di perbatasan. Atau paling tidak
menjadikan daerah perbatasan sebagai titik berat pembangunan nasional dengan
mengutamakan pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Dalam
pelayanan pendidikan, sudah saatnya membangun fasilitas pendidikan seperti lembaga
pendidikan politeknik yang sesuai dengan karakter sosial budaya masyarakat perbatasan.
Demikian pula dalam bidang pelayanan kesehatan, kiranya unit yang paling depan,
yaitu Puskesmas perlu mendapat prioritas pengembangan dengan menambah paramedis
dan peralatan kesehatan hingga ke tingkat pembedahan. Demikian pula dalam bidang
pertahanan, daerah perbatasan di sekitar perairan laut Cina Selatan dan Lautan Pasifik
perlu mendapat perioritas pembangunan. Daerah seperti Natuna dan Batam perlu
dijadikan pangkalan Angkatan Laut utama dengan penambahan personil dan
ALUTSISTA yang memadai (Marsetio, 2012).
Penyebab lain adanya fenomena tidak meratanya pembangunan yang
berimplikasi terhadap semakin miskinnya warga di daerah pinggiran adalah kuatnya
model kekuasaan Jawa yang dipakai dalam mengelola Indonesia. Sudah sejak lama
pilihan paradigma pembangunan di Indonesia menggunakan pendekatan sentralistik
yang sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. Model ini diterapkan secara
efektif pada era kerajaan Mataram dengan kota Jogja sebagai pusat dan sekaligus titik
pemusatan kekuasaan. Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya berjudul The Idea of
Power in Javanese Culture menggambarkan kekuasaan Jawa seperti daya pancaran
lampu pijar. Asumsinya adalah: (1) Raja dan Keraton merupakan sumber cahaya yang
mengalir dan memancarkan kekuasaan sehingga dapat memangku jagad raya dan negara
atau menjadi paku jagad semesta alam; (2) Kekuasaan raja Jawa seperti cahaya lampu
pijar, makin dekat dengan bolamnya makin terang, makin jauh makin lemah cahayanya
hingga makin redup dan hilang sinar-sinar yang berasal dari bolam sumbernya.
Dalam memberikan layanan publik pun juga menggunakan cara pandang yang
sama dengan daerah pedesaan atau pinggiran dalam posisi yang dipandang oleh pusat.
Oleh karena daerah pinggiran memang tidak perlu diperkuat, dan bahkan dibiarkan
lemah, maka pemberian layanan fasilitas publik pun sekehendak pemerintah pusat.
Akibatnya semua pelayanan publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan pun
mengikuti pola pancaran lampu pijar, makin jauh dari pusat makin minim dan jelek.
Sebagai ilustrasi, tingkat kualitas pendidikan di DIY yang mengikuti pola
konsentris tersebut juga tercermin dalam kualitas layanan pendidikan, dalam arti
semakin ke daerah pinggiran semakin rendah tingkat kualitas fasilitas publiknya.
Minimnya fasilitas belajar, tidak meratanya sumber daya, dan makin rendahnya tingkat
status sosial ekonomi warga masyarakat di daerah pinggiran, merupakan beberapa faktor
yang berkaitan dengan rendahnya prestasi belajar warga masyarakat di daerah pinggiran.
Sementara itu secara kultural, pandangan dunia warga masyarakat pinggiran terhadap
dunia sekitarnya juga memberikan pengaruh signifikan terhadap makna bersekolah dan
makna belajar. Selama ini telah berkembang persepsi bahwa untuk apa sekolah dan giat
belajar, pada kenyataannya tidak mampu mengangkat status sosial. Mereka dengan
menempuh pendidikan, tetap saja tidak keluar dari kondisi hidup yang terjerat
kemiskinan. Warga daerah pinggiran, terutama di daerah pedesaan masih didominasi
cara berpikir fatalistik, mereka miskin karena memang ditakdirkan menjadi orang miskin
dan tertinggal. Oleh karena itu mereka beranggapan, untuk apa giat belajar jika pada
kenyataannya mereka tetap saja miskin. Kondisi hidup warga pinggiran yang miskin
berhubungan dengan kemalasan belajar.
Dengan konseptualisasi seperti itu maka pemerataan pendidikan akan bergerak
pula dari kawasan pinggiran ke pusat, sehingga sekolah-sekolah bermutu akan banyak
ditemui di daerah pedesaan. Konkretnya, nanti akan dijumpai SD atau SMA yang
bermutu di daerah Aceh, Kalimantan Utara, dan Papua. Untuk semua pemangku
kepentingan perlu memberikan pemahaman dan juga pengertian kepada jajaran eksekutif
untuk mencoba menerapkan model pelayanan pendidikan yang bergerak dari pinggir.
Kata pinggir ini juga bermakna marginal dalam arti luas, sehingga kaum
perempuan yang secara politik dan kultural sekarang ini masih menjadi bagian dari
kelompok yang termarginalkan, maka dengan paradigma tersebut juga perlu
memfokuskan pada perempuan sebagai titik awal dan bahkan titik pusat pembangunan.
Karena itu, para wakil rakyat terus perlu mendorong kebijakan yang memprioritaskan
pendidikan kaum perempuan. Dengan semangat Kartini yang konseptor Indonesia dan
sangat cerdas itu, maka sudah saatnya pendidikan kaum perempuan menjadi prioritas.
Jangan lupa Kartini adalah titik awal dan titik pusat pembentukan negara bangsa yang
bernama Indonesia. Kartinilah yang memiliki kesadaran keindonesiaan dengan
menekankan pentingnya pendidikan. Saya setuju dengan Pramoedya, Kartini adalah
konseptor Indonesia, sedangkan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll itu adalah pelaksana. Jadi
Indonesia dimulai dari Induk, dari Ibu, dari Perempuan, yang ironisnya sekarang
dipinggirkan, dan bahkandalam istilah Sipvak, sebagai subaltern.
3. Kebijakan Pendidikan
Kita mulai dari aspek kebijakan pendidikan selama kita merdeka. Bagaimana
kebijakan pendidikan kita selama ini? Soekarno menghendaki bahwa peserta didik harus
memiliki jiwa revolusioner dan menyediakan SDM yang mampu bersaing dengan bangsa
lain. Ia membayangkan peserta didik Indonesia harus memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotik, karena itu penyelenggaraan pendidikan harus mengikuti Tri Sakti, berdaulata
secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Akan tetapi karena tiadanya program yang jelas,
serta minimnya infrastruktur, hiruk pikuk politik-ideologis, maka pendidikan kita boleh
dikatakan gagal total. Soekarno sendiri kurang konsisten, dengan menempuh jalan pintas
meniru gaya pendidikan blok Timur, dengan mengirim SDM potensial ke Rusia. Keadaan
lebih buruk ketika Soekarno kalah dalam percaturan politik nasional, dan Indonesia berada
dalam genggaman Barat dengan Soeharto memegang tampuk pimpinan.
Memasuki era Orde Baru kebijakan pendidikan mulai sedikit terencana cukup
memadai. Setelah mendapat banjil rejeki minyak (oil boom), maka cukup dana melimpah
membangun infrastruktur sebagai solusi keadaan darurat pendidikan. Melalui Inpres,
dibuatlah puluhan ribu gedung sekolah dasar hingga ke pelosok tanah air, dan dicanangkan
wajib belajar 6 tahun. Harus diakui kebijakan ini secara kuantitatif berhasil, dan bahkan
menyusul kemudian pencanangan wajib belajar 9 tahun. Jutaan usia sekolah dapat
ditingkatkan dengan minimal lulus SD dan SMP. Bahkan Orde Baru berhasil memberantas
buta huruf bagi warga Negara dewasa melalui program Kejar Paket A dan B.
Akan tetapi secara kualitatif kurang memuaskan, terlebih lagi ketika dikaitkan
dengan kualitas lulusannya. Ada beberapa sebab, antara lain soal kualitas gurunya. Oleh
karena semua dikendalikan lewat Inpres maka semuanya serba darurat dan memang politik
Soeharto adalah politik darurat. Pengadaan guru dilakukan melalui crashprogram, lulusan
SMP dididik secara kilat dan kemudian diangkat jadi guru. Lalu pemerintah mendirikan
SPG/SGO dan dalam waktu 10 tahun pengadaan guru untuk mengisi SD Inpres telah dapat
terpenuhi. Akan tetapi pengadaan guru secara darurat berimplikasi terhadap kualitas
pembelajaran dan akhirnya kualitas lulusan yang jauh dari harapan. Dampak pengadaan
guru secara darurat itu sampai sekarang masih terasa.
