Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TRADISI PENGASINGAN DAN HUKUM ADAT PADA PEREMPUAN SUKU NAULU

DUSUN ROHUA KAB. MALUKU TENGAH

DI SUSUN OLEH :

SOLEHA HATAPAYO
APRILIA LESTARI
SALI MARSELINA SAIIYA
SITNA RAMLIA TIHURUA
DESI MAKATITA

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
MALUKU HUSADA
KAIRATU
2021
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat tuhan yang maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunianya kepada oenulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“TRADISI PENGASINGAN DAN HUKUM ADAT PADA PEREMPUAN SUKU NAULU
DUSUN ROHUA KAB. MALUKU TENGAH”.
Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan Tuhan yang
maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis
menhaturkan rasa hormat dan termah kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masi jauh dari kesempurnaan
baik teori dan penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan
dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Penulis dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima masukkan ,kritik, saran dan usul guna menyempurnakan
makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalh ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.Atas
perhatianny, penulis ucapkan terimakasih.

Kairatu, 11 JUL2021

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................................................4
B. Tujuan..............................................................................................................................................6
BAB 2.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
A. Reproduksi Perempuan....................................................................................................................7
B. Perempuan dan Budaya...................................................................................................................7
C. Interaksionisme Simbolik................................................................................................................7
D. Sejarah Suku Naulu di Dusun Rohua...............................................................................................8
E. Keadaan Penduduk Dusun Rohua....................................................................................................8
F. Sistem Pendidikan...........................................................................................................................8
G. Agama dan Kepercayaan Suku Naulu Dusun Rohua.......................................................................9
H. Sistem Ekonomi...............................................................................................................................9
I. Pola Kehidupan Suku Naulu dusun Rohua......................................................................................9
J. Tradisi Pengasingan dan Hukum Adat pada perempuan Suku Naulu..............................................9
BAB 3.......................................................................................................................................................14
PRNUTUP.................................................................................................................................................14
A. Kesimpulan....................................................................................................................................14
B. Saran..............................................................................................................................................14
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perempuan dan semua proses biologis yang terjadi di dalam tubuhnya, seringkali didefenisikan
tabu dan mendapat perlakuan khusus dari masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat masih
mengasosiasikan fungsi alami tubuh perempuan sebagai pembawa kecemaran. Menstruasi yang dialami
perempuan dianggap sebagai kutukan, selama menstruasi perempuan merasakan tubuhnya di didera
kenyerian dan berlangsung terus-menerus, begitu juga disaat mengalami kehamilan sampai kepada proses
melahirkan, dan menyusui serta merawat anak [1]. Pandangan masyarakat tentang menstruasi yang
dialami perempuan mengharuskan perempuan diam dalam ruang sosial yang diciptakan oleh masyarakat
itu sendiri dan dijadikan sebagai budaya. Dengan kata lain budaya memegang peranan penting dan
membawa pengaruh kuat dalam sebuah sistem masyarakat. Budaya patriarki yang berkembang di
Indonesia hampir memenuhi semua lapisan kehidupan masyarakat. Patriarki adalah suatu sistem otoritas
laki-laki yang menindas perempuan melalui institusi sosial, politik dan ekonomi. Patriarki mempunyai
kekuatan dari akses laki-laki yang lebih besar terhadap, dan menjadi mediasi dari, sumber daya yang ada
dan ganjaran dari struktur otoritas di dalam dan di luar rumah [2].

Sayangnya, fakta dimasyarakat terkhususnya masyarakat suku Naulu-dusun Rohua masih banyak
terjadi perlakuan tabu terhadap perempuan terkait menstruasi yang dialaminya. Hal ini diperkuat oleh
kepatuhan terhadap kepercayaan asli dalam menjalankan ritual-ritual adat yang dipercaya sebagai
perintah leluhur dan Sang Pencipta (Hisantune). Dengan berpijak pada kepercayaan inilah masyarakat
suku memiliki berbagai macam aturan yang mengatur gerak kehidupan mereka. Seperti pola pernikahan
tertutup, pembagian tugas pada perempuan dan laki-laki, dan perlakuan ritual adat terhadap perempuan
menjelang dewasa. Pola pernikahan tertutup yakni menikah dengan orang sesama suku, merupakan
upaya bagi masyarakat setempat untuk tetap melestarikan tradisi mereka dari generasi ke generasi agar
tidak bercampur dengan budaya luar.

Keberadaan perempuan menjelang dewasa biasanya sekitar usia 8-16 tahun, menjadi tontonan
menarik bagi seluruh masyarakat adat, dikarenakan perempuan akan dinilai kepantasannya dari gadis
menjadi perempuan dewasa tidak hanya dari dalam keluarganya tetapi semua lapisan masyarakat dan
pemangku adat sebagai lapisan tertinggi dalam suatu masyarakat adat dan mereka semuanya adalah laki-
laki. Perempuan yang baru pertama kali dalam hidupnya mengalami menstruasi harus diasingkan dalam
sebuah gubuk pamali berukuran 4x3 meter yang terbuat dari susunan daun sagu sebagai atap dan
dindingnya (Posune) dikarenakan menstruasi yang dilaminya maka perempuan dianggap sebagai
pencemar, ia harus diisolasi kurang lebih satu bulan dan diperlakukan dengan begitu banyak perlakuan
khusus selama periode menstruasi berlangsung. Pinamou akan dijaga dan diawasi oleh sorang
perempuan yang telah menikah (Nuhu Ne Upu e).

Sebutan Nuhu Ne Upu e juga diberikan kepada laki-laki yang terpilih, tapi dalam praktiknya laki-
laki yang ditunjuk sebagai Nuhu Ne Upu e tidak menjalankan tugas seperti Nuhu Ne Upu e perempuan,
dikarenakan tidak ada pembagian tugas yang jelas pada Nuhu Ne Upu e laki-laki seperti yang dilakukan
oleh Nuhu Ne Upu e perempuan yakni menjaga dan membantu semua keperluan perempuan yang
diasingkan di dalam Posune. Tugas laki-laki hanyalah sebagai pengontrol dari jauh yang menerima
semua laporan dari Nuhu Ne Upu e perempuan tentang kabar dari perempuan yang disingkan tersebut.

Nuhu Ne Upu e laki-laki sebenarnya dapat menjalankan tugasnya seperti membantu mengambil
bahan makanan mentah di ladang yang kemudian akan disiapkan oleh Nuhu Ne Upu e untuk di bawa ke
Posune, tetapi hal ini tidak dilakukan oleh Nuhu Ne Upu e laki-laki karena menurut mereka hal ini dapat
dilakukan oleh Nuhu Ne Upu e perempuan seorang diri. Sampai saat ini pemberian status Nuhu Ne Upu e
lazim diidentikan pada perempuan Menjadi seorang Nuhu Ne Upu e merupakan sebuah tugas penting
yang dimandatkan oleh Kepala Adat, oleh sebab itu maka tugas ini tidak boleh ditolak oleh yang
dipercayakan. Stasus sebagai seorang perempuan dalam masyarakat adat menjadi pijakan untuk tidak
memiliki pilihan menolak karena keharusannya untuk menerima tugas tersebut.

Nuhu Ne Upu e menjalani peran ganda baik sebagai ibu dan istri di rumahnya serta sebagai inang
penjaga bagi perempuan yang diasingkan Pinamou. Pinamou tidak diberikan kebebasan selayaknya hak
setiap manusia, mereka tidak diizinkan mandi karena dianggap akan mencemari air yang juga diambil
dari tempat yang sama dimana masyarakat mengambil air, Pinamou hanya dipakaikan pasta yang terbuat
dari arang diseluruh tubuh kecuali gigi, tidak dibolehkan keluar dari Posune karena akan membawa nasib
sial bagi seisi kampung, tidak dapat menikmati masa bermainnya, dan mengenyam pendidikan.
Kesanggupan Pinamou tinggal di dalam Posune inilah yang dinilai oleh masyarakat bahwa ia sudah
pantas menjadi perempuan dewas yang siap dinikahi. Puncak dari ritual pengasingan ini, Pinamou akan
diratakan gigi dan dibaluri ramuan rahasia yang telah didoakan sebelumnya, ramuan ini berkhasiat
mempercantik Pinamou dari dalam dan luar. Setelah itu akan dimandikan, didandani dengan banyak
aksesoris, diarak di kampung dalam rangka mempromosikan dirinya sebagai perempuan dewasa.
Kemunculan perempuan dengan status barunya ini disambut oleh semua lapisan masyarakat yang ditandai
oleh pesta meriah atau perayaan besar kurang lebih 30-40 hari lamanya yang didanai oleh keluarga
Pinamou. Ritual dan perayaan ini hanya dilakukan pada Pinamou yang baru pertama kalinya mengalami
menstruasi. disaat pertama inilah masyarakat khususnya laki-laki dan keluarganya di dusun tersebut
mendapat signal bahwa akan segera hadir perempuan dewasa yang telah siap untuk dipinang dan
membangun rumah tangga baru. Sedangkan di bulan-bulan berikut yaitu di periode menstruasi
selanjutnya, tidak akan ada ritual melaburkan pasta arang, papar gigi, dan rangkaian upacara seperti pada
saat pertama kali menstruasi.

Berbeda halnya dengan perempuan, laki-laki tidak diperlakukan dengan rangkaian ritual pada saat
menjelang dewasa. Mereka hanya dipakaikan atribut kain merah (berang) di kepala yang menjadi tanda
bahwa laki-laki tersebut sudah dewasa. laki- laki dilarang mendekati wilayah tempat perempuan
diasingkan karena dipercaya akan terkontaminasi hal buruk dari perempuan sebagai pembawa malapetaka
dikarenakan menstruasi yang dialaminya. Perempuan dipercaya membawa kecemaran dari dalam
tubuhnya, artinya tanpa harus melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak leluhur dan
Hisantune, perempuan telah membawa kenajisan dari lahir karena ia dilahirkan sebagai perempuan.
Darah menstruasi dianggap sebagai darah najis yang tidak boleh sampai tersentuh oleh laki-laki dengan
kata lain perempuan adalah makhluk najis. Oleh karena dilahirkan najis, maka perempuan membutuhkan
perlakuan adat yang dipercaya dapat menetralkan kenajisan tersebut. Perempuan diharuskan untuk
mengikuti semua aturan yang berlaku karena merupakan kepercayaan masyarakat adat bahwa leluhur
mereka dan Hisantune menghendaki hal tersebut.

Ironisnya masyarakat dan pelaksana adat tidak peduli dengan hak-hak perempuan sebagai
manusia yang berhak menjalani kehidupannya sesuai dengan pilihan yang dianggap baik bagi dirinya,
mereka hanya menaruh perhatian pada serangkaian aturan berdasarkan kepercayaan yang diwariskan
turun-temurun. Berdasarkan jenis kelamin, dominasi laki-laki begitu kental dalam melabelkan sifat-sifat
tertentu yang berimbas pada ketidakadilan. Perempuan adalah makhluk lemah karena ia tidak hadir
sebagai laki-laki kelahirannya tanpa membawa kenajisan. Perempuan lemah oleh karena pada saat
menstruasi bahkan melahirkan ia merasakan sakit yang luar biasa, untuk itu ia harus bergantung pada
makhluk yang lebih kuat yaitu laki-laki. Perempuan tidak bisa mencari nafkah karena keterbatasan fisik,
tidak bisa menjaga diri saat harus menempuh perjalanan jauh saat berjualan. Perempuan memiliki
kemampuan merawat anak karena sifatnya yang lebih lemah lembut dibandingkan laki-laki. Dalam
mengutarakan pendapatpun, selain karena perempuan tidak berhak berbicara dan mengutarakan pendapat
bahkan membuat keputusan, hal itu karena perempuan tidak memiliki kemampuan berbicara.
Ketidakmampuan perempuan disebabkan karena tidak ada kesempatan yang diberikan bagi perempuan
untuk tergabung dalam kelompok adat, bukan karena perempuan dilarang tetapi kesempatan tersebut
lebih diprioritaskan bagi kaum laki-laki, para perempuan hanya diarahkan pada tugas domestikasi. Hal
yang sama juga menyangkut pendidikan, laki-laki lebih mendapatkan kesempatan untuk duduk di bangku
sekolah.
Sejak berabad-abad masyarakat memandang fungsi alami tubuh bagi perempuan di suku ini
mengakibatkan kesulitan akses bagi perempuan itu sendiri dan mereka percaya bahwa musibah besar
akan menimpa dusun mereka apabila melanggar setiap ritual dan aturan yang ada, selain itu mereka akan
dikenakan denda adat ataupun sangsi yang berat dan variatif.

B. Tujuan

Bertujuan untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan makna menstruasi bagi perempuan suku
Naulu-dusun Rohua kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, baik sebagai Pinamou maupun Nuhu
Ne Upu e dalam melestarikan tradisi pengasingan.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Reproduksi Perempuans
Istilah reproduksi berasal dari dua kata yaitu kata “re” yang artinya kembali dan kata “produksi”
yang artinya membuat atau menghasilkan. Jadi istilah reproduksi berarti, suatu proses kehidupan manusia
dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya. Sedangkan yang disebut organ reproduksi,
adalah alat tubuh yang berfungsi dan berperan dalam serangkaian proses dengan tujuan untuk
berkembang biak atau memperbanyak keturunan [3].
Persoalan hak-hak reproduksi perempuan merupakan perkembangan dari konsep hak-hak asasi
manusia. Dalam perkembangannya, konsep hak-hak asasi manusia dapat dibagi dalam dua ide dasar.
Pertama, pandangan yang berpijak pada keyakinan bahwa tiap manusia lahir dengan hak- hak individu
yang tidak dipisahkan darinya dan kedua, pandangan yang menekankan kewajiban masyarakat dan negara
untuk menjamin tidak saja kebebasan dan kesempatan bagi warga negara, tetapi juga memastikan bahwa
warga negara mampu memperoleh, melaksanakan kebebasan, dan apa yang menjadi haknya. Sebagai
manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dimuka bumi ini,
yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan
tanpa itu manusia (perempuan dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar [8].

B. Perempuan dan Budaya


Dalam budaya universal, ketertindasan perempuan, merupakan manivestasi dari pemahaman
antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan posisi laki-laki dan perempuan pada peran
sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberikan pembedaan antara masyarakat manusia dan alam.
Kebudayaan berupaya mengendalikan dan menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan untuk
berbagai kepentingan. Oleh sebab itu kebudayaan berada pada posisi superior dan alam dipihak inferior.
Kebudayaan diciptakan untuk menguasai, mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan
kelangsungan kehidupan masyarakat. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, dengan
demikian perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan.
Perempuan cenderung berada pada posisi yang dikontrol, dikendalikan dan dikuasai dan laki-laki menjadi
tokoh sentral yag seringkali menjadi pengambil suatu keputusan, sampai pada akhirnya laki-laki
mengakhiri garis matrilineal dan menggantikannya dengan garis patrilineal yang patriarkat, karena
keinginan untuk mewarisi dan menguasai harta benda. Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
membawa pemahaman tentang peran, tugas dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini
lahir anggapan bahwa yang pantas berburu dan mencari nafkah adalah laki-laki [9].

C. Interaksionisme Simbolik
Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata
simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi. Dalam melakukan suatu interaksi,
maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat menentukan, apalagi berinteraksi dalam masyarakat yang
berbeda suku dan kebudayaan. Modal utama dalam melakukan interaksi dalam masyarakat multi etnik
adalah saling memahami kebiasaan ataupun kebudayaan dari orang lain [15]. Interaksi simbolik
masyarakat suku dalam hal ini perempuan suku pada sosok Nuhu Ne Upu e di suku Naulu-dusun Rohua
memandang bahwa perempuan disuku ini bersifat tertutup menafsirkan dan menampilkan perilaku
yang sulit dijelaskan melalui simbol-simbol yang selama ini dipegang oleh para perempuan di suku
Naulu- dusun Rohua seperti keharusan memanjangkan rambut, larangan menggunting rambut tanpa
seizin suami dan pemuka adat, akan didenda apabila kedapatan menggunting rambut tanpa seizin suami,
tetua adat dan tanpa melakukan ritual adat, mengenakan kain bagi perempuan yang sudah menikah,
dilarang memakai celana tidak seperti istri-istri pada umumnya.
Perempuan suku ini memiliki konsep diri tersendiri yang membedakan antara seorang perempuan
suku Naulu dengan perempuan yang bukan suku Naulu. Dari konsep diri yang dibentuk oleh Tetua adat
dan masyarakat suku Naulu-dusun Rohua, menginginkan adanya penilaian dan perbedaan perlakuan dan
dituntut untuk menjalankan setiap aturan dalam masyarakat adat suku Naulu-dusun Rohua atas diri setiap
perempuan di dusun ini.

D. Sejarah Suku Naulu di Dusun Rohua


Berdasarkan paparan tetua adat setempat, Dusun Rohua memiliki arti buah-buahan karena dahulu
tempat ini banyak ditumbuhi pohon durian dan kelapa. Suku yang mendiami tempat ini adalah suku
Naulu yang merupakan penduduk asli atau pribumi di pulau Seram kabupaten Maluku Tengah. Penduduk
asli Dusun Rohua merupakan pecahan dari kerajaan Nunusaku, kerajaan di pulau Seram (Nusa Ina)
dibawah pimpinan Natu Manue putra pertama Upu Aman Latu Nunusaku (Raja Kerajaan Nunusaku).
Mereka mendiami beberapa wilayah pedalaman di pesisir selatan Pulau Seram yakni di Bunara, Ahisuru,
Hauwalan, Simalou, dan Rohua. Kelompok ini juga di kenal dengan kelompok “Pata Lima” Pata artinya
terpisah dan Lima artinya lima bagian.

E. Keadaan Penduduk Dusun Rohua


Berdasarkan data penduduk tahun 2016, penduduk suku Naulu yang tinggal di dusun Rohua
berstatus kewargenegaraan Indonesia dengan jumlah penduduk 783 jiwa yang terdiri dari 412 Perempuan
dan 371 laki-laki dari 72 kepala keluarga. Jumlah anak dalam tiap keluarga sekitar 7-10 anak. Suku Naulu
merupakan perpaduan antara suku Alune dan Wamale. Terdapat 5 nama marga (matarumah/fam) di
dusun Rohua yang dipandang sebagai manifestasi dari leluhur mereka yang harus terus dipertahankan. Ke
lima nama marga tersebut yaitu Matoke, Sounawe, Leipary, Peirisa, dan Soumori. Matarumah Matoke
memegang peranan paling tinggi karena merupakan keturunan Raja. . Dusun Rohua adalah anak desa dari
Negeri Sepa, masyarakatnya sangat menghargai figur pemimpin dalam kesatuan masyarakat Hukum Adat
yang yang berasal dari keturunan (matarumah) yang berhak menyandang gelar pemimpin dan tidak dapat
dialihkan ke pihak lain. Negeri Sepa dikepalai oleh seorang Raja dan dusun Rohua dipimpin oleh seorang
kepala adat sebagai pemimpin tertinggi di negeri adat tersebut. Hak kepemimpinan mereka diwariskan
menurut aturan adat yang berlaku dalam masyarakatnya.

F. Sistem Pendidikan
Sedari kecil anak-anak suku Naulu dusun Rohua didoktrin agar tidak perlu mengenyam
pendidikan formal dikarenakan masyarakat Rohua tidak terlalu menganggap penting pendidikan formal
terlebih khusus pada anak perempuan sebab mereka akan dengan sendirinya belajar dari alam maupun
pengetahuan tradisional yang diturunkan turun temurun dari orang tua mereka, seperti berburu, bercocok
tanam, membangun rumah, menyiapkan olahan makanan, mencuci, memasak, membantu persalinan,
merakit perlengkapan rumah tangga, membedakan hal baik dan buruk, nilai-nilai kemanusiaan, dan lain-
lain. dalam perkembangan hingga saat ini, orang tua di dusun Rohua mulai menyadari pentingnya
pendidikan formal terkhususnya bagi anak laki-laki, sehingga mereka berupaya menyekolahkan anak-
anak mereka dan berhasil menyelesaikan pendidikan formal di jenjang perguruan tinggi sebanyak 15
orang namun setelah itu mereka akan kembali pulang ke dusun dan melanjutkan hidup seperti
sebelumnya, kebanyakan dari mereka hanya tamatan Sekolah Dasar. Anak-anak perempuan pada suku
Naulu dusun Rohua biasanya menikah pada usia muda, umumnya saat mereka sudah mengalami
menstruasi atau dinyatakan sebagai perempuan dewasa dalam masyarakat tersebut.

G. Agama dan Kepercayaan Suku Naulu Dusun Rohua


Suku Naulu memahami kehadiran dan keberadaan Tuhan lewat ritual-ritual yang dijalankan, dan
tanda-tanda alam yang terjadi. Setiap peristwa yang dialami mereka sebagai manusia seperti kelahiran,
kemakmuran, kelaparan, kekuatan, dan kematian dipercaya sebagai cara Tuhan berkomunikasi dengan
mereka. Tiap kali kaum laki-laki berburu dan membawa pulang berapapun hasil buruannya dan hasil
panen di ladang, maka mereka harus membawa pulang serta sehelai daun tanaman Cokelat yang paling
hijau dan baik keadaannya. Daun tanaman Cokelat dapat dipetik di pekarangan maupun di hutan, dan
harus dipetik sendiri oleh kaum laki-laki jika perempuan atau istri mereka ingin memetik maka harus
seizin suami. Daun Cokelat dipercaya sebagai persembahan makanan bagi para leluhur mereka, setelah
dipetik daun cokelat tesebut diletakan pada tempat khusus yang telah disiapkan. Mereka percaya terhadap
Dinamisme dan Animisme, dan menamainya dengan “Hisantune”. Namun pemerintah Republik
Indonesia tidak mengakui kepercayaan yang dianut masyarakat Rohua ini sehingga kolom agama yang
tertera pada KTP dan surat-surat formal lain masyarakat Rohua adalah agama Hindu.

H. Sistem Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat dusun Rohua yang paling menonjol adalah di bidang pertanian
yakni berkebun. Hasil panen dari kebun seperti ubi- ubian (talas, singkong, petatas), kelapa, jagung,
cokelat, durian, langsat, kenari, cengkih dan pala akan dijual untuk mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarga mereka, sebagian lagi akan disimpan dan digunakan sebagai olahan bahan makanan mereka.

I. Pola Kehidupan Suku Naulu dusun Rohua


Cara berpakaian masyarakat Naulu cukup dipengaruhi perubahan zaman, kebanyakan memakai
pakaian yang dapat dibeli di pertokoan, mulai anak-anak perempuan dan laki-laki mereka mengenakan
pakaian seperti lazimnya anak-anak zaman sekarang yang mengenakan kaus/kemeja, celana
panjang/pendek, rok pendek, pengalas kaki yang beragam. Berbeda dengan pakaian yang dikenakan
perempuan dan laki-laki dewasa yang dibagi atas dua jenis pakaian yaitu pakaian sehari- hari dan pakaian
adat, bagi kaum perempuan dewasa yang sudah menikah dilarang menggunting rambut jika melanggarnya
maka akan dikenakan sanksi adat dan dalam kesehariannya wajib mengenakan atasan baju/kemeja dari
kain bermotif bunga warna-warni yang dililit dan diikat pada pinggang sebagai bawahan, laki-laki yang
telah menikah juga wajib mengenakan kain berang (ikat kepala merah) berbentuk dua pucuk segitiga dan
ikatan biasa tanpa dua pucuk bagi yang belum menikah.
Baju adat yang biasanya dipakai pada acara-acara adat.
Masyarakat suku Naulu tidak mengenal adanya perceraian ataupun poligami dalam pernikahan
karena akan ditimpa musibah sebagai kutukan dari leluhur jika sampai hal tersebut terjadi. Bagi laki-laki
maupun perempuan yang telah berumah tangga apabila selingkuh ataupun melakukan poligami maka
akan dikeluarkan dari dusun, karena hakikatnya Suku Naulu sangat menjujung tinggi kesetiaan.
Masyarakat dusun Rohua memahami rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga tempat untuk
mengurusi segala macam urusan adat istiadat, untuk itu pemahaman rumah bagi mereka adalah “rumah
besar” atau rumah adat, dan rumah marga (matarumah/fam) atau rumah tinggal, ke lima matarumah
memiliki “rumah besar” atau rumah adat masing-masing. Pola pemukiman tempat kediaman Suku Naulu
di dusun Rohua berbentuk linear dimana rumah-rumah penduduk di disusun atau didirikan secara
berderet sepanjang jalan. Awalnya semua rumah penduduk Naulu masih menggunakan daun sagu
sebagai atap, dindingnya terbuat dari pelepah dau sagu (gaba- gaba) atau papan, lantai rumah terbuat dari
bambu (rumah gantung), sedangkan yang bukan rumah gantung, lantainya dari tanah.
J. Tradisi Pengasingan dan Hukum Adat pada perempuan Suku Naulu
Setiap aturan yang dibuat oleh Suku Naulu memiliki sanksi sendiri yang sudah disepakati
bersama. Dalam kehidupan Suku Naulu bagi yang melanggar setiap aturan akan dikenakan sanksi dan
akan mendapat cemooh dari masyarakat setempat dan yang paling berat adalah dikeluarkan atau diusir
dari masyarakat adat. Upacara masa dewasa bagi seorang anak perempuan mempunyai arti penting dalam
tata kehidupan masyarakat suku Naulu, sebab pesta adat yang diadakan dalam kaitannya dengan upacara
ini merupakan pernyataan bahwa didalam masyarakat telah bertambah seorang perempuan dewasa yang
telah siap dinikahi dan membangun sebuah rumah tangga.
Upacara ini tidak hanya melibatkan Pinamou, Nuhu Ne Upu e, Tetua adat dan keluarga tetapi
juga melibatkanseluruh masyarakat di dusun tersebut. Proses pelaksanaan upacara pengasingan Pinamou
terdiri dari 6 tahap, yaitu: (a) Memasukan Pinamou kedalam Posune (b) Menokok sagu dan berburu (c)
Membersihkan diri (d) Pemberian pakaian adat (e) Papar gigi (f) Pemandian terakhir dan Pesta.
Pelaksanaan rangkaian upacara adat ini hanya dilakukan sekali seumur hidup bagi perempuan-
perempuan di suku Naulu dusun Rohua yang baru pertama kali mengalami menstruasi, sebagai tanda
penerimaan secara adat bahwa perempuan tersebut sah menjadi perempuan dewasa di dalam dusun
tersebut, masyarakat dalam dusun Rohua juga turut berpartisipasi dalam upacara ini, namun rangkaian
upacara ini tidak perlu dilakukan lagi setiap bulan pada periode menstruasi berikutnya.
Gadis yang mengetahui bahwa ia telah mendapat menstruasi pertamanya, harus segera
memberitahu kepada salah seorang anggota keluarga perempuan yang telah dewasa atau langsung pada
ibunya. Kemudian sang ibu mengumpulkan kerabatnya untuk meyiapkan Posune. Bentuk bangunan
Posune seperti rumah mungil dilingkari tertutup dengan daun kelapa yang bertujuan untuk melindungi
Pinamou dari roh-roh jahat dan penangkal bagi diri Pinamou agar bahaya kenajisan dari tubuhnya tidak
sampai keluar. Setelah Posune selesai dikerjakan, Pinamou segera mereka dimasukan ke dalam Posune.
Pinamou tidak diperbolehkan untuk mandi hanya mengoleskan pasta arang pada seluruh bagian tubuhnya
terkecuali gigi, jadi berapapun lamanya didalam Posune ia tidak boleh mandi sampai akhirnya tiba pada
acara pemandian, yaitu hampir sebulan penuh bagi Pinamou yang baru pertama kali menstruasi dan
kurang lebih 3 hari sampai 2 minggu tergantung masa menstruasi tiap bulan para perempuan di dusun
Rohua. Sementara itu Nuhu Ne Upu e menyiapkan kayu Ang yang dibuatkan menjadi api unggun. Kayu
ini diambil dari rumah adat marganya Pinamou. Selama berada di dalam Posune, semua keperluan
terutama makanan dan minumam dibantu oleh Nuhu Ne Upu e. Bersama orang tua Pinamou keluarga dari
pihak ayah dan Ibu mengadakan rapat untuk menentukan kapan akan dilaksanakan penebangan pohon
sagu untuk menjadi makanan, dan melakukan kegiatan berburu. Setelah bahan makanan dan semua
disiapkan maka orang tua bersama denga Nuhu Ne Upu e menentukan hari keluar bagi Pinamou dan
dilanjutkan dengan acara membersihkan diri yang dipimpin oleh Nuhu Ne Upu e. Nuhu Ne Upu e
memakaikan pakaian adat dan mengoleskan ramua pada wajah Pinamou di depan Posune diikuti oleh
semua kerabat yang menyaksikan hal tersebut. Upacara pemeberian pakaian adat dilakukan di bawah
pimpinan Nuhu Ne Upu e dibantu oleh kerabat dari Pinamou. Pakaian yang dikenakan Pinamou adalah
pakaian adat terdiri dari selembar kain yang menutupi bagian bawah tubuh Pinamou dan bagian tubuh
sebelah atas ditutupi dengan berbagai macam perhiasan. Ia kemudian dituntun berjalan menuju rumah
adat sesuai marga Pinamou dan disaksikan oleh semua orang yang ada di dusun tersebut. Sesampai di
rumah adat, Pinamou dipersilahkan masuk ke dalam rumah adat kemudian duduk beralaskan tikar dan
melipat kedua kakinya kebelakang. Kepala suku dan Nuhu Ne Upu e mulai melakukan upacara papar
gigi, yang diawali dengan menaikan doa. Selanjutnya mengambil sebuah batu khusus yang digosokkan
pada gigi Pinamou sampai seluruhnya menjadi rata. Setelah dinyatakan rata oleh Kepala suku, maka
proses ini baru dapat dihentikan. Batu yang dipakai untuk upacara papar gigi ini, dirahasiakan nama dan
bentuknya karena dianggap sakral. Keesokan paginya, Pinamou diantarkan kesebuah sungai yang tidak
jauh jaraknya dari dusun dan dimandikan di tersebut. Nuhu Ne Upu e berdoa untuk memohon
keselamatan bagi sang gadis, doa tersebut merupakan bagian akhir dari seluruh rangkaian ritual Pinamou
dan ia dinyatakan sebagai perempuan dewasa. Selanjutnya disuguhkan juga makanan, jenis makanan
yang disiapkan diantaranya sagu dan pisang seperti yang di sediakan dalam pembuatan nutie. Acara
dilanjuti dengan semua rombongan upacara dan seluruh masyarakat di susun Rohua diundang untuk
mengambil bagian dalam acara makan bersama (makan patita) dan mengikuti pesta. Perayaan ini dapat
berlangsung 30 bahkan sampai 40 hari tergantung dari kesanggupan keluarga Pinamou. Pinamou tidak
diperkenankan meninggalkan Posune walaupun masa menstruasinya telah lama berakhir, sebelum
keluarga selesai menyiapkan keperluan perayaan dan pesta terakhir.

Perempuan suku Naulu dusun Rohua dibentuk dan dikontrol oleh masyarakatnya dengan
gambaran ideal perempuan saat beranjak dewasa ditandai dengan perayaan sesudah diasingkan dalam
Posune pada saat pertama kali menstruasi semakin menguatkan pemahaman masyarakat tersebut untuk
menyambut seorang perempuan dewasa yang siap dinikahkan, dijadikan istri dan ibu yang juga
dikondisikan siap menjalani berbagai tugas di ranah domestik. Hal lain yang menggambarkan situasi
berat bagi perempuan saat harus menjalani dua tugas yaitu sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai
tugas yang telah disebutkan diatas dan sebagai Nuhu Ne Upu e menunjukkan bahwa perempuan
melakukan tugas yang lebih banyak dibanding dengan laki-laki, namun dalam masyarakat suku Naulu
dusun Rohua hal ini dianggap sebagai kewajaran bahkan kewajiban bagi perempuan dalam masyarakat
tersebut jika tidak maka berbagai kesialan atau kutukan dan hukum berupa denda akan diberikan bagi
perempuan yang berani melanggarnya. Denda dalam hukum adat masyarakat suku Naulu dusun Rohua
dianggap sebagai identitas mereka yang diwariskan oleh leluhur, sehingga hal ini menjadi sangat penting
dan tidak boleh diabaikan. Masyarakat percaya jika tidak ditaati maka mereka akan dikutuk oleh
Hisantune dan leluhur. Faktor religus nampaknya menjadi alasan utama perlakuan adat terhadap para
perempuan dalam masyarakat ini, ketakutan akan dikutuk karena melanggar perintah Tuhan dan leluhur.
Ketakutan ini tidak hanya dirasakan Pinamou tetapi juga Nuhu Ne Upu e yang tidak berdaya untuk
menolak perintah dari pemuka adat yang menunjuknya sebagai Nuhu Ne Upu e.
Adanya larangan-larangan selama menjalani menstruasi di dalam Posune seperti tidak
diperbolehkan mandi, bergaul, bersekolah, bermain, beraktifitas diluar Posune, bahkan keberadaannya
sebagai perempuan yang diasingkan saat masa menstruasi dianggap membawa aib dan malapetaka bagi
orang lain dan seisi dusun, apabila laki-laki secara sengaja ataupun tidak sengaja berkeliaran di sekitar
Posune, membuat perempuan semakin terbelenggu dengan aturan tersebut. Secara tidak langsung
masyarakat dan adat melakukan tindak kekerasan pada perempuan. Perempuan secara sosial
terdiskriminasi, terpinggirkan dan menjadi sorotan masyarakat dalam menyambut perubahan menjadi
perempuan dewasa. Selain dampak sosial, dampak psikologis seorang perempuan dalam masa
pertumbuhan, ia harus merelakan keinginannya dibatasi seperti, ingin bergaul dan melakukan aktifitas
lain karena harus tinggal dalam Posune sampai menstruasinya berakhir. Selama dalam masa pengasingan
atau dalam Posune perempuan dipisahkan dari lingkungan sosialnya hal tersebut merupakan pemberian
simbol bagi perempuan untuk menutupi rasa malu akibat proses menstruasi yang dialami, darah yang
keluar dianggap sebagai sesuatu yang menajiskan diri dan lingkungannya. Perempuan menjadi
termarjinalkan dalam masyarakat dan lingkungannya sendiri, ia tidak dapat melakukan aktifitas dengan
baik dan leluasa, seperti yang biasanya dia lakukan di luar Posune. Ada juga dampak material yakni
semua biaya yang dibebankan kepada keluarga Pinamou mulai dari awal prosesi dimasukkan ke dalam
Posune sampai pada biaya perayaan ketika berakhirnya masa menstruasi, biaya perayaan yang ditanggung
oleh pihak keluarga tidak sedikit sebab dalam perayaan tersebut mereka harus menyediakan makanan
bagi seisi dusun dan dilangsungkan selama kurang lebih 30-40 hari.
Selain beban material, denda akan dikenakan bagi perempuan yang tidak mau dimasukkan ke
dalam Posune dan bagi pihak keluarga yang tidak melakukan perayaan. Materi menjadi standar ukuran
yang diberikan bagi perempuan di masyarakat ini, harga dan martabat dari seorang perempuan dapat
diukur dan dinilai dari sebarapa besar perayaan yang dilakukan. Konsep perayaan juga menjadi
peringatan dan pengikat bagi perempuan untuk tidak berani melakukan hal-hal yang bukan menjadi
tugasnya melainkan harus mentaati aturan adat yang ada dalam masyarakat tersebut, karena sebelumnya
seisi dusun telah mengambil bagian “memeriahkan dan mengawasi” kehadirannya sebagai perempuan
dewasa.
Kemerdekaan pribadi seorang perempuan dirampas oleh masyarakatnya sendiri, hal ini
menunjukkan bahwa kekerasan dilakukan lewat cara yang tidak langsung. Kedudukan perempuan dalam
tradisi adat suku Naulu dusun Rohua masih mencerminkan subordinasi dan bias jender terhadap
perempuan.
Kedudukan perempuan dalam kehidupan adat masyarakat suku Naulu dusun Rohua adalah
sebagai “pemberi kehidupan” dan memegang peranan penting dalam siklus kehidupan yaitu menjaga
keseimbangan dalam keluarga. Namun kenyataan membuktikan bahwa ketidakadilan telah mengakar kuat
dan bertumbuh dalam semua lingkup kehidupan masyarakat suku Naulu dusun Rohua. Penomorduaan
bahkan peniadaan perempuan dalam mengenyam pendidikan tinggi dan dalam kedudukan adat
menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dan kedudukan adat bukanlah dunia perempuan dalam masyarakat
tersebut. Memang tidak ada larangan bagi perempuan untuk menduduki jabatan sebagai tokoh adat
masyarakat dusun Rohua, tetapi dalam kenyataannya tidak pernah ada perempuan yang terlibat dalam
struktur sosial maupun organisasi adat suku Naulu dusun Rohua. Laki-laki adalah subjek atau pengatur
yang menetapkan tradisi yang harus dilaksanakan perempuan sebagai objek.
Perempuan tidak berhak menjadi pemimpin dalam keluarga sebab kepemimpinan adalah perintah
yang diberikan Tuhan kepada laki-laki. Upaya laki-laki maupun perempuan yang dianggap melawan
perintah Tuhan dan leluhur akan menimbulkan kekacauan moral dan sosial dalam tatanan masyarakat.
Masyarakat suku Naulu mengaplikasikan cara mereka menjunjung tinggi nilai budaya sebagai salah satu
faktor penentu dalam berperilaku dan menganggap nilai-nilai tersebut berguna dalam kehidupan.
Sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan
pendapat Ahli sejarah feminis yang menggunakan budaya untuk menyebut suatu persamaan yang berbasis
luas dalam hal nilai-nilai, institusi, dan hubungan yang memfokuskan pada domestikasi dan moralitas.
Pemahaman kebudayaan menyangkut persoalan perempuan, status dan perannya dalam kehidupan sosial
sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan keadaan dan waktu [humm].
Mengenai sistem nilai budaya suku Naulu dalam upacara ritual Pinamou sangat kuat meresap dan
berakar didalam jiwa masyarakat suku Naulu sehingga dalam zaman modern saat inipun budaya tersebut
tetap dijalankan sebagai upaya pelestarian. Fungsi nilai budaya suku Naulu diharapakan dapat menjadi
pedoman bertingkah laku yang baik. Artinya ada implementasi, dari nilai- nilai budaya yang dilestarikan
oleh masyarakat ke dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai budaya melalui fungsi simbol dalam setiap
upacara ritual siklus kehidupan suku Naulu dapat menjadi sarana komunikasi, partisipasi, dan mediasi
mengandung konsep nilai budaya yang berkaitan dengan pengembangan kesadaran dan pemahaman
tentang jender. Sayangnya Ketertindasan perempuan, secara antropologis, disebabkan oleh sebuah sistem
nilai yang diberikan makna tertentu secara kultural [9].
Manusia dalam kehidupannya selalu dibatasi oleh aturan dan norma. Semuanya itu dibuat untuk
mengatur tatanan kehidupan bersama, setelah mengalami proses norma tersebut pada akhirnya menjadi
suatu adat istiadat yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat. Demikian juga dengan tradisi
pengasingan perempuan pada masyarakat Naulu dusun Rohua yang dilakukan sejak zaman leluhur, tradisi
ini menjadi sebuah keharusan dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga tradisi ini begitu
menyatu dengan kehidupan masyarakat Naulu dusun Rohua. Bagi masyarakat Naulu tradisi pengasingan
perempuan diwariskan oleh leluhur tujuannya untuk menjaga tatanan kehidupan bersama, jika tidak ada
tradisi pengasingan kepada perempuan di saat menstruasi, maka kehidupan spiritual, moral dan sosial
masyarakat akan hancur.
Tradisi yang dipercaya merupakan warisan leluhur inilah yang mengikat semua anggota
masyarakat terkhusunya kaum perempuan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun bahkan tidak
dapat dihapuskan dari kehidupan mereka. Tradisi ini telah menjadi cerminan kepribadian perempuan
dewasa, yang berawal dari masyarakat, kepercayaan, dan kebiasaan setempat. Pelestarian tradisi ini
merupakan wujud ketaatan dan penghargaan masyarakat kepada Tuhan dan warisan leluhur yang juga
dijelaskan dalam penuturan seorang tokoh adat suku Naulu dusun Rohua, bahwa Tuhan dan para leluhur
yang mereka percayai adalah dengan pencirian stereotipe maskulin yang selama ini diidentikan dengan
sifat laki-laki yaitu perkasa, memiliki otoritas memerintah, tegas, dan kuat. Tuhan juga dikatakan lebih
memilih berkomunikasi dengan laki-laki dibanding dengan perempuan, terlihat pada saat menyiapkan
daun Cokelat sebagai makanan kepada Tuhan dan para leluhur, laki-laki yang harus memetik daun
Cokelat dari pohonnya dan meletakakannya pada tempat yang disediakan, perempuan dilarang untuk
melakukan hal tersebut kecuali diperintahkan oleh suaminya dan terlebih dahulu didoakan.
Namun berbeda halnya ketika Nuhu Ne Upu e yang adalah seorang perempuan diberikan
kesempatan untuk membacakan doa dan mantra pada setiap rangkaian tradisi pengasingan Pinamou.
Tuhan yang digambarkan identik dengan laki-laki dapat berhubungan langsung dengan perempuan (Nuhu
Ne Upu e) sebagai perantara Pinamou dengan keadaannya yang “kotor” atau “najis” dan dianggap
pembawa malapetaka jika selama menstruasinnya dia berbaur dengan kaum laki-laki. Sejalan dengan itu
maka agama dan ideologi menjadi sebuah sistem kepercayaan dan memegang fungsi signifikan di
masyarakat, dalam menjelaskan, menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap suatu hal baik atau
tidak baik bagi mereka [11].
Secara umum usia Pinamou saat diasingkan ke dalam Posune adalah 13-15 tahun ke atas, pada
rentang usia inilah anak perempuan mengalami menstruas yang dapat berisiko timbulnya anemia,
perilaku seksual apabila kurangnya pengetahuan dapat tertular berbagai penyakit seksual. Remaja yang
menginjak masa dewasa bila kurang pengetahuan dapat mengakibatkan resiko kehamilan usia muda yang
mana mempunyai resiko terhadap kesehatan ibu hamil dan janinya. Perubuhan fisik dari masa anak ke
masa dewasa, atau dikenal dengan pubertas, terjadi antara umur 8 tahun sampai dengan 16 tahun pada
perempuan. Pubertas adalah suatu proses fisik dimana seorang anak berkembang menjadi seorang dewasa
yang mempunyai kemampuan di bidang ‘reproduksi’ [6]. Masyarakat Naulu percaya anak perempuan
yang sudah mengalami menstruasi, berati ia sudah siap untuk berkeluarga dan memiliki anak.
Persoalan mendasar berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan seperti, menstruasi, hamil,
melahirkan, nifas dipandang sebagai kodrat perempuan yang terjadi secara wajar, untuk itu tidak
membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus. Ada dua faktor yang menyebabkannya, pertama karena
adanya bias jender didalam keluarga, masyarakat maupun pemerintah dan kedua, kerena persoalan
reproduksi sendiri belum begitu dikenal masyarakat [1]
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konteks masyarakat suku Naulu dusun Rohua dan kehidupan sosialnya masih tertata dalam
sistem patriarki, sehingga perempuan menempati posisi kedua dalam berbagai aspek. Jika dalam realitas
masyarakat suku Naulu dusun Rohua menjunjung pelestarian tradisi pengasingan perempuan disaat
menstruasi, hal itu dikarenakan mereka melihatnya sebagai menjaga keseimbangan relasi religiusitas dan
nilai kehidupan.
Tatanan hidup yang yang diciptakan masyarakat melalui pelestarian tradisi pengasingan
perempuan yang bertujuan mengatur kehidupan bersama dan perempuan itu sendiri, tidak berjalan
semestinya. Kenyataannya perempuan terdiskriminasi dari lingkungannya sendiri.
Makna “pemberi kehidupan” adalah mitos yang disematkan pada diri perempuan dan tidak
diterjemahkan seutuhnya dengan baik. Perempuan harus menjalani kehidupannya di bawah pengawasan
laki-laki, masyarakat dan kepercayaan yang sarat dengan sifat pengelaki-lakian. Pengabaian nilai-nilai
kemanusiaan dan keadilan dalam merespon proses biologis perempuan merupakan potret sesungguhnya
dari cara masyarakat suku Naulu dusun Rohua memaknai menstruasi.

B. Saran

Suku Naulu sebagian besar masi memeluk dan memegang teguh system religi asli mereka .
mereka tidak perlu di paksa untuk memilih salah satu agama-agama besar yabg hidup dan berkembang
diindonesia . pemerintah perlu mensosialisasikan undang-undang system administrasi kependudukan agar
mereka mengetahui dan memahami hak0hak sipil mereka sebagai warga Negara. Mereka misalnya tidak
perlu lagi mengisi kolom agama dalam KTP mereka dengan Aagama Hindu, karena memang mereka
bukam pemeluk agama hindu. Mereka adalah pemeluk agama asli warisan leluhur mereka
DAFTAR PUSTAKA

Nina, J. (2012). Perempuan Nuaulu: tradisionalisme dan kultur patriarki. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.

Otemusu, F., Prapunoto, S., & Kristijanto, A. Ign. (2019). Mendedah penghayatan religiusitas dan
psychological well-being perempuan dalam kelindan rumah pengasingan di pulau seram.
Prosiding Seminar Nasional Fakultas Psikologi UKSW. Salatiga, Indonesia: Fakultas Psikologi,
Universitas Kristen Satya Wacana.

Prapunoto, S., Mage, M, Y, G., Wattimury, C. (2019). Perempuan dalam Kelindan: Ritual Budaya.
Yogyakarta: Andi Offset.

Sahusilawane, A. (2012). Inisiasi Orang Orang Naulu Di Pulau Seram. Balai Pelestarian Nilai Budaya.

Setyowati, S. E. (2016). Pengasingan wanita melahirkan suku nuaulu di dusun rohua kecamatan amahai
kabupaten maluku tengah. Jurnal Riset Kesehatan, 5(1), 14- 20.

Utami, R. W. (2015). Pengembangan Civic Culture Melalui Pendidikan Formal Dan Budaya Lokal
Masyarakat Suku Nuaulu: Studi Etnogra

Wattimury, C. (2018). Pengaruh psychological well-being dan kebermaknaan hidup terhadap tingkat
religiusitas perempuan dalam rumah pengasingan “nuhune” suku nuaulu - maluku tengah.
(Unpublished Thesis). Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai