Anda di halaman 1dari 106

PENGARUH VITAMIN C TERHADAP KECEPATAN KONVERSI

KULTUR M. tuberculosis DARI PASIEN TB PARU YANG


SENSITIF TERHADAP RIFAMPICIN

TESIS

LASMONO SUSANTO
147008018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara


PENGARUH VITAMIN C TERHADAP KECEPATAN KONVERSI
KULTUR M. tuberculosis DARI PASIEN TB PARU YANG
SENSITIF TERHADAP RIFAMPICIN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik
dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik
Minat Studi Ilmu Biokimia pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Oleh

LASMONO SUSANTO
147008018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Universitas Sumatera Utara


Judul tesis :PENGARUH VITAMIN C TERHADAP KECEPATAN
KONVERSI KULTUR M. tuberculosis DARI PASIEN
TBPARU YANG SENSITIF TERHADAP RIFAMPICIN
Nama mahasiswa: Lasmono Susanto
NIM : 147008018
Program studi: S2 Biomedik
Minat : Ilmu Biokimia

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. med. dr. Yahwardiah Siregar dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK (K)
Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Dr. med. dr. Yahwardiah SiregarDr. dr. Aldy Safruddin Rambe, SpS (K)
NIP. 195508071985032001 NIP. 196605241992031002

Tanggal Lulus: 13 Juli 2017

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji
Pada Tanggal: 13 Juli 2017

Panitia Penguji Tesis


Ketua : Dr. med. dr. Yahwardiah Siregar
Anggota : 1. dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK (K)
2. Dr. dr. Fazrinur Sjahrani, M.ked (P), SpP(K)
3. dr. Dian Dwi Wahyuni, SpMK

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

PENGARUH VITAMIN C TERHADAP KECEPATAN KONVERSI


KULTUR M. tuberculosis DARI PASIEN TB PARU YANG
SENSITIF TERHADAP RIFAMPICIN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2017

Lasmono Susanto
147008018

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Kegagalan pengobatan penyakit TB lini pertama sangat mempengaruhi


munculnya penyakit TB resisten obat. Secara invitro vitamin C mampu
menginduksi kematian bakteri M. tuberculosis melalui reaksi Fenton dan akan
mempercepat proses penyembuhan penyakit TB, sehingga munculnya penyakit
TB resisten obat dapat dihindari. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan
kecepatan konversi kultur BTA penderita TB sensitif rifampicin yang mendapat
OAT dan penderita TB yang mendapat OAT ditambah suplementasi vitamin C.
Penelitian melibatkan 62 penderita TB dan dibagi menjadi dua kelompok yang
setiap kelompok terdiri dari 83.9% laki-laki dan 16.1% perempuan dengan usia
rata-rata 35.03 ±11.7 dan 36,39 ±13,9. Kadar vitamin C dalam darah diukur
sebelum dan dua bulan setelah pengobatan. Follow up kultur terhadap kedua
kelompok dilakukan setiap minggu selama delapan minggu. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan uji t dengan tingkat kepercayaan 95%. Pada kelompok
kontrol perbadingan kadar vitamin C sebelum dan sesudah pengobatan adalah
228,35µM/L dan 200,29 µM/L (p=0,13). Pada kelompok perlakuan perbandingan
rata-rata kadar vitamin C adalah 201,19 µM/L dan 273,61µM/L (p=0,03).
Perbandingan kecepatan konversi kultur BTA antara kedua kelompok pada
minggu ke-I adalah 0% dan 9,6% (p=0,83), pada minggu II adalah 0% dan 16,1%
(p=0,003). Angka konversi minggu ke VIII pada kelompok kontrol 83,9% dan
kelompok perlakuan adalah 100%. Ini menunjukan bahwa suplementasi vitamin
C dapat meningkatkan kecepatan konversi kultur M. tuberculosis dibandingkan
dengan kelompok yang tidak mendapat suplementasi vitamin C pada dua bulan
masa intensif pengobatan.

Kata Kunci: Tuberculosis, konversi BTA, vitamin C.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Failure treatment of first-line TB disease will be strongly affects the emergence of


drug resistant TB disease. Study invitro showed vitamin C can induce the death of
M. tuberculosis bacteria through Fenton reaction and will accelerate the healing
process of TB disease, so the emergence of drug resistant TB disease can be
avoided. The objectives of this study were to compare the conversion rate of TB
culture of rifampicin-sensitive TB patients receiving OAT and TB patients
receiving OAT plus vitamin C supplementation. The study involved 62 TB
patients and divided into two groups, each group consisting of 83.9% of men and
16.1% women with an average age of 35.03 ± 11.7 and 36.39 ± 13.9. The levels
of vitamin C in the blood are measured before and two months after treatment.
Follow up cultures on both groups were performed weekly for eight weeks. The
data obtained were analyzed using t test with 95% confidence level. In the control
group the levels of vitamin C before and after treatment were 228.35 μM/L and
200.29 μM/L (p=0.13). In the treatment group the mean ratio of vitamin C was
201.19 μM/L and 273,61μM/L (p=0.03). The ratio of AFB culture conversion
rates between the two groups at week I was 0% and 9.6% (p = 0.83), in week II
was 0% and 16.1% (p = 0.003). The conversion rate of week VIII in the 83.9%
control group and the treatment group was 100%. This suggests that vitamin C
supplementation may increase the rate of conversion of M. tuberculosis cultures
compared to groups not receiving vitamin C supplementation at two months of
intensive treatment.

Keyword: Tuberculosis, Convertion AFB, Vitamin C

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang

telahmemberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikanpenelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Pengaruh

Vitamin C Terhadap Kecepatan Konversi Kultur M. Tuberculosis Dari

Pasien TB Paru Yang Sensitif Terhadap Rifampicin”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian

persyaratanakademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu

Biomedik Minat Studi Biokimia Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera

Utara.

Dalam penelitian serta penulisan tesis ini penulis banyak

mendapatbimbingan, arahan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak,

sehingga tesis inidapat diselesaikan. Dengan ketulusan hati, penulis

menyampaikan terima kasih,semoga sehat, bahagia dan selalu dalam Lindungan

Allah SWT:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Aldy Safaruddin Rambe, SpS (K) selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. med. dr. Yahwardiah Siregar selaku ketua Program Studi S2

Biomedik sekaligus selaku Komisi Pembimbing yang dengan sabar dan

tulus telah banyak memberikan perhatian, dukungan dan pengarahan sejak

awal hingga selesainya tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


4. dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK (K) selaku Komisi Pembimbing yang

dengan sabar dan tulus telah banyak memberikan perhatian, dukungan,

pengertian dan pengarahan sejak awal hingga selesainya tesis ini.

5. Dr. dr. Fajrinur Sjahrani, M.Ked (Paru) SpP (K) dan dr Dian Dwi

Wahyuni, SpMK selaku Komisi Penguji yang telah memberi banyak

masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

6. Dr. rer. med. dr. M. Ichwan, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi S2

Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Dosen Program Studi Biomedik terutama Minat Ilmu Biokimia

Program Studi S2 Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, semoga ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama penulis

belajar menjadi amal ibadah dan mendapat Rahmat dari Allah SWT.

8. Direktur RSU Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin

untuk melakukan penelitian di RSU Pusat H. Adam Malik pada Unit Poli

DOTS dan Laboratorium TB MDR.

9. Kepala Instalasi Laboratorium Diagnostik Terpadu RSUP H. Adam Malik

Medan dan dr. R. Lia Kusumawati, MS, SpMK (K) selaku penanggung

jawab Laboratorium TB MDR RSUP H. Adam Malik Medan.

10. Para teman sejawat di Lingkungan unit Laboratorium TB MDR

Laboratorium Diagnostik Terpadu RSUP H. Adam Malik Medan.

11. Rekan-rekan mahasiswa/i di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Biomedik

stambuk 2014 khususnya minat studi ilmu Biokimia.

Universitas Sumatera Utara


Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada ibunda tercinta yang

dengan restunya penulis dapat menempuh tugas belajar, serta kepada istri dan

anak anak terkasih yang banyak memberi pengertian selama masa pendidikan.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan

harapan, semoga tesis ini bermanfaat terutama dalam penanggulangan penyakit

TB di Indonesia dan menjadi dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi

penelitian selanjutnya.

Medan, 2017

Penulis,

Lasmono Susanto
147008018

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Lasmono Susanto, lahir pada tanggal 23 November 1975 di Medan,

beragama Islam, anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Ayahanda

Risman bin Riswan (Alm) dan Ibunda Rusmini, sekarang menetap di Kelurahan

Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar

Subsidi Tri Bakti pada tahun 1982 dan diselesaikan pada tahun 1988, melanjutkan

pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 30 Medan pada tahun 1988 dan

diselesaikan pada tahun 1991, pada tahun 1992 melanjutkan pendidikan pada

Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) Medan dan selesai pada tahun

1995. Pada tahun 1995 sampai 1998 menempuh pendidikan D3 Kimia pada

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.Selanjutnya penulis menyelesaikan

pendidikan Sarjana Sains pada Fakultas Biologi Universitas Medan Area pada

kurun waktu tahun 2008 sampai tahun 2011. Strata Dua (S2) di Program Studi S2

Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan Minat

Studi Ilmu Biokimia tahun 2014 sampai dengan tahun 2017.

Penulis pernah bekerja di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD dr.

Djasamen Saragih di Pematang Siantar pada tahun 2001 sampai tahun 2007. Pada

Universitas Sumatera Utara


tahun 2007 sampai sekarang bekerja di Laboratorium TB MDR Instalasi

Mikrobiologi Klinik RSU Pusat H. Adam Malik Medan.

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................................ i

ABSTRAC .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang ............................................................................. 1


1. 2. Rumusan Masalah ........................................................................ 6
1. 3. Hipotesis ....................................................................................... 6
1. 4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 7
1. 5. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Penyebab Penyakit Tuberculosis .................................................. 8


2. 2. Karakteristik M. Tuberculosis ........................................................ 9
2. 3. Struktur Dinding Sel M. Tuberculosis .......................................... 10
2. 4. Pathogenesis M. Tuberculosis ...................................................... 13
2. 5. Mekanisme Aksi Obat Anti Tuberculosis (OAT) ........................ 19
2. 6. Vitamin C ..................................................................................... 20

Universitas Sumatera Utara


2. 7. Biosintesis Vitamin C ................................................................. 21
2. 8. Transport Vitamin C .................................................................... 23
2. 9. Metabolisme Vitamin C ............................................................... 27
2. 10. Interaksi Vitamin C, Ion Fe Dan Bakteri M. Tuberculosis ........ 27
2. 11. Kerangka Teori ........................................................................... 32
2. 12. Kerangka Konsep ....................................................................... 33

BAB III METODOLOGI

3. 1. Desain Penelitian .......................................................................... 34


3. 2. Tempat Dan Waktu Penelitian ..................................................... 34
3. 3. Populasi Dan Sampel ................................................................... 34
3. 4. Kriteria Inklusi Dan Eksklusi ....................................................... 35
3. 5. Besar Sampel ................................................................................ 35
3. 6. Cara Kerja .................................................................................... 36
3. 7. Identifikasi Variable ..................................................................... 45
3. 8. Rencana Managemen Dan Analisa Data ...................................... 46
3. 9. Defenisi Operasional .................................................................... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil ............................................................................................. 49
4. 2. Pembahasan .................................................................................. 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5. 1. Kesimpulan .................................................................................. 64
5. 2. Saran ............................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 66

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Skema Dinding Sel M.Tuberculosis Yang Terdiri Dari Beberapa

Lapisan Lemak Yang Unik ...................................................................... 11

2. Struktur L-Asam Askorbat ....................................................................... 20

3. Skema Biosintesis Vitamin C Pada Hewan ............................................. 22

4. Skema Biosintesis Vitamin C Pada Tumbuhann ..................................... 22

5. Asam Dehidro Askorbat Sebagai Bentuk Dari Asam Askorbat Yang

Teroksidasi Dan Dapat Tereduksi Kembali Menjadi Asam Askorbat Oleh

Aktivitas Dari Glutations ......................................................................... 24

6. Transport Vitamin C Dari Lumen Kedalam Sel Jaringan ........................ 25

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

Halaman

1. Lembar Penjelasan ................................................................................. 84

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden .......................................... 86

3. Hasil Analisa Statistik Penelitian .......................................................... 88

4. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ......................................................... 97

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan jenis penyakit infeksi yang telah

menginfeksi hampir 9,6 juta penduduk dunia dan mengakibatkan 1,5 juta jiwa

meninggal dunia. Di Indonesia angka kejadian penyakit TB pada tahun 2014

adalah sekitar satu juta jiwa, dengan angka kematian sekitar 100 ribu jiwa/254 juta

jiwa (WHO, 2015). Angka kematian akibat penyakit TB ini semakin meningkat

bila dibandingkan dengan angka kematian akibat penyakit TB pada tahun 2013

yaitu sebesar 64 ribu jiwa/250 juta jiwa (WHO, 2014a).

Tantangan dalam hal pencegahan, diagnosa dan pengobatan penyakit TB

menjadi lebih kompleks karena adanya faktor-faktor yang mempengaruhi

penyebaran penyakit TB.Faktor sosial ekonomi pada beberapa kelompok

masyarakat, serta persepsi yang salah terhadap manfaat dari imunisasi BCG masih

merupakan tantangan dalam hal pencegahan penyakit TB (Depkes, 2011).

Terhambatnya akses masyarakat terhadap pelayanan penyakit TB, kurangnya

penemuan kasus baru penyakit TB serta diagnosa penyakit TB yang tidak standar

merupakan tantangan yang masih dihadapi dalam hal diagnosa penyakit TB.

Metode diagnosa penyakit TB yang paling sederhana adalah metode

mikroskopis yaitu menemukan bakteri M. tuberculosis didalam sampel secara

mikroskopis.Kelemahan metode ini adalah kurang sensitif dan tidak bisa

diperoleh informasi mengenai sifat resistensi terhadap obat anti tuberkulosis

(OAT). Metode yang lebih baik dari metode mikroskopis adalah metode kultur

Universitas Sumatera Utara


karena lebih sensitif dan dapat dibedakan antara kelompok bakteri M. tuberculosis

complexatau kelompokMycobacterium Other Then Tuberculosis (MOTT), serta

dapat diperoleh informasi mengenai sifat resistensi terhadap OAT (CDC,

2013.b).Metode yang terbaru adalah metode Polymerase Chain Reaction(PCR)

yang dikenal dengan Tes Cepat Molekuler (TCM). Metode ini lebih sensitif bila

dibandingkan dengan metode kultur serta waktu pengerjaan yang lebih singkat

serta hasil pemeriksaan akan dapat memberikan informasi tentang sifat resistensi

bakteri M. tuberculosis terhadap obat Rifampicin (Hillemann et al, 2011).

Tantangan dalam hal pengobatan penyakit TB juga semakin meningkat

dengan munculnya fakta tentang resistensi terhadap OAT setelah ditemukannya

galur bakteri M. tuberculosisyang kebal terhadap dua jenis OAT lini pertama

yaitu obat Rifampicin dan Isoniazid yang diistilahkan dengan TB Resisten Obat

(TB-RO). Galur TB-ROmuncul karena kegagalan pengobatan TB dengan OAT

lini pertama, hal ini disebabkan oleh tatalaksana pasien TB dan panduan OAT

yang tidak memenuhi standar serta rendahnya adherensi pasien TB (WHO,

2014a).

Tujuan utama dalam program penanggulangan penyakit TB adalah

menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit TB melalui

usaha memutus mata rantai penularan serta mencegah terjadinya kasus TB-RO

(Depkes, 2011). Pencegahan terjadinya kasus TB-RO masih menjadi prioritas

utama dalam pengendalian penyakit TB karena efek samping pengobatan TB-RO

lebih besar bila dibandingkan dengan pengobatan TB yang belum resisten obat

serta sangat berpengaruh pada tingkat adherensi pasien TB-RO sehingga tingkat

kesembuhannya juga akan menurun (Shin et al, 2007; Nathanson et al, 2004).

Universitas Sumatera Utara


Kegagalan pengobatan pada pasien TB paru menimbulkan bahaya besar

bagi upaya menyeluruh dalam pengendalian penyakit TB. Menurut penelitian oleh

Jibrin et al, (2013) di Nigeria, tingkat kegagalan pengobatan penyakit TB adalah

sebanyak 22,6% di antara pasien TB yang diobati,sedangkan temuan Dooley et al,

(2011) di Maroko 25% pasien mengalami kegagalan dalam pengobatan penyakit

TB. Temuan oleh Brust et al, (2010) angka kegagalan pengobatan penyakit TB di

Afrika Selatan adalah sebesar 21%. Angka kegagalan sembuh pada pengobatan

penyakit TB di Indonesia sebesar 26% dan Sumatera Utara menyumbang angka

kegagalan pengobatan penyakit TB adalah sebesar 27% (DEPKES, 2015). Upaya

yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) untuk pengendalian

penyakit TB, adalah dengan strategi pengobatan jangka pendek dengan

pengawasan langsung (Directly Observed Treatment Short/DOTS). Strategi ini

merekomendasikan penggunaan kemoterapi jangka pendek dan memastikan

kepatuhan minum obat melalui pengawasan langsung oleh petugas Pengawas

Minum Obat (PMO) untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien TB (Moonan

et al, 2011).

Strategi DOTS yang diterapkan dalam pengobatan pasien TB yang masih

sensitif terhadap obat Rifampicin memerlukan waktu pengobatan selama enam

bulan dengan masa pengobatan intensif selama dua bulan pertama setelah tegak

diagnosa TB positif (WHO, 2003). Masa intensif ini akan sangat mempengaruhi

tingkat kesembuhan penyakit TB di masa pengobatan lanjutan (Horne et al, 2010).

Pengobatan selama enam bulan ini juga akan mempengaruhi tingkat adherensi

pasien TB sehingga dapat menyebabkan kegagalan kesembuhan penyakit TB

(Dooley et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Rifampicin dan Isoniazid merupakan OAT utama lini pertama yang

mempunyai efek samping jangka panjang, misalnya peningkatan kerusakan hati

(Awondele et al, 2010) serta peningkatan oksidative stress (Alli et al, 2014; Hasmi

et al, 2012). Kadar Malondialdehyde (MDA) juga meningkat pada pasien TB dan

terjadi penurunan kadar total status antioksidan (Pawar et al, 2011). Aktivitas

enzim antioksidan misalnya enzim catalase (CAT), superoxide dismutase (SOD),

glutathione S-transferase(GST) danglutathione Peroxidase(GPx) juga menurun

pada pasien dengan smear BTA positif dan pasien dengan rifampicin resisten (Alli

et al, 2014).

Vitamin C (asam askorbat) merupakan senyawa yang berfungsi sebagai

senyawa pereduksi dan bersifat antioksidan. Vitamin C juga berfungsi sebagai co-

factor pada beberapa reaksi biokimia monooxygenase yang dikatalisa oleh ion

Cu+ dan reaksi dioxygenase yang dikatalisa oleh ion Fe2+ (Hacisevki, 2009).

Vitamin C dalam dosis rendah terbukti mampu melindungi sel hati mencit dari

kerusakan akibat dari penggunaan obat Isoniazid (INH) (Ergul et al, 2010).

Kombinasi vitamin C dan vitamin E juga terbukti mampu melindungi DNA dari

kerusakan yang diakibatkan oleh efek samping dari obat Rifampicin (Awodele et

al, 2010). Vitamin C juga berfungsi sebagai regulator pada transduksi sinyal

reaksi redoks dari sitoxin sehingga dapat mengendalikan respon peradangan

(Ca´rcamo et al, 2002).

Selain bersifat sebagai antioksidan, vitamin C juga mempunyai

kemampuan sebagai anti bakteri.Efek vitamin C secara farmakologis juga terbukti

dapat berperan dalam perbaikan penyakit kanker dan penyakit infeksi (Levine et

al, 2011). Vitamin C yang diberikan dalam dosis tunggal atau dikombinasikan

Universitas Sumatera Utara


dengan antibiotik azithromycin terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri

Bacillus cereus. (Biswas et al, 2013).Kombinasi antara vitamin C dengan

beberapa antibiotik juga efektif terhadap bakteri Pseudomonas auruginosa yang

multiresisten (Cursino et al, 2005). Kombinasi pengobatan Ampisilin dengan

vitamin C terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

dan Escherechia colli (Khrisnan, 2013). Perlambatan pertumbuhan dan

munculnya dormancy phenotype bakteri M.tuberculosis juga bisa dipicu oleh

vitamin C (Taneja et al, 2010). Vitamin C juga mampu menghambat degradasi

protein hyaluronat oleh enzim hyaluronat lyase yang disekresikan oleh bakteri S.

pneumonia sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya pneumonia, bakterimia,

meningitis, sinusitis dan otitis (Li et al, 2001).

Penelitian oleh Nikita et al, (2015) yang menguji pengaruh vitamin C

terhadap isolat M. tuberculosis yang sensitif dan yang resisten terhadap OAT lini

pertama menunjukan bahwa vitamin C dapat menghambat pertumbuhan bakteri

M. tuberculosis pada media padat Lowenstein Jensen. Temuan olehVilcheze et

al,(2013) yang dilakukan secara in-vitro menunjukan bahwa vitamin C dapat

membantu proses bakterisida M. tuberculosis sehingga diharapkan akan dapat

mempercepat proses penyembuhan pasien TB. Proses bakterisida oleh vitamin C

terhadap bakteri M. tuberculosis terjadi melalui mekanisme reaksi berantai yang

akan menghasilkan senyawa hidroksil reaktif, senyawa superoxide serta hydrogen

peroksida yang terbentuk dari hasil kombinasi reaksi Haber-Weiss dan reaksi

Fenton dimana pembentukan radikal bebas yang diinduksi oleh vitamin C ini

sangat bergantung pada ion Fe(Haber dan Weiss, 1934; Koppenol, 2001).Radikal

bebas yang terbentuk akan menyebabkan perubahan susunan phospolifid,

Universitas Sumatera Utara


gangguan membran, ketidakseimbangan reaksi Redoks, deplesi NADPH, serta

kerusakan DNA (Fotti et al, 2012).Radikalbebas ini juga akan mengaktifkan

komponen sistem respon stress dari bakteri (Kohanski et al, 2008).