Era Orde Baru juga membuat kebijakan kependidikan yang berkaitan dengan
sentalisasi politik serta kesiapan masuk era masyarakat industri. Maka ketika Nugroho
Notosusanto dan kemudian diteruskan Daoet Joesuf, pendidikan diselenggarakan dengan
konsep saintific community. Kebijakan NKK/BKK diterapkan agar peserta didik a politik,
focus saja belajar. Kebijakan ini berakibat pada daya kritis peserta didik tidak terasah dan
terlalu teknokratis. Kurikulum pun diterapkan dengan prinsip pengendalian secara
sentralistik, dan kecurigaan akan potensi peserta didik untuk memberontak. Kurikulum,
metode pembelajaran, dan aspek menajemen dikendalikan secara sentralistik. Kurikulum
diubah mengikuti periode tahun, dan metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dikenalkan
pada guru. Akan tetapi perubahan kebijakan itu tidak cukup mampu menghasilkan lulusan
sekolah dan perguruan tinggi yang mampu mendorong ke arah masyarakat industrial yang
dicita-citakan.
Setelah itu pemerintah mencanangkan kebijakan link and macth untuk mendorong
masyarakat industrial, dan mengurangi kecenderungan pengangguran terdidik. Lagi-lagi
karena tidak mampu mengidentifikasi persoalan fundamental, maka kebijakan dan program
ini pun gagal total. Tetap saja lulusan pendidikan tidak mampu bersaing, dan mendorong ke
arah penguatan sentra-sentra produksi. Malah yang terjadi adalah sebuah ironi, lulusan
pendidikan meninggalkan pertanian yang merupakan basis kultur bangsa ini. Akibatnya
sector vital ini kian terbengkelai dan ditinggalkan, sehingga agroindustry dan agribisnis
yang digembar-gemborkan ya hanya sebatas gembar-gembor. Kelautan pun juga hanya
dibiarkan menjadi zona potensial karena tiadanya ketersediaan SDM mumpuni kelautan
hasil proses pendidikan. Maka tidak heran jika negeri yang memiliki pantai terpanjang ini
garam aja impor, dan ikannya dicuri terus oleh Negara-negara industry maju. Belakangan
solusinya dengan cara koboi, menembaki dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang
diduga mencuri ikan oleh Menteri Kelautan Susie yang aduhai itu.
Pada era Wardiman Djojonegoro juga ditandai masuknya ideologisasi agama (Islam)
seiring dengan meningkatnya peran ICMI masuk Negara. Departemen Pendidikan Nasional
dijadikan sebagai pintu masuk gerakan Islam politik masuk Negara, dan kebijakan yang bias
agama mulai terasa menggantikan kecenderungan internalisasi ideologi Negara. Pada fase
ini kepentingan Ormas Muhammadiyah cukup terwakili dalam berbagai kebijakan strategis
di bidang pendidikan hingga pasca Orde Baru, yang ditandai menterinya hampir semua dari
kalangan Muhammadiyah. Baru sedikit berhenti ketika menterinya Moh. Nuh dari Nadlatul
Ulama. Tetapi yang belum berhenti adalah ideologisasi kementerian pendidikan yang bias
agama berlangsung hingga sekarang.
Pada era pasca Orde Baru kebijakan pendidikan mulai dirombak dengan semangat
demokratisasi. Pengelolaan sentralistik diubah menjadi desentralistik dengan memperbesar
peran daerah mengikuti pemberlakukan Otonomi Daerah. Pemerintah kemudian
mencanangkan kebijakan pendidikan karakter dengan memberi target ambisius bahwa
lulusan pendidikan harus memiliki 18 karakter yang luhur-luhur. Kebijakan ini hingga fase
perkembangannya sekarang juga belum tampak hasilnya, dan sebegitu jauh tampak gejalan
ke hanya retorika saja. Penyebabnya antara lain karena terlalu ambisius, dan muluk-muluk,
sementara secara structural dan kultural tidak digarap secara serius. Katanya pendidikan
harus menanamkan nilai kejujuran, tetapi praktik penyimangan dalam UN merajalela. Jadi
proses pendidikan mengalami kontradiksi. Belum lagi tidak dibarengi dengan mentalitas
penyelenggaraan Negara di luar sekolah. Dididik apik-apik muridnya, tetapi di luar sekolah,
struktur social dan kulturnya korup. Lha nggih percuma.
Kurikulum pun berubah-ubah sebagai akibat dari mentalitas mengejar proyek jajaran
Diknas. Tadinya kurikulum 13 terus diubah Kurikulum KKNI. Tetapi karena kualitas
gurunya juga belum memadai, dan kemampuan tata kelola sekolah juga belum memadai
secara merata, maka implementasi kurikulum ini juga banyak masalah. Aspek evaluasi aja
misalnya, untuk kurikulum 13 banyak guru yang tidak memiliki kemampuan observasi,
sehingga ya tidak maksimal dan kembali ke orientasi hasil, bukan proses sebagaimana
diharapkan kurikulum 13 itu sendiri. Sebuah ironi dan bahkan kontradiktif.
Kemudian pemerintah Jokowi-JK mencanangkan revolusi mental dalam dunia
pendidikan. Idenya mirip dengan Soekarno agar pendidikan menghasilkan warga Negara
yang bermental patriotik dan nasionalis. Maka dengan Tri Sakti dan Nawacita, proses
pendidikan harus memiliki identita yang bermartabat sebagai bangsa, yaitu berdaulat baik
secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tetapi hingga sekarang revolusi mental ini juga
masih belum memiliki gaung dan greget yang menggerakan energi masyarakat. Tampak
penyelenggaraan pendidikan juga masih terjebak pada rutinitas saja.
Begitulah, dinamika perjalanan kebijakan pendidikan Negara ini berlangsung secara
fluktuatif mengikuti karakter rezim pemerintahannya. Apa pun alasannya, hampir setiap
periode pemerintahan tidak berhasil memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing
pengambil kebijakan dalam proses pendidikan itu. Penyebabnya di samping, mentalitas
proyek, parsial dan tidak komprehensif, tambal-sulam, dan disorientasi, juga karena tidak
mampu mengidentifikasi persoalan fundamentalnya. Jika pada level identifikasi masalah
saja sudah keliru, maka solusi yang ditawarkan juga tidak tepat sasaran.
Tapi menurut saya itu bukan persoalan fundamental. Persoalan fungdamental adalah
kemandirian bangsa dalam arti mandiri secara keseluruhan. Jadi bangsa ini harus merdeka
dari jeratan narasi dominan yang menundukan kesadaran sebagai bangsa mandiri. Jeratan
narasi dominan itu antara lain: Sistem keyakinan yang diimpor dari luar; Sistem politik yang
diimpor dari luar; Sistem ekonomi yang diimpor dari luar; Sistem pendidikan yang diimpor
dari luar; dan sistem pengetahuan yang diimpor dari luar. Semuanya itu tidak pernah
dikunyah dengan kritis, semuanya langsung ditelan mentah-mentah. Semuanya itu adalah
membuat sistem kesadaran kita sebagai bangsa diimpor dari luar, tanpa ada negosiasi, jeda,
dan resistensi dengan perspektif kritis.
Mengapa kita tidak mandiri, kaerna kita didekte oleh narasi-narasi besar yang
semuanya bukan kesadaran sejarah kita. Kita tidak mempunyai keberanian terhadap kontrol
dan kendali dari narasi besar itu. Mengapa? Karena kita tidak mampu menciptakan dan
membangun critical mass, yaitu rakyat yang kritis. Kita hanya bejana kosong yang tunduk
dan ditundukan oleh narasi besar yang seenaknya menggerojok pikiran kita yang memang
kosong. Jadi kita memang tidak mempunyai karakter. Kita tidak mampu menjadi agen dan
agency untuk menggoyang atau mendestabilisasi kemapanan narasi besar yang
membelenggu dari dunia ide hingga praksis kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan.
Mengapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat? Karena selama
ini praksis pendidikan kita lebih menunjukkan karakter sebagai pendidikan imitatif. Mari
kita mulai dari pertanyaan filosofis, apakah pendidikan kita mengajari untuk berpikir?
Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi, dan karena itu malas berpikir.Kalau toh diajari
berpikir itu pun dengan logika berpikir konvensional. Imitasi bukanlah aktivitas berpikir,
tetapi meniru dan karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan konsumtif.
Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan sekaligus mengejak terhadap
yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara pasif terhadap yang ditirunya, karena itu
gampang dikontrol oleh yang ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan
karena itu tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah begitu
lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan hingga fase
perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya. Bahkan yang terjadi melakukan
selebrasi atas peniruannya itu, dan dengan demikian juga merayakan ketertundukannya
terhadap yang ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang
dirayakannya secara gegap-gempita.
Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena menyemaikan
kesadaran kritis.Representasi murid adalah representasi yang dibentuk, dipandang, dan
mengalami objektivikasi tanpa otonomi. Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun
kesadaran kritis yang menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang
secara cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban manusia.
Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai arena emansipatoris, di
Indonesia terdengar sayup-sayup. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan
struktural.
Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan memindahkan pola yang
sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat pelopor moda produksi kapitalisme dan
Timur Tengah pengkonstruksi Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak
mengajari bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya. Karena itu
lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam pola, tidak peduli pola itu sudah
usang atau tidak, kontekstual atau tidak. Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara
berpikir dan praktik polaritatif itu, sehingga murid peniru ulung, dan bukan pencipta.
Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang berkehendak, tetapi hanya
melahirkan murid yang dikehendaki, dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik
dalam “cara berpikir” maupun praktik.
Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh bertanya, tetapi memang
tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi menjawabnya. Dan bukan hanya itu, murid juga
sekaligus diajari menjawabnya. Jadi pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada
hakekatnya adalah bukan pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan
sekaligus jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang sekaligus
kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap kapitalisme dan agama. Karena itu
murid tidak punya representasi kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu
yang dibentuk oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat
“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya diisi oleh imitasi.
Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu berlangsung pada berbagai
aspek, mulai dari sistem hukum, sistem politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata
lain, tidak tumbuh karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat
dari proses imitasi yang intensif dan masif. Oleh karena itu sudah saatnya kita menerapkan
pendidikan transformatif sebagai upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan mampu
menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berperan aktif dalam percaturan peradaban
dunia. Tentu saja praksis pendidikan transformatif itu lebih mengedepankan aspek
kualitatifnya, bukan sekadar mengejar target kuantitatif dan formalistik.
C. PENDIDIKAN TRANSFORMATIF
Masyarakat telah lama menjadi perhatian utama disiplin ilmu sosial, terutama yang
berkaitan dengan karakter dan gerak perubahannya. Tradisi disiplin sosiologi misalnya,
sudah sejak August Comte tertarik mencermati karakter dan gerak perubahan masyarakat.
Melalui landasan filsafat positivisme, Comte berasumsi bahwa masyarakat bergerak secara
linier mengikuti tahapan-tahapan historis menuju ke arah yang ia anggap lebih maju.
Dengan menyodorkan hukum tiga tahap, Comte menjelaskan sejarah perkembangan
masyarakat bergerak secara evolutif, dari masyarakat teologis kemudian berkembang ke
arah semakin modern berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
positivistik.
Hukum tiga tahap atau teori evolusioner masyarakat, menurut Comte menjelaskan
ada tiga tahap intelektual yang dilalui sepanjang sejarah dunia. Menurut Comte, bukan dunia
saja yang melalui proses tersebut, tetapi kelompok, masyarakat, ilmu, individu, dan bahkan
pikiran pun melalui tiga tahap yang sama. Yang pertama adalah tahap teologis, yang
menandai dunia sebelum tahun 1300. Selama periode itu, sistem ide utama menekankan
kepercayaan bawa akar segala sesuatu adalah kekuatan-kekuatan supernatural dan tokoh-
tokoh agamis yang diteladani oleh manusia. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dianggap
dihasilkan oleh Tuhan. Tahap kedua ialah tahap metafisik, yang terjadi kira-kira tahun 1300-
1800. Era itu ditandai oleh kepercayaan bahwa daya-daya abstrak seperti “alam”, bukan
dewa-dewa yang berpribadi, yang menjelaskan hampir segala sesuatu. Akhirnya, pada tahun
1800 dunia memasuki tahap positivistik, yang ditandai oleh kepercayaan pada ilmu
pengetahuan. Mulai tahun tersebut orang cenderung membuang pencarian sebab-sebab
absolut (Tuhan atau alam), dan sebagai gantinya memusatkan perhatian pada pengamatan
dunia sosial dan fisik untuk mencari hukum-hukum yang mengaturnya (Ritzer, 2011: 25-
26).
Pendekatan Comte dalam menjelaskan perkembangan masyarakat itu kemudian juga
banyak diikuti oleh sosiolog evolusionis, mulai dari Herbert Spencer, Charles Darwin, dan
kemudian juga Emile Durkheim yang memandang masyarakat sebagai sebuah organisme.
Bahkan kemudian pada teori-teori yang lebih modern, banyak pemikir developmentalisme
mengikuti pendekatan Comteian. Sebut saja misalnya, Alfin Toffler dengan teori
perkembangan komunikasi, dan J. Rostow dengan model masyarakat tinggal landas.
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave, menjelaskan perkembangan
masyarakat dalam kurun waktu 10.000 tahun menggolongkan dalam tiga gelombang.
Gelombang pertama, terbentuknya masyarakat pertanian, gelombang kedua terbentuknya
masyarakat industri, dan gelombang ketiga apa yang ia sebut sebagai terbentuknya
masyarakat informasi. Dalam kasus yang lain, membumbung tingginya biaya produksi dan
faktor keterbatasan sumber daya, telah memaka masyarakat industri untuk terus melakukan
pelbagai penelitian dan penemuan dengan menggunakan pelbagai teknologi tinggi. Batu
bara, rel kereta api, tekstile, baja, mobil, karet, alat-alat dan mesin pabrik pada akhirnya bisa
digolongkan sebagai industri klasik dalam era industri. Sedangkan W. W. Rostow
menyodorkan konsep pembangunan tinggal landas, tetap dengan asumsi bahwa
perkembangan masyarakat berjalan secara linier dari masyarakat tradisional, prakondisi
tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan, dan akhirnya masyarakt konsumsi
tinggi.
Pendekatan evolusioner positivistik seperti itu pernah amat digandrungi di Indonesia,
terutama pada masa Orde Baru. Melalui pencanangan politik pembangunan, pemerintah
Soeharto bersama ekonom dan teknokratnya mendesain Indonesia menuju masyarakat
tinggal landas. Sejak awal pemerintahannya, Soeharto telah menerapkan rekayasa sosial
politik secara linier terkendali melalui mekanisme pembangunan limatahunan. Format
pembangunan yang diwujudkan melalui program apa yang populer disebut sebagai Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di berbagai sektor, Indonesia oleh Soeharto akan
dibawa menuju perubahan ke arah masyarakat modern. Ia berkeyakinan bahwa hanya
dengan modernisasi di segala bidang akan mampu mewujudkan cita-cita masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kira-kira pada paruh dekade 1990-an, pemerintah Orde Baru bahkan dengan
bersemangat mendorong menuju masyarakat tinggal landas sebagaimana pemikiran Rostow.
Berbagai persyaratan pada setiap tahapan perkembangan sebagaimana dianjurkan Rostow,
dengan ketat berusaha dipenuhi oleh pemerintah Orde Baru agar perkembangan ke arah
masyarakat tinggal landas dapat diwujudkan. Akan tetapi, cita-cita itu gagal diwujudkan
karena lebih mengedepankan pembangunan fisik, dan mengabaikan aspek sosial-budaya.
Berbagai pembangunan infrastruktur telah berusaha diwujudkan sebagai landasar pacu
perubahan masyarakat, tetapi bersamaan dengan itu tanpa diikuti oleh transformasi sosio-
kultural, sehingga bangsa Indonesia tidak jadi tinggal landas, tetapi masih tetap tinggal di
landasan, dan bahkan landasannya itu sendiri makin rusak.
Pada periode itu, ilmu pendidikan juga mengikuti arus pemikiran
developmentalistik, sehingga ilmu pendidikan menjadi bagian dari rekayasa sosial politik
Orde Baru. Para perancang pendidikan meyakini benar bahwa lembaga pendidikan adalah
sarana penting untuk “mencetak” sumber daya manusia yang menopang gerak
pembangunan nasional. Lembaga sekolah pun ramai-ramai mengadopsi apa yang dikenal
dengan human capital, dengan asumsi bahwa pendidikan adalah sebuah investasi.
Pendidikan teknokratik seperti itu sangat digandrungi oleh pengambil kebijakan pendidikan
pada era Orde Baru, dan bahkan hingga sekarang. Akibatnya perspektif human development
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) tertekan surut. Meskipun di mana-
mana didengungkan pentingnya paradigma konstruktivistik dalam pembelajaran, tetapi pada
kenyataannya tetap paradigma behavioristik yang lebih terasa dengan tetap menempatkan
murid sebagai obyek, bukan subyek aktif. Inilah sebabnya mengapa bangsa Indonesia
hingga sekarang kurang memiliki jiwa kreatif dan inovatif, tetapi praktis hanya sebagai
penurut dan obyek, sehingga menjadi bangsa tergantung dan konsumtif atas kreativitas
bangsa dari negara-negara industri maju.
Kegagalan membawa Indonesia ke arah cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu
menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat dalam pecaturan dunia, salah satu penyebab
utamanya adalah terlalu yakin pada pendekatan evolusioner-positivistik yang menggunakan
latar belakang masyarakat Barat. Diungkapkan dalam bahasa teori kritis, kegagalan tersebut
akibat salah konsep oleh disainer Orde Baru yang terlalu menerima tanpa resep model
pembangunan Barat, tanpa mempertimbangkan aspek historis bangsa Indonesia sendiri,
sehingga pendekatan tersebut bersifat ahistoris. Di mana pun pendekatan yang ahistoris
senantiasa menemui kegagalan, sebagaimana dialami bangsa di Amerika Latin yang
kemudian dialami pula oleh bangsa Indonesia.
Ketika Indonesia memasuki era demokrasi, optimisme begitu tinggi untuk
mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Berbagai pendekatan
yang berbeda dengan pendekatan lama ditempuh untuk menunjukkan faktor pembeda
dengan era sebelumnya. Akan tetapi pada kenyataannya, perubahan itu tidak kunjung
datang, bahkan yang terjadi malah masuk dalam pusaran masyarakat konsumtif. Kendali neo
liberalisme semakin terasakan, dan bangsa ini semakin tergantung. Bersamaan dengan itu
etos kolektif tidak mampu diwujudkan sebagai prasarat menuju masyarakat yang
transformatif. Dunia pendidikan pun juga ramai-ramai mengikuti arus ini, menjadi bagian
dari hiruk-pikuk masyarakat konsumtif. Demokrasi yang begitu diharapkan mendorong
masyarakat kreatif, pada kenyatannya semakin kehilangan daya kreativitasnya itu sendiri
tergerus oleh budaya konsumtif.
Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha memberikan tawaran alternatif dari
pendekatan yang berbeda, terutama dari perspektif pendidikan kritis. Sebuah pendekatan
yang memfasilitasi berkembangnya kreativitas bagi warganya, sehingga mampu menjadi
subyek aktif menuju perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatif. Lalu di mana
posisi ilmu pendidikan dan lembaga pendidikan? Tulisan ini akan berusaha memberikan
jawaban pertanyaan penting tersebut.
Manusia sebagai mahkluk berakal budi tentu menyadari bahwa perubahan sosial
adalah sebuah keniscayaan atau sesuatu yang imperatif. Di sini kemudian pendidikan diberi
rumusan ideal sebagai wahana untuk pencerahan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kata pencerahan ini tentu merujuk pada spirit era pencerahan atau enlightenment atau
aufklarung pada abad limabelas di Eropa Barat yang radikal. Artinya semangat untuk
menuju perubahan dengan mendekonstruksi struktur dan kultur sebelumnya yang
membelenggu, mencengkeram, dan mengungkung kesadaran manusia sebagai mahkluk
kreatif. Dengan kata lain, semangat pencerahan di sini bersifat radikal anti kemapanan, dan
menghendaki perubahan yang lebih menghargai manusia sebagai mahkluk berkehendak
perubahan. Dalam pada itu, siapa pun yang masuk dalam proses pendidikan akan senantiasa
terkena “virus” pencerahan seperti kesadaran kritis, kreatif, inovatif, dan subversif. Proses
pendidikan seperti akan senantiasa menghasilkan outcome yang berperan besar terhadap
proyek perubahan sosial.
Namun demikian, jika melihat pada praksis pendidikan kita sekarang, pertanyaan
kritis yang bisa duajukan adalah, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini
apakah mengarah pada proses pencerahan peserta didik atau menghamba pada kemapanan?
Jawaban atas pertanyaan itu dapat membawa pada diskusi yang panjang lebar. Tetapi bagi
siapa saja yang pernah bergelu di dunia pendidikan kita, akan cenderung menjawa yang
kedua.
Serba-serbi yang terekspose di media massa dalam lima tahun terakhir ini
mengindikasikan bahwa praksis pendidikan kita memang cenderung mendukung
kemapanan. Misalnya persoalan-persoalan seperti rendahnya daya kritis siswa, murid takut
bertanya, murid terkena sindrom stigma pembangkangan, murid sarat beban akibat
penjejelan pelajaran yang melampau takaran, kekakuan kurikulum, serba penyeragaman,
ketidakberdayaan guru, dan juga birokrasi pendidikan yang hegemonik, adalah persoalan-
persoalan khas pendidikan anti perubahan.
Ambil contoh fenomena penyeragaman misalnya. Semua merasakan betapa anak
didik kita dewasa ini selalu dibiasakan serba seragam. Sejak dari TK hingga sekolah
menengah umum, mereka diharuskan memakai seragam. Ya baju, celana, topi, ikat
pinggang, sepatu, sampai kaos kaki. Lebih dari itu kurikulum pun diseragamkan, termasuk
juga cara mengajarnya mesti seragam. Siapa saja murid yang menolak arus serba seragam
ini akan terkena stigma pembangkangan dan divonis sebagai murid yang aneh, nduggal,
tidak tahu aturan, dan karena itu harus “dibina” alias perlu mendapat perlakuan semacam
brain washing.
Repotnya arus penyeragaman itu tidak saja yang bersifat fisik, melainkan sampai
pada penyeragaman tingkah laku, dan bahkan cara berpikir. Diciptakan kondisi sedemikian
rupa sehingga murid dan bahkan juga mahasiswa tidak punya peluang berpikir lain dari apa
yang diajarkan guru atau dosen. Akibatnya keberagaman berpikir menjadi lenyap. Anak
didik kita pun tiba-tiba menjadi penurut akibat cara mengajar guru yang memang
menghendaki murid serba menurut. Ruang kelas bukan tempat pencerahan bagi murid,
melainkan sering menjadi tempat di mana pemikiran kritis dikikis. Para siswa dan juga
mahasiswa seringkali di drill jadi mesin hafalan. Bukan diajari bagaimana berpikir logis,
kritis, dan kreatif, melainkan diajari membeo.
Simak saja bagaimana guru masih sering menerapkan cara mengajar seperti ini:
“Anak-anak, ibukota Jawa Tengah adalah se…se…se…? Maka murid pun
menjawa serentak: “Semarang….pak guru.” Ada lagi model seperti ini: “Anak-anak, ciri
warga masyarakat desa adalah ber…..?” “Bergotong royong..” “Salah”. “Bercocok tanam.”
“Salah”. “Yang betul adalah bertani anak-anak…”
Cara mengajar semacam itu secara tidak sengaja membentuk murid menjadi
penurut, takut berpendap lain, dan serba instruktif. Jawaban murid selalu disalahkan, yang
benar adalah selalu jawaban guru. Murid selalu banyak dilarang atau diatur, harus begini
dan begitu. Akibatnya murid terkondisi serba instruktif, maka untuk membaca buku pun
harus menunggu instruksi. Bahkan kebiasaan ini berlanjut hingga di perguruan tinggi.
Mobilitas mahasiswa dalam mencari buku-buku sumber belajar menjadi rendah, karena
perilaku membaca masih harus menunggu perintah dosennya. Spontanitas, antusiasme,
kreativitas, dan imajinasi murid menjadi terpasung.
Pola penyampaian isi pelajaran dari guru dianggap serba tahu kepada murid yang
dianggap tidak tahu apa-apa, masih terasa sekali dalam proses belajar di sekolah-sekolah
kita. Proses belajar semacam itu, sadar atau tidak mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi
penurut. Akibatnya murid kurang berani berpendapat lain daripada yang berkuasa, entah di
sekolah, di lingkungan keluarga, dan akhirnya pada lingkungan kehidupan politik
kemasyarakatan (Wahyono, 1997).
Melihat tuntutan yang berkembang di masyarakat, agaknya pembelajaran
konvensional semacam itu sulit dipertahankan. Hasil-hasil dari proses pendidikan yang
demikian tidak pernah akan bisa berdaya bila memang menghendaki adanya perubahan
sosial. Gaya pendidikan konvensional seperti itu tidak mungkin menghasilkan peserta didik
yang memiliki visi ke depan untuk mengatasi berbagai problem fundamental menuju
perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris.
Kurikulum pun juga belum memfasilitasi terjadinya masyarakat yang
transformatif. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum pendidikan nasional, akan tetapi tetap
saja belum bervisi perubahan sosial atau menuju masyarakat tranformatif. Kurikulum KKNI
misalnya, adalah sebuah ironi ketika sistem politik sudah demokrasi, tetapi kurikulumnya
masih sentralistik dengan dikerangkai nasional yang sebenarnya bahasa lain dari terpusat.
Konstruksi identitas yang dibentuk melalui institusi pendidikan pun akhirnya konstruksi
pusat, dan bukan konstruksi dari masyarakat kewargaan.
Hasil diskusi PGRI-“Kompas” menilai bahwa visi kurikulum pendidikan di
Indonesia yang deterapkan selama ini terkesan gado-gado alias campuran dengan eksekusi
serba tanggung dan kurang konsisten. Ada kesan kurikulum kental dimensi akademik.
Namun, tidak sungguh-sungguh mengembangkan pemikiran kritis sebagai level berpikir
tingkat tinggi. anak sekadar menghafal. Ketika mesti menyelesaikan masalah (problem
solving) di luar teks yang dibaca, anak akan kesulitan alias tidak bisa mebuat pemindahan
persoalan ke dunia nyata (Kompas, 5 Mei 2014: hal. 12).
2. Pendidikan Kritis
Merespons dominasi pemikiran evolusioner-positivistik tersebut muncul pendekatan
alternatif yang mengedepankan paradigma konstruktivistik dan juga paradigma kritis.
Berbeda dengan paradigma positivistik yang berasumsi bahwa masyarakat berkembang
secara linier, paradigma konstruktivistik dan paradigma kritis berasumsi bahwa masyarakat
berkembang secara zig-zag, diskursif, dan dinamis. Tidak mengakui adanya parameter
tunggal dan standarisasi, tetapi semuanya mengikuti logika berpikir kontekstual dan saling
memberi apresiasi. Posisi individu pun tidak ditempatkan sebagai pasif, tetapi merupakan
subyek aktif yang mengkonstruksi dan bersikap kritis yang senantiasa berkehendak
perubahan dan anti kemapanan. Di samping itu, paradigma kritis tidak pernah percaya
adanya netralitas, semua tindakan sosial dan entitas apa pun senantiasa ada kepentingan.
Tidak terkecuali dunia pengetahuan dan juga pendidikan. Oleh karena itu dunia pengetahuan
dan pendidikan pada umumnya, tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi
senantiasa menyembunyikan kepentingan.
Sebagaimana dikatakan Habermas yang membedakan tiga sistem pengetahuan
dan kepentingan mereka masing-masing. Kepentingan-kepentingan yang terletak di
belakang dan menuntun masing-masing sistem pengetahuan umumnya tidak diketahuo
orang awam, dan tugas para teoritisi kritislah untuk menemukannya. Tipe pertama
pengetahuan adalah ilmu analitik, atau sistem-sistem ilmiah positivistik klasik. Dalam
pandangan Habermas, kepentingan yang mendasari sistem pengetahuan demikian adalah
prediksi dan kendali teknis, yang dapat diterapkan kepada lingkungan, masyarakat-
masyarakat lain, atau orang-orang di dalam masyarakat. Di dalam pandangan Habermas,
ilmu analitik sangat mudah meminjamkan diri untuk mempertinggi pengendalian yang
bersifat menindas. Tipe kedua sistem pengetahuan adalah pengetahuan humanistik, dan
kepentingannya adalah untuk memahmi dunia. Sistem itu bekerja dari pandangan umum
bahwa memahami masa silam kita pada umumnya membantu kita untuk memahami apa
yang terjadi di masa kini. Sistem itu mempunyuai kepentingan praktis di dalam pemahaman
bersama dan pemahaman pribadi. Ia tidak bersifat menindas juga tidak membebaskan. Tipe
ketiga ialah pengetahuan kritis, yang didukung oleh Habermas, dan aliran Frankfurt pada
umumnya. Kepentingan yang melekat kepada tipe pengetahuan tersebut ialah emansipasi
manusia. Diharapakan bahwa pengetahuan kritis yang dihasilkan oleh Habermas dan orang
lain akan meningkatkan kesadaran diri masssa (melalui mekanisme yang diartikulasi oleh
para Freudian) dan menyebabkan suatu perubahan sosial yang akan menghasilkan
emansipasi yang diharapkan (Ritzer, 2011: 490).
Merujuk apa yang dikemukakan Habermas tersebut, menjadi jelas bahwa pada era
Orde Baru secara intensif telah menerapkan paradigma positivistik. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika bersifat otoriter, mendominasi, menindas, dan senantiasa menempatkan
warga masyarakat sebagai obyek. Pemerintah pun berposisi sebagai pengendali, pengontrol,
pemberi perintah kepada rakyat yang secara sengaja memelihara pola hubungan vertikal dan
komunikasi searah. Tidak sedikit pun warga pada waktu itu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi, apalagi beremansipasi. Semuanya serba komando, searah, dan harus
dilaksanakan. Mekanisme pembangunan dari bawah (bottom-up) kurang dibuka, tetapi lebih
top-down dengan rakyat dimobilisasi.
Meskipun beberapa metode pembelajaran konstruktivistik telah diintrodusir dan
bahkan ada pula yang ditetapkan sebagai kebijakan, akan tetapi oleh karena tarikan politik
sentralistik, pada akhirnya metode pembelajaran konstruktivistik itu kurang terimplementasi
secara optimal. Ambil contoh misalnya, pada era sembilanpuluhan dikeluarkan kebijakan
untuk menerapkan metode pembelajaran konstruktivistik “Cara Belajar Siswa Aktif” atau
populer dengan kependekannya, yaitu CBSA. Namun dalam perkembangan lebih lanjut
metode itu hanya formalistik, dan kurang tercermin dalam proses pembelajaran di sekolah
sehari-hari. Bahkan kemudian CBSA sering diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis.
Itu mengindikasikan bahwa tarikan nuansa sentralistik sebagai implikasi pilihan sistem
politik otoritarian terasa lebih kuat, sehingga praksis pembelajaran lebih banyak bersifat
instruktif.
Itulah sebabnya, mengapa hasil-hasil pendidikan seperti itu kurang mampu
membentuk sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif sehingg mendorong masyarakat
transformatif. Siswa lebih terformat identitasnya sebagai pribadi penurut, pragmatik, dan
kurang mampu mengembangkan imajinasi. Logika berpikir konvergen pun lebih menonjol,
sehingga kurang kreatif dan kurang berani berpikir alternatif. Sementara itu cara berpikir
devergen tidak terjadi dalam diri siswa, semuanya pragtis hanya mengikuti instruksi dan
kurang terbiasa berpikir out of box. Pembentukan cara berpikir konvergen itu tidak saja
terbentuk pada proses penyampaian pesan-pesan pembelajaran, tetapi juga tercermin pada
aspek evaluasinya. Sudah sejak lama evaluasi belajar menggunakan model pilihan berganda
(multiple choise), sehingga terus menyuburkan cara berpikir konvergen. Akibatnya siswa
kurang mampu mengembangkan cara berpikir alternatif, kreatif, dan inovatif. Daya-daya
imajinasinya pun tidak pernah terasah, karena itu pula kemampuan bertanya pun tidak
terbentuk. Bahkan murid menjadi takut bertanya, takut salah, dan takut berpikir alternatif
yang menjadi sumber kreativias.
Lalu bagaimana situasinya sekarang? Meskipun sistem politik sudah berubah ke
arah lebih demokratis, tetapi hasil-hasil pendidikan juga tidak terlalu beranjak dari hasil-
hasil pendidikan era Orde Baru. Mengiringi arus demokratisasi, proses pendidikan formal
pun juga berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan baru. Pemerintah pun pada
awal millennium 2000 menerapkan kebijakan pendidikan desentralistik setelah
mengesahkan UU No. 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa wewenang paling besar
untuk sektor pendidikan dari jenjang pra sekolah hingga sekolah menengah atas adalah
urusan pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi pendidikan ini kemudian
diperkuat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain
mewajibkan bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
Akan tetapi di tengah menguatnya arus desentralisasi pendidikan itu, pemerintah justru
masih mengeluarkan kebijakan sentralistik, seperti penyelenggaraan Ujian Nasional.
Kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia
masih belum menemukan bentuknya yang baku, masih terus dalam proses pencarian dan
mengundang pro-kontra. Ujian nasional adalah contoh aktual betapa rumitnya persoalan di
seputar mutu pendidikan di negeri ini. Putusan Makamah Agung yang menolak kasasi
pemerintah soal gugatan ujian nasional pada akhir tahun 2009 merupakan indikator betapa
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan masih rentan.
Kebijakan evaluasi misalnya, pemerintah telah menetapkan angka 5,26 sebagai standar
kelulusan bagi siswa di tingkat sekolah dasar sampai SMA bagi setiap mata pelajaran yang
ditetapkan sebagai mata ujian nasional. Tetapi model evaluasi ini masih mengundang pro-
kontra, dan dipertanyakan kadar representativitasnya. Pernyataan mendasar pun kemudian
mengiringi keraguan terhadap kadar representativitas Ujiang Nasional sebagai alat seleksi.
Ada beberapa argument yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut.
Pertama, selama ini sudah berkali-kali muncul kasus manipulasi Ujian Nasional. Bukan
saja para orangtua yang mengkondisikan terjadinya manipulasi angka Ujian Nasional, tetapi
juga di kalangan guru dan sekolah. Ini dapat dimengerti karena konduite guru dan sekolah
ditentukan pula oleh pencapaian murid dalam Ujian Nasional. Akibatnhya, demi menjaga
“nama baik” guru dan sekolah maka mereka pun melanggar etika profesi. Secara sosiologis,
dalam masyarakat kita masih belum berkembang suatu sistem apresiasi sosial yang
proporsional dan adil dalam melihat karya kegiatan, karya cipta, dan karya peradaban.
Masyarakat masih kurang menghargai yang rumit-rumit, kurang menghargai pekerja keras,
tetapi lebih menghargai yang entheng-entheng dan verbalistik. Di samping itu, komunalisme
di mana relasi-relasi sosial masih bersifat emosional, sering disalahgunakan pada sesuatu
yang seharusnya secara obyektif dan rasional. Bahkan kearifan lokal, seperti sikap welas
asih, ara tegelan, masih dibawa-bawa masuk ke kawasan obyektif rasional, sehingga tidak
profesional. Kaena itu ujian nasional pun harus dilakukan dua kali, karena ndak mesake
masyarakat atau ora tega.
Kedua, menggunakan Ujian Nasional sebagai variabel utama untuk menyeleksi murid
kurang adil dan kurang demokratis. Secara sosiologis kebijakan Ujiang Nasional, yang
paling dirugikan adalah anak dari kelas bawah, karena sudah kalah dalam seleksi sosial-
ekonominya. Lebih dari itu Ujian Nasional hanyalah potret sesaat yang tidak
menggambarkan kemampuan riil anak. Karena itu kurang adil kalau potret sesaat itu
dijadikan sebagai pertaruhan masa depan anak. Ujian Nasional mencerminkan bahwa
kebijakan pemerintah masih lebih memperhatikan hasil daripada sebuah proses. Secara
kultural masyarakat kita meang masih berorientasi hasil, dan kurang menghargai proses.
Dalam mengevaluasi apa pun kurang memperhatikan proses suatu kegiatan, tetapi hanya
dilihat dari hasilnya. “jangan meniru sesuatu dari jadinya….tapi tirulah suatu itu dari proses
menjadinya”. Prinisp ini belum dipakai dalam kegiatan evaluasi oleh masyarakat kita,
termasuk dunia pendidikannya. Karena itu mentalitas menerabas masih berkembang subur,
apa-apa ingin serba cepat dapat hasilnya dan cepat mapan.
Lantas bagaimana sistem seleksi yang ideal bagi murid baru? Barangkali menyerahkan
otoritas pada masing-masing sekolah untuk menciptakan dan menyelenggarakan sistem
seleksi, menarik untuk dipertimbangkan. Di sini tiap-tiap sekolah diberi peluang membuat
alat seleksi sendiri sesuai dengan kondisi dan kemampuan, serta kurikulum muatan lokal
yang menjadi cirri khas sekolahan. Cara ini akan mengkondisikan berkembangnya
kreativitas guru dan pluralism sekolah. Para guru akan tertantang untuk berkreasi dan
bahkan berinovasi dalam hal pembuatan alat evaluasi yang standar. Tidak seperti yang
terjadi selama ini, guru kurang otonom, karena segala program aktivitas proses belajar
mengajar sudah dipatok dari atas, guru tinggal melaksanakan.
Satu sistem pendidikan nasional agaknya tidak harus ditafsirkan, apa-apa serba
nasional. Seperti kurikulum harus bersifat nasional, dan satu sistem evaluasi pun harus
bersifat nasional. Toh pada kenyataannya, penyeragaman alat evaluasi dalam wujud Ujian
Nasional itu pun tidak menghasilkan mutu sekolah yang standar. Bahkan serba
penyeragaman itu telah mengkondisikan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik,
sehingga menghilangkan pluralism sekolahan yang mestinya harus tetap terjaga jika
memang menghendaki lembaga sekolah sebagai medium sosialisasi keanekaragaman
budaya bangsa. Kreativitas guru pun terpasung, sebab sentralisme pendidikan memang tidak
mengandaikan creator dan innovator, yang diperlukan hanyalah pelaksana (Wahyono,
1997).
Begitulah, dengan memberi kewenangan pada masing-masing sekolahan untuk
menyelenggarakan seleksi murid secara mandiri, kiranya akan memotivasi guru dan sekolah
terus berkompetisi menunjukan mutu lembaganya di mata masyarakat. Peluang terjadinya
penyimpangan tentu saja tetap terbuka, tetapi paling tidak cara ini akan terasa lebih fair dan
lebih representative depandingkan dengan Ujian Nasioan yang penuh komplikasi.
Proses pendidikan seperti itu tidak akan mendorong masyarakat transformatif.
Sudah terbukti dalam sepuluh tahun terakhir ini masyarakat kita justru semakin konsumtif,
sehingga kehilangan etos kerja kolektif yang menjadi sumber masyarakat produktif.
Repotnya institusi sosial strategis seperti lembaga sekolah juga tidak mendorong ke arah
masyarakat transformatif, dan bahkan juga menjadi bagian dari proses konsumeristik. Sudah
sering terdengar kritik utama terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah
intensif dan masifnya internalisasi nilai konsumtif. Lembaga sekolah masuk dalam pusaran
pasar, dan karena sangat kapitalistik. Boleh jadi inilah sebabnya mengapa kekuatan
perekonomian global menempatkan lembaga sekolah di negara-negara berkembang sebagai
pasar atas produk industrinya. Caranya dengan menanamkan kesadaran akan pentingnya arti
uang dan penggunaan komoditas industri tanpa mempertimbangkan nilai guna, tetapi
menekankan pada pentingnya citra, pengakuan, dan akhirnya gaya hidup baru.
Sebagai ilustrasi misalnya, gegap-gempita anjuran pemanfaatan ICT dalam proses
belajar di lembaga sekolah formal patut dicermati arah kepentingannya, yaitu tidak lain
adalah perluasan pasar industri elektronik global. Melalui cara berpikir positivistik yang
linieristik, disebarkan wacana bahwa hanya lembaga sekolah yang bersedia memanfaatkan
ICT yang akan mampu meningkatkan “kualitas”. Cara berpikir ini kemudian juga didukung
oleh negara, sehingga melalui regulasi dan kebijakan mengharuskan lembaga sekolah
memanfaatkan ICT. Maka program-program seperti One School One Lab (OSOL) yang
disponsori oleh Microsoft, Community Acces Point (CAP), e-learning, e-jounal, e-
government, dan lain-lain adalah indikasi betapa negara antusias terhadap pemanfaatan ICT.
Hasil-hasil dari program tersebut sebegitu jauh masih belum begitu memadai,
setidaknya jika dilihat dari perspektif kritis. Perubahan bentuk baik dalam cara belajar
maupun tujuan-tujuan belajar memang terjadi, akan tetapi semuanya masih belum
mendorong pada perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris. Perluasan akses
terhadap sumber-sumber belajar melalui ICT memang berlangsung secara meluas, tetapi
tidak mendorong pada masyarakat tranformatif. Indonesia akhirnya hanya sebagai pasar dari
produk elektronika yang tentu saja dalam kendali kapitalisme global. Posisi bangsa yang
serba tergantung dan konsumtif itu, pada akhirnya membawanya kepada situasi dilematis,
tidak mengikuti kecenderungan global akan ketinggalan; akan tetapi jika mengikuti pasti
masuk dalam jebakan perangkap kapitalisme global, harus konsumtif karena masih belum
menjadi pelaku dalam produksi komoditas strategis seperti produk barang-barang ICT.
Begitulah, berbagai persoalan yang membentang di dunia pendidikan kita masih
begitu banyak, dan lebih dari itu sepertinya masih itu-itu saja meski sudah berlangsung
dalam beberapa dekade. Penyelenggaraan pendidikan dari pilihan paradigma, kebijakan,
kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasinya masih terasa sebagai pendidikan yang
mendukung kemapanan, baik pada skala nasional maupun global. Praksis pendidikan masih
belum berhasil membangun pribadi-pribadi yang mampu menjadi human agence terhadap
struktur ekonomi dan sosial politik, serta kebudayaan yang dominan dikendalikan
kapitalisme global.
Kebijakan pendidikan, kurikulum, proses belajar, dan evaluasinya tampak kurang
bervisi melahirkan bangsa Indonesia yang berkedaulatan. Atau dengan kata lain
penyelenggaraan pendidikan kita masih belum memiliki visi kebangsaan sebagai bangsa
yang berdaulat. Dimensi transformatif kurikulum, metode belajar, dan evaluasinya masih
terasa belum menggigit, malah terasa semakin memudar. Kini pendidikan malah cenderung
menjadi instrumen reproduksi sosial yang mapan dan bahkan menjadi alat reproduksi
kesadaran yang tidak kritis.
Oleh karena itu segera perlu disusun sebuah konsep pendidikan yang anti
kemapanan merujuk pada konsep pendidikan kritis. Mengapa perlu ada transformasi?
Karena segenap rencana besar kita untuk melahirkan bangsa Indonesia yang lebih ulet, lebih
gigih, berdisiplin, inovatif, cerdas, dan berkesadaran kritis, agaknya tidak akan terlaksana
tanpa adanya pendidikan kritis. Hanya dengan pendidikan kritis, maka bangsa ini mampu
menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki daya tawar dalam percaturan global.
D. PENDIDIKAN ERA MASYARAKAT INFORMASIONAL
2
Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan Standarisasi
Mutu, diunduh dari https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.
Di sinilah pendidikan nasional menjadi sangat strategis, bagaimana mencarikan
solusi yang pas terhadap berbagai persoalan mendasar itu. Tentu tidak berpretensi bahwa
pendidikan akan mengatasi semua hal tersebut, akan tetapi paling tidak harus menempatkan
diri dan ambil bagian dalam upaya mencari solusi terhadap berbagai masalah internasional
dan nasional tersebut. sementara itu dalam kaitannya dengan kehadirian masyarakat
informasi yang tidak bisa dihindarkan, maka peran pendidikan juga tidak kalah strategis,
yaitu bagaimana mendorong masyarakat ke arah masyarakat informasi yang berbasis
pengetahuan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain tetap mengakomodir perspektik kritis
dengan memperhatikan warga masyarakat yang masih terpinggirkan; dan kemudian
mendorongnya menuju perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris. Dalam pada
itu maka tugas utama pendidikan nasional ke depan adalah memfasilitasi proses pendidikan
bagi warga negara yang di samping mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
juga sekaligus memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah kemanusiaan. Meminjam
terminologi Ki Hadjar Dewantara, proses pendidikan nasional harus melahirkan pribadi-
pribadi bangsa yang tidak saja pintar, tetapi juga arif-bijaksana.
Transformasi Kultural
Kata transformasi dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata alih
ubah dengan tujuan agar mudah dipahami sebagai sebuah konsep. Karena itu transformasi
mengandaikan terjadi proses pergantian dan perubahan dari sesuai yang dianggap lama
menjadi sesuatu yang baru. Atau paling tidak mengalami penyesuaian terhadap kehadiran
yang baru. Jika dipandang dari perspektif kritis, konsep transformasi seperti itu segera akan
mengundang kecurigaan bahwa konsep transformasi mau tidak mau akan berbau
positivistik. Ketika asumsi linieristik yang menjadi karakter utama positivistik, pastilah
mengandaikan bahwa yang lama akan dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal, atau
paling tidak sedikit muatan kemajuannya (Wahyono, 2011).
Melemah
Berbeda dengan situasi di negeri kita, selama ini yang terjadi justru kurang bisa
mengendalikan keinginan untuk terus menjual seluruh sumber daya alamnya, bukan
mengembangkan daya mampu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Akibatnya bukan saja kekayaan alam kita makin habis, tetapi lebih dari itu yang
berkembang dan menguasai sanubari kita sebagai bangsa adalah, pingin hidup enak tanpa
perlu kerja keras. Cukup mengandalkan hasil penjualan kekayaan alam, sehingga hutan
makin habis, minyak bumi dan komoditas pertambangan lainnya terus mengalami
penyusutan secara cukup signifikan.
Semangat kerja keras untuk meraih sesuatu kian melemah, tak suka bersusah-
susah, dan kurang berhasil dalam menghayati prinsip bersakit-sakit dahulu, sehingga
lebih mengutamakan hasil dan kurang menghargai proses. Tidak terlalu mengherankan
jika muncul gejala bahwa dalam masyarakat kita telah kejangkitan usaha menempuh
jalan pintas. Orang-orang, termasuk kaum muda, berlomba memperoleh kemapanan
hidup secepat mungkin tanpa perlu melewati masa-masa sulit. Apa yang oleh
Koentjaraningrat disebut sebagai mental menerabas dan menempuh jalan pintas masih
berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini.
Melemahnya semangat belajar keras juga terus menggejala di kalangan para
pelajar dan mahasiswa. Sebagai ilustrasi misalnya, di Yogyakarta dalam lima tahun
terakhir ini ditandai maraknya bisnis cuci pakaian dan cuci motor. Bisnis ini dahulu
merupakan bagian dari industri pariwisata, sekarang merupakan ikutan dari bisnis jasa
pendidikan Jika dahulu konsumen utamanya adalah penghuni hotel alias wisatawan,
sekarang bisnis cuci pakaian konsumennya kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa.
Demikian pula cuci motor, kebanyakan pelajar dan mahasiswa tidak mencuci motornya
sendiri, tetapi mencucikan ke jasa pencucian motor.
Mengapa mereka sekarang tidak lagi atau enggan mencuci pakaian dan motornya
sendiri? Gejala ini merupakan indikator semakin melemahnya semangat belajar di
kalangan pelajar dan mahasiswa. Kalau mereka sibuk belajar, maka kecenderungan itu
dapat dimengerti, akan tetapi pada kenyataannya semangat belajar mahasiswa sekarang
relatif menurun. Totalitas kegiatan mereka yang seharusnya adalah belajar karena
menyandang atribut sosial sebagai mahasiswa, tetapi pada kenyataannya aktivitas mereka
lebih banyak pada kegiatan yang bersifat rekreatif.
Penelitian FIP Universitas Negeri Yogyakarta (2006) menemukan bahwa belanja
buku di kalangan mahasiswa di Yogyakarta rata-rata per bulan di bawah Rp 25.000
sebanyak 74 persen. Sekitar 19 persen yang mengaku di atas Rp 50.000, sementara
kurang dari 5 persen yang pengeluaran untuk beli buku lebih dari Rp 100.000. Di
kalangan mahasiswa, belanja buku bukan merupakan prioritas utama, masih jauh di
bawah belanja untuk fashion, pulsa, dan game di play station. Bahkan bagi mahasiswa
perokok, mereka rata-rata sanggup mengeluarkan dana Rp 150.000 per bulan untuk beli
rokok, tetapi jarang membeli buku. Jika situasi di Yogyakarta yang telah mendapat
atribut sebagai kota pendidikan saja seperti itu, maka di kota-kota lain juga sama dan
bahkan mungkin lebih memprihatinkan.
Suka rekreatif
Kita memang merupakan bangsa yang kurang tekun dalam melakukan suatu
aktivitas, karena wahana untuk berlatih ketekunan semakin hilang atau mengalami
pergeseran fungsi. Ini tampak misalnya pada kebiasaan mancing di kolam yang sedang
marak dalam masyarakat kita. Memancing merupakan kegiatan mencari ikan dengan alat
yang disebut pancing, tempatnya di sungai atau di laut. Prosesnya berlangsung secara
natural, mengandung tantangan. Sebagai sebuah aktivitas, memancing berfungsi melatih
kesabaran, ketekunan, dan mencari ketenangan. Sebagai kegiatan ekonomi, memancing
adalah usaha mendapatkan ikan sebagai komoditas untuk menambah penghasilan.
Akan tetapi dalam masyarakat sekarang tampaknya definisi memancing ikan
sudah berubah menjadi artifisial, karena lebih menonjol aspek rekreasinya. Kebanyakan
orang sekarang memancing bukan lagi di sungai, tetapi di kolam tempat pemeliharaan
ikan atau kalau toh di sungai harus ditebari dulu ikan peliharaannya. Jadi secara
substantif sebenarnya bukan memancing, karena tidak berlangsung secara natural dan
tidak ada muatan tantangannya. Fungsi untuk melatih kesabaran, ketekunan, dan mencari
ketenangan tidak kelihatan, karena faktor kesulitannya rendah. Yang lebih tampak hanya
penyiksaan ikan sebagai katarsis naluri psikopat manusia.
Karena aspek rekreatif yang lebih ditonjolkan, maka kegiatan mancing di kolam
lebih merupakan wahana ekspresi kemalasan masyarakat. Di mana-mana sekarang ini
banyak pemancingan dan perlombaan mancing pun sering diselenggarakan, bahkan
diprakarsai oleh instansi pemerintah. Begitu tingginya frekuensi mancing, sehingga
dalam seminggu banyak warga masyarakat yang lima hari mancing, sedangkan aktivitas
kerjanya hanya 2 hari. Jadi rekreasinya lebih banyak daripada aktivitas kerjanya.
Gejala masyarakat yang lebih suka pada kegiatan rekreatif ini bukan saja tampak
pada kegiatan mancing, tetapi juga tercermin dalam berbagai kegiatan lain. Di kota
maupun di desa sekarang ini bisnis hiburan begitu marak. Lihat saja misalnya, tempat-
tempat hiburan yang seperti play station, game-net, billiard, café, karaoke, dan lain-lain
selama 24 jam senantiasa penuh pengunjung. Kalau dalam suatu masyarakat tingkat
produktivitas relatif lambat dan bahkan cenderung menurun, tetapi kegiatan dan industri
hiburan semakin marak, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu sedang sakit.
Leluhur bangsa ini sebenarnya memiliki budaya dalam arti sikap yang baik, yaitu
tekun, telaten, dan ulet, sehingga melahirkan karya-karya besar seperti keris, batik,
gamelan, wayang, candi, dan karya arsitektur. Karya peradaban seperti itu sampai
sekarang terbukti masih mampu bersaing dengan karya peradaban bangsa lain yang sudah
maju, dan mereka memberikan apresiasi tinggi. Sekarang orang lebih suka enaknya saja,
tetapi kurang tekun bekerja, karena itu secara umum karya peradaban bangsa ini semakin
mengalami kemunduran. Sebagai ilustrasi misalnya, orang membikin kue terbesar,
tumpeng tertinggi, celana terpanjang, dan seterusnya yang serba ter. Karya-karya
semacam itu bukan berarti tidak ada gunanya, hanya saja terlalu menghabiskan tenaga
dan biaya banyak, tetapi miskin nilai karena proses kreatifnya memang tidak menempuh
faktor kesulitan tinggi. Padahal, sebuah karya peradaban akan terasa bernilai jika
mengandung faktor kesulitan tinggi dalam proses kreatifnya. Karya-karya seperti itu,
meminjam istilah R. Rich (1994) lebih bersifat high volume, tidak high value.
Karya peradaban yang minim nilai seperti itu tidak mungkin akan mampu
bersaing dengan bangsa lain, sehingga kita akan terus menjadi bangsa yang kalah atau
hanya berada dalam posisi bertahan menunda kekalahan. Atau seperti dikatakan Gramci,
warga bangsa di negara-negara dunia ketiga dalam relasinya dengan negara-negara
industri maju berada dalam posisi kalah, tetapi ironinya justru merayakan kekalahan itu
karena telah terhegemoni.
Untuk menjadi bangsa yang ikut berperan dalam perkembangan peradaban dunia,
pertama kita perlu melakukan sesuatu yang menciptakan kesadaran bersama bahwa kita
adalah bangsa yang kalah, bukan malah bangga dengan kekalahannya. Kesadaran
semacam itu akan dapat tumbuh, jika kita bersedia introspeksi dan menjawabnya dengan
jujur. Awal kebangkitan bangsa Jerman, Jepang, dan Korea Selatan dimulai dengan
bertanya secara benar dan menjawab dengan jujur bahwa mereka adalah bangsa yang
mengalami kekalahan, tetapi kemudian bangkit melakukan sesuatu dengan kerja keras.
Saatnya kita bekerja keras melakukan sesuatu dengan lebih menekankan pada
tindakan. Kita kaya dengan pikiran umum sebagaimana terumus dalam berbagai aturan
normatif yang semuanya sudah bagus-bagus, tetapi kita miskin pikiran tengahan yang
lebih mengutamakan pada strategi untuk aksi dan implementatif. Energi kita sering habis
untuk membuat wadah dan lembaga, serta verbalisme, tetapi kemudian kehabisan energi
ketika sudah pada tataran aksi, berbuat sesuatu yang konkret dan dapat dirasakan oleh
warga masyarakat banyak. Budaya kerja yang involutif seperti itu perlu segera kita
tinggalkan, menuju budaya kerja yang lebih terbuka dan adaptif terhadap dinamika
perubahan. Untuk ikut berperan, kita memang perlu ulet, tekun, pantang menyerah, dan
bersedia menyakiti diri sendiri. Jika tidak, sepertinya kita akan tetap terjebak dalam
kubangan lumpur, yang makin bergerak makin tenggelam.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.Ambardi, Kuskridho, 2009, ICT dan Demokrasi, Makalah, disampaikan
dalam Diskusi Padma, Yogyakarta.
Anderson, Benedict, 1970, The Idea of Power in Java,” dalam: Claire Holt & James
T. Siegel (eds.) Cultures and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University
Press.
Barker, Chris, 2000, Cultural Studies, Theory and Practice, London: Sage Publications Ltd.
Baum, Gregory, 1975, Religion and Alienation, New York: Paulist Press.
Castell, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society. Malden, Mass: Blackwell.
Fortier, Francois, 2001, Virtuality Check: Power Relations and Alternatif Strategies in
Information Society, London:Verso.
Hjavard, S. 2008. ‘The Mediatization of Religion: A Theorising relegion, media, and social
change’, dalam Culture and Religion, Vol. 12, No. 2, Juni 2011.
Horststmann Alexander, and Reed L. Wadley, 2006, Centering the Margin: Agency and
Narative in Southeast Asian Borderlands, New York: Berghahn Books.
Lemert, Charles (ed.), 1993, Social Theory: The Multicultural and Classical Readings.
Bouler, Colo: Westview Press.
___________, 2001 Multiculturalism, dalam George Ritzer dan Barry Samrt (ed.)
Handbook of Social Theory. London: Sage.
Lievrouw, Leah and Sonia Livingstone, 2006, New Media, London: Sage Publications.
Ritzer, George. 2011. Eight Edition SOCIOLOGICAL THEORY. New York: McGrow-Hill.
___________ .2012. Edisi Kedelapan, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan Saud Pasaribu dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Straubhaar, Joseph and Robert LaRose, 2006, Media Now, Understanding Media, Culture,
and Technology. United Stated, Australia: Thomson Wadswroth.