Anda di halaman 1dari 46

Pendidikan dan Kebudayaan Menyongsong Satu Abad NKRI

Oleh S. Bayu Wahyono

A. PENDAHULUAN
Membayangkan bagaimana manusia Indonesia menjelang satu abad Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu bergantung pilihan paradigma yang digunakan.
Jika pilihannya paradigma positivistik, tentu mengandaikan sejarah berjalan secara linier
dan bisa diprediksi sepanjang semua persyaratan telah dipenuhi untuk ketepatan sebuah
proyeksi masa depan. Akan tetapi jika menggunakan logika paradigma konstruktivistik, dan
terlebih lagi paradigma kritis, tentu bukan dengan asumsi bahwa di masa depan tidak ada
yang terelakan. Semuanya bisa berubah tidak sesuai dengan apa yang direncanakan, karena
sejarah tidak berjalan secara linieristik, melainkan berlangsung secara dialektik, dan bahkan
sejarah bisa zig-zag.
Mempertimbangkan pilihan-pilihan paradigmatik tersebut, untuk keperluan diskripsi
dan analisis ini akan berusaha mengkombinasikan di antara ketiga paradigma tersebut,
meskipun tidak bermaksud membenturkan satu dengan yang lain. Harus diakui,
antarparadigma tersebut asumsi-asumsi teoretik yang dibangunnya memang berbeda secara
diametral, terutama antara paradigma positivistik dan paradigma kritis. Akan tetapi dengan
pertimbangan bahwa dunia sosial, khususnya Indonesia, memang sangat beragam dan
bergerak dinamis serta memiliki kompleksitas persoalan begitu tinggi (njlimet), terkadang
penggunaan logika berpikir eklektif dan kombinatif tersebut menjadi tidak terhindarkan.
Menganalisis perkembangan masyarakat secara futuristik tentu juga harus didahului
dengan upaya melihat, memahami, dan mengkritisi kondisi objektif kekinian yang
digunakan sebagai pijakan untuk memprediksi masyarakat yang dibayangkan di masa
depan. Dengan menggunakan paradigma positivistik tentu bisa diperhitungkan dan kalau
perlu didisain serta dikendalikan sejak sekarang dengan mengikuti dan memenuhi kriteria-
kriteri yang ditetapkan sebagai prasyarat yang harus dipenuhi. Sebagaimana dapat kita
saksikan bahwa kondisi objektif masyarakat sekarang masih bersifat eklektif dalam arti
karakter sebagai masyarakat agraris, masyarakat industri, dan kemudian masyarakat
informasi sudah dapat kita saksikan dan terjadi dalam masyarakat Indonesia sekarang.
Kondisi objektif ini sudah bisa kita jadikan pijakan untuk melihat kira-kira seperti apa masa
depan Indonesia di masa mendatang, atau setidaknya jika kita sepakati pada satu abad
Indonesia merdeka, tepatnya tahun 2045.
Dengan meperhatikan kondisi objektif kekinian dan membayangkan atau bahkan
mengharapkan masyarakat satu abad Indonesia merdeka mendatang, tentu dapat digunakan
sebagai pertimbangan utama kira-kira pendidikan seperti apa yang bisa memberikan
kontribusi signifikan dalam mewujudkan Indonesia di masa mendatang. Sudah tentu sepakat
lebih dulu bagaimana Indonesia yang kita cita-citakan itu. Jika mengacu pada cita-cita
kemerdekaan maka sudah jelas bahwa Indonesia yang kita bayangkan adalah sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “…untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana pengalaman sejarah selama ini, tidaklah mudah untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaan itu. Setelah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, setelah melalui
pergulatan dan proses jatuh-bangun, bangsa ini juga belum semuanya mampu mewujudkan
cita-citanya tersebut. Untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berperan aktif
dalam percaturan menciptakan dunia yang lebih adil misalnya, masih jauh dari harapan.
Belum lagi ketika konstelasi politik global juga terus menunjukkan dinamikanya sendiri,
sering kali posisi Indonesia masih dipandang, dijadikan objek, dan belum posisi yang
memandang dan menjadi subjek aktif. Oleh karena itu untuk menjadi negara dan bangsa
yang berdaulat di masa mendatang masih menjadi tantangan maha besar. Ini semua
bergantung dari kecermatan kita sebagai bangsa mengidentifikasi berbagai persoalan
mendasar dan kecermatan dalam mengantisipasi kecenderungan global.

1. Kecenderungan Masa Depan


Bagaimana kecenderungan karakter masyarakat sekarang dan masa depan? Dunia
politik, ekonomi, dan sosial-budaya terus mengalami perubahan mengikuti hukum-
hukumnya yang tidak bisa dibendung. Artinya, perubahan itu sendiri telah menjadi
imperatif, sebuah keniscayaan. Dalam skala makro atau sistem dunia misalnya, moda
produksi terus mengalami perubahan dari moda produksi feodalisme hingga kapitalisme,
dan bahkan sekarang apa yang sering disebut sebagai moda peroduksi era informasional.
Perubahan ini tentu berimplikasi terhadap perkembangan masyarakat dunia itu sendiri,
meskipun sifat perubahan itu tidak secara serempak bergerak bersama-sama, tetapi
terfragmentasi mengikuti karakter masing-masing bagian, entah berupa negara atau sebuah
kawasan. Negara atau kawasan yang satu dengan lainnya secara empirik terbukti tidak
bergerak bersama-sama, dan di sinilah sumber persoalan jika menganalisis dinamika
perubahan sistem dunia.
Maka segenap teoritisi telah mempunyai perhatian terhadap dinamika sistem dunia
tersebut, mulai dari tradisi ekonomi klasik, positivis-modernis, Marxian-neomarxian, hingga
poststrukturalis dan postmodernis. Di luar itu, yang paling mutakhir adalah teoritisi yang
memiliki perhatian terhadap apa yang mereka sebut sebagai masyarakat informasional
(informational society). Meskipun asumsi yang di bangun oleh pendukung terakhir itu
sebagian masih mengikuti logika pendahulunya, tetapi dalam banyak hal mereka
membangun teorinya mendasarkan diri dengan perkembangan empirik yang telah berbeda,
dan karena itu paradigma, perspektif, teori, dan konseptualisasinya juga berbeda.
Terdapat beberapa teoritisi yang memiliki perhatian terhadap kecenderungan baru
tersebut, baik yang berada dalam kubu paradigma positivistik-modernis maupun paradigma
kritis. Untuk menyebut beberapa di antara kubu pertama antara dalah McLuhan, Daniel Bell,
Alvin Toffler, Naisbit, dan kaum cyber optimis. Sedangkan kubu kritis antara lain, Fortier,
Ben Ager, Stuart Hall, Wallerstein, Scott Lash, dan Manuel Castell. Untuk keperluan
analisis terhadap topik diskusi ini utamanya akan menggunakan paradigma kritis dengan
perpektif teoretik yang diambil dari Manuel Casttle dan Scott Lash. Tentu saja itu semua
dilakukan tidak bersifat mutlak, tetapi di sana sini akan menyinggung pula perspektif
teoretik lain di luar kedua teoritisi tersebut.
2. Masyarakat Jaringan dan Kapitalisme Informasional
Manuel Castell meskipun berada di jalur teori kritis, tetapi tidak pesimistik seperti
teori kritis lainnya, terutama mazhab Frankfurt generasi pertama. Ada semangat seperti
Habermas yang merupakan teori sosial kritis generasi kedua, Castell lebih optimistik
melihat dunia sosial setelah dominasi moda produksi kapitalisme. Penjelasan teoretiknya
sejak awal memang ia akui didorong atas kegelisahannya terhadap teori sosial
posmodernisme yang melihat dunia berada dalam akhir sejarah, dan bahkan ada
kecenderungan akhir akal yang sebenarnya senantiasa menjadi sumber energi untuk
mengerti dan memproduksi makna. Kegelisahannya Castell itu dituangkan dalam buku
triloginya yang bertajuk Information Age: Economy, Society and Culture (1996, 1997,
1998).
Sebagaimana teoritisi sosial kontemporer Castell berangkat dari pengamatan dan
refleksinya bahwa dunia sosial menyodorkan kecenderungan baru. Ia meyakini bahwa telah
muncul suatu masyarakat, kebudyaan, dan ekonomi baru bahkan bersifat revolusioner.
Kemunculan kecenderungan baru itu bermula dari Amerika Serikat yang mulai tampak sejak
dekadar 1970-an, yaitu munculnya teknologi informasional yang ditandai oleh dominasi
televisi, komputer dan rumpunya. Revolusi itu bergerak terus, dan sejak dekade 1980-an
telah muncul fenomena apa yang oleh Castell disebut sebagai kapitalisme informasional,
dan karena itu pada saat yang sama muncul masyarakat-masyarakat informasional.
Keduanya didasarkan pada ‘informasionalisme’: “suatu cara perkembangan ketika
sumber utama produktivitas adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi itu
dan menggunakan faktor-faktor produksi berdasarkan pengetahuan dan informasi” (Castell,
1998: 7). Kapitalisme informasional ini sebagaimana karakter kapitalisme sebelumnya
senantiasa menciptakan hubungan produksi eksploitatif, karena itu meminggirkan struktur
sosial dan kebudayaan lainnya. Akan tetapi berntuk ekploitasinya berbeda dengan
kapitalisme sebelumnya, kapitalisme informasional melakukan berbagai ekploitasi,
peminggiran, ancaman-ancamannya terhadap diri dan identitas lebih bersifat halus dan
lembut. Menghadapi watak kapitalisme baru ini juga memunculkan perlawan baru, yaitu
gerakan-gerakan resistensi yang semangatnya sama dengan gerakan melawan kapitalisme
lama, tetapi bukan sekumpulan kelas pekerja, tetapi sekumpulan pergerakan sosial beragam
yang terutama didasarkan pada identitas, antara lain seperti ekologis dan feminis.
Di jantung analisis Castell ada apa yang ia sebut sebagai paradigma teknologi
informasi denganlima karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak
berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan
manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua sistem yang
menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’ yang memungkinkan
mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan organisasi-organisasi. Keempat,
teknologi-teknologi baru sangat fleksibel, memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah
secara terus-menerus. Akhirnya, teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan
informasi sedang bergabung menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer,
2012: 969).
Menurut Castell sejak dekade 1980-an muncul apa yang ia sebut sebagai ekonomi
informasional global baru yang semakin menguntungkan. “Ia informasional karena
produktivitas dan daya saing unit-unit atau agen-agen di dalam ekonomi ini (entah itu firma-
firma, region-region, atau wilayah-wilayah) yang tergantung secara fundamental pada
kapsitas mereka untuk menghasilkan, memproses, dan menerapkan secara efisien informasi
berbasis pengetahuan (Castell, 1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk
bekerja sebagai suatu unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter” (Castell, 1996:
92). Hal itu dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang baru.
Mirip dengan semangat kalangan teoritisi ketergantungan, Castell melihat bahwa
dalam arus globalisasi yang digerakan oleh moda produksi kapitalisme informasional ini
dunia terbelah menjadi dua dunia yang terjalin dalam hubungan yang berlangsung secara
timpang. Akan tetapi berbeda dengan penjelasan teori ketergantungan, di mana kedua dunia
(pusat dan pinggiran) terjalin dalam hubungan ketergantungan yang ekploitatif, tetapi
menurut Castell hubungan-hubungan kedua tipologi negara tersebut bersifat jaringan. Inilah
yang kemudian ia sebut, bahwa dunia sekarang telah muncul masyarakat baru, yaitu
masyarakat jaringan.
Menurut Castell, meskipun ekonomi informasional bersifat global, tetapi seperti juga
kaum teoritisi keterganungan ada perbedaan mencolok di antara kedua tipe negara yang
terlibat dalam masyarakat informasional. Dunia terbelah menjadi dua tipe, yaitu negara-
negara yang terletak di jantung ekonomi global yang baru yaitu Amerika Utara, Uni Eropa,
dan Asia Pasifik. Di luar itu, dan ini adalah sebagian besar, yaitu negara-negara di belahan
bumi seperti Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Eropa Timur adalah wilayah-wilayah
pinggiran. Dan yang sangat penting menurut Castell, bahwa fakta menunjukkan bahwa
terdapat sejumlah wilayah yang tersisihkan dan menderita dalam proses ekonomi
informasional global ini.
Ketika dunia berada dalam moda produksi kapitalisme informasional yang ditandai
munculnya ekonomi informasional global itu, bagaimana posisi negara? Dalam pandangan
Castells negara semakin tidak berdaya di dunia globalisasi ekonomi baru dan
ketergantungannya pada pasar-pasar modal global semakin besar dan semakin tidak punya
daya tawar. Dengan demikian, misalnya, negara-negara telah menjadi tidak mampu
melindungi program-program kesejahteraannya karena ketidakseimbangan-
ketidakseimbangan di sekeliling dunia akan mendorong modal cenderung ke negara-negara
yang mempunyai biaya kesejahteraan yang rendah. Negara juga akan terkikis oleh
komunikasi-komunikasi global yang mengalir dengan bebas ke dalam dan keluar negeri.
Kemudian ada globalisasi kejahatan dan penciptaan jaringan-jaringan global yang berada di
luar pengendalian setiap negara tunggal. Negara juga diperlemah oleh pertumbuhan
multilateralisme, munculnya negara-negara bangsa super seperti Uni Eropa, dan pembagian-
pembagian internal. Sementara mereka akan terua ada, Castells (1997: 304) melihat negara-
negara menjadi “simpul-simpul suatu jaringan kekuasaan yang lebih luas.” Dilema yang
dihadpi negara adalah bahwa jia ia mewakili konstituen nasionalnya, ia kan menjadi kurang
efektif di dalam sistem global, tetapi jika ia berfokus pada sistem global, ia akan gagal
mewakili secara memadai para konstituennya (dalam Ritzer, 2012: 972).
Siapa aktor utama yang mendominasi dalam ekonomi informasional global dan
masyarakat jaringan seperti itu, menurut Castell tidak lain adalah perusahaan jaringan. Jadi
aktor utamanya adalah tetaplah kapitalis. Perusahaan jaringan ini adalah bentuk organisasi
ekonomi baru, yang oleh Castells didefinisikan sebagai “bentuk-bentuk spesifik perusahaan
yang sistem peralatannya dibentuk oleh perpotongan segmen-segmen sistem-sistem tujuan
yang otonom” (Castell, 1996: 171). Perusahaan jaringan adalah materialisasi dari
kebudayaan ekonomi informasional global, dan ia memungkinkan informasi transformasi
sinyal-sinyal ke dalam komoditas-komoditas melalui pemrosesan teknologi. Hasilnya,
hakekat kerja sedang ditransformasikan (misal, individualisasi kerja melalui hal-hal seperti
waktu yang fleksibel), meskipun hakikat persis transformasi tersebut bervariasi dari suatu
bangsa ke bangsa lain (dalam Ritzer, 2012: 970).
Castells kemudain mendiskusikan kemunculan (yang menyertai perkembangan
multimedia yang berasal dari perpaduan media massa dan komputer) kebudayaan
virtualisasi nyata, yaitu “suatu sistem tempat realitas itu sendiri (yakni, eksistensi
material/simbolik orang) ditangkap seluruhnya, terbenam sepenuhnya di dalam suatu latar
citra virtual, di dunia fantasi, tempat penampakan-penampakan bukan hanya di layar melalui
mana pengalaman di komunikasikan, tetapi mereka menjadi pengalaman”. Berbeda dengan
masa lampau yang didominasi oleh “ruang tempat” (misal kota New York atau London),
sekarang muncul logika spasial baru, yaitu “ruang mengalir”. Kita telah menjadi dunia yang
didominasi oleh proses-proses daripada lokasi-lokasi fisik (meskipun lokasi fisik itu masih
terus ada secara nyata). Demikian pula kita telah memasuki suatu era “waktu tidak tanpa
batas” yaitu misalnya, informasi tersedia secara instan di seantero di dunia ini.

3. Ekonomi Komunikasi dan Hegemoni Sirkulasi


Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash menganalisis
kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam, detail, dan canggih. Sama
seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia baru, yaitu masyarakat informasional
yang meskipun merupakan kelanjutan dari kapitalisme lama, tetapi memiliki berbagai
karakter yang berbeda. Dengan pendekatan kritis, Lash menganalisis kapitalisme
informasional dengan berusaha memperluasnya terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori
kebudayaan, baik klasik maupun kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash memulai dengan sejumlah
pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis, teori kritik atau kritik dapat
dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa yang terjadi dalam suatu era ketika
kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi sebagaimana era abad sembilanbelas, tetapi sekarang
kekuasaan adalah sebuah informasional dalam arti luas? Ketika era sebelumnya ideologi
diperluas oleh ruang dan waktu, mengklaim universalitas, dan berbentuk ‘metanaratif’,
merupakan sistem kepercayaan, dan menyediakan waktu untuk refleksi; tetapi sekarang era
informasional, ketika informasi itu berada dalam kemampatan ruang dan waktu, tidak
mengklaim universal, dan sekadar titik, sinyal, dan bahkan sekadar peristiwa dalam waktu.
Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup dalam era informasi hampir tidak ada waktu untuk
refleksi. Jadi ketika ilmu sosial kritik hidup dan berkembang dalam era ideologi kritik, apa
yang terjadi ketika ilmu sosial kritik hidup dalam era informasinal kritik? Dapatkah
pemikiran kritis beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalnya merujuk pada Castells, tetapi dalam mendefinisikan
informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami masyarakat informasi
berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973), Touraine (1974), dan Castells
(1996) yang fokus pada kualitas karakter utama informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash
informasi harus dipahami secara tajam dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori
sosiokultural awal, yaitu sebagai monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi.
Karakter utama informasi adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan
temporal, hubungan-hubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif, tetapi sebagian
besar, dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi. Sebagian orang menyebut kita
hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990), sementara yang lain menyebutnya
sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi konsep tersebut menurut Lash juga tidak
berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang sering dirumuskan
oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami dalam istilah produksi
pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana barang dan layanan diproduksi. Kunci
untuk memahami ini adalah apa yang diproduksi dalam produksi informasi bukanlah
barang-barang dan layanan kekayaan informasi, tetapi lebih kurang adalah potongan
informasi di luar kontrol. Produksi informasi meliputi terutama adalah pentinggnya
kemampatan. Sebagaimana diktum McLuhan medium adalah pesan dalam pengertian bahwa
media adalah peradigma medium era informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan
adalah naratif, lirik puisi, wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah pesan atau
‘komunikasi.’ media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media telah dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat statis, komunikasilah yang
membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber energi. Mirip dengan Habermas,
Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang telah menjadi basis kehidupan sosial
kontemporer, karena itu ia menjadikan komunikasi sebagai unit dasar analisisnya, dan bukan
informasi. Lash kemudian melangkah lebih jauh dengan mengembangkan konsep di seputar
isu perkembangan ICT. Ketika ICT itu sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri
yang berbeda dengan karakter-karakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada
produksi industrial, maka Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu sendiri telah
berkembang dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa telah
terjadi dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah informasional,
dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem operasi dan aplikasi), dan
komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru adalah komunikasional, karena itu
sentralitasnya adalah internet dan sektor jaringan. Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco
Systems, yang membuat sarana jalan, sebagai ‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi
kapitalisme pasar lebih tinggi daripada ‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal
sebagai pasangnya media baru (new media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah
sepenting kode, bukan berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama
sangat erat berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan
perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor, urban
‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs, permainan
komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi teknologi informasi
dengan media.
Atas dasar asumsi itu Lash meyakinkan bahwa sekarang ini telah muncul gejala
baru, muncul apa yang dikenal dengan ekonomi baru, yaitu ekonomi komunikasi itu sendiri.
Karakter utamanya adalah minim akumulasi kapital dan informasi, tetapi lebih banyak
aliran-aliran, dan aliran-aliran itu adalah komunikasi. Ia adalah komunikasi dalam arti luas.
Implikasi teoretik atas fenomena baru itu adalah, bahwa teori aliran-aliran pada saat yang
sama adalah teori-teori komunikasi. Jadi teori-teori generasi kedua masyarakat informasi
berasumsi tentang keunggulan sirkulasi, sehingga dalam ekonomi baru ini ada pergeseran
konsep dari akumulasi ke sirkulasi uang dan barang modal lainnya. Kalau toh masih
akumulasi, dalam ekonomi baru itu menurut David Harvey adalah akumulasi fleksibel, yaitu
terutama tampak pada sirkulasi modal uang. Menurut Harvey dalam Condition of
Postmodernity, bahwa dalam era kapitalisme akhir, kapital uang adalah hegemoni berkenaan
dengan kapital produksi. Ini adalah hegemoni volume dua Marx’s Capital (Circulation) di
atas volume satu. Sementara itu Castell dalam The Informational City, menulis tentang
pergeseran logika struktur oleh logika aliran, dan inilah yang disebut sebagai hegemoni
aliran. Jaringan-jaringan adalah tempat-tempat lalu lintas alirans (uang, citra, ucapan, orang,
objek-objek, komunikasi, teknologi).
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan bahwa unit dasar
analisisnya adalah komunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan soal kultur jarak jauh. Dalam
masyarakat manufakture dulu hubungan-hubungan sosial diletakan pada suatu tempat
dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada saat yang sama sekaligus adalah ikatan
sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era informasional, hubungan sosial dipindahkan oleh
komunikasi. Komunikasi adalah intens, dalam durasi pendek. Komunikasi memecah naratif
menjadi pesan pendek/ringkas. Jika hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan
prinsip kedekatan, ikatan komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi,
komunikasi adalah tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak jauh.
Culture at-a-distance meliputi baik komunikasi yang datang dari jauh maupun orang datang
dari jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and Molotch, 1994). Intensitas,
keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas naratif adalah prinsip tata kelolanya (Simmel,
1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat, daripada aturan sosial
dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih progresif lagi, yaitu bahwa sekarang ini
secara umum telah muncul fenomena mediologi. Oleh karena itu sekarang ini diberbagai
universitas terkemuka di dunia telah mengenalkan dan mengajarkan tentang sosiologi
media. Khususnya sekarang ini telah muncul apa yang dikenal sebagai logika mediologi.
Mediologi akan mengharuskan bekerja dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi
Durkheimian mengenalkan konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari feodalisme
ke kapitalisme pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie postindustri aliran-aliran.
Sosiologi setuju dengan re-teritorialisasi sosial, institusi modern, dan struktur masyarakat
industri. Mediologi berbicara re-teritorialisasi masyarakat jaringan yang datang dari
pengerasan aliran-aliran. Maka dalam pada saat yang sama sekarang muncul fenomena
ekonomi tanda dan ruang.
Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme lanjut, komunikasi adalah
kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus yang dimungkinkan oleh jangkauan
hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada umumnya. Dan outsorcing ini adalah re-
teritorialisasi, misalnya perusahaan-perusahaan menjadi lebih bisa dikerjakan di rumah
tangga. Bahkan kemudian ada perusahaan membolehkan kerja lembur per minggu di rumah,
jadi tidak tergantung pada tempat atau ruang pabrik. Jadi sekarang ini di jaman tata
informasi dan komunikasi global, semuanya serba outsorcing baik kerja di perusahaan
firma, keluarga, negara, dan bahkan juga pada bidang seni. Karena itu bisa juga refleksivitas
di outsourced, dan di eksternalisasi. Sekarang ini juga ada pergeseran dari akumulasi ke
sirkulasi. Namun demikian juga muncul apa yang disebut sebagai hegemoni sirkulasi di
mana sirkulasi modal uang dipisahkan dari bagian akumulasi modal.
Semua perubahan karakter masyarakat tersebut tentu mengalami perubahan moda-
moda produksi, dari feodalisme, kapitalisme, kapitalisme lanjut, dan sekarang kapitalisme
informasional dan bahkan komunikasional, tentu mengubah dalam tata hubungan politik,
ekonomi, dan kultural di tingkat global. Meskipun demikian, jika terkait dengan posisi
negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, maka situasinya masih belum
berubah. Perubahan karakter masyarakat dan moda produksinya, tetap saja menempatkan
negara berkembang dalam posisi subordinat di tengah dominasi negara-negara maju.
Hubungan dominatif dan hegemonik tetap mapan, dengan posisi negara berkembang pada
pihak yang menjadi obyek pasif yang terus dikendalikan untuk kepentingan ekonomi dan
politik negara-negara penguasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karena itu pandangan marxis dan neomarxis senantiasa ada bentuk-bentuk
penindasan volume satu, volume dua dan seterusnya. Sekarang dalam masyarakat
informasional dan komunikasional, juga dikenal hegemoni sirkulasi. Pada era seperti itu,
tetap saja outsorcing adalah menentukan, dalam bentuknya yang baru sekarang ini
pengendalian oleh outsorcing melalui penguasaan teknologi informasi. Jadi tidak
mengherankan jika sekarang dalam konteks telekomunikasi, betapa sulitnya suatu negara
seperti Indonesia akan menegakkan kedaulatan telekomunikasi. Aktor-aktor global dalam
era informasional dan komunikasional, tetap saja adalah korporat-korporat global yang
bergerak pada bisnis telekomunikasi, yaitu para vendor. Mereka inilah yang sekarang
menjelma menjadi rezim baru dalam tata ekonomi dan politik global, yaitu rezim kaum
vendor.
Begitulah, kecenderungan perubahan karakter masyarakat dunia di masa mendatang
yang mengarus kuat ke arah masyarakat informasional dan komunikasional. Gambaran masa
depan seperti itu sudah mulai terasa dan bahkan sudah merupakan fakta historis terjadi di
Indonesia sekarang. Meskipun di sana sini masih menujukkan karakter sebagai masyarakat
agraris dan masyarakat industri, tetapi tanda-tanda bahwa Indonesia mau tidak mau harus
mengikuti perubahan ke arah masyarakat baru tersebut sudah terasa dan bahkan tidak bisa
menghindarinya. Oleh karena itu, negara dan bangsa Indonesia harus mempersiapkan
bagaimana pembangunan sektor pendidikan dan kebudayaan untuk memasuki era baru
tersebut, yaitu era masyarakat informasional dan komunikasional.

B. PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


Marilah kita mulai dengan mengidentifikasi persoalan-persoalan fundamental di
bidang pendidikan dan kebudayaan yang dihadapi bangsa ini. Pengidentifikasian persoalan
fundamental ini penting, karena sekali salah dalam mengidentifikasi persoalannya, secara
logis tentu akan keliru dalam mencarikan solusinya, sehingga dalam proses selanjutnya
tidak melakukan apa-apa, mengalami kemandegan, dan involutif. Sayangnya, proses inilah
yang selama ini kita lakukan, yaitu proses perjalanan bangsa yang sejak awal sudah keliru
dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan fundamentalnya. Akibatnya, selama ini bangsa
Indonesia mengalami stagnasi sejarah peradaban, tidak ada progres bergerak maju
sebagaimana yang dicita-citakan. Bangsa ini mengalami apa yang disebut sebagai involusi
pendidikan dan kebudayaan, meskipun tampak begitu sibuk dan gembrobyos, menghabiskan
banyak energi; tetapi sebenarnya jalan di tempat, dan bahkan mundur atau mengalami
sindroma parkinson, berlomba-lomba mundur.

1. Persoalan Kultural
Bangsa ini pernah menjadi pelaku sejarah peradaban manusia ketika mampu
menunjukkan karya-karyanya seperti pengetahuan tentang sistem pertanian akrab
lingkungan, arsitektur penuh presisi dan indah, psikologi yang menyejukan hati, dan filsafat
hidup harmoni. Juga karya peradaban material seperti Borobudur, Prambanan, teknologi
pamor keris, wayang, gamelan, kapal, dan industri logam. Semua itu tercipta berkat
kepemilikan atas etos kerja yang ketat dalam menjalankan disiplin, tlaten, ketekunan,
presisi, dan akurasi. Akan tetapi mengapa terjadi semacam keterputusan peradaban? Tiba-
tiba saja bangsa ini menjadi bangsa kerdil, tidak visioner, dan pemalas. Malas berpikir,
malas menulis, dan malas nyambut gawe. Singkatnya menjadi bangsa yang tidak
mempunyai sejarah, sebagai subjek aktif pencipta peradaban. Dalam sekian lama kita
menjadi bangsa kalah terus di bidang apa saja dengan bangsa-bangsa maju. Kita praktis
hanya menjadi bangsa penonton kemajuan bangsa lain. Kita hanya menjadi penyaksi kisah
sukses bangsa-bangsa lain. Tiba-tiba kita menjadi bangsa yang kehilangan daya produksi,
dan terus terjebak dalam konsumerisme parah.
Situasinya sekarang sungguh berbanding terbalik, bangsa ini dalam perjalanan
selanjutnya masuk dalam periode paceklik peradaban. Tidak usah jauh-jauh, tengoklah
dapur kita dan kemudian mari kita identifikasi perabotan rumah tangga kita, hampir
semuanya tidak ada yang buatan bangsa kita sendiri kecuali cobek-munthu bikinan Muntilan
warisan keterampilan nenek moyang. Lalu keluar sebentar dan tengoklah warung burjo
Kuningan, warung tradisional itu pun penuh dengan dagangan buatan asing, mulai dari
belasan merk minuman sasetan hingga makanan mie instan yang bahan bakunya tepung
terigu impor itu. Memang ada gorengan tempe dan tahu, tetapi kita mengetahui semua
bahwa kedelai yang merupakan bahan baku produk yang kita banggakan itu juga impor.
Katanya bangsa agraris dan maritim, tetapi beras, jagung, garam, dan bahkan ikan lele aja
impor. Kemudian lihatlah jalan kita yang padat lalu lintasnya penuh dengan kendaraan
bermotor, semuanya adalah impor. Bahkan sepeda pancal pun juga impor dari RRC, dan
hanya tinggal sebagian yang buatan Klaten, itu pun di ece-ece (dilecehkan) halah mung
gawean Klaten.
Tidak hanya itu, apa yang melekat dalam tubuh kita semua ini, sebagian besar adalah
impor. Mulai dari arloji, sepatu, sandal, kacamata, baju, celana, tas, dan asesorisnya serta
lipstick, parfum, deodorant, dan lain-lain semuanya adalah impor. Sepuluh tahun terakhir ini
bangsa ini gemrubyuk pakai busana muslim, di mana-mana muncul komunitas hijaber.
Tetapi ketahuilah, 70 persen produk busana muslim buatan Tiongkok. Juga ramai-ramai
makan buah kurma, tetapi kebanyakan impor dari Australia. Bahkan batik yang kita
banggakan itu, juga tidak luput dari serbuan batik buatan Tiongkok, terutama batik printing.
Apalagi barang-barang elektronik, mulai dari kulkas, televisi, radio, tape recorder,
kamera, AC, kipas angin, pemanas air, dan lain-lain hampir 90 persen impor. Terlebih lagi
barang elektronik penunjang komunikasi dan informasi, seperti komputer, HP, gadget,
berserta alat kelengkapannya, tidak satupun produk dalam negeri. Di bidang perangkat
lunaknya memang ada sedikit buatan bangsa ini sendiri, tetapi kebanyakan meniru tanpa
modifikasi. Baru-baru ini saya menyaksikan pameran ICT di Singapura (Oktober, 2016),
yang persertanya perusahaan seluruh dunia. Indonesia hanya diwakili oleh 5 perusahaan IT
yang bergerak di bidang aplikasi perangkat lunak. Sementara Tiongkok, Korea Selatan,
Taiwan, Jerman, AS, dan Kanada, bahkan Singapura, tampil dengan gagah bersama ratusan
perusahaan IT baik perangkat lunak maupun perangkat keras. Tiongkok misalnya, arena
pamerannya menyita tempat yang luasnya satu alun-alun, sementara Indonesia hanya mojok
menempati ruang 6 x 8 m.
Kalau kita sakit bagaimana? 95 persen industri farmasi adalah impor, karena itu
obat-obatan juga impor. Bayangkan jika bangsa ini terkena embargo produk industri
farmasi, tentu bisa kiamat negeri ini. Belum lagi peralatan kedokteran dan industri rumah
sakit, praktis semuanya adalah impor. Kalau misalnya jarum suntik dihentikan impornya,
maka bisa dibayangkan betapa paniknya bangsa ini. Pertanyaan sederhana dapat diajukan,
tidak bisakah bangsa ini membuat jarum suntik standar kedokteran? Apa pun alasanya, fakta
menunjukkan bangsa ini belum bisa membuatnya, sementara membuat paku saja, kalau
dipukul sering mleyok. Masuklah ke toko Ace Hardware, hampir semua produk peralatan
apa pun bukan buatan bangsa ini.
Di bidang rekreasi, lihat aja mulai dari peralatan olahraga hingga peralatan memancing,
semuanya adalah impor. Kalau kita main badminton, tenis, bolavoli, basket, apalagi golf,
semua peralatannya adalah impor. Kang Bonijo mancing di sungai Opak Jogjakarta, di
tempat raja-raja Mataram bertapa mencari wahyu itu, bukan lagi pakai walesan dari bambu
tapi sudah pakai tongkat pancing buatan Tiongkok. Senar pancing pun juga impor, termasuk
kailnya. Ungkapan jika membantu orang miskin, jangan diberi ikan, tetapi berilah kail
adalah bagus. Akan tetapi sayangnya kailnya pun impor.
Begitu gandrungnya bangsa ini dengan barang-barang impor, sampai-sampai binatang
peliharaan pun impor. Lihatlah kucing, anjing, dan sapi pun juga impor. Kucing anggora,
persia, kucing Barat begitu banyak digemari oleh bangsa ini, hingga kucing lokal banyak
dibuang di tempat sampah, kleleran memelas. Sementara kucing-kucing impor itu hasil
evolusi di negara bermusim dingin, jadi di bawa ke sini sebenarnya melakukan penyiksaan.
Sapi pun juga banyak yang impor, seperti limousine dan brahman semua dari luar. Bukan
hanya itu pengetahuan pemeliharaan, obat-obatan juga impor. Bahkan kacaunya,
mengumpat aja bangsa ini juga impor, termasuk ekspresi kekagetan atau pun kekaguman.
Pengetahuan pun juga jas buka iket blangkon, sama juga sami mawon. Hampir semua
teori-teori yang kita pakai untuk menjelaskan fenomena alam maupun social kebudayaan,
semuanya juga impor. Ilmu pengetahuan dan teknologi atau sain, humaniora seperti filsafat,
sastra, bahasa, dan sejarah, serta ilmu-ilmu sosial juga semuanya impor. Hampir 90 persen
perdebatan dan discourse dalam dunia pendidikan kita, tentang pengetahuan Barat. Karena
itu tidak heran jika dalam dunia akademik, peran bangsa ini tidak begitu signifikan dalam
kasanah pustaka ilmu pengetahuan, ilmu sosial, dan humaniora. Di bidang sosial budaya
yang kita banggakan, tetapi untuk menjelaskan semua fenomena sosial budaya di negeri ini,
juga kebanyakan kita pinjaam dari kalangan indonesianis.
Keyakinan pun juga impor, mulai dari Budha, Hindu, Kristen, dan Islam. Dibelanya mati-
matian di antara pertarungan antarkeyakinan hingga melupakan sistem keyakinan leluhurnya
sendiri. Bahkan keyakinan leluhurnya dibuli habis-habisan atas nama keyakinan impor.
Negara juga bersikap aneh, malah memformalkan sikapnya dengan membuat regulasi dan
menetapkan lima agama sebagai agama yang boleh dipeluk. Hanya ada dua Negara di dunia
ini yang menetapkan dan membatasi keyakinan agama yang dilegalkan oleh Negara, yaitu
Indonesia dan Israel. Akibatnya, keyakinan lokal tidak pernah mendapat apresiasi, tetapi
dibiarkan tanpa perlindungan, dan bahkan dipinggirkan tak bertepi.
Belum lagi kemampuan manajerial bangsa ini, yang hingga sekarang masih belum
beranjak dari pertanyaan fundamental, apakah bangsa ini sesungguhnya bisa melakukan
pengelolaan? Sudah banyak bukti bahwa persoalan kemampuan memanage dalam berbagai
aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari bangsa ini patut dipertanyakan.
Terdapat suara skeptis, bahwa bangsa ini sejak ditinggalkan Belanda tidak pernah
menunjukkan kemampuannya dalam memanage apa pun yang berkaitan dengan kepentingan
masyarakat. Lihat saja misalnya, dari soal manajemen transportasi, lalu lintas jalan raya,
pertambangan, kehutanan, air, perumahan, tata ruang perkotaan, dan apalagi manajemen
sumber daya manusianya, semuanya menunjukkan bangsa ini kurang mampu memanage.
Lebih konkret lagi, lihatlah situasi jalan-raya kita yang penuh dengan kekacauan,
mulai dari pengguna jalan hingga, kondisi fisiknya, trotoar, dan kanan-kiri jalan. Aturannya
sudah jelas ada dan bahkan terasa sangat ambisius dalam arti jika ditaati maka akan tercipta
situasi paling tertib di dunia karena mengatur hingga yang kecil-kecil. Akan tetapi faktanya
semua tahu, betapa kacaunya situasi jalan raya kita, yang sama sekali tidak menunjukkan
budaya tertib berlalu-lintas. Saling srobot, ngebut, bunyi klakson bersautan, suara knalpot
memekakan telinga, dan buang sampah dari dalam mobil seenaknya sendiri. Zebracross
yang merupakan arena hak publik untuk menyeberang jalan menjadi semacam perlintasan
maut, karena tidak ada jaminan selamat. Trotoar pun yang merupakan hak publik bagi
pejalan kaki penuh dengan pedagang kaki-lima, jual bensin eceran, dan penuh dengan
rintangan akibat sering digunakan sebagai tempat jualan berbagai pedagang. Belum lagi
parkir hingga menjorok ke badan jalan, semakin menambah kekacauan dan kemacetan luar
biasa. Sementara itu tiang listrik dan tiang telepon diletakan berserakan tanpa mengindahkan
pertimbangan estetika, dan terlebih lagi kabel-kabelnya yang sangat semrawut.
Pemandangannya semakin menyebalkan karena fasilitas publik jalan raya dipenuhi dengan
sampah visual. Papan reklame dipasang dan digantung di mana-mana tanpa mempedulikan
aspek kerapian dan keindahan. Situasi menyebalkan dan sekaligus menyeramkan itu
semakin menjadi-jadi ketika kondisi badan jalan yang sering tidak karuan, rusak, berlubang,
dan tidak rata karena sering digali lagi, bongkar lagi, dan tidak dikembalikan seperti kondisi
semula sebagai akibat tiadanya koordinasi antarbadan atau antardinas terkait yang
mengurusi jalan raya. Semua itu mengindikasikan, tiadanya sistem pengaturan fasilitas
publik secara nasional yang komprehensif dan sinergis. Itu semua peroalan dasarnya adalah
soal kultur, sebuah kultur bangsa ini yang justru ke arah serba negatif.

2. Persoalan Pendidikan: Aspek Demografis


Dilihat dari perspektif demografis, dunia pendidikan di Indonesia juga menyodorkan
masalah yang tidak kalah serius. Persoalan demografi tampak pada penambahan jumlah
penduduk, ketidakmerataan, meningkatnya lansia, dan yang krusial adalah kaitannya dengan
kualitas sumber daya manusia.
Berbagai persoalan pendidikan dalam kaitannya dengan aspek domografis antara lain
soal masih belum meratanya akases pendidikan antarkelompok dalam masyarakat. Capaian
angka partisipasi sekolah (APS) dari kelompok masyarakat miskin masih jauh tertinggal jika
dibandingkan APS kelompok masyarakat kaya. Terdapat kesenjangan capaian partisipasi
pendidikan menengah antarprovinsi dan antarkabupaten/kota. Dari 6.637 kecamatan, ada
sekitar 231 kecamatan yang tidak memiliki SMP?MTs dan 935 kecamatan yang tidak
memiliki SMA/SMK/MA.
Lihat tabel kualitas layanan pendidikan
Sementara itu dari aspek kualitas sejumlah persoalan menghadang, antara lain: masih
banyak guru yang belum memiliki kualifikasi akademiki minimal S1/S4; proses sertifikasi
guru tidak serta merta meningkatkan hasil belajar siswa; masih banyak satua pendidikan
yang belum memiliki laboratorium/ruang praktik siswa secara lengkap; rendahnya
pengetahuan dan keterampilan guru dalam mengembangkan metode pembeljajaran; tiadanya
pengembang dan pengelola sumber belajar di sekolah-sekolah formal; rendahnya
pemahaman terhadap Kurikulum 2013; dan hubungan formalistik antara sekolah, komite
sekolah, dan warga masyarakat itu sendiri.
Persoalan lain yang tidak kalah penting adalah kesejnajang partisipasi pendidikan
yang meskipun disparitas itu semakin mengecil baik antardaerah maupun antar kelompok
sosial, tetapi secara kualitatif akses untuk memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas
disparitasnya masih lebar. Masih perlu upaya besar untuk memberikan garansi kepada usia
sekolah 7-15 tahun memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Terdapat
kecenderungan semakin ke pinggir layanan pendidikan semakin buruk, sehingga sudah
dapat dipastikan bahwa mereka yang masuk dalam kategori warga miskin akan
mendapatkan layanan pendidikan semakin buruk, karena posisi mereka ada di wilayah
pinggiran baik secara teritori maupun sosial.
Berhimpit dengan masalah pendidikan adalah masalah kesehatan sebagai sebuah
masalah sosial. Pembangunan sektor kesehatan hingga sekarang masih terbelit oleh isu
masalah mendasar, seperti tingginya risiko kematian ibu melahirkan, sebagai konsekuensi
atas kurang idealnya usia perkawinan atau antenatal care (11 persen perempuan menikah di
usia < 16 tahun dan 53 persen menikah di usia < 20 tahun); angka kematian ibu melahirkan
masih 228 per 100.000 kelahiran (2007), dan meningkat menjadi 359 per 100.000 per
kelahiran pada tahun 2012.
Sementara itu jumlah penduduk miskin juga masih belum beranjak dari anka-angka
memprihatinkan, yaitu masih di kisaran 18 persen dari jumlah penduduk Indonesia, yang
berarti masih lebih dari 30 juta warg miskin. Itu pun hanya dipatok dengan kriteria
pemerintah sendiri, yaitu pengeluaran Rp 7 ribu per hari untuk nasional dan Rp 10 ribu
untuk warga Jakarta. Apabila menggunakan kriteria PBB yang merujuk Bank Dunia, yaitu
pengeluaran di bawa $ 1,25 AS per hari. Jika itu yang dijadikan dasar maka jumlah warga
miskin di Indonesi jauh di atas 18 persen. Bahkan belakang Bank Dunia menganjurkan
bahwa angka ideal garis batas di bawah kemiskinan adalah pengeluaran $ 2 AS per hari,
sehingga jika kriteria baru ini yang digunakan maka jumlah warga miskin Indonesia lebih
dari 59 persen.
Semua itu merupakan tiga komponen utama dalam pemeringkatan IPM. Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) untuk 2015 adalah 0.689. Ini menempatkan
Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, dan peringkat 113 dari 188
negara dan wilayah. Nilai IPM meningkat 30,5 persen dari nilai pada tahun 1990. Hal ini
mencerminkan kemajuan yang telah dicapai Indonesia dalam hal harapan hidup saat lahir,
rata-rata tahun bersekolah, harapan lama bersekolah dan pendapatan nasional bruto (PNB)
per kapita selama periode tersebut.
Namun demikian IPM Indonesia menurun tajam ke 0,563 (turun 18,2 persen) bila
kesenjangan diperhitungkan. Kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir di
Indonesia lebih tinggi dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik, namun Indonesia lebih baik
dalam hal kesenjangan pendapatan dan gender dibandingkan dengan rata-rata di kawasan
ini. Kesetaraan gender adalah pendorong utama pembangunan berkelanjutan. Pada tahun
2014, data yang terpilah menurut jenis kelamin diperkenalkan ke dalam IPM, yang
memungkinkan UNDP untuk menghitung dan membandingkan IPM untuk laki-laki dan
IPM untuk perempuan. Namun sayangnya di sebagian besar negara di dunia, laki-laki dan
perempuan tidak menikmati tingkat pembangunan manusia yang sama. Di Indonesia, Indeks
untuk laki-laki adalah  0,712. Sedangkan untuk perempuan Indonesia hanya mencapai 0,66.1
Sementara itu, upaya mencerdaskan dunia, maka ditetapkan sebuah tujuan yang
populer dengan Millenium Development Goals (MDGs), terutama di belahan dunia selatan
yang kebanyakan pendudukanya masih tertinggal dalam berbagai hal. MDGs atau dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium, adalah sebuah
paradigma pembangunan global, dideklarasikan Konperensi Tingkat Tinggi Milenium oleh
189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan September
2000.
Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk
mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam upaya
menangani  penyelesaian terkait dengan  isu-isu yang  sangat  mendasar   tentang
pemenuhan  hak  asasi dan kebebasanmanusia, perdamaian, keamanan, dan pembangunan.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah
pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:
 Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan
 Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua,
 Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan,
 Menurunkan Angka Kematian Anak,
 Meningkatkan Kesehatan Ibu,
 Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya,
 Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan
 Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Setiap tujuan menetapkan satu atau lebih target serta masing-asing sejumlah
indikator yang akan diukur tingkat pencapaiannya atau kemajuannya pada tenggat waktu
hingga tahun 2015. Dalam bidang pendidikan tujuan utama mencapai pendidikan dasar
untuk semua adalah harus dipandang sebagai sebuah keniscayaan oleh setiap negara anggota
PBB.
Indonesia, yang juga menjadi salah satu anggota, telah berkomitmen untuk menetapkan
target pendidikan dasar sebagai sebuah keniscayaan. Dan sebenarnya, sejak era Orde Baru,
pemerintah telah menetapkan target terpenuhinya pendidikan dasar dengan mengeluarkan
kebijakan dan program apa yang dikenal sebagai wajib belajar 6 tahun, dan kemudian wajib
belajar 9 tahun. Melalui program pemerataan pendidikan, pemerintah waktu itu telah
meluncurkan SD Inpres, sehingga fasilitas pendidikan dasar menjangkau hingga ke pelosok
tanah air. Harus diakui program pemerataan pendidikan melalui SD Inpres ini cukup
berhasil secara signifikan.
Sekarang ini pemerintah telah meningkatkan target pendidikan dasar dengan program
wajib belajar 9 tahun, dan bahkan sudah ada rencana wajib belajar 12 tahun, yang berarti
setara dengan sekolah menengah lanjutan atas dan sederajat. Ini berarti, bahwa setiap warga
negara pada tahun 2015 semuanya minimal lulus SMA dan sederajat.
Pencapaian target kuantitatif hingga kini sudah cukup menggembirakan. Pada saat
ini 94,7% penduduk Indonesia berhasil mengenyam sekolah dasar, dan angka ini terus
mengalami pertumbuhan positif. Namun angka partisipasi di tingkat SMP hanya bergerak
perlahan dari 41,9% pada tahun 1990, saat ini hanya berada di posisi 66,5% dari target

1
http://www.id.undp.org/content/indonesia/id/home/presscenter/pressreleases/2017/03/22/indonesia-s-
human-development-index
100% seluruh penduduk mengenyam pendidikan hingga SMP pada tahun 2015. Tujuan
MDGs ke 2, yakni ketidaksetaraan akses pendidikan dan latihan memiliki 3 indikator, yaitu:
(1) partisipasi di tingkat SD dan SMP; (2) proporsi murid yang bersekolah hingga kelas 5
dan tamat SD; (3) melek huruf usia 15-24 tahun. Secara umum gambaran angka partisipasi
murni (APM) di tingkat SD belum sungguh-sungguh mengalami progress yang terus positif,
melainkan mengalami fluktuasi dalam 3 tahun terakhir. Angka APM SMP mengalami
peningkatan dengan trend fluktuatif. Upaya keras masih dibutuhkan untuk mencapai target
100% seluruh penduduk Indonesia bersekolah hingga jenjang SMP. Terlebih terkait
partisipasi anak perempuan yang rasio partisipasinya lebih kecil dari anak laki-laki. Kondisi
ini menunjukkan profil pendidikan di Indonesia, dimana makin tinggi jenjang pendidikan,
makin rendah angka partisipasi perempuan.
Akan tetapi problem mendasar yang perlu segera mendapat solusi adalah bagaimana
target kuantitatif tersebut mampu bergeser ke target kualitatif. Harus diakui bahwa secara
kualitatif mutu pendidikan di Indonesia kurang merata, dan sepertinya makin ke pinggiran
makin rendah mutunya. Jadi berbagai lembaga pendidikan dari jenjang SD hingga
SMA/SMK yang berkualitas lebih terkonsentrasi di daerah perkotaan, sedangkan di daerah
pedesaan jauh lebih rendah kualitasnya.
Fenomena itu boleh jadi merupakan implikasi dari model kekuasaan Jawa. Sudah
sejak lama pilihan paradigma pembangunan di Indonesia menggunakan pendekatan
sentralistik yang sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. Model ini diterapkan
secara efektif pada era kerajaan Mataram dengan kota Jogja sebagai pusat dan sekaligus titik
pemusatan kekuasaan. Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya berjudul The Idea of
Power in Javanese Culture menggambarkan kekuasaan Jawa seperti daya pancaran lampu
pijar. Asumsinya adalah: (1) Raja dan Keraton merupakan sumber cahaya yang mengalir
dan memancarkan kekuasaan sehingga dapat memangku jagad raya dan negara atau menjadi
paku jagad semesta alam; (2) Kekuasaan raja Jawa seperti cahaya lampu pijar, makin dekat
dengan bolamnya makin terang, makin jauh makin lemah cahayanya hingga makin redup
dan hilang sinar-sinar yang berasal dari bolam sumbernya.
Dalam memberikan layanan publik pun juga menggunakan cara pandang yang sama
dengan daerah pedesaan atau pinggiran dalam posisi yang dipandang oleh pusat. Oleh
karena daerah pinggiran memang tidak perlu diperkuat, dan bahkan dibiarkan lemah, maka
pemberian layanan fasilitas publik pun sekehendak pemerintah pusat. Akibatnya semua
pelayanan publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan pun mengikuti pola pancaran
lampu pijar, makin jauh dari pusat makin minim dan jelek.
Oleh karena itu lembaga legislatif harus mendorong kebijakan yang menggunakan
paradigma pembangunan yang dimulai dari pinggir. Sebuah paradigma yang menjadikan
daerah pinggiran sebagai awal dari perubahahan, dan kemudian bergerak ke pusat.
Hortstmann dan Wadley (2006) dalam kata pengantar buku Centering the Margin: Agency
and Narative in Southeast Asian Borderlands menjelaskan bahwa dinamika sosial yang
terjadi di daerah pinggiran justru akan semakin menentukan kelangsungan negara-bangsa di
masa depan. Dalam prinsip centering the margin, menjadikan daerah pinggiran sebagai titik
awal perubahan bergerak secara dinamis ke arah pusat, sehingga titik kekuatan sebuah
negara ada dalam bingkainya yang berwujud kuatnya pertahanan di daerah perbatasan baik
secara sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan kebijakan seperti itu maka masyarakat nelayan
yang terpinggirkan dan sektor kelautan yang senantiasa tidak diprioritaskan akan menjadi
pusat perhatian dalam dinamika pembangunan nasional.
Sudah tentu mengubah paradigma ini tidak mudah, karena mengalihkan lokus
perhatian di daerah perbatasan bergerak ke pusat, pada prinsipnya mengubah paradigma
negara agraris menjadi negara maritim. Selama ini paradigma negara agraris lebih
dominan berpengaruh pada para pengambil keputusan, dengan orientasi memperkuat di
pusat. Sementara itu paradigma negara maritim yang lebih cenderung berorientasi
membangun kekuatan dari pinggir, kurang begitu populer.
Perkembangan politik setelah kemerdekaan, terutama dengan menguatnya peran
Angkatan darat sebagai sebuah kekuatan politik, semakin menegaskan posisi Indonesia
yang berorientasi ke darat daripada ke laut. Dalam masa pemerintahan Soeharto,
sentralisasi politik maupun ekonomi mengalami puncaknya dan menjadikan Jawa
secara tuntas sebagai pusat Indonesia. Dalam perkembangan sejarah nusantara semacam
itulah, konstruksi Indonesia sebagai archipelagic state atau negara yang semestinya
berbasis maritim telah terkonstruksi semakin dalam menjadi negara “darat” yang
berpusat di Jawa. Konstruksi negara “darat” yang mengagungkan sentralisme politik dan
ekonomi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kawasan perbatasan yang
dengan demikian diperlakukan sekadar sebagai kawasan pinggiran, marjinal, excluded
dan terbiarkan (Riwanto Tirtosudarmo, 2010, Mencari Indonesia, Jakarta: LIPI Press.)
Oleh karena itu sudah saatnya para pengambil kebijakan mulai memperhatikan
prinsip centering the marjin jika memang menginginkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia benar-benar kuat. Dalam pada itu, berbagai program pembangunan pelayanan
publik pun juga harus lebih memprioritaskan yang di perbatasan. Atau paling tidak
menjadikan daerah perbatasan sebagai titik berat pembangunan nasional dengan
mengutamakan pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, dan pertahanan. Dalam
pelayanan pendidikan, sudah saatnya membangun fasilitas pendidikan seperti lembaga
pendidikan politeknik yang sesuai dengan karakter sosial budaya masyarakat perbatasan.
Demikian pula dalam bidang pelayanan kesehatan, kiranya unit yang paling depan,
yaitu Puskesmas perlu mendapat prioritas pengembangan dengan menambah paramedis
dan peralatan kesehatan hingga ke tingkat pembedahan. Demikian pula dalam bidang
pertahanan, daerah perbatasan di sekitar perairan laut Cina Selatan dan Lautan Pasifik
perlu mendapat perioritas pembangunan. Daerah seperti Natuna dan Batam perlu
dijadikan pangkalan Angkatan Laut utama dengan penambahan personil dan
ALUTSISTA yang memadai (Marsetio, 2012).
Penyebab lain adanya fenomena tidak meratanya pembangunan yang
berimplikasi terhadap semakin miskinnya warga di daerah pinggiran adalah kuatnya
model kekuasaan Jawa yang dipakai dalam mengelola Indonesia. Sudah sejak lama
pilihan paradigma pembangunan di Indonesia menggunakan pendekatan sentralistik
yang sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa. Model ini diterapkan secara
efektif pada era kerajaan Mataram dengan kota Jogja sebagai pusat dan sekaligus titik
pemusatan kekuasaan. Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya berjudul The Idea of
Power in Javanese Culture menggambarkan kekuasaan Jawa seperti daya pancaran
lampu pijar. Asumsinya adalah: (1) Raja dan Keraton merupakan sumber cahaya yang
mengalir dan memancarkan kekuasaan sehingga dapat memangku jagad raya dan negara
atau menjadi paku jagad semesta alam; (2) Kekuasaan raja Jawa seperti cahaya lampu
pijar, makin dekat dengan bolamnya makin terang, makin jauh makin lemah cahayanya
hingga makin redup dan hilang sinar-sinar yang berasal dari bolam sumbernya.
Dalam memberikan layanan publik pun juga menggunakan cara pandang yang
sama dengan daerah pedesaan atau pinggiran dalam posisi yang dipandang oleh pusat.
Oleh karena daerah pinggiran memang tidak perlu diperkuat, dan bahkan dibiarkan
lemah, maka pemberian layanan fasilitas publik pun sekehendak pemerintah pusat.
Akibatnya semua pelayanan publik seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan pun
mengikuti pola pancaran lampu pijar, makin jauh dari pusat makin minim dan jelek.
Sebagai ilustrasi, tingkat kualitas pendidikan di DIY yang mengikuti pola
konsentris tersebut juga tercermin dalam kualitas layanan pendidikan, dalam arti
semakin ke daerah pinggiran semakin rendah tingkat kualitas fasilitas publiknya.
Minimnya fasilitas belajar, tidak meratanya sumber daya, dan makin rendahnya tingkat
status sosial ekonomi warga masyarakat di daerah pinggiran, merupakan beberapa faktor
yang berkaitan dengan rendahnya prestasi belajar warga masyarakat di daerah pinggiran.
Sementara itu secara kultural, pandangan dunia warga masyarakat pinggiran terhadap
dunia sekitarnya juga memberikan pengaruh signifikan terhadap makna bersekolah dan
makna belajar. Selama ini telah berkembang persepsi bahwa untuk apa sekolah dan giat
belajar, pada kenyataannya tidak mampu mengangkat status sosial. Mereka dengan
menempuh pendidikan, tetap saja tidak keluar dari kondisi hidup yang terjerat
kemiskinan. Warga daerah pinggiran, terutama di daerah pedesaan masih didominasi
cara berpikir fatalistik, mereka miskin karena memang ditakdirkan menjadi orang miskin
dan tertinggal. Oleh karena itu mereka beranggapan, untuk apa giat belajar jika pada
kenyataannya mereka tetap saja miskin. Kondisi hidup warga pinggiran yang miskin
berhubungan dengan kemalasan belajar.
Dengan konseptualisasi seperti itu maka pemerataan pendidikan akan bergerak
pula dari kawasan pinggiran ke pusat, sehingga sekolah-sekolah bermutu akan banyak
ditemui di daerah pedesaan. Konkretnya, nanti akan dijumpai SD atau SMA yang
bermutu di daerah Aceh, Kalimantan Utara, dan Papua. Untuk semua pemangku
kepentingan perlu memberikan pemahaman dan juga pengertian kepada jajaran eksekutif
untuk mencoba menerapkan model pelayanan pendidikan yang bergerak dari pinggir.
Kata pinggir ini juga bermakna marginal dalam arti luas, sehingga kaum
perempuan yang secara politik dan kultural sekarang ini masih menjadi bagian dari
kelompok yang termarginalkan, maka dengan paradigma tersebut juga perlu
memfokuskan pada perempuan sebagai titik awal dan bahkan titik pusat pembangunan.
Karena itu, para wakil rakyat terus perlu mendorong kebijakan yang memprioritaskan
pendidikan kaum perempuan. Dengan semangat Kartini yang konseptor Indonesia dan
sangat cerdas itu, maka sudah saatnya pendidikan kaum perempuan menjadi prioritas.
Jangan lupa Kartini adalah titik awal dan titik pusat pembentukan negara bangsa yang
bernama Indonesia. Kartinilah yang memiliki kesadaran keindonesiaan dengan
menekankan pentingnya pendidikan. Saya setuju dengan Pramoedya, Kartini adalah
konseptor Indonesia, sedangkan Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll itu adalah pelaksana. Jadi
Indonesia dimulai dari Induk, dari Ibu, dari Perempuan, yang ironisnya sekarang
dipinggirkan, dan bahkandalam istilah Sipvak, sebagai subaltern.

3. Kebijakan Pendidikan
Kita mulai dari aspek kebijakan pendidikan selama kita merdeka. Bagaimana
kebijakan pendidikan kita selama ini? Soekarno menghendaki bahwa peserta didik harus
memiliki jiwa revolusioner dan menyediakan SDM yang mampu bersaing dengan bangsa
lain. Ia membayangkan peserta didik Indonesia harus memiliki jiwa nasionalisme dan
patriotik, karena itu penyelenggaraan pendidikan harus mengikuti Tri Sakti, berdaulata
secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Akan tetapi karena tiadanya program yang jelas,
serta minimnya infrastruktur, hiruk pikuk politik-ideologis, maka pendidikan kita boleh
dikatakan gagal total. Soekarno sendiri kurang konsisten, dengan menempuh jalan pintas
meniru gaya pendidikan blok Timur, dengan mengirim SDM potensial ke Rusia. Keadaan
lebih buruk ketika Soekarno kalah dalam percaturan politik nasional, dan Indonesia berada
dalam genggaman Barat dengan Soeharto memegang tampuk pimpinan.
Memasuki era Orde Baru kebijakan pendidikan mulai sedikit terencana cukup
memadai. Setelah mendapat banjil rejeki minyak (oil boom), maka cukup dana melimpah
membangun infrastruktur sebagai solusi keadaan darurat pendidikan. Melalui Inpres,
dibuatlah puluhan ribu gedung sekolah dasar hingga ke pelosok tanah air, dan dicanangkan
wajib belajar 6 tahun. Harus diakui kebijakan ini secara kuantitatif berhasil, dan bahkan
menyusul kemudian pencanangan wajib belajar 9 tahun. Jutaan usia sekolah dapat
ditingkatkan dengan minimal lulus SD dan SMP. Bahkan Orde Baru berhasil memberantas
buta huruf bagi warga Negara dewasa melalui program Kejar Paket A dan B.
Akan tetapi secara kualitatif kurang memuaskan, terlebih lagi ketika dikaitkan
dengan kualitas lulusannya. Ada beberapa sebab, antara lain soal kualitas gurunya. Oleh
karena semua dikendalikan lewat Inpres maka semuanya serba darurat dan memang politik
Soeharto adalah politik darurat. Pengadaan guru dilakukan melalui crashprogram, lulusan
SMP dididik secara kilat dan kemudian diangkat jadi guru. Lalu pemerintah mendirikan
SPG/SGO dan dalam waktu 10 tahun pengadaan guru untuk mengisi SD Inpres telah dapat
terpenuhi. Akan tetapi pengadaan guru secara darurat berimplikasi terhadap kualitas
pembelajaran dan akhirnya kualitas lulusan yang jauh dari harapan. Dampak pengadaan
guru secara darurat itu sampai sekarang masih terasa.
Era Orde Baru juga membuat kebijakan kependidikan yang berkaitan dengan
sentalisasi politik serta kesiapan masuk era masyarakat industri. Maka ketika Nugroho
Notosusanto dan kemudian diteruskan Daoet Joesuf, pendidikan diselenggarakan dengan
konsep saintific community. Kebijakan NKK/BKK diterapkan agar peserta didik a politik,
focus saja belajar. Kebijakan ini berakibat pada daya kritis peserta didik tidak terasah dan
terlalu teknokratis. Kurikulum pun diterapkan dengan prinsip pengendalian secara
sentralistik, dan kecurigaan akan potensi peserta didik untuk memberontak. Kurikulum,
metode pembelajaran, dan aspek menajemen dikendalikan secara sentralistik. Kurikulum
diubah mengikuti periode tahun, dan metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dikenalkan
pada guru. Akan tetapi perubahan kebijakan itu tidak cukup mampu menghasilkan lulusan
sekolah dan perguruan tinggi yang mampu mendorong ke arah masyarakat industrial yang
dicita-citakan.
Setelah itu pemerintah mencanangkan kebijakan link and macth untuk mendorong
masyarakat industrial, dan mengurangi kecenderungan pengangguran terdidik. Lagi-lagi
karena tidak mampu mengidentifikasi persoalan fundamental, maka kebijakan dan program
ini pun gagal total. Tetap saja lulusan pendidikan tidak mampu bersaing, dan mendorong ke
arah penguatan sentra-sentra produksi. Malah yang terjadi adalah sebuah ironi, lulusan
pendidikan meninggalkan pertanian yang merupakan basis kultur bangsa ini. Akibatnya
sector vital ini kian terbengkelai dan ditinggalkan, sehingga agroindustry dan agribisnis
yang digembar-gemborkan ya hanya sebatas gembar-gembor. Kelautan pun juga hanya
dibiarkan menjadi zona potensial karena tiadanya ketersediaan SDM mumpuni kelautan
hasil proses pendidikan. Maka tidak heran jika negeri yang memiliki pantai terpanjang ini
garam aja impor, dan ikannya dicuri terus oleh Negara-negara industry maju. Belakangan
solusinya dengan cara koboi, menembaki dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang
diduga mencuri ikan oleh Menteri Kelautan Susie yang aduhai itu.
Pada era Wardiman Djojonegoro juga ditandai masuknya ideologisasi agama (Islam)
seiring dengan meningkatnya peran ICMI masuk Negara. Departemen Pendidikan Nasional
dijadikan sebagai pintu masuk gerakan Islam politik masuk Negara, dan kebijakan yang bias
agama mulai terasa menggantikan kecenderungan internalisasi ideologi Negara. Pada fase
ini kepentingan Ormas Muhammadiyah cukup terwakili dalam berbagai kebijakan strategis
di bidang pendidikan hingga pasca Orde Baru, yang ditandai menterinya hampir semua dari
kalangan Muhammadiyah. Baru sedikit berhenti ketika menterinya Moh. Nuh dari Nadlatul
Ulama. Tetapi yang belum berhenti adalah ideologisasi kementerian pendidikan yang bias
agama berlangsung hingga sekarang.
Pada era pasca Orde Baru kebijakan pendidikan mulai dirombak dengan semangat
demokratisasi. Pengelolaan sentralistik diubah menjadi desentralistik dengan memperbesar
peran daerah mengikuti pemberlakukan Otonomi Daerah. Pemerintah kemudian
mencanangkan kebijakan pendidikan karakter dengan memberi target ambisius bahwa
lulusan pendidikan harus memiliki 18 karakter yang luhur-luhur. Kebijakan ini hingga fase
perkembangannya sekarang juga belum tampak hasilnya, dan sebegitu jauh tampak gejalan
ke hanya retorika saja. Penyebabnya antara lain karena terlalu ambisius, dan muluk-muluk,
sementara secara structural dan kultural tidak digarap secara serius. Katanya pendidikan
harus menanamkan nilai kejujuran, tetapi praktik penyimangan dalam UN merajalela. Jadi
proses pendidikan mengalami kontradiksi. Belum lagi tidak dibarengi dengan mentalitas
penyelenggaraan Negara di luar sekolah. Dididik apik-apik muridnya, tetapi di luar sekolah,
struktur social dan kulturnya korup. Lha nggih percuma.
Kurikulum pun berubah-ubah sebagai akibat dari mentalitas mengejar proyek jajaran
Diknas. Tadinya kurikulum 13 terus diubah Kurikulum KKNI. Tetapi karena kualitas
gurunya juga belum memadai, dan kemampuan tata kelola sekolah juga belum memadai
secara merata, maka implementasi kurikulum ini juga banyak masalah. Aspek evaluasi aja
misalnya, untuk kurikulum 13 banyak guru yang tidak memiliki kemampuan observasi,
sehingga ya tidak maksimal dan kembali ke orientasi hasil, bukan proses sebagaimana
diharapkan kurikulum 13 itu sendiri. Sebuah ironi dan bahkan kontradiktif.
Kemudian pemerintah Jokowi-JK mencanangkan revolusi mental dalam dunia
pendidikan. Idenya mirip dengan Soekarno agar pendidikan menghasilkan warga Negara
yang bermental patriotik dan nasionalis. Maka dengan Tri Sakti dan Nawacita, proses
pendidikan harus memiliki identita yang bermartabat sebagai bangsa, yaitu berdaulat baik
secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Tetapi hingga sekarang revolusi mental ini juga
masih belum memiliki gaung dan greget yang menggerakan energi masyarakat. Tampak
penyelenggaraan pendidikan juga masih terjebak pada rutinitas saja.
Begitulah, dinamika perjalanan kebijakan pendidikan Negara ini berlangsung secara
fluktuatif mengikuti karakter rezim pemerintahannya. Apa pun alasannya, hampir setiap
periode pemerintahan tidak berhasil memenuhi target yang ditetapkan oleh masing-masing
pengambil kebijakan dalam proses pendidikan itu. Penyebabnya di samping, mentalitas
proyek, parsial dan tidak komprehensif, tambal-sulam, dan disorientasi, juga karena tidak
mampu mengidentifikasi persoalan fundamentalnya. Jika pada level identifikasi masalah
saja sudah keliru, maka solusi yang ditawarkan juga tidak tepat sasaran.
Tapi menurut saya itu bukan persoalan fundamental. Persoalan fungdamental adalah
kemandirian bangsa dalam arti mandiri secara keseluruhan. Jadi bangsa ini harus merdeka
dari jeratan narasi dominan yang menundukan kesadaran sebagai bangsa mandiri. Jeratan
narasi dominan itu antara lain: Sistem keyakinan yang diimpor dari luar; Sistem politik yang
diimpor dari luar; Sistem ekonomi yang diimpor dari luar; Sistem pendidikan yang diimpor
dari luar; dan sistem pengetahuan yang diimpor dari luar. Semuanya itu tidak pernah
dikunyah dengan kritis, semuanya langsung ditelan mentah-mentah. Semuanya itu adalah
membuat sistem kesadaran kita sebagai bangsa diimpor dari luar, tanpa ada negosiasi, jeda,
dan resistensi dengan perspektif kritis.
Mengapa kita tidak mandiri, kaerna kita didekte oleh narasi-narasi besar yang
semuanya bukan kesadaran sejarah kita. Kita tidak mempunyai keberanian terhadap kontrol
dan kendali dari narasi besar itu. Mengapa? Karena kita tidak mampu menciptakan dan
membangun critical mass, yaitu rakyat yang kritis. Kita hanya bejana kosong yang tunduk
dan ditundukan oleh narasi besar yang seenaknya menggerojok pikiran kita yang memang
kosong. Jadi kita memang tidak mempunyai karakter. Kita tidak mampu menjadi agen dan
agency untuk menggoyang atau mendestabilisasi kemapanan narasi besar yang
membelenggu dari dunia ide hingga praksis kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan
kebudayaan.
Mengapa kita tidak bisa menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulat? Karena selama
ini praksis pendidikan kita lebih menunjukkan karakter sebagai pendidikan imitatif. Mari
kita mulai dari pertanyaan filosofis, apakah pendidikan kita mengajari untuk berpikir?
Sekolah hanya melahirkan generasi imitasi, dan karena itu malas berpikir.Kalau toh diajari
berpikir itu pun dengan logika berpikir konvensional. Imitasi bukanlah aktivitas berpikir,
tetapi meniru dan karena itu tidak lebih hanya generasi pengagum, penikmat, dan konsumtif.
Imitasi bukanlah bermimikri yang mockery, atau meniru dan sekaligus mengejak terhadap
yang ditirunya. Imitasi adalah meniru secara pasif terhadap yang ditirunya, karena itu
gampang dikontrol oleh yang ditirunya. Peniru selamanya tidak akan menjadi aslinya, dan
karena itu tidak akan bisa menjadi melampauinya. Lembaga sekolah selama ini telah begitu
lama melakukan praktik demikian, dan yang lebih memprihatinkan hingga fase
perkembangannya yang sekarang, tidak menyadarinya. Bahkan yang terjadi melakukan
selebrasi atas peniruannya itu, dan dengan demikian juga merayakan ketertundukannya
terhadap yang ditirunya. Lembaga pendidikan adalah ibu kandung generasi imitasi yang
dirayakannya secara gegap-gempita.
Lembaga pendidikan adalah pabrik kesadaran palsu, bukan arena menyemaikan
kesadaran kritis.Representasi murid adalah representasi yang dibentuk, dipandang, dan
mengalami objektivikasi tanpa otonomi. Sekolah tidak menjadi arena bagi membangun
kesadaran kritis yang menjadikan murid mampu sebagai subyek aktif dan memandang
secara cerdas-kreatif dalam pergulatannya dengan perkembangan peradaban manusia.
Seruan dari teori kritis, jadikanlah lembaga pendidikan sebagai arena emansipatoris, di
Indonesia terdengar sayup-sayup. Murid tidak lagi peka dan peduli dengan ketidakadilan
struktural.
Lembaga pendidikan tidak lebih hanya mewariskan dan memindahkan pola yang
sudah digunakan oleh pemiliknya, yaitu Barat pelopor moda produksi kapitalisme dan
Timur Tengah pengkonstruksi Tuhan monoteisme. Lembaga pendidikan di Indonesia tidak
mengajari bagaimana caranya membuat pola dan sekaligus mengembangkannya. Karena itu
lembaga pendidikan, terutama sekolah, hanyalah peminjam pola, tidak peduli pola itu sudah
usang atau tidak, kontekstual atau tidak. Lebih repot lagi, lembaga sekolah mengajari cara
berpikir dan praktik polaritatif itu, sehingga murid peniru ulung, dan bukan pencipta.
Lembaga sekolah seperti itu tidak menghasilkan murid yang berkehendak, tetapi hanya
melahirkan murid yang dikehendaki, dikehendaki oleh para pendukung kemapanan baik
dalam “cara berpikir” maupun praktik.
Jangan heran kalau murid sekarang bukan saja tidak boleh bertanya, tetapi memang
tidak bisa bertanya, dan karena itu apalagi menjawabnya. Dan bukan hanya itu, murid juga
sekaligus diajari menjawabnya. Jadi pertanyaan dan sekaligus jawabannya itu pada
hakekatnya adalah bukan pertanyaan dan jawaban murid, melainkan pertanyaan dan
sekaligus jawaban kelompok mapan yang agen utamanya adalah guru, yang sekaligus
kepanjangan dari negara yang tidak otonom terhadap kapitalisme dan agama. Karena itu
murid tidak punya representasi kesejatian, tetapi direpresentasikan oleh kesadaran palsu
yang dibentuk oleh kelompok mapan. Lembaga sekolah tidak lebih sekadar pembuat
“patung-patung” , dan repotnya patung-patung itu kopong, karena hanya diisi oleh imitasi.
Oleh karena itu tidak perlu heran jika proses imitasi itu berlangsung pada berbagai
aspek, mulai dari sistem hukum, sistem politik, ekonomi, dan juga kebudayaan. Dengan kata
lain, tidak tumbuh karya peradaban di negeri ini, karena telah lama macet sebagai akibat
dari proses imitasi yang intensif dan masif. Oleh karena itu sudah saatnya kita menerapkan
pendidikan transformatif sebagai upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan mampu
menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berperan aktif dalam percaturan peradaban
dunia. Tentu saja praksis pendidikan transformatif itu lebih mengedepankan aspek
kualitatifnya, bukan sekadar mengejar target kuantitatif dan formalistik.

C. PENDIDIKAN TRANSFORMATIF
Masyarakat telah lama menjadi perhatian utama disiplin ilmu sosial, terutama yang
berkaitan dengan karakter dan gerak perubahannya. Tradisi disiplin sosiologi misalnya,
sudah sejak August Comte tertarik mencermati karakter dan gerak perubahan masyarakat.
Melalui landasan filsafat positivisme, Comte berasumsi bahwa masyarakat bergerak secara
linier mengikuti tahapan-tahapan historis menuju ke arah yang ia anggap lebih maju.
Dengan menyodorkan hukum tiga tahap, Comte menjelaskan sejarah perkembangan
masyarakat bergerak secara evolutif, dari masyarakat teologis kemudian berkembang ke
arah semakin modern berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
positivistik.
Hukum tiga tahap atau teori evolusioner masyarakat, menurut Comte menjelaskan
ada tiga tahap intelektual yang dilalui sepanjang sejarah dunia. Menurut Comte, bukan dunia
saja yang melalui proses tersebut, tetapi kelompok, masyarakat, ilmu, individu, dan bahkan
pikiran pun melalui tiga tahap yang sama. Yang pertama adalah tahap teologis, yang
menandai dunia sebelum tahun 1300. Selama periode itu, sistem ide utama menekankan
kepercayaan bawa akar segala sesuatu adalah kekuatan-kekuatan supernatural dan tokoh-
tokoh agamis yang diteladani oleh manusia. Secara khusus, dunia sosial dan fisik dianggap
dihasilkan oleh Tuhan. Tahap kedua ialah tahap metafisik, yang terjadi kira-kira tahun 1300-
1800. Era itu ditandai oleh kepercayaan bahwa daya-daya abstrak seperti “alam”, bukan
dewa-dewa yang berpribadi, yang menjelaskan hampir segala sesuatu. Akhirnya, pada tahun
1800 dunia memasuki tahap positivistik, yang ditandai oleh kepercayaan pada ilmu
pengetahuan. Mulai tahun tersebut orang cenderung membuang pencarian sebab-sebab
absolut (Tuhan atau alam), dan sebagai gantinya memusatkan perhatian pada pengamatan
dunia sosial dan fisik untuk mencari hukum-hukum yang mengaturnya (Ritzer, 2011: 25-
26).
Pendekatan Comte dalam menjelaskan perkembangan masyarakat itu kemudian juga
banyak diikuti oleh sosiolog evolusionis, mulai dari Herbert Spencer, Charles Darwin, dan
kemudian juga Emile Durkheim yang memandang masyarakat sebagai sebuah organisme.
Bahkan kemudian pada teori-teori yang lebih modern, banyak pemikir developmentalisme
mengikuti pendekatan Comteian. Sebut saja misalnya, Alfin Toffler dengan teori
perkembangan komunikasi, dan J. Rostow dengan model masyarakat tinggal landas.
Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave, menjelaskan perkembangan
masyarakat dalam kurun waktu 10.000 tahun menggolongkan dalam tiga gelombang.
Gelombang pertama, terbentuknya masyarakat pertanian, gelombang kedua terbentuknya
masyarakat industri, dan gelombang ketiga apa yang ia sebut sebagai terbentuknya
masyarakat informasi. Dalam kasus yang lain, membumbung tingginya biaya produksi dan
faktor keterbatasan sumber daya, telah memaka masyarakat industri untuk terus melakukan
pelbagai penelitian dan penemuan dengan menggunakan pelbagai teknologi tinggi. Batu
bara, rel kereta api, tekstile, baja, mobil, karet, alat-alat dan mesin pabrik pada akhirnya bisa
digolongkan sebagai industri klasik dalam era industri. Sedangkan W. W. Rostow
menyodorkan konsep pembangunan tinggal landas, tetap dengan asumsi bahwa
perkembangan masyarakat berjalan secara linier dari masyarakat tradisional, prakondisi
tinggal landas, tinggal landas, menuju kedewasaan, dan akhirnya masyarakt konsumsi
tinggi.
Pendekatan evolusioner positivistik seperti itu pernah amat digandrungi di Indonesia,
terutama pada masa Orde Baru. Melalui pencanangan politik pembangunan, pemerintah
Soeharto bersama ekonom dan teknokratnya mendesain Indonesia menuju masyarakat
tinggal landas. Sejak awal pemerintahannya, Soeharto telah menerapkan rekayasa sosial
politik secara linier terkendali melalui mekanisme pembangunan limatahunan. Format
pembangunan yang diwujudkan melalui program apa yang populer disebut sebagai Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di berbagai sektor, Indonesia oleh Soeharto akan
dibawa menuju perubahan ke arah masyarakat modern. Ia berkeyakinan bahwa hanya
dengan modernisasi di segala bidang akan mampu mewujudkan cita-cita masyarakat adil
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kira-kira pada paruh dekade 1990-an, pemerintah Orde Baru bahkan dengan
bersemangat mendorong menuju masyarakat tinggal landas sebagaimana pemikiran Rostow.
Berbagai persyaratan pada setiap tahapan perkembangan sebagaimana dianjurkan Rostow,
dengan ketat berusaha dipenuhi oleh pemerintah Orde Baru agar perkembangan ke arah
masyarakat tinggal landas dapat diwujudkan. Akan tetapi, cita-cita itu gagal diwujudkan
karena lebih mengedepankan pembangunan fisik, dan mengabaikan aspek sosial-budaya.
Berbagai pembangunan infrastruktur telah berusaha diwujudkan sebagai landasar pacu
perubahan masyarakat, tetapi bersamaan dengan itu tanpa diikuti oleh transformasi sosio-
kultural, sehingga bangsa Indonesia tidak jadi tinggal landas, tetapi masih tetap tinggal di
landasan, dan bahkan landasannya itu sendiri makin rusak.
Pada periode itu, ilmu pendidikan juga mengikuti arus pemikiran
developmentalistik, sehingga ilmu pendidikan menjadi bagian dari rekayasa sosial politik
Orde Baru. Para perancang pendidikan meyakini benar bahwa lembaga pendidikan adalah
sarana penting untuk “mencetak” sumber daya manusia yang menopang gerak
pembangunan nasional. Lembaga sekolah pun ramai-ramai mengadopsi apa yang dikenal
dengan human capital, dengan asumsi bahwa pendidikan adalah sebuah investasi.
Pendidikan teknokratik seperti itu sangat digandrungi oleh pengambil kebijakan pendidikan
pada era Orde Baru, dan bahkan hingga sekarang. Akibatnya perspektif human development
dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) tertekan surut. Meskipun di mana-
mana didengungkan pentingnya paradigma konstruktivistik dalam pembelajaran, tetapi pada
kenyataannya tetap paradigma behavioristik yang lebih terasa dengan tetap menempatkan
murid sebagai obyek, bukan subyek aktif. Inilah sebabnya mengapa bangsa Indonesia
hingga sekarang kurang memiliki jiwa kreatif dan inovatif, tetapi praktis hanya sebagai
penurut dan obyek, sehingga menjadi bangsa tergantung dan konsumtif atas kreativitas
bangsa dari negara-negara industri maju.
Kegagalan membawa Indonesia ke arah cita-cita proklamasi kemerdekaan, yaitu
menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat dalam pecaturan dunia, salah satu penyebab
utamanya adalah terlalu yakin pada pendekatan evolusioner-positivistik yang menggunakan
latar belakang masyarakat Barat. Diungkapkan dalam bahasa teori kritis, kegagalan tersebut
akibat salah konsep oleh disainer Orde Baru yang terlalu menerima tanpa resep model
pembangunan Barat, tanpa mempertimbangkan aspek historis bangsa Indonesia sendiri,
sehingga pendekatan tersebut bersifat ahistoris. Di mana pun pendekatan yang ahistoris
senantiasa menemui kegagalan, sebagaimana dialami bangsa di Amerika Latin yang
kemudian dialami pula oleh bangsa Indonesia.
Ketika Indonesia memasuki era demokrasi, optimisme begitu tinggi untuk
mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Berbagai pendekatan
yang berbeda dengan pendekatan lama ditempuh untuk menunjukkan faktor pembeda
dengan era sebelumnya. Akan tetapi pada kenyataannya, perubahan itu tidak kunjung
datang, bahkan yang terjadi malah masuk dalam pusaran masyarakat konsumtif. Kendali neo
liberalisme semakin terasakan, dan bangsa ini semakin tergantung. Bersamaan dengan itu
etos kolektif tidak mampu diwujudkan sebagai prasarat menuju masyarakat yang
transformatif. Dunia pendidikan pun juga ramai-ramai mengikuti arus ini, menjadi bagian
dari hiruk-pikuk masyarakat konsumtif. Demokrasi yang begitu diharapkan mendorong
masyarakat kreatif, pada kenyatannya semakin kehilangan daya kreativitasnya itu sendiri
tergerus oleh budaya konsumtif.
Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha memberikan tawaran alternatif dari
pendekatan yang berbeda, terutama dari perspektif pendidikan kritis. Sebuah pendekatan
yang memfasilitasi berkembangnya kreativitas bagi warganya, sehingga mampu menjadi
subyek aktif menuju perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatif. Lalu di mana
posisi ilmu pendidikan dan lembaga pendidikan? Tulisan ini akan berusaha memberikan
jawaban pertanyaan penting tersebut.

1. Pendidikan menghamba kemapanan

Manusia sebagai mahkluk berakal budi tentu menyadari bahwa perubahan sosial
adalah sebuah keniscayaan atau sesuatu yang imperatif. Di sini kemudian pendidikan diberi
rumusan ideal sebagai wahana untuk pencerahan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kata pencerahan ini tentu merujuk pada spirit era pencerahan atau enlightenment atau
aufklarung pada abad limabelas di Eropa Barat yang radikal. Artinya semangat untuk
menuju perubahan dengan mendekonstruksi struktur dan kultur sebelumnya yang
membelenggu, mencengkeram, dan mengungkung kesadaran manusia sebagai mahkluk
kreatif. Dengan kata lain, semangat pencerahan di sini bersifat radikal anti kemapanan, dan
menghendaki perubahan yang lebih menghargai manusia sebagai mahkluk berkehendak
perubahan. Dalam pada itu, siapa pun yang masuk dalam proses pendidikan akan senantiasa
terkena “virus” pencerahan seperti kesadaran kritis, kreatif, inovatif, dan subversif. Proses
pendidikan seperti akan senantiasa menghasilkan outcome yang berperan besar terhadap
proyek perubahan sosial.
Namun demikian, jika melihat pada praksis pendidikan kita sekarang, pertanyaan
kritis yang bisa duajukan adalah, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama ini
apakah mengarah pada proses pencerahan peserta didik atau menghamba pada kemapanan?
Jawaban atas pertanyaan itu dapat membawa pada diskusi yang panjang lebar. Tetapi bagi
siapa saja yang pernah bergelu di dunia pendidikan kita, akan cenderung menjawa yang
kedua.
Serba-serbi yang terekspose di media massa dalam lima tahun terakhir ini
mengindikasikan bahwa praksis pendidikan kita memang cenderung mendukung
kemapanan. Misalnya persoalan-persoalan seperti rendahnya daya kritis siswa, murid takut
bertanya, murid terkena sindrom stigma pembangkangan, murid sarat beban akibat
penjejelan pelajaran yang melampau takaran, kekakuan kurikulum, serba penyeragaman,
ketidakberdayaan guru, dan juga birokrasi pendidikan yang hegemonik, adalah persoalan-
persoalan khas pendidikan anti perubahan.
Ambil contoh fenomena penyeragaman misalnya. Semua merasakan betapa anak
didik kita dewasa ini selalu dibiasakan serba seragam. Sejak dari TK hingga sekolah
menengah umum, mereka diharuskan memakai seragam. Ya baju, celana, topi, ikat
pinggang, sepatu, sampai kaos kaki. Lebih dari itu kurikulum pun diseragamkan, termasuk
juga cara mengajarnya mesti seragam. Siapa saja murid yang menolak arus serba seragam
ini akan terkena stigma pembangkangan dan divonis sebagai murid yang aneh, nduggal,
tidak tahu aturan, dan karena itu harus “dibina” alias perlu mendapat perlakuan semacam
brain washing.
Repotnya arus penyeragaman itu tidak saja yang bersifat fisik, melainkan sampai
pada penyeragaman tingkah laku, dan bahkan cara berpikir. Diciptakan kondisi sedemikian
rupa sehingga murid dan bahkan juga mahasiswa tidak punya peluang berpikir lain dari apa
yang diajarkan guru atau dosen. Akibatnya keberagaman berpikir menjadi lenyap. Anak
didik kita pun tiba-tiba menjadi penurut akibat cara mengajar guru yang memang
menghendaki murid serba menurut. Ruang kelas bukan tempat pencerahan bagi murid,
melainkan sering menjadi tempat di mana pemikiran kritis dikikis. Para siswa dan juga
mahasiswa seringkali di drill jadi mesin hafalan. Bukan diajari bagaimana berpikir logis,
kritis, dan kreatif, melainkan diajari membeo.
Simak saja bagaimana guru masih sering menerapkan cara mengajar seperti ini:
“Anak-anak, ibukota Jawa Tengah adalah se…se…se…? Maka murid pun
menjawa serentak: “Semarang….pak guru.” Ada lagi model seperti ini: “Anak-anak, ciri
warga masyarakat desa adalah ber…..?” “Bergotong royong..” “Salah”. “Bercocok tanam.”
“Salah”. “Yang betul adalah bertani anak-anak…”
Cara mengajar semacam itu secara tidak sengaja membentuk murid menjadi
penurut, takut berpendap lain, dan serba instruktif. Jawaban murid selalu disalahkan, yang
benar adalah selalu jawaban guru. Murid selalu banyak dilarang atau diatur, harus begini
dan begitu. Akibatnya murid terkondisi serba instruktif, maka untuk membaca buku pun
harus menunggu instruksi. Bahkan kebiasaan ini berlanjut hingga di perguruan tinggi.
Mobilitas mahasiswa dalam mencari buku-buku sumber belajar menjadi rendah, karena
perilaku membaca masih harus menunggu perintah dosennya. Spontanitas, antusiasme,
kreativitas, dan imajinasi murid menjadi terpasung.
Pola penyampaian isi pelajaran dari guru dianggap serba tahu kepada murid yang
dianggap tidak tahu apa-apa, masih terasa sekali dalam proses belajar di sekolah-sekolah
kita. Proses belajar semacam itu, sadar atau tidak mengubah pribadi-pribadi kreatif menjadi
penurut. Akibatnya murid kurang berani berpendapat lain daripada yang berkuasa, entah di
sekolah, di lingkungan keluarga, dan akhirnya pada lingkungan kehidupan politik
kemasyarakatan (Wahyono, 1997).
Melihat tuntutan yang berkembang di masyarakat, agaknya pembelajaran
konvensional semacam itu sulit dipertahankan. Hasil-hasil dari proses pendidikan yang
demikian tidak pernah akan bisa berdaya bila memang menghendaki adanya perubahan
sosial. Gaya pendidikan konvensional seperti itu tidak mungkin menghasilkan peserta didik
yang memiliki visi ke depan untuk mengatasi berbagai problem fundamental menuju
perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris.
Kurikulum pun juga belum memfasilitasi terjadinya masyarakat yang
transformatif. Meskipun berkali-kali ganti kurikulum pendidikan nasional, akan tetapi tetap
saja belum bervisi perubahan sosial atau menuju masyarakat tranformatif. Kurikulum KKNI
misalnya, adalah sebuah ironi ketika sistem politik sudah demokrasi, tetapi kurikulumnya
masih sentralistik dengan dikerangkai nasional yang sebenarnya bahasa lain dari terpusat.
Konstruksi identitas yang dibentuk melalui institusi pendidikan pun akhirnya konstruksi
pusat, dan bukan konstruksi dari masyarakat kewargaan.
Hasil diskusi PGRI-“Kompas” menilai bahwa visi kurikulum pendidikan di
Indonesia yang deterapkan selama ini terkesan gado-gado alias campuran dengan eksekusi
serba tanggung dan kurang konsisten. Ada kesan kurikulum kental dimensi akademik.
Namun, tidak sungguh-sungguh mengembangkan pemikiran kritis sebagai level berpikir
tingkat tinggi. anak sekadar menghafal. Ketika mesti menyelesaikan masalah (problem
solving) di luar teks yang dibaca, anak akan kesulitan alias tidak bisa mebuat pemindahan
persoalan ke dunia nyata (Kompas, 5 Mei 2014: hal. 12).

2. Pendidikan Kritis
Merespons dominasi pemikiran evolusioner-positivistik tersebut muncul pendekatan
alternatif yang mengedepankan paradigma konstruktivistik dan juga paradigma kritis.
Berbeda dengan paradigma positivistik yang berasumsi bahwa masyarakat berkembang
secara linier, paradigma konstruktivistik dan paradigma kritis berasumsi bahwa masyarakat
berkembang secara zig-zag, diskursif, dan dinamis. Tidak mengakui adanya parameter
tunggal dan standarisasi, tetapi semuanya mengikuti logika berpikir kontekstual dan saling
memberi apresiasi. Posisi individu pun tidak ditempatkan sebagai pasif, tetapi merupakan
subyek aktif yang mengkonstruksi dan bersikap kritis yang senantiasa berkehendak
perubahan dan anti kemapanan. Di samping itu, paradigma kritis tidak pernah percaya
adanya netralitas, semua tindakan sosial dan entitas apa pun senantiasa ada kepentingan.
Tidak terkecuali dunia pengetahuan dan juga pendidikan. Oleh karena itu dunia pengetahuan
dan pendidikan pada umumnya, tidak pernah dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi
senantiasa menyembunyikan kepentingan.
Sebagaimana dikatakan Habermas yang membedakan tiga sistem pengetahuan
dan kepentingan mereka masing-masing. Kepentingan-kepentingan yang terletak di
belakang dan menuntun masing-masing sistem pengetahuan umumnya tidak diketahuo
orang awam, dan tugas para teoritisi kritislah untuk menemukannya. Tipe pertama
pengetahuan adalah ilmu analitik, atau sistem-sistem ilmiah positivistik klasik. Dalam
pandangan Habermas, kepentingan yang mendasari sistem pengetahuan demikian adalah
prediksi dan kendali teknis, yang dapat diterapkan kepada lingkungan, masyarakat-
masyarakat lain, atau orang-orang di dalam masyarakat. Di dalam pandangan Habermas,
ilmu analitik sangat mudah meminjamkan diri untuk mempertinggi pengendalian yang
bersifat menindas. Tipe kedua sistem pengetahuan adalah pengetahuan humanistik, dan
kepentingannya adalah untuk memahmi dunia. Sistem itu bekerja dari pandangan umum
bahwa memahami masa silam kita pada umumnya membantu kita untuk memahami apa
yang terjadi di masa kini. Sistem itu mempunyuai kepentingan praktis di dalam pemahaman
bersama dan pemahaman pribadi. Ia tidak bersifat menindas juga tidak membebaskan. Tipe
ketiga ialah pengetahuan kritis, yang didukung oleh Habermas, dan aliran Frankfurt pada
umumnya. Kepentingan yang melekat kepada tipe pengetahuan tersebut ialah emansipasi
manusia. Diharapakan bahwa pengetahuan kritis yang dihasilkan oleh Habermas dan orang
lain akan meningkatkan kesadaran diri masssa (melalui mekanisme yang diartikulasi oleh
para Freudian) dan menyebabkan suatu perubahan sosial yang akan menghasilkan
emansipasi yang diharapkan (Ritzer, 2011: 490).
Merujuk apa yang dikemukakan Habermas tersebut, menjadi jelas bahwa pada era
Orde Baru secara intensif telah menerapkan paradigma positivistik. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika bersifat otoriter, mendominasi, menindas, dan senantiasa menempatkan
warga masyarakat sebagai obyek. Pemerintah pun berposisi sebagai pengendali, pengontrol,
pemberi perintah kepada rakyat yang secara sengaja memelihara pola hubungan vertikal dan
komunikasi searah. Tidak sedikit pun warga pada waktu itu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi, apalagi beremansipasi. Semuanya serba komando, searah, dan harus
dilaksanakan. Mekanisme pembangunan dari bawah (bottom-up) kurang dibuka, tetapi lebih
top-down dengan rakyat dimobilisasi.
Meskipun beberapa metode pembelajaran konstruktivistik telah diintrodusir dan
bahkan ada pula yang ditetapkan sebagai kebijakan, akan tetapi oleh karena tarikan politik
sentralistik, pada akhirnya metode pembelajaran konstruktivistik itu kurang terimplementasi
secara optimal. Ambil contoh misalnya, pada era sembilanpuluhan dikeluarkan kebijakan
untuk menerapkan metode pembelajaran konstruktivistik “Cara Belajar Siswa Aktif” atau
populer dengan kependekannya, yaitu CBSA. Namun dalam perkembangan lebih lanjut
metode itu hanya formalistik, dan kurang tercermin dalam proses pembelajaran di sekolah
sehari-hari. Bahkan kemudian CBSA sering diplesetkan menjadi Catat Buku Sampai Abis.
Itu mengindikasikan bahwa tarikan nuansa sentralistik sebagai implikasi pilihan sistem
politik otoritarian terasa lebih kuat, sehingga praksis pembelajaran lebih banyak bersifat
instruktif.
Itulah sebabnya, mengapa hasil-hasil pendidikan seperti itu kurang mampu
membentuk sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif sehingg mendorong masyarakat
transformatif. Siswa lebih terformat identitasnya sebagai pribadi penurut, pragmatik, dan
kurang mampu mengembangkan imajinasi. Logika berpikir konvergen pun lebih menonjol,
sehingga kurang kreatif dan kurang berani berpikir alternatif. Sementara itu cara berpikir
devergen tidak terjadi dalam diri siswa, semuanya pragtis hanya mengikuti instruksi dan
kurang terbiasa berpikir out of box. Pembentukan cara berpikir konvergen itu tidak saja
terbentuk pada proses penyampaian pesan-pesan pembelajaran, tetapi juga tercermin pada
aspek evaluasinya. Sudah sejak lama evaluasi belajar menggunakan model pilihan berganda
(multiple choise), sehingga terus menyuburkan cara berpikir konvergen. Akibatnya siswa
kurang mampu mengembangkan cara berpikir alternatif, kreatif, dan inovatif. Daya-daya
imajinasinya pun tidak pernah terasah, karena itu pula kemampuan bertanya pun tidak
terbentuk. Bahkan murid menjadi takut bertanya, takut salah, dan takut berpikir alternatif
yang menjadi sumber kreativias.
Lalu bagaimana situasinya sekarang? Meskipun sistem politik sudah berubah ke
arah lebih demokratis, tetapi hasil-hasil pendidikan juga tidak terlalu beranjak dari hasil-
hasil pendidikan era Orde Baru. Mengiringi arus demokratisasi, proses pendidikan formal
pun juga berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan baru. Pemerintah pun pada
awal millennium 2000 menerapkan kebijakan pendidikan desentralistik setelah
mengesahkan UU No. 22 tahun 1999 yang menekankan bahwa wewenang paling besar
untuk sektor pendidikan dari jenjang pra sekolah hingga sekolah menengah atas adalah
urusan pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan desentralisasi pendidikan ini kemudian
diperkuat UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain
mewajibkan bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap penyelenggaraan
pendidikan.
Akan tetapi di tengah menguatnya arus desentralisasi pendidikan itu, pemerintah justru
masih mengeluarkan kebijakan sentralistik, seperti penyelenggaraan Ujian Nasional.
Kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional di Indonesia
masih belum menemukan bentuknya yang baku, masih terus dalam proses pencarian dan
mengundang pro-kontra. Ujian nasional adalah contoh aktual betapa rumitnya persoalan di
seputar mutu pendidikan di negeri ini. Putusan Makamah Agung yang menolak kasasi
pemerintah soal gugatan ujian nasional pada akhir tahun 2009 merupakan indikator betapa
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan masih rentan.
Kebijakan evaluasi misalnya, pemerintah telah menetapkan angka 5,26 sebagai standar
kelulusan bagi siswa di tingkat sekolah dasar sampai SMA bagi setiap mata pelajaran yang
ditetapkan sebagai mata ujian nasional. Tetapi model evaluasi ini masih mengundang pro-
kontra, dan dipertanyakan kadar representativitasnya. Pernyataan mendasar pun kemudian
mengiringi keraguan terhadap kadar representativitas Ujiang Nasional sebagai alat seleksi.
Ada beberapa argument yang melatarbelakangi pertanyaan tersebut.
Pertama, selama ini sudah berkali-kali muncul kasus manipulasi Ujian Nasional. Bukan
saja para orangtua yang mengkondisikan terjadinya manipulasi angka Ujian Nasional, tetapi
juga di kalangan guru dan sekolah. Ini dapat dimengerti karena konduite guru dan sekolah
ditentukan pula oleh pencapaian murid dalam Ujian Nasional. Akibatnhya, demi menjaga
“nama baik” guru dan sekolah maka mereka pun melanggar etika profesi. Secara sosiologis,
dalam masyarakat kita masih belum berkembang suatu sistem apresiasi sosial yang
proporsional dan adil dalam melihat karya kegiatan, karya cipta, dan karya peradaban.
Masyarakat masih kurang menghargai yang rumit-rumit, kurang menghargai pekerja keras,
tetapi lebih menghargai yang entheng-entheng dan verbalistik. Di samping itu, komunalisme
di mana relasi-relasi sosial masih bersifat emosional, sering disalahgunakan pada sesuatu
yang seharusnya secara obyektif dan rasional. Bahkan kearifan lokal, seperti sikap welas
asih, ara tegelan, masih dibawa-bawa masuk ke kawasan obyektif rasional, sehingga tidak
profesional. Kaena itu ujian nasional pun harus dilakukan dua kali, karena ndak mesake
masyarakat atau ora tega.
Kedua, menggunakan Ujian Nasional sebagai variabel utama untuk menyeleksi murid
kurang adil dan kurang demokratis. Secara sosiologis kebijakan Ujiang Nasional, yang
paling dirugikan adalah anak dari kelas bawah, karena sudah kalah dalam seleksi sosial-
ekonominya. Lebih dari itu Ujian Nasional hanyalah potret sesaat yang tidak
menggambarkan kemampuan riil anak. Karena itu kurang adil kalau potret sesaat itu
dijadikan sebagai pertaruhan masa depan anak. Ujian Nasional mencerminkan bahwa
kebijakan pemerintah masih lebih memperhatikan hasil daripada sebuah proses. Secara
kultural masyarakat kita meang masih berorientasi hasil, dan kurang menghargai proses.
Dalam mengevaluasi apa pun kurang memperhatikan proses suatu kegiatan, tetapi hanya
dilihat dari hasilnya. “jangan meniru sesuatu dari jadinya….tapi tirulah suatu itu dari proses
menjadinya”. Prinisp ini belum dipakai dalam kegiatan evaluasi oleh masyarakat kita,
termasuk dunia pendidikannya. Karena itu mentalitas menerabas masih berkembang subur,
apa-apa ingin serba cepat dapat hasilnya dan cepat mapan.
Lantas bagaimana sistem seleksi yang ideal bagi murid baru? Barangkali menyerahkan
otoritas pada masing-masing sekolah untuk menciptakan dan menyelenggarakan sistem
seleksi, menarik untuk dipertimbangkan. Di sini tiap-tiap sekolah diberi peluang membuat
alat seleksi sendiri sesuai dengan kondisi dan kemampuan, serta kurikulum muatan lokal
yang menjadi cirri khas sekolahan. Cara ini akan mengkondisikan berkembangnya
kreativitas guru dan pluralism sekolah. Para guru akan tertantang untuk berkreasi dan
bahkan berinovasi dalam hal pembuatan alat evaluasi yang standar. Tidak seperti yang
terjadi selama ini, guru kurang otonom, karena segala program aktivitas proses belajar
mengajar sudah dipatok dari atas, guru tinggal melaksanakan.
Satu sistem pendidikan nasional agaknya tidak harus ditafsirkan, apa-apa serba
nasional. Seperti kurikulum harus bersifat nasional, dan satu sistem evaluasi pun harus
bersifat nasional. Toh pada kenyataannya, penyeragaman alat evaluasi dalam wujud Ujian
Nasional itu pun tidak menghasilkan mutu sekolah yang standar. Bahkan serba
penyeragaman itu telah mengkondisikan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik,
sehingga menghilangkan pluralism sekolahan yang mestinya harus tetap terjaga jika
memang menghendaki lembaga sekolah sebagai medium sosialisasi keanekaragaman
budaya bangsa. Kreativitas guru pun terpasung, sebab sentralisme pendidikan memang tidak
mengandaikan creator dan innovator, yang diperlukan hanyalah pelaksana (Wahyono,
1997).
Begitulah, dengan memberi kewenangan pada masing-masing sekolahan untuk
menyelenggarakan seleksi murid secara mandiri, kiranya akan memotivasi guru dan sekolah
terus berkompetisi menunjukan mutu lembaganya di mata masyarakat. Peluang terjadinya
penyimpangan tentu saja tetap terbuka, tetapi paling tidak cara ini akan terasa lebih fair dan
lebih representative depandingkan dengan Ujian Nasioan yang penuh komplikasi.
Proses pendidikan seperti itu tidak akan mendorong masyarakat transformatif.
Sudah terbukti dalam sepuluh tahun terakhir ini masyarakat kita justru semakin konsumtif,
sehingga kehilangan etos kerja kolektif yang menjadi sumber masyarakat produktif.
Repotnya institusi sosial strategis seperti lembaga sekolah juga tidak mendorong ke arah
masyarakat transformatif, dan bahkan juga menjadi bagian dari proses konsumeristik. Sudah
sering terdengar kritik utama terhadap penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah
intensif dan masifnya internalisasi nilai konsumtif. Lembaga sekolah masuk dalam pusaran
pasar, dan karena sangat kapitalistik. Boleh jadi inilah sebabnya mengapa kekuatan
perekonomian global menempatkan lembaga sekolah di negara-negara berkembang sebagai
pasar atas produk industrinya. Caranya dengan menanamkan kesadaran akan pentingnya arti
uang dan penggunaan komoditas industri tanpa mempertimbangkan nilai guna, tetapi
menekankan pada pentingnya citra, pengakuan, dan akhirnya gaya hidup baru.
Sebagai ilustrasi misalnya, gegap-gempita anjuran pemanfaatan ICT dalam proses
belajar di lembaga sekolah formal patut dicermati arah kepentingannya, yaitu tidak lain
adalah perluasan pasar industri elektronik global. Melalui cara berpikir positivistik yang
linieristik, disebarkan wacana bahwa hanya lembaga sekolah yang bersedia memanfaatkan
ICT yang akan mampu meningkatkan “kualitas”. Cara berpikir ini kemudian juga didukung
oleh negara, sehingga melalui regulasi dan kebijakan mengharuskan lembaga sekolah
memanfaatkan ICT. Maka program-program seperti One School One Lab (OSOL) yang
disponsori oleh Microsoft, Community Acces Point (CAP), e-learning, e-jounal, e-
government, dan lain-lain adalah indikasi betapa negara antusias terhadap pemanfaatan ICT.
Hasil-hasil dari program tersebut sebegitu jauh masih belum begitu memadai,
setidaknya jika dilihat dari perspektif kritis. Perubahan bentuk baik dalam cara belajar
maupun tujuan-tujuan belajar memang terjadi, akan tetapi semuanya masih belum
mendorong pada perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris. Perluasan akses
terhadap sumber-sumber belajar melalui ICT memang berlangsung secara meluas, tetapi
tidak mendorong pada masyarakat tranformatif. Indonesia akhirnya hanya sebagai pasar dari
produk elektronika yang tentu saja dalam kendali kapitalisme global. Posisi bangsa yang
serba tergantung dan konsumtif itu, pada akhirnya membawanya kepada situasi dilematis,
tidak mengikuti kecenderungan global akan ketinggalan; akan tetapi jika mengikuti pasti
masuk dalam jebakan perangkap kapitalisme global, harus konsumtif karena masih belum
menjadi pelaku dalam produksi komoditas strategis seperti produk barang-barang ICT.
Begitulah, berbagai persoalan yang membentang di dunia pendidikan kita masih
begitu banyak, dan lebih dari itu sepertinya masih itu-itu saja meski sudah berlangsung
dalam beberapa dekade. Penyelenggaraan pendidikan dari pilihan paradigma, kebijakan,
kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasinya masih terasa sebagai pendidikan yang
mendukung kemapanan, baik pada skala nasional maupun global. Praksis pendidikan masih
belum berhasil membangun pribadi-pribadi yang mampu menjadi human agence terhadap
struktur ekonomi dan sosial politik, serta kebudayaan yang dominan dikendalikan
kapitalisme global.
Kebijakan pendidikan, kurikulum, proses belajar, dan evaluasinya tampak kurang
bervisi melahirkan bangsa Indonesia yang berkedaulatan. Atau dengan kata lain
penyelenggaraan pendidikan kita masih belum memiliki visi kebangsaan sebagai bangsa
yang berdaulat. Dimensi transformatif kurikulum, metode belajar, dan evaluasinya masih
terasa belum menggigit, malah terasa semakin memudar. Kini pendidikan malah cenderung
menjadi instrumen reproduksi sosial yang mapan dan bahkan menjadi alat reproduksi
kesadaran yang tidak kritis.
Oleh karena itu segera perlu disusun sebuah konsep pendidikan yang anti
kemapanan merujuk pada konsep pendidikan kritis. Mengapa perlu ada transformasi?
Karena segenap rencana besar kita untuk melahirkan bangsa Indonesia yang lebih ulet, lebih
gigih, berdisiplin, inovatif, cerdas, dan berkesadaran kritis, agaknya tidak akan terlaksana
tanpa adanya pendidikan kritis. Hanya dengan pendidikan kritis, maka bangsa ini mampu
menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki daya tawar dalam percaturan global.
D. PENDIDIKAN ERA MASYARAKAT INFORMASIONAL

Di atas telah diuraikan bagaimana kecenderungan karakter utama masyarakat dunia


di masa depan, yaitu apa yang dikenal sebagai masyarakat informasional dan
komunikasional. Indonesia pun tidak bisa menghindar dari adanya kecenderungan
perubahan karakter tersebut, yaitu mau tidak mau harus siap memasuki masyarakat
informasional dan komunikasional. Persoalannya bagaimana SDM yang harus dipersiapkan
oleh sistem pendidikan nasional yang mampu bertransformasi dengan perubaha karakter
masyarakat di masa depan tersebut?
Sejak era pencerahan (enlightenment) dinamika masyarakat terus bergerak secara
luar biasa berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika Johann Gutenberg
menemukan mesin cetak pada dekade 1400-an, ilmu pengetahuan menyebar secara lebih
cepat dan membuka akses bagi siapa pun untuk berbagi ilmu pengetahuan. Fase itu juga
menjadi tonggak sejarah terjadinya revolusi belajar, dari yang sebelumnya lebih banyak
melalui budaya tutur, kemudian berubah ke arah moda belajar melalui budaya tulis yang
lebih terdokumentasi dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Pelipatgandaan pengetahuan
melalui produksi percetakan membuka peluang bagi siapa pun untuk terlibat secara aktif
dalam proses belajar. Lembaga-lembaga pendidikan, lembaga pers, dan bahkan juga
lembaga agama semakin mengandalkan penerbitan buku dan produk cetakan lainnya untuk
menyebarkan pesan dan informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
siar agama.
Ilmu pengetahuan dan teknologi pun kemudian berkembang pesat berkat mesin cetak
itu yang mendorong percepatan pembagian dan perbandingan ide di kalangan ilmuwan dan
kreator-inovator, sehingga temuan-temuan yang mengguncang dunia terjadi secara susul-
menyusul. Nicolaus Copernicus menemukan sistem matahari, Galileo Galilei menemukan
bumi itu bulat dan berputar, Leonardo Da Vinci pencipta seni dan pelopor aliran empirisme,
dan kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti, Sir Isaac Newtown penemu gaya tarik
bumi, James Watt penemu mesin uang, Thomas Edison penemu lampu pijar, Albert Einstein
penemu teori relativitas, dan seterusnya dan seterusnya.
Di bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya pun juga terus mengalami
perkembangan paradigma, perspektif, teori, dan konsep-konsep secara signifikan sejak era
pencerahan dan revolusi belajar. Mulai dari John Loke dan Mountesquieu penemu
triaspolitika yang menjadi tonggak demokrasi, Adam Smith yang menggagas ekonomi
politik klasik dan negara kesejahteraan, August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max
Weber dan teoritisi sosial lainnya, adalah tokoh-tokoh penting yang berperan dalam
perubahan sosial. Meskipun pada mulanya angin perbubahan masyarakat itu bertiup dari
benua Eropa, tetapi kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Gelombang migrasi,
kolonialisme, imperialisme, modernisme, dan akhirnya juga globalisme terus bergerak
progresif hingga masuk ke fase perkembangannya sekarang.
Berkat gerakan pencerahan itu, sejarah perkembangan masyarakat pun (khususnya
masyarakat Barat) bergerak secara progresif ke arah percepatan produksi, hubungan-
hubungan sosial, dan semakin informasional. Ketika sebelumnya masyarakat memiliki
moda produksi feodalisme, bergerak progresif menjadi moda produksi kapitalisme, dan
kemudian terus menanjak ke arah moda-moda informasional. Secara sekuensial dan linier,
masyarakat berubah dari masyarakat agraris, industrial, dan kemudian masyarakat
informasional. Alvin Toffler misalnya, menjelaskan bahwa peradaban manusia telah masuk
dalam gelombang ketiga, yaitu masyarakat informasi, setelah sebelumnya melalui tahapan
pertama yaitu masyarakat agraris, dan kemudian masyarakat industrial yang merupakan
tahapan peradaban manusia gelombang kedua. Sementara Walt W. Rostow menjelaskan
masyarakat bergerak mengikuti teori tahapan pertumbuhan linier, yang dimulai dari tahap
tradisional-pertanian, persiapan tinggal landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan
akhirnya masyarakat berkonsumsi tinggi yang serba informasional.
Dalam perspektif yang berbeda, terutama dari kalangan pendukung teori kritis
menjelaskan bahwa pada kenyataannya perkembangan masyarakat tidak bergerak secara
linier, tetapi ada yang berkembang begitu progresif pada satu sisi, tetapi ada juga
masyarakat yang masih tetap tradisional dan bahkan primitif. Pandangan kritis
mempermasalahkan justru dua tipe masyarakat yang berbeda itu harus terlibat dalam relasi
kuasa yang eksploitatif, yang kuat mendominasi yang lemah dan meminggirkannya. Negara-
negara industri maju berelasi dengan negara-negara berkembang, negara-negara modern
berelasi dengan negara yang masyoritas masyarakatnya masih tradisional, dan keduanya
terlibat dalam hubungan eksploitatif.
Manuel Castell misalnya, menjelaskan kecenderungan baru ini dengan lima
karateristik dasar: Pertama, ada teknologi-teknologi yang bertindak berdasarkan informasi.
Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan manusia, teknologi-teknologi
itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua sistem yang menggunakan teknologi
informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’ yang memungkinkan mereka memengaruhi
suatu varietas luas proses-proses dan organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi
baru sangat fleksibel, memungkinkan mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus.
Akhirnya, teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang
bergabung menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer, 2012: 969).

1. Pendidikan Berbasi TIK


Terlepas dari perdebatan kedua kubu perspektif tersebut, tetapi satu hal yang jelas
adalah bahwa masyarakat informasional memang telah hadir di mana-mana, tidak terkecuali
Indonesia. Dalam masyarakat seperti itu, dunia terus bergerak menjadi serba cepat, efisien,
terasa datar, dekat, dan bahkan cair serta virtual. Meskipun karakter perkembangan
masyarakat itu tidak secara serempak dan merata, tetapi ketika dunia menjadi semakin
global, maka masyarakat satu dan lainnya tidak bisa mengisolasi diri, suka atau tidak suka
harus menjadi bagian dari proses globalisasi, baik ekonomi, politik, maupun sosial-budaya.
Pemerintah Indonesia memberikan respons proaktif terhadap kecenderungan baru
ini, termasuk dalam dunia pendidikan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan
melalui Pendidikan Jarak Jauh  bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan
layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan
secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam bentuk,
modus dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian
yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem
pendidikan jarak jauh telah menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan
nasional. Sistem pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama
korespondensi (cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga
pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran fleksibel
(multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based course), akhirnya
generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www). Seperti tercantum secara
eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat
jelas bahwa TIK memainkan peran penting dalam menunjang tiga pilar kebijakan
pendidikan nasional, yaitu:(1) perluasan dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing; dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik
pendidikan, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan
terjangkau rakyat banyak. Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis
TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan, diprioritaskan
sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan untuk pilar kedua, peningkatan mutu,
relevansi dan daya saing, peran TIK diprioritaskan untuk penerapan dalam
pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola, akuntabilitas dan
citra publik,  peran TIK diprioritaskan untuk sistem informasi manajemen secara
terintegrasi.2
Meskipun demikian, pada tataran empiris perkembangan proses pendidikan dalam
masyarakat di Indonesia, tidak bergerak secara serempak menjadi masyarakat informasi
yang berbasis pengetahuan. Fenomena kesenjangan sosial ekonomi yang diikuti oleh
kesenjangan digital dan kesenjangan budaya, adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Akan
tetapi pada sisi lain, kehadiran era baru yang mendorong masyarakat semakin mengglobal
juga memaksa negara-negara berkembang termasuk Indonesia harus menjadi bagiannya.
Karena itu konsekuensi logisnya Indonesia juga harus menghadapi isu-isu yang bersifat
global. Sebagaimana disepakati oleh dunia internasional, dunia sekarang juga dihadapkan
pada situasi krisis luar biasa, ketika dunia dihadapkan pada isu dan permasalahan
fundamental seperti pemanasan global dan konsekuensi-konsekuensi politiknya untuk
perang-perang memperebutkan air; menyebarluasnya berbagai penyakit infeksi seperti flu
burung, ebola, yang bisa berdampak pada kerusakan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
sosial; konflik-konflik di Irak, Afghanistan, Suriah, munculnya ISIS dan NIIS, dan Timur
Tengah pada umumnya, genosida, kelaparan, kekeringan di berbagai negara Afrika; krisi di
pasar-pasar finansial global, dan meningkatnya ketegangan antarkekuatan-kekuatan besar
memperebutkan sumber-sumber dasar; munculnya dominasi RRC di berbagai bidang
industri dan perdagangan internasional.
Berbagai persoalan mendasar di tingkat global tersebut tentu juga berimbas ke
Indonesia. Sementara itu di Indonesia sendiri menyodorkan berbagai persoalan fundamental
seperti kemiskinan yang masih fenomenal, pengangguran perguruan tinggi yang terus
meningkat, kesenjangan pembangunan antara Indonesia bagian barat dan timur; bencana
alam masih terus mengancam, dan berbagai penyakit infeksi maupun degeneratif yang terus
meningkat; dan di bidang mentalitas bangsa juga masih banyak menyodorkan masalah
mendasar seperti rendahnya etos kerja dan etos belajar, budaya konsumtif yang makin
meraja lela, korupsi yang terus marak, anarkisme massa, narkoba, dan masih banyak lagi
yang lainnya.

2
Dikutip dari Adie E. Yusuf, Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan Standarisasi
Mutu, diunduh dari https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/.
Di sinilah pendidikan nasional menjadi sangat strategis, bagaimana mencarikan
solusi yang pas terhadap berbagai persoalan mendasar itu. Tentu tidak berpretensi bahwa
pendidikan akan mengatasi semua hal tersebut, akan tetapi paling tidak harus menempatkan
diri dan ambil bagian dalam upaya mencari solusi terhadap berbagai masalah internasional
dan nasional tersebut. sementara itu dalam kaitannya dengan kehadirian masyarakat
informasi yang tidak bisa dihindarkan, maka peran pendidikan juga tidak kalah strategis,
yaitu bagaimana mendorong masyarakat ke arah masyarakat informasi yang berbasis
pengetahuan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain tetap mengakomodir perspektik kritis
dengan memperhatikan warga masyarakat yang masih terpinggirkan; dan kemudian
mendorongnya menuju perubahan sosial yang emansipatoris dan partisipatoris. Dalam pada
itu maka tugas utama pendidikan nasional ke depan adalah memfasilitasi proses pendidikan
bagi warga negara yang di samping mumpuni dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi
juga sekaligus memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah kemanusiaan. Meminjam
terminologi Ki Hadjar Dewantara, proses pendidikan nasional harus melahirkan pribadi-
pribadi bangsa yang tidak saja pintar, tetapi juga arif-bijaksana.

2. Pembelajaran Berbasis ICT


Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge society).
menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami
dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills). Pendidikan
memegang peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masyarakat
berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan
komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi.
Terdapat kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies
(ICT) adalah baik untuk pengembangan dunia pendidikan. Bank Dunia mengarisbawahi
bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa ICT merupakan hal yang
sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan dalam era Melinium. Teknologi
ini, khususnya internet yang mampu membangun kemampuan jaringan informasi dapat
meningkatkan akses melalui belajar jarak jauh, membuka jaringan pengetahuan bagi murid,
melatih guru-guru, menyebarluaskan materi pendidikan dengan kualitas standar, dan
mendorong penguatan upaya efisiensi dan efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Justru karena perannya dalam memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan yang
begitu signifikan, para pendidik dan pengambil keputusan yang memanfaatkan ICT untuk
mencapai tujuan pendidikan harus mengenalkan kemungkinan dampak buruk yang
ditimbulkannya. System pendidikan, baik formal maupun non-formal, merupakan lembaga
social yang kuat telah dimasuki dengan misi yang mengembangkan dan mendorong perilaku-
perilaku dan nilai-nilai yang diinginkan sekali oleh public, khususnya kaum muda. Oleh
karena itu, mereka ini bisa lebih peka terhadap potensi bahaya ICT dan menjadi proaktif
dalam membina mereka. Di sinilah pentingnya pendidikan melek ICT agar dapat
mengeliminir dampak negatif yang berbahaya bagi kepentingan membangun pendidikan bagi
kaum muda.
Lebih dari itu, pemberian pegetahuan pengembangan secara terus-menerus tentang
ICT dan orang yang menggunakannya, perlu juga dimasukan secara terus menerus pula
melalui kurikulum pendidikan ICT agar semakin peka terhadap ICT. Bukan saja ICT telah
berada di mana-mana, generasi teknologi ini terus berkembang luas dan lari dengan
kecepatan tinggi meninggalkan model-model lama. Pengguna teknologi ini telah
menciptakan ketergantungan pada banyak individu yang telah mengitegrasikan ICT ke dalam
komunikasi dan pencarian informasi mereka sehari-hari, serta terus memberikan aktivitas
secara terus menerus. Dalam dunia di mana informasi dan pengetahuan terus beredar,
pemerintah bercita-cita untuk membangun negara mereka sebagai masyarakat yang
berpengetahuan.
Menyadari peran strategis pendidikan dalam mewujudkan masyarakat
berpengetahuan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional telah melakukan berbagai
kegiatan yang didalamnya termasuk pemanfaatan dan pendayagunaan TIK untuk
memperluas akses terhadap pendidikan bermutu dan meningkatkan mutu, relevansi dan daya
saing pendidikan. Untuk mempercepat pendayagunaan dan pemanfaatan TIK untuk
pendidikan telah dilakukan berbagai upaya untuk mendorong akselerasi dan peningkatan
“ICT literacy skills” menuju “knowledge-based society”. Di antara berbagai upaya tersebut
adalah penyelenggaraan E-Learning Award dan Kuis Kihajar.

Prestasi Belajar dan ICT


Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak positif apabila
teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi bisa
menjadi masalah baru apabila sekolah tidak siap. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian
tentang dampak positif dan negatif dari pemanfataan Teknologi Komunikasi dan Informasi
(ICT) sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.Tujuan dari
penulisan ini adalah (1) untuk mengetahui pemanfataan Teknologi Komunikasi dan
Informasi (ICT) sebagai media komunikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, (2)
mengetahui manfaat atau dampak positif dan negatif ICT bagi pendidikan.
Hasil penelitian Kurniawati et,al (2005) menunjukan bahwa pada umumnya
pendapat guru dan siswa tentang manfaat ICT khususnya edukasi net antara lain : (1)
Memudahkan guru dan siswa dalam mencari sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa
dapat memperjelas materi yang telah disampaikan oleh guru, karena disamping disertai
gambar juga ada animasi menarik; (3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah;
(5) Mengetahui dan mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang berhubungan
dengan bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT.
Teknologi informasi dan komunikasi juga bisa menjadi obyek yang dipelajari artinya
dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum dan dijadikan sebagai mata pelajaran tertentu.
Menurut Deryn Watson (2001: 262) dalam papernya Information and communications
technology: policy and practices esensi penggunaan komputer dalam bidang pendidikan
telah menciptakan beberapa dilema yang mendasar. Salah satu masalah utama adanya
dikotomi tujuan apakah teknologi informasi sebagai mata pelajaran berdiri sendiri dengan
berbasis pengetahuan dan ketrampilan atau teknologi informasi sebagai alat yang utamanya
dipergunakan untuk belajar dalam mata pelajaran lain. Kemudian pada awal pertengahan
tahun 1970 Richard Hooper dalam Justin Dillon dan Meg Maguire (2001: 263) menyatakan
ada perbedaan antara mengajar orang dengan komputer dan mengajar orang mengenai
komputer. Perbedaan ini memunculkan dua aras yang berbeda penekanan antara paedagogis
dan logika vokasional murni. Bentuk pertama lebih mengarah kepada penggunaan teknologi
informasi yang terwakili komputer sebagai alat bantu belajar (Computer Assisted Learning)
untuk mata pelajaran lain sedangkan yang kedua lebih memposisikan komputer sebagai
mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dari dua pandangan bisa disimpulkan bahwa menjadi
sangat penting para pebelajar saat ini memiliki dasar pengetahuan mengenai teknologi
informasi sekaligus mampu menggunakannya secara efektif saat ini dan masa akan datang.

Mobilitas Mencari Sumber dan ICT Literacy


Sumber belajar merupakan arena yang penting bagi peserta didik untuk mencari
informasi dalam upaya meningkatkan prestasi belajar. Sumber belajar ini antara lain adalah
perpustakaan, toko buku, museum, kebun binatang, dan beberapa obyek wisata bersejarah
seperti candi, benda purbakala, dan situs-situs sejarah lainnya. Sejak hadirnya ICT, menjadi
semakin bespot area itu menambah peluang bagi mahasiswa dalam mencari informasi
akademik.
Hasil studi Wahyono (2007) menunjukkan adanya hubungan yang relatif signifikan
antara murid yang memiliki mobilitas mencari sumber dengan pemanfaatan ICT secara
produktif ICT cenderung lebih memanfaatkan internet untuk mencari informasi akademik.
Sementara murid yang tidak memiliki sarana penunjang ICT seperti computer pribadi di
rumah, atau koneksitas ke jaringan internetnya rendah, maka mereka cenderung lebih
menonjolkan apek rekreatif dan mereka relatif rendah dalam mencari sumber. Frekuensi
mahasiswa dalam mengunjungi perpustakaan relative rendah, dan lebih rendah lagi
frekuensi dalam mengunjungi perpustakaan di luar kampusnya. Mahasiswa juga jarang
mengunjungi toko-toko buku dan jumlah buku yang rendah dibanding pengeluaran untuk
membeli pulsa, fashion, dan bahkan rokok. Ini berarti bahwa membeli buku masih belum
ditempatkan sebagai prioritas utama. Terdapat hubungan signifikan antara mahasiswa yang
mempunyai tingkat mobilitas tinggi dalam mencari sumber belajar dengan pemanfaatan ICT
secara produktif. Mereka ini kebanyakan merupakan mahasiswa yang memiliki tingkat
melek ICT yang relatif tinggi.

Transformasi Kultural
Kata transformasi dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata alih
ubah dengan tujuan agar mudah dipahami sebagai sebuah konsep. Karena itu transformasi
mengandaikan terjadi proses pergantian dan perubahan dari sesuai yang dianggap lama
menjadi sesuatu yang baru. Atau paling tidak mengalami penyesuaian terhadap kehadiran
yang baru. Jika dipandang dari perspektif kritis, konsep transformasi seperti itu segera akan
mengundang kecurigaan bahwa konsep transformasi mau tidak mau akan berbau
positivistik. Ketika asumsi linieristik yang menjadi karakter utama positivistik, pastilah
mengandaikan bahwa yang lama akan dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal, atau
paling tidak sedikit muatan kemajuannya (Wahyono, 2011).

Selanjutnya Wahyono menjelaskan bahwa ketika transformasi digunakan untuk


menjelaskan konsep transformasi budaya, maka mengandaikan terjadinya proses alih ubah
nilai, sikap, dan praksis dalam aktivitas kebudayaan. Setidaknya terdapat proses
penyesuaian dari nilai, sikap, dan praksis budaya lama menuju budaya baru. Ketika ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menggunakan konstruksi budaya berbasis pada nilai
budaya Barat, maka mau tidak mau nilai budaya lama masyarakat pengadopsinya harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah apresiasi tinggi terhadap logika kausalitas, akurasi,
presisi, detail, dan terukur. Di samping itu tentu saja penghargaan terhadap prinsip
kejujuran, disiplin, dan kerja keras yang merupakan etos masyarakat Barat dan negara maju
lainnya di kawasan Asia. Oleh karena itu tesis yang ditawarkan adalah, jika masyarakat,
taruhlah yang masih mengikuti prinsip tradisionalisme, ingin menjadi masyarakat modern
berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu melakukan transformasi kultural.
Transformasi di sini mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis lama
menuju yang baru.
Berhimpit dengan pandangan tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Sartono
Kartodirdjo, tentang pentingnya aspek sosio-kultural bagi perubahan masyarakat menuju
industrialisasi dan era informasi. Menurut Sartono (1999), dalam konteks pembangunan
bangsa permasalahan pokok yang dihadapi adalah bagaimana etos bangsa dikembangkan
dan dilembagakan pada satu sisi dan bagaimana asketisme intelektual dibudayakan dalam
rangka pembangunan bangsa dengan segala permasalahannya. Salah satu permasalahan
yang dihadapi bangsa Indonesia sejak Orde Baru adalah proses industrialisasi yang berjalan
bersamaan dengan rasionalisasi, individualisasi, dan sebagainya. Kesemuanya itu
memerlukan penopang etos dan asketisme intelektual. Sartono sependapat dengan
pandangan bahwa jalannya sejarah umat manusia merupakan proses dialektis antara ideologi
dan teknologi, maka baik etos maupun asketisme sebagai orientasi hidup menurut ideologi
ttertentu merupakan parameter dalam perkembangan teknologi. Sartono sampai pada
kesimpulan bahwa betapa pun pentingnya teknologi danilmu pengetahuan dalam
industrialisasi, faktor kebudayaan –termasuk etos dan asketismenya- tidak dapat diabaikan,
tidak lain karena penciptaan Iptek memerlukan gaya/sikap serta pandangan hidup sebagai
kondisi yang kondusif untuk prose situ. Maka dari itu, di bidang akademik betapa pun
pentingnya ilmu eksakta dan teknologi, tetapi ilmu-ilmu sosial dan humaniora tetap
dibutuhkan, lebih-lebih kalau diingat dalam perkembangan ekonomi di masa depan
meningkat dari industri pelayanan ke information industry dan kemudian knowledge
industry. Jadi transformasi sosio-kultural adalah prasyarat penting bagi sebuah masyarakat
yang menuju masyarakat industrial dan masyarakat informasi.
Apabila diterapkan dalam kaitannya dengan perkembangan model pembelajaran
berbasis web (e-learning), maka konsep transformasi kultural tentu mengandaikan proses
alih ubah dari nilai tradisional ke nilai pembelajaran modern. Secara umum sudah
berkembang persepsi bahwa model pembelajaran yang lebih lazim digunakan adalah berat
pada karakter teacher center daripada student center. Oleh karena e-learning masuk kategori
media baru (new media) maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan
partisipatif dalam proses komunikasinya, maka student center lebih sesuai dengan prinsip e-
learning. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi kultural dari model
pembelajaran teacher center yang berprinsip searah, top-down, dan memposisikan murid
pada pihak pasif, ke arah model pembelajaran konstruktivistik yaitu student center.
Pandangan bahwa guru adalah sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu
diubah ke arah pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada
prinsipnya bisa menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali murid. Atau setidaknya murid
adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan.

3. Peran Lembaga Keluarga Era Digital

Konseptualisasi tentang keluarga secara sosiologis juga mengalami dinamika bergantung


dari perspektif yang digunakan untuk meninjaunya. Perspektif fungsionalis memandang
keluarga sebagai suatu sistem yang saling berhubungan, di mana masing-masing individu
maupun kelompok memainkan peran dan membantu bekerjanya sistem tersebut. Dalam
pandangan fungsionalis, keluarga mempunyai beberapa fungsi antara lain, reproduksi,
sosialisasi, perlindungan, penugasan status, dan regulasi perilaku seksual. Sedangkan
perspektif konflik melihat lembaga keluraga sebagai miniatur kelas sosial, di mana kelas
yang satu (laki-laki) menindas kelas yang lain, yaitu perempuan. Keluarga dipandang tidak
lain hanyalah bentuk pertama antagonisme kelas di mana manusia sebagai kelompok
merepresi kelompok lain. Motivasi dominasi seksual tidak lain adalah eksploatasi ekonomi
terhadap perempuan sebagai buruh. Sementara itu perspektif interaksionisme simbolik
memusatkan perhatian pada hubungan sehari-hari dan perilaku individu serta kelompok
menurut keadaan sebenarnya. Perspektif ini menekankan bahwa manusia mencipta,
menggunakan, dan berkomunikasi dengan simbol-simbol. Interaksi mereka melalui
pengambilan peran, proses membaca simbol-simbol digunakan oleh yang lain dan memberi
atribut makna pada mereka. Kaum fungsionalis beranggapan bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk unik sebab mereka memiliki pikiran dan diri. Pikiran dan diri membangun
intraksi dan membangun fondasi untuk mempertahankan hubungan-hubungan sosial dan
hidup kelompok (Zenden, 1996: 287-291).
Dalam konteks sosio-kultural di Indonesia, perspektif fungsionalisme struktural cukup
mendominasi yang berasumsi bahwa salah satu fungsi utama lembaga keluarga adalah
menjalankan fungsi sosialisasi nilai-nilai. Melalui peran orangtua, keluarga menjadi arena
sosialisasi nilai yang berlangsung secara terus-menerus dalam proses komunikasi keluarga.
Dalam persepektif fungsionalisme struktural meyakini bahwa setiap keluarga senantiasa
menetapkan nilai tertentu untuk membentuk identitas anggota keluarganya. Pandangan
diterministik ini tentu berimplikasi bahwa anggota keluarga, terutama anak berada dalam
posisi pasif dan menerima begitu saja nilai yang ditanamkan dalam suatu proses sosialisasi
dan komunikasi.
Proses sosialisasi nilai itu terus berlangsung dalam interaksi dan komunikasi setiap hari
memanfaatkan berbagai momen maupun aktivitas rutin. Akan tetapi dalam institusi keluarga
sudah terdapat struktur hierarkis dengan peran orangtua berada dalam posisi sentral.
Terutama dalam keluarga kelas menengah, peran orangtua cukup dominan yang tercermin
dalam berbagai aspek politik maupun sosio-kultural. Proses pengambilan keputusan dalam
keluarga kelas menengah, dalam konteks hubungannya dengan anak, terdapat
kecenderungan lebih dikendalikan oleh orangtua.
Persoalannya adalah, bahwa dinamika perubahan dengan berbagai karakter interaksi
sosialnya terus terjadi dalam masyarakat. Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa
masyarakat Indonesia mengalami transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online.
Proses digitalisasi terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang tentu saja
berimplikasi terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di
Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016, tumbuh pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta
orang. Hal itu tidak lepas dari kerja keras para operator telekomunikasi yang memperluas
jangkauan layanan mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi
yang mendukung (Kompas, 20 Maret 2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan gegap-
gempita tumbuhnya masyarakat jaringan ini, juga menyodorkan persoalan sosio-kultural
seperti kesenjangan digital. Dalam insitusi keluarga pun juga menyodorkan persoalan
kesenjangan antara generasi para orangtua yang masih disebut sebagai digital immigrant dan
generasi anak-cucunya yang disebut sebagai generasi digital native.
Bersamaan dengan itu, peran lembaga-lembaga sosial utama seperti keluarga, juga
berubah seiring dengan era digital. Pertanyaannya adalah, bagaimana peran keluarga dalam
era digital, di tengah gegap-gempitanya kehadiran media baru (new media) yang siapa pun
tidak bisa menghindarinya. Di tengah masyarakat informasional yang serba digital ini segera
menyodorkan pertanyaan, apa yang digelisahkan keluarga di tengah-tengah arus zaman
degital yang imperatif ini? Aspek materialnya atau etik? Misalnya pornografi, pornoaksi,
berita hoax, yang semuanya menampilkan diri dalam bentuk matarialnya yang baru bersifat
virtual; atau gelisah akan hilangnya etos yang berisi nilai keutamaan seperti kerja keras,
disiplin, kejujuran dan toleransi? Atau gelisah pada dua-duanya?
Saya kira jika kegelisahan institusi keluarga hanya pada aspek yang pertama,
sebagaimana hiruk pikuk selama ini, maka risikonya institusi keluarga di Indonesia akan
cepat kabuncang dadi endog pangamun-amun. Karena itu jika sepakat keluarga adalah
insitusi sosial paling dasar dalam pembentukan identitas sebuah bangsa, maka bangsa ini
jelas akan kehilangan fondasi kukuh, sehingga bangsa Indonesia juga ikut kabuncang. Jadi
menurut saya kegelisahan institusi keluarga harus pada aspek kedua, yaitu yang menyangkut
soal value atau nilai, meskipun harus juga dipahami sebagai nilai-nilai yang terbuka dan
dinamis. Bukan nilai-nilai secara tertutup yang bersifat esensialistik.
Akan tetapi tantangan keluarga tidak mudah dalam era digital ini, karena segera akan
dihadapkan pada kenyataan bahwa sekarang muncul apa yang oleh Hjarvard (2008) disebut
sebagai mediatisasi. Media baru berbasis internet dan bersifat digital tampil begitu perkasa
dan karena itu punya sumber daya kuat untuk menyeret ke pusarannya, sehingga manusia
baik secara individu maupun kelompok harus mengikuti logika media atau mengalami
mediatisasi. Dalam situasi seperti itu, kemampuan manusia atau potensi sumber dayanya
tampil sebagai agen otonom atau subjektivitasnya menurun di hadapan struktur media.
karena media baru ini bersifat digital, maka kita pun sekarang terdigitalisasi, bahkan sejak
prenatal. Media digital begitu tampil hegemonik menguasai dan merasuk bukan saja pada
raga, tapi menghujam ke jiwa. Karena itu jangan heran jika Anda gelisah-kesakitan karena
tidak bawa smartphone yang sudah menjadi bagian dari organ Anda. Inilah yang saya sebut
media baru adalah indera ketujuh manusia. Bukan hanya itu, Anda akan merasa linglung dan
jiwanya terguncang jika tidak terlibat dengan media digital, karena tidak ada yang
menghubungi anak dengan cepat, tidak ada yang momong cucu, tidak ada yang mengawasi
istri atau suami, tidak bisa belanja, tidak bisa ke bank, tidak bisa kampanye atau menyebar
kebencian lewat WA atau facebook, tidak bisa pamer-narsistik lewat instagram, tidak ada
yang diajak bermain secara digital, tidak ada yang mengajari anak atau anak itu sendiri jadi
kenthir karena tidak ada internet karena anak jaman sekarang sudah gendheng dengan
media berbasis web. Manusia pencipta aplikasi, tetapi manusia itu sendiri sekarang telah
teraplikasi.
Oleh karena itu harus bagaimana peran institusi keluarga di era digital? Saya kira harus
memainkan peran pada aspek kedua tersebut, yaitu arena penyemai etos. Keluarga harus
menjadi wahana untuk selalu eling, karena sak beja bejane wong kang lali, isih bejo wong
kang eling lan waspada. Dalam posisi seperti itu, keluarga harus menjadi arena dialog,
negosiasi, resistensi, dengan apa pun yang dibawa oleh jaman baru (tumapake jaman anyar)
secara diskursif. Ini berarti keluarga harus membekali dengan memfasilitasi tumbuhnya
etos, tempat bagi bersemainya nilai-nilai keutamaan secara dinamis, seperti kerja keras,
disiplin, kejujuran, dan toleransi.
Jadi institusi keluarga dalam era digital harus menjadi tuk sumbering energi positif yang
mengembangkan potensi manusia dengan aktivitas utamanya adalah membaca dan menulis.
Generasi sekarang pada prinsipnya tidak bisa dilarang, karena memang tidak mungkin kita
melalui institusi keluarga melarang mereka! Yang bisa kita lakukan melalui keluarga adalah
memfasilitasi bagi tumbuhnya energi positif yang membangkitkan etos kerja, dan ini
sekaligus mengalihkan energi negatif generasi anak cucu kita yang terdegitalisasi.
Singkatnya, kalau saya boleh berbagi, pada era digital ini, setidaknya kita menjadi bagian
dari gerakan literasi media, apa yang saya sebut dengan seruan “jangan hanya searching,
tapi reading.”

E. PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA


Mencermati berbagai produk regulasi yang berkaitan dengan pendidikan berbasis
budaya di Indonesia, menyodorkan beberapa persoalan yang menarik untuk didiskusikan.
Ditilik dari spirit, visi, dan tujuan yang hendak dicapai dalam dokumen regulasi ini cukup
terasa menjanjikan dalam upaya membangun peserta didik yang berkualitas. Akan tetapi,
jika diproblematisasi secara paradigmatik, teoretik, dan konseptualisasinya masih
mengandung persoalan kontradiktif. Apabila tidak dicermati lebih lanjut, akan
berimplikasi terhadap praksis-implementatif dalam proses pendidikan dan
pembelajarannya. Tulisan singkat ini karena keterbatasan ruang, hanya fokus pada
peninjauan Perda tentang Pendidikan Berbasis Kebudayaan ini dari aspek konsepsi
esensialisme dan konstruktivisme budaya.
Asumsi kaum esensialisme meyakini bahwa kebudayaan terdiri dari nilai-nilai dan
norma-norma yang telah selesai., mantap, baku dan berdiri sendiri. Dalam pandangan
mereka, tingkah laku sekelompok orang akan tergantung kepada nilai-nilai dan norma-
norma kebudayaan yang dianutnya. Jadi, untuk mengubah tingkah laku budaya perlu
diubah terlebih dahulu seluruh perangkat nilai dan norma kebudayaan yang menjadi
pendoman bagi tingkah laku budaya. Salah satu ungkapan yang khas kaum esensialisme
budaya ini adalah: “jangan salahkan kebudayaan, tetapi salahkan orangnya.” Kalau ada
yang menyimpang dalam kebudayaan maka yang harus diubah adalah tingkah laku budaya
dan bukannya nilai dan norma-norma kebudayaannya. Dalam pandangan mereka, sistem
dan norma itu sudah baku, tidak bisa diubah, sehingga jika ada fenomena penyimpangan,
tingkah laku manusia dianggap sebagai menyimpang dari sistem nilai dan norma yang
berlaku.
Menurut Ignas Kleden (1998), pemikiran esensialistik juga berpengaruh dalam
tradisi pemikiran ilmu-ilmu sosial. Tesis yang sering dikemukakan adalah, kalau manusia
dibentuk oleh kebudayaannya, maka seseorang menjadi Jawa karena kebudayaannya,
demikian pun seseorang menjadi Minang karena kebudayaannya. Seorang Jawa yang
sejak kecil hidup di Jepang di tengah-tengah keluarga Jepang akan menjadi Jepang secara
kebudayaan. Perspektif kaum esensialis tidak pernah melakukan gugatan dan
mempermasalahkan, bagaimana orang membentuk kebudayaan. Bagaimana sejarah orang
Jawa atau Minang atau Mentawai misalnya, mempengaruhi terbentuknya pola-pola
kebudayaan mereka, dan bagaimana modernitas saat ini mendesakkan beberapa perubahan
dalam kebudayaan mereka.
Di Indonesia, asumsi-asumsi esensialisme ini sangat berpengaruh dalam ilmu-ilmu
sosial. Dominannya pengaruh ini tiak lepas dari pemujaan ilmu sosial terhadap positivistik
(Kleden, 1998: 4). Paham ini memandang kebudayaan sebagai given, barang-jadi yang
bisa diteliti secara empiris gejala-gejala dan pola-polanya. Positivisme hanya sanggup
menangkap kehadiran sebuah kebudayaan dengan pola-pola sebagaimana sudah terbentuk.
Namun kurang dapat menangkap proses pembentukan kebudayaan itu.
Dengan menganut pandangan tersebut, ilmu sosial dalam membahas kebudayaan
dipandang sebagai sebuah realitas, sesuatu yang sudah diciptakan, sudah dihasilkan, sudah
terbentuk, atau sudah dilembagakan. Ini berarti, penglihatan ilmu sosial terhadap
kebudayaan adalah memandangnya sebagai produk. Jika pun kebudayaan dilihatnya
sebagai proses, maka proses itu pun adalah suatu proses sebagaimana sudah ada,
sebagaimana sedang berjalan.
Barangkali sangat bisa dipahami, mengapa ilmu sosial di Indonesia memahami
kebudayaan sebagai suatu sistem ide, sebagai sistem tingkah-laku, dan sebagai
perwujudan benda-benda budaya.3 Di sini yang khas adalah bahwa baik ide, tingkah, laku
maupun benda-benda material, akan dipandang pertama-tama sebagai produk. Jadi, ide
yang diteliti adalah ide yang sudah terbentuk pada suatu kelompok etnis misalnya,
tingkahlaku yang dimaksud adalah sistem interaksi yang sudah dimantapkan dan bahkan
dilembagakan, dan kebudayaan material yang diperhatikan adalah ciptaan berupa bend-
benda fisik yang sudah jadi. Dengan kata lain, ilmu sosial dalam melihat kebudayaan
hanya sebagai sebuah “kata benda” (Kleden, 1986: 167).
Berhimpit dengan konsepsi esensialisme budaya itu, maka dalam beberapa dekade
pemahaman terhadap konsep kebudayaan di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh
fungsionalisme struktural parsonian. Menurut Parsons, kebudayaan adalah sistem simbol
yang terpola dan tertata yang merupakan sasaran orientasi aktor, aspek sistem
pkepribadian yang diinternalisasi, dan pola-pola yang terinstitusionalkan dalam sistem
sosial (Parsons, 1990). Karena pada dasarnya kebudayaan bersifat simbolis dan sujektif,
maka dia (kebudayaan) selalu diajarkan dari satu sistem ke sistem lainnya. Kebudayaan
dapat bergerak dari satu sistem ke sistem lainnya dengan cara berdifusi dan dari satu
sistem kepribadian menuju sistem kepribadian lain melalu pembelajaran dan sosialisasi.
Namun karakter simbolis (subjektif) kebudayaan juga memberinya ciri lain, yaitu
kemampuan untuk mengontrol sistem tindakan lain yang dikemukakan Parsons. Inilah
alasan Parsons melihat dirinya sebagai determinisme kultural (Ritzer, 2004: 263). Senada
dengan Parsons, Robert K. Merton mendefinisikan kebudayaan sebagai “serangkaian nilai
normatif teratur yang mengendalikan perilaku yang diberlakukan sama kepada seluruh
anggota masyarakat atau kelompok tertentu” dan struktur sosial didefinisikan sebagai
“serangkaian hubungan sosial teratur yang memengaruhi anggota masyarakat atau
kelompok tertenut dengan satu atau lain cara” (1968: 216, dalam Ritzer, 2004: 273).
3
Konsepsi kebudayaan seperti ini sangat dominan ada dalam Koentjaraningrat dan selama ini banyak
berpengaruh pada kalangan akademisi. Uraian Kontjaraningrat tentang kebudayaan Jawa, juga sulit
menghindari dari karakter esensialistik. Lihat misalnya Kebudayaan Jawa, Seri Etnografi Indonesia No.2,
1994, Jakarta: Balai Pustaka.
Sementara itu, konsepsi kebudayaan yang anti-esensialisme bersasumsi sebaliknya,
bahwa bukan hanya kebudayaan yang membentuk sifat orang dan masyarakatnya, tetapi
pendukung suatu kebudayaan secara aktif memberi bentuk dan isi kepada kebudayaan
mereka. Kebudayaan tidak cukup dipandang sebagai nilai dan norma, tetapi dapat dan
harus juga dipadang sebagai wacana, yaitu sebagai hasil bentukan dan hasil konstruksi
sosial dari sekelompok orang dalam mencari orientasi kepada lingkungan hidupnya.
Dengan kata lain, konsepsi bahwa manusia dibentuk oleh kebudayaan kini diimbangi
secara menyakinkan oleh konsepsi lain bahwa kebudayaan juga dibentuk oleh para
pendukungnya. Dalam perspektif teori agensi, bahwa subyek ternyata ada yang mampu
menjadi agen perubahan yang bisa menawarkan konstruksi baru yang mengubah
kebudayaan yang telah mapan.
Erat kaitannya dengan paham ini, adalah pemahaman bahwa kebudayaan bukan
sebagai kata benda, melainkan kebudayaan sebagai kata kerja. Asumsinya bahwa
kebudayaan merupakan suatu proses, dan bukan saja sebagai produk. Tiap kebudayaan
mempunyai kebutuhan untuk menentang perubahan dan mempertahankan identitas, tetapi
juga sekaligus mempunyai kebutuhan untuk menerima prubahan dan mengembangkan
identitasnya lebih lanjut melalui agen-agennya.
Berangkat dari beberapa konsepsi kebudayaan tersebut, menurut hemat saya
Perda No 5 tahun 2011 tentang Pendidikan Berbasis Kebudayaan ini lebih banyak
mengacu pada konsepsi esensialisme kebudayaan, yang tercermin pada klausul-
klausulnya. Nilai-nilai yang terformulasikan telah dianggap mapan, baku, dan ditetapkan
sebagai nilai-nilai luhur yang harus menjadi rujukan bagi pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan berbasis kebudayaan. Dalam pada itu, posisi lembaga
pendidikan ditempatkan sebagai insitusi yang tugas utamanya adalah sosialisasi nilai-nilai
dan transfer materi pelajaran kebudayaan.
Konseptualisasi dan implementasi pendidikan berbasis kebudayaan seperti itu
memang bisa dipahami karena boleh jadi itu merupakan implikasi logis dari pemahaman
Jogjakarta yang ingin mempertahankan identitas kejogjaannya. Akan tetapi identitas
kejogjaan itu akibatnya juga dipahami dan dikembangkan secara esensialistik, bukan
sebuah identitas yang terbuka, cair, dan dinamis dalam pergulatannya dengan kebudayaan
nasional dan global. Lebih lanjut konseptualisasi kebudayaan secara esensialistik itu
kemudian dikemas dalam paradigma positivistik, di mana pendidikan berbasis kebudayaan
dirancang secara standar, baku, terukur, dan efektif. Lembaga pendidikan dan peran guru
pun harus melaksanakan paket-paket pembelajaran berbasis kebudayaan yang dirancang
secara sentralistik.
Perancangan pembelajaran berbasis kebudayaan seperti itu tujuan utamanya
adalah mengendalikan perilaku peserta didik sesuai dengan kebudayaan yang telah
dipaketkan tersebut. Karena itu pembelajaran harus dilaksanakan secara linier dan
mencapai tujuan sebagaimana yang ditetapkan. Inilah kemudian yang diklaim sebagai
pembelajaran efektif, dengan perilaku budaya peserta didik sesuai dengan nilai-nilai baku.
Jika perilaku peserta didik tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianggap baku,
maka mereka adalah dianggap sebagai melakukan perilaku menyimpang. Paradigma
posistivistik dan perilaku sosial seperti itu tampak masih mendominasi dalam paraksis
pendidikan berbasis kebudayaan.
Praksis pendidikan seperti itu bukan berarti salah, akan tetapi memiliki risiko dan
kontradiktif, dalam arti justru tidak akan menghasilkan outcome pendidikan berbasis
kebudayaan yang diinginkannya sebagaimana terumus dalam Perda tersebut. Praksis
pendidikan berbasis kebudayaan esensialistik seperti itu berisiko tidak akan menghasilkan
peserta didik yang inspiratif, imajinatif, inovatif, yang menjadi dasar tampil sebagai
kreator-kreator kebudayaan. Justru sebaliknya, praksis pendidikan seperti itu hanya akan
menghasilkan pemelihara, dan penikmat budaya.
Barangkali perlu dipikirkan sebuah alternatif atas dominasi esensialisme budaya
sebagaimana terkandung dalam regulasi pndidikan berbasis kebudayaan ini. Salah satu
alternatif itu adalah konstruktivisme budaya. Asumsi utamanya adalah bahwa manusia
adalah subjek aktif yang mengkonstruksi budaya. Masyarakat pun memiliki kemampuan
untuk tampil aktif dan kreatif mengkonstruksi praktik-praktik bermakna. Bagi paham
konstruktivisme budaya seorang individu atau subjek bukanlah entitas universal yang
tetap, namun merupakan subjek aktif yang mengkonstruksi kebudayaan.
Jadi implikasi atas alternatif itu, maka paradigma pembelajaran konstruktivistik juga
perlu menggeser dominasi paradigma positivistik dan esensialisme budaya sebagaimana
yang terkandung dalam berbagai regulasi yang dikeluarkan negara terkait dengan isu
pendidikan berbasis budaya. Ini berarti bahwa praksis pendidikan sejak dari kurikulum,
pilihan metode pembelajaran, dan pilihan media pun lebih berparadigma pembelajaran
konstruktivistik. Ini juga mengandaikan adanya pergeseran dari praksis pendidikan dan
pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center) ke pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik (student center).

F. MENGEMBANGKAN KULTUR KEMANDIRIAN


Ketika memberikan sambutan pembukaan Pameran Foto Terbaik Harian Kompas
20 Oktober di Bentara Budaya Yogyakarta, Jacob Utama mengungkapkan: “sikap
orientasi merupakan kunci agar kita bisa berpacu dengan bangsa lain. Nah, kita
tenggelam, kenapa? Bagi saya kita lemah dalam memelihara, kita lemah dalam hal detail,
kurang cek dan ricek, kurang tekun. Inilah yang kita maksud sikap yang sangat
menentukan, apakah kita mampu bersaing dengan bangsa lain dan memberikan
kesejahteraan, yang lebih adil kepada warga.”
Pengungkapan tersebut merupakan sebuah evaluasi diri dari seorang yang
senantiasa gelisah dan prihatin akan masa depan bangsanya, karena itu patut kita
renungkan bersama. Perjalanan kita sebagai bangsa di tengah arus perkembangan
peradaban dunia yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sepertinya
memang mandeg dan bahkan mundur. Ibarat orang yang sedang masuk dalam kubangan
lumpur, makin keras bergerak ingin keluar dari kubangan itu, tetapi justru makin
tenggelam. Berteriak minta pertolongan, tetapi repotnya tak ada pihak yang bersedia
menolong tanpa pamrih, sehingga setiap ada pertolongan malah justru semakin mapan
dalam situasi jebakan ketergantungan.
Gandi pernah berujar: my nasionalism is humanism, tak ada bangsa yang akan
menjadi besar jika tidak mempunyai rasa kebangsaan yang bersumber dari nilai-nilai
kemanusian. Kolonialisme adalah dehumanistik, ketergantungan dengan bangsa lain,
apalagi menjadi bangsa jajahan, tidak mungkin akan mampu menjadi bangsa yang besar
dan otonom. Dengan spirit gandiisme itu, bangsa India telah berhasil menanamkan nilai-
nilai kemandirian dan kesederhanaan pada generasi penerusnya, sehingga sekarang relatif
sudah cukup mandiri dan maju jauh meninggalkan bangsa Indonesia, terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikelola untuk sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan bangsanya.

Melemah
Berbeda dengan situasi di negeri kita, selama ini yang terjadi justru kurang bisa
mengendalikan keinginan untuk terus menjual seluruh sumber daya alamnya, bukan
mengembangkan daya mampu dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
Akibatnya bukan saja kekayaan alam kita makin habis, tetapi lebih dari itu yang
berkembang dan menguasai sanubari kita sebagai bangsa adalah, pingin hidup enak tanpa
perlu kerja keras. Cukup mengandalkan hasil penjualan kekayaan alam, sehingga hutan
makin habis, minyak bumi dan komoditas pertambangan lainnya terus mengalami
penyusutan secara cukup signifikan.
Semangat kerja keras untuk meraih sesuatu kian melemah, tak suka bersusah-
susah, dan kurang berhasil dalam menghayati prinsip bersakit-sakit dahulu, sehingga
lebih mengutamakan hasil dan kurang menghargai proses. Tidak terlalu mengherankan
jika muncul gejala bahwa dalam masyarakat kita telah kejangkitan usaha menempuh
jalan pintas. Orang-orang, termasuk kaum muda, berlomba memperoleh kemapanan
hidup secepat mungkin tanpa perlu melewati masa-masa sulit. Apa yang oleh
Koentjaraningrat disebut sebagai mental menerabas dan menempuh jalan pintas masih
berkembang dalam masyarakat kita sekarang ini.
Melemahnya semangat belajar keras juga terus menggejala di kalangan para
pelajar dan mahasiswa. Sebagai ilustrasi misalnya, di Yogyakarta dalam lima tahun
terakhir ini ditandai maraknya bisnis cuci pakaian dan cuci motor. Bisnis ini dahulu
merupakan bagian dari industri pariwisata, sekarang merupakan ikutan dari bisnis jasa
pendidikan Jika dahulu konsumen utamanya adalah penghuni hotel alias wisatawan,
sekarang bisnis cuci pakaian konsumennya kebanyakan adalah pelajar dan mahasiswa.
Demikian pula cuci motor, kebanyakan pelajar dan mahasiswa tidak mencuci motornya
sendiri, tetapi mencucikan ke jasa pencucian motor.
Mengapa mereka sekarang tidak lagi atau enggan mencuci pakaian dan motornya
sendiri? Gejala ini merupakan indikator semakin melemahnya semangat belajar di
kalangan pelajar dan mahasiswa. Kalau mereka sibuk belajar, maka kecenderungan itu
dapat dimengerti, akan tetapi pada kenyataannya semangat belajar mahasiswa sekarang
relatif menurun. Totalitas kegiatan mereka yang seharusnya adalah belajar karena
menyandang atribut sosial sebagai mahasiswa, tetapi pada kenyataannya aktivitas mereka
lebih banyak pada kegiatan yang bersifat rekreatif.
Penelitian FIP Universitas Negeri Yogyakarta (2006) menemukan bahwa belanja
buku di kalangan mahasiswa di Yogyakarta rata-rata per bulan di bawah Rp 25.000
sebanyak 74 persen. Sekitar 19 persen yang mengaku di atas Rp 50.000, sementara
kurang dari 5 persen yang pengeluaran untuk beli buku lebih dari Rp 100.000. Di
kalangan mahasiswa, belanja buku bukan merupakan prioritas utama, masih jauh di
bawah belanja untuk fashion, pulsa, dan game di play station. Bahkan bagi mahasiswa
perokok, mereka rata-rata sanggup mengeluarkan dana Rp 150.000 per bulan untuk beli
rokok, tetapi jarang membeli buku. Jika situasi di Yogyakarta yang telah mendapat
atribut sebagai kota pendidikan saja seperti itu, maka di kota-kota lain juga sama dan
bahkan mungkin lebih memprihatinkan.
Suka rekreatif
Kita memang merupakan bangsa yang kurang tekun dalam melakukan suatu
aktivitas, karena wahana untuk berlatih ketekunan semakin hilang atau mengalami
pergeseran fungsi. Ini tampak misalnya pada kebiasaan mancing di kolam yang sedang
marak dalam masyarakat kita. Memancing merupakan kegiatan mencari ikan dengan alat
yang disebut pancing, tempatnya di sungai atau di laut. Prosesnya berlangsung secara
natural, mengandung tantangan. Sebagai sebuah aktivitas, memancing berfungsi melatih
kesabaran, ketekunan, dan mencari ketenangan. Sebagai kegiatan ekonomi, memancing
adalah usaha mendapatkan ikan sebagai komoditas untuk menambah penghasilan.
Akan tetapi dalam masyarakat sekarang tampaknya definisi memancing ikan
sudah berubah menjadi artifisial, karena lebih menonjol aspek rekreasinya. Kebanyakan
orang sekarang memancing bukan lagi di sungai, tetapi di kolam tempat pemeliharaan
ikan atau kalau toh di sungai harus ditebari dulu ikan peliharaannya. Jadi secara
substantif sebenarnya bukan memancing, karena tidak berlangsung secara natural dan
tidak ada muatan tantangannya. Fungsi untuk melatih kesabaran, ketekunan, dan mencari
ketenangan tidak kelihatan, karena faktor kesulitannya rendah. Yang lebih tampak hanya
penyiksaan ikan sebagai katarsis naluri psikopat manusia.
Karena aspek rekreatif yang lebih ditonjolkan, maka kegiatan mancing di kolam
lebih merupakan wahana ekspresi kemalasan masyarakat. Di mana-mana sekarang ini
banyak pemancingan dan perlombaan mancing pun sering diselenggarakan, bahkan
diprakarsai oleh instansi pemerintah. Begitu tingginya frekuensi mancing, sehingga
dalam seminggu banyak warga masyarakat yang lima hari mancing, sedangkan aktivitas
kerjanya hanya 2 hari. Jadi rekreasinya lebih banyak daripada aktivitas kerjanya.
Gejala masyarakat yang lebih suka pada kegiatan rekreatif ini bukan saja tampak
pada kegiatan mancing, tetapi juga tercermin dalam berbagai kegiatan lain. Di kota
maupun di desa sekarang ini bisnis hiburan begitu marak. Lihat saja misalnya, tempat-
tempat hiburan yang seperti play station, game-net, billiard, café, karaoke, dan lain-lain
selama 24 jam senantiasa penuh pengunjung. Kalau dalam suatu masyarakat tingkat
produktivitas relatif lambat dan bahkan cenderung menurun, tetapi kegiatan dan industri
hiburan semakin marak, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu sedang sakit.
Leluhur bangsa ini sebenarnya memiliki budaya dalam arti sikap yang baik, yaitu
tekun, telaten, dan ulet, sehingga melahirkan karya-karya besar seperti keris, batik,
gamelan, wayang, candi, dan karya arsitektur. Karya peradaban seperti itu sampai
sekarang terbukti masih mampu bersaing dengan karya peradaban bangsa lain yang sudah
maju, dan mereka memberikan apresiasi tinggi. Sekarang orang lebih suka enaknya saja,
tetapi kurang tekun bekerja, karena itu secara umum karya peradaban bangsa ini semakin
mengalami kemunduran. Sebagai ilustrasi misalnya, orang membikin kue terbesar,
tumpeng tertinggi, celana terpanjang, dan seterusnya yang serba ter. Karya-karya
semacam itu bukan berarti tidak ada gunanya, hanya saja terlalu menghabiskan tenaga
dan biaya banyak, tetapi miskin nilai karena proses kreatifnya memang tidak menempuh
faktor kesulitan tinggi. Padahal, sebuah karya peradaban akan terasa bernilai jika
mengandung faktor kesulitan tinggi dalam proses kreatifnya. Karya-karya seperti itu,
meminjam istilah R. Rich (1994) lebih bersifat high volume, tidak high value.
Karya peradaban yang minim nilai seperti itu tidak mungkin akan mampu
bersaing dengan bangsa lain, sehingga kita akan terus menjadi bangsa yang kalah atau
hanya berada dalam posisi bertahan menunda kekalahan. Atau seperti dikatakan Gramci,
warga bangsa di negara-negara dunia ketiga dalam relasinya dengan negara-negara
industri maju berada dalam posisi kalah, tetapi ironinya justru merayakan kekalahan itu
karena telah terhegemoni.
Untuk menjadi bangsa yang ikut berperan dalam perkembangan peradaban dunia,
pertama kita perlu melakukan sesuatu yang menciptakan kesadaran bersama bahwa kita
adalah bangsa yang kalah, bukan malah bangga dengan kekalahannya. Kesadaran
semacam itu akan dapat tumbuh, jika kita bersedia introspeksi dan menjawabnya dengan
jujur. Awal kebangkitan bangsa Jerman, Jepang, dan Korea Selatan dimulai dengan
bertanya secara benar dan menjawab dengan jujur bahwa mereka adalah bangsa yang
mengalami kekalahan, tetapi kemudian bangkit melakukan sesuatu dengan kerja keras.
Saatnya kita bekerja keras melakukan sesuatu dengan lebih menekankan pada
tindakan. Kita kaya dengan pikiran umum sebagaimana terumus dalam berbagai aturan
normatif yang semuanya sudah bagus-bagus, tetapi kita miskin pikiran tengahan yang
lebih mengutamakan pada strategi untuk aksi dan implementatif. Energi kita sering habis
untuk membuat wadah dan lembaga, serta verbalisme, tetapi kemudian kehabisan energi
ketika sudah pada tataran aksi, berbuat sesuatu yang konkret dan dapat dirasakan oleh
warga masyarakat banyak. Budaya kerja yang involutif seperti itu perlu segera kita
tinggalkan, menuju budaya kerja yang lebih terbuka dan adaptif terhadap dinamika
perubahan. Untuk ikut berperan, kita memang perlu ulet, tekun, pantang menyerah, dan
bersedia menyakiti diri sendiri. Jika tidak, sepertinya kita akan tetap terjebak dalam
kubangan lumpur, yang makin bergerak makin tenggelam.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, 1996, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.Ambardi, Kuskridho, 2009, ICT dan Demokrasi, Makalah, disampaikan
dalam Diskusi Padma, Yogyakarta.

Anderson, Benedict, 1970, The Idea of Power in Java,” dalam: Claire Holt & James
T. Siegel (eds.) Cultures and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University
Press.

Barker, Chris, 2000, Cultural Studies, Theory and Practice, London: Sage Publications Ltd.

Baum, Gregory, 1975, Religion and Alienation, New York: Paulist Press.

Boden, D, dan Molotch, H. 1994. The Compulsion of proximity, in R. Friedland and D.


Boden (eds). HowHere Space, Time, and Modernity. Berkeley, CA: University of
California Press.

Castell, Manuel. 1996. The Rise of the Network Society. Malden, Mass: Blackwell.

____________. 1997. The Power of Identity. Malden, Mass: Blackwell.

____________. 1998. End of Millenium. Malden, Mass: Blackwell.


Dillon, Justin & Maguire, Meg, 2005. Becoming a Teacher (issues in secondary teaching).
(2ed). Buckingham Philadelphia: Open University Press.

Fortier, Francois, 2001, Virtuality Check: Power Relations and Alternatif Strategies in
Information Society, London:Verso.

Giddens. Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity.

Harvey, David. 1989. The Condition of Post-Modernity. Oxford: Blackwell.

Hjavard, S. 2008. ‘The Mediatization of Religion: A Theorising relegion, media, and social
change’, dalam Culture and Religion, Vol. 12, No. 2, Juni 2011.

Horststmann Alexander, and Reed L. Wadley, 2006, Centering the Margin: Agency and
Narative in Southeast Asian Borderlands, New York: Berghahn Books.

Kartodirdjo, Sartono, 1999, Multi-Dimensi Pembangunan Bangsa Etos Nasionalisme dan


Negara Kesatuan, Yogyakarta: Kanisius.

Lash, Scott. 2002. Critique of Information. London: Sage

Lemert, Charles (ed.), 1993, Social Theory: The Multicultural and Classical Readings.
Bouler, Colo: Westview Press.

___________, 2001 Multiculturalism, dalam George Ritzer dan Barry Samrt (ed.)
Handbook of Social Theory. London: Sage.

Lievrouw, Leah and Sonia Livingstone, 2006, New Media, London: Sage Publications.

Marsetio, 2012, Konstruksi Marginalitas Daerah Perbatasan: Studi Kasus Kepulauan


Natuna, Disertasi, Yogyakarta: Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana
UGM.

Ritzer, George. 2011. Eight Edition SOCIOLOGICAL THEORY. New York: McGrow-Hill.
___________ .2012. Edisi Kedelapan, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Diterjemahkan Saud Pasaribu dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Scott. Alen. J. 2000. The Cultural Economy of Cities. London: Sage.

Straubhaar, Joseph and Robert LaRose, 2006, Media Now, Understanding Media, Culture,
and Technology. United Stated, Australia: Thomson Wadswroth.

Tirtosudarmo, Riwanto, 2010, Mencari Indonesia, Jakarta: LIPI Press.


Wahyono, Bayu. S. Pendidikan demi Kemapanan atau Untuk Pencerahan. Artikel. Harian
Bernas. 21 Februari 1997.
_______________, Masih Representatifkan NEM sebagai Alat Seleksi Murid? Artikel.
Kompas. 7 Juni 1997.
Wahyono, S. Bayu, dkk., 2008, Kabar dari Desa: Dampak Pembangunan Infrastruktur
Telekomunikasi terhadap Dinamika Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Masyarakat Pedesaan, Ditjen Postel Depkominfo RI.

Wahyono, S. Bayu. Pergeseran dari Target Kuantitatif ke Kualitatif, Makalah, disampaikan


dalam Kuliah Reguler Kursus Parlemen Perempuan DIY, diselenggarakan LSPI,
Yogyakarta, 28 Januari 2012.
Wahyono, Bayu S., 2011, “Optimalisasi Program Desa Informasi Melalui Penguatan
Kelembagaan”, Jurnal Teknokom, No 14 Volume 4, 2011. Yogyakarta: BP3I
Kemkominfo.
Zanden, James W. Vander. 1996. Sociology The Core. New York: McGraw-Hill, Inc.

Anda mungkin juga menyukai