Mekanisme pembentukan radikal bebas didalam sel bakteri dimulai pada

saat vitamin C masuk ke dalam sel bakteri M. tuberculosis melalui chanel Porin,

yaitu fasilitas difusi yang tidak memerlukan energi pada dinding sel bakteri M.

tuberculosis (Kartmann et al, 1999). Selanjutnya akan terjadi reaksi reduksiion

Ferri (Fe3+ ) menjadi ion Ferro (Fe2+) didalam sel bakteri yang diperoleh bakteri

dari molekul heme dari host (Jones and Niederweis, 2011). Ion Fe2+ akan bereaksi

dengan O2 sehingga akan dihasilkan senyawa radikal bebas (ROS) berupa

Superoksida (O-), Hidrogen peroksida dan senyawa Hidroksil (OH-). Senyawa

ROS ini akan dapat menyebabkan kerusakan pada DNA bakteri, perubahan

struktur lipid serta keseimbangan reaksi Redoks dari sel bakteri (Vilcheze et al,

2013).

1.2.Rumusan Masalah

Bila secara in vitro vitamin C mampu bersifat bakterisida terhadap bakteri

M. tuberculosis, pertanyaan penelitian ini adalah apakah secara in vivo vitamin

Cberdampak bakterisida terhadap M. tuberculosis sehingga mampu mempercepat

proses konversi kultur BTA negatif pada pasien TB yang sensitif terhadap

Rifampicin?

1.3.Hipotesis

Vitamin C berdampak pada kecepatan konversi kultur BTA negatif lebih

cepat pada kelompok terapi OAT + vitamin C dibanding dengan kelompok terapi

OAT saja.

Universitas Sumatera Utara


1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh suplementasi vitamin C terhadap kecepatan

konversi MTB Positif/RIF Sensitif menjadi Kultur BTA negatif antara kelompok

terapi OAT (kontrol) dengan kelompok terapi OAT + vitamin C (perlakuan).

Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian di poli DOTS RSU Pusat

H.Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui kadar vitamin C dalam darah pasien TB sebelum dan

setelah 8 minggu pengobatan pada kelompok kontrol.

3. Untuk mengetahui kadar vitamin C dalam darah pasien TB sebelum dan

setelah 8 minggu pengobatan pada kelompok perlakuan.

4. Membandingkan kadar vitamin C pada kedua kelompok sebelum dan sesudah

pengobatan

5. Untuk mengetahui kecepatan konversi kultur M. tuberculosis negatif pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

6. Untuk mengetahui persentase konversi kultur M. tuberculosis negatif pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada akhir masa intensif

pengobatan.

1.5.Manfaat Penelitian

1. Memberi informasi tentang manfaat suplementasi vitamin C pada pasien TB

yang mendapat terapi OAT dalam hal kecepatan penyembuhan pasien TB.

2. Sebagai tambahan kajian pustaka dalam penanggulangan penyakit TB paru.

3. Sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan baru dalam tatalaksana

pengobatan penyakit TB.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyebab Penyakit Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis (TB) pada manusia disebabkan oleh infeksi bakteri

golongan Mycobacterium tuberculosis complex (Van Crevel et al,

2003).Kelompok Mycobacterium tuberculosis complex adalah Mycobacterium

yang dapat menimbulkan gejala patologis terhadap manusia.Mycobacterium

tuberculosis complex (Mtb complex) meliputi spesiesM. tuberculosis serta enam

spesies lain yang terkait erat, yaitu : M. bovis, M. africanum, M. microti, M.

pinnipedii, M. caprae, dan M. Canetti (Stead et al, 1995).Walaupun semua

anggota M. tuberculosis complex adalah bersifat patogen obligat dan penyebab

penyakit TB, mereka menunjukkan sifat fenotipik yang berbeda beda dan

menunjukan respon yang berbeda pada host yg berbeda (Cole et al, 1998).

Bakteri M. tuberculosis sebagian besar menyebabkan penyakit pada organ

paru manusia, namun bakteri ini juga dapat menyebabkan penyakit pada organ

lain dan disebut dengan tuberkulosis extraparu. Bakteri M.tuberculosis dapat

menyerang kelenjar lymp, pleura, pericardium, saluran cerna, saluran genital,

tulang dan sendi serta sistem syaraf pusat (Golden dan Vikram,

2005).Mycobacterium bovis adalah jenis spesies yang menimbulkan penyakit pada

ternak dan manusia. Strain Mycobacterium bovis lebih dikenal sebagai Bacille de

Calmette et Guerin dan digunakan sebagai bahan untuk pembuatan vaksin TB

(WHO, 2004). Mycobacterium africanum menimbulkan penyakit pada manusia

terutama menyebabkan penyakit TB di negara-negara Afrika Barat. Gejala yang

Universitas Sumatera Utara


ditimbulkan oleh Mycobacterium africanum hampir sama dengan bakteri M.

tuberculosis namun dengan patogenitas yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan Mycobacterium bovis (Gengenbacher dan Kaufmann, 2012).

Mycobacterium canettiadalah strain langka dari kelompok M. tuberculosis

complex yang berhasil diisolasi dari pasien TB di daerah Afrika (Pfyffer et al,

1998). Mycobacterium microti terutama menyebabkan penyakit pada serangga

kecil, pada mammalia termasuk manusia walau dalam kasus yang sangat kecil

(Emmanuel et al, 2007) Mycobacterium caprae menginfeksi manusia dan hewan

terutama domba (Rodgriguez et al, 2011).Mycobacterium pinnipedii terutama

menginfeksi mammalia laut, misalnya anjing laut (Kiers et al, 2008).

2.2. Karakteristik M. tuberculosis

Secara mikroskopis bakteri M. tuberculosis berbentuk batang lurus atau

bengkok, berwarna merah bila diwarnai dengan jenis pewarnaan tahan asam,

bersifat lebih tahan terhadap asam/basa dibandingkan dengan bakteri lain,

memerlukan oksigen dalam pertumbuhannya, namun bisa bersifat fakultatif

anaerob dan tidak membentuk atau menghasilkan spora.

Bakteri M. tuberculosis tidak mempunyai alat untuk pergerakan sehingga

bersifat non motil (Pfyffer, 2007).Bila diwarnai dengan pewarnaan Gram,

kelompok bakteri Mycobacterium agak sulit dibedakan antara gram positif dan

gram negatif karena struktur dinding sel bakteri ini tidak memberikan reaksi kimia

yang spesifik terhadap pewarnaan gram, kadang dapat berwarna merah lemah

namun kadang bisa tidak berwarna sama sekali (Trifiro et al, 1990). Lapisan pada

dinding sel juga menampilkan karakteristik yang berbeda dengan kelompok

bakteri yang lain. Keunikan genus Mycobacterium karena lapisan pada dinding sel

Universitas Sumatera Utara


M. tuberculosis adalah tahan terhadap pencucian dengan asam kuat, bersifat

sangat hidrofobik, tahan terhadap proses pengeringan, tahan terhadap sifat

asam/basa, dan tahan terhadap banyak antibiotik, serta mempunyai kemampuan

imunostimulan (Zuber et al, 2008).

Bakteri M. tuberculosis adalah anggota dari genus Mycobacterium yang

patogen dengan laju pertumbuhan yang sangat lambat, waktu pertumbuhan pada

kultur dengan media padat ditandai dengan tingkat pembelahan 12 hingga 24 jam

sehingga memerlukan periode kultur hingga 21 hari untuk dapat menampilkan

bentuk dari koloni. Secara in vitro pertumbuhan M. tuberculosis pada media padat

membentuk koloni yang berukuran kecil, permukaan kasar dan berwarna putih

sampai kuning lemah (Lemassu et al, 1992). Mekanisme pertumbuhan bakteri M.

tuberculosis yang tumbuh begitu lambat belum diketahui dengan baik, namun

dugaan yang paling logis adalah proses penyerapan nutrisi melalui dinding sel

yang lambat karena sifat permeabilitas dinding sel yang kedap air sehingga

memperlambat sintesis RNA (Harshey dan Ramakhrisnan, 1977). Secara umum

kelompok bakteri M. tuberculosis complex melakukan metabolisme secara

aerobik, namun dapat berubah menjadi fakultatif anaerob pada saat melakukan

metabolisme lemak. Perkembangan bakteri M. tuberculosis complex terjadi

didalam sel-sel makrofag dan sel monosit (Bloch dan Segal, 1956).

2.3. Struktur Dinding Sel M. tuberculosis

Permukaan luar bakteri M. tuberculosisbersifat hidrofobik yang ekstrim

karena mengandung lipid dan glikolipid yang khas. Lipid ini meliputi asam

mikolik (Mycolic Acid), mannosides fosfatidil inositol, phthiocerol

dimycocerosate dan lipoglycans seperti lipomannan dan lipoarabinomannan yang

Universitas Sumatera Utara


berperan penting dalam menjaga integritas membran sel (Draper, 1998). Bakteri

M. tuberculosis memiliki kandungan asam mikolik yang sangat khas pada struktur

dinding sel yang berperan pada struktur dan fungsi dinding sel bakteri M.

tuberculosis. Komposisi asam mikolik ini juga mempengaruhi virulensi dan sifat

resistensi terhadap antibiotik(Carel et al, 2014).

Gambar 1. Skema dinding sel Mycobacterium yang terdiri dari


beberapa lapisan lemak (wax) yang unik.
(sumber: Rajni et al, 2011)

Struktur dinding sel M. tuberculosis terdiri dari tiga kompartemen yaitu

membran plasma, komplek-mAGP serta membran bagian luar. Membran bagian

luar terdiri dari lemak bebas, yang dilengkapi dengan asam lemak alfa rantai

pendek(Brenan, 2003) dan protein termasuk porin (pore forming protein) (Arora

et al, 2011; Danilchanka et al, 2008). Inti dari dinding sel diistilahkan dengan

komplek mAGP (mycolyl-arabinogalactan-peptidoglikan), merupakan matriks

yang tidak larut dari peptidoglikan (PG) yang terikat secara menyilang dengan

arabinogalactans (AG), dan diesterifikasi pada bagian ujung distal dari asam

mikolik, dan disatukan melalui ikatan secara non-kovalen pada senyawa glycans,

Universitas Sumatera Utara


lipid dan protein (Alsteens et al, 2008). Komponen utama penyusun membran

plasma bakteri M. tuberculosis adalah phospholipid berupa Cardiolipin (CL),

Phosphatidylethanolamine (PE), Phosphatidylinositol (PI),Phosphatidyl Inositol

Mannosides (PIM), Lipomannans (LM) dan lipoarabinomannans (LAM) (Crellin,

2013).

Cardiolipin merupakan phospholipid yang secara umum ditemukan pada

membran dari semua jenis prokariot dan eukariot yang mengangkut beberapa

elektron dan terlibat pada proses fosforilasi. Peran yang diusulkan dari CL di

membran ini terutama meliputi dua aspek, yaitu efek pada struktur dan dinamika

komponen lipid membran serta interaksi dengan protein yang berhubungan

dengan membran (Poyry et al, 2009). Meskipun dasar molekuler untuk

pengamatan ini belum diketahui secara jelas, CL yang dilepaskan dari M. bovis

bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang berada di phagosom host dan dikonversi ke

bentuk lyso-CL oleh fosfolipase A2 host (Fischer et al, 2001) dan hal ini

membuktikan bahwa lyso-CL dapat mempengaruhi respon imun selama proses

infeksi (Crellin, 2013).

Phosphatidylethanolamine (PE) merupakan jenis phospogliserol terbesar

yang ditemukan pada semua jenis bakteri termasuk Mycobacyterium (Nishibori et

al, 2005; Jackson et al, 2000). Fungsi PE masih menjadi misteri pada tingkat

molekul, tapi dugaan terkuat adalah memainkan peran penting sebagai komponen

dari membran plasma. Phosphatidylinositol (PI) adalah kelas penting dari

fosfolipid dan dimodifikasi oleh glikosilasi secara luas menghasilkan lipoglycans

yang disebut Phosphatidyl Inositol Mannosides (PIM), Lipomannan dan

lipoarabinomannans (LAM) yang diduga melakukan peran tambahan dalam

Universitas Sumatera Utara


memodulasi respon imun hostmelalui efek pada makrofag termasuk produksi

sitokin, penghambatan pematangan phagosom dan apoptosis (Pitarque et al,

2008).

2.4. Pathogenesis M. tuberculosis

Penyakit TB ditularkan melalui droplet yang dilepaskan pada saat seorang

penderita TB aktif mengalami batuk atau bersin. Setiap droplet yang dilepaskan

oleh seorang penderita TB dengan ukuran diameter kira kira 1-5 mikron berisi sel

bakteri M. tuberculosis (CDC, 2013a). Jumlah sel bakteri M. tuberculosis yang

dibutuhkan untuk dapat menginfeksi dan menimbulkan gejala penyakit TB adalah

antara 1-200 sel M. tuberculosis (CDC, 2016). Akan tetapi faktor penularan ini

juga dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen.

Faktor eksogen meliputi jumlah sel bakteri M. tuberculosis yang terdapat

didalam sputum penderita TB yang dilepaskan dalam bentuk droplet pada saat

bersin atau batuk, selain itu intensitas kontak seseorang dengan penderita TB juga

sangat mempengaruhi tingkat penularan. Faktor-faktor endogen yang sangat

berperan dalam kejadian penyakit TB antara lain, infeksi HIV (Human

Imunodefesiensi Virus), status gizi, usia, merokok, peminum alkohol dan gaya

hidup yang buruk, penderita Diabetes Millitus (DM), serta penggunaan obat-obat

imunosufresif (Narasimhan et al, 2013).

Bakteri M. tuberculosis yang berada didalam droplet nuklei terbawa

bersama udara melalui saluran pernafasan menuju alveoli, dan akan dikenali oleh

makrofag sebagai antigen patogen sehingga menginisiasi makrofag untuk

mempagosit bakteri M. tuberculosis (Ernst, 1998). Bakteri M. tuberculosisakan

dikenali oleh reseptor hosttermasuk TLR (Toll-like reseptor) (Means et al, 1999),

Universitas Sumatera Utara


NOD (nucleotida-binding oligomerizations Domain) (Franchi et al, 2006), NLRs

(Like-Receptor), dan Lektin type C. Lektin type-C termasuk reseptor mannose

(CD207), molekul adhesi sel dendritik spesifik non-integrin (DC-SIGN) dan

Dectin-1 (Harding dan Boom, 2010).

Lektin tipe C mengandung suatu domain yang disebut Carbohydrate

Recognitions Domain(CRDs) yang mengikat struktur karbohidrat yang

bergantung pada ion kalsium (Ca2+). Ion Ca2+ terlibat secara langsung dalam

mengikat kedua ligan serta menjaga integritas struktural dari CRDs yang

diperlukan untuk kegiatan lectin (Drickamer, 1999). C-jenis CRDS membentuk

subfamili dari kelompok protein domain yang lebih besar yang disebut C Type

Lectin-like Domains (CTLDs).Beberapa CTLDs mengikat gugus protein atau

gugus lipid bukan karbohidrat (Zelensky dan Grady, 2005).

TLR memainkan peran yang sangat penting terhadap infeksi bakteri M.

tuberculosis, baik itu pada sistem imunitas bawaan maupun pada sistem imunitas

adaptif. TLR bekerja dengan cara mengenali struktur molekul yang spesifik atau

berbeda pada setiap agen infeksi (Iwasaki dan Medzhitov, 2004; Tipping, 2006).

Bakteri M. tuberculosis serta golongan Mycobacterialainnya mengandung ligan

TLR yang sangat ampuh dalam merangsang pembentukan sitokin proinflamasi,

termasuk TNF dan IL-12 (Feng et al, 2003).

TLR2 akan teraktivasi oleh komponen LAM dari dinding sel

Mycobacterium typeRapid Grower (tumbuh cepat), sedangkan TLR4 tidak

teraktivasi oleh komponen LAM dari dinding bakteri M. tuberculosis (Means et

al, 1999). TLR9 diketahui berada di endosom serta phagolysosom, TLR9 ini bisa

dipicu oleh adanya DNA dari Mycobacteria setelah terjadi proses pagositosis oleh

Universitas Sumatera Utara


makrofag (Ahmad-Nejad et al, 2002), sehingga TLR9 menjadi reseptor yang

penting pada pengenalan pola sistem perlawanan host terhadap infeksi bakteri M.

tuberculosis. Pengendalian sistem imunitas oleh adanya infeksi M tuberculosis

sangat tergantung pada sel T CD4 Th1 serta produksi sitokin TNF, IFN, dan IL-12

(Caruso et al, 1999).IL12 diproduksi sebagian besar oleh sel-sel APC seperti sel

dendritik dan makrofag, yang berfungsi dalam merespon infeksi oleh M.

tuberculosis yang didorong dan diatur oleh Th1 dan dimediasi oleh respon IFN-γ

yang dihasilkan oleh sel T CD8 efektor.(Cooper et al, 1995; Bold dan Ernst,

2012).

Proses pagositosis M. tuberculosis oleh makrofag akan menyebabkan

terjadinya rangsangan pelepasan sitokin proinflamasi, misalnya TNF-α, IL-1β,

IL-6 dan IL-12 oleh karena terbentuknya ligase TLR2 dan TLR4 (Biedermann et

al, 2001; Means et al, 1999).Aktivitas makrofag ini distimulasi oleh ligasi antara

TLRs (toll like receptor signaling) dan reseptor pengenal molekul (pattern

recognition receptors(PRRs) yang menginisiasi sinyal kaskade intraseluler yang

akan menghasilkan sitokin proinflamasi dan kemokin, yang akan mengendalikan

pembentukan leukosit dan migrasi leukosit ke lokasi infeksi (Carvalho et al, 2011;

Martinez et al, 2013). Aktivitas TLR yang menginduksi sinyal proinflamasi ini

akan dibatasi untuk menghindari risiko produksi sitokin proinplamasi secara

berlebihan yang dapat merusak jaringan host. Kelompok reseptor tirosin kinase

disebut Tyro3 / Axl / Mer (TAM) akan memberikan mekanisme umpan balik

negatif untuk TLR (Rothlin et al, 2007).

Proses pagositosis bakteri M. tuberculosisoleh makrofag melalui reseptor

mannose berhubungan dengan respon anti-inflamasi karena komponen ManLAM

Universitas Sumatera Utara


dari dinding bakteri M. tuberculosis akan menghambat reseptor Manosse yang

bergantung pada produksi IL-12. Penghambatan respon makrofag terhadap M.

tuberculosis akan mengakibatkan terjadinya infeksi dan selanjutnya meningkatkan

kelangsungan hidup M. tuberculosis di dalam makrofag. Komponen ManLAM

yang dimiliki bakteri M. tuberkulosis akan berdampak pada penghambatan proses

pematangan fagolisosom dengan membatasi fusi phagosomelysosome (Nigou et

al, 2001; Kang et al, 2005)

Neutrofil dan monosit yang pertama tiba akan mempagosit bakteri dan

selanjutnya akan melepaskan sitokin dan kemokin dalam jumlah yang besar, dan

mulai mengatur pembentukan granuloma awal. Neutrofil dan makrofag akan

dirangsang secara autokrin dan parakrin oleh TNF-αsehingga akan merangsang

terjadinya apoptosis serta menghasilkan Reaktif Oksigen Intermediated(ROI) atau

Reaktif Nitrogen Intermediated (RNI), senyawa ini akan mengakibatkan

hancurnya beberapa bakteri M. tuberculosis yang dipagosit (Gan et al, 2005).

TNF-α juga merupakan sitokin penting yang mempunyai peran dalam proses

perkembangan penyakit TB, regulasi demam serta pengaturan pembentukan

granuloma TB (Flynn et al, 1995). Peran TNF-α ini sangat bergantung pada

kemokin yang dihasilkan karena peran TNF-α ini adalah bagian dari aktivitas

perekrutan leukosit itu sendiri (Algood et al, 2004).

TNF-α, IL-6 merupakan produk hasil rangsangan IL-1β terhadap

makrofag yang dilaksanakan secara autokrin maupun secara parakrin. IL-1 juga

berfungsi me-upregulasi ekspresi sel T dari IL-2 dan reseptornya sehingga

merangsang proliferasi sel T (Toossi et al, 1990).Bersama dengan TNF-αIL-1β

juga berperan penting dalam pembentukan granuloma dan berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara


aktivitas penyakit dan demam pada infeksi pasien.(Fantuzzi dan Dinarello, 1996:

Wen et al, 2010).

Sel-sel Dendritic (DC) adalah stimulator sel-sel lymfosit B dan T. Sel B

sebagai prekursor dari sel yang melepaskan antibodi, langsung dapat mengenali

antigen asli melalui reseptor sel B(Lim et al, 2011). Hal ini berbeda dengan

limfosit T yang memerlukan antigen yang harus diproses dan disajikan oleh APC

bersama dengan protein pengikat peptida yang dikenal dengan Major

Histocompatability Complex(MHC) (Sornase et al, 1992).Protein pengikat

peptida terdiri dari dua jenis, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas II. MHC kelas 1

berikatan dengan reseptor yang ada pada sel T CD8+ yang dipengaruhi oleh

pematangan sel T dan glikosilasi (Daniels et al, 2001). MHC class II merangsang

reseptor yang ada pada permukaan sel lymposit T CD4+ (Alan et al, 2006).

Antigen yang berada intraseluler dari APC dipotong menjadi peptida di dalam

sitosol dari APC, dan akan terikat dengan molekul MHC kelas I (Brossart dan

Brevan, 1997). Reseptor antigen dari sel lymposit T CD8+ akan mengenali

fragmen antigen yang terikat dengan molekul kompleks histokompatibilitas utama

(MHC) class I pada permukaan APC antigen intraseluler, dan sekali diaktifkan,

dapat langsung membunuh sel target (Skov et al, 1997).

Antigen ekstraseluler yang telah memasuki jalur endocytic dari APC

diproses dan umumnya disajikan bersama molekul MHC class II akan dikenali

oleh sel T CD4+ sehingga akan berdiferensiasi menjadi sel T-helper CD4+ (TH1)

dan sel T-inflamantory CD4+ (TH2). TH1 dan TH2 ini disebut dengan sel T

efektor yang memiliki kemampuan untuk mengenali antigen yang dipresentasikan

oleh sel sel APC terutama sel-sel dendritik (Ferber et al, 1995).

Universitas Sumatera Utara


Sel dendritik yang mempagosit M. tuberculosisakan menampilkan

pragmen peptide yang berikatan dengan MHC kelas I kemudian bermigrasi ke

kelenjar getah bening untuk menampilkan antigen bakteri M. tuberculosis kepada

limfosit (Ferrari et al, 1999). Pada akhirnya akan terbentuk granuloma yang

ditandai dengan sel makrofag yang terinfeksi, dikelilingi oleh epitel makrofag, sel

busa serta terbentuknya sel sel besar dengan beberapa inti dari type sel Langhans

dengan limfosit yang berasal dari perifer dan kapsul fibrosa. Semakin lama

granuloma akan mengalami nekrosis yang diakibatkan oleh kadar protein dan

lipid yang tinggi sebagai akibat kematian sel makrofag (Seiler et al, 2003).

Granuloma ini dipengaruhi oleh reaksi hypersensitivitas tipe lambat sehingga akan

merespon antigen secara terus menerus dan lipid imunosimultan sehingga bakteri

M. tuberculosis dapat terus bertahan hidup di intrasel dan ekstrasel makrofag

yang ada pada granuloma (McCune et al, 1966).

Natural Killer Cell (NKC) pertama kali diidentifikasi karena oleh sifat

sitotoksiknya melawan tumor dan sel-sel yang terinfeksi oleh virus, namun

penelitian terbaru menunjukan banyak NKC merupakan mediator penting dari

sistem imun bawaan untuk berbagai mikroorganisme pathogen, termasuk bakteri

intraseluler seperti M. tuberculosis (Culley, 2009; Horowitz et al, 2012). NKC

merupakan komponen penting dari sistem imun bawaan dengan kemampuan

untuk mengekspresikan fungsi imunologi termasuk penghancuran sel target,

produksi sitokin dan pengaturan fungsi sel lain(Elliott dan Yokoyama, 2011).

NKC juga akan mengeliminasi M. tuberculosis dan aktifasi NKC ini akan

menghasilkan pelepasan INF-γ, IL-15 dan IL-18, senyawa ini mempunyai fungsi

yang sangat kritis dalam pengaturan sel T CD-8 selama proses infeksi M.

tuberculosis (Vankayalapati et al, 2004).

Universitas Sumatera Utara


2.5. Mekanisme Aksi Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Pengobatan pada penyakit TB yang masih sensitif terhadap rifampicin

menggunakan kombinasi OAT lini pertama yang bersifat bakterisida dan

bakteristatik. Tujuan penggunaan kombinasi OAT ini adalah membuat konversi

sputum BTA positif menjadi negatif dalam waktu yang singkat (WHO, 2009).

Mekanisme umum dari OAT adalah menginduksi kematian sel bakteri M.

tuberculosis melalui interaksi antara OAT dan target obat.

Isoniazid bekerja dengan cara membentuk ikatan dengan enzim katalase

peroksidase dari bakteri M. tuberculosis sehingga menghambat kerja enzim enoyl

reduktase. Terganggunya aktivitas enzim enoyl reduktase ini akan menyebabkan

gangguan pembentukan asam mikolik yang dapat menginduksi kematian sel

(Bardou et al, 1998). Kerja dari obat Ethambutol adalah menghambat aktivitas

enzim arabinosil transperase yang berperan dalam pembentukan komponen

arabinogalactan sehingga akan mengganggu struktur dinding sel (Mikusova et al,

1995). Aktivitas Streptomycin adalah dengan menghambat sintesis protein.

Streptomycin akan menempati active site dari ribosom bakteri pada sub unit 30S

sehingga akan terjadi kegagalan pembentukan protein yang berkaitan dengan

metabolisme dan pembentukan dinding sel (Luzzatto et al, 1968).

Rifampicin menginduksi kematian sel bakteri M. tuberculosis melalui

penghambatan sintesis RNA yang akan menimbulkan efek pada kerusakan

dinding sel. Rifampicin menghambat proses transkripsi dengan membentuk ikatan

yang kuat dengan sub unit β yang dikode oleh gen rpoB dari DNA bakteri M.

tuberculosis (Campbell et al, 2001). Interaksi rifampicin dan target obat akan

menstimulasi reaksi oksidasi NADH pada rantai transport elektron. Aktivasi ini

akan menghasilkan pembentukan superokside (O2-) yang akan merusak ikatan Fe

Universitas Sumatera Utara


dan Sulfida. Ion Fe yang dihasilkan ini akan memicu terjadinya reaksi Fenton

(Kohanski et al, 2010). Melalui reaksi Fenton ini akan dihasilkan radikal

Hidroksil (OH•) yang dapat menginduksi kematian sel (Kohanski et al, 2007).

2.6. Vitamin C

Vitamin merupakan senyawa organik yang terkandung di dalam bahan

makanan dalam jumlah yang sedikit, namun sangat dibutuhkan untuk fungsi

metabolisme yang normal didalam tubuh manusia. Berdasarkan sifat

kelarutannya, vitamin terbagi menjadi dua kelompok, yaitu vitamin yang larut

dalam air yaitu vitamin B dan vitamin C serta vitamin yang larut dalam lemak

yaitu vitamin A, D, E dan K (WHO, 1998).

Vitamin C adalah suatu senyawa ber-karbon 6 (heksosa) yang dapat larut

dalam air. Pada mammalia kecuali manusia vitamin C disintesis di hepar dari

senyawa D-glukosa, sedangkan pada pada burung dan reptile vitamin C disintesa

di ginjal (Chatterje et al, 1975).Pada kelompok tumbuhan vitamin C disintesis

melalui jalur D-galaktosa (Wheeler et al, 1998).Manusia tidak dapat menghasilkan

vitamin C dalam tubuh sendiri karena manusia tidak memiliki enzim

gulonolaktone oksidase, yang berperan dalam sintesis prekursor vitamin C, yaitu

2-keto-1-gulonolakton (Nishikimi et al, 1994). Vitamin Cakan mengalami reaksi

oksidasi menjadi asam dehidroaskorbat dan pada kondisi tertentu juga akan

mengalami reaksi reduksi kembali menjadi asam askorbat (Borsook et al, 1936)

asam askorbat asam monodehidroaskorbat asam dehidroaskorbat


Gambar 2. Reaksi oksidasi dan reduksi asam askorbat (sumber: Buettner dan
Schafer, 1996)

Universitas Sumatera Utara


Vitamin C merupakan salah satu senyawa kimia yang mempunyai peran

yang sangat penting pada banyak fungsi fisiologis pada setiap organisme. Vitamin

C berperan sebagai cofactor untuk enzim P4H (propylil hidrolase) yang pada

pasca transkripsinya akan memodifikasi kolagen sehingga akan meningkatkan

kekuatan dan elastisitas jaringan (Chatterje et al, 1975). Vitamin C juga berfungsi

sebagai neuromodulator pada interaksi extraseluller serta dapat bersifat sebagai

anti bakteri dan anti virus (Packer dan Fuchs, 1997), vitamin C juga melindungi

komponen sel dari kerusakan oksidativ. Vitamin C dapat digunakan sebagai

pencegah dan pengobatan pada penyakit tetanus pada anak-anak usia 1-2 tahun

yang terbukti menurunkan angka kematian sebesar seratus persen dan pada usia

antara 13-30 tahun akan menurunkan 45% angka kematian akibat tetanus (Hemilä

dan Teija, 2008).

2.7. Biosintesis Vitamin C

Biosintesis vitamin C pada kelompok hewan terjadi di hepar dalam proses

yang termasuk dalam jalur metabolisme asam glukoronat yang merupakan bagian

dari jalur yang mengubah gula secara enzimatik menjadi vitamin C (Chatterje et

al, 1975). Sintesis vitamin C dimulai dengan D-glukosa yang dirubah oleh enzim

Hexokinase menjadi D-glukosa 6-phospat, dan oleh enzim phospoglukomutase

dirubah menjadi glukosa 1-phospat. Adanya aktivitas enzim UDP D-glukosa

pyrophosparylase terhadap glukosa 1-phospat akan menghasilkan UDP D-

glukosa. Melalui beberapa mekanisme reaksi enzimatik selanjutnya akan

dihasilkan asam L-askorbat (Mapson dan Breslow, 1956; Linster and Van

Schaftingen, 2006; Hacisevki, 2009).Pada kelompok hewan yang tidak dapat

mensisntesis vitamin C adalah karena tidak adanya enzim L-gulono-lactone

Universitas Sumatera Utara


oksidase yang sangat diperlukan dalam tahap perubahan L-gulono-γ-lactone

menjadi 2-okso-L-gulono-lactone yang merupakan isomer dari asam L-askorbat

dan perubahan spontan menjadi vitamin C (Nishikimi et al, 1994).

Gambar 3. Skema biosintesis vitamin C pada hewan (sumber: Tripathi, 2009)

Jalur mekanisme biosintesis vitamin C pada tumbuhan yang dipahami

secara jelas saat ini adalah melalui jalur L-Galaktosa dimana D-manossa yang

dirubah menjadi L-asam askorbat melalui beberapa reaksi yang berurutan

(Wheeler et al, 1998). D-glukosa dirubah oleh enzim Hexokinase menjadi D-

glukosa 6-phospat yang selanjutnya akan diubah menjadi D-Fruktosa 6-Phospat

oleh enzim Phospoglukose isomerase. Melalui reaksi enzimatis secara berurutan

akan dihasilkan asam L-askorbat oleh 5enzim L-galaktone-1,4-Lactone

dehydrogenase (Pineau et al, 2008).

Gambar 4. Skema biosintesis vitamin C pada tumbuhan (sumber: Wheeler, 1998)

Universitas Sumatera Utara


2.8. Transport Vitamin C

Setelahvitamin C dikonsumsi dan berada dalam saluran cerna, dengan

kondisi fisiologis vitamin C akan larut dalam bentuk yang terionisasi sebagai

askorbat (ASC) dan bentuk teroksidasi sebagai asam dehidroaskorbat (DHA) dan

akan diserap, diangkut, digunakan serta segera di ekskresikan. Vitamin C diserap

dari nutrisi yang masuk kedalam epitel usus melalui transport vitamin dan akan

diakumulasikan didalam plasma darah. Vitamin C diangkut melintasi membran

sel melalui mekanisme yang berbeda. Vitamin C dalam bentuk teroksidasi yaitu

asam dehidroaskorbat (DHA) akan melintasi apikal membran melalui difusi yang

difasilitasi (GLUT), sedangkan transport dalam bentuk askorbat (ASC) adalah

melalui proses elektrogenik yang bergantung pada ion Na (Sodium Vitamin C

Transportes (SVCTs) (Malo dan Wilson, 2000). Terdapat dua SVCTs yaitu

SVCTs1 dan SVCTs2 yang bersifat sangat spesifik untuk asam askorbat (Liang et

al2001; Rajan et al 1999; Wang et al, 1999). Kedua bentuk SVCTsini berfungsi

secara tidak berlebihan(Boyer et al 2005) dan tidak terikat satu sama lain (Kuo et

al 2004).

Asam askorbat akan menyumbangkan satu atau dua elektron dalam suatu

reaksi redoks (Ruiz, et al, 1977). Pada kondisi pH yang fisiologis, lebih dari 99

persen dari asam askorbat dalam bentuk monoanion. Pembentukan ASC terjadi

karena hilangnya elektron pertama dari asam askorbat, namun bentuk dari ASC

ini distabilkan oleh resonansi oksigen pada atom C cincin ke tiga sehingga bentuk

ASC sangat tidak reaktif (Buettner dan Schafer, 2001). Oksidan ringan seperti

senyawa [Fe(CN)6]3-akan mereduksi elektron kedua dan mengubah bentuk ASC

menjadi bentuk DHA serta ion ferri akan menjadi ion ferro [Fe(CN)6]2- yang

Universitas Sumatera Utara


berhubungan dengan peningkatan pembentukan ATP intraseluler. Konversi ASC

menjadi DHA diprakarsai oleh PMOR (Plasma Membran Oxidoreductase),

sebuah multienzim kompleks yang mencakup NADPH- ferisianida Reductase dan

NADPH oksidase bersama dengan sitokrom-B5 reduktase (Van Duijn et al, 1998;

Njus et al, 2001). Pada pH fisiologis bentuk DHA tidak stabil dan akan kembali

ke bentuk ASC, baik secara langsung oleh Glutathione atau melalui reaksi yang

dikatalisis oleh Tioredoksin Reductase atau Glrx (glutaredoxin) (Meister, 1992)

Gambar 5.Asam dehidroaskorbat sebagai bentuk dari asam askorbat yang


teroksidasi dan dapat tereduksi kembali menjadi bentuk
asamaskorbatoleh aktivitas dari glutation(sumber: Hacisevkđ, 2009)

Vitamin C yang berada diluar sel yang teroksidasi akan menjadi bentuk

asam dehidroaskorbat (DHA) akan diangkut melalui mekanisme difusi yang

difasilitasi (Welch et al, 1995; Prasad et al, 1998). Secara struktur kimia bentuk

dari asam dehidroaskorbat (DHA) lebih mirip dengan glukosa sehingga

mekanisme transportnya diduga difasilitasi oleh transporter glukosa (GLUT),

yaitu oleh GLUT 1, GLUT 2, GLUT 3 dan GLUT 4 (Rumsey et al, 1997; KC

Sagun et al, 2005) serta GLUT 8 (Corpe et al, 2013) dan setiap GLUT memiliki

efesiensi yang berbeda beda.

Universitas Sumatera Utara


Proses transport DHA oleh GLUT sendiri secara kompetitif dipengaruhi

oleh konsentrasi gula (glukosa). Konsentrasi gula yang tinggidi dalam plasma atau

usus akan menyebabkan glukosa menempati active site dari GLUT sehingga akan

menurunkan kemampuan GLUT dalam memindahkan DHA (Rumsey et al, 1997).

Sifat distribusi GLUT juga mempengaruhi distribusi dan proses transport DHA

pada setiap organ, GLUT 1 diekspresikan di hampir setiap sel diseluruh tubuh,

GLUT 2 diekspresikan terutama di hepar, limpa, ginjal, serta sel epitel bagian

lateral. Jaringan otak dan neuron banyak mengekpresikan GLUT 3 sedangkan

GLUT 4 diekspresikan di tulang, sel otot jantung dan jaringan adipose (Zhao dan

Keating, 2007), GLUT 8 diekspresikan terutama di jaringan intestinal (Corpe et

al, 2013).

Setelah di dalam sel DHA segera direduksi menjadi bentuk askorbat

melalui proses yang dimediasi oleh enzim thioredoxin reduktase (May et al,

1998). Ada dua aktivitas protein yaitu protein-disulfidaisomerase dan ketersediaan

protein tiol sebagai pengurang keseimbangan asam askorbat dan berperan dalam

akumulasi dari askorbat didalam lumen retikulum endoplasma. Ini menunjukan

bahwa DHA dapat bertindak sebagai oksidan dalam protein disulfida isomeras

yang mengkatalisa bentuk dari protein disulfide (Nardai et al, 2001).

Gambar 6. Transport vitamin C dari lumen usus ke dalam sel jaringan(sumber:


www.qiagen.com)

Universitas Sumatera Utara


Setelah penyerapan yang melewati sel eptel dinding usus, vitamin C akan

dilepas ke pembuluh darah dalam bentuk ASC. Bentuk ASC yang diangkut

melalui transporter vitamin Cyang bergantung natrium type 1 (SVCTs1)

transporter ini memungkinkan ASC untuk melawan gradient konsentrasi

(Tsukaguchi et al, 1999). Kemampuan dalam melawan gradient konsentrasi ASC

yang ditransport oleh SVCTs1 akan menyebabkan konsentrasi ASC didalam sel

bisa mencapai 50 kali lipat dari konsentrasi pada cairan ekstraseluler (Welch et al,

1993). Keseimbangan reaksi yang dimiliki oleh SVCTs1 adalah dua ion Na+ akan

membawa satu anion ASC sehingga sebagai transport aktif yang menggunakan Na

sebagai pengendali, maka SVCTs1 akan dikelola oleh Na+/K+ ATPase (Wilson et

al, 1991). Setelah berada dalam darah, vitamin Cakan dipindahkan ke dalam

jaringanperifer olehtransportervitamin Ctergantung natriumtype 2 (SVCTs2).

SVCTs diekspresikan pada banyak sel terutama pada sel limpa, sel otak,

sel mata, sel pankreas, testis, ovarium, sel paru-paru, sehingga memungkinkan

organ ini mendapatkan dan mempertahankan konsentrasi vitamin C secara

mencolok dan mampu mempertahankan konsentrasinya pada kondisi kekurangan

asupan vitamin C (Lykkesfeldt et 2007). SVCTs 1 diekspresikan pada bagian

apical sel epitel sedangkan SVCTs 2 diekspresikan pada membrane basolateral

(Liang et al, 2001). SVCTs2 dan GLUT2 ditemukan dalam sel- sel epitel bronkus

apikal, dimana SVCTs2 kebanyakan ditemukan berada di sel-sel goblet (Hemila

dan Louhiala, 2007)

Penyerapan dan distribusi vitamin Cbersifat saturable dan tergantung

dosis, yang memungkinkan adanya mempertahankan kadar vitamin selama asupan

yang rendah dan membatasi kadar tertinggi dalam serum pada saat adanya

Universitas Sumatera Utara


asupan/intake yang tinggi. Hal yang menarik adalah adanya fakta bahwa SVCTs1

dan SVCTs2 diatur oleh substrat mereka sendiri yaituvitamin C,pada saat kadar

vitamin C tinggi akan menurunkan ekspresi SVCTs1 di usus dan SVCTs2

memediasiserapan seluler di kompartemen lain (Savini et al 2007).

2. 9. Metabolisme Vitamin C

Vitamin C yang diimport dari usus akan di metabolisme di hepar dan pada

batas batas tertentu akan di bawa ke ginjal melalui serangkaian reaksi. Vitamin C

dikatabolisme untuk menghasilkan oksalat dari atom karbon 1 dan 2 serta

pembentukan karbon dioksida dari atom karbon 1 pada manusia serta di spesies

lain (Kallneriet al, 1985). Radikal bebas antara yang bersifat reversible

membentuk asam dehidroaskorbat (DHA) yang akan mengarah pada

pembentukan asam 2,3 diketogulonic yang bersifat irreversibledan tidak aktif

pada kondisi fisiologis (Baxmann et al, 2003). Asam 2,3 diketogulonic

selanjutnya akan dipecah menjadi asam oksalat dan asam threonic atau akan

dikarboksilasi menjadi karbondioksida, xylose dan xylulose yang pada akhirnya

akan membentuk asam xylonic dan asam lyxonic. Semua metabolit ini bersama

dengan vitamin C akan disekresikan bersama urine (Kallneri et al, 1985).

2. 10. Interaksi Vitamin C, ion Fe dan bakteri M. tuberculosis

Didalam tubuh manusia ion Fe merupakan komponen penting yang

berikatan dengan berbagai jenisstruktur protein yang terlibat dalam pengangkutan

oksigen dan berperan secara integral dalam pengaturan pertumbuhan dan

diferensiasi sel. Ion Fe dari sumber makanan diserap oleh mukosa usus menjadi

dua sumber zat besi yang terpisah yaitu heme dan nonheme. Ion Besi heme,

berasal dari hemoglobin dan mioglobin, mudah diserap dan relatif sedikit

Universitas Sumatera Utara


dipengaruhi oleh makanan lain yang dimakan dalam menu yang sama. Sebaliknya

penyerapan besi non-heme, sebagai sumber zat besi dari makanan utama, sangat

dipengaruhi oleh komposisi makanan (Roughead et al, 2002). Pada lingkungan

tubuh host,ion Fe ditemukan dalam kondisi yang terbatas, bersifat sukar larut pada

kondisi aerobik, ion Fe bebas tidak ditemukan dalam host. Kebanyakan ion Fe

dalam sel terikat dengan kompleks protein pengikat besi, seperti transferin,

laktoferin, dan ferritin (Weinberg,1999).Kelompok ion Fe dan sulfur merupakan

kofaktor penting dari banyak enzim yang terlibat dalam pembentukan asam

amino, siklus asam tricarboxylic dan juga transport elektron (Saini et al, 2012).

Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air yang dapat meningkatkan

penyerapan zat besi nonheme. Vitamin C bertindak sebagai agen pereduksi untuk

memperlancar penyerapan zat besi dari saluran pencernaan dan untuk

memungkinkan mobilisasi penyimpanannya. Vitamin C dan besi bergabung

membentuk kompleks chelate besi, yang meningkatkan kelarutan zat besi di usus

halus, sehingga meningkatkan serapan ion besi di duodenum. Untuk meningkatan

penyerapan ini sumber zat besi harus dikonsumsi bersamaan dengan vitamin C

(Lynch and Cook,1980)

Pada saat bakteri M. tuberculosis menginfeksi host, bakteri M.

tuberculosis harus berhadapan dengan kondisi lingkungan yang sangat tidak

menguntungkan bagi dirinya, sehingga bakteri M. tuberculosis berusaha untuk

dapat tetap bertahan hidup melalui peningkatan metabolisme. Usaha ini

membutuhkan nutrisi maupun mineral yang yang hanya bisa diperoleh melalui

penyerapan dari host. Ion Fe merupakan salah satu mineral penting yang

diperlukan oleh bakteri M. tuberculosis.Ion Fe berhubungan erat dengan sitokrom

Universitas Sumatera Utara


yang bertanggung jawab atas proses oksidasi fosforilasi dan produksi energi

(Banarjee et al, 2011). Bakteri M. tuberculosis memiliki sumber ion Fe yang

sangat melimpah yang bisa diperoleh dari host dalam bentuk besi heme maupun

besi nonheme.

Bakteri M. tuberculosis memerlukan sistem khusus untuk mengakuisisi

ion besi yang akan digunakan untuk replikasi dan menyebabkan penyakit

(Rodriguez dan Smith, 2006).Untuk memperoleh ion besi dalam kondisi kadar

besi yang rendah, bakteri M. tuberculosis mensintesis dan meningkatkan produksi

microvesicle. Pelepasan microvesicles ini mengandung mycobactin, yang dapat

berfungsi sebagai donor besi dan akan mendukung replikasi mycobacteria pada

kondisi rendah besi, ini menunjukan peran microvesicles dalam akuisisi besi oleh

M. tuberculosis yang menjadi penting untuk kelangsungan hidup bakteri dalam

tubuh host (Reddy et al,2013). Pelepasan microvesicle yang mengandung

mycobactins ini dilakukan oleh bakteri M. tuberculosis dengan afinitas yang

tinggi (Snow dan White, 1969), dan secara in vitro terbukti bahwa bakteri M.

tuberculosis menggunakan heme sebagai sumber zat besi (Jones and Niederweis,

2011).

Dua bentuk mycobactins yang dihasilkan adalah carboxymycobactin dan

mycobactin.Carboxymycobactin adalah molekul amfifilik yang disekresikan, dan

mycobactin adalah molekul lipofilik yang tetap terikat pada sel (Ratledge and

Ewing, 1996).Carboxymycobactin secara efektif menangkap ion ferri dari

lingkungan sekitar sel dan akan ditransfer ke mycobactin (Gobin dan Horwitz,

1996), atau membawa ke dalam sel melalui pengaturan transporter besi IrtAB

(Ryndak et al, 2010).Meskipun penting bagi perkembangan M. tuberculosis, zat

Universitas Sumatera Utara


besi juga bisa menjadi racun karena kemampuan ion Fe untuk mengkatalisasi

pembentukan radikal yang bersifat merusak melalui reaksi Fenton. Untuk

mencegah sifat toksik yang dimediasi oleh ion Fe ini, bakteri M tuberculosis

mengontrol kadar zat besi didalam sel melalui pengaturan transkripsi gen yang

terlibat dalam akuisisi Fe, transportasi Fe, dan penyimpanan Fe (Gold et al,

2001). Dalam keadaan dengan konsentrasi zat besi yang cukup, bakteri M.

tuberculosisakan merepresi akuisisi besi dan menginduksi penyimpanan besi.

Protein penyimpanan besi ini berperan penting dalam pengaturan keseimbangan

zat besi.Bakteri M. tuberculosis mensintesis dua protein penyimpanan besi yaitu

ferritin (Harrison dan Arosio, 1996); (Pandey and Rodriguez, 2012) dan protein

mirip feritin yang mengandung heme b, yang dikenal sebagai bacterioferritin

(BfrA) (Rodriguez dan Smith, 2006).

Ferritin dikenal sebagai molekul esensial untuk pertahanan diri pada

mikroorganisme patogen (Waidner et al,2002). Kontribusi masing-masing protein

ini adalah untuk respon tambahan dari M. tuberculosis terhadap perubahan

ketersediaan zat besi yang tidak jelas. Efek dari perubahan homeostasis besi,

akibat gangguan penyimpanan besi, pada resistensi M.tuberculosis secara invitro

dan invivo menunjukkan bahwa feritin diperlukan untuk mempertahankan

homeostasis besi, sedangkan bacterioferritin fungsinya belum begitu jelas. M.

tuberculosis yang tidak menghasilkan feritin lebih sensitif terhadap keracunan

yang dimediasi ion besi, dan M. tuberculosis menjadi lebih rentan terhadap

antibiotik, hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif endogen dapat

meningkatkan daya bunuh antibiotik (Pandey and Rodriguez, 2012).

Universitas Sumatera Utara


Vitamin C mempunyai dua sifat yang saling bertolak belakang, pada satu

sisi vitamin C bisa bersifat sebagai antioksidan dan juga mampu bersifat sebagai

pro-oksidan (Frei et al, 1989; Podmore et al, 1998). Sifat vitamin C sebagai pro-

oksidan ini akan dapat mendorong reaksi Fenton dengan mereduksi ion Ferri

menjadi ion Ferro (Buettner and Jurkiewicz, 1996). Kemampuan vitamin C untuk

mereduksi ion Ferri menjadi ion Ferro merupakan dasar dari kemampuan vitamin

Csebagai pro-oksidan. Terbentuknya ion Ferro akan mengarah pada pembentukan

ROS (Superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil) melalui mekanisme

reaksi Harber-Weiss dan reaksi Fenton, yang dapat mengakibatkan kerusakan

DNA (Vilcheze et al, 2013). Radikal hidroksil yang dihasilkan juga merupakan

mutagen yang sangat berpotensi untuk merubah susunan basa dan turunan ribosa

dari urutan basa DNA sehingga DNA dapat mengalami kerusakan (Tsunoda et al,

2010).

Universitas Sumatera Utara


2.11. Kerangka Teori
Infeksi oleh M tuberculosis

M.tuberculosis intra Paru

OAT lini I Vitamin C

Insersi melalui porin


M. tuberculosis

Rifampisin berikatan pada sub unit β dari Fe3+ + Vit C [Asc H2] 
RNA polymerase yang dikode oleh gen rpoβ Fe 2+ + Asc - + 2H+

Rifampisin menginduksi pembentukan ROS yang Fe 2+ + O2  Fe 3+ + O2-


bergantung pada ion Logam melalui reaksi
-
pembentukan O2

O2- + 2 H + H2O2 + O2-


Pembentukan radikal
Hidroksil (OH-)

H2O2 + Fe 2+  Fe3+ + OH- + OH•

Terjadi kerusakan DNA


Kerusakan DNA

Kegagalan sintesis
dinding sel

M. tuberculosis mati

Masa intensif pengobatan


8 minggu

Kulltur Negatif. Kurang dari 8 minggu

Universitas Sumatera Utara


2.12. Kerangka Konsep
M tuberculosis positif/Rifampicin sensitive

OAT lini I + Suplementasi


OAT lini I Vitamin C

Vitamin C dalam darah Vitamin C dalam darah

OAT + Vitamin C intra


OAT intra sel sel M. tuberculosis
M. tuberculosis

3+
Vit. C akan mereduksi ion Fe melalui
reaksi Penton akan menghasilkan

radikal OH +
OAT menghasilkan stress oksidative
OAT menghasilkan stress oksidative

Terjadi kerusakan DNA M tuberculosis


dan Kegagalan sintesis dinding sel

M. tuberculosis mati
M. tuberculosis mati

Kulltur Negatif Kulltur Negatif


(8 minggu) (< 8minggu)

Variable tergantung

Variable bebas

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI

III.1. Desain

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan pada

manusia dengan desain parallel 2 kelompok dengan pemilihan pasangan serasi

(matching), yaitu menyamakan variabel perancu diantara kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan sehingga dapat dilihat pengaruh dari vitamin C (sebagai

variabel bebas) terhadap kecepatan konversi kultur BTA negatif (sebagai variabel

tergantung).

III.2. Tempat dan Waktu

III.2.1. Tempat

Penelitian dilakukan di poli DOTS/MDR TB dan Laboratorium TB MDR

Instalasi Mikrobiologi Klinik RSU Pusat H. Adam Malik Medan serta

Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU Medan.

III.2.2. Waktu

Penelitian dilakukan sejak September 2016 sampai dengan Januari 2017.

III.3. Populasi Dan Sampel

III.3.1. Populasi Penelitian

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien dengan diagnosa TB

positif/Rifampicin sensitif menggunakan metode tes cepat molekuler (TCM) di

Laboratorium TB MDR RSU Pusat H. Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


III.3.2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian dilakukan dengan cara Consecutive Sampling yaitu

semua subjek yang datang berurutan dan yang memenuhi kriteria pemilihan

dirandomisasi hingga jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

III.4. Kriteria Inklusi Dan Ekslusi

Iii.4.1. Kriteria Inklusi

Pasien TB berusia diatas 17 tahun (dewasa) dengan diagnosa pasti TB

positif/Rifampicin sensitif berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat molekuler

(TCM).

III.4.2. Kriteria Ekslusi

− Pasien TB yang sudah konversi BTA

− Pasien yang tidak dapat mengeluarkan sputum/dahak.

− Pasien TB dengan Diabetes Millitus (DM).

− Pasien TB dengan HIV

− Pasien TB ibu hamil dan menyusui

III. 5. Besar Sampel

Ingin diketahui kecepatan konversi kultur sputum dua kelompok penderita

penyakit TB yang mendapat terapi OAT. Pada kelompok yang diterapi dengan

OAT (kontrol) akan konversi dalam 5,4 ± 4,7 minggu (mean ± SD) (Fortun et al,

2007). Perbedaan kecepatan konversi selama 2,5 minggu pada kelompok terapi

OAT + vitamin C dianggap berarti. Bila tingkat kepercayaan 95% dan power

80%. Dengan menggunakan rumus:

𝑍𝑍𝑍𝑍 + 𝑍𝑍𝑍𝑍 𝑥𝑥 𝑆𝑆𝑆𝑆 2


𝑛𝑛 = � �
𝑑𝑑

Universitas Sumatera Utara


1,96 + 0,842 𝑥𝑥 4,7 2
𝑛𝑛 = � �
2,5

n = 28 pasangan sampel

Asumsi 10 % subjek yang droup out atau loss to follow up, maka besar sampel

adalah:

28
𝑛𝑛 =
1 − 0,10

n = 31 pasang subjek .

III.6. Cara Kerja

III.6.1. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) (WHO, 2014b)

1. Alat:

a. Mesin TCM (Xpert MTB/Rif Dx System)

b. Catridge TCM (Xpert MTB/Rif Dx System).

c. Pipet tetes

d. Pot Sputum

e. Sarung tangan karet

f. Kertas Tisu

2. Bahan:

a. Sampel sputum.

b. Larutan buffer lysis (Xpert MTB/Rif sampel reagen)

c. Larutan xylol 5%

d. Larutan alkohol 70%

Universitas Sumatera Utara


3. Cara kerja:

a. Sampel sputum ditambah larutan buffer lysis (Xpert MTB/Rif sampel

reagen) dengan perbandingan satu bagian sampel dan dua bagian buffer

lysis dan dihomogenkan.

b. Larutan campuran diinkubasi pada suhu kamar selama 20 menit.

c. Dengan menggunakan pipet steril larutan campuran diambil sebanyak 2

ml dan dimasukan kedalam Catridge TCM (Xpert MTB/Rif Dx System).

d. CatridgeTCM yang telah berisi sampel dimasukan kedalam mesin TCM

(Xpert MTB/Rif Dx Sistem).

e. Pada menu dekstop dipilih ikon GeneXpert Dx System dan diklik sehingga

akan muncul kotak menu GeneXpert Dx Systemdan selanjutnya di klik

pada menu Create test.

f. Akan muncul kotak perintah Scan Catridge Barcode, dan dilakukan

scanning pada barkode Catridge TCM

g. Akan muncul kotak Create test, dan dilakukan pengisian data identitas

pasien dan data sampel, dan pemilihan modul dilakukan secara otomatis.

h. Tombol Start Testdi Klik dan lampu indikator berwarna hijau pada modul

akan menyala.

i. Catridge TCM yang sudah berisi sampel dimasukan kedalam modul.

j. Pintu modul ditutup rapat sampai bunyi Klik untuk memulai tes.

k. Hasil akan diperoleh dalam waktu sekitar 1 jam 50 menit.

Universitas Sumatera Utara


III.6.2.Kultur Mycobacterium Pada Media Padat Lowenstain

Jenssen(LJ)(WHO, 2014c)

1. Alat:

a. Tabung Centrifuge volume 50 ml

b. Mesin centrifuge (Eppendorf 5810R)

c. Inkubator (Memmert type INE700)

d. Autoclave (Hirayama HVA85)

e. Oven blower (Memmert)

f. Pipet tetes

g. Vortex

h. Rak tabung Centrifuge

i. Timer/stopwatch

j. Botol Mc Carthney.

k. Timbangan (Ohaus Pioneer PA214)

l. Gelas Erlenmeyer volume 1000 mL

m. Gelas ukur volume 1000 mL

n. Gelas Beaker volume 1000 mL

o. Blender

p. Corong saring

2. Bahan:

a. Lowenstain Jenssen Medium Base (Merck 1.05400.0500)

b. Gliserol (Merck 1.04092.1000)

c. Telur itik

d. Sampel sputum

Universitas Sumatera Utara


e. Larutan NaOH-NALC (BD MycoPrep Kit)

f. Larutan Buffer Phospat pH 6,8 (BD MycoPrep Kit)

g. Alkohol 70%

h. Larutan Lysol 10%

i. Aquadest steril

3. Cara kerja.

3.a. Pembuatan media padat Lowenstain Jenssen.

a. Ditimbang sebanyak 37,5 gram Lowenstain Jenssen Medium Base dan

dilarutkan dalam 600 ml aquades.

b. Ditambahkan 12 ml gliserol dan diaduk sampai homogen.

c. Larutan media Lowenstain Jenssen Medium Base di sterilisasi dengan

autoclave pada suhu 121 oC selama 15 menit (larutan A).

d. Telur itik segar yang berumur tidak lebih dari 3 hari dicuci sampai bersih

dan dikeringkan pada suhu ruang.

e. Telur itik direndam dalam alkohol 70 % selama 15 sampai 20 menit, dan

kemudian dikeringkan kembali pada suhu ruang.

f. Telur itik dipecah dan dipisahkan dari cangkang dan selanjutnya diblender

selama satu atau dua detik secara berulang-ulang sebanyak lima kali

sampai diperoleh larutan telur yang homogen.

g. Larutan telur homogen diukur menggunakan gelas ukur sebanyak 1000

mL (larutan B)

h. Sebanyak 1000 mL telur homogen (larutan B) dicampur dengan 600 mL

larutan Lowenstain Jenssen Medium Base (larutan A) yang sudah

didinginkan sampai suhu 50-60 0C.

Universitas Sumatera Utara


i. Campuran larutan dihomogenkan dan dibiarkan kira-kira 10 menit.

j. Dibuat aliquot kedalam botol Mc Charthney sebanyak kira-kira 6 mL.

k. Media di koagulasikan menggunakan oven blower pada suhu 85 oC

selama 45 menit dengan posisi media diagonal.

3.b. Kultur M. tuberculosis pada media padat Lowenstain Jenssen.

a. Sampel sputum dimasukan kedalam tabung centrifuge sebanyak maksimal

5 ml dan ditambah dengan larutan NaOH-NaLC dengan volume sama

banyak.

b. Campuran ini divortex sampai homogen dan dibiarkan pada suhu kamar

selama 15 menit.

c. Kedalam campuran ini ditambahkan larutan Buffer Phospat pH 6,8 sampai

volume 45 ml.

d. Larutan dihomogenkan dengan cara membolak balik tabung centrifuge

sebanyak dua sampai tiga kali.

e. Dilakukan centrifugasi dengan kecepatan 3000 G selama 15 menit.

f. Supernatan dibuang dan sedimen yang diperoleh ditambah dengan larutan

Buffer Phospat pH 6,8 sebanyak 2 ml dan divortex sampai sedimen

homogen kembali.

g. Larutan dibiarkan selama 15 menit untuk mengendapkan aerosol.

h. Konsentrat sampel diambil kira kira 0,25 ml dan diinokulasi kedalam

tabung media padat LJ sebanyak dua tabung.

i. Media padat LJ diinkubasi didalam inkubator dengan suhu 37 oC dengan

posisi miring selama kira kira 24 sampai 48 jam.

Universitas Sumatera Utara


j. Setelah 24-48 jam dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan

terjadinya kontaminasi.

k. Bila tidak terjadi kontaminasi media padat LJ diinkubasi kembali dengan

posisi vertikal.

l. Dilakukan pengamatan pertumbuhan koloni setiap satu minggu sampai

diperoleh kultur positif atau kultur negatif selama periode inkubasi 8

minggu.

III. 6. 3.Pengukuran Kadar Vitamin C Dalam Plasma(Enzychrom Bioassay)

1. Alat:

a. Spuit 3 mL

b. Tabung EDTA

c. Larutan desinfektan

d. Torniquet

e. Tabung centrifuge

f. Mesin centrifuge

g. Micropippet

h. Tabung reaksi

i. Kuvet

j. Spektrofotometri

k. Pippet tips

2. Bahan:

a. EnzyChromAscorbic Acid Assay Kit (EASC-100) yang berisi:

1. Laruatn Buffer

2. Enzyme Mix

Universitas Sumatera Utara


3. Dye Reagent

4. Larutan Standard 10 mM ascorbic acid

b. Darah/serum

c. Alkohol swab

d. Plaster luka

3. Cara kerja:

3.1.Pengambilan sampel darah.

a. Keadaan pasien diperiksa, diusahakan pasien dalam keadaan tenang begitu

pula petugas yang akan melakukan pengambilan darah.

b. Ditentukan vena yang akan ditusuk, pada orang dengan vena yang tidak

terlihat dapat dibantu dengan palpasi.

c. Daerah yang akan ditusuk diperhatikan dengan seksama terhadap adanya

peradangan, dermatitis atau bekas luka.

d. Tempat penusukan didesinfeksi dengan alkohol swab dan dibiarkan kering

e. Tourniquet dipasang pada lengan atas ( proximal lengan) 6 – 7 cm dari

lipatan tangan.

f. Kulit diatas vena ditegangkan dengan jari-jari tangan kiri petugas supaya

vena tidak bergerak.

g. Dengan lubang jarum menghadap keatas, kulit ditusuk dengan sudut 450 –

600 sampai ujung jarum masuk kedalam lumen vena yang ditandai dengan

berkurangnya tekanan dan masuknya darah keujung semprit.

h. Holder ditarik perlahan-lahan sampai volume darah yang diinginkan (3

ml).

i. Torniquet dilepas, kapas alkohol diletakkan diatas jarum dan ditekan

sedikit dengan jari kiri, lalu jarum ditarik.

Universitas Sumatera Utara


j. Pasien diinstruksikan untuk menekan kapas selama 1 – 2 menit dan setelah

itu bekas luka tusukan diberi plester.

k. Darah dimasukkan kedalam tabung berisi antikoagulan EDTA melalui

dinding secara perlahan dan segera dicampur secara perlahan.

l. Tabung yang berisi darah diputar menggunakan mesin centrifugasi dengan

kecepatan 3000 rpm selama 5 menit.

m. Sampel plasma yang diperoleh dipisahkan dengan pipet dan dimasukan

dalam tabung cryo dan disimpan pada kulkas dengan suhu -70 oC.

3.2.Pengukuran kadar vitamin C dalam darah.

a. Dibuat larutan standar asam askorbat 1000 µM dengan cara

mencampurkan 22 µL larutan standar dengan 198 µL aquadest.

b. Dari larutan standart 1000 µM/L dibuat pengenceran sehingga diperoleh

konsentrasi sebagai berikut:

No. Volume Larutan Volume H2O Volume Konsentrasi


standart 1000 (µL) akhir akhir (µM/L)
µM/L (µL)
1 100 μL 0 μL 100 1000
2. 60 μL 40 μL 100 600
3. 30 μL 70 μL 100 300
4. 0 μL 100 μL 100 0

c. Selanjutnya dibuat larutan kerja yang terdiri dari:

1. 11 ml larutan Buffer Assay,

2. 124 μL Enzyme Mix

3. 124 μL Dye Reagent.

4. Campuran dihomogenkan

Universitas Sumatera Utara


d. Didalam lempeng kuvet kaca dibuat campuran:
Larutan Larutan Larutan Larutan Larutan
Standart Standart Standart Standart Sampel
0 µM/L 300 µM/L 600 µM/L 1000
µM/L

20 µL 20 µL 20 µL 20 µL 20 µL
Larutan kerja 80 µL 80 µL 80 µL 80 µL 80 µL
Total volume 100 µL 100 µL 100 µL 100 µL 100 µL

e. Campuran dihomogenkan secara perlahan dan dinkubasi selama 10 menit

pada suhu kamar.

f. Pengukuran absorbansi dilakukan menggunakan alat spektrofotometri

pada panjang gelombang 570 nm (550-585 nm)

g. Unit CPU dinyalakan dengan cara menekan tombol power, setelah terjadi

sinkronisasi antara CPU dan mesin spektrofotometri, pada tampilan

desktop ikon skanit software3,2 diklik sampai muncul menu dari software.

h. Pada menu skanit software diklik ikon Menu New lalu dilakukan

pengaturan posisi nomor sampel yang merujuk pada posisi sampel pada

lempeng kuvet.

i. Selanjutnya di klik icon protocol dan akan muncul menu untuk pengaturan

dari metode pengukuran, type pengukuran serta pengaturan panjang

gelombang.

j. Untuk membuka drawer di klik iconrun plat out sehingga drawer dari

mesin spektropotometri terbuka dan holder terdorong keluar.

k. Lempeng kuvet kaca mini ditempatkan padaholder dari mesin

spektrofotometri.

Universitas Sumatera Utara


l. Kemudian ikon start di klik sehingga mesin akan melakukan analisa dan

akan mengeluarkan hasil sebagai kadar asam askorbat dalam satuan yang

sudah diatur sebelumnya.

m. Jika konsentrasi asam askorbat terlalui tinggi melebihi batas pengukuran

dapat dilakukan pengenceran pada sempel dengan menggunakan aquadest

dan dilakukan pengukuran ulang.

n. 1 mM asam askorbat ≈ 17,6 mg/dL ≈ 0,0176% atau 176 ppm.

III. 7. Identifikasi Variabel.

Variabel bebas yang digunakan adalah hasil pengukuran kadar vitamin C

dalam darah sebagai µM/L sebelum dan sesudah dua bulan pemberian

suplementasi vitamin C 500 mg/hari pada kelompok perlakuan dan pada

kelompok kontrol, serta konversi kultur M. tuberculosis Negatif sebagai variabel

tergantung dari kedua kelompok.

Universitas Sumatera Utara


III. 8. Rencana managemen dan analisa data

Persetujuan dari Majelis Komisi


Etik Penelitian (ethical clearance)

Penetuan besar sampel

Hasil TCM
MTB positif/Rifampicin Kriteria eksklusi
sensitif

Kriteria inklusi

Pengumpulan sampel penelitian


(Consecutive sampling)

Kelompok kontrol Randomisasi Kelompok perlakuan


(terapi OAT saja) (terapi OAT + vitamin C)

Pengambilan sampel darah untuk


penentuan kadar vitamin C minggu Kadar vitamin C dalam
ke 0 darah sebelum perlakuan

Pengambilan sampel sputum untuk


Kecepatan konversi
pemeriksaan direck smear BTA dan Analisa data
kultur BTA Minggu ke1, 2, 3, 4, 5, 6, kultur BTA
7 dan 8

Pengambilan sampel darah untuk Kadar vitamin C dalam


penentuan kadar vitamin C minggu darah setelah perlakuan
ke 8

Universitas Sumatera Utara


Untuk melihat manfaat suplementasi vitamin C terhadap kadar vitamin C

dalam darah dianalisa melalui pengukuran kadar vitamin C sebelum dan sesudah

dua bulan pengobatan dan dibandingkan dengan menggunakan uji T berpasangan.

Kelompok kontrol dipilih menggunakan cara matching individual sehingga untuk

melihat perbedaan kadar vitamin c dalam darah antara kedua kelompok digunakan

uji t berpasangan. Sebelum melakukan analisis data dengan uji-t, terlebih dahulu

dilakukan ujinormalitas data menggunakan Statistik uji Lilliefors (Kolmogorov-

Smirnov) normality test. Tujuan uji normalitas data adalah untuk mengetahui

apakah sampel yang diperoleh bener-bener mewakili populasi sehingga hasilnya bisa

digeneralisasikan pada populasi. Apabila uji normalitas data tidak menunjukan data

yang berdistribusi normal dilakukan uji statistik non parametrik.

Untuk menguji perbedaan kecepatan konversi kultur BTA menggunakan

uji beda t berpasangan, dengan cara menguji hasil kultur BTA pada kelompok

perlakuan dengan hasil kultur BTA pada kelompok kontrol yang dipilih

menggunakan cara matching individual. Bila nilai p < 0,05 maka ada perbedaan

kecepatan konversi kultur BTA yang signifikan antara kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan.

III. 9. Definisi Operasional

1. Hasil pemeriksaan GeneXpert

a. Defenisi: ditemukan adanya sel bakteri Mycobacterium tuberculosis

didalam sampel sputum, yang dinilai oleh alat/mesin GeneXpert.

b. Alat ukur: Mesin GeneXpert.

c. Cara ukur: mengukur banyaknya sel bakteri M. tuberculosis pada sampel

sputum dan sifat resistensi terhadap obat rifampicin secara Polymerase

Chain Reaction.

Universitas Sumatera Utara


d. Hasil ukur: ditemukan ada atau tidak bakteri M. tuberculosis serta

rifampicin resisten atau sensitif

e. Skala: katagorik

2. Waktu konversi kultur BTA

a. Defenisi: adalah waktu perubahan hasil pemeriksaan kultur sputum, yang

dinilai berdasarkan adanya pertumbuhan koloni M. tuberculosis pada

media pertumbuhan.

b. Alat ukur: Visual dan rekasi biokimia.

c. Cara ukur: melihat adanya pertumbuhan koloni dan mendeskripsikan hasil

pengamatan berdasarkan ciri koloni dan melakukan identifikasi secara

biokimia.

d. Hasil ukur: waktu konversi kultur BTA pada minggu ke-n dan

mengkatagorikan sebagai konversi atau tidak konversi.

e. Skala: nominal

3. Kadar vitamin C

a. Defenisi: kadar vitamin C dalam darah pada minggu ke 0, saat diagnosa

TB positif (Pre) dan minggu ke 8 setelah suplementasi (post).

b. Alat ukur: spektrophotometri

c. Cara ukur: melakukan analisa pengukuran kadar vitamin C dalam plasma

dengan metode Enzychrom Bioassay yang mengoksidasi vitamin C

menjadi H2O2 dan membentuk warna pink

d. Hasil ukur: kadar vitamin C dalam µM/L.

e. Skala: Numerik.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1. a. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 62 subjek penderita TB dari 197 pasien TB yang

di diagnosa menggunakan metode Tes Cepat Molekuler (TCM)selama kurun

waktu penelitian. Enampuluh dua subjek penelitian terdiri dari 83,9% laki-laki

dan 16,1% perempuan dengan usia rata-rata 35,7±12,8 tahun dengan variasi hasil

TCM tingkat tinggi dan menengah sebanyak 30,6 persen, pada tingkat rendah

25,8% dan tingkat sangat rendah sebanyak 12,9%.

Subjek penelitian dibedakan menjadi dua kelompok melalui pemilihan

pasangan serasi.Perbandingan karakteristik data subjek penelitian selengkapnya

dapat dilihat pada tabel 1:

Tabel 1. Karakteristik Sampel


Karakteristik sampel Kelompok Kelompok Nilai p
kontrol perlakuan
1. Jenis kelamin
- laki-laki 26 (83.9%) 26 (83.9%)
- perempuan 5 (16,1%) 5 (16,1%) 1,00 *
Total 31 (100%) 31 (100%)
2. Usia (tahun) 36.39 ± 13.9 35.03 ± 11.7 0,66 *
3. Hasil TCM
- Very low: 5 (16.1%) 4 (12.9%)
- Low: 8 (25.8%) 7 (22.6%)
- Medium: 9 (29.0%) 10 (32.3%) 0,57**
- High: 9 (29.0%) 10 (32.3%)
Total 31 (100%) 31 (100%)
4. Rata-rata kadar vitamin C sebelum 228,35± 121,30 201,19 ± 128,44 0,41**
pengobatan(µM/L)
*Wilcoxon Signed Rank Test: **: Paires t tes.

Masing-masing kelompok terdiri dari 26 0rang laki-laki (83.9%) dan 5

orang wanita (16.1%) dengan nilai signifikansi 1,00 (>0 ,05) sehingga variabel

jenis kelamin dari kedua kelompok tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Usia

Universitas Sumatera Utara


rata-rata kelompok kontrol adalah 36,39±13,9 dan pada kelompok perlakuan

adalah 35,03 ±11,7 tahun dengan nilai signifikansi 0,66 (>0,05) sehingga variabel

umur antara kedua kelompok tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Perbandingan hasil TCM pada kelompok kontrol dan hasil TCM pada kelompok

perlakuan menunjukan nilai signifikansi 0,57 (> 0,05) sehingga variabel hasil

TCM dari kedua kelompok tidak memiliki perbedaan yang signifikan.

Kadar rata-rata vitamin C dalam darah diawal pengobatan pada kelompok

kontrol adalah 228,35±121,30µM/Ldan kadar rata-rata vitamin C dalam darah

diawal pengobatan pada kelompok perlakuan adalah 201,19±128,44µM/L.

Perbandingan kadar rata-rata vitamin C dalam darah diawal pengobatan pada

kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan menunjukan nilai signifikansi 0,41

(>0,05) sehingga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar vitamin C

dalam darah dari kedua kelompok. Dengan melihat nilai signifikansi yang tidak

berbeda antara kedua kelompok terlihat bahwa karakteristik subjek kedua

kelompok mempunyai kesamaan/seimbang sehingga diharapkan beberapa

variabel perancu dapat dihindari.

4.1.b. Manfaat Suplementasi Vitamin CTerhadap Kadar Vitamin CDalam

Darah

Untuk melihat adanya manfaat suplementasi vitamin C 500 mg/hari

terhadap peningkatan kadar vitamin C dalam darah, dilakukan uji beda terhadap

kadar vitamin C dalam darah sebelum dan sesudah dua bulan pengobatan pada

kedua kelompok serta membandingkan kadar vitamin C dalam darah dari setiap

kelompok. Kadar vitamin C dalam darah pada kelompok kontrol sebelum

pengobatan adalah 228,35±121,30µM/Ldan dua bulan setelah pengobatan adalah

Universitas Sumatera Utara


200,29±107,59 µM/Ldengan nilai signifikansi 0,13 (>0,05) yang berarti kadar

vitamin C dalam darah sebelum dan sesudah dua bulan pengobatan tidak berbeda

secara signifikan (tabel 2).

Tabel 2. Kadar Rata-Rata Vitamin C Dalam Darah Sebelum Dan Sesudah


Pengobatan Dua Bulan Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok
Perlakuan

Kadar rata-rata Kelompok Kelompok Nilai p


vitamin C kontrol((µM/L)) perlakuan ((µM/L))
Sebelum pengobatan 228,35± 121,30 201,19 ±128,44 0,41*
Setelah dua bulan pengobatan 200,29± 107,59 273,61±183,06 0,21**
Nilai p 0,13* 0,03**
* paired ttes ;** Wilcoxon Signed Rank Tes.

Pada kelompok perlakuan yang mendapat suplementasi vitamin C 500

mg/hari kadar rata-rata vitamin C dalam darah sebelum pengobatan adalah 201.19

±128,44µM/Ldengan kadar rata-rata setelah dua bulan pengobatan adalah

273,61±183,06 µM/Ldengan nilai signifikansi 0,03 (<0,05) yang menunjukan

bahwa kadar rata-rata sebelum suplementasi dan dua bulan setelah suplementasi

berbeda secara signifikan. Ini menunjukan bahwa ada manfaat suplementasi

vitamin C terhadap peningkatan kadar vitamin C dalam darah.

Perbedaan kadar rata-rata vitamin C sebelum masa pengobatan pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukan tingkat signifikansi

0,41(>0,05) sehingga tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar rata-rata

vitamin C sebelum pengobatan. Perbedaan kadar rata-rata vitamin C setelah dua

bulan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukan nilai

signifikansi 0,21 (>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan.

Universitas Sumatera Utara


4.1.c. Perbedaan Kecepatan Konversi Kultur BTA

Untuk mengetahui perbedaan kecepatan kultur BTA antara kelompok

kontrol dengan kelompok perlakuan dilakukan pengujian dengan menggunakan

uji t independent.

Tabel 3. Perbandingan Kecepatan Konversi Kultur BTA Kelompok Kontrol


Dan Kelompok Perlakuan
Waktu Jumlah kultur yang konversi
Nilai p*
kultur Kelompok kontrol Kelompok perlakuan
Minggu I 0 3 (9,6%) 0,83
Minggu II 0 5 (16,1%) 0.003
Minggu III 2 (6,5%) 14 (45,2%) 0,000
Minggu IV 6 (19,4%) 21 (67,7%) 0,000
Minggu V 15 (49,5%) 25 (80,6%) 0,023
Minggu VI 17 (54,8%) 29 (93,5%) 0,001
Minggu VII 20 (64,5%) 30 (96,8%) 0,002
Minggu VIII 26 (83,9%) 31 (100%) 0,023
* uji T independent; tingkat kepercayaan 95%.

Perbandingan kecepatan konversi antara kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan tidak berbeda secara signifikan pada minggu ke-I dengan nilai

signifikansi 0,83 (>,05). Pada minggu II sampai minggu ke VIII menunjukan

perbedaan kecepatan konversi kultur BTA yang signifikan, sehingga ada

perbedaan kecepatan konversi kultur BTA antara kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan. Pada akhir masa intensif pengobatan selama delapan minggu,

persentase konversi kultur BTA pada kelompok kontrol adalah 26 subjek (83,9%)

sehingga masih terdapat 5 subjek (16,1%) subjek yang belum konversi kultur

BTA. Pada kelompok perlakuan 31 subjek (100%) mengalami konversi kultur

BTA.

Universitas Sumatera Utara


4.2.Pembahasan

4.2.a. Karakteristik Subjek Penelitian

Pengumpulan subjek penelitian dilakukan melalui penegakan diagnosa

menggunakan alat TCM yang terdapat di Laboratorium TB MDR RSU Pusat H.

Adam malik Medan. Selama tiga bulan masa pengumpulan subjek penelitian

terdapat197 subjek yang ditegakan MTB +/Rifampicin sensitif yang terdiri dari

138 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan 58 orang dengan jenis kelamin

perempuan dengan rasio perbandingan 2,4. Karakteristik usia dan jenis kelamin

pada populasi sampel penelitian hampir sama dengan laporan WHO tahun 2014

yang melaporkan bahwa 80% penderita TB di seluruh dunia adalah berusia diatas

15 tahun dengan rasio persentase jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah

sebesar 1,4 (WHO, 2014-d). Dari 197 penderita TB yang didiagnosa TB positif

dengan rifampicin sensitif dilakukanpemilihan subjek melalui kriteria

inklusi/eksklusi, dan dilakukan randomisasi sehingga diperoleh jumlah sampel

yang mencukupi. Kelompok perlakuan sebanyak 31 orang terdiri dari 26 orang

(83,9%) dengan jenis kelamin laki-laki dan 5 orang (16,1%) dengan jenis kelamin

perempuan dengan usia rata-rata adalah 36,39±13,98 tahun. Untuk menghindari

adanya perancu, subjek untuk kelompok kontrol dipilih melalui teknik matching

sehingga kelompok perlakuan jugaterdiri dari 26 orang (83,9%) dengan jenis

kelamin laki-laki dan 5 orang (16,1%) subjek dengan jenis kelamin perempuan

dengan rata-rata usia 35,03 ±11,76 tahun.

Tingkat kekuatan penularan penyakit TB berdasarkan hasil TCM pada

kelompok kontrol adalah 29,0% pada tingkat tinggi (High)dan tingkat menengah

(medium), sebanyak 25,8% pada tingkat rendah (Low) serta 16,1% pada tingkat

Universitas Sumatera Utara


sangat rendah (Very low). Teknik matching juga dilakukan untuk

menseimbangkan subjek penelitian sehingga diperoleh karakteristik subjek yang

sama pada kelompok perlakuan.Hasil TCM pada kelompok perlakuan adalah

32,3% pada tingkat tinggi (High) dan tingkat menengah (medium), sebesar 22,6%

pada tingkat rendah (Low) serta 12,9% pada tingkat sangat rendah (Very low).

Untuk mengetahui apakah kedua kelompok pada variabel hasil TCM sudah sesuai

(matching) dilakukan uji statistik sehingga diperoleh nilaip=0,57 (>0,05)

sehingga variabel hasil TCM antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

sudah seimbang.

4.2.b. Manfaat Suplementasi Vitamin CTerhadap Kadar Vitamin CDalam

Darah

Pada kelompok kontrol yang tidak mendapat suplementasi vitamin C

kadar rata-rata vitamin C dalam darah setelah dua bulan masa pengobatan tidak

berbeda secara signifikan dengan kadar rata-rata sebelum masa pengobatan, fakta

ini dapat dipahami karena peningkatan kadar vitamin C dalam darah pada manusia

sangat bergantung pada asupan yang cukup dari sumber makanan yang

dikonsumsi karena tubuh manusia tidak dapat mensintesis vitamin C

sendiri(Nishikimi et al, 1994). Vitamin C yang diperoleh dari asupan makanan

akan segera digunakan oleh tubuh bila diperlukan, namun akan segera dikeluarkan

bersama urine bila sudah tidak digunakan, sehingga vitamin C tidak akan

disimpan terlalu lama dalam tubuh (Fukushima dan Kamazaki, 2010). Pada saat

asupan vitamin C yang berasal dari makanan berlimpah maka kadar vitamin C

dalam darah juga akan meningkat, namun pada saat asupan dari makanan

menurun maka kadar vitamin C dalam darah juga akan berkurang. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


mengakibatkan kadar vitamin C dalam darah dari kelompok kontrol tidak dapat

dipertahankan secara terus menerus atau hanya mewakili kadar vitamin C dalam

darah sesaat.

Pada kelompok perlakuan yang mendapat suplementasi vitamin Ckadar

rata-rata sebelum pengobatan dan dua bulan setelah pengobatan menunjukan

peningkatan yang signifikan. Peningkatan dalam hal ini bukanlah suatu bentuk

peningkatan yang bersifat kumulatif namun lebih pada usaha untuk mempertahan

kadar vitamin C dalam darah. Pada kelompok yang mendapat suplementasi

vitamin, selain memperoleh sumber vitamin C dari makanan juga memperoleh

suplementasi secara terus menerus sehingga kadar maksimal vitamin C dalam

darah hanya dipertahankan tanpa ada peningkatan secara terus menerus.

Setelah dikonsumsi asam askorbat akan diserap, diangkut, dimanfaatkan

dan akan segera diekskresikan bersama urine.Banyaknya variasi proses ini dapat

mempengaruhi konsentrasi tetap vitamin C dalamsirkulasi.Penyerapan dan

distribusi asam askorbat juga sangat bergantung pada banyaknya vitamin C yang

tersedia dalam tubuh dan tergantung pada dosis yang digunakan. Penyerapan

optimal dari asam askorbat adalah dengan dosis < 200 mg, namun penyerapan ini

akan diturunkan seiring dengan peningkatan asupan melalui makanan (Levine et

al, 1996).Pemberian vitamin C secara oral dengan dosis sampai 3 gram/4 jam

hanya akan meningkatkan kadar vitamin C dalam darah sebesar 220

µM/L(Padayatty et al, 2004).Dengan asupan melalui sumber makanan,

konsentrasi vitamin C dalam plasma tidak melebihi 100 mM/L. Dengan

suplementasi sebanyak 500 mg/hari atau bahkan dengan suplementasi dengan

dosis mendekati maksimal yang ditoleransi, konsentrasi askorbat dalam plasma

Universitas Sumatera Utara


selalu <250 mmol/L dan sering <150 mmol/L (Levine et al, 2011).Didalam

jaringan tertentu seperti kelenjar adrenal, kelenjar pituitari,timus, retina, korpus

luteum, otak dan berbagai jenis sel saraf, kemampuan sel untuk menyimpan

vitamin C setidaknya 100 kalilebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi

didalam plasma (Hediger, 2002).

Penyerapan dan transportasi asam askorbat dimulai dari lumen usus dan

dilakukan oleh transporter vitamin C-1 yang bergantung natrium (Sodium

Vitamin-CTransporter-1). Setelah berada dalam darah, asam askorbat dipindahkan

ke dalam jaringan perifer olehtransportervitamin C-2tergantung natrium (SVCT2)

(Wilson 2005). SVCT1 dan SVCT2 bersifat sangat spesifik untuk asam askorbat

danberfungsi secara tidak berlebihan dan tidak terikat satu sama lain (Kuo et al

2004). Ekspresi dari SVCT1 dan SVCT2 diatur oleh substrat mereka sendiri yaitu

asam askorbat, pada saat kadar asam askorbat tinggi akan menurunkan ekspresi

SVCT1 di usus dan SVCT2 memediasiserapan seluler di kompartemen lain

(Savini et al 2007). Hal ini yang memungkinkan adanya upaya untuk

mempertahankan kadar vitamin C selama asupan yang rendah dan untuk

membatasi kadar tertinggi dalam darah pada saat adanya asupan yang tinggi.

Karakteristik penyerapan dan transportasi asam dehidroaskorbat juga

berbeda dengan asam askorbat. Asam dehidroaskorbat diserap oleh membran

luminal dari jejunum manusiameskipun dengan afinitas rendah (Km ~ 0,8 mM)

dan difasilitasi difusi yang tidak bergantung dengan natrium (Wilson 2005).

Transport asam dehidroaskorbat pada sebagian besar sel dimediasi oleh kelompok

transporter glukosa (GLUT). Vitamin C diduga dipindahkan ke dalam

mitokondria oleh GLUT1 (Mandl et al 2009). GLUT 1 adalah transporter asam

dehidroaskorbat dengan afinitastertinggi(Montecinos et al 2007), tapi GLUT 3

Universitas Sumatera Utara


dan GLUT 4 juga merupakan transporter asam dehidroaskorbat(Rumsey et al,

1997).Transportasam dehidroaskorbat ini memungkinkan daur ulang asam

dehidroaskorbat yang dihasilkan pada reaksi oksidatif, sebahagian asam

dehidroaskorbat segera dikurangi menjadi asam askorbat. Pengurangan secara

seluler ini dihipotesiskan menjadi dasar kebutuhan vitamin C harian yang rendah

pada manusia(Montecinos et al 2007).

4.2.c. Peran Vitamin CDalam Mempengaruhi Kecepatan Konversi Kultur

Pada kelompok kontrol subjek yang mengalami konversi kultur BTA

negatif pada minggu pertama dan minggu kedua adalah masih nol persen.

Konversi kultur BTA negatif terjadi pada minggu ke tiga sebanyak dua subjek

(6,2%). Pada minggu ke tujuh angka konversi kultur BTAsebanyak 20 subjek

(64,5%) dan pada minggu ke delapan konversi kultur M. tuberculosis pada

kelompok kontrol sebesar 26 subjek (83,9%).Persentase konversi kultur BTA

pada minggu kedelapan dari kelompok kontrol ini mempunyai kesamaan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Kayigamba et al (2013) yang mempublikasikan

proporsi kesembuhan pengobatan TB setelah pengobatan dua bulan sebesar 82%.

Temuan yang dilakukan oleh Bouti et al (2013) menunjukan persentase konversi

sputum BTA yang lebih besar yaitu 95% setelah dua bulan pengobatan. Penelitian

oleh Bawri et al (2008) yang mengamati konversi sputum BTA pada pengobatan

penyakit TB yang diobati dengan sistem DOTS menunjukan persentase konversi

sebesar 84% setelah dua bulan pengobatan.

Pada kelompok perlakuan angka konversi kultur BTA pada minggu

pertama adalah 9,6% dan pada minggu kedua meningkat menjadi16,1%.

Peningkatan angka konversi kultur BTA ini terus meningkat setiap minggunya.

Pada minggu ke tujuh angka konversi kultur BTA sudah sebanyak 30

subjek(96,8%) dan pada minggu ke delapan konversi kultur BTA pada kelompok

Universitas Sumatera Utara


perlakuan ini sudah mencapai 31 subjek (100%).Angka konversi dan kecepatan

waktu konversi pada kelompok perlakuan ini lebih cepat dua minggu bila

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini terjadi karena peran OAT yang

masih maksimal karena subjek yang dipilih adalah subjek yang masih sensitive

terhadap OAT lini pertama terutama obat Rifampicin.

Mekanisme bagaimana sinergi antara OAT dan vitamin C belum dapat

dijelaskan secara jelas. Dugaan yang paling diutamakan adalah adanya aktivitas

yang diistilahkan dengan serangan bertubi-tubi (combo attack) dari OAT lini

pertama dan peran vitamin C melalui reaksi Fenton didalam sel bakteri

M.tuberculosis. Telah diketahui bagaimana mekanisme peran obat rifampicin

yang menghasilkan radikal bebas yang akan mempengaruhi proses transkripsi

protein pembentuk dinding sel yang pada akhirnya akan menyebabkan

terganggunya sintesis dinding sel sehingga sel bakteri akan mati.Rifampicin akan

menempati target obat pada sub unit β pada gen rpoB dan membentuk ikatan yang

kuat. Interaksi ini akan menstimulasi reaksi oksidasi NADH pada rantai transport

elektron(Campbell et al, 2001). Aktivasi ini akan menghasilkan pembentukan

superokside (O2-) yang akan merusak ikatan Fe dan Sulfida. Ion Fe yang

dihasilkan ini akan memicu terjadinya reaksi Fenton (Kohanski et al,

2010).Serangan pertama oleh rifampicin yang menyebabkan kerusakan ikatan ion

ferri dan ion sulfida, ion Fe yang dihasilkan ini dimanfaatkan oleh vitamin C

untuk menghasilkan reaksi Fenton versi vitamin C sehingga akan terjadi reaksi

Fenton yang lebih besar.Kombinasi OAT lini pertama yang lain akan semakin

mempersulit usaha untuk mempertahankan kehidupan bakteri M.tuberculosis.

Reaksi Fenton yang diinduksi oleh vitamin Cdimulai dengan reaksi

reduksi ion Ferri menjadi ion Ferro yang sangat reaktif sehingga pada saat

bereaksi dengan oksigen akan menghasilkan superoksida. Superoksida yang

Universitas Sumatera Utara


terbentuk ini akan berreaksi dengan ion Hidrogen menghasilkan senyawa

hydrogen peroksida. Pada saat hydrogen peroksida bereaksi dengan ion Ferro

akan teroksidasi kembali menjadi ion Ferri dan senyawa hidroksil. Senyawa

hidroksil ini akan menyebabkan oksidasi asam lemak dan kerusakan DNA

(Kohanski et al, 2007).

Lipid adalah salah satu target yang paling besar yang mengalami

kerusakan sebagai akibat dari kerusakan oksidatif. Kerusakan oksidatif membran

dan dinding sel lipid dapat mengganggu fungsi penting dari molekul-molekul

dalam menjaga homeostasis. Analisis transkripsi mengungkapkan bahwa yang

paling di up-regulasi dalam kultur M. tuberculosis yang diberi vitamin C adalah

pengkodean gen PSD (phosphatidyl serine adekarboksilase), yang mengubah

phosphatidylserine ke phosphatidyl ethanolamine yang terlibat dalam biosintesis

lipid. Kematian sel yang melibatkan ROS berhubungan dengan translokasi

phosphatidylserine pada bagian membran luar bakteri (Dwyer et al, 2012)

Selain menginduksi terbentuknya ROS, vitamin C juga mempengaruhi

biosintesis lipid. Pada pengobatan yang menggunakan suplementasi vitamin C

akan mengakibatkan terbentuknya asam lemak bebas rantai panjang 2-

hydroxylasi, dimana asam lemak ini tidak ditemukan pada bakteri M.tuberculosis

secara normal karena bakteri M.tuberculosis tidak mensisntesis asam lemak ini

(Layre et al, 2011). Asam lemak ini merupakan hasil oksidasi dari turunan asam

2-alkenoic yang mengandung radikal hidroksil hasil dari reaksi Fenton yang

diinduksi oleh adanya vitamin C (Vilcheze, et al, 2013). Asam lemak 2-hidroksil

ini (C16 dan C18) lebih beracun untuk Mycobacteriun dibandingkan dengan asam

lemak jenuh yang sama. Akumulasi dari Asam lemak 2-Hidroksil dapat bersifat

sebagai bakterisida pada bakteri M. tuberculosis. Selain itu, penurunan kandungan

Universitas Sumatera Utara


fosfolipid dari bakteri M. tuberculosis yang diberi vitamin C dapat mempengaruhi

struktur dinding sel Mycobacterium dan dapat mengancam kelangsungan hidup

bakteri M. tuberculosis (Kondo and Kanai, 1977).

Persyaratan untuk dapat terjadinya reaksi Fenton yang diinduksi oleh

vitamin C sehingga menghasilkan stress oksidatif adalah konsentrasi vitamin C di

dalam sel bakteri M. tuberculosis yang harus tinggi dan ini terkait erat dengan

mekanisme insersi vitamin C kedalam sel bakteri. Ketersediaan ion Fe didalam

sel bakteri M. tuberculosis juga merupakan komponen penting yang berperan

dalam terjadinya reaksi Fenton. Peran ion Fe yang ada pada bakteri M.

tuberculosis juga sangat penting karena tanpa adanya ion Fe yang cukup maka

langkah awal dari reaksi Fenton versi vitamin C tidak akan terjadi.

. Bagaimana mekanisme transport vitamin C oleh bakteri M. tuberculosis

juga masih merupakan misteri. Bila pada manusia transport vitamin C sebagai

asam askorbat maupun asam dehidroaskorbat difasilitasi oleh SVCT dan GLUT,

sehingga akumulasi vitamin C didalam sel dapat dicapai sampai batas maksimal.

Pada bakteri M. tuberculosis transport vitamin C belum diketahui dengan pasti

kecuali untuk transport vitamin B12 (Gopinath et al, 2013).Dugaan yang paling

besar bagaimana vitamin C masuk kedalam sel bakteri M. tuberculosis adalah

melalui protein transport (porin) yang terdapat pada dinding sel bakteri M.

tuberculosis (Haeli et al, 2015).

Porin merupakan saluran protein yang bersifat non-spesifik yang berada

pada membran luar bakteri yang memungkinkan masuknya zat terlarut yang

bersifat hidrofilik (Nikaido, 2003) dan berukuran kecil, misalnya gula dan fospat

(Stephan et al, 2005) dansenyawa hidrofobik diasumsikan berdifusi langsung dari

Universitas Sumatera Utara


membran luar.Pada golongan bakteri, porin terbagi atas porins nonspesifik yang

berhubungan dengan perbedaan permeabilitas kation dan anion sertaporins

spesifik yang menjadi bagian dari sistem penyerapan energi (Walte et al, 1995).

Ada dugaan fungsi yang tumpang tindih antara penyerapan vitamin C dengan

nutrisi sehingga proses masuknya vitamin C kedalam sel bakteri M. tuberculosis

berkompetisi dengan nutrisi lain yang bersifat hirdrofilik. Alasan ini yang

mendasari pemikiran bahwa vitamin C secara invivo hanya bersifat sebagai

bakteriostatik.

Dugaan kompetisi fungsi penyerapan vitamin C dengan nutrisi pada

bakteri M. tuberculosis memungkinkan pencapaian konsentrasi vitamin C yang

tidak maksimal.Konsentrasi vitamin C yang tidak sampai 4 mMol/L hanya akan

menyebabkan penghambatan perkembangan bakteri M. tuberculosis secara invitro

(Vilzhe’ze et al, 2013). Penelitian oleh Wiles et al (2014) yang menguji lapisan

biofilm bakteri M. tuberculosis akan steril setelah tiga minggu dengan konsentrasi

32 mMol/L. Penelitian oleh Sikri et al (2015) yang menguji pengaruh vitamin C

terhadap proses transkripsi pada bakteri M. tuberculosis menemukan bahwa

konsentrasi efektif vitamin C yang ditambahkan kedalam media adalah sebesar 10

mMol/L.

Meskipun ada variasi konsentrasi vitamin C yang diperlukan agar vitamin

C mampu beraksi sebagai antibakteri namun konsentrasi yang tinggi adalah

merupakan persyaratan mutlak. Syarat ini yang selanjutnya menimbulkan

pertanyaan berikutnya yaitu berapa besar konsentrasi vitamin C yang terakumulasi

dalam jaringan untuk dapat diabsorbsi oleh bakteri M. tuberculosis, serta berapa

konsentrasi vitamin C didalam sel bakteri yang diperlukan sehingga dapat

memaksimalkan terjadinya reaksi Fenton belum dipahami secara jelas.

Universitas Sumatera Utara


Bakteri M. tuberculosis sangat memerlukan ion Fe untuk tetap bertahan

hidup terutama didalam makrofag, sementara makrofag juga sangat memerlukan

ion Fe untuk kelangsungan proses mengeleminasi bakteri M. tuberculosis yang

telah dipagosit (Cherayil, 2011).Terjadi kompetisi pada proses absorbsi ion besi

ini antara makrofag dan bakteri M. tuberculosis, namun bakteri M. tuberculosis

memanfaatkan ion Fe setelah makrofag selesai melakukan mekanisme absorbsi

ion Fe melalui mekanisme pemanfaatan sumber besi heme dan sumber besi Non

Heme (Tullius et al, 2011)

Pemanfaatan ion Fe oleh makrofag yang bersumber dari besi heme

diperoleh dari transfer ion Fe dari sel darah merah dan mengikat ion Fe bebas ini

dalam protein yang disebut Rv0203 dan membawa ikatan proteinRv0203-Fe ini

menuju reseptor mmpL3 dan mmpL11 yang ada pada membran bakteri, dan

dengan mengaktifkan protein MhuD akan mendegradasi ikatan protein-Fe

didalam sitoplasma sehingga akan diperoleh ion Fe bebas dan akan disimpan oleh

bakteri M. tuberculosis dalam bentuk bacteriferitin (Owen et al, 2013). Sumber

zat besi Non Heme dalam bentuk laktoferin dan ferritin diabsorbsi oleh makrofag

setelah laktoferin dan ferritin berikatan dengan reseptornya yang ada pada

makrofag. Ion Fe yang ada pada sitoplasma makrofag akan diakuisisi oleh bakteri

M. tuberculosisdengan mengaktifkan protein Carboxymikobaktin/mikobaktin dan

mengikat ion Fe serta membawa ion Fe kedalam sel bakteri melalui transporter

IrtAB. Ion Fe ini juga disimpan oleh bakteri dalam bentuk bacteriferritin dan akan

digunakan bila diperlukan atau dalam kondisi bakteri kekurangan besi (Pandey et

al, 2014). Ketersediaan besi yang ada ini merupakan bahan potensial yang dapat

Universitas Sumatera Utara


dimanfaatkan untuk terjadinya reaksi Fenton baik yang diinduksi oleh obat

Rifampicin maupun oleh vitamin C.

Meskipun mekanisme masuknya vitamin C diduga berkompetisi dengan

nutrisi yang bersifat hidrofilik sehingga pencapaian konsentrasi maksimal vitamin

C di dalam sel bakteri tidak tercapai dan tidak menghasilkan reaksi Fenton yang

maksimal namun hasil penelitian menunjukan ada perbedaan kecepatan konversi

kultur M. tuberculosis antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Vitamin

C mampu mempercepat proses konversi kultur BTA serta meningkatkan

persentase konversi kultur BTA pada dua bulan masa intensif pengobata sebesar

16,1%. Pengaruh vitamin C tidak bisa berdiri sendiri, dalam hal ini pengaruh

vitamin C hanya sebagai penghambat laju pertumbuhan dan bukan sebagai

bakterisida, sehingga vitamin C mempunyai peran yang kecil namun sangat

membantu kerja utama dari OAT dalam mengeleminasi bakteri M. tuberculosis.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1. Kesimpulan

1. Suplementasi vitamin C pada pengobatan pasien TB secara signifikan

mampu meningkatkan kecepatan konversi kultur M. tuberculosis dua

minggu lebih cepat dibandingkan dengan pengobatan pasien TB yang

tidak mendapat suplementasi vitamin C(p= 0.003).

2. Subjek penelitian melibatkan 62 orang subjek yang terdiri dari 83,9% laki-

laki dan 16,1% perempuan dengan usia rata-rata 35,7±12,8 tahun dengan

variasi hasil TCM tingkat tinggi dan menengah sebanyak 30,6 persen,

pada tingkat rendah 25,8% dan padatingkat sangat rendah sebanyak

12,9%.

3. Pada kelompok kontrol kadar rata- rata vitamin Csebelum pengobatan

adalah 228,35µM/L dan setelah dua bulan pengobatan adalah 200,29µM/L

dan kadar rata-rata vitamin C sebelum dan sesudah dua bulan pengobatan

tidak berbeda secara signifikan.

4. Pada kelompok perlakuan kadar rata- rata vitamin C pasien TB sebelum

pengobatan adalah 201,19 µM/L dan setelah dua bulan suplementasi

adalah 273,61 µM/L dan kadar rata-rata vitamin C sebelum dan sesudah

dua bulan suplementasi berbeda secara signifikan (p=0,03).

5. Kadar rata- rata vitamin C sebelum pengobatan dan dua bulan setelah

pengobatan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak berbeda

secara signifikan.

Universitas Sumatera Utara


6. Kecepatan konversi kultur M. tuberculosisnegatif pada kelompok kontrol

dimulai pada minggu ke tiga sebesar 6,5% dan pada kelompok perlakuan

dimulai pada minggu ke satu sebesar 9,67%.

7. Persentase konversi kultur M. tuberculosis kelompok kontrol pada minggu

ke delapan adalah sebesar 83,9% dan pada kelompok perlakuan adalah

100%

V. 2. Saran.

1. Harapan untuk adanya penelitian tentang mekanisme absorbsi vitamin Coleh

bakteri M. tuberculosis sehingga akan dapat dipahami secara jelas bagaimana

pengaturan akuisisi vitamin C sehingga mampu menginduksi reaksi Fenton

secara maksimal.

2. Untuk menjawab keraguan tentang konsentrasi ion Fe dalam mempengaruhi

kerja vitamin Cterhadap M. tuberculosis diharapkan ada peneliti lain yang

mengukur kadar ion Fe dalam sel.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad-Nejad P, Hacker H, Rutz M, Bauer S, Vabulas RM, and Wagner H.


Bacterial CpG-DNA and lipopolysaccharides activate Toll-like
receptors at distinct cellular compartments. Eur. J. Immunol,
2002;32:1958–1968.

Algood HM, Lin PL, Yankura D, Jones A, Chan J and Flynn JL,TNF influences
chemokine expression of macrophages in vitro and that of CD11bþ
cells in vivo during Mycobacterium tuberculosis infection. J
Immunol. 2004;172: 6846–6857.

Allan CB, Wolf E and Hafler DA, MHC Class II Expression Identifies
Functionally Distinct Human Regulatory T Cells, J. Immunol, 2006;
176: 4622–463doi: 10.4049/jimmunol.176.8.4622

Alli JA, Kehinde AO, Kosoko AM, Ademowo OG, Oxidative Stress and
Reduced VitaminsC and E Levels Are Associated with Multi-Drug
Resistant Tuberculosis, Journal of Tuberculosis Research, 2014; 2: 52-
58.

Alsteens D, Verbelen C, Dague E, Raze D, Baulard AR, Dufr^ene YF.


Organization of the mycobacterial cell wall: a nanoscale view.
Pflugers Arch 2008;456:117–25.

Arora A, Chandra NR, Das A, Gopal B, Mande SC, Prakash Bet al, Structural
Biology Of Mycobacterium Tuberculosis Proteins: The Indian
Efforts, Tuberculosis, 2011; 91:456-468.
doi:10.1016/j.tube.2011.03.004

Awodele O, Akintonwa A, Osunkalu VO, and Coker HAB,Modulatory Activity


Of Antioxidants Against The Toxicity Of Rifampicin In Vivo,Rev.
Inst. Med. trop. S. Paulo, 2010; 52(1):43-46

Banerjee S, Farhana A, Ehtesham NZ, Hasnain SE. Iron acquisition,


assimilationand regulation in mycobacteria. Infect Genet Evol J Mol
Epidemiol Evol GenetInfect Dis 2011; 11(5):825-838

Bardou F, Raynaud C, Ramos C, Laneelle MA, Laneelle G, Mechanism of


Isoniazid Uptake in Mycobacterium tuberculosis, Microbiology 1998;
144:2539-2544.

Bawri S, Ali S, Phukan C, Tayal S, Baruwa P. A Study Of Sputum Conversion


In New Smear Positive Pulmonary Tuberculosis Cases At The
Monthly Intervals Of 1st, 2nd, And 3rd Month Under Directly
Observed Treatment, Short Course (Dots) Regimen, Lung India,
2008; 25(3):118-123.

Universitas Sumatera Utara


Baxmann AC , De OG Mendonç a C , and Heilberg IP, Effect Of Vitamin C
Supplements On Urinary Oxalate And Ph In Calcium Stone-
Forming Patients, Kidney International, 2003; 63: 1066–1071

Biedermann T, Mailhammer RMai A, et al. Reversal of established delayed type


hypersensitivity reactions following therapy with IL-4 or antigen-
specific Th2 cells. Eur J Immunol. 2001; 31: 1582–1591.

Biswas S, Thomas N, Mandal A, In Vitro Analysis Of Antibacterial Activity Of


Vitamin C Alone And In Combination With Antibiotics On Gram
Positive Rod Isolated From Soil Of A Dumping Site Of
Kolkata,IJPBS, 2013; 3(3): 101-110

Bloch H and Segal W,Biochemical differentiation of Mycobacterium


tuberculosis grown in vivo and in vitro. J Bacteriol, 1956; 72: 132–
141.

Bold TD and Ernst JD, CD8 + Effector T Cells in Mycobacterium CD4+ T Cell-
Dependent IFN-g Production by tuberculosis Infection, J Immunol,
2012; 189: 2530-2536, doi: 10.4049/jimmunol.1200994

Bouti K,Aharmim M, Marc K, Soualhi M, Zahraoui R,Benamor J, et al, Factors


Influencing Sputum Conversion among Smear-PositivePulmonary
Tuberculosis Patients in Morocco, ISRN Pulmonology, 2013: Article
ID 486507. http://dx.doi.org/10.1155/2013/486507

Borsook H, Davenport HW, Jeffreys CEP, Warner RC, The Oxidation Of


Ascorbic Acid And Its Reduction In Vitro And In Vivo,William G.
Kerckhoff Laboratories OfTheBiologicalSciences,CaliforniaInstituteOf
Technology,1936.

Boyer JC, Campbell CE, Sigurdson WJ, Kuo SM, Polarized localization of
vitamin C transporters, SVCT1 and SVCT2, in epithelial cells,
Biochem Biophys Res Commun, 2005; 334:150-6

Brennan PJ, Structure, function, and biogenesis of the cell wall of


Mycobacterium tuberculosis,Tuberculosis Elsevier Science, 2003; 83:
91–97.doi:10.1016/S1472-9792(02)00089-6

Braibant M, Gilot P, Content J, The ATP binding cassette (ABC) transport


systems of Mycobacterium tuberculosis, FEMS Microbiology, 2000;
24 :449^467

Brossart P and Bevan MJ, Presentation of Exogenous Protein Antigens on


Major Histocompatability Complex Class I Molecules by Dendritic
Cells: Pathway of Presentation and Regulation by Cytokines, Blood
Journal, 1997; 90(4): 1594–1599

Universitas Sumatera Utara


Brust JCM, Gandhi NR, Carrara H, Osburn G, and Padayatchi N,High
Treatment Failure and Default Rates for Patients with MDR TB in
KwaZulu-Natal, South Africa, 2000–2003, Int J Tuberc Lung Dis,
2010; 14(4): 413–419.

Buettner GR and Schafer FQ, Ascorbate (Vitamin C), its Antioxidant


Chemistry,Oxygen Society Education Program. 2001. Diakses dari:
http://www.conradnaleway.net/XBuettner-Ascorbate-Chemistry-1.pdf.
Tanggal akses 22 April 2016.

Buettner GR and Jurkiewicz BA, Catalytic Metals, Ascorbate and Free


Radicals: Combinations to Avoid,Radiation Research, 1996; 145:532-
54.

Campbell EA, Korzheva N, Mustaev A, Murakami K, Nair S, Goldfarb A, et


al,Structural Mechanism for Rifampicin Inhibition of Bacterial
RNA Polymerase, Cell, 2001; 104:901-912.

Ca´rcamo JM, Bo´rquez-Ojeda O and Golde DW, Vitamin C inhibits


granulocyte macrophage–colony-stimulating factor–induced
signaling pathways, Blood, 2002; 99(9):3205-3212

Carel C, Nukdee K, Cantaloube S, Bonne M, Diagne CT, Laval F, et al,


Mycobacterium tuberculosis Proteins Involved in Mycolic Acid
Synthesis and Transport Localize Dynamically to the Old Growing
Pole and Septum. PLoS ONE, 2014; 9(5), DOI:
10.1371/journal.pone.0097148

Caruso AM, Serbina N, Klein E, Triebold K, Bloom BR, and Flynn JL, Mice
deficient in CD4 T cells have only transiently diminished levels of
IFN-gamma, yet succumb to tuberculosis.J. Immunol, 1999;162:
5407–5416.

Carvalho NB, Oliveira FS, Duraes FV, de Almeida LA, Florido M, Prata LO, et
al, Toll-Like Receptor 9 Is Required for Full Host Resistance to
Mycobacterium avium Infection but Plays No Role in Induction of
Th1 Responses, Infection And Immunity, 2011; 79(4): 1638–1646

CDC, Chapter 2: Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis, dalam Core


Curriculum on Tuberculosis:What the Clinician Should Know,
2013(a); sixt edition: 19-43.

CDC, Chapter 4: Diagnosis of Tuberculosis Diseases, dalam Core Curriculum


on Tuberculosis:What the Clinician Should Know, 2013(b); sixt
edition: 75-106.

Universitas Sumatera Utara


Chatterjee IB, Majunder AK, Nandi BK, Subramadian N, Synthesis and some
major functions of vitamin C in animals, Ann.NY Acad.Sci, 1975;
258: 24-47.

Cherayil BJ,The Role Of Iron In The Immune Response To Bacterial


Infection, Immunol Res. 2011;50(1): 1–9.

Cole ST, Brosch R, Parkhill J, Garnier T, Churcher C, Harris D, et al.,


Deciphering the biology of Mycobacterium tuberculosis from the
complete genome sequence, Nature, 1998; 393(6685): 537–544

Cooper AM, Roberts AD, Rhoades ER, Callahan JE, Getzy DM, and Orme IM,
The role of interleukin-12 in acquired immunity to Mycobacterium
tuberculosis infection. Immunology.1995;84:423–432.

Corpe CP, Eck P, Wang J, Al-Hasani H, Levine M, Intestinal Dehydroascorbic


acid (DHA) transport mediated by the facilitative sugar
transporters, GLUT2 and GLUT8,J Biol Chem. 2013, 288(13):
9092–910

Crellin PK, Luo CY and Morita YS, Chapter 6: Metabolism of Plasma


Membrane Lipids in Mycobacteria and Corynebacteria, INTECH,
2013; 119-148.

Culley FJ, Natural killer cells in infection and inflammation of the lung,
Immunology, 2009; 128:151–163. doi:10.1111/j.1365-
2567.2009.03167.x

Cursino L, Chartone-Souza E, and Nascimento AMA, Synergic Interaction


between Ascorbic Acid and Antibiotics against Pseudomonas
aeruginosa, Brazilian Archives of Biologycal and technology an
International Journal, 2005; 48(3): 379 -384

Daniels MA, Devine L, Miller JD, Moser JM, Lukacher AE, Altman JD, et
al,CD8 binding to MHC class I molecules is influenced by T cell
maturation and glycosylation,Journal Immunity . 2001 (6):1051-61

Danilchanka O, Pavlenok M, and Niederweis M, Role of Porins for Uptake of


Antibiotics by Mycobacterium smegmatis,Antimicrobial Agents And
Chemotherapy, 2008; 52(9): 3127–3134. doi:10.1128/AAC.00239-0

Drickamer K, C-type lectin-like domains. Curr Opin Struct Biol, 1999; 9: 585–
590

DEPKES, Strategi Nasional Pengendalian Tb Di Indonesia 2010-2014, Jakarta


2011

Universitas Sumatera Utara


DEPKES, Tuberculosis, Temukan, Obati Sampai Sembuh, Pusat data dan
informasi Kementrian Kesehatan, Pusadatin, Jakarta, 2015.

Dooley KE, Lahlou O, Ghali I, Knudsen J, Elmessaoudi MD, Cherkaoui I, et al,


Risk factors for tuberculosis treatment failure, default, or relapse
and outcomes of retreatment in Morocco, BioMedCentral Public
Health, 2011; 11: 140

Draper P, The Outer Parts Of The Mycobacterial Envelope As Permeability


Barriers, Bioscience, 1998; 3: 1253-1261

Dwyer DJ, Camacho DM, Kohanski MA, Callura JM, Collins JJ. Antibiotic-
induced bacterial cell death exhibits physiological and biochemical
hallmarks of apoptosis. Mol. Cell. 2012; 46: 561–572. [PubMed:
22633370]

Elliott JM, and Yokoyama WM, Unifying concepts of MHC-dependent natural


killer cell Education, Trends Immunol, 2011; 32(8): 364–372.
doi:10.1016/j.it.2011.06.001.

Emmanuel FX, Seagar AL, Doig C, Rayner A, Claxton P, and Laurenson I,


Human and Animal Infections with Mycobacterium microti,
Scotland,Emerging Infectious Diseases, 2007; 13(12).

Ergul Y, Erkan Y, Uzun H, Genc H, Altug T, and Erginoz E, Effect of vitamin C


on oxidative liver injury due to isoniazid in rats, Pediatrics
International 2010; 52: 69–74

Ernst JD, Macrophage receptors for Mycobacterium tuberculosis, Infect


Immun. 1998; 66: 1277–1281.

Fantuzzi G, and Dinarello CA. The inflammatory response in interleukin-1


beta-deficient mice: comparison with other cytokine-related knock-
out mice. J Leukoc Biol. 1996; 59: 489–493.

Farber DL, Lugman M, Acuto O, Bottomly K, Control of memory CD4 T cell


activation: MHC class II molecules on APCs and CD4 ligation
inhibit memory but not naive CD4 T cells, Journal Immunity, 1995;
2: 249-259, DOI: doi.org/10.1016/1074-7613(95)90049-7

Feng CG, Scanga CA, Collazo-Custodio CM, Cheever AW, Hieny S, Caspar P, et
al, Mice lacking myeloid differentiation factor 88 display profound
defects in host resistance and immune responses to Mycobacterium
avium infection not exhibited by Toll-like receptor 2 (TLR2)- and
TLR4-deficient animals. J. Immunol.2003; 171: 4758–4764.

Fenton HJH. Oxidation of tartaric acid in presence of iron. J. Chem. Soc, 1894:
65:899 –911)

Universitas Sumatera Utara


Ferrari G, Langen H, Naito M, Pieters J, A coat protein on phagosomes
involved in the intracellular survival of mycobacteria.Cell.1999; 97:
435–447.

Fischer K, Chatterjee D, Torrelles J, Brennan PJ, Kaufmann SH, Schaible


UE.Mycobacterial lysocardiolipin is exported from phagosomes
upon cleavage of cardiolipin by a macrophage-derived lysosomal
phospholipase A2.J Immunol. 2001; 167: 2187-92

Flynn JL, Goldstein MM, Chan J, Triebold KJ, Pfeffersps K, Lowensteln CJ, et al.
Tumor necrosis factor–alpha is required in the protective immune
response against Mycobacterium tuberculosis in mice.
Immunity.1995; 2: 561–572.

Forster BM, and Marquis H, Protein transport across the cell wall of
monoderm Grampositive Bacteria, Mol Microbiol, 2012; 84(3): 405–
413

Foti JJ, Devadoss B, Winkler JA, Collins JJ, Walker GC, Oxidation of the
Guanine Nucleotide Pool Underlies Cell Death by Bactericidal
Antibiotics, SCIENCE 2012; 336.

Fortu´n J, Martin-Da vila P, Molina A, Navas E, Hermida JM, Cobo J, Sputum


conversion among patients with pulmonary tuberculosis: are there
implications for removal of respiratory isolation?, Journal of
Antimicrobial Chemotherapy, 2007, 59, 794–798.
doi:10.1093/jac/dkm025

Franchi L, McDonald C, Kanneganti TD, Amer A, and Nu´n˜ez G, Nucleotide-


Binding Oligomerization Domain-Like Receptors: Intracellular
Pattern Recognition Molecules for Pathogen Detection and Host
Defense, J Immunol 2006;177:3507-3513; doi:
10.4049/jimmunol.177.6.3507

Frei B, England L, Ames BN, Ascorbate is an outstanding antioxidant in


human blood plasma. Proc. Natl. Acad. Sci, 1989; 86: 6377–6381.
[PubMed: 2762330]

Fukushima R, Yamazaki E,Vitamin C requirement in surgical patients.


Clinical Nutrition and Metabolic Care, 2010, 13(6):669-676.

Gengenbacher. M & Kaufmann, S. H. E.,Mycobacterium tuberculosis: success


through dormancy, FEMS Microbiol Rev, 2012; 36: 514–532

Gobin J dan Horwitz MA, Exochelins of Mycobacterium tuberculosis remove


iron from human iron-binding proteins and donate iron to
mycobactins in the M. tuberculosis cell wall, J. Exp. Med. 1996;
183:1527–1532.

Universitas Sumatera Utara


Gold B, Rodriguez GM, Marras MP, Pentecost M, Smith I, The Mycobacterium
tuberculosis IdeR is a dual functional regulator that controls
transcription of genes involved in iron acquisition, iron storage and
survival in macrophages. Mol. Microbiol, 2001,42:851– 865.

Golden, M.P. and H.R. Vikram, Extrapulmonary tuberculosis: an


overview.Am Fam Physician, 2005; 72(9): 1761-8.

Gopinath K, Venclovas C, Loerger TR, Sacchettini JC, McKinney JD, Mizrahi V,


et al, A Vitamin B12transporter in Mycobacterium tuberculosis, Open
Biology, 2013, 3, 120175.

Haber F, Weiss J, The Catalytic Decomposition of Hydrogen Peroxide by Iron


Salts, 1934, Downloaded from http://rspa.royalsocietypublishing.org/
on October 10, 2015.

Haeili M, Speer A, Rowland JL, Niederweis M, Wolschendorf F, The role of


porins in copper acquisition byMycobacteria, InternationalJournal of
Mycobacteriology, 2015, 4, 91–92

Harding CV and Boom WH, Regulation of antigen presentation by


Mycobacterium tuberculosis: a role for Toll-like receptors,Nature
Reviews Microbiology, 2010:8 (4): 296–307.

Harrison PM, Arosio P, The Ferritins: molecular properties, iron storage


function and cellular regulation, Biochimica et Biophysica Acta,
1996; 1275: (161-203)

Harshey RM, Ramakrishnan T, Rate of ribonucleic acid chain growth in


Mycobacterium tuberculosis H37Rv. J Bacteriol. 1977; 129: 616–
622.

Hashmi MA, Ahsan B, Shah SIA and Khan MIU, Antioxidant Capacity and
Lipid Peroxidation Product in Pulmonary Tuberculosis,Al Ameen J
Med Sci 2012; (3): 313-319.

Hacisevki A, Overview Of Ascorbic Acid Biochemistry,J. Fac. Pharm, 2009;


233-255

Hediger, Hemilä H and Louhiala P, Vitamin C may affect lung infections, J R


Soc Med, 2007; 100: 495–498

Hemilä H and Teija K, Vitamin C for preventing and treating tetanus, The
Cochrane Library, 2008, Issue 4.

Hillemann D, Ru¨sch-Gerdes S, Boehme C, and Richter E, Rapid Molecular


Detection of Extrapulmonary Tuberculosis by the Automated

Universitas Sumatera Utara


GeneXpert MTB/RIF System, Journal Of Clinical Microbiology,
2011; 49(4): 1202–1205 doi:10.1128/JCM.02268-10

Horne DJ, Royce SE, Gooze L, Narita M, Hopewell PC, Nahid P, et al, Sputum
Monitoring during Tuberculosis Treatment for Predicting
Outcome: A Systematic Review and Meta-analysis,Lancet Infect Dis.
2010; 10(6): 387–394.

Horowitz A, Stegmann KA, and Riley EM, Activation of natural killer cells
during microbial infections,Frontiers In Immunology, 2012; 2(88).
Doi: 10.3389/Fimmu.2011.00088

Huixian G, Xianbao H, Lei D, Mirabile-Levens E, Kornfeld H, and Remold HG,


Enhancement of antimycobacterial activity of macrophages by
stabilization of inner mitochondrial membrane potential. J Infect
Dis. 2005; 191: 1292–1300.

Iwasaki A dan Medzhitov R, Toll-Like Receptor Control Of The Adaptive


Immune Responses, Nature Immunology, 2004; 5,
Doi:10.1038/Ni1112

Jackson M, Crick DC, and Brenna PJ, Phosphatidylinositol Is an Essential


Phospholipid of Mycobacteria, The Journal Of Biological Chemistry,
2000, 275(39): 30092–30099

Jibrin YB, Ali AB, Saad ST and Kolo PM, Prevalence of Treatment Failure
among Pulmonary Tuberculosis Patients in Federal Medical
Centre, Gombe, Northeastern Nigeria,ISRN Infectious Diseases,
Volume 2013, ID 461704, http://dx.doi.org/10.5402/2013/461704

Jones CM, Niederweis M. Mycobacterium tuberculosis can utilize heme as an


iron source. J. Bacteriol. 2011, 193:1767–1770.

Kallneri A, Hornig D, Pellikka R, Formation of carbon dioxide from ascorbate


in man.Am.J.Clin.Nutr, 1985; 41: 609-613

Kayigamba FR, Bakker MI, Mugisha V,De Naeyer L, Gasana M,Cobelens F, et


al, Adherence to Tuberculosis Treatment, Sputum
SmearConversion and Mortality: A Retrospective Cohort Studyin
48 Rwandan Clinics, PLoS ONE 8(9): e73501.
doi:10.1371/journal.pone.0073501
Kang PB, Azad AK, Torrelles JB, Kaufman TM, Beharka A, Tibesar E, et al,
The human macrophage mannose receptor directs Mycobacterium
tuberculosis lipoarabinomannan-mediated phagosome biogenesis,
Journal of Experimental Medicine, 2005; 202(7): 987–999

Kartmann B, Stengler S, And Niederweis M, Porins In The Cell Wall Of


Mycobacterium Tuberculosis, Journal Of Bacteriology, 1999; 181 (20):
6543–6546.

Universitas Sumatera Utara


KC Sagun, Carcamo JM, and Golde DW, Vitamin C enters mitochondria via
facilitative glucose transporter 1 (Glut1) and confers mitochondrial
protection against oxidative injury, The FASEB Journal, 2005; 19

Kiers A, Klarenbeek A, Mendelts B, Van Soolingen, Koëter DG, The Union


Transmission Of Mycobacterium Pinnipedii To Humans In A Zoo
With Marine Mammals, Int J Tuberc Lung Dis, 2008; 12(12): 1469–
1473.

Kohanski MA, Dwyer DJ and Collins JJ, How Antibiotics Kill Bacteria: From
Targets To Networks, Microbiology, 2010; 8;423-435.

Kohanski MA, Dwyer DJ, Wierzbowski J, Cottarel G, and Collins


JJ,Mistranslation of membrane proteins and two-component system
activation trigger aminoglycoside-mediated oxidative stress and cell
death,Cell, 2008; 135(4): 679–690. doi:10.1016/j.cell.2008.09.038

Kohanski MA,Dwyer DJ, Hayete B, Lawrence CA,and Collins JJ,A Common


Mechanism Of Cellular DeathInduced by Bactericidal Antibiotics,
Cell, 2007; 130: 797–810.

Kondo E, and Kanai K. The relationship between the chemical structure of


fatty acids and theirmycobactericidal activity.Jpn J. Med. Sci. Biol.
1977; 30:171–178. [PubMed: 409867]

Koppenol WH, The Haber-Weiss Cycle, 70 Years Later, Redox Report, 2001;
6(4):229-234.

Krishnan A, Estimation of Anti Microbial Activity of Ascorbic Acid in


uperoxide Dismutase Level in Microbial Culture with Amino
Penicillin – Ampicillin,Int. J. Pharm. Sci. Rev. Res, 2013; 20(2): 167-
169

Kuo SM, MacLean ME, McCormick K, Wilson JX,Gender and sodium-


ascorbate transporter isoforms determine ascorbate concentrations
in mice. J Nutr, 2004;134:2216-21

Layre E, Sweet L, Hong S, Madigan CA, Desjardins D, David C. Younga, et al. A


comparative lipidomics platform for chemotaxonomic analysis of
Mycobacterium tuberculosis.Chem. Biol. 2011; 18:1537–1549.
[PubMed: 22195556]

Lemassu A, Levy-FreBault VV, Laneelle MA, And Daff M, Lack of


correlation between colony morphology and lipooligosaccharide
content in the Mycobactevium tuberculosis complex, Journal of
General Microbiology, 1992; 138:1535-1541

Levine M, Conry-Cantilena , Wang Y, Welch RW, Washko PW, Dhariwal KR,


Vitamin C pharmacokinetics in healthy volunteers: evidence for a

Universitas Sumatera Utara


recommended dietary allowance.Proc Natl Acad Sci
USA1996;93:3704–3709.

Levine MJ, Padayatty S And Espey MG, Vitamin C: A Concentration-Function


Approach Yields Pharmacology And Therapeutic Discoveries, Adv.
Nutr, 2011; 2: 78–88.

Li S, Taylor KB, Kelly SJ, and Jedrzejas MJ, Vitamin C inhibits the enzymatic
activity of Streptococcus pneumoniae hyaluronate lyase, JBC, 2001.

Liang WJ, Johnson D, Jarvis SM, Vitamin C transport systems of mammalian


cells, Mol. Membr. Biol.2001;18: 87–95.

Linster CL and Van Schaftingen E, Glucuronate, the precursor of vitamin C, is


directly formed from UDP-glucuronate in liver, FEBS Journal, 2006;
273:1516–1527

Linster CL and Van Schaftingen E, Vitamin C: Biosynthesis, Recycling and


Degradation in Mammals, FEBS Journal, 2007; 274: 1-22

Lim TS, Mortellaro A, Lim CT, Hammerling GJ and Castagnoli PR,


Mechanical Interactions between Dendritic Cells and T
CellsCorrelate with T Cell Responsiveness, The Journal of
Immunology, 2011; 187: 258-265, doi: 10.4049/jimmunol.1100267

Luzzatto I, Apirion D, Schlessinger D, Mechanism of Action of Streptomycin in


E. coli: Interruption of The Ribosome Cycle at the Initiation of
Protein Synthesis, Genetic, 1968; 60;873-880.

Lynch SR and Cook JD, Interaction of Vitamin C and Iron, Ann N Y Acad Sci.
1980; 355:32-44.

Lykkesfeldt J, Trueba GP, Poulsen, HE, Christen S, Vitamin C deficiency in


weanling guinea pigs: Differential expression of oxidative stress and
DNA repair in liver and brain.British. J. Nutr. 2007;98: 1116–1119.

Malo C and Wilson JX, Glucose Modulates Vitamin C Transport in Adult


Human Small Intestinal Brush Border Membrane Vesicles, J. Nutr,
2000; 130: 63–69.

Mandl J, Szarka A and Bánhegyi G, Vitamin C: update on physiology and


pharmacology, BJPharmacology, 2009, 157,1097–1110

Mapson LW And Breslow E, Biological Synthesis of Ascorbic Acid: L-


Galactono-y-lactone Dehydrogenase,J Biol Chem. 1956; 223 (1):123–
138

Universitas Sumatera Utara


Martinez AN, Mehra S and Kaushal D, Role of Interleukin 6 in Innate
Immunity to Mycobacterium tuberculosis Infection, The Journal of
Infectious Diseases 2013; 207: 1253–1261

May JM, Cobb CE, Mendiratta S, Hill KE and Burk RF, Reduction of the
Ascorbyl Free Radical to Ascorbate by Thioredoxin Reductase,The
Journal Of Biological Chemistry, 1998; 273(36):23039–23045.

McCune RM, Feldmann FM, McDermott W. Microbial persistence, II:


characteristics of the sterile state of tubercle bacilli. J Exp Med,
1966; 123: 469–486.

Means TK, Wang S, Lien E, Yoshimura A, Golenbock DT and Fenton MJ,


Human Toll-like receptors mediate cellular activation by
Mycobacterium tuberculosis. J Immunol. 1999; 163: 3920–3927

Meister A. Commentary on the antioxidant effects of ascorbic acid and


glutathione. Biochem Pharmacol. 1992; 44: 1905-1915.

Mikusova K, Slayden RA, Besra GS, Brennan PJ, Biogenesis of the


Mycobacterial Cell Wall and the Site of Action of Ethambutol,
Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 1995; 39 (11):2484-2489.

Montecinos V, Guzma´n P, Barra V, Villagra´n M, Montesino CM, Sotomayor K,


Vitamin C Is an Essential Antioxidant That Enhances Survival of
Oxidatively Stressed Human Vascular Endothelial Cells in the
Presence of a Vast Molar Excess of Glutathione, The Journal Of
Biological Chemistry, 2007; 282 (21):15506–15515.

Moonan PK, Quitugua TN, Pogoda JM, Woo G, Drewyer G, Sahbazian B, et al.
Does directly observed theraphy (DOT) reduce drug resistant
tuberculosis?, BMC Public Health 2011; 11; 19

Narasimhan P, Wood J, MacIntyre CR and Mathai D, Risk Factors for


Tuberculosis (review), Pulmonary Medicine Volume 2013, Article ID
828939, doi.org/10.1155/2013/828939

Nardai G, Braun L, Csala M, Mile V, Csermely P, Benedetti A, Mandl J, and


Ba´nhegyi G, Protein-disulfide Isomerase and Protein Thiol-
dependent Dehydroascorbate Reduction and Ascorbate
Accumulation in the Lumen of the Endoplasmic Reticulum, 2001;
276(12): 8825–8828.

Nathanson E, Gupta R, Huamani R, Leimane V, Pasechnikov AD, Tupasi TE, et


al. Adverse events in the treatment of multidrug-resistant
tuberculosis: result from the DOTS-plus initiative, Int J Tuberc Lung
Dish, 2004; 8 (11): 1382-1384

Nigou J, Zelle-Rieser C, Gilleron M, Thurnher M, and Puzo G, Mannosylated


lipoarabinomannans inhibit IL-12 production by human dendritic

Universitas Sumatera Utara


cells: evidence for a negative signal delivered through the mannose
receptor, The Journal of Immunology, 2001, 166(12): 7477–7485.

Nikaido H, Porins and Specific Diffusion Channels in Bacterial Outer


Membranes, The Journal Of Biological Chemistry, 2003, 269(6):3905-
3908.

Nikita ST, B Delia D, Savio R, MS Kulkarni, In Vitro Effect Of Vitamin C On The


Laboratory Isolates Of Mycobacterium Tuberculosis With Known
Sensitivity And Resistance To The First Line Anti Tubercular Drugs: An
Experimental Pilot Study, Int J Med Res Health Sci. 2015;4(2):396-400.

Nishibori A, Kusaka J, Hara, H, Umeda, M, and Matsumoto K,


Phosphatidylethanolamine Domains and Localization of
Phospholipid Synthases in Bacillus subtilis Membranes, Journal Of
Bacteriology, 2005; 187(6): 2163–2174, doi:10.1128/JB.187.6.2163–
2174.2005

Njus, D, Wigle, M, Kelley, PM, Kipp, BH, and Schlegel HB, Mechanism of
Ascorbic Acid Oxidation by Cytochrome b561, Biochemistry,
2001;40:11905-11911

Nishikimi M, Fukuyama R, Minoshima S, Shimizux N and Yagis K, Cloning and


chromosomal mapping of the human nonfunctional gene for L-
gulonolactone oxidase, the enzyme for L-ascorbic acid biosynthesis
missing in man, J.Biol.Chem, 1994; 269:13685-13688.

Owens CP, Chim N, Graves AB, Harmston CA, Iniguez A, Contreras H, Et Al,
The Mycobacterium Tuberculosis Secreted Protein Rv0203
Transfers Heme To Membrane Proteins Mmpl3 And Mmpl11,The
Journal Of Biological Chemistry, 2013:288(30); 21714–21728.

Padayatty SJ, Sun H, Wang Y, Riordan HD, Hewitt SM, Katz A, Wesley RA,
Levine M:Vitamin C pharmacokinetics: implications for oral and
intravenous use. Annals ofInternal Medicine, 2004, 140(7):533-538.

Pandey SD, Choudhury M,Yousuf S,Wheeler PR,Gordon SV,Ranjan A,Sritharana


M, Iron-Regulated Protein HupB of Mycobacterium tuberculosis
PositivelyRegulates Siderophore Biosynthesis and Is Essential for
Growth inMacrophages, Journal of Bacteriology, 2014; 196 (10):
1853–1865

Pandey R and Rodriguez GM, A Ferritin Mutant of Mycobacterium


tuberculosis Is Highly Susceptible to Killing by Antibiotics and Is
Unable To Establish a Chronic Infection in Mice, ASM Journal,
2012: 80 (10);3650–3659.

Universitas Sumatera Utara


Packer L, Fuchs J, Vitamin C in health and disease Marcel Dekker, Inc., New
York, 1997.

Pawar BD, Suryakar AN, Khandelwal AS,Effect of micronutrients


supplementation on oxidative stress and antioxidant status in
pulmonary tuberculosis,Biomedical Research; 2011; 22(4): 455-459

Pineau B, Layoune O, Danon A, and De Paepe R, L-Galactono-1,4-lactone


Dehydrogenase Is Required for the Accumulation of Plant
Respiratory Complex I, The Journal Of Biological Chemistry, 2008,
283(47): 32500–32505

Pitarque S, Maumus GL, Payré B, Jackson, M, Puzo G, and Nigou J, The


immunomodulatory lipoglycans, lipoarabinomannan and
lipomannan, are exposed at the mycobacterial cell surface,
Tuberculosis, 2008; 88(6): 560–565. doi:10.1016/j.tube.2008.04.002.

Pöyry S, Cramariuc O, Postila P, Kaszuba K, Sarewicz M, Osyczka A, et al,


Clarifying the Roles of Cardiolipin, J.Phys.Chem.B, 2009; 113:
15513.

Podmore ID, Griffiths HR, Herbert KE, Mistry N, Mistry P, Lunec J. Vitamin C
exhibits pro-oxidant properties. Nature.1998; 392: 559.

Prasad PD, Huang W, Wang H, Leibach FH, Ganapathy V, Transport


mechanism for Vitamin C in the JAR Human Placental
Choriocarcinoma Cell Line, biochimica el biophysica Acta, 1998;
1369: 141-151

Pfyffer GE, Auckenthaler J, van Embden JDA and van Soolingen D,


Mycobacterium canettii, the Smooth Variant of M. tuberculosis,
Isolated from a Swiss Patient Exposed in Africa, Emerging
Infectious Diseases, 1998; 4(4).

Pfyffer GE, Mycobacterium: General Characteristics, Laboratory detection,


and Staining Procedures, In P. R. Murray (Ed), Manual of
Microbiology (9th ed., Washington D.C., ASM Press 2007; 543-572.

Rajan DP, Huang W, Dutta B, Devoe LD, Leibach FH, et al. Human placental
sodium dependent vitamin C transporter (SVCT2): molecular
cloning and transport function.Biochem Biophys Res Commun,
1999;262:762-8
Rajni, Rao N and Meena LS, Biosynthesis and Virulent Behavior of Lipids
Produced by Mycobacterium tuberculosis : LAM and Cord Factor:
An Overview, Biotechnology Research International, 2011,
doi:10.4061/2011/274693

Universitas Sumatera Utara


Ratledge C and Ewing M, The occurrence of carboxymycobactin, the
siderophore of pathogenic mycobacteria, as a second extracellular
siderophore in Mycobacterium smegmatis, Microbiology, 1996; 142,
2207-2212).

Reddy PV, Puri RV, Chauhan P, Kar R, Rohilla A, Khera A, et al, Disruption of
Mycobactin Biosynthesis Leads to Attenuation of Mycobacterium
tuberculosis for Growth and Virulence, The Journal of Infectious
Diseases 2013; 208:1255–1265. DOI: 10.1093/infdis/jit250

Ryndak MB, Wang S, Smith I, Rodriguez GM. The Mycobacterium


tuberculosis high-affinity iron importer, IrtA, contains an FAD
binding domain. J. Bacteriol, 2010; 192:861–869.
doi.org/10.1128/JB.00223-09.)

Rodríguez S, Bezos J, Romero B, de Juan L, Álvarez J, Castellanos E, et al,


Mycobacterium caprae Infection in Livestock and Wildlife, Spain,
Emerging Infectious Diseases,2011, 17(3). DOI:
10.3201/eid1703.100618

Rodriguez GM, Smith .Identification of an ABC transporter required for iron


acquisition and virulence in Mycobacterium tuberculosis. J.
Bacteriol. 2006: 188:424–430.

Roughead Z.K (Fariba), Zito CA, and Hunt JR, Initial uptake and absorption of
nonheme iron and absorption ofheme iron in humans are
unaffected by the addition of calcium ascheese to a meal with high
iron bioavailability, Am J Clin Nutr 2002;76:419–25.

Rothlin CV, Ghosh S, Zuniga EI, Oldstone MBA, and Lemke G, TAM receptors
are pleiotropic inhibitors of the innate immune Response,Cell, 2007;
131(6): 1124–1136.

Ruiz JJ, Aldaz A And Manuel Dominguez M, Mechanism of L-ascorbic acid


oxidation and dehydro-L-ascorbic acid reduction on a mercury
electrode. I. Acid medium Can I. Chem, 1977; 55

Rumsey SC, Kwon O, Xu GW, Burant CF, Simpson I, and Levine M, Glucose
Transporter Isoforms GLUT1 and GLUT3 Transport
Dehydroascorbic Acid, JBC, 1997; 272(30): 18982–18989

Saini V, Farhana A, Glasgow JN, Steyn AJC.Iron sulfur cluster proteins and
microbial regulation: implications for understanding tuberculosis.
Curr Opin Chem Biol 201;16(1-2):45-53.

Sartain MJ, Dick DL, Rithner CD, Crick DC, Belisle JT. Lipidomic analyses of
Mycobacterium tuberculosis based on accurate mass measurements

Universitas Sumatera Utara


and the novel "Mtb LipidDB". J. Lipid Res. 2011; 52:861–872.
[PubMed: 21285232]

Savini I, Rossi A, Pierro C, Avigliano L, Catani MV, SVCT1 and SVCT2: key
proteins for vitamin C uptake. Amino Acids, 2007.

Seiler P, Aichele P, Bandermann S, Hauser AE, Lu B, Gerard NP, Gerard C,


Ehlers S, Mollenkopf HJ, and Kaufmann SHE, Early granuloma
formation after aerosol Mycobacterium tuberculosis infection is
regulated by neutrophils via CXCR3-signaling chemokines, Eur. J.
Immunol. 2003; 33:2676–2686.

Sikri K, Batra SD, Nandi M,Kumari K, Taneja NK, Tyagi JS, The pleiotropic
transcriptional response of Mycobacterium tuberculosis to vitamin
C is robust and overlaps with the bacterial response to multiple
intracellular stresses,Microbiology, 2015:161;739–753 DOI
10.1099/mic.0.000049000049 G

Shin SS, Pasechnikov AD, Gelmanova IY, Peremitin GG, Strelis AK, Mishustin
S, et al. Adverse reactions among patients being treated for MDR-
TB in Tomsk, Rusia, Int J Tuberc Lung Dis, 2007; 11(12); 1314-1320.

Skov, S, Klausen, P and Claesson, MH, Ligation of Major Histocompatability


Complex (MHC) Class I Molecules on Human T Cells Induces Cell
Death through PI-3 Kinase–induced c-Jun NH 2-terminal Kinase
Activity: A Novel Apoptotic Pathway Distinct from Fas-induced
Apoptosis, The Journal of Cell Biology, 1997; 139(6): 1523–1531

Snow GA, White AJ. 1969. Chemical and biological properties of mycobactins
isolated from various mycobacteria.Biochem. J. 115:1031–1045.

Sornasse T, Flamand V, De Becker G, Bazin H, Tielemans F, Thielemans K,


Antigen-pulsed Dendritic Cells Can Efficiently Induce an Antibody
Response In Vivo, J. Exp. Volume, 1992; 175: 15-21

Stead WW, Eisenach KD, Cave MD, et al. When did Mycobacterium
tuberculosis infection first occur in the New World? An important
question with public health implications.Am J Respir Crit Care Med.
1995; 151: 1267–1268.

Stephan J, Bender J, Wolschendorf F, Hoffmann C, Roth E, Maila’nder C,


Engelhardt H, and Niederweis M.The growth rate of Mycobacterium
smegmatis depends on sufficient porin-mediated influx of nutrients.
Mol. Microbiol, 2005;58:714–730.

Taneja NK, Dhingra S, Mittal A, Naresh M, Tyagi, JS, Mycobacterium


tuberculosis Transcriptional Adaptation, Growth Arrest and
Dormancy Phenotype Development IsTriggered by Vitamin C, Plos
One, 2010; 5(5).

Universitas Sumatera Utara


Tipping PG, Toll-Like Receptors: The Interface between Innate and Adaptive
Immunity, J Am Soc Nephrol, 2006; 17: 1769–1771, doi:
10.1681/ASN.2006050489

Toossi Z, Sedor JR, Lapurga JP, et al. Expression of functional interleukin 2


receptors by peripheral blood monocytes from patients with active
pulmonary tuberculosis. J Clin Invest. 1990; 85: 1777–1784.

Trifiro S, Bourgault AM, Lebel F, René P, Ghost Mycobacteria On Gram


Stain,Journal Of Clinical Microbiology, 1990; 28(1): 146-147

Tripathi RP, Singh B, Bisht S.S and Pandey J, L-Ascorbic acid in Organic
Synthesis: An Overview,Current Organic Chemistry, 2009; 13: 99-122

Tsukaguchi H, Tokui T, Mackenzie B, Berger UV, Chen XZ, Wang Y, Brubaker


RF, Hediger MA, A family of mammalian Na+-dependent L-
ascorbic acid transporters. Nature, 1999;399: 70–75.

Tsunoda M, Sakaue T, Naito S, Sunami T, Abe N, Ueno Y, et al, Insights into


the Structures of DNA Damaged by Hydroxyl Radical: Crystal
Structures of DNA Duplexes Containing 5-Formyluracil, Journal of
Nucleic Acids Vol. 2010, doi:10.4061/2010/107289

Tullius MV, Harmston CA, Owens CP, Chim N, Morse RP, McMath LM, et al,
Discovery and characterization of a unique mycobacterial heme
acquisition system, PNAS; 2011; 108(12):5051-5056

Van Duijn MM, Van Der Zee J, Vansteveninck J, and Van Den Broek PJA,
Ascorbate Stimulates Ferricyanide Reduction In Hl-60 Cells
Through A Mechanism Distinct From The Nadh-Dependent
Plasma Membrane Reductase.J. Biol. Chem. 1998; 273: 13415-
13420.

Van Crevel R, Ottenhaff TH, Van der Meer JW, Innate Imunity To
Mycobacterium Tuberculosis, Clin Microbio Rev. 2002; 309-294

Vankayalapati R, Klucar P, Wizel B, et al. NK cells regulate CD8þ T cell


effector function in response to an intracellular pathogen. J
Immunol.2004; 172: 130–137.

Vilchèze C, Hartman T, Weinrick B, and Jacobs Jr WR, Mycobacterium


tuberculosis is extraordinarily sensitive to killing by a vitamin C-
induced Fenton reaction,Nat Commun. 2013; 4: 1881.
doi:10.1038/ncomms2898.

Waidner B, Greiner S, Odenbreit S, Kavermann H, Velayudhan J, Stähler F, et


al.Essential role of ferritin Pfr in Helicobacter pylori iron
metabolism and gastric colonization. Infect. Immun, 2002; 70:3923–
3929).

Universitas Sumatera Utara


Welte W, Nestel U, Wacker T, And Diederichs K, Structure And Function Of
The Porin Channel, Kidney International, Vol. 48 (1995), Pp. 930—
940

Wang H, Dutta B, Huang W, Devoe LD, Leibach FH, et al,. Human Na(+)-
dependent vitamin C transporter 1 (hSVCT1): primary structure,
functional characteristics and evidence for a non-functional splice
variant,Biochim Biophys Acta, . 1999;1461:1-9

Weinberg ED. Iron loading and disease surveillance.Emerg. Infect. Dis. 1999;
5:346–352.

Welch RW, Bergsten P, Butler JD, and Levine M, Ascorbic acid accumulation
and transport in human fibroblasts Biochem. J, 1993; 294:505–510

Welch RW, Wang Y, Crossman Jr A, Park JB, Kirk KL, and Levine M,
Acumulation of Vitamin C (Ascorbat) and Its oxidized Metabolite
dehidroascorbic acid Occurs by Separated Mechanisms, J. Biol.
Chem. 1995; 270:12584–12592

Wen LS, Wann CP, Ching HH, Cheng YY, Chin PW, and Jenn HC, Association
of Reduced Tumor Necrosis Factor Alpha, Gamma Interferon, and
Interleukin-1 (IL-1) but Increased IL-10 Expression with Improved
Chest Radiography in Patients with Pulmonary Tuberculosis,
Clinical And Vaccine Immunology, 2010; 17(2): 223–231

Wheeler GL, Jones MA and Smirnoff N, The biosynthetic pathway of vitamin


C in higher plants, Nature, 1998; Vol 393.

WHO, Vitamin and mineral requirements in human nutrition : report of a


joint FAO/WHO expert consultation, Bangkok, 1998.

WHO, Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National


Programmes,thirtEdition, Geneva, 2003; 1-17.

WHO, WHO Consultations on the Characterication of BCG Vaccines, Geneva,


2004.Diakses dari:
http://www.who.int/biologicals/publications/meetings/areas/vaccines/bc
g/BCG%20Vacci nes%20report%20December%202004.pdf

WHO, Global tuberculosis report 2015, WHO Press, Geneva, 2015.

WHO, Global tuberculosis report 2014, WHO Press, Geneva, 2014a.

WHO, Xpert MTB/RIF implementation Manual. Geneva. 2014b

WHO, Mycobacteriology Laboratory Manual, First Edition, Geneva, 2014c

Universitas Sumatera Utara


WHO, Global tuberculosis report 2014, for the South-East Asia Region, WHO
Press, Geneva, 2014d.

WHO, Treathment of Tuberculosis Guidelines -4th ed. Geneva, 2009.

Wiles S, Dalton JP, Swift S, Uy B, Effect Of Ascorbic Acid On Mycobacterium


Tuberculosis Biofilms, Peerj Preprints, 2014,
doi.org/10.7287/peerj.preprints.633v1.

Wilson JX, Regulation of vitamin C transport. Annu Rev Nutr. 2005: 25:105-
25

Wilson JX, Jaworski EM, Dixon SJ, Evidence for electrogenic sodium-
dependent ascorbate transport in rat astroglia.Neurochem.Res.
1991; 16: 73–78.

Zelensky AN and Gready JE, The C-type lectin-like domain superfamily,


FEBS Journal, 2005; 272: 6179–6217. doi:10.1111/j.1742-
4658.2005.05031.X

Zhao FQ dan Keating AF, Functional properties and genomics of glucose


transporters.Curr. Genomics 2007;8: 113–128.

Zuber B, Chami M, Houssin C, Dubochet J, Griffiths G and Daffe M, Direct


Visualization of the Outer Membrane of Mycobacteria and
Corynebacteria in Their Native State. Journal Of Bacteriology, 2008;
190(16): 5672–5680doi:10.1128/JB.01919-07

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

PENJELASAN

“Pengaruh vitamin C terhadap kecepatan konversi kulturM. tuberculosis


Dari pasien TB Paru yang sensitive terhadap Rifampicin’’

Bapak/ibu diundang untuk berpartisipasi dalam penelitian tentang manfaat vitamin C


terhadap kecepatan kesembuhan penyakit TBC.Silahkan membaca dan menyimpan
lembar informasi ini.

Apa latar belakang penelitian ini?


Penyakit TBC adalah penyakit yang banyak terjadi di Indonesia. Penyakit TBC dapat
diderita oleh laki-laki dan perempuan, usia dewasa dan anak-anak, kaya atau miskin.
Penyakit TBC dapat disembuhkan dengan menggunakan obat anti TBC dengan masa
pengobatan selama enam bulan dengan masa intensif adalah dua bulan pertama. Masa
intensif pengobatan ini dikatakan berhasil bila pada dahak penderita TBC sudah tidak
ditemukan lagi adanya kuman TBC melalui pemeriksaan mikroskopis maupun kultur
kuman TBC. Proses penyembuhan penyakit TBC sangat bergantung pada kepatuhan
penderita TBC dalam meminum obat. Untuk mempersingkat masa intensif pengobatan
akan ditambahkan vitamin c pada obat TBC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
manfaat vitamin C terhadap percepatan penyembuhan awal dari pasien TBC
dibandingkan dengan pasien TBC yang tidak mendapat tambahan vitamin C. Informasi
dari penelitian ini dapat membantu untuk membuat panduan dalam pengobatan TBC.

Apa yang akan terjadi bila saya ikut berpartisipasi dalam penelitian ini?
• Bapak/ibu akan diwawancarai selama lebih kurang 10 menit.
• Bapak/ibu akan diberi tempat untuk menampung dahak/sputum sebanyak 1x
seminggu selama 8 minggu untuk kami periksa lebih lanjut.
• Bapak/ibu akan diambil darahnya sebanyak kira-kira 3 ml sebanyak 2 kali yaitu
pada saat bapak/ibu setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini serta 8
minggu setelah pengobatan.

Tes apa saja yang akan dilakukan?


• Dahak/sputum akan diperiksa untuk melihat apakah masih ada kuman TBC.
• Darah akan diperiksa untuk mengetahu kadar vitamin C didalam darah.
• Pemeriksaan akan dilakukan di Laboratorium TBC RSU Pusat H. Adam Malik
dan Laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran USU.

Universitas Sumatera Utara


Apakah akan ada resiko jika saya ikut berpartisipasi?
Tidak akan ada resiko yang bisa membahayakan Bapak/ibu. Bapak/ibu hanya akan
diminta untuk menjawab pertanyaan dan memberikan sampel dahak serta diambil
darahnya sebanyak kira-kira 3 ml.

Apakah keuntungan jika saya ikut berpartisipasi?


Hasil dari pemeriksaan dahak akan diinformasikan kepada Bapak/ibu serta dokter yang
mengobati bila diperlukan. Dokter Bapak/ibu dapat menggunakan hasil pemeriksaan ini
untuk pengobatan selanjutnya.

Apakah orang lain di rumah sakit akan tahu penyakit saya?


Hasil wawancara dan hasil tes yang dilakukan tidak akan diketahui oleh orang lain, selain
petugas kesehatan yang terlibat dalam penelitian ini. Nama Bapak/ibu akan digantikan
dengan angka pada formulir sehingga orang dalam penelitian in hanya akan melihat
angka tersebut.

Apa yang akan terjadi pada informasi saya pada saat penelitian ini selesai?
Semua spesimen dari hasil pemeriksaan darah dan kuman yang ditemukan didalam dahak
akan diberi label yang berisi nomor. Kuman akan disimpan didalam lemari pendingin di
RSU Pusat H. Adam Malik untuk dapat diperiksa kembali pada masa yang akan datang.
Demikian juga dengan sampel darah akan disimpan DNA nya agar berguna untuk
penelitian mendatang.

Hasil wawancara akan disimpan dan hanya bisa diakses oleh orang orang yang
berwenang dan akan disimpan sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan.

Kerahasiaan
Informasi tentang Bapak/ibu akan tetap bersifat rahasia, tanpa nama dan tidak akan
diberikan kepada siapapun yang tidak terlibat dalam penelitian ini tanpa persetujuan
Bapak/ibu.

Biaya
Bapak/ibu tidak akan mengeluarkan biaya apapun selain biaya rutin bapak/ibu ke dokter.
Tidak akan ada tambahan biaya untuk semua tes yang dilakukan berkaitan dengan
penelitian ini.

Pertanyaan
Apabila bapak/ibu mempunyai pertanyaan tentang penelitian ini, dapat menghubungi:
Lasmono Susanto – 081397770206

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3

(Tidak di Simpan)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4

Kegiatan penelitian di Laboratorium.

Gbr 1A Gbr 1B Gbr 1C

Gambar lampiran 1A, 1B dan 1C; Kegiatan


kulturM. tuberculosis di Laboratorium TB MDR RSU Pusat H. Adam Malik

Gbr 2A Gbr 2B

Gambar lampiran 2A; proses sedimentasi untuk memperoleh konsentrat bakteri


M. Tuberculosis; 2B: proses inkubasi media padat dari kultur M. tuberculosis.

Gbr 3A Gbr 3B

Gambar lampira 3A dan 3B; pertumbuhan koloni bakteri M. tuberculosis pada


media padat

Universitas Sumatera Utara


Gbr 4A Gbr 4B

Gambar lampiran 4A dan 4B; proses pencampuran sampel plasma dan reagensia
pada pengukuran kadar vitamin C dalam darah menggunakan metode
spektrofotometri.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai