Anda di halaman 1dari 158

27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Penelitian Terdahulu

Fincher, Mark, 2007 Governments as human capital providers, A

rationale for strong government support of broad higher education access. Cedar

Valley College, Le Tourneau University, Lancaster, Texas, USA

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan analisis kasus untuk

dukungan pemerintah terhadap akses pendidikan tinggi ke arah peningkatan daya

saing Nasional dan untuk mengembangkan pemahaman tentang dampak dari

kebijakan nasional pendidikan tinggi pada strategi investasi kapital untuk profit

perusahaan.

Perselisihan serius pada dampak tindakan pemerintah pada strategi

perusahaan. ekonomi dunia menjadi lebih terintegrasi, berkurangnya kontrol

pemerintah atas ekonomi telah menyebabkan banyak pengamat percaya bahwa

perusahaan-perusahan tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Salah satu

daerah di mana pemerintah nasional, negara bagian, dan lokal yang berdaulat

mempertahankan kendali akses ke pendidikan tinggi. Kebijakan pemerintah dapat

memiliki dampak yang mendalam pada akses warganya untuk pendidikan dan

pelatihan lanjutan. Dampak ini dapat lebih terlihat jelas dalam penyediaan

kesempatan untuk bekerja bagi dewasa yang sekolah di pendidikan tinggi.

27
28

Argumen yang koheren dapat dibuat untuk mendukung pemerintah

terkait akses level tinggi ke pendidikan tinggi. Hal ini harus dibuat mengingat

karyawan di evaluasi berdasarkan harga dan produktivitas. Karyawan yang

produktif akan berprestasi dan memperoleh gaji yang lebih tinggi. Perusahaan saat

ini bebas memilih lokasi berdasarkan karakteristik tenaga kerja yang ada

disekitarnya apakah akan mencari tenaga kerja murah, terlatih, produktif, ataupun

karena alasan lainnya.

Sutrisno dan Muhammad Rusdi. Analisis Kebijakan Peningkatan Mutu

Pendidikan Dasar Dan Menengah Di Provinsi Jambi. Jurnal Pendidikan Inovatif 3

(1), September 2007.

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kebijakan dengan

menggunakan model pendekatan penelitian kebijakan yakni dengan mengacu

kepada kaidah-kaidah penelitian kebijakan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk

mengidentifikasi beberapa kebijakan strategis dan implementatif yang telah dan

sedang dibuat oleh pemerintah kota/kabupaten di Provinsi Jambi yang difokuskan

dalam rangka penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan pada jenjang sekolah

dasar dan menengah.

Hasil dari penelitian ini yaitu pertama, Provinsi Jambi belum memiliki

perda yang tertuang secara spesifik untuk mengayomi upaya-upaya peningkatan

mutu pendidikan. Keberadaan perda ini diperlukan untuk dapat memberikan

jaminan keberlanjutan program peningkatan mutu pendidikan. Kedua, pemerintah

Provinsi Jambi masih terus berupaya untuk dapat meningkatkan anggaran

pendidikan, sebagai wujud implementasi amandemen UUD 1945. Ketiga,


29

kebijakan pendidikan yang dijalankan masih bersifat incidental sporadic dan

belum terencana dengan baik. Hal ini disebabkan oleh pembangunan database

yang belum berorientasi pada pengembangan mutu. Keempat, koordinasi antara

BAPPEDA dengan diknas sangat diperlukan dalam menetapkan sasaran

peningkatan mutu dan pengalokasian dana untuk pencapaian sasaran yang sudah

ditentukan. Kelima, kebijakan peningkatan mutu pendidikan yang berkaitan

dengan manajemen sumber daya manusia pendidikan perlu mendapatkan

perhatian serius sesuai dengan PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keenam,

peningkatan keterlibatan masyarakat dalam membangun mutu pendidikan perlu

ditingkatkan dalam wadah komite sekolah dan dewan pendidikan. Ketujuh,

memberdayakan pengawas sekolah sebagai agen pengontrol kualitas

(qualitycontrol) pendidikan di satuan pendidikan perlu diintensifkan secara

berkelanjutan. Kedelapan, satuan pendidikan perlu didorong untuk memiliki

income generating activities, sehingga dapat dijadikan sumber dana untuk

peningkatan mutu pendidikan. Kesembilan, kebijakan yang transparan dan

akuntabel perlu diimplementasi secara luas, sebagai bentuk pertanggungjawaban

pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan.

Ng Pak Tee, 2008, Education policy rhetoric and reality gap: a

reflection, Policy and Leadership Academic Group, National Institute of

Education, Nanyang Technological University, Singapore.

Makalah ini bertujuan untuk membahas mengapa sering ada perbedaan

antara kebijakan retorika dan realitas. Secara khusus, penelitianberusaha untuk


30

mengeksplorasi masalah dengan retorika kebijakan, pelaksanaan proses dan lensa

yang melaluinya dimana realitas dirasakan, menjelaskan mengapa masalah ini

dapat membuka celah kebijakan retorika-Realita. Artikel ini juga menunjukkan

kerangka sederhana matriks untuk menganalisis perbedaan retorika-Realita.

Makalah ini merupakan refleksi dan analisis isu perbedaan antara

kebijakan retorika dan realitas. Analisis kerangka termasuk: isu dalam retorika

kebijakan, isu proses implementasi dan isu dengan menguji realitas. Di bidang

pendidikan, keunggulan pendidikan, desentralisasi, keragaman, keterlibatan

stakeholder dalam otonomi, pemasaran, privatisasi, tanggung jawab publik dan

kualitas jaminan, untuk beberapa nama hanya menjadi topik hangat perdebatan.

Pengelolaan pendidikan tentu meresapi hampir semua tantangan yang dihadapi

oleh sekolah, perguruan tinggi dan pihak otoritas dan menengahi masalah

pelayanan eksternal, kendali pemerintah, kepemimpinan internalnya, komunikasi

yang berulang, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pemantauan. Satu

karakteristik pemerintahan pendidikan adalah bahwa sering kesenjangan terjadi

antara retorika kebijakan dan realitas sebenarnya.

Dari pengalaman reformasi pendidikan di banyak negara, jelas terdapat

kesenjangan antara retorika dan realitas kebijakan. Penyebutan desentralisasi,

otonomi sekolah, kualitas pendidikan dan sekolah khusus semuanya mempunyai

tujuan mulia, inspeksi secara dekat, dinamika perubahan dan interaksi beberapa

aktor pada tingkatan berbeda dalam sistem juga berarti bahwa retorika masih

dapat dikompromikan dalam realitas.


31

Asep Mahpudz, Amirudin Kade, Haerudin dkk. Analisis Kebijakan Dan

Kelayakan Mutu Tenaga Pendidik Dalam Rangka Meningkatkan Mutu

Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Di Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Media

Litbang Sulteng 2 (2): 75 – 85, Desember 2009.

Salah satu kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia diarahkan

untuk meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan

jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik mampu

berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi

pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.

Studi analisis kebijakan yang dilakukan ini merupakan upaya untuk

mengkaji beberapa aspek implementasi arah kebijakan pembangunan pendidikan

nasional di Provinsi Sulawesi Tengah, terutama dalam aspek kelayakan mutu

tenaga pendidik dan penyelenggaraan pendidikan dasar. Studi ini dimaksudkan

untuk memperoleh informasi dan data yang akurat terutama tentang implementasi

arah kebijakan penyelenggaraan pendidikan dasar dan kelayakan mutu tenaga

pendidik pada penyelenggaraan pendidikan dasar di Provinsi Sulawesi Tengah.

Studi analisis kebijakan pendidikan ini bertujuan: (1) Mendeskripsikan

secara konkret kebijakan pembangunan pendidikan di Provinsi Sulawesi Tengah

dalam upaya perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang

bermutu tinggi bagi seluruh masyarakat, (2) Mengembangkan alternatif kebijakan

dalam meningkatkan kemampuan akademik dan profesional tenaga pendidik

sebagai langkah mengembangkan mutu penyelenggaraan pendidikan dasar di

Provinsi Sulawesi Tengah, (3) Mengembangkan alternatif kebijakan aspek


32

tatakelola dan manajemen pengelolaan tenaga pendidik secara komprehensif dan

sistematik, agar sesuai dengan tiga pilar pembangunan pendidikan nasional, yakni:

(1) peningkatan dan penguatan akses pendidikan, (2) peningkatan relevansi dan

daya saing mutu pendidikan, dan (3) peningkatan tatakelola dan citra publik

pengelola pendidikan, sekaligus relevan dengan visi dan misi pembangunan

Provinsi Sulawesi Tengah.

Lingkup wilayah kegiatan ini adalah 7 (tujuh Kabupaten/Kota) di

wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yakni : Kabupaten Morowali, Poso, Tojo

Unauna, Tolitoli, Donggala, Buol dan Kota Palu. Metode pelaksanaan studi ini

dilakukan menerapkan pendekatan penelitian kualitatif secara deskriptif dalam

prospektif emik alamiah, dengan menggunakan teknik survei, studi dokumentasi

dan wawancara.

Hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kompetensi pendidik di

wilayah Provinsi Sulawesi Tengah pada umumnya sudah baik, dengan indeks

diatas 3 pada beberapa komponen aspek kompetensi. Namun demikian, terdapat

beberapa aspek yang masih membutuhkan penguatan dan dukungan dari

pemangku kepentingan untuk senantiasa meningkatkan kompetensi, terutama

pada aspek-aspek tertentu. Hal ini membawa konsekuensi dibutuhkannya

pengembangan program dan dukungan secarasinergis pemangku kepentingan di

Sulawesi Tengah maupun di Kabupaten dan Kota dalam rangka mendukung

peningkatan mutu pembangunan pendidikan dasar secara berkesinambungan.


33

Aminuddin Bakry. Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan

PublikJurnal MEDTEK 2(1). April 2010

Visi dan misi pendidikan merupakan penjabaran dari pandangan tentang

hakikat manusia atau filsafat manusia yang menganggap manusia sebagai mahluk

pribadi dan sosial sekaligus. Dengan demikian, perumusan visi dan misi

pendidikan sangat tergantung pada aspek-aspek politik, sosial, ekonomi dan

budaya dimana dia hidup. Oleh karena pendidikan merupakan suatu pengetahuan

praksis maka analisis kebijakan pendidikan merupakan salah satu input penting

dalam perumusan visi dan misi pendidikan.Dalam konteks inilah kebijakan

pendidikan harus di pandang berdasarkan pendidikan sebagai suatu pengetahuan

praksis dimana visi dan misi pendidikan mengakomodasi esensi filsafat manusia,

filsafat politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dengan demikian, kebijakan

pendidikan merupakan pengejewantahan dari visi dan misi pendidikan bernuansa

esensi manusia berdasarkan filsafat manusia dan politik dalam konteks situasi

politik, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakatnya.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah kebijakan

pendidikan merupakan salah satu kebijakan publik. Metode penelitian dengan

menggunakan studi kasus pada kasus Jembrana dan menganalisis dengan

pendekatan filsafat moral dan ekonomi politik disimpulkan bahwa kebijakan

pendidikan sebagai kebijakan publik bukan kebijakan pendidikan bagian dari

kebijakan publik.

Hasil dari penelitian ini adalah pertama, kebijakan pendidikan berkaitan

dengan upaya pemberdayaan peserta didik. Oleh karena pendidikan merupakan


34

ilmu praksis maka kebijakan pendidikan merupakan proses pemanusiaan yang

terjadi dalam lingkungan alam dan sosialnya sehingga kebijakan pendidikan

adalah penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.

Sedangkan validasinya terletak pada seberapa besar sumbangan kebijakan tersebut

bagi proses pemerdekaan individu dan pengembangan pribadi individu yang

kreatif dalam mentransformasikan masyarakat serta kebudayaannya. Kedua,

kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis pendidikan sehingga kebijakan

pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan,

implementasi dan evaluasi kebijakan. Proses kebijakan tersebut dapat

menggunakan model-model yang telah baku, walaupun model-model tersebut

mempunyai kelemahan dan kekurangan, namun dengan kombinasi berbagai

model dapat dihasilkan proses kebijakan yang layak. Ketiga, pendidikan milik

masyarakat (barang publik) maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat

perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan perlu didengar dan diakomodasi.

Selain itu, pendidikan sebagai barang publik hendaknya ditangani oleh pemerintah

dan upaya menyerahkan pendidikan ke pasar merupakan suatu proses

komersialisasi dan hal ini akan merugikan kepentingan bangsa yang lebih luas

melebihi semata-mata pertimbangan kelangkaan sumber dana.Keempat, merujuk

kepada filsafat moral maka kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik bukan

kebijakan pendidikan bagian dari kebijakan publik. Selain alasan filsafat moral

yang memosisikan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, juga didukung

oleh teori kegagalan pasar dalam teori ekonomi politik.


35

Prasojo, Lantip Diat. Financial Resources Sebagai Faktor Penentu Dalam

Implementasi Kebijakan Pendidikan. Jurnal Internasional: Manajemen Pendidikan

2010.

Masalah pendidikan adalah suatu gejala universal yang melanda setiap

Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Perbedaannya hanya

terletak pada corak strategi dalam solusi pemecahan yang terbaik, yang sampai

saat ini masih merupakan dilema. Begitu juga dengan masalah pendidikan di

Indonesia, pada satu sisi tuntutan pemerataan sesuai dengan pasal 31 UUD 1945

harus diwujudkan, dan pada sisi lain mutu pendidikan sebagai upaya dalam

menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas pun merupakan tuntutan

yang haus seiring dengan laju pembangunan bangsa. Semua permasalahan dalam

penyelenggaraan pendidikan tersebut, jika ditelaah secara mendalam akhirnya

akan mengarah pada satu bagian yang mendasar, yaitu penyediaan dana atau

anggaran pendidikan yang umumnya diperlukan dalam jumlah nominal yang

cukup besar.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah financial resources

dapat menentukan implemantasi kebijakan pendidikan. Metode penelitian yaitu

dengan menganalisis kebijakan yang ada pada dunia pendidikan.

Hasil dari penelitian ini bahwa berdasarkan isu strategis, konsep dasar

dan kajian kritis analisis financial resources sebagai faktor penentu dalam

implemantasi kebijakan pendidikan diperoleh kenyataan sumber dana, SDM dan

stakeholders merupakan tiga faktor yang sangat penting dan terkait langsung

dalam implementasi kebijakan pendidikan. Selain memperhatikan tiga faktor


36

tersebut, implementasi kebijakan pendidikan juga harus memperhatikan sarana

dan prasarana pendidikan agar implementasinya lebih sempurna dan tepat sasaran.

Sun, Mianto, 2010. Education system reform in China after 1978: some

practical implications. Research Institute of Educational Economics and

Administration. Shengyang Normal University, Liaoning, China.

Setelah akhir dari revolusi kebudayaan, pemerintah China keluar dari

ketertutupan pada dunia luar. Orientasi politik yang digunakan adalah “pintu

terbuka”. Orientasi kebijakan ekonomi bertujuan untuk mengembangkan atau

merubah perencanaan ekonomi untuk pembuatan ekonomi pasar. Untuk menjaga

perubahan politik dan ekonomi yang terjadi, komite pusat dari partai komunis

china mengadakan konferensi tentang pendidikan pada bulan mei tahun 1985,

yang melahirkan dokumen kebijakan yang disebut “keputusan tentang reformasi

sistem pendidikan yang dibuat oleh komite pusat partai komunis China setelah

keputusan ini dibuat diharapkan akan membawa reformasi pendidikan di China.

Esensi utama dari reformasi pendidikan ini adalah untuk meningkatkan kualitas

nasionalisme dan untuk menghasilkan pribadi-pribadi penduduk China untuk

mewujudkan modernisasi sosialis di China. Walaupun sebagian besar dari

reformasi pendidikan yang ditujukan untuk sistem pendidikan telah dilakukan,

sebenarnya sistem pendidikan telah didirikan sebelum tahun 1980, namun sistem

itu tidak cocok dengan keperluan pelatihan ratusan dari jutaan masyarakat terdidik

dan pekerja terdidik dan petani, kemudian ribuan tenaga ahli dan manajer dengan

spesialisasi pengetahuan dalam ilmu dan tekonologi akhirnya pemerintah


37

mengkonsentrasikan sistem pendidikan pada sistem pendidikan di sekolah dan

reformasi manajemen sistem pendidikan.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada dua gaya pendidikan di China

setelah 1978. Model pertama adalah reformasi pendidikan mengenai sistem

pendidikan di sekolah. Model kedua adalah reformasi sistem menajemen

pendidikan. Untuk model/gaya reformasi yang pertama ada dua macam reformasi.

Reformasi pertama adalah reformasi sistem administrasi sekolah untuk berbagai

level, termasuk reformasi sistem pendidikan wajib di sekolah, dan reformasi

sistem pendidikan lanjutan. Reformasi kedua adalah reformasi sistem manajemen

pengenalan sekolah. Jika ingin mereformasi sistem administrasi pendidikan, anda

harus fokus pada reformasi secara sentralistik, melakukan desentralisasi

kekuasaan dan tanggung jawab pada pemerintah daerah dan jika anda ingin

mereformasi sistem manajemen pengenalan sekolah anda harus memberi

perhatian pada reformasi sistem kepemimpinan sekolah.

Irianto, Agus. 2009. Perencanaan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota

(Studi Evaluatif Tentang Efektivitas Sistem Pencanaan Pendidikan Menuju Tahun

2025 di Kabupaten Bandung)

Perencanaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota merupakan bagian

integral dari sistem perencanaan pembangunan daerah yang mempunyai peran

sangat signifikan dalam meningkatkan derajat dan kualitas sumber daya manusia.

Perencanaan pendidikan padatingkat kabupaten/kota menuju tahun 2025 perlu

adanya desain sistem yang didasarkan pada konteks kebermaknaan tujuan-tujuann

pendidikan bagi kepentingan masyarakat di masa depan secara menyeluruh


38

melalui proses yang strategis berbasis pada potensi wilayah secara kooperatif,

komprehensif, konkrit dan berkelanjutan. Disain sistem tersebut perlu disertai

perangkat sistem pengendalian dan evaluasi yang didukung oleh asumsi-asumsi

dengan performa indikator pencapaian tujuan yang jelas, ketersediaan sarana dan

prasarana, pembiayaan, serta keberanian politik dari pemerintah daerah untuk

menjadikan rencana pendidikan menuju tahun 2025 tersebut sebagai produk

kebijakan yang mempunyai ketetapan hukum. Untuk meningkatkan efektivitas

implementasi sistem perencanaan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota menuju

tahun 2025 perlu adanya perubahan mendasar dalam peningkatan profesionalisasi

para perencana dan pengelola pembangunan pendidikan berbasis pendidikan

tinggi dalam bidang administrasi dan manajemen pendidikan. Dengan demikian,

siapa pun yang menjadi pimpinan perencana di Bapeda, siapa pun yang menjadi

pimpinan di SKPD pengelola pendidikan, dan siapa pun yang menjadi pimpinan

Dewan Pendidikan, senantiasa mempunyai gerakan yang sama terhadap misi yang

tertuang dalam Master Plan Pendidikan. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah

ganti pimpinan ganti kebijakan, atau sistem dan kebijakan sudah ditata dengan

baik malah berantakan akibat berubahnya kebijakan pimpinan baru.

Demikian pula dalam aspek implementasi rencana-rencana yang disusun,

Bapeda dan Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota masih mempunyai

kewajiban untuk pengamanan dan pengendalian implementasi Master Plan

Pendidikan, melalui penyusunan dan penyiapan perangkat sistem pendukung,

melalui penyiapan-prosedur Operasional Standar pengendalian dan evaluasi setiap

butir-butir program yang termaktub dalam rumusan Master Plan Pendidikan


39

tersebut. Oleh karena itu pula, diperlukan komitmen bersama antara pemerintah

daerah dan masyarakat Kabupaten Bandung untuk menumbuhkan kekuatan

kolektif(collective power) dengan senantiasa menjadikan Master Plan Pendidikan

sebagai rujukan utama dalam merumuskan, melaksanakan, mengendalikan dan

mengevaluasi program-program strategis pendidikan sesuai dengan posisi, peran

dan kewenangannya.

Yunus, Mohammad. 2006. Kebijakan Kemitraan Pendidikan Kejuruan

Analisis lmplementasi Kebijakan Praktik Industri dalam Rangka Peningkatan

Relevansi dan Mutu Lulusan SMK di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur,

Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Kebijakan kemitraan dalam lingkup pendidikan kejuruan dalam hal ini

SMK, pada dasarnya melibatkan tiga komponen penting yaitu pihak rnajelis

sekolah. Pihak dunia usaha industri (DUDI) yang akan memakai siswa dan pihak

sekolah menengah kejuruan (SMK). Ketiga institusi itulah yang melaksanakan

kemitraan untuk dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia rnelalui

mekanisme pendidikan sistem ganda (PSG), dalam hal ini praktik industri di dunia

usaha industri. Kurang tercapainya sasaran kebijakan kemitraan SMK yang terjadi

sebagai akibat tidak berjalannya mekanisme implementasi yang telah dirancang

sebelumnya dapat dinyatakan sebagai terjadinya belum tercapainya kinerja

irnplementasi. Hal tersebut mengindikasikan kurang sesuainya pencapaian hasil

dengan rancangan implementasi yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu

analisis yang mendalam mengenai proses implementasi tersebut rnuiai dari awal

hingga hasil dan dampak akhirnya.


40

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan, menganalisis, dan

menginterpretasikan hal-hal berikut: 1) Persiapan implementasi kebijakan praktik

industri di Kota Tarakan; 2) Proses pelaksanaan kebijakan praktik industri di Kota

Tarakan Provinsi Kalimantan Timur; 3) Berbagai faktor yang memengaruhi

proses pelaksanaan kebijakan praktik industri di Kota Tarakan Provinsi

Kalimantan Timur; 4) Dampak (outcome) implementasi kebijakan praktik industri

terhadap sekolah, siswa (target group), dunia usaha industri, dan Pemerintah

Daerah Kota Tarakan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif naturalistis dengan

pendekatan studi kasus. Peneliti bertindak sebagai instrurnen penelitian yang

teriibat secara aktif dan langsung di lokasi penelitian (human as instrument).

Lokasi penelitian berada di Kota Tarakan Provinsi Kalimantan Timur. Penulis

mengurnpulkan data lewat metode in-depth interview serta melakukan observasi

partisipatif di dua SMK yakni SMK Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Tarakan. Penulis

juga terjun langsung di beberapa perusahaan (DUDI) untuk menghimpun data

dengan cara ini. Jenis data ada bersifat primer (hasil wawancara) dan sekunder

(dokumentasi). Sumber data diseleksi lewat metode purposive sampling. Data

dianalisis lewat analisis data situs tunggai menurut Miles dan Huberman (1984)

sehingga menghasilkan simpulan-simpulan sementara dan kemudian dianalisis

secara lintas situs untuk menghasilkan simpulan akhir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan implementasi kebijakan

tersebut telah berjalan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan sebagaimana

Kepmendikbud No.323/1996 tentang pendidikan sistem ganda (PSG), namun jika


41

diiihat persiapan tersebut dari sisi konteks otonomi daerah di mana kewenangan

pengelolaan pendidikan menjadi kewenangan pemerintah daerah sejak

dilaksanakannya otonomi daerah pada tahun 2001-2005 belum berjalan secara

optimal.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan selama masa

implementasi, tetapi acuan pelaksanaan kebijakan kemitraan masih tetap

menggunakan juknis dan juklak pemerintah pusat, yaitu Kepmendikbud No.

323/1996, sehingga proses implementasi belum terlaksana secara optimal.

Beberapa faktor yang memengaruhi proses implementasi kebijakan praktik

industri di Kota Tarakan, di antaranya faktor komunikasi antara pelaksana

program (implementer) SMK dan dunia usaha industri serta perumus program

(decision maker) Dinas Pendidikan belum terbangun sehingga pencapaian sasaran

program praktik industri yang dilakukan oleh SMK dan dunia usaha industri

meialui kerjasama praktik industri selama lima tahun terakhir tidak optimal.

Dampak implementasi praktik industri yang diharapkan yaitu tercapainya mutu

lulusan yang lebih berkualitas sehingga dapat memperkecil angka pengangguran

pada tingkat pendidikan SMK belum optimal dicapai lewat implementasi

kebijakan kemitraan tersebut.

Maskuri, 2006. Implementasi Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional di

Pendidikan Tinggi Islam (Studi Multisitus Proses Pembelajaran Berdasarakan UU

No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional di Universitas Islam

Negeri Malang, Universitas Islam Malang dan Universitas Muhammadiyah

Malang) Pascasarjana Universitas Brawijaya.


42

Pendidikan Tinggi Islam (PTI) dibangun sebagai satu sistem kenegaraan

yang hidup dalam satu lingkungan Internasional, memiliki lingkungan intern dan

ekstem yang senantiasa berubah (jangkauan kosmopolit). Sistem pendidikan

tinggi Islam memandang dirinya sebagai sub sistem dalam satu sistem kenegaraan

Indonesia (integral) menunjukkan sebagai lembaga yang akomodatif dan dinamis

dengan berciri khas Islam.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan, menganalisis serta

memberikan interpretasi terhadap komponen-komponen yang ditetapkan

pemerintah dalam implementasi kebijakan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional terkait proses pembelajaran di PTI, sistem implementasinya,

keunikannya, faktor-faktor pendukung dan penghambat serta model implementasi

kebijakan proses pembelajaran.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif (pos

positivisme), fokus penelitian ini menyangkut komponen pembelajaran,

implementasi proses pembelajaran, keunikan pembelajaran di PTI, faktor

pendukung dan penghambat serta model implementasi proses pembelajaran.

Subyek penelitian meliputi Yayasan, Rektorat, Kepala Biro, Kepala Bagian,

Dekanat, Ketua Jurusan, Dosen, mahasiswa dan masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen pembelajaran terdiri dari

pendidik, peserta didik dan sumber belajar. Untuk mengembangkan kualitas

lulusan, PTI telah meletakkan dasar perencanaan yang terumuskan melalui visi,

misi, orientasi, sasaran, tujuan dan strategi untuk menghasilkan lulusan "insan

kamil, memiliki integritas fikr, dzikr dan amal shaleh yang didukung dengan
43

manajamen internal dan ekstemal yang profesional dengan spirit Islam. Namun

ketika dilihat dari standar pelaksanaan pembelajaran; kurikulum yang tersedia

secara substansi cukup baik, namun belum disertai dengan bobot SKS/MK yang

cukup; rendahnya kualitas pendidik dalam penguasaan strategi pembelajaran;

input (peserta didik) yang tidak selektif mengakibatkan kemampuan fikr, dzikr

dan amal shaleh-nya kurang baik, bahkan ada di antara mereka yang kurang

bermoral. Waktu tempuh program strata satu rata-rata 8 semester, masing-masing

semester di tempuh dalam jangka waktu 5 bulan. Semester ganjil diawali pada

bulan September dan berakhir pada bulan Januari. Sedangkan semester genap

diawali bulan Maret dan berakhir pada bulan Juli. Di setiap hari ketika waktu

shalat tiba semua aktifitas kampus dihentikan agar sivitas melaksanakan shalat,

namun kenyataannya ada di antara dosen yang tidak menghentikan aktifitas

mengajar pada waktu shalat. Hal itu terjadi pula pada sebagian pimpinan dan

karyawan tanpa ada teguran walaupun itu hak pribadi. Selama ini dana

penyelenggaraan pendidikan bersumber dari mahasiswa 70-95%, jasa 2-5%,

venture 2-4% dan pemerintah 1-26%.

Dalam penyelenggaraan proses pembelajaran diawali dengan koordinasi

atau memberi surat edaran pada para dosen untuk menyatukan persepsi terhadap

berbagai tugas yang harus dilaksanakan dosen. Namun beberapa tugas dosen

seperti mempersiapkan perangkat dan rencana pembelajaran belum diIaksanakan

secara optimal. Ada beberapa kelemahan sistem pembelajaran di PTI selama ini,

yaitu; interaksi pendidik dengan peserta didik masih monolog, pembelajaran baru

menyentuh aspek fikir (kognitif) peserta didik, cenderung sekuler, mata kuliah
44

agama kehilangan kesegarannya karena hanya sebatas sebagai pelajaran atau

pengetahuan tentang agama, krisisnya keteladanan, tidak semua dosen memahami

integrasi ilmu dan agama, terbatasnya laboratorium, sistem berpakain dari

sebagian dosen dan mahasiswa belum menunjukkan performance Islami. Terkait

dengan penciptaan nuansa spiritualisme di sebagian PTI cukup baik, namun

belum diikuti secara kontinu dan optimal oleh sivitas yang ada. Pengembangan

potensi minat, bakat dan kegemaran peserta didik telah terfasilitasi dengan baik,

hanya di beberapa PTI masih terkendala oleh sumber biaya, sistem evaluasi hasil

belajar oleh pendidik terhadap peserta didik baru menyentuh aspek kognitif (fikr)

itupun tidak terstandarisasi, dan mengabaikan aspek afektif (dzikr) serta

psikomotorik (amal sholeh). Akibatnya, output yang dihasilkan kurang memiliki

kedalaman spiritual, keluhuran akhlak, keluasan ilmu dan kematangan profesional

yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang kurang optimal.

Sebagai wujud dan bentuk tanggung jawab PTI agar menghasilkan

lulusan yang memiliki integritas fikir (kognitif), dzikir (afektif) dan amal sholeh

(psikomotorik), PTI telah membentuk kantor jaminan mutu agar memperbaiki

proses pembelajaran, namun karena unit tersebut baru terbentuk dan masih

mencari model serta mempersiapkan perangkatnya sehingga belum menghasilkan

hasil yang optimal.


45

Arifin La Ndolo, 2010. Analisis Kebijakan Pendidikan Gratis di

Kabupaten Dompu. Universitas Muhamadiyah Malang.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 membawa sejumlah

perubahan dalam tatanan pemerintahan, terutama dengan diserahkannya sejumlah

kewenangan kepada daerah, yang semula menjadi urusan pemerintah pusat. Salah

satunya adalah di bidang pendidikan. Kewenangan tersebut menuntut adanya

perubahan berupa pembaruan sistem pendidikan yang sekian lama dikelola secara

sentralistik oleh pemerintah pusat dengan menafikan keragaman, perbedaan,

kultur, agama, dan sebagainya yang menyebabkan terpuruknya kualitas

pendidikan kita.

Pemerintah Kabupaten Dompu mengeluarkan kebijakan yang populis

yaitu Kebijakan Pelayanan Kesehatan Gratis dan Pendidikan Gratis. Sejak

Dikeluarkannya SK Bupati Dompu No 04 Tentang Program Pelaynan Dasar

Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Kabupaten Dompu, Oleh Karena dalam SK

Bupati Dompu No 193 Tahun 2007, menunjuk Lensa (Lembaga studi

Kemanusiaan) sebagai leading sector perumusan program tersebut, dan akhirnya

dirumuskan secara langsung dalam Perbup No 04 Tahun 2008 yang efektif

berjalan pada 1 Januari 2008. Kebijakan ini menelan dana 11,4 Miliar dari jumlah

APBD kabupaten dompu tahun 2008 sebesar Rp337 Miliar. Kebijakan Pendidikn

gratis ini berlaku untuk semua jenjang penidikan mulai dari tingkat SD, SLTP

hingga SLTA.
46

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
1 Fincher, Mark, Kualitatif Tujuan dari penelitian Perselisihan serius ada pada Membahas Penelitian
2007 ini adalah untuk dampak dari tindakan pemerintah peran Fincher, Mark
Governments as menyediakan analisis pada strategi perusahaan. ekonomi pemerintah lebih mengarah
human capital kasus untuk dukungan dunia menjadi lebih terintegrasi, dalam pada analisis
providers, A pemerintah terhadap berkurangnya kontrol pemerintah mengembangkan kebijakan
rationale for strong akses pendidikan tinggi atas ekonomi telah menyebabkan kan kebijakan terhadap akses
government ke arah lebih lanjut banyak pengamat percaya bahwa pendidikan pendidikan tinggi
support of broad yaitu daya saing perusahaan-perusahan tidak sebagai ke arah lebih
higher education Nasional dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan yang lanjut.
access. Cedar pemerintah. Salah satu daerah di sangat strategis. Sedangkan
Valley College, Le mana pemerintah nasional, negara penelitian
Tourneau bagian, dan lokal yang berdaulat dilakukan untuk
University, mempertahankan kendali akses ke menganalisis
Lancaster, Texas, pendidikan tinggi. Kebijakan kebijakan pada
USA pemerintah dapat memiliki dampak semua jenjang
yang mendalam pada akses dan tingkat
warganya untuk pendidikan lanjutan pendidikan.
dan pelatihan
2 Sutrisno dan Kualitatif Penelitian ini bertujuan Hasil dari penelitian ini yaitu Kedua penelitian Pada penelitian
Muhammad Rusdi. untuk mengidentifikasi pertama, Provinsi Jambi belum ini sama-sama Sutrisno dan
Analisis Kebijakan beberapa kebijakan memiliki perda yang tertuang secara melihat kebijakan Muhammad
Peningkatan Mutu strategis dan spesifik untuk mengayomi upaya- pemerintah Rusdi penelitian
Pendidikan Dasar implementatif yang upaya peningkatan mutu pendidikan. dalam bidang kebijkan
Dan Menengah Di telah dan sedang Kedua, pemerintah Provinsi Jambi pendidikan, difokuskan pada
Provinsi Jambi. dibuat oleh pemerintah masih terus berupaya untuk dapat khususnya penjaminan dan
Jurnal Pendidikan kota/kabupaten di meningkatkan anggaran pendidikan, pendidikan dasar peningkatan mutu
Inovatif 3 (1), provinsi Jambi yang sebagai wujud implementasi dan menengah. pendidikan pada
September 2007. difokuskan dalam amandemen UUD 1945. Ketiga, sekolah dasar
47

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
rangka penjaminan dan kebijakan pendidikan yang dan menengah.
peningkatan mutu dijalankan masih bersifat incidental Sedangkan
pendidikan pada sporadic dan belum terencana penelitian yang
jenjang sekolah dasar dengan baik. Keempat, koordinasi saya lakukan
dan menengah. antara BAPPEDA dengan diknas tidak hanya
sangat diperlukan dalam difokuskan pada
menetapkan sasaran peningkatan mutu pendidikan
mutu dan pengalokasian dana untuk melainkan semua
pencapaian sasaran yang sudah aspek yang
ditentukan. Kelima, kebijakan mendukung
peningkatan mutu pendidikan yang pendidikan dan
berkaitan dengan manajemen pada semua
sumber daya manusia pendidikan jenjang
perlu mendapatkan perhatian serius. pendidikan,
Keenam, peningkatan keterlibatan khususnya
masyarakat dalam membangun berkaitan dengan
mutu pendidikan perlu ditingkatkan pemerataan
dalam wadah komite sekolah dan pendidikan untuk
dewan pendidikan. Ketujuh, seluruh
memberdayakan pengawas sekolah masyarakat
sebagai agen pengontrol kualitas Kalimantan
(qualitycontrol). Kedelapan, satuan Tengah.
pendidikan perlu didorong untuk
memiliki income generating
activities. Kesembilan, kebijakan
yang transparan dan akuntabel perlu
diimplementasi secara luas.
3 Ng Pak Tee, 2008, Kualitatif Untuk membahas Meskipun kebijakan retorika selalu Membahas Penelitian Ng Pak
Education policy mengapa sering ada memiliki tujuan terpuji, dinamika bahwa kebijakan Tee membahas
rhetoric and reality perbedaan antara yang mendasari perubahan dan pemerintah tidak dan menganalisis
gap: a reflection, kebijakan retorika dan interaksi di antara pelbagai aktor hanya retorika, kebijakan
Policy and realitas. Secara pada tingkat yang berbeda dari janji politik, tetapi Retorika-Realita
48

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
Leadership khusus, penelitian sistem sering diartikan bahwa harus secara umum.
Academic Group, berusaha untuk retorika dapat dikompromikan dalam dilaksanakan Sedangkan
National Institute of mengeksplorasi kenyataan. Namun, dimungkinkan oleh stakeholder penelitan yang
Education, masalah dengan juga bahwa bahkan ketika saya lakukan
Nanyang retorika kebijakan, implementasi realitas mungkin tidak lebih
Technological pelaksanaan proses sesuai dengan kebijakan retorika, memfokuskan
University, dan lensa yang adaptasi dari kebijakan pada kebijakan di
Singapore. melaluinya dan realitas memungkinkan untuk lebih cocok bidang
dirasakan, dengan konteks lokal sementara pendidikan.
menjelaskan mengapa memungkinkan retorika kebijakan
masalah ini dapat untuk mempertahankan nilainya
membuka celah menggugah untuk keadaan ideal
retorika-Realita
kebijakan. Artikel ini
juga menunjukkan
kerangka sederhana
matriks menganalisis
perbedaan retorika-
Realita.
4 Asep Mahpudz, Kualitatif Studi ini bertujuan Hasil penelitian diperoleh informasi Keduanya Penelitian Asep
Amirudin Kade, untuk memperoleh bahwa kompetensi pendidik di membahas Mahpudz,
Haerudin dkk. informasi dan data wilayah Provinsi Sulawesi Tengah kebijakan Amirudin Kade,
Analisis Kebijakan yang akurat terutama pada umumnya sudah baik, dengan pendidikan, Haerudin dkk
Dan Kelayakan tentang implementasi indeks diatas 3 pada beberapa khususnya membahas
Mutu Tenaga arah kebijakan komponen aspek kompetensi. dalam tentang
Pendidik Dalam penyelenggaraan Namun demikian, terdapat beberapa meningkatkan implementasi
Rangka pendidikan dasar dan aspek yang masih membutuhkan kompetensi guru arah kebijkan
Meningkatkan kelayakan mutu tenaga penguatan dan dukungan dari untuk penyelenggaraan
Mutu pendidik pada pemangku kepentingan untuk meningkatkan pendidikan dasar
Penyelenggaraan penyelenggaraan senantiasa meningkatkan kualitas keluaran dan kelayakan
Pendidikan Dasar pendidikan dasar di kompetensi, terutama pada aspek- pendidikan. mutu tenaga
Di Provinsi Provinsi Sulawesi aspek tertentu. pendidik.
49

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
Sulawesi Tengah. Tengah. Sedangkan
Jurnal Media penelitian yang
Litbang Sulteng 2 saya lakukan
(2) : 75 – 85 , tidak hanya
Desember 2009. terbatas pada
mutu tenaga
pendidik tetapi
pada semua
aspek yang
terkait dalam
pendidikan dan
permasalahan
yang
melingkupinya
serta sesuai
dengan kebijakan
pemerintah yang
berlaku
5 Aminuddin Bakry. Kualitatif Tujuan penelitian ini Hasil dari penelitian ini adalah Sama-sama Penelitian
Kebijakan yaitu untuk mengetahui pertama, kebijakan pendidikan membahas Aminuddin Bakry
Pendidikan apakah kebijakan berkaitan dengan upaya kebijakan hanya untuk
Sebagai Kebijakan pendidikan merupakan pemberdayaan peserta didik. Kedua, pendidikan mengetahui
PublikJurnal salah satu kebijakan kebijakan pendidikan lahir dari ilmu sebagai bagian kebijakan
MEDTEK 2(1). publik. praksis pendidikan sehingga kebijakan public. pendidikan
April 2010 kebijakan pendidikan meliputi proses termasuh
analisis kebijakan, perumusan kebijakan publik
kebijakan, implementasi dan atau tidak.
evaluasi kebijakan. Ketiga, Sedangkan
pendidikan milik masyarakat (barang penelitian yang
publik) maka suara masyarakat saya lakukan
dalam berbagai tingkat perumusan, lebih
pelaksanaan dan evaluasi kebijakan memfokuskan
50

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
perlu di dengar dan di akomodasi. terhadap analisis
Keempat, merujuk kepada filsafat kebijakan
moral maka kebijakan pendidikan pendidikan yang
sebagai kebijakan publik bukan mempengaruhi
kebijakan pendidikan bagian dari pendidikan di
kebijakan publik. Kalimantan
Tengah.
6 Prasojo, Lantip Kualitatif Tujuan penelitian ini Hasil dari penelitian ini bahwa Kedua penelitian Penelitian
Diat. Financial yaitu untuk mengetahui berdasarkan isu strategis, konsep sama-sama Prasojo, Lantip
ResourcesSebagai apakah financial dasar dan kajian kritis analisis melihat Diat membahas
Faktor Penentu resources dapat financial resources sebagai faktor keberdaaan faktor penentu
Dalam menentukan penentu dalam implemantasi anggaran dalam khususnya dana
Implementasi keberhasilan kebijakan pendidikan diperoleh memberikan dalam
Kebijakan implemantasi kebijakan kenyataan sumber dana, SDM dan dukungan untuk implementasi
Pendidikan. Jurnal pendidikan. stakeholders merupakan tiga faktor keberhasilan kebijakan
Internasional: yang sangat penting dan terkait pelaksanaan pendidikan.
Manajemen langsung dalam implementasi kebijakan Sedangkan
Pendidikan 2010 kebijakan pendidikan. Selain pendidikan. penelitian yang
memperhatikan tiga faktor tersebut, saya lakukan
implementasi kebijakan pendidikan membahas
juga harus memperhatikan sarana semua faktor
dan prasarana pendidikan agar pendukung
implementasinya lebih sempurna pendidikan dan
dan tepat sasaran. kebijakan
pendidikan.
7 Sun, Mianto, 2010. Kualitatif Penelitian ini bertujuan Ada dua model sistem reformasi Kedua penelitian Pada penelitian
Education system untuk mengetahui pendidikan yaitu pertama adalah sama-sama Sun, Mianto topic
reform in China model/gaya sistem reformasi di sekolah untuk berbagai memperbincangk yang dibahas
after 1978: some pendidikan di China level, termasuk reformasi sistem an model lebih mengarah
practical setelah reformasi tahun pendidikan wajib di sekolah, dan kebijakan pada model/gaya
implications. 1978 reformasi sistem pendidikan pendidikan. sistem
Research Institute lanjutan. Reformasi kedua adalah pendidikan. Pada
51

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
of Educational reformasi sistem di sekolah dan penelitian ini
Economics and berbagai macam, termasuk menghasilkan
Administration. reformasi untuk pendampingan dan model alternative
Shengyang Normal teknik sistem pendidikan,dan untuk kebijakan
University, reformasi sistem pendidikan sekolah pendidikan.
Liaoning, China. swasta
8 Agus Irianto, 2009 Deskriptif Tujuan penelitian ini Hasil penelitian ini adalah :1) kedua penelitian Penelitian yang
Perencanaan Kualitatif ialah: (1) Deskripsi Pertama,substansi perencanaan sama-sama dilakukan Irianto
Pendidikan Tingkat terintegrasi tentang pendidikandi Kabupaten Bandung memperbincangk membahas
Kabupaten/Kota sistem perencanaan merujuk kebijakan pendidikan an masalah tentang evaluasi
(Studi Evaluatif jangka panjang sebagaimana telah dituangkan kebijakan sistem
Tentang Efektivitas pembangunan bidang dalam PP.No.38 tahun 2007. 2) pendidikan perencanaan
Sistem Pencanaan pendidikan di Sasaran dan ruang lingkup pembangunan di
Pendidikan kabupaten Bandung; pendidikan yang direncanakan tidak bidang
Menuju Tahun (2) Analisis efektivitas hanya terbatas pada satuan pendidikan.
2025 di Kabupaten proses perencanaan pendidikan yang menjadi Sedangkan
Bandung) jangka panjang kewenangan pemerintah kabupaten, penelitian ini
pembangunan bidang tetapi mencakup satuan-satuan membahas
pendidikan di pendidikan yang menjadi analisis
Kabupaten Bandung; kewenangan pemerintah provinsi pelaksanaan
(3) Analisis posisi dan Departemen Agama. 3, Pihak- kebijakan
proses perencanaan pihak yang dilibatkan dalam proses pendidikan.
jangka panjang perencanaan pembangunan
pembangunan bidang pendidikan, di samping pihak tenaga
pendidikan di perencana dari lingkungan
Kabupaten Bandung; Bapeda, juga melibatkan tenaga ahli
(4) Disain sistem perencana dari perguruan tinggi,
perencanaan dinas pendidikan dan dinas-dinas
pendidikan yang dapat terkait, DPRD, komunitas organisasi
dijadikan pedoman profesi
dalam pembangunan
pendidikan di tingkat
52

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
kabupaten/kota menuju
tahun 2025.
9 Muhammad Kualitatif Penelitian ini bertujuan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedua penelitian Pada penelitian
Yunus, 2006. mendeskripsikan, persiapan implementasi kebijakan sama-sama Muhammad
Kebijakan menganalisis, dan tersebut telah berjalan sesuai membahas Yunus membahas
Kemitraan menginterpretasikan dengan mekanisme yang ditetapkan kebijakan pada kebijakan
Pendidikan hal-hal berikut: sebagaimana Kepmendikbud pendidikan kemitraan
Kejuruan Analisis 1) Persiapan No.323/1996 tentang pendidikan dimana peran stakeholder
lmplementasi implementasi kebijakan sistem ganda (PSG), namun jika pemerintah pendidikan
Kebijakan Praktik praktik industri. diiihat persiapan tersebut dari sisi daerah semakin kejuruan dalam
Industri dalam 2) Proses pelaksanaan konteks otonomi daerah di mana besar ketika implementasi
Rangka kebijakan praktik. kewenangan pengelolaan pelaksanaan kebijakan
Peningkatan 3) Berbagai faktor yang pendidikan menjadi kewenangan otonomi daerah pendidkan
Relevansi dan memengaruhi proses pemerintah daerah sejak dipraktekkan. kejuruan.
Mutu Lulusan SMK pelaksanaan kebijakan dilaksanakannya otonomi daerah Sedangkan
di Kota Tarakan praktik industry. pada tahun 2001-2005 belum penelitian ini
Provinsi 4) Dampak (outcome) berjalan secara optimal. membahas
Kalimantan Timur. tentang kebijakan
pendidikan
secara umum dan
menyeluruh,
termasuk
kerjasama antar
stakeholder
dalam
mensukseskan
pelaksanaan
kebijakan.

10 Maskuri, 2006. Kualitatif Mendeskripsikan, Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedua penelitian Pada penelitian
Implementasi menganalisis serta komponen pembelajaran terdiri dari sama-sama Maskuri
53

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
Kebijakan Sistem memberikan pendidik, peserta didik dan sumber membahas membahas
Pendidikan interpretasi terhadap belajar. Untuk mengembangkan kebijakan Implementasi
Nasional di komponen-komponen kualitas lulusan, PTI telah pendidikan, kebijakan Sistem
Pendidikan Tinggi yang ditetapkan meletakkan dasar perencanaan khususnya Pendidikan
Islam (Studi pemerintah dalam yang terumuskan melalui visi, misi, komponen Nasional pada
Multisitus Proses implementasi kebijakan orientasi, sasaran, tujuan dan pendukuing Pendidikan Tinggi
Pembelajaran UU No. 20 Tahun 2003 strategi untuk menghasilkan lulusan untuk Islam, khususnya
Berdasarakan UU tentang sistem "insan kamir, memiliki integritas fikir, keberhasilan kebijakan mikro,
No. 20 Tahun 2003 pendidikan nasional dzikir dan amal shaleh yang pendidikan. internal institusi
Tentang Sistem terkait proses didukung dengan manajamen pendidikan.
Pendidikan pembelajaran di PTI, internal dan ekstemal yang sedangkan pada
Nasional di sistem profesional dengan spirit Islam. penelitian ini
Universitas Islam implementasinya, membahas
Negeri Malang, keunikannya, faktor- tentang analisis
Universitas Islam faktor pendukung dan kebijakan
Malang dan penghambat serta pendidikan makro
Universitas model implementasi yakni kebijakan
Muhammadiyah kebijakan proses pemerinatah
Malang) pembelajaran untuk semua
jenjang
pendidikan,
khususnya
meningkatkan
kesempatan
berpendidikan
untuk warga
masyarakat.

12 Arifin La Ndolo, Kualititatif Tujuan dalam Hasil penelitian ini adalah: Kedua penelitian Pada penelitian
2010 Analisis penelitian ini adalah 1. Secara politis kebijakan menganalisis Arifin analisis
Kebijakan untuk menganalisis pendidikan gratis telah dikenal luas kebijakan kebijakan
Pendidikan Gratis tentang pelaksanaan oleh masyarakat dan merupakan pendidikan, pendidikan
54

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
di Kab Dompu kebijakan pendidikan kebijakan yang populis. khususnya difokuskan pada
gratis yang di lakukan 2. Kebijakan ini merupakan bentuk peranan anggran kebijakan
di Kabupaten Dompu. nyata dari realisasi desentralisasi dan dukungan pendidikan gratis.
pendidikan. stakakeholder Sedangkan
3. Kebijakan ini mendapat dukungan dalam penelitian ini
yang kuat dari berbagai pihak menyelenggarak membahas
(masyarakat,LSM, Parpol, dan para an pendidikan semua aspek
pemerhati pendidikan). untuk warga pendidikan dan
4. Dengan dikeluarkannya kebijakan masyarakat yang analisis kebijakan
tersebut, partisipasi masyarakat kurang mampu. pendidikan yang
(usia sekolah) semakin meningkat, berlaku.
sehingga dapat mengurangi angka
putus sekolah.
5. Kelemahan kebijakan pendidikan
gratis di Kabupaten Dompu yaitu:
a)SDM yang masih belum memadai.
Salah satu faktorkeberhasilan suatu
kebijakan selain di dukung oleh
dana yang cukup tetapi juga harus
ditopang oleh SDM yang handal.
b) Kurangnya sarana dan prasarana
pendukung.
c)Masih ada oknum-oknum yang
memanfaatkan kebijakan ini, shg
menimbulkan mentalitas dan budaya
korupsi.
d) Pemerintah kurang memberikan
ketegasan sehingga masih banyak
orang tua yang tidak menyekolahkan
anaknya, terutama di desa-desa
terpencil.
e) Belum meratanya saranan
55

TUJUAN
NO TOPIK METODE HASIL PERSAMAAN PERBEDAAN
PENELITIAN
prasarana seperti gedung sekolah
sehingga terjadi
kelebihan siswa. Bahkan siswa
harus sekolah di siang hari dimana
waktu ini
tidak mendukung proses belajar
siswa, siswa malas, asal masuk, dan
akhirnya
terpengaruh pada mutu pendidikan
di daerah.
Sumber : olahan penulis.
2. 2. Kebijakan Publik

2. 2. 1. Perspektif Kebijakan

Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijaksanaan

seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut barangkali

dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy

ke dalam Bahasa Indonesia. Menurut Hoogerwerf dalam Sjahrir (1988) pada

hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu

masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu

masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. Anderson

(1978), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor

(pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu

bidang kegiatan tertentu.

Hogwood dan Gunn (1984), membagi istilah kebijakan menjadi sepuluh

macam, yaitu:

a) Policy as a label for a field of activity;


b) Policy as an expression of general purpose or desired state of
affairs;
c) Policy as specific proposals;
d) Policy as decisions of government;
e) Policy as formal authorization;
f) Policy as a programme;
g) Policy as output;
h) Policy as outcome;
i) Policy as a theory or model;
j) Policy as process.

Rumusan kebijakan berdasarkan pengelompokan tersebut, apabila

kebijakan dipandang sebagai suatu proses, maka pusat perhatian akan tertuju

kepada siklus kebijakan. Pada umumnya siklus kebijakan meliputi formulasi,

56
57

implementasi dan evaluasi kebijakan (Nakamura & Smallwood, 1980:22). Dalam

hal ini, kajian para ahli ilmu politik lebih terfokus pada persoalan perumusan

kebijakan, sedangkan persoalan implementasi kebijakan menjadi perhatian dari

berbagai kelompok ahli lain, misalnya ahli-ahli ilmu administrasi negara (Wahab,

2002). Rumusan berkaitan dengan kebijakan publik, seperti dikemukakan oleh

Easton dalam Thoha, "Public Policy is the authoritative allocation of values for

the whole society but it turns out that only the government can authoritatively act

on the 'whole' society... " (Thoha, 1990). Dalam hal ini Easton menekankan pada

asfek kekuasaan dimana menurutnya, pemerintah mempunyai wewenang

(otoritas) untuk mengatur perilaku masyarakat dengan cara mengalokasikan nilai-

nilai kepada seluruh masyarakat. Pemerintah berwenang dapat memaksakan agar

nilai-nilai yang tercermin dalam kebijakan ditaati oleh masyarakat dan

memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran.

Definisi, lain dari Laswell dan Kaplan, "projected program of goals,

values ami practices" (Thoha, 1990) memperlihatkan wujud dari kebijakan berupa

suatu program yang dibuat untuk mencapai tujuan, nilai-nilai dan praktek-

praktek/tindakan yang terarah. Selanjutnya Anderson menganggap kebijakan

publik sebagai kebijakan yang dibuat oleh badan-badan atau pejabat pemerintah

(Islamy, 1988).

Kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama yang dicita-

citakan. Jika cita-cita bangsa Indonesia adalah mencapai masyarakat yang adil dan

makmur berdasarkan pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi

dan Keadilan) dan UUD 1945 (Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
58

berdasarkan hukum dan tidak semata-mata kekuasaan), maka kebijakan publik

adalah seluruh prasarana dan sarana untuk mencapai “tempat tujuan” tersebut.

Kebijakan publik merupakan hasil dari berbagai perbincangan tentang

masalah publik yang telah ada dan telah teridentifikasi, merumuskan solusi serta

bagaimana mengimplementasikannya (Adger dalam Parto, 2005). Dalam

pembuatan kebijakan sangat perlu menentukan definisi permasalahan dan

identifikasi isu, banyak pilihan yang dapat diambil serta pemecahan masalah yang

disarankan dengan berbagai kemungkinan pun bisa dilakukan, melakukan

pengawasan pelaksanaannya, dan melalui cara tertentu yang lebih efisien dan

efektif yang secara formal disahkan lewat peraturan perundangan. Seperti yang

digambarkan dalam berbagai kasus kebijakan, terdapat elemen penting yang

signifikan dari proses pembelajaran, akumulasi pengetahuan, serta difusi dalam

proses kebijakan publik.

Permasalahan pokok bagi para analis kebijakan publik selanjutnya adalah

bagaimana dan siapa yang menyusun suatu kebijakan publik serta basis informasi

apa yang dapat digunakan sehingga belum tergambarkan dengan jelas bagaimana

proses perubahan kebijakan itu sendiri. Dengan melihat berbagai keterbatasan

cakupan analisis penelitian yang ada sebelumnya, maka penelitian kali ini terlebih

ditekankan pada proses perubahan kebijakan yang terjadi dalam konteks dinamika

proses kebijakan yang melibatkan subsistem kebijakan (policy sub system) dengan

berbagai strategi yang digunakannya dengan model inkremental. Penggunaan

model ini, agar tidak merombak secara total karena banyaknya pihak yang terlibat

dan terkait dengan sumberdaya manusia. Penggunaan model ini tidak sama untuk
59

kebijakan lainnya yang bersifat fisik semata karena pada pembangunan fisik

perubahan dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Istilah kebijakan kadangkala juga dimaksudkan untuk menunjukkan

adanya usulan-usulan tertentu (spesifik), baik yang dilontarkan oleh mereka yang

berada di luar struktur pemerintahan (kelompok-kelompok kepentingan atau

partai-partai politik) maupun yang disampaikan oleh mereka yang berada di

struktur pemerintahan semisal anggota kabinet agar dilaksanakan oleh pemerintah.

Usulan-usulan tersebut biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi proses

pengesahan kebijakan mungkin bersifat sementara, atau mungkin terkait dengan

usulan-usulan Iainnya, atau mungkin pula menunjukkan cara-cara untuk mencapai

tujuan-tujuan yang Iebih besar (makro) sebagaimana yang telah disinggung di

atas.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kebijakan publik adalah tindakan-tindakan/praktek-praktek/kegiatan-kegiatan

pemerintah yang terarah yang dialokasikan kepada seluruh masyarakat dan

ditujukan untuk kepentingan publik.

1. 2. 2. Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik

Menurut Rasyid (1997) bahwa pemerintah dalam menjalankan fungsinya

mempunyai 4 peran penting dalam kebidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: 1)

membuat regulasi, baik yang dirumuskan bersama-sama dengan legislative (DPR)

maupun aturan pelaksanaannya yang dijadikan panduan dalam memenuhi tugas

dan fungsinya , 2) melakukan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan


60

warga Negara, 3) melakukan pemberdayaan untuk meningkat kemandirian dalam

terbentuknya kualitas dan kompetensi warga Negara, dan 4) melakukan pelayanan

publik dalam upaya terwujudnya keadilan bagi warga masyarakat.

Salah satu sektor yang menyangkut keempat peran pemerintah tersebut

adalah bidang pendidikan. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan

bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak

memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang

dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.

Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki

keterampilan hidup (life skills) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal

dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat

madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila.

Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa :

“Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; 2) Setiap


warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya; 3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa; 4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; serta 5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Sementara itu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional menyatakan bahwa :


61

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Untuk mewujudkan fungsi dan tujuan tersebut, Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan

mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, sesuai dengan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan

pendidikan nasional. Pasca Reformasi tahun 1998, membawa perubahan

fundamental dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan sistem pendidikan

tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik menuju

desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan dan kebijakan

otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan Indonesia (Suyanto, 2006).

Sistem pendidikan Indonesia pun menyesuaikan dengan model otonomi.

Kebijakan otonomi di bidang pendidikan (otonomi pendidikan) kemudian banyak

membawa harapan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia di masa akan

datang.

Implementasi Kebijakan Otonomi daerah yang didasarkan pada UU No.

22 tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, yaitu memutuskan suatu keputusan

dan atau kebijakan secara mandiri dimana kewenangan yang dulu berada di pusat

sekarang telah diserahkan kepada daerah dalam hal ini propinsi dan

kabupaten/kota. Pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih memandirikan

daerah dan memberdayakan masyarakat sehingga lebih leluasa dalam mengatur


62

dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri. Pemberian otonomi yang

luas dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip-prinsip

demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, berkeadilan, dan memperhatikan

potensi serta keanekaragaman daerah, dengan titik sentral otonomi pada tingkat

yang paling dekat dengan rakyat, yaitu kabupaten dan kota. Hal yang esensial dari

otonomi daerah adalah semakin besarnya tanggung jawab daerah untuk mengurus

tuntas segala permasalahan yang tercakup di dalam pembangunan masyarakat di

daerahnya, termasuk bidang pendidikan (Jalal dan Supriadi, 2001: xxxii). Dengan

memberikan peluang yang besar kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dalam

memberikan pelayanan dasar dan menengah kepada masyarakat.

Kewenangan besar yang dimiliki oleh daerah dengan Undang-undang

otonomi daerah tentu saja hanya akan bermanfaat apabila diikuti dengan kapasitas

pemerintah Kabupaten/Kota untuk membuat kebijakan-kebijakan yang akurat

yang diarahkan untuk meningkatkan input dan proses pembelajaran. Upaya untuk

membuat kebijakan yang akurat dalam bidang pendidikan, salah satunya akan

sangat tergantung kepada tersedianya informasi yang valid tentang berbagai

persoalan pendidikan yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Dengan informasi

yang valid tersebut para policy maker akan dapat merumuskan apa persoalan

pokok yang harus dipecahkan dari aspek input dan proses pembelajaran, sebagai

upaya untuk meningkatakan kualitas pendidikan. Setelah substansi persoalan

dapat diketahui dan dirumuskan dengan jelas selanjutnya para policy maker di

daerah akan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat guna untuk

memecahkan masalah tersebut.


63

Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah

dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, pada kelompok bidang

pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan pemerintah meliputi:

1. Penetapan standar kompetensi siswa dan warga belajar,


serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar
secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya.
2. Penetapan standar materi pelajaran pokok.
3. Penetapan persyaratan perolehan dan penggunaan gelar
akademik.
4. Penetapan pedoman pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan.
5. Penetapan persayaratan penerimaan, perpindahan
sertifikasi siswa, warga belajar dan mahasiswa.
6. Penetapan persayaratan peningkatan/zoning, pencarian,
pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan dan
kepemilikan benda cagar budaya, serta persyaratan penelitian
arkeologi.
7. Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta
pengelolaan museum nasional, galeri nasional, pemanfaatan
naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara
internasional.
8. Penetapan kalender pendidikan dan jumlah jam belajar
efektif setiap tahun bagi pendidikan dasar, menengah dan luar
sekolah.
9. Pengaturan dan pengembangan pendidikan tinggi,
pendidikan jarak jauh, serta pengaturan sekolah internasional.
10. Pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra
indonesia.

Sementara itu, kewenangan pemerintah propinsi meliputi hal-hal sebagai

berikut:

1. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan


mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang atau tidak
mampu.
2. Penyediaan bantuan pengadaan buku peljaran pokok/
modul pendidikan untuk taman kanak-kanak, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah.
3. Mendukung/membantu pengaturan kurikulum, akreditasi,
dan pengangkatan tenaga akademis.
64

4. Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan


tinggi.
5. Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan
atau penataran guru.
6. Penyelenggaraan museum propinsi, suaka peninggalan
sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah dan nilai tradisonal, serta
pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik di bidang

pendidikan. Ensiklopedia Wikipedia dalam Nugroho (2008) menyebutkan

kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang

mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan

pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Lebih lanjut dapat

dikemukakan sebagai berikut ini:

“Education policy refers to the collection of laws and rules that


govern the operation of education system. Its seeks to answer question
about the purpose of education, the objectives (societal and personal)
that it is designed to attain, the methods for attaining them and the
tools for measuring their success of failure.”

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd dan Anne-

Marie O’Neil dalam Nugroho (2008) menyatakan bahwa kebijakan pendidikan

merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam

persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapat prioritas dalam

era globalisasi. Salah satu argumen utamanya adalah bahwa globalisasi membawa

nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil adalah demokrasi yang

didukung oleh pendidikan. Pendapat tersebut dikatakan lebih lanjut seperti berikut

ini;

“......education policy in the twenty first century is the key to global


security, sustainability and survival....education policies are central
to such global mission....a deep and robush democracy at national
level requires strong civil society based on norms of trust and active
65

response citizenship and that education is central to such a goal.


Thus, the strong education state necessary to sustain democracy at the
national leves so that strong democratic nation-states can buttress
from of international governance and ensure that globalization
becomes a force for global sustainability and survival....”

Ikhtiar pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan melalui berbagai

kebijakan seperti Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun (Wajar

Dikdas) pada dasarnya berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas SDM,

dimana pendidikan (tingkat partisipasi sekolah) merupakan sesuatu yang urgen,

pada masa Orde Baru upaya untuk peningkatan partisipasi masyarakat dalam

pendidikan terus dilakukan, pada tahun 1984 dicanangkan Wajar 6 Tahun,

sepuluh tahun kemudian dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan dasar 9

tahun yang dimulai sejak tahun 1994, dan belakangan ini Wajar Dikdas telah

menjadi komitmen bangsa dengan payung hukum tertuang dalam UU Sistem

Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003.

Dalam ( RPJMN 2004-2009) dijelaskan bahwa :

“Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam meningkatkan


kualitas manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka
partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel
dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersamasama
dengan variabel dan ekonomi. Oleh karna itu pembangunan
pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global”.

Negara-negara yang sudah maju seperti Amerika, Jepang, Jerman,

Prancis, dan Inggris, menjadikan pendidikan sebagai prioritas dan primadona

utama dalam rangka meningkatkan kualitas SDM yang nantinya berimbas kepada
66

peningkatan ilmu dan teknologi, ekonomi, dan kemajuan pembangunan

bangsanya sehingga disegani oleh bangsa-bangsa lainnya. Komitmen terhadap

peningkatan kualitas pada sektor pendidikan menjadi trade mark mereka. Hal ini

terbukti dari setiap kampanye para calon pimpinan negara-negara tersebut yang

selalu memprioritaskan pendidikan sebagai pilar pembangunan atau inovasi

pembangunan mereka. Hal tersebut membuktikan negara-negara tersebut yang

nota bene dianggap sudah maju, justru terus semakin maju pesat dalam berbagai

sektor, seperti: ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, militer, dan

semacamnya.

Banyak negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea, China, Taiwan,

Hongkong, bahkan Malaysia dan Singapura kebijakan pembangunannya

menitikberatkan kepada pembangunan pendidikan. Negara tersebut menganggap

bahwa melalui sektor inilah bangsa dan negara bisa berkembang, maju,

kompetitif, dan sejahtera. Selain itu, harkat dan derajat bangsanya akan terangkat

di mata dunia, diperhitungkan, dihormati, disegani, bahkan ditiru bangsa-bangsa

lainnya. Ini artinya bahwa negara-negara yang kurang respect dan perhatian

terhadap pendidikan tidak akan mampu bersaing, bahkan akan semakin tertinggal

dengan negara-negara lain. Negara-negara tersebut pada akhirnya akan selalau

tinggi ketergantungannya pada negara-negara lain dan secara politis akan menjadi

permainan bangsa lain yang sudah maju.

2. 2. 3. Siklus Kebijkan Publik

a. Sistem Kebijakan Publik


67

Yang dimaksud dengan sistem kebijakan publik, menurut

Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (1988), adalah keseluruhan pola kelembagaan

dalam pembuatan kebijakan publik yang melibatkan hubungan diantara 4 elemen

(unsur), yaitu masalah kebijakan publik, pembuatan kebijakan publik, kebijakan

publik dan dampaknya terhadap kelompok sasaran (target groups). Sebagai suatu

sistem, maka dalam sistem kebijakan publik dikenal adanya unsur-unsur : Input,

Process, Output dan Impact. Kebijakan publik adalah merupakan produk (output)

dari suatu input, yang diproses secara politis. Adapun elemen-elemen (unsur-

unsur) sistem kebijakan publik adalah :

a. Input : masalah Kebijakan Publik

Masalah Kebijakan Publik ini timbul karena adanya faktor lingkungan

kebijakan publik yaitu suatu keadaan yang melatar belakangi atau peristiwa

yang menyebabkan timbulnya “masalah kebijakan publik” tersebut, yang

berupa tuntutan-tuntutan, keinginan-keinginan masyarakat atau tantangan

dan peluang, yang diharapkan segera diatasi melalui suatu kebijakan publik.

Masalah ini dapat juga timbul justru karena dikeluarkannya suatu kebijakan

publik yang baru.

b. Process (proses): pembuatan Kebijakan Publik.

Proses pembuatan kebijakan publik itu bersifat politis, di mana dalam proses

tersebut terlibat berbagai kelompok kepentingan yang berbeda-beda, bahkan

ada yang saling bertentangan. Dalam proses ini terlibat berbagai macam

policy stakeholders, yaitu mereka-mareka yang mempengaruhi dan

dipengaruhi oleh suatu kebijakan publik. Policy Stakeholders bisa pejabat


68

pemerintah, pejabat negara, lembaga pemerintah, dan juga dari lingkungan

masyarakat (bukan pemerintah), misalnya, partai politik, kelompok-

kelompok kepentingan, perusahaan dan sebagainya.

c. Output : Kebijakan Publik,

Yang berupa serangkaian tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan

masalah atau mencapai tujuan tertentu seperti yang diinginkan oleh

kebijakan publik.

d. Impacts (dampak), yaitu dampaknya terhadap kelompok sasaran (target

groups). Kelompok sasaran (target groups) adalah orang-orang, kelompok-

kelompok orang, atau organisasi-organisasi, yang perilaku atau keadaannya

ingin dipengaruhi atau diubah oleh kebijakan publik tersebut.

b. Proses Kebijakan Publik.

Proses kebijakan publik ini meliputi tahap-tahap:

1. Perumusan kebijakan publik.

Tahap ini mulai dari perumusan masalah sampai dengan dipilihnya alternatif

untuk direkomendasikan dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

2. Implementasi kebijakan publik.

Setelah kebijakan publik disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka

kemudian kebijakan publik tersebut diimplementasikan (dilaksanakan).

3. Monitoring kebijakan publik.


69

Monitoring kebijakan publik adalah proses kegiatan pengawasan terhadap

implementasi kebijakan yaitu, untuk memperoleh informasi tentang

seberapa jauh tujuan kebijakan itu tercapai. (Hogwood and Gunn, 1989).

4. Evaluasi kebijakan publik.

Evaluasi kebijakan publik ini bertujuan untuk menilai apakah perbedaan

sebelum dan setelah kebijakan itu diimplementasikan, yaitu perbandingan

antara sebelum dan sesudah diberlakukannya suatu kebijakan.

c. Siklus Kebijakan Publik

Proses kebijakan publik ini dapat digambarkan sebagai suatu siklus

kebijakan publik seperti gambar dibawah ini.

Gambar 2.1 Siklus Kebijakan Publik

Sumber : Tjokroamidjojo dan Mustopadidjaja (1988),


70

2. 3. 1. 2. 4. Perumusan Kebijakan

Proses perumusan kebijakan adalah salah satu alat penting dalam tahapan

kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan kebijakan, baik pemerintah maupun

non-pemerintah. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkam dalam proses

perumusan kebijakan. Selain itu, para ahli harus menguasai makna kebijakan dan

perumusan kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan

kebijakan dan prosedur perumusan kebijakan, serta faktor-faktor lainnya.

Pembuatan kebijakan publik merupakan fungsi penting dari sebuah

pemerintahan. Oleh karena itu, kemampuan dan pemahaman yang memadai dari

pembuat kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan menjadi sangat penting

bagi terwujudnya kebijakan publik yang cepat, tepat, dan memadai. Kemampuan

dan pemahaman terhadap prosedur pembuatan kebijakan tersebut juga harus

diimbangi dengan pemahaman dari pembuat kebijakan publik terhadap

kewenangan yang dimiliki.

Hal itu terkait dengan kenyataan sebagaimana diungkapkan oleh Gerston

bahwa kebijakan publik dibuat dan dilaksanakan pada semua tingkatan

pemerintahan, karenanya tanggung jawab para pembuat kebijakan akan berbeda

pada setiap tingkatan sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, menurut Gerston

hal yang penting lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman mengenai

akuntabilitas dari semua pembuat kebijakan kepada masyarakat yang dilayaninya

(Gerston, 2002). Dengan pemahaman yang seperti itu dapat memastikan

pembuatan kebijakan publik yang mempertimbangkan berbagai aspek dan


71

dimensi yang terkait, sehingga pada akhirnya sebuah kebijakan publik dapat

dipertanggungjawabkan secara memadai.

Mengingat peran penting dari kebijakan publik dan dampaknya terhadap

masyarakat, maka para ahli juga menawarkan sejumlah teori yang dapat

digunakan dalam proses perumusan kebijakan serta kriteria yang dapat digunakan

untuk mempengaruhi pemilihan terhadap suatu kebijakan tertentu. Teori dan

kriteria tersebut dapat ditemukan dalam buku Anderson tahun 2006 yang berjudul

Public Policy Making: An Introduction. Menurut Anderson (Anderson, 2006:),

terdapat tiga teori utama yang dapat digunakan dalam proses pembuatan sebuah

kebijakan yaitu

a. Teori rasional-komprehensif; adalah teori yang intinya mengarahkan agar

pembuatan sebuah kebijakan publik dilakukan secara rasional-komprehensif

dengan mempelajari permasalahan dan alternatif kebijakan secara memadai.

b. Teori incremental; adalah teori yang intinya tidak melakukan perbandingan

terhadap permasalahan dan alternatif serta lebih memberikan deskripsi

mengenai cara yang dapat diambil dalam membuat kebijakan.

c. Teori mixed scanning; adalah teori yang intinya menggabungkan antara

teori rasional-komprehensif dengan teori inkremental.

Selain itu, Anderson juga mengemukakan enam kriteria yang harus

dipertimbangkan dalam memilih kebijakan, yaitu: (1) nilai-nilai yang dianut baik

oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai

politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap

pihak lain; serta (6) aturan kebijakan (Anderson, 2006).


72

Berangkat dari gambaran kondisi tersebut, tulisan singkat ini berupaya

untuk dapat memberikan pemahaman mengenai proses pembuatan kebijakan dan

berbagai pertimbangan yang meliputinya, khususnya yang terkait dengan tahapan

perumusan kebijakan (policy formulation). Terdapat sejumlah hal yang akan

menjadi fokus pembahasan dari tulisan ini yaitu makna kebijakan dan perumusan

kebijakan, perumusan kebijakan dalam siklus kebijakan, lingkungan kebijakan,

serta prosedur perumusan kebijakan. Menurut Jann dan Wegrich (2007), di dalam

tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan

tuntutan masyarakat ditransformasikan kedalam sejumlah program pemerintah.

Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi

sasaran, yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-

pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda. Perumusan kebijakan

dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik yang berasal dari aktor

negara maupun aktor non-negara atau yang disebut sebagai pembuat kebijakan

resmi (official policy-makers) dan peserta non-pemerintahan (non-governmental

participants) (Anderson, 2006).

Pembuat kebijakan resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan

legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka terdiri atas

legislatif, eksekutif, badan administratif, serta pengadilan. Legislatif merujuk

kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya.

Eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Administratif menurut

merujuk kepada lembaga-lembaga pelaksana kebijakan. Di lain pihak, pengadilan

juga merupakan aktor yang memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan
73

melalui kewenangan mereka untuk me-review kebijakan serta penafsiran mereka

terhadap undang-undang dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan

bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari sebuah kebijakan public (Anderson, 2006).

Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat pula peserta lain yang terlibat

dalam proses kebijakan yang meliputi di antaranya kelompok kepentingan; partai

politik; organisasi penelitian; media komunikasi; serta individu masyarakat.

Mereka ini disebut sebagai peserta non-pemerintahan (nongovernmental

participants) karena penting atau dominannya peran mereka dalam sejumlah

situasi kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal untuk membuat

kebijakan yang mengikat. Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan

informasi; memberikan tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson,

2006). Mereka juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka

siapkan.

Terkait keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya

dalam tahapan perumusan kebijakan, maka tahap perumusan kebijakan

diharapkan melibatkan peserta yang lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan

penetapan agenda. Dalam tahapan ini yang lebih banyak diharapkan adalah kerja

dalam merumusakan alternatif kebijakan yang mengambil tempat diluar mata

perhatian publik (Sidney, 2007). Dalam sejumlah teks standar kebijakan, tahap

perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail dari kebijakan

biasanya dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite legislatif, serta
74

komisi khusus. Proses perumusan ini biasanya dilakukan di ruang kerja dari para

aktor perumus tersebut.

Tahapan perumusan kebijakan merupakan tahap kritis dari sebuah proses

kebijakan. Hal ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh

pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan pengaruh langsung yang

dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan

mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik-menarik di antara

berbagai kepentingan sosial, politik, dan ekonomi. Tahap perumusan kebijakan

melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan

untuk mengatasi sebuah permasalahan serta mempersempit seperangkat solusi

tersebut sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir (Sidney, 2007).

Dengan mengutip pendapat dari Cochran dan Malone (1999), menurut

Sidney (2007) perumusan kebijakan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan,

yaitu: apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan

prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk mencapai tujuan tersebut? Apa saja

keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Eksternalitas apa, baik positif

maupun negatif yang terkait dengan setiap alternatif?

Perumusan seperangkat alternatif akan melibatkan proses identifikasi

terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah; serta kemudian

mengidentifikasi dan mendesain seperangkat perangkat kebijakan spesifik yang

dapat mewakili setiap pendekatan (Sidney, 2007). Tahap perumusan juga

melibatkan proses penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif yang isinya

mendeskripsikan mengenai sanksi, hibah, larangan, hak, serta mengartikulasikan


75

kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut akan berlaku dan memiliki

dampak, dan lain-lain. Pernyataan itu juga didukung oleh pernyataan Jann dan

Wegrich serta Anderson. Menurut Jann dan Wegrich (2007), di dalam tahap

perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan proposal, dan tuntutan

masyarakat ditransformasikan ke dalam sejumlah program pemerintah.

Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi definisi sasaran,

yaitu apa yang akan dicapai melalui kebijakan serta pertimbangan-pertimbangan

terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.

Perumusan kebijakan melibatkan proses pengembangan usulan akan

tindakan yang terkait dan dapat diterima (biasa disebut dengan alternatif,

proposal, atau pilihan) untuk menangani permasalahan publik. Perumusan

kebijakan menurut Anderson tidak selamanya akan berakhir dengan

dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan perundang-undangan (Anderson,

2006). Namun, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya ditujukan

untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat ini.

Terkait permasalahan itu, terdapat sejumlah kriteria yang membantu dalam

menentukan pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk dijadikan sebuah

kebijakan, misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan

lain sebagainya (Sidney, 2007).

Jann dan Wegrich (2007) mengemukakan dua faktor utama yang

menentukan alternatif kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan, yaitu:

a. Penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah parameter

susbtansial dasar, misalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat


76

melaksanakan alternatif kebijakan. Sumberdaya ini dapat berupa

sumberdaya ekonomi maupun dukungan politik yang didapat dalam proses

pembuatan kebijakan.

b. Alokasi kompetensi yang dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan

peranan penting dalam penentuan kebijakan.

Selain itu, akademis juga memiliki peran penting sebagai penasehat kebijakan

atau pemikir (think tanks). Pengetahun dari para penasehat ini seringkali

berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan (Jann, 2007).

Dalam merumuskan kebijakan pendidikan pertama kali suatu kebijakan

pendidikan yang hendak diwujudkan harus memiliki tujuan (goal) yang jelas

sebagaimana diinginkan. Kedua, tujuan yang diinginkan itu harus pula

direncanakan (plans) atau harus ada proposal secara matang, yakni pengertian

yang spesifik dan oprasional untuk mencapai tujuan. Ketiga, harus ada (program),

yaitu upaya dan cara-cara dari yang berwenang untuk mencapai tujuan. Keempat

adalah (decision), yaitu segenap tindakan untuk menentukan tujuan, membuat

rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program. Kelima adalah (efect), yaitu

akibat-akibat dari program yang akan dijalankan baik yang diinginkan atau

disengaja maupun tidak disengaja, baik yang primer maupun sekunder (Rohman,

2009).

Dalam proses perumusan kebijakan terutama kebijakan pendidikan

sangat diperlukan suatu pendekatan yang mendasari suatu kebijakan agar

kebijakan yang dirumuskan tersebut berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Berikut ini pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan.


77

a. Pendekatan Social Demand Approach (kebutuhan sosial)

Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam

perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi,

tuntutan, serta aneka kepentingan yang di desakkan oleh masyarakat. Pada

jenis pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan lebih dahulu

menyelami dan mendeteksi terhadap aspirasi yang berkembang dalam

masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang

ditanganinya. Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata

merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan

pendidikan, akan tetapi juga merespon tuntutan masyarakat setelah

kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh

lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun

implementasi kebijakan pendidikan. Dalam perumusan kebijakan dapat

digolongakan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif.

Artinya suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari

masyarakat terlebih dahulu.

b. Pendekatan Man-Power Approach

Pendekatan jenis ini lebih menitikberatkan kepada pertimbangan-

pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumber daya

manusia (human resources) yang memadai dimasyarakat. Pendekatan man-

power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak,

apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan

tertentu atau tidak, tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-


78

pertimbangan rasional dan visioner dari sudut pandang pengambil

kebijakan. Pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan

suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan

pendidikan. Aspek penting yang dapat dipetik dari pendekatan jenis kedua

ini, bahwa secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power approach kurang

menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan,

terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan

tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan

tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner.

Terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini.

Namun dari sisi positifnya, dalam pendekatan man-power ini proses

perumusan kebijakan pendidikan yang ada lebih berlangsung efisien dalam

proses perumusannya, serta lebih berdimensi jangka panjang (Rohman,

2009).

Kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik di bidang pendidikan.

Ensiklopedia menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan

kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang

tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut.

Sebagaimana di kemukakan oleh Mark Olsen & Anne-Maie O’Neil kebijakan

pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara

dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapatkan

prioritas utama dalam era globalisasi. Salah satu argument utamanya adalah
79

bahwa globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang memberikan hasil

adalah demokrasi yang didukung oleh pendidikan (Nugroho, 2008).

Marget E Goertz mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan

dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan (Nugroho, 2008).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kebijakan pendidikan dipahami oleh

peneliti sebagai bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang

pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan harus sebangun dengan

kebijakan publik. Di dalam konteks kebijakan publik secara umum, yaitu

kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan bagian dari kebijakan

publik. Kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan di bidang pendidikan,

untuk mencapai tujuan pembangunan negara di bidang pendidikan, sebagai salah

satu bagian dari tujuan pembangunan negara secara keseluruhan.

Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumuskan dengan

mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini

menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang

dianut oleh masing-masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada

dua pendekatan yang dapat direkomendasikan kepada para penentu/berwenang

dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan (Rohman, 2009).

2. 2. 5 Kebijakan Deliberatif

Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivasi dari demokrasi

deliberatif. Adapun demokrasi deliberatif berakar pada konsepsi “ruang publik”

(public sphere) dari Hubermas (2007). Demokrasi deliberatif mengutamakan


80

penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan

penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman diantara para pihak dan

warga negara (stakeholders). Tujuannya untuk mencapai musyawarah dan

mufakat berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai

kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi

deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang

menekankan keterwakilan (presentation), prosedur pemilihan perwakilan yang

ketat dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif

mengutamakan kerjasama antaride dan antar pihak, sedangkan kata kunci

demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar ide dan antar kelompok.

Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan,

dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi

musyawarah lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan

berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan

Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite

politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan

keterlibatan langsung warganegara. Menurut Piere & Peters (2000), munculnya

ide pemikiran demokrasi deliberatif tidak lepas dari cara berpikir komunitarian.

Lebih lanjut menurut mereka:

“In some ways ideas about deliberative democracy comprise a subset


of communitarian thinking. The basic idea of creating a locus for
making decisions at a low level of aggregation appears compatible
with communitarian thinking. What is most fundamental to the
practice or deliberative democracy, however, is aprocess of involving
the public in making decisions through open debate and dialogue.
This process is in contrast to representative democracy in which the
public is involved only as voters selecting the elites who will later
81

make the decisions. It is also in contrast to representative democracy


in which the public make decisions themselves, but do so with little or
no collective deliberation or confrontation of alternative views on the
issue” (Pierre and Peters, 2000: 150).
Sejalan dengan pemikiran Piere & Peters tersebut, secara lebih spesifik

dalam kaitannya dengan kebijakan publik deliberatif, pengertian demokrasi

deliberatif diuraikan Hardiman (2009) sebagai berikut:

“Apa itu demokrasi deliberatif? Kata “deliberasi” berasal dari kata


latin deliveratio yang artinya “konsultasi”, “menimbang-nimbang”
atau “musyawarah”. Demokrasi bersifat deliberatif, jika proses
pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan public diuji lebih
dahulu lewat konsultasi public atau lewat-dalam kosakata teoritis
Habermas“diskursus publik”. Demokrasi deliberatif ingin
meningkatkan intensitas partisipasi warga Negara dalam pembentukan
aspirasi dan opini (oefentlicher Meinungs-und Willensbildungs
prozess) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang
dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan
pihak yang diperintah.

Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan

keputusan dapat dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai

proses demokrasi deliberatif, maka menurut Carson & Karp (2005) haruslah

memenuhi tiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan sebagai berikut:

“These can be thought of as three criteria for a fully democratic


deliberative process:
1. Influence: the process should have the ability to influence policy
and decisions making;
2. Inclusion: the process should be representative of the population
and inclusive to diverse viewpoints and values, providing equal
opportunity for all participate;
3. Deliberation: the process should provide open dialogue, access
to information, respect, space to undertand and reframe issue,
and movement toward consensus (Carson & Karp, 2005: 122).
Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation diatas dalam penelitian
82

ini digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi sejauhmana sebuah

proses pembuatan keputusan dalam suatu lembaga atau komunitas dapat

dikategorikan kedalam proses demokrasi deliberatif. Masih tentang kriteria sebuah

proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan kedalam

proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan :

By deliberation we mean the process by which individuals sincerely


weigh the merits of competing arguments in discussions together. We
can talk about the quality of a deliverative process in terms of five
conditions:
a. Information: The extent to which participants are given access
to reasonably accurate information that they believe to be
relevant to the issue;
b. Substantive balance: The extent to which arguments offered by
one side or from one perspective are answered by considerations
offered by those who hold other perspective;
c. Diversity: The extent to which the major positions in the public
are represented by participants in the discussion;
d. Conscientiousness: The extent to which participats sincerely
weigh the merits of the arguments;
e. Equal consideration: The extent to which arguments offered by
all participants are considered on the merits regardless of which
participants offer them (Fishkin: 2009: 33-34; 126; 160).

Sejalan dengan kriteria tersebut diatas, mengacu pada pemikiran Habermas,

bahwa karena demokrasi deliberatif bersifat prosedural maka ia menawarkan

enam karakteristik prosedur deliberasi yang ideal sebagai berikut:

(1) Proses deliberasi mesti mengambil bentuk pertukaran informasi


dan argument yang paling dapat diterima;
(2) Deliberasi bersifat inklusif dan terbuka untuk publik, tak
seorangpun, secara prinsip, memiliki kuasa mutlak atas yang lain;
(3) Deliberasi bersifat bebas dari koersi eksternal maupun internal
yang dapat mengurangi kesetaraan partisipan;
(4) Tujuan deliverasi, secara rasional, didorong oleh kesepakatan.
Deliberasi, dilaksanakan untuk menghindari sebuah pengambilan
suara oleh institusi-institusi mayoritas yang menekan agar
tercapai tujuannya dalam sebuah keputusan. Hal ini terkait dengan
83

hak kaum minoritas ata pandangannya dihadapan kelompok


mayoritas, begitu sebaliknya;
(5) Deliberasi meluas dalam pelbagai persoalan yang dapat diatur
dalam kesetaraan pelbagai kepentingan kelompok yang
mempengaruhi kesejajaran dan hak untuk berpartisipasi dalam
proses politik;
(6) Akhirnya, deleberasi mesti juga mencakup penafsiran-
penafsiran atas pelbagai kebutuhan, artikulasi identitas kolektif,
dan perubahan perilaku dan pilihan-pilihan pra-politis. Pada
konteks ini deliberasi harus memperluas persilangan spectrum
moral, etis dan diskursus pragmatis, agar tetap tersedia sebuah
ruang untuk tawar menawar dan berkompromi secara adil, serta
kepentingan-kepentingan anti-generalisasi, yang mengambil
tempat diluar pengaturan institusional non-deliberatif (zauhar,
2007a: 20-21; 2007b: 659:660)

Apabila dicermati pendapat dari Carson & Karp (2005), Habermas

(2007) dan Fishkin (2009), akan dapat saling melengkapi dan menjadikan kriteria

proses perumusan kebijakan publik yang lebih komprehensif. Dengan demikian,

suatu prosesperumusan kebijakan dapat dikategorikan sebagai proses perumusan

kebijakan yang deliberatif apabila memenuhi kriteria:

a. Proses tersebut mampu mempengaruhi secara signifikan hasil

akhir rumusan kebijakan.

b. Bersifat inklusif.

c. Para partisipan mendapat akses informasi yang memadai

tentang permasalahan yang hendak dirumuskan alternative kebijakannya.

d. Terbuka proses dialogis.

e. Berimbang dalam mempertimbangkan argumentasi dari sudut

kepentingan yang berbeda serta.

f. Keterwakilan pihak-pihak yang beragam kepentingannya.

Mengacu pada pemikiran Cheema (2005), Dwidjowijoto (2007)


84

mendefinisikan governance sebagai kondisi dilibatkannya para pihak yang

mendapatkan impak langsung dari proses politik dan khususnya, kebijakan publik,

secara langsung dalam rangka meningkatkan efektivitas suatu kebijakan, sekaligus

akuntabilitasnya kepada publik. Dalam model governance, pemerintah merupakan

salah satu aktor sajadan bukan satu-satunya aktor. Implementasi good governance

dalam kebijakan diberi nama deliberative policy analysis oleh Maarten Hajer dan

Hendrik Wagenaar. Keduanya mengembangkan konsep ini dari Fischer dan

Forester (1993). yang menulis: The Argumentative Turn in Policy Analysis and

Planning. Konsep yang dikembangkan oleh Fischer dan Forester ini dikutip Hajer

& Wagenaar sebagai berikut:

“…….and solid work in planning theory demonstrated how planners


in concrete situations of conflict relied on interactive and deliberative
and giving reasons, exploring the implications of various value
positions and developing joint responsibility in concrete situations
(Hajer & Wagenaar, 2003: 7).
Jika penulis pertama hanya melandaskan arti penting deliberative model

dalam konteks terdapat konflik dalam masyarakat, Hajer & Wagenaar

mengembangkan sebuah fakta ketika masyarakat demokrasi modern bergerak

menutu network society, atau masyarakat jejaring. Konsep ini mengeliminir

pendekatan positivis dalam analisis kebijakan, sebagaimana teori kebijakan publik

teknokratis konvensional.

Dalam sebuah ilustrasi contoh kasus karya Hajer dan Wagenaar

misalanya tampilan tulisan Judith E Innes dan David E Booker: Collaborative

policy making: governance through dialogue, memaparkan the Sacramento Water

Forum sebagai sebuah forum stakeholders yang terdiri lebih dari selusin wakil

publik, merumuskan kebijakan publik dibidang air di kawasan California.


85

Keputusan forum ini kemudian diangkat pemerintah sebagai kebijakan publik.

Jadi, proses analisis kebijakan publik tidak dilakukan oleh para teknokrat,

melainkan para pihak yang terlibat langsung. Frank Fischer mengemukakan

sebagai berikut:

“The job of the deliverative analyst is to tease out the ormative


conflicts lurking behind the often equally plausible interpretations of
the shame abstract goal or value…….Especially important, in this
view, is the need to rethink the relationship of the roles of the
analysts, citizents, and the decision maker….Rather than providing
technical answer designed to bring political discusiions to an end, the
task of the analys-as facilitator is to assist citizents in their efforts to
examine their own interet and to make understood as enlarging the
citizens abilities to pose the problems and questions that interest and
concern them and to help connect them to the kind of information and
resources needed to help them (Ficher, 2003a: 224-225).
Proses analisis kebijakan publik model “musyawarah” ini jauh berbeda

dengan model-model teknotraktik karena peran analis kebijakan “hanya” sebagai

fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas dirinya

sendiri. Sementara peran pemerintah disini lebih sebagai legislator “kehendak

publik”. Secara skematik, model proses perumusan kebijakan publik deliberatif

ini digambarkan Nugroho (2008: 219) sebagai berikut:


86

Gambar 2. 2 Proses Perumusan Kebijakan Deliberatif

Sumber: Nugroho (2008: 219)

Dalam model deliberatif ini, peran adminsitrasi publik lebih banyak

berfungsi sebagai fasilitator. Tentu dengan kelemahan yang melekat, yakni

prosesnya seringkali lebih panjang dan tidak langsung pada tujuan. Dalam hal ini,

administrasi publik ditantang untuk mengembangkan kapasitas pemetaan

(identifikasi dan analisis) stakeholder, mengundang representasi stakeholders

tersebut (berdasarkan hasil pemetaan) dan bila dibutuhkan juga berperan sebagai

pemberdayaan kelompok stakeholders yang menurut analisis masih

membutuhkan.

Tentang model analisis (perumusan) kebijakan deliberatif ini Hajer &

Wagenaar lebih lanjut mengemukakan:

“What we have added…..is the suggestion that it as deliverative


policy analysis that helps us to understand these problems of
governance. In this, we pointed at the changing nature of
policymaking in the network society that, with hindsight, seems to
support some of the critical claims of the argumentative forms of
planning and policy analysis we see as a retreat from the absolute.
This is more than merely the observation that policy making now
operates under conditions of radical uncertainty and deep-value
pluralism. The retreat from the absolute implies the acknowledgement
both on a philosophical and a pragmatic level, than the epistemic
notion of certain, absolute knowledge, and its practical corollary of
command and control, in concrete, everyday situations are deeply
problematica.” (Hajer and Wagenaar, 2003: 23-24).
Dalam hal ini, sampai tingkat tertentu dan dalam sejumlah kasus sudah

terbukti outcome-nya lebih efektif dalam memecahkan sejumlah masalah

kebijakan publik, sebagaimana dikemukakan Nugroho (2008: 221-222) bahwa:

“……..dalam praktik, model kebijakan deliberatif ternyata paling


efektif dipergunakan pada kondisi konflik. Penelitian UNDP pada
tahun 2003 dikawasan pasca-konflik di Poso, Palu, Tojo Una-Una,
87

Morowali, Halmahera dan Tantena, menemukan fakta bahwa hanya


kebijakan publik yang dihasilkan dari kesepakatan pihak yang
berkonflik yang relatif merupakan kebijakan yang efektif untuk
menyelesaikan masalah.”
Hal ini sejalan dengan hasil evaluasi seorang ahli kebijakan publik dan

pembangunan PBB, bahwa:

“Only a healthy dialectic between government and citizens can lead


to choices that have an impact both at the macro and micro levels of
development. ....Emperical research has shown that participatory or
engaged governance can lead to successful development outcomes.”
(Bertucci, 2008: 1002).
Berkaitan dengan hal itu, ada ahli lain yang mengkategorikan model

analisis (perumusan) kebijakan yang demikian tadi sebagai model deliberative

government. Lebih lanjut dikemukakan:

“More recently, appeals for greater collective reasoning in policy


have been expressed under the banner of “deliberative governance”.
Scholars from this perspective argue that the changing nature of
relationship between state, societyand expertise necessitates that
deliberation be central to both the content and process of policy
analysis. The core idea behind deliberative governance is that policy
making requires spaces where different institutions, agencies, groups,
activists and incividual citizens can come together to deliberate on
pressing social issues. Such spaces might be spontaneous bottom-up
networks; sustained interactive arrangements, such as, collaborative
dialogues and neighborhood councils; or they might be highly
structured deliberative designs such as citizens’ juries and consensus
conferences.” (Ficher dalam Hendriks, 2005)

2. 2. 6. Implementasi Kebijakan

Kebanyakan dari kita sering kali beranggapan bahwa jika suatu ketika

pemerintah membuat kebijakan publik dibidang atau sektor tertentu maka

kebijakan tersebut dengan sendirinya akan dapat dilaksanakan dan hasil-

hasilnyapun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pembuat kebijakan

tersebut.
88
89

Dalam kamus Webster (Wahab, 1997 : 64) pengertian implementasi

dirumuskan secara pendek, dimana “to implementasi" (mengimplementasikan)

berarti “to provide means for carrying out; to give practical effec to” (menyajikan

alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak / berakibat sesuatu). Dalam

studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar

bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke

dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran- saluran birokrasi, melainkan lebih

dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang

memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika

dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting

dalam keseluruhan proses kebijakan.

Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah

sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones (Jones, 1991 : 7), dimana

implementasi diartikan sebagai "getting the job done" dan "doing it". Tetapi di

balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa implementasi

kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah.

Namun pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain :

a) Adanya orang atau pelaksana, b) Uang dan c) kemampuan organisasi atau yang

sering disebut dengan resources.

Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses

penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang

harus dilakukan. Van Meter dan Horn (Horn, 1978 : 70) mendefinisikan

implementasi kebijakan sebagai “Policy implementation encompasses those


90

actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the

achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions”. Definisi

tersebut memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan

swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat berusaha untuk mentransformasikan

keputusan-keputusan menjadi pola-pola operasional, serta melanjutkan usaha-

usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil,

yang diamanatkan oleh keputusan kebijakan.

Dengan mengacu pada pendapat tersebut, dapat diambil pengertian

bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya

oleh pembuat kebijakan, di dalamnya mencakup : manusia, dana, dan kemampuan

organisasi; yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu

ataupun kelompok).

Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 1997 : 65) menjelaskan

lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan sebagaimana berikut :

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program


dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang
timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara,
yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat / dampak nyata pada masyarakat
atau kejadian-kejadian."
91

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, nampak bahwa implementasi

kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau

unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan kepatuhan dari target group, namun lebih dari itu juga berlanjut

dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku

semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan

maupun yang tidak diharapkan.

Banyak model dalam proses implementasi kebijakan yang dapat

digunakan. Van Meter dan Horn dalam Samudra Wibowo, mengajukan model

mengenai proses implementasi kebijakan (a model of the policy implementation

process). Dalam model implementasi kebijakan ini terdapat enam variabel yang

membentuk hubungan antara kebijakan dengan pelaksanaan. Van Meter dan Van

Horn dalam teorinya ini beranjak dari argumen bahwa perbedaan-perbedaan

dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan

dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba

untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model

konseptual yang menghubungkan dengan prestasi kerja (performance). Kedua ahli

ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan

bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur implementasi.

Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat tipologi

kebijakan menurut :
92

a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan;

b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak

yang terlibat dalam proses implementasi.

Hal ini dikemukakan berdasarkan pada kenyataan bahwa proses

implementasi ini akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu.

Dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan

yang dikehendaki relatif sedikit, sementara kesepakatan terhadap tujuan, terutama

dari mereka yang mengoperasikan program di lapangan, relatif tinggi.

Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka

diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. M. Irfan Islamy (Irfan,

1997 : 102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk, yaitu :

a. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya


dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan
terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu
negara terhadap kedaulatan negara lain.
b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan
publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak
supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai.
Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (Wahab, 1991 : 36)

mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut :

Tahap I. Terdiri atas kegiatan-kegiatan :


a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan
secara jelas
b. Menentukan standar pelaksanaan
c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu
pelaksanaan.
Tahap II : Merupakan pelaksanaan program dengan
mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta
metode
Tahap III : Merupakan kegiatan-kegiatan :
a. Menentukan jadwal
93

b. Melakukan pemantauan
c. Mengadakan pengawasan untuk menjamin kelancaran
pelaksanaan program.

Dengan demikian jika terdapat penyimpangan atau pelanggaran dapat

diambil tindakan yang sesuai dengan segera. Jadi implementasi kebijakan akan

selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan,

sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu

mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami

apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau

dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah

proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk

mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada

masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang

bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi juga memperhatikan berbagai

kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan

negara.

Di negara-negara Dunia Ketiga. Persoalan implementasi di Negara-

negara Dunia Ketiga justru merupakan batu sandungan terberat lagi serius bagi

efektifitas kebijakan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi (Grindle, 1980).

Pemerintah boleh jadi mempunyai sejumlah kebijakan beserta tujuan

pembangunannya yang layak diacungi jempol, semisal yang bersangkut paut

dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan keadilan, pemerataan pendapatan atau

kepedulian dengan kebutuhan golongan miskin, sayangnya, dalam

menterjemahkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam bentuk program-program


94

dan proyek-proyek pada saat tahap implementasinya terdapat kandungan yang

sangat berat: banyak diantara kebijakan-kebijakan itu tetap saja berupa

pernyataan-pernyataan simbolis dari pemimpin-pemimpin politik atau berupa

undang-undang seperti yang tertulis di kitab perundang-undangan, sementara

kebijakan lainnya yang telah dilaksanakan ternyata hasilnya tidaklah seperti yang

semula di harapkan.

Ada sejumlah alasan mengapa kebijakan-kebijakan itu tidak dilaksanakan

atau jika tokoh dilaksanakan ternyata hasilnya tidaklah efektif. Langkanya

sumber-sumber, kebijakan yang dirumuskan secara asal-asalan, dan perlawanan

dari kelompok sasaran boleh jadi merupakan penyebab dari semua itu.

Di samping itu, sebagai telah kita ketahui bersama kebijakan publik

biasanya dilaksanakan oleh sistem administrasi/birokrasi publik, dan di

kebanyakan negara-negara Dunia Ketiga birokrasi pemerintah justeru dikenal

sebagai sebuah entitas yang tidak efektif, tidak efisien dan tidak berorientasi pada

tujuan. Kepustakaan di bidang perbandingan administrasi publik dan administrasi

pembangunan yang menyoroti kelemahan-kelemahan manajerial tersebut biasanya

juga disertai dengan pembahasan mengenai ketiadaan kemampuan birokrasi

beserta faktor-faktor penyebabnya (Riggs, 1963; Rondinelli 1978; Esman, 1980).

Konsepsi sosiolog Myrdal (1970) tentang soft state (negara lembek)

kiranya bermanfaat guna menjelaskan permasalahan di atas. Konsep itu secara

telak menegaskan bahwa ketiadaan kemampuan pemerintah Dunia Ketiga adalah

dalam membuat rencana, membuat dan melaksanakan kebijakan publik, serta

program-program pembangunan yang efektif. Sebagian dari masalah-masalah


95

tersebut, seperti Myrdal dan sarjana-sarjana lain memandangnya, disebabkan oleh

berkembang biaknya praktik korupsi di tubuh sistem politik dan sistem

administrasi. Semua Pemerintah Dunia Ketiga memang gencar menyatakan

perang melawan korupsi itu; namun, korupsi dalam bentuk lain masih saja tetap

lestari, seraya terus menerus menggerogoti tubuh lembaga-lembaga politik,

administrasi dan lembaga-lembaga publik penting lainnya. Praktik-praktik korupsi

itu bermacam-macam bentuk dan manifestasinya: mulai dari penyuapan kepada

pejabat rendahan di sebuah kantor departemen untuk memenuhi/melaksanakan

permintaan tertentu (ingat misalnya istilah-istilah uang kopi, uang semir, uang

pelicin, uang administrasi, uang rokok, uang siluman) hingga pemberian hak-hak

istimewa atau kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh politisi-politisi senior

kepada perusahaan-perusahaan multinasional tertentu dengan imbalan uang.

Ada sejumlah argumen yang dapat diberikan mengapa praktik-praktik

korupsi tetap saja berlangsung di negara-negara Dunia Ketiga, paling tidak karena

pegawai-pegawai pemerintah memperoleh gaji yang sangat kecil sehingga harus

mencari uang tambahan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun

demikian, dari sudut pandang ilmu administrasi publik, ada sejumlah ciri-ciri

umum yang melekat pada daur kebijakan publiknya yang pada hakekatnya

merupakan faktor penyebab utama berkembang biaknya korupsi di Dunia Ketiga

tersebut (Scott, 1969). Sebagai telah kita kemukakan pada uraian terdahulu,

kelompok-kelompok kepentingan dan individu-individu yang nasibnya justeru

terkait dengan kebijakan, disingkirkan dari arena perumusan kebijakan. Alasannya

ialah, karena pemerintah menganggap kelompok-kelompok semacam itu beserta


96

kegiatan-kegiatan politiknya sebagai sesuatu yang tidak sah, membahayakan

ideologi persatuan dan mengganggu proses pembangunan.

Kelompok politik yang, dalam masyarakat demokratis sebenarnya

mempunyai kepentingan yang sah, maka kelompok-kelompok kepentingan dan

individu - individu tadi tidaklah mempunyai suara dalam perumusan kebijakan.

Oleh karena itu barulah pada tahap implementasi kebijakan kelompok-kelompok

dan individu-individu tadi berkesempatan mengartikulasikan kepentingan mereka.

Kebijakan-kebijakan dapat dimodifikasikan untuk menyesuaikan diri dengan

kebutuhan-kebutuhan kelompok dan individu, yang dengan demikian tujuan

umum dari kebijakan tersebut dapat saja dibelokkan. Mengingat bahwa dalam

banyak kasus para pelaksana kebijakan-kebijakan publik tersebut adalah

administrator-administrator publik, maka tidak heran apabila kemudian mereka

pulalah yang paling sibuk "memodifikasikan" kebijakan itu demi kepentingan

rejim.

Dalam proses kebijakan pendidikan implementasi kebijakan adalah

sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan.

Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi

kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson

dalam Abdul Wahab , ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi

kebijakan yaitu:

1. Siapa yang mengimplementasikan

2. Hakekat dari proses administrasi

3. Kepatuhan, dan
97

4. Dampak dari pelaksanaan kebijakan (Wahab, 1991: 45).

Sementara itu menurut Ripley & Franklin ada dua hal yang menjadi

fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What’s

happening? (Apa yang terjadi). Kepatuhan menunjuk pada apakah para

implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan.

Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses

implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil

dicapai, mengapa dan sebagainya. Guna melihat keberhasilan implementasi,

dikenal beberapa model implementasi, antara lain model yang dikembangkan

Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan

merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, 2) Struktur

manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang

mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan (Wibowo, 1994:

25).

2. 2. 7. Prioritas Kebijakan Menurut Issu

Isu kebijakan adalah masalah tantangan dan kesempatan yang hendak

diatasi dan atau dimanfaatkan melalui tindakan kebijakan. Kiranya perlu dicatat

bahwa istilah yang digunakan adalah "issu", bukan "masalah", kebijakan karena

sesungguhnya tindakan kebijakan publik tidak terbatas pada upaya mengatasi

masalah atau tantangan tetapi juga untuk memanfaatkan kesempatan yang ada.

Pada dasarnya, tindakan kebijakan publik ialah tindakan yang diambil

oleh instansi pemerintah untuk mengatasi masalah atau tantangan yang


98

menghambat dan atau memanfaatkan kesempatan yang ada guna meningkatkan

kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Dengan demikian, langkah

pertama analisis kebijakan tentu ialah merumuskan issu kebijakan yang menjadi

prioritas penanganan.

Perumusan issu kebijakan merupakan salah satu kunci keberhasilan

analisis kebijakan secara keseluruhan karena sangat menentukan derajat urgensi

kebutuhan, akseptabilitas usulan opsi kebijakan serta efisiensi dan efektifitas

implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Issu kebijakan tidak hanya yang

sudah jelas terlihat indikasinya saat ini (revealed current issue), tapi juga yang

masih bersifat laten (latent issues) baik yang sudah signikan pada saat ini (current

latent issue) maupun yang baru akan signifikan di masa depan (anticipated latent

issues).

Perumusan issu kebijakan haruslah pula dapat mengungkap akar

Penyebab masalah-masalah yang dihadapi. Oleh karena itu perumusan issu

kebijakan haruslah dilaksanakan secara komprehensif dan cermat. Tahapan

perumusan issu kebijakan menurut Dunn (1999) dapat dibagi menjadi lima

kegiatan , yaitu :

1. Identifikasi issu (issue identification)

2. Penetapan prioritas (priority setting)

3. Definisi issu (issue definition)

4. Spesifikasi issu (issue specification)

5. Penginderaan masalah (problem sensing)


99

Gambar 2.3 Tahapan Perumusan Issu Kebijakan


Sumber: Dunn (1999)

Obyek analisis kebijakan ialah suatu situasi problematik. Sebagai

langkah awal analisis, identifikasi issu adalah proses yang dilakukan untuk

menemukan masalah-masalah yang relevan untuk diatasi dengan tindakan

kebijakan. Kebutuhan akan identifikasi issu kebijakan muncul dari: perubahan

klien atau kebutuhan akan kebijakan baru, munculnya masalah baru dan adanya

alternatif pemecahan masalah. Secara umum issu kebijakan dapat diperoleh

melalui:

1. Sumber institusional (organisators)

2. Monitoring keragaan empiris

3. Monitoring media-massa

4. Kajian khusus
100

Penetapan prioritas merupakan kegiatan untuk memilih issu kebijakan

yang perlu dan dapat diatasi dengan tindakan kebijakan. Penetapan prioritas dapat

dilakukan dengan dua pendekatan: subyektif dan rasional. Pendekatan subyektif

didasarkan pada penilaian subyektif baik oleh klien, analis atau paduan keduanya.

Pendekatan rasional dilakukan berdasarkan kriteria dan proses keputusan yang

obyektif dan logis. Salah satu teknik sederhana untuk menyeleksi alternatif issu

ialah matriks kebijakan

Nugraha (2004) memperkenalkan zoning isu kebijakan secara makro

dengan menggunakan model Time Matrix Management sebagai berikut:

Penentuan Prioritas Penting Kurang Penting


Mendesak Kuadran I Kuadran II
Kurang Mendesak Kuadran III Kuadran IV

Kuadran II (Penting
Kuadran I (Penting
dan Tidak
dan Mendesak)
Mendesak)

Kuadran III (Tidak Kuadran IV (Tidak


Penting dan Penting dan Tidak
Mendesak) Mendesak)

Gambar 2.4 Model Time Matrix Management Isu Kebijkan


Sumber : Nugraha (2004)
2. 3. Analisis Kebijakan

E.S. Quade mengemukakan bahwa asal mula analisis kebijakan

disebabkan banyaknya kebijakan yang tidak memuaskan.  Begitu banyak

kebijakan yang tidak memecahkan masalah kebijakan, bahkan menciptakan


101

masalah baru.  Kita melihat kebijakan pemerintah untuk melakukan deregulasi

perbankan pada tahun 1988 justru berakhir dengan kolapsnya perbankan di tahun

1988.  Kita melihat kebijakan pemerintah di tahun 1999 untuk mengizinkan jajak

pendapat di Timor Timur menghasilkan disintegrasi kawasan tersebut dan

menciptakan konflik akut di antara sesama penduduk  Timor maupun dengan para

veteran dan janda Operasi Seroja.  Kita melihat kebijakan pemerintah di tahun

2000 untuk membuka hubungan diplomatic secara terbuka dengan Israel

menghasilkan demonstrasi di Jakarta.  Kita juga melihat kebijakan pemerintah

untuk menaikkan tarif tol di Jakarta pada tahun 2007 juga menghasilkan banyak

kritik sehingga menghasilkan class action.

Carl W. Patton dan Savicky (1993) yang dengan gamblang menjelaskan

bahwa analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya 

sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru

sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada.  Analis kebijakan adalah profesi 

yang sangat diperlukan oleh setiap pemimpin puncak di berbagai lembaga

administrasi publik. Di negara-negara maju, kepala negara biasanya didampingi

oleh analis-analis kebijakan yang ekselen yang memungkinkan mereka

mengambil keputusan atau kebijakan yang cepat namun efektif.  Di Amerika

Serikat bahkan ada istilah West Wing, sayap barat Gedung Putih yang biasanya

digunakan oleh para analis kebijakan.

Di Indonesia, analis kebijakan masih dianggap kurang penting.  Bahkan

mereka sering diidentikkan dengan pakar sehingga sejak Presiden hingga Menteri,

yang diambil sebagai analis kebijakan adalah para professor dari perguruan tinggi,
102

yang tidak semuanya menguasai analisis kebijakan, melainkan hanya menguasai

riset kebijakan.  Riset kebijakan, menuntut waktu yang lama dan kondisi-kondisi

yang nyaman.  Karena itu, dapat disadari kenapa sebagian besar kebijakan di

Indonesia dibuat amat lama, dan ketika dibuat sudah tidak relevan lagi karena

tantangannya sudah berbeda. 

Menurut Nugroho (2004:85), peran analis kebijakan adalah memastikan

bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat

optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan

pengambil kebijakan. Oleh karena itu, analis kebijakan perlu memiliki kecakapan-

kecakapan sebagai berikut :

1. Mampu cepat mengambil fokus pada kriteria keputusan yang paling sentral;

2. Mempunyai kemampuan analis multi-disiplin, jika pun tidak, mampu

mengakses kepada sumber pengetahuan di luar disiplin yang dikuasainya;

3. Mampu memikirkan jenis-jenis tindakan kebijakanyang dapat diambil;

4. Mampu menghidari pendeketan text book untuk menganalisis kebijakan,

melainkan mampu menggunakan metode yang paling sederhana namun

tepat dan menggunakan logika untuk mendesain metode jika metode yang

dikehendaki memang tidak tersedia;

5. Mampu mengatasi ketidakpastian;

6. Mampu mengemukakan dengan angka (tidak hanya asumsi-asumsi

kualitatif)

7. Mampu membuat rumusan analisis yang sederhana namun jelas;

8. Mampu memeriksa fakta-fakta yang diperlukan;


103

9. Mampu meletakkan diri dalam posisi orang lain (empati), khususnya

sebagai pengambil kebijakan dan publik yang menjadi konsitutennya;

10. Mampu menahan diri hanya untuk memberikan analisis kebijakan, bukan

keputusan;

11. Mampu tidak saja mengatakan  ya atau tidak, pada usulan yang masuk,

namun juga mampu memberikan definisi dan analisis dari usulan tersebut;

12. Mampu menyadari bahwa tidak ada kebijakan yang sama sekali benar,

samasekali rasional, dan samasekali lengkap;

13. Mampu memahami bahwa ada batas-batas intervensi kebijakan publik;

mempunyai etika profesi yang tinggi.

Ada perbedaan antara perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.

Analisis kebijakan merupakan kegiatan pokok dalam perumusan kebijakan karena

ia memberikan pijakan awal kenapa sebuah kebijakan harus dibuat.  Dunn (1992)

mendefinisikan analisisi kebijakan sebagai disiplin ilmu sosial terapan yang

menerapkan berbagai metode penyelidikan, dalam konteks argumentasi dan debat

publik, untuk menciptakan secara kritis menaksir, dan mengkomunikasikan

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.  Analisis kebijakan adalah sebuah

bentuk kajian terapan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dari isu-isu

social untuk dapat dikedepankan sebuah solusi yang lebih baik.  Analisisi

kebijakan adalah proses intelektual yang mengawali perumusan kebijakan yang

biasanya bersifat politis.  Namun demikian, bukan berarti analisis kebijakan tidak

memasukkan variable politik di dalamnya.


104

Analisis kebijakan merupakan suatu keharusan bagi perumusan

kebijakan, namun tidak terlalu ditekankan pada implementasi kebijakan dan

lingkungan  kebijakan.  Pada implementasi kebijakan dan lingkungan biasanya

dilakukan evaluasi.  Namun demikian, evaluasi kebijakan merupakan bagian dari

analisis kebijakan yang lebih bersifat berkenaan dengan prosedur dan manfaat dari

kebijakan.

Meski analisis kebijakan lebih fokus kepada perumusan, pada prinsipnya

setiap analisis kebijakan pasti mencakup evaluasi kebijakan karena analisis

kebijakan menjangkau sejak awal proses kebijakan, yaitu menemukan isu

kebijakan, menganalisis factor pendukung kebijakan, implementasinya, peluang

evaluasi, dan kondisi lingkungan kebijakan.

Mengikuti Patton dan Sawicky (1993), jenis-jenis analisis kebijakan

dibagi menjadi dua, yaitu analisis deskriptif, yakni yang hanya memberikan

gambaran dan analisis preskriptif, yang menekankan kepada rekomendasi-

rekomendasi.  Jika suatu kebijakan harus diambil maka sebaiknya analisis

kebijakan yang baik adalah analisis kebijakan yang bersifat preskriptif, karena

memang peranannya adalah memberikan rekomendasi kebijakan yang patut

diambil oleh eksekutif. 

Analisis kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses pengkajian yang

meliputi lima komponen informasi kebijakan (policy-informational components)

yang ditransformasikan dari satu ke lainnya dengan menggunakan lima prosedur

analisis kebijakan (policy-analytic procedures) dalam kerangka kerja. Penggunaan

prosedur analisis-kebijaksanaan (seperti perumusan masalah, peramalan,


105

pemantauan, evaluasi, rekomendasi) memungkinkan analis mentransformasikan

satu tipe informasi ke tipe informasi lainnya. Informasi dan prosedur bersifat

saling tergantung; mereka terkait di dalam proses dinamis transformasi informasi

kebijakan (policy informational transformations). Oleh karena itu komponen-

komponen informasi-kebijakan (seperti masalah-masalah kebijakan, masa depan

kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, kinerja kebijakan) ditransformasikan

dari satu ke yang lainnya dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan.

Seluruh proses diatur melalui perumusan masalah yang diletakkan pada pusat

kerangka kerja (Dunn, 2003).

KINERJA
KEBIJAKAN

Evaluasi Peramalan

Perumusan
Masalah

HASIL Masalah MASA DEPAN


KEBIJAKAN Kebijakan KEBIJAKAN

Perumusan
Masalah

Pemantauan Rekomendasi
AKSI
KEBIJAKAN

Gambar 2.5 Kerangka Analisa dan Perumusan Kebijakan


Sumber: Dunn (2003)

Proses analisis yang diilustrasikan dalam Gambar 2.4 dibuat untuk tujuan

metodologis, untuk mempelajari kelebihan dan kekurangan dari metode-metode

dan teknik-teknik analisis kebijakan. Gambar tersebut merupakan rekonstruksi


106

logis dari proses analisis kebijakan; proses aktual mengerjakan analisis kebijakan

dapat sesuai atau tidak sesuai dengan rekonstruksi logis tersebut, yang merupakan

abstraksi dari banyak deskripsi konkrit tentang praktek yang dilakukan analis

kebijakan. Logika yang digunakan analis dalam praktek mencerminkan variasi

yang muncul baik dari karakteristik individual para analis dan keadaan

institusional di mana mereka bekerja.


107

Beberapa bentuk analisis kebijakan (Dunn, 2003) dijabarkan berikut :

2. 3. 1. Analisis Kebijakan Prospektif

Hubungan antara komponen-komponen informasi kebijakan dan metode-

metode analisis kebijakan memberi landasan untuk membedakan tiga bentuk

utama analisis kebijakan: Analisis prospektif, retrospektif, dan terintegrasi.

Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi

sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan

prospektif paling baik dari deskripsi analisis kebijakan yang diberikan oleh Walter

Williams, mantan kepala Devisi Penelitian dan Perencanaan pada The Office of

Economic Opportunity. Analisis kebijakan, menurut Williams, "merupakan suatu

alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif

dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam

bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam

pengambilan keputusan kebijakan; secara konseptual tidak termasuk

mengumpulkan informasi." Sebaliknya penelitian kebijakan berkenaan dengan

"semua studi yang menggunakan metodologi ilmiah untuk menerangkan

fenomena dan/atau menentukan hubungan diantara mereka” (Dunn, 2003).

Analisis prospektif umum disebut sebagai Analysis for policy atau

analisis untuk kebijakan (diharapkan terjadi di masa mendatang). Analisis tipe ini

memberikan informasi rinci tentang ormulasi kebijakan (evaluasi formatif) atau


108

mengantisipasi bagaimana kebijakan akan berjalan bila diterapkan (misalnya,

bagaimana para pelaku lain akan memberikan respons terhadap perubahan-

perubahan). Analisis kebijakan pada semua tahap siklus kebijakan mulai dari

identifikasi masalah hingga formulasi, implementasi dan evaluasi. Setiap tahap

dalam siklus ini disesuaikan dengan peristiwa-peristiwa politik. Dengan demikian,

perubahan kebijakan bergantung pada analisis politik yang sistematis dan terjadi

terus-menerus (Roberts dkk, 2004).

2. 3. 2. Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi

penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Menurut Dunn (2003),

analisis retrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi

sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang

dikembangkan oleh tiga kelompok analisis :

a) Analisis yang berorientasi pada disiplin (Discipline-oriented analysis).

Kelompok ini sebagian besar terdiri dan para ilmuwan politik dan sosiologi,

terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori yang

didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-

konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk

mengindentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat

kebijakan dan tidak melakukan usaha apa pun untuk membedakan "variabel-

variabel kebijakan yang merupakan hal yang dapat diubah melalui

manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat


109

dimanipulasi". Sebagai contoh, analisis mengenai pengaruh kompetisi partai

terhadap tingkat pengeluaran pemerintah tidak menghasilkan informasi

tentang tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang spesifik dari

para pembuat kebijakan; kompetisi partai juga bukan merupakan variabel

yang dapat dimanipulasi yang dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan

untuk menghasilkan perubahan dalam pengeluaran pemerintah.

b) Analisis yang berorientasi pada masalah (Problem-oriented analysis).

Kelompok ini sebagian besar juga terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan

sosiologi, dan juga berusaha untuk menerangkan sebab-sebab dan

konsekuensi dari kebijakan. Meskipun begitu, para analis yang berorientasi

pada masalah ini, kurang "menaruh" perhatian pada pengembangan dan

pengujian teori-teori yang dianggap penting di dalam disiplin ilmu sosial,

tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat

dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

Walaupun begitu, analis yang berorientasi pada masalah jarang menyajikan

informasi mengenai tujuan dan sasaran kebijakan yang spesifik dari para

pembuat kebijakan, terutama karena masalah-masalah praktis yang

dianalisis biasanya bersifat umum. Sebagai contoh, analisis pengaruh

investasi publik dalam bidang pendidikan terhadap prestasi murid-murid di

AS memberikan informasi tentang variabel yang dapat dimanipulasi

(investasi publik) tetapi tidak memberikan informasi tentang sasaran yang

khusus dari para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan lainnya yang

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan pendidikan.


110

c) Analisis yang berorientasi pada aplikasi (Applications-oriented analysis).

Kelompok analis yang ketiga ini mencakup ihnuwan politik dan sosiologi,

tetapi juga orang- orang yang datang dari bidang studi profesional

pekerjaan sosial (social work) dan administrasi publik dan bidang studi yang

sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha untuk

menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program

publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan

pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh

perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan

identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan dan

pelaku kebijakan. Informasi mengenai tujuan-tujuan dan sasaran kebijakan

memberi landasan bagi pemantauan dan evaluasi hasil kebijakan yang

spesifik, yang dapat digunakan oleh para praktisi untuk merumuskan

masalah-masalah kebijakan, mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan

baru, dan merekomendasikan arah tindakan untuk memecahkan masalah.

Sebagai contoh, para analis yang berorientasi pada aplikasi ini dapat

membuat perhitungan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan dan kegagalan program pendidikan anak-anak prasekolah,

walaupun analisis mereka berakhir dengan perumusan masalah-masalah dan

pengembangan suatu sintesis pemecahan masalah-masalah kebijakan (Dunn,

2003).
111

Selanjutnya diterangkan oleh Dunn (2003), bahwa gaya pengoperasian

ketiga kelompok analisis kebijakan retrospektif tersebut memiliki kelebihan dan

kelemahannya sendiri-sendiri. Analisis kebijakan yang berorientasi pada disiplin

jarang menghasilkan informasi yang secara langsung bermanfaat untuk

merumuskan pemecahan atas masalah-masalah kebijakan, terutama karena

variabel-variabel yang paling relevan bagi pengujian teori-teori ilmiah umum juga

jarang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk melakukan manipulasi

kebijakan. Bahkan ketika para analisis yang berorientasi pada masalah

menemukan masalah-masalah penting seperti kesempatan pendidikan, energi, atau

kriminalitas, informasi yang diperoleh mungkin bersifat makronegatif. Informasi

makronegatif menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi luas dari kebijakan dan

menggunakan data agregat untuk menunjukkan mengapa kebijakan-kebijakan dan

program-program tertentu tidak berhasil, sebagaimana dibedakan dari informasi

mikropositif yang menunjukkan kebijakan dan program-program apa yang

berhasil dan di bawah kondisi spesifik apa. Ada baiknya pembuat kebijakan tahu

bahwa frekuensi kejahatan lebih besar di daerah perkotaan dibanding di daerah

pedesaan; tetapi akan lebih berguna lagi untuk tahu bahwa bentuk undang-undang

pengendalian penggunaansenjata mengurangi tindak kejahatan yang serius, atau

patroli polisi secara intensif merupakan suatu pencegahan terhadap kejahatan.

Analisis retrospektif "merupakan yang paling penting di dalam pengaruhnya

terhadap prioritas dan pemahaman intelektual, dan tidak begitu efektif dalam

menawarkan solusi terhadap masalah-masalah politik yang spesifik".


112

2. 3. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang

mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada

penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan

diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para

analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan prospektif, tetapi

juga menuntut para analis untuk secara terus menerus menghasilkan dan

menstransformasikan informasi setiap saat. Hal ini berarti bahwa analis dapat

terlibat dalam transformasi komponen-komponen informasi kebijakan searah

dengan putaran jarum jam berulangkali sebelum akhirnya pemecahan masalah

kebijakan yang memuaskan ditemukan. Analisis yang teritegrasi dengan begitu

bersifat terus menerus, berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya

analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik

dari lingkaran analisis, baik sebelum atau sesudah aksi. Selanjutnya, hubungan

antara dua "tahap" analisis kebijakan misalnya antara perumusan masalah dan

peramalan dapat dipandang sebagai "titik" dialektis, di mana tidak mungkin untuk

menyatakan dengan pasti di mana penggunaan metode analisis kebijakan dimulai

dan berakhir (Janet A Weiss seperti dikutip oleh Dunn, 2003).

Selanjutnya diterangkan bahwa analisis yang terintegrasi dapat

digambarkan dengan mempertentangkan antara evaluasi-evaluasi retrospektif

terhadap kebijakan publik, dan eksperimen-eksperimen program kebijakan.

Evaluasi restrospektif terhadap kebijakan dan program di dalam sejumlah bidang

seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial secara khusus menilai


113

kinerja kebijakan dan program-program yang sedang berjalan. Sebaliknya

eksperimen kebijakan dan program menilai kinerja program dan kebijakan baru

dalam hal hasil nyatanya. Untuk menilai bentuk-bentuk baru dari aksi kebijakan di

bawah kondisi politik dan administrasi yang realistik, perlu sekali untuk

menciptakan informasi pada setiap tahap analisis kebijakan: perumusan masalah,

peramalan, rekomendasi, pemantauan dan evaluasi. Analisis kebijakan prospektif

dan retrospektif, meskipun memulai dan mengakhiri analisis pada waktu yang

berbeda, mengharuskan analis melengkapi bagian dari lingkaran analisis.

Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang

dimiliki oleh semua metodologi analisis prospektif dan retrospektif, tetapi tidak

satupun dari kelemahan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan

pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang waktu. Tidak

demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif, yang menyediakan

lebih sedikit informasi. Analisis kebijakan prospektif cenderung lemah dalam hal

keterbatasannya dan ketidakcukupan informasi yang dihasilkannya menyangkut

perubahan nilai tujuan dan sasaran yang terjadi setelah suatu kebijakan

diimplementasikan. Sebaliknya, analisis kebijakan retrospektif lemah dalam hal

ketidakmampuannya untuk mengarahkan aksi-aksi kebijakan, karena sebagian

besar terikat pada informasi yang pasif mengenai konsekuensi kebijakan setelah

diimplementasikan. Akhirnya, analisis yang terintegrasi dibangun di atas kekuatan

disiplin yang menspesialisasikan pada Analisis prospektif (seperti ekonomi,

teknik, sistem, riset operasi), dan yang menekankan pada analisis retrospektif
114

(seperti ilmu politik, sosiologi, dan hukum). Oleh karena itu, analisis yang

terintegrasi adalah multidisiplin di dalam arti yang sebenarnya (Dunn, 2003).

2. 4. Millennium Development Goals (MDGs)

2. 4. 1. Deklarasi MDGs

Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium, adalah sebuah paradigma

pembangunan global, dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Milenium

oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada

bulan September 2000. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs adalah

Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 55/2 Tangga 18

September 2000, (A/Ris/55/2 United Nations Millennium Development Goals).

Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitment untuk

mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional

dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar

tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan.

Sasaran Pembangunan MDGs adalah Deklarasi Milenium hasil

kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-

bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir

tujuan untuk dicapai pada tahun 2015. Targetnya adalah tercapai kesejahteraan

rakyat dan pembangunan masyarakat pada 2015. Target ini merupakan tantangan

utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi

Milenium, dan diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala
115

pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut.

Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas

internasional untuk mencapai 8 buah sasaran pembangunan dalam Milenium ini

(MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan

pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen

dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang

yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan

pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan gender pada semua tingkat

pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3, dan mengurangi hingga

separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.

Deklarasi Millennium PBB yang ditandatangani pada September 2000

menyetujui agar semua negara:

1) Memberantas kemiskinan dan kelaparan

 Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang hidup dengan

penghasilan kurang dari satu dollar perhari

 Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang kelaparan

o Pendapatan populasi dunia sehari $10000.

o Menurunkan angka kemiskinan.

2) Mewujudkan pendidikan dasar bagi semua

 Menjamin agar semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan

jenjang pendidikan dasar

o Setiap penduduk dunia mendapatkan pendidikan dasar.


116

3) Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan

 Menghapus ketidaksetaraan jender dalam jenjang pendidikan dasar dan

menengah pada tahun 2005, dan di semua tingkat pendidikan pada tahun

2015

o Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender

dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan

untuk semua tingkatan pada tahun 2015.

4) Menurunkan angka kematian balita

 Mengurangi dua pertiga dari anka tingkat kematian anak di bawah usia

lima tahun

o Target untuk 2015 adalah mengurangi dua per tiga tingkat kematian

anak-anak usia di bawah 5 tahun.

5) Meningkatkan kesehatan ibu

 Mengurangi tiga perempat dari angka tingkat kematian ibu

o Target untuk 2015 adalah Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu

dalam proses melahirkan.

6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya

 Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran HIV/AIDS

 Menghentikan dan mengurangi laju penyebaran malaria serta penyakit

menular utama lainnya

o Target untuk 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan

penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya.

7) Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup


117

 Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan

dan program-program di tingkat nasional serta mengurangi perusakan

sumber daya alam

 Mengurangi sampai setengah jumlah penduduk yang tidak memiliki akses

kepada air bersih yang layak minum

 Berhasil meningkatkan kehidupan setidaknya 100 juta penghuni kawasan

kumuh pada tahun 2020

o Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan

dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi

hilangnya sumber daya lingkungan.

o Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari

jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat.

o Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai

pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100

juta orang yang tinggal di daerah kumuh.

8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

 mengembangkan lebih lanjut sistem perdagangan dan keuangan terbuka

yang berdasar aturan, dapat diandalkan dan tidak diskriminatif. Termasuk

komitmen melaksanakan tata pemerintahan yang baik, pembangunan dan

pemberantasan kemiskinan – baik secara nasional maupun internasional

 menangani kebutuhan khusus negara-negara yang kurang berkembang.

Mencakup pemberian bebas tarif dan bebas kuota untuk ekspor mereka;

keringanan pembayaran hutang bagi negara-negara miskin yang terjerat


118

hutang; pembatalan hutang bilateral; dan pemberian bantuan pembangunan

yang lebih besar untuk negara-negara yang berkomitmen untuk

mengurangi kemiskinan c) menangani kebutuhan khusus negara-negara

yang terkurung daratan dan negara-negara kepulauan kecil yang sedang

berkembang.

o Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem

keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada

diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik,

pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan

internasional.

o Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang

berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan

kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota

untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang untuk negara

miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang bilateral resmi; dan

menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang berkomitmen

untuk mengurangi kemiskinan.

o Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang

negara-negara berkembang.

o Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan

masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk

membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang.


119

o Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum

muda.

o Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses

obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang

o Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan

keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi

dan komunikasi.

2. 4. 2. Pembangunan MDGs Indonesia

Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian

diharapkan membuat laporan MDGs. Pemerintah Indonesia melaksanakannya

dibawah koordinasi Bappenas dibantu dengan Kelompok Kerja PBB dan telah

menyelesaikan laporan MDG pertamanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia

dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan rasa

kepemilikan pemerintah Indonesia atas laporan tersebut. Tujuan Tujuan

Pembangunan Milenium ini menjabarkan upaya awal pemerintah untuk

menginventarisasi situasi pembangunan manusia yang terkait dengan pencapaian

tujuan MDGs, mengukur, dan menganalisa kemajuan seiring dengan upaya

menjadikan pencapaian-pencapaian ini menjadi kenyataan, sekaligus

mengidenifikasi dan meninjau kembali kebijakan-kebijakan dan program-program

pemerintah yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan ini. Dengan tujuan

utama mengurangi jumlah orang dengan pendapatan dibawah upah minimum

regional antara tahun 1990 dan 2015, Laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia
120

berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pencapaiannya lintas

provinsi tidak seimbang.

Kini MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia,

mulai dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai

kendala, namun pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan ini

dan dibutuhkan kerja keras serta kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk

masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga donor. Pencapaian MDGs di

Indonesia akan dijadikan dasar untuk perjanjian kerjasama dan implementasinya

di masa depan. Hal ini termasuk kampanye untuk perjanjian tukar guling hutang

untuk negara berkembang sejalan dengan Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di

daerah Asia dan Pasifik.

Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Tujuan Pembangunan

Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga

harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program

MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup,

kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang

cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen

Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan

terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009)

hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs.

Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi


121

Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang

Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

Menurut Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian

Development (INFID) Don K Marut Pemerintah Indonesia perlu menggalang

solidaritas negara-negara Selatan untuk mendesak negara-negara Utara

meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa syarat dan berkualitas

minimal 0,7 persen dan menolak ODA (official development assistance) yang

tidak bermanfaat untuk Indonesia. Menanggapi pendapat tentang kemungkinan

Indonesia gagal mencapai tujuan MDGs apabila beban mengatasi kemiskinan dan

mencapai tujuan pencapaian MDG pada tahun 2015 serta beban pembayaran

utang diambil dari APBN pada tahun 2009-2015, Sekretaris Utama Menneg

PPN/Kepala Bappenas Syahrial Loetan berpendapat apabila bisa dibuktikan

MDGs tidak tercapai di 2015, sebagian utang bisa dikonversi untuk bantu itu.

Pada tahun 2010 hingga 2012 pemerintah dapat mengajukan renegosiasi utang.

Beberapa negara maju telah berjanji dalam konsesus pembiayaan (monetary

consensus) untuk memberikan bantuan.

2. 4. 3. MDGs Pendidikan di Indonesia

Tujuan kedua dari delapan tujuan Pembangunan Millenium (TPM) atau

Millennium Development Goals (MDGs) adalah mencapai pendidikan dasar untuk

semua. MDGs memang bukan merupakan isu yang baru, tetapi pencapaian target

MDGs di Indonesia masih di bawah target yang diharapkan. Bahkan, menurut

Laporan "A Future Within Reach" maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik tahun
122

2006, Indonesia termasuk dalam kategori terbawah bersama Banglades, Laos,

Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini dan Filipina (Hartiningsih, 2007).

Pada awal sosialisasi MDGs di Indonesia memang menimbulkan beberapa

kontroversi. Ada sebagian dari komponen masyarakat yang menganggap bahwa

MDGs sebagai program yang ambisius. Namun, MDGs sebenarnya bukan hal

yang ambisius atau mengada-ada karena MDGs merupakan program yang

didasarkan pada semangat pemenuhan hak dasar warga negara. Hal ini dapat

dilihat bahwa sebagian besar indikator MDGs didasarkan pada Human

Development Index (HDI) yang terdiri dari tiga indikator, yaitu: pencapaian

pembangunan bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Tiga indikator dalam

HDI yang meliputi aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi tersebut

mencerminkan sejauh mana negara mampu memenuhi hak-hak dasar warga

negara.

Dengan menggunakan prinsip right based approach, maka upaya untuk

memberikan pelayanan bidang pendidikan menjadi salah satu tujuan prioritas di

dalam Tujuan Pembangunan Millenium dengan tekad untuk mewujudkan

Education for All (EFA) yang di Indonesia kemudian disebut sebagai Pendidikan

untuk Semua (PUS).

Mengapa pemenuhan pelayanan pendidikan kepada seluruh warga negara

menjadi prioritas yang akan diwujudkan di dalam MDGs? Hal ini karena

pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara. Pendidikan merupakan

kebutuhan paling asasi bagi semua orang karena masyarakat yang berpendidikan

setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu : Pertama, dapat membebaskan


123

dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. Kedua, mampu berpartisipasi dalam

proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan ketiga,

memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.

Pentingnya pendidikan sebagaimana diuraikan di atas memang tidak dapat

disangkal lagi. Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah

satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak

mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal

pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan

memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan.

Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang

baik, pada akhirnya dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai

kehidupan yang sejahtera. Tentu pendidikan dan kesejahteraan tidak memiliki

hubungan yang bersifat langsung, akan tetapi melalui proses panjang di mana

pendidikan yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk

dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Bagaimana mekanisme

tersebut dapat terjadi dapat dijelaskan dalam proses sebagai berikut: Kondisi

pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasayat terbentuknya SDM yang

berkualitas. Dengan SDM yang berlualitas maka masyarakat akan memiliki

produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi

sangat significant pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.

Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan pendidikan, dengan

demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen yang paling efektif untuk

memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of
124

poverty, di mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin

yang disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan)

orang miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan

kondisi kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi

untuk pendidikan dan kesehatan.

Selain menjadi instrumen strategis untuk memotong lingkaran setan

kemiskinan, pendidikan juga punya makna sangat penting bagi upaya untuk

memberdayakan kaum perempuan. Relevansi ini tidak hanya berkaitan dengan

persoalan kesetaraan gender, akan tetapi juga didasarkan pada realitas bahwa, jika

berbicara tentang kemiskinan, maka dari golongan kaum perempuanlah sebagian

besar pemberi kontribusi kelompok miskin.

Dengan demikian pendidikan bagi kaum perempuan memiliki makna yang

sangat penting. Lebih dari sekedar memberi instrumen untuk memperoleh

pendapatan yang lebih baik yang pada gilirannya dapat membebaskan diri dari

belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan, pendidikan juga akan memperbaiki

kondisi kehidupan kaum perempuan dalam banyak aspek atau dimensi kehidupan

mereka. Dengan pendidikan yang maju, maka kaum perempuan akan lebih

banyak terekspos dengan berbagai hal seperti kesehatan, hak-hak pribadi, hak

politik dan sebagainya. Meningkatnya pengetahuan kaum perempuan terhadap

berbagai hal tadi pada gilirannya akan memperbaiki kondisi kesejahteraan

masyarakat pada berbagai aspek, sebab kaum perempuanlah yang selama ini

menjadi ujung tombak perbaikin kondisi kesejahteraan keluarga. Thomas, et.al

(2000: 50-2) menjelaskan bahwa peningkatan kapasitas perempuan tidak hanya


125

memperbaiki pendapatan mereka akan tetapi juga memperbaiki kesehatan

reproduksi, menurunkan angka kematian bayi dan anak, serta dengan

pengetahuannya tentu akan menguntungkan bagi pembentukan generasi

berikutnya. Pendapat senada juga didukung oleh Tatyana (2000: 35) yang

menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam

pembangunan ekonomi. Disamping, modal fisik seperti mesin, bangunan dan

sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan

ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi

juga.

Pendidikan dasar bagi anak laki-laki dan perempuan adalah tujuan kedua

dari Millennium Development Goals (MDGs). Targetnya adalah pada tahun 2015,

seluruh anak baik laki-laki maupun perempuan di mana saja mereka berada harus

sudah menyelesaikan pendidikan dasar. Sebagai negara yang ikut meratifikasi

MDGs/ Tujuan Pembangunan Millenium, Indonesia tidak bisa mengabaikan

pembangunan di bidang pendidikan dasar ini.

Untuk dapat mewujudkan Tujuan Pembangunan Millenium bidang

pendidikan tersebut tentu bukan perkara yang mudah untuk dilaksanakan.

Diperlukan suatu langkah-langkah kongkrit dalam bentuk kebijakan-kebijakan,

baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang untuk dapat mewujudkan

tujuan tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu saja tidak hanya dibuat dan

diimplementasikan oleh pemerintah pusat saja, akan tetapi juga perlu dukungan

dari pemerintah daerah. Sebab, mengacu kepada Undang-Undang No. 22/1999

yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah,


126

pemerintah daerahlah yang memiliki tugas untuk menyelenggarakan urusan

pelayanan pendidikan dasar (SD dan SLTP). Dengan demikian, upaya pemerintah

untuk dapat mencapai Tujuan Pembangunan Millenium dalam bidang pendidikan

harus juga melibatkan dukungan pemerintah daerah.

Upaya meyakinkan pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan tujuan

millenium bidang pendidikan tentu bukan pekerjaan mudah dilakukan. Selain

kesadaran daerah yang masih kurang tentang pentingnya mewujudkan MDGs,

persoalan yang muncul adalah rendahnya dukungan anggaran, SDM, dan

infrastruktur yang ada di daerah untuk dapat mewujudkan tujuan MDGs tersebut.

Terlebih lagi, koordinasi pembangunan yang tidak lagi bersifat sentralistik seperti

yang terjadi pada jaman Orde Baru dalam banyak hal telah menyebabkan

berbagai dokumen rencana pembangunan yang dibuat oleh pemerintah, misalnya,

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan

Jangka Menengah (RPJM) tidak selalu menjadi acuan pemerintah daerah di dalam

membuat dokumen yang sama, yaitu RPJP-D dan RPJM-D. Persoalan yang

muncul kemudian adalah rencana dan realisasi berbagai program pembangunan di

daerah tidak selalu seiring dan sejalan dengan rencana pembangunan yang dibuat

oleh pemerintah pusat.

Kondisi yang demikian sangat mungkin menyebabkan upaya untuk

mencapai MDGs bidang pendidikan dasar menjadi tidak akan mudah untuk

dilaksanakan. Hanya apabila pemerintah memiliki kapasitas untuk meyakinkan

pemerintah daerah bahwa MDGs merupakan hal yang penting yang harus
127

diwujudkan dan diikuti dengan dukungan instrumen koordinasi yang baik saja

maka MDGs bidang pendidikan akan dapat dicapai.

Pemerintah telah banyak melaksanakan kebijakan dan program untuk

menjamin pendidikan. Komitmen pemerintah untuk menjamin pendidikan ini

sangatlah penting mengingat pendidikan merupakan kebutuhan utama untuk

mewujudkan masyarakat sejahtera. Mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh

pemerintah, maka program pendidikan dasar yang menjadi prioritas kewajiban

pemerintah. Sebagai wujud konkrit atas pentingnya pendidikan dasar, UUD 1945

pasal 31 (termasuk juga pasal 31 dalam Perubahan keempat Undang-undang

Dasar 1945) yang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas

pendidikan dasar. Hal ini tertuang secara jelas pada ayat 1 dan ayat 2, seperti

dibawah ini.

Pasal 31

Ayat 1: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”

Ayat 2: “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan

pemerintah wajib membiayainya”

Kemudian komitmen pemerintah terhadap anggaran tertuang pada pasal

31 ayat 4, yaitu anggaran pendidikan minimal harus 20% dari APBN dan APBD,

seperti dikutip di bawah ini:

Ayat 4: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-

kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta

dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional”.


128

Komitmen pemerintah mengenai pendidikan dasar ini dipertegas lagi

dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS),

yaitu pada pasal 17 dan pasal 34.

Pasal 17

(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang

pendidikan menengah

(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah

(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama

(SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat

(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

Pasal 34

(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib

belajar

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib

belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan

oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Pemerintah bahkan menerbitkan kebijakan yang populer untuk mengatasi

putus sekolah pada tingkat pendidikan dasar yaitu dengan Bantuan Operasional

Sekolah (BOS). Program penanggulangan putus pendidikan dasar telah banyak


129

diterbitkan. Program yang paling populer saat ini adalah Bantuan Operasional

Sekolah atau yang lebih dikenal dengan BOS. Tujuan pemerintah menciptakan

program BOS ini adalah agar semua anak terutama dari keluarga miskin dapat

mencapai kelulusan pada tingkat pendidikan dasar.

Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan

sebagian dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan sebagai

Dana Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–

Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima

langsung dana tersebut, dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional

Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar

dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke

seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan program

BKM. Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah

anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini

menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar

untuk biaya operasional sekolah.

Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen

berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah

menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp 5.3 triliun

antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau

sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor

pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah

siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per
130

semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira

AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional

sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan

menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS

disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening

bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah

terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi.

2. 4. 4. Open School, Upaya MDGs Pendidikan di Indonesia

Ketika membahas mengenai capaian MDGs terkait bidang pendidikan

maka terdapat tiga indikator yang digunakan yaitu rasio anak yang mendapatkan

pendidikan dasar, proporsi murid yang menyelesaikan pendidikan dasar (SD-

SMP), dan angka melek huruf masyarakat usia 15-24 tahun. Menurut  laporan

capaian MDGs tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Bappenas sebenarnya Indonesia

masih belum mencapai target dan usaha masih harus terus dikerahkan oleh segala

pihak. Rasio anak yang mendapatkan pendidikan dasar di Indonesia adalah

95,55%, proporsi murid yang menyelesaikan pendidikan dasar adalah 96,58%,

dan angka melek huruf masyarakat usia 15-24 tahun adalah 98,78%. Angka-angka

tersebut tentunya menjadi indikasi yang baik terkait perkembangan pendidikan

dilihat dari targetnya yaitu 100% tapi tentunya semua harus terus berbenah.

Apakah Indonesia patut berpuas diri dengan angka anak yang mendapatkan

pendidikan dasar? Bagaimana dengan pendidikan lanjutan? Bagaimana dengan


131

kualitas pendidikan itu sendiri? Bagaimana dengan sistem pendidikan selama ini,

sudahkan efektif dan obyektif?

Pembenahan dalam bidang pendidikan ini salah satunya dilakukan oleh

Open Government Indonesia (OGI) melalui inisiatif open school di tahun 2012.

Inisiatif tersebut didukung juga oleh regulasi yang sebelumnya telah ada yaitu

Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya Pasal 74 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 82

(ayat 1 dan 2) tentang Penerimaan Peserta Didik pada Satuan Pendidikan

Dasar/Menengah yang obyektif, transparan, dan akuntabel.

Open School adalah semangat akan keterbukaan sistem manajemen

berbasis sekolah yang terintegrasi dan berfokus pada peningkatan mutu di bidang

pendidikan. Ide mengenai open school  di Indonesia terinspirasi dari

program Check My School di Filipina yang merupakan hasil kerjasama OMS dan

Pemerintah Filipina. Pada awalnya, open school  di Indonesia dimulai dengan

transparansi dan partisipasi penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) sehingga mencegah penggunaan dana untuk hal yang bersifat non-edukasi.

Satu hal lagi yang menjadikan program ini sebagai langkah kecil namun

berdampak besar bagi pendidikan di sekolah adalah Penerimaan Peserta Didik

Baru (PPDB).

PPDB seyogyanya diadakan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan

yang adil dan sama rata pada calon peserta didik agar semua anak Indonesia dapat

bersekolah di sekolah yang menjadi tujuan mereka. Belajar bagi anak-anak bukan

lagi suatu kewajiban melainkan kebutuhan baginya. Suatu sekolah tentunya tidak
132

dapat menampung semua anak usia sekolah yang berada di lingkungannya oleh

karena itu pihak sekolah dalam hal ini dapat melakukan seleksi dengan

mengutamakan dua hal yaitu anak-anak yang berprestasi dan atau anak-anak yang

berasal dari keluarga tidak mampu.

Penggunaan PPDB-online sebagai salah satu bentuk nyata open

school merupakan cara bijak yang dapat dianjurkan dan diharuskan ke depannya

bagi sekolah dalam melakukan seleksi peserta didik baru yang akan diterima,

persyaratan, dan kriteria yang harus disiapkan oleh pendaftar. Proses seleksi

PPDB harus diikuti dan semua proses seleksi tersebut dapat dipantau secara real

time online tersebut tentunya dapat memberikan kesempatan secara adil dan

merata kepada semua anak. Saat ini, Indonesia memiliki dua opsi layanan

PPDBonline yang dapat dipilih oleh masing-masing kabupaten/kota yaitu PPDB

milik Kemdikbud (ppdb.kemdikbud.go.id) dan PPDB milik Siap Online Telkom.

Pelaksanan open school  didorong melalui pelaksanaan penerimaan siswa

baru online di Provinsi Kalteng dan Kota Ambon. Selain penerimaan siswa

baru online,  open school  juga mendorong publikasi BOS secara online. Kota

Ambon dapat menjadi contoh dalam hal ini karena ternyata indikator

pendidikannya menunjukkan angka-angka yang menarik dan mendapat perhatian

khusus. Angka melek huruf di Kota Ambon mengalami kenaikan pada tahun 2009

yaitu 99,35% menjadi 99,63% pada tahun 2010. Angka tersebut bahkan

melampaui rata-rata nasional yaitu sebesar 98,78%. Berbeda dengan angka melek

huruf, ternyata angka partisipasi sekolah di Kota Ambon menunjukkan tren yang

negatif yaitu 72,61% pada tahun 2010 padahal rata-rata nasional mencapai
133

95,55%. Setelah diteliti lebih lanjut, ditemui bahwa angka partisipasi sekolah di

Kota Ambon menurun seiring dengan kenaikan jenjang pendidikan yaitu SD

(98,72%), SMP (94,95%), SMA (77,75%), dan Sarjana (45,30%) pada tahun 2010

(http://opengovindonesia.org).

Ditemukan pula dari BPS bahwa di Kalteng dan Kota Ambon angka

partisipasi sekolah menurun seiring dengan meningkatnya jenjang pendidikan

maka ada dua kemungkinan penyebabnya yaitu akses yang sulit ke jenjang

pendidikan lebih tinggi dan atau kondisi ekonomi masyarakat masih belum

mampu untuk membayar biaya pendidikan. Mengenai permasalahan pembiayaan,

pemerintah telah berupaya melalui pemberian dana BOS kepada tiap sekolah.

Dengan begitu, masih ada satu pekerjaan rumah yang dihadapi yaitu mengenai

akses. Permasalahan terhadap akses ini rasanya dapat diatasi dengan

penerapan open school. Open schooldapat memberikan informasi transparan

kepada semua siswa akan sekolah yang diinginkannya.

Selain memberikan manfaat kepada siswa, open school ternyata juga

membawa dampak positif bagi pihak sekolah terutama kepala sekolah. Selama ini

sebelum dilaksanakan open school, masa-masa PPDB merupakan masa yang

berat bagi kepala sekolah karena dia harus melayani puluhan bahkan ratusan

telepon dari orang tua murid yang ingin mendaftarkan diri ke sekolah unggulan.

Banyak cara ditempuh orang tua murid untuk memasukkan anaknya ke sekolah

unggulan salah satunya dengan memberikan gratifikasi kepada kepala sekolah.

Hal tersebut tentunya tidak dibenarkan karena merupakan salah satu bentuk

korupsi yang dapat memberikan dampak sistemik. Setelah berlakunya open


134

school, para kepala sekolah merasa bahwa batinnya lebih tenang karena tidak

harus berurusan dengan gratifikasi. Pelajaran yang dapat diambil dari sini bahwa

selain meratakan kesempatan setiap siswa untuk mengecap pendidikan lebih

tinggi, open school juga mendukung kompetisi yang sehat antar siswa dan

mendukung terciptanya manajemen sekolah yang transparan dan akuntabel.

Contoh ini dibuktikan dengan sudah sirnanya pendapat masyarakat bahwa hanya

anak orang mampu yang dapat masuk ke sekolah favorit. Terjadi di Kota

Palangkaraya bagiamana ayah yang berprofesi sebagai tukang bakso anaknya

dapat diterima di sekolah yang dulunya hanya dapat dipenuhi oleh siswa yang

memiliki kemampuan finansial lebih tinggi. Ada pula tukang parkir yang

memiliki pengalaman seperti itu. Pengalaman-pengalaman tersebut terjadi di Kota

Ambon dan Kota Palangkaraya di awal-awal pelaksanaan PPDB online.

Hingga tahun 2013, 40 sekolah telah menerapkan open school di Kota

Ambon dan sekarang adalah saat yang tepat bagi daerah lain di Indonesia untuk

bergerak melakukan inovasi serupa. Semua anak Indonesia berhak mendapatkan

pendidikan yang layak hingga jenjang tertinggi dan satu hal yang perlu diingat

bahwa mendidik anak bangsa sama artinya dengan membangun peradaban

(Ningtiyas Yuniar Sarah, 2013).

2. 5. Kebijakan Pendidikan Nasional

Kebijakan pendidikan adalah political choice, hasil sebuah perumusan

melalui proses politik. Prospektif pilihan publik Iazimnya dilaksanakan dengan

pola pendekatan pluralis (model pendekatan yang tidak hanya mengacu pada satu
135

pendekatan saja) berlandaskan pada asumsi dasar tentang komposisi interest

masyarakat politik yang terorganisir. Tuner & Hulme (1997) mengemukakan: The

public choice perspective has a kindship with the pluralist approach in its basic

assumption about political society being composed of organized interests.

Agar perumusan kebijakan efektif, dan sesuai dengan keinginan,

kebutuhan, dan harapan masyarakat, sebaiknya diawali dengan analisis kebijakan

(policy analysis). House & Shull (Iihat Perry, 1990), menjelaskan: Policy analysis

is defined as simply an estimate of what found happen if same governmental

procedure were changed, than - regardless of their formal titles or organizational

locations - most civil servants, from the lowest management level up, conduct

policy analyses from time to time. Austin dalam Tuner & Hulme (1997)

mengemukakan empat elemen Iingkungan (environment elements) yang perlu

diperhatikan meliputi: (1) economic, (2) cultural, (3) demographic, (4) political

element. Elemen-elemen tersebut penting, oleh karena itu, perlu dianalisis derajat

urgensi dan relevansinya berdasarkan interest and needs of public.

Policy analysis diperlukan, sebab persoalan yang dihadapi dalam

perumusan kebijakan pembangunan, termasuk pembangunan pendidikan selalu

dihadapkan dengan permasalahan yang kompleks. Di dalamnya melibatkan

banyak elemen, unsur, dan komponen yang terkait, sehingga diperlukan ketelitian

dan kesungguhan. Agar policy analysis berhasil baik, maka harus memperhatikan

karakteristik sebagaimana disarankan House & Shull dalam Perry (1990) sebagai

berikut: (1) Technical skills; (2) Multidiciplinarity; (3) Creativity; (4) Clarity; (5)

Poise; (6) Expertice; dan (7) Political safety.


136

Hasil rumusan kebijakan negara pada umumnya berbentuk perundang-

undangan, peraturan-peraturan, instruksi pemerintah, dan sebagainya (UU no. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No.14 Tahun 2005 tentang

Guru dan Dosen; PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;

Permendagri No. 13 tahun 2006 tetang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah;

Permendiknas No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;

Permendiknas No.16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi

Guru; Permendiknas No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam

Jabatan; Permendiknas No.20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan;

Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang Standar Isi; Permendiknas No.23 tahun

2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; Permendiknas No.24 tahun 2006

tentang Pelaksanaan Permendiknas No.22 tahun 2006 dan Permendiknas No.23

tahun 2006) menjadi pedoman dalam pengimplementasian kegiatan.

Pada tingkat makro, berbagai produk hukum tersebut biasanya

dirumuskan oleh legislatif bersama eksekutif dan ditindaklanjuti oleh birokrasi

bekerjasama dengan agensi dan masyarakat (stakeholders). Konsepsi tersebut

memberi petunjuk bahwa implementasi kebijakan adalah bagian yang menjadi

tanggung jawab jajaran birokrasi, dengan mengikutsertakan agensi yang

terkait.Sekalipun implementasi kebijakan dilaksanakan secara bersama dengan

masyarakat yang kena sasaran atau mereka yang terkait, (Thoha, 2002); dan

Islamy (1994) menyebut kerja bareng antara birokrasi-pasar-komunitas (Iron

Triangle), akan tetapi tanggung jawab tetap pada birokrasi. Islamy (2002) dengan
137

tegas mengatakan bahwa: birokrasi yang bertanggungjawab atas pelaksanaan

kebijakan tersebut harus benar-benar memperhatikan tuntutan-tuntutan

masyarakat yang terkena efek dari kebijakan, yang menurut Thoha, (2002);

Islamy (2001); Dunn, (2000) harus sesuai kebutuhan pasar, atau dalam konteks

konsep policy environment (Dye, dalam Dunn, 2000).

Aspek ini penting untuk dikaji dan dicermati, sebab perumusan dan

implementasi kebijakan (formulation and implementation of policy) adalah dua

elemen (two elements) yang tidak dapat dipisahkan, kecuali secara konseptual.

Sebuah kebijakan tidak berarti tanpa dapat diimplementasikan. Udjodi (1981)

dalam Wahab (1997) mengatakan: the execution of policies is as important if not

more important than policy-making (pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu

yang penting, bahkan mungkin sesuatu yang jauh lebih penting daripada

pembuatan kebijakan). Implementasi kebijakan publik adalah proses

melaksanakan keputusan kebijakan, (kebijakan biasanya dalam bentuk perundang-

undangan, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau

Dekrit Presiden) Dalam kaitan dengan maksud tersebut, Van Meter & Van Hom

(1975) (lihat Wahab, 1997) mengemukakan implementasi kebijakan adalah:

Those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the

achievement of objectives set fcrth in prior policy decisions.

Mazmanian dan Sabatier dalam Abdul Wahab (1997) merumuskan:

implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-

individu, pejabat-pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah, atau swasta yang

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan


138

kebijakan. Pandangan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan Islamy

(2001) bahwa: implementasi kebijakan adalah: a process of interaction of

between the setting of goal and actions geared to achieve them. Dengan demikian,

hubungan dan kerjasama antar agensi yang terkait menjadi prasyarat yang perlu

dibina dan dikembangkan.

Tjokroamidjojo (2003) mengemukakan: Implementasi kebijakan

demikian, termasuk bagian dari "Sharing in Governance", sebagai ciri "good

governance", yang mencakup good public governance dan good cooperate

governance. Sharing in Governance, melibatkan domain pemerintah, sektor

swasta, dunia usaha dan masyarakat sipil yang terinsitusi dalam kelembagaan

swasta, seperti Pers, organisasi profesi, LSM, dan sebagainya. Sharing in

governance, dilakukan dengan pola kemitraan dan partnership ketiga domain

tersebutkan di atas, masing-masing sesuai fungsi dan perannya untuk

kerpentingan bersama-bangsa.

Lazimnya, perumusan kebijakan pada tingkat Negara dilakukan oleh

lembaga legislatif; dan implementasinya oleh lembaga eksekutif. Paham yang

menganut ketat doktrin trias politica dari Montesque antar lain seperti sistem

administrasi negara Amerika Serikat. Pembagian fungsi ini sangatlah jelas dan

dilaksanakan secara ketat berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.

(Syafaruddin, 2008)

Di Indonesia, sistem pembagian fungsi ini tidak seketat sistem

administrasi negara AS, bahkan daiam proses pembuatan kebijakan negara

sebagai kegiatan proses politik, dalam batas-batas tertentu saling mengisi dan
139

melengkapi, satu dengan yang lain sehingga produk perumusan kebijakan negara

menjadi produk hukum bersama. Proses kebijakan demikian menjadi keharusan

bagi pemerintahan yang menganut gabungan sistem parlementer dan presidential

seperti Indonesia.

Denhardt (1991) mengemukakan: Public policies are authoritative

statements made by legitimate governmental actors (the chief executive, the

legislative, public agencies, etc), about important, and sometimes not to

important public problems. institusi dimaksud berfungsi sebagai pembuat

keputusan dan pengelola kebijakan (PUSDIKLAT SPIMNAS, Kajian Kebijakan

Publik, 2001). Dalam literatur asing disebut policy elites. Misalnya, hubungan dan

kerjasama antara institusi DPR dan institusi kepresidenan dalam penetapan

anggaran belanja negara, perumusan perundang-undangan, dan sebagainya.

Sekalipun demikian, sering terjadi saling melemparkan tanggung jawab

antara kedua institusi tersebut, apabila terjadi kegagalan dalam

pengimplementasiannya. Tudingan penyebab kegagalan, lazimnya datang dari

lembaga legislatif dan ditujukan kepada lembaga eksekutif. Alasannya sederhana,

yakn ketika keputusan kebijakan itu ditetapkan, maka implementasinya telah

dilimpahkan menjadi tanggung jawab eksekutif.

Dunn dalam Campo & Sundarman (2002). mengingatkan bahwa ada tiga

elemen dasar dalam sistem kebijakan yang saling pengaruh satu dengan yang lain

yakni: (1) Pelaku kebijakan, (2) Kebijakan publik, dan (3) Lingkungan kebijakan.

Kegagalan implementasi kebijakan makro tidak sepenuhnya menjadi tanggung

jawab lembaga eksekutif. Dalam kaitan ini, koordinasi antara agensi sebagal mitra
140

kerja diperlukan dari waktu kewaktu untuk menyatukan persepsi, konsepsi dan

perbedaan-perbedaan pendapat dengan melakukan kolaborasi secara formal

maupun informal

Di Philippines, pada tahun 1992, telah dibentuk sebuah lembaga

penasehat dan konsultasi yang disebut Legislative - Executive Development

Advisory Council (LEDAC). Lembaga tersebut berfungsi untuk mengkoordinasi

dan memberikan nasehat mengenai mekanisme perencanaan dan penganggaran

yang dibuat oleh eksekutif maupun Kongres - Parlemen. Lain lagi di India, di sana

anggota perlemen hares berkonsultasi kepada panitia yang dibentuk khusus

(committees attached) dibeberapa kementerian (Schiavo-Campo & Sundaran,

2002).

Pengalaman menunjukkan bahwa resiko kegagalan implementasi

kebijakan publik tidak dapat dihindari oieh siapapun, dan organisasi manapun.

Abdul Wahab (1997) mengemukakan bahwa resiko kegagalan implementasi

kebijakan publik dapat ditelusuri pada tiga domain (wilayah): (1) Pelaksanaannya

yang jelek (bad execution); (2) Kebijakan sendiri memang jelek (bad policy), dan

(3) Kebijakan itu yang bernasib jelek (bad luck).

(1) Pelaksanaan yang jelek (bad execution)

Pelaksanaan kebijakan yang jelek, disebut juga kegagalan implementasi

(implementation failure) Abdul Wahab (2001). Dalam praktek biasanya

disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya dalam melaksanakan.

Ketidakmampuan tersebut pada umumnya karena kurangnya wawasan

pengetahuan, keterampilan dan pengalarnan kerja seperti ditengarai


141

PUSDIKLAT SPIMNAS (2001).

(2) Kebijakannya yang jelek (bad policy)

Kebijakan yang jelek (bad policy) menurut Abdul-Wahab (2001), disebut

juga kegagalan kebijakan (policy failure). Kegagalan demikian lebih

disebabkan kurangnya pengetahuan, keterampilan pemahaman para

pembuat kebijakan (Smith, 2003), atas berbagai kebutuhan yang menjadi

tuntutan publik. Lazimnya, kebijakan demikian kurang didukung informasi

(Dunn, 2000), hasil penelitian atau survei atas berbagai kebutuhan yang

menjadi tuntutan publik (needs & demands of public). Menurut Islamy

(2001) kebijakan demikian, seringkali harus dihapus, disesuaikan dengan

tuntutan-tuntutan baru (new demands), atau melalui negosiasi secara

Iangsung dengan masyarakat yang kena dampak kebijakan.

(3) Kebijakan yang bernasib jelek (bad luck)

Kebijakan bernasib jelek (bad luck), biasanya berlangsung secara

kondisional dan temporer. Seperti dikemukakan Islamy (2001) bahwa para

pembuat maupun pelaksana kebijakan publik harus menyiapkan keahlian

teknis yang dibutuhkan untuk mampu menganalisis, memprediksi dan

meramalkan secara lebih balk dan meyakinkan konsekuensi dari setiap

alternatif kebijakan yang dipilihnya.

Meskipun demikian, dengan berbagai kemampuan dan keahlian dibantu

dengan teknologi modem tidak dapat menjamin akan mampu meneropong dan

memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Hal ini sangat penting

diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, sebab masa depan bercirikan


142

ketidakpastian dan cenderung berubah. Toffier dalam Pradiansyah (2002)

menyebut masa depan sebagai terra incognita, yaitu daerah yang tidak dikenal.

Robert Heilbroner dalam Tilaar (1997) mengatakan bahwa: masa depan atau esok

hanya dapat dibayangkan dan tidak dapat dipastikan dan diramalkan. Masa depan

hanya dapat dikontrol secara efektif melalui kekuatan-kekuatan nyata pada hal ini.

Di sektor pendidikan, misalnya berdasarkan pengalaman pada waktu lalu di mana

kebijakan program wajib belajar 9 tahun menjadi terkatung-katung dalam

implementasinya, merupakan salah satu contoh kasus dari sekian banyak kasus

kebijakan pemerintah yang bernasib jelek (bad luck).

2. 6. Kebijakan Pendidikan Tingkat Daerah

Ada tiga persoalan mendasar yang patut diantisipasi dalam desentralisasi

pembangunan pendidikan, yaitu:

1. Pemberian otonomi pada daerah akan menjamin setiap warga negara

memperoleh haknya dalam pendidikan;

2. Pemberiaann kewenangan penyelenggaraan pendidikan kepada daerah dapat

menjamin peningkatan peran serta masyarakat;

3. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di daerah dapat mencapai

hasil-hasil pendidikan yang bermutu.

Karakteristik yang relatif melekat pada UU No. 32/2004 telah membawa

implikasi terhadap manajemen pendidikan nasional. Implikasi tersebut

diantaranya bahwa proses penyelenggaraan pendidikan harus pula berlandaskan

bottom up approach, karena disamping pembangunan pendidikan nasional harus

accceptable bagi masyarakatnya, juga harus accountable dalam melayani publik


143

terhadap kebutuhan pendidikan. Secara teknis operasional, pembangunan

pendidikan tingkat atas eksistensinya tergantung rekomendasi kebutuhan pada

tingkat bawahnya secara berjenjang, dalam arti subtansi, proses dan konteks

penyelenggaraan pendidikan pada tingkat kabupaten/kota mutlak sama baik

dengan daerah Iainnya yang sederajat maupun dengan daerah provinsi. Secara

teoretis, keragaman itu akan memunculkan sinergisme yang didukung oleh

keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing daerah dalam mencapai

tujuan-tujuan pendidikan.

Dengan demikian, bahwa besar dan luasnya kewenangan dalam

penyelenggaraan pendidikan akan tergantung kepada sistem politik dalam

memberikan keleluasaan tersebut. Akan tetapi, sekalipun keleluasaan itu diberikan

tidak dapat diartikan sebagai pemberian kebebasan mutlak tanpa

mempertimbangkan kepentingan nasional, sehingga menimbulkan konflik

kepentingan antara administrator pendidikan pada tingkat pusat dengan

administrator pendidikan di tingkat kelembagaan satuan pendidikan.

Sesungguhnya konflik kepentingan tersebut tidak perlu terjadi apabila para

administrator tersebut memahami hakikat dan urgensi perlunya desentralisasi

dalam pembangunan, yang walaupun terjadi tarik menarik kepentingan tersebut

harus berdasarkan pada prinsip saling ketergantungan untuk menghasilkan

sinergitas bagi tujuan-tujuan pembangunan pendidikan yang lebih luas.

Secara teoritis struktur organisasi desentralisasi ditunjukkan dengan

tingkat pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur

desentralisasi, sebagian keputusan diambil pada tingkat hierarki organisasi


144

tertinggi, dan apabila sebagian besar otoritas didelegasikan pada tingkatan yang

rendah dalam organisasi, maka organisasi tersebut tergolong pada organisasi yang

terdesentralisasi. Dengan demikian, inti dari desentralisasi adalah adanya

pembagian kewenangan oleh tingkat organisasi di atas kepada organisasi di

bawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat

tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan di tiap level organisasi dalam

melaksanakan tugasnya serta memberikan kebebasan dalam bertindak. Dengan

desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir

dan bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.

Desentralisasi membutuhkan keseimbangan antara independensi para

administrator serta komitmennya terhadap kelangsungan hidup organisasi.

Desentralisasi mengandung makna bahwa proses pendelegasian atau

pelimpahan kekuasaan atau wewenang dalam sistem organisasi diberikan dari

pimpinan atau atasan ke tingkat bawahan. Secara umum tujuan desentralisasi

manajemen di dalam kehidupan berorganisasi adalah untuk meningkatkan

efisiensi manajemen dan kepuasan kerja pegawai melalui pemecahan masalah-

masalah yang berhubungan langsung dengan daerah lokal. Dengan demikian

desentralisasi manajemen pendidikan adalah pelimpahan wewenang dari

pemerintah kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun

perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan, dengan mengacu

kepada sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, dalam praktik

desentralisasi manajemen pendidikan dapat diterapkan di dalam beberapa tingkat

dan struktur organisasi penyelenggara mulai dari tingkat nasional sampai tingkat
145

satuan pendidikan.

Dalam konsepnya, desentralisasi manajemen pendidikan merupakan

upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang dimanajemen

pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat organisasi di tingkat

pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya atau dari pemerintah pusat pada

pemerintah daerah atau dari pemerintah pada masyarakat. Salah satu wujud dari

desentralisasi manajemen pendidikan itu ialah terlaksananya proses keleluasaan

dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan.

Namun demikian, dalam praktiknya tidak seluruh kewenangan tersebut

dapat didesentralisasikan. Kewenangan perumusan atau pembuatan kebijaksanaan

nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan-persyaratan

pokok tentang jenjang pendidikan, persyaratan pembukaan program baru,

persyaratan tentang guru atau pendidik di setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan-

kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih efektif, efisien, dan tepat jika

tidak didesentralisasikan masih dilakukan dan diperlukan sentralisasi. Sedangkaan

setiap kewenangan implementasi dan evaluasi kebijakan nasional, dalam hal-hal

tertentu, dilakukan oleh pemerintah pusat dan dapat pula diserahkan atau

didesentralisasikan ke unit bawah, di daerah atau kepada masyarakat. Demikian

juga kewenangan pembuatan kebijakan yang berdimensi daerah tidak dilakukan

oleh pemerintah pusat, melainkan bisa segera didesentralisasikan.

UU No. 32/2004 dan kitab UU No. 33/2004 menjadi dasar implementasi

desentralisasi pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi

dibentuk dan disusun daerah provinsi, kabupaten dan kota yang berwenang
146

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut kebutuhan,

kemampuan dan tingkat perkembangan sendiri. Pembaruan sistem pemerintahan

tersebut mempunyai implikasi langsung terhadap sistem pendidikan nasional,

terutama yang berkaitan dengan masalah substansi, proses dan konteks

manajemen penyelenggaraan pembangunan pendidikan. Namun, penyelenggaraan

sistem pendidikan nasional untuk masa-masa mendatang, walaupun telah

memiliki perangkat pendukung perundang-undangan, juga masih dihadapkan pada

sejumlah faktor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi

pendidikan di daerah. Seperti tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya

setiap daerah, tipe dan kualitas kematangan SDM yang diperlukan oleh daerah

setempat, perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan dunia industri dan

tingkat perkembangan lembaga-lembaga satuan pendidikan di setiap daerah. Ini

semua mengisyaratkan perlunya pemikiran dan kajian yang lebih matang dalam

menyiapkan situasi lokal atau lembaga satuan pendidikan, agar desentralisasi

dalam manajemen penyelenggaraan sistem pendidikan nasional dapat

dilaksanakan dengan baik.

Apabila UU No. 32/2004 dilaksanakan secara konsisten, secara teoretis

kehendak Pasal 31 ayat (1) kitab UUD/1945 kemungkinan besar dapat

terealisasikan, karena pelayanan pemerintah kepada masyarakat di bidang

pendidikan dan pengajaran, rentangnya tidak terlalu jauh. Dengan demikian,

peranan proses manajemen dalam pembangunan pendidikan akan semakin

strategis.

Kembali ketiga pertanyaan di muka: Apakah pemberian otonomi kepada


147

daerah akan menjamin setiap warga negara memperoleh haknya dalam

pendidikan? Dan apakah dengan pemberian kewenangan menyelenggarakan

pendidikan kepada daerah dapat menjamin peranserta masyarakat akan

meningkat? Dan apakah penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di daerah

dapat mencapai hasil-hasil pendidikan yang bermutu? Dalam konteks ini,

desentralisasi menjamin penanganan variasi tuntutan masyarakat secara cepat.

Rondinelli & Cheema (1988)" mengemukakan bahwa:

"...central planning was not only complex and difficult to implement,


but may also have been inappropriate for promoting equitable growth
and self sufficiency among low in corm groups and communicaties
within developing societies."
Menurut pernyataan tersebut bahwa di dalam negara yang sedang

bererkembang, perencanaan yang terpusat bukan saja rumit dan sulit ntuk

dilaksanakan, melainkan juga sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, baik untuk

meningkatkan pertumbuhan yang seimbang maupun untuk memenuhi kebutuhan

yang mandiri di antara masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Keith Griffin (1988) menyatakan bahwa:

“Development cannot easily be centrally planned. Consequently . . .


mobilization of local human and material resources has been
accompanied by a reduced emphases on national planning and a
growing awareness of the need to devise an administrative structure
that would permit regional decentralization, local autonomy in
making decision of primary concern to the locality and greater local
responsibility for designing and implementing development programs.
Such changes, evidently, are not just technical and administrative;
they are political. They involve a transfer of power from the groups
who dominate the centre to those who have control at the local level.”
Menurut pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa pembangunan tidak

dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya alam dan

manusia yang berada di daerah hendaknya dilakukan dengan baik, dengan upaya
148

mengurangi kegiatan yang menitikberatkan pada perencanaan secara nasional

serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melakukan desentralisasi dan

memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang

menyangkut kepentingan daerah, di samping memberikan tanggung jawab yang

lebih Iacar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

programPerubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut

soal teknis dan administratif semata-mata melainkan juga soal politik, yaitu

berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok pengambil keputusan

yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat

daerah.

Pernyataan Griffin tersebut menunjukkan bahwa persoalan desentralisasi

dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan (empowerment).

dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah

untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Empowerment akan menjamin hak

dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di

daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil

keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri. Dengan

empowerment, institusi pemerintah daerah dan masyarakat akan mampu

memberikan akses bukan hanya terhadap pengambilan keputusan di tingkat

daerah, maupun di tingkat pusat.

Seperti dikatakan oleh Osborne dan Gaebler (1992) bahwa:

“Hierarchical, centralized bureaucracies designed in the 1930s or


1940ssimply do not function well in the rapidly changing, information
rich, knowledge intensive society and economy of the 1990s.”
Digambarkan oleh Osborne dan Gaebler bahwa birokrasi yang hierarkis
149

dan terpusatkan semacam itu ibarat sebuah kapal penumpang raksasa di zaman zet

supersonik dalam ukuran besar, tidak praktis, mahal, dan sangat sulit untuk

bergerak. Karenanya dalam birokrasi pada era sekarang ini dituntut untuk

mentransformasikan semangat kewiraswastaan (enterpreneurial spirit) ke dalam

sektor pemerintah.

Atas dasar alasan-alasan itu, desentralisasi merupakan sarana untuk

mengembangkan organisasi karena organisasi dapat bergerak lebih luwes dan alur

informasi lebih bebas sesuai dengan karakteristik pembuatan keputusannya. Di

samping itu, untuk memenuhi kebutuhan pembangunan daerah, desentralisasi

adalah pola yang paling dianggap tepat dan relevan dengan tuntutan otonomi

tersebut.

Kebijakan yang berdimensi lokal adalah semua hal yang sesuai dengan

aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah. Kebijakan seperti ini sebaiknya rakyat

(baik melalui DPRD maupun kelompok-kelompok kepentingan daerah) dan

pemerintah daerah yang memutuskannya

Konsep retriksi administrasi, menganggap bahwa implementasi kebijakan

desentralisasi dalam manajemen pendidikan, dapat dipandang dari sebuah

penerapan teori dan prinsip-prinsip pengembangan organisasi. Dalam konsep

pengembangan organisasi, setiap pembaruan dalam tatanan kebijakan selalu

diidentikKan dengan penerapan ilmu perilaku dalam usaha jangka panjang untuk

meningkatkan kemampuan organisasi mengatasi pembaruan dalam lingkungan

eksternnya dan meningkatkan kemampuan memecahkan masalah intern

organisasinya atau dianggap sebagai peningkatan kemampuan organisasi untuk


150

mencapai tujuannya dengan memanfaatkan potensi manusia secara lebih efektif

dan mengevaluasi setiap pembaruan dan mengarahkannya secara konstruktif.

Desentralisasi pembangunan pendidikan berusaha untuk mengurangi

campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-

persoalan pembangunan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan

dilaksanakan oleh unit di tataran bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Sehingga diharapkan terjadi pemberdayaan peran unit di bawah atau peran rakyat

dan masyarakat daerah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam

pembangunan pendidikan diberikan kepada daerah, tetap harus konsisten dengan

sistem konstitusi.

Bidang pembangunan pendidikan merupakan salah satu bidang yang

diserahkan dan wajib dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, namun perlu

adanya ketegasan bidang-bidang garapan mana yang menjadi wewenang masing-

masing tingkatan pemerintahan. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa aspek-

aspek pendidikan yang berkaitan dengan identitas dan integritas bangsa

memerlukan standardisasi nasional melalui komitmen politik. Sedangkan

pembangunan pendidikan pada aspek-Paspek spesifik dan model-model

penyelenggaraan pendidikan menjadi wewenang masing-masing pemerintahan

daerah, sehingga keinginan, kebutuhan dan harapan semua pihak dapat terpenuhi.

Artinya, pencapaian warga negara yang bermutu dapat diprediksi mempunyai

kapabilitas dan keunggulan kompetitif dalam percaturan global.

Sesuai tuntutan reformasi dalam pembangunan di Indonesia, tampaknya

pelaksanaan desentralisasi pembangunan pendidikan merupakan suatu keharusan,


151

di samping memang sejumlah peraturan perundang-undangan yang sudah

ditetapkan menuntut untuk segera dilaksanakan. Juga, untuk melaksanakan

desentralisasi pembangunan pendidikan secara nasional di seluruh wilayah

Indonesia tampaknya bukanlah hal yang mudah, termasuk penyerahan seluruh

urusan pendidikan kepada daerah kabupaten/kota, bukanlah hal yang gampang,

dibutuhkan tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya, karena menyangkut sejumlah

masalah dan kendala perlu diatasi, termasuk kesiapan sumber pembiayaan, SDM,

dan sumber pendukung lainnya.

Karena itu, pelaksanaan desentralisasi pendidikan sampai ke tingkat

lembaga satuan pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan yang selama ini kita

ikuti, yakni meliputi jenjang pendidikan dasar, pendidikan memanfaatkan potensi

manusia secara lebih efektif dan mengevaluasi setiap pembaruan dan

mengarahkannya secara konstruktif.

Desentralisasi pembangunan pendidikan berusaha untuk mengurangi

campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-

persoalan pembangunan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan

dilaksanakan oleh unit di tataran bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

Sehingga diharapkan terjadi pemberdayaan peran unit di bawah atau peran rakyat

dan masyarakat daerah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam

pembangunan pendidikan diberikan kepada daerah, tetap harus konsisten dengan

sistem konstitusi.

Bidang pembangunan pendidikan merupakan salah satu bidang yang

diserahkan dan wajib dilaksanakan oleh pemerintahan daerah, namun perlu


152

adanya ketegasan bidang-bidang garapan mana yang menjadi wewenang masing-

masing tingkatan pemerintahan. Oleh karena itu, dapat ditafsirkan bahwa aspek-

aspek pendidikan yang berkaitan dengan identitas dan integritas bangsa

memerlukan standardisasi nasional melalui komitmen politik. Sedangkan

pembangunan pendidikan pada aspek-aspek spesifik dan model-model

penyelenggaraan pendidikan menjadi wewenang masing-masing pemerintahan

daerah, sehingga keinginan, kebutuhan dan harapan semua pihak dapat terpenuhi.

Artinya, pencapaian warga negara yang bermutu dapat diprediksi mempunyai

kapabilitas dan keunggulan kompetitif dalam percaturan global.

Sesuai tuntutan reformasi dalam pembangunan di Indonesia, tampaknya

pelaksanaan desentralisasi pembangunan pendidikan merupakan suatu keharusan,

di samping memang sejumlah peraturan perundang-undangan yang sudah

ditetapkan menuntut untuk segera dilaksanakan. Juga, untuk melaksanakan

desentralisasi pembangunan pendidikan secara nasional di seluruh wilayah

Indonesia tampaknya bukanlah hal yang mudah, termasuk penyerahan seluruh

urusan pendidikan kepada daerah kabupaten/kota, bukanlah hal yang gampang,

dibutuhkan tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya, karena menyangkut sejumlah

masalah dan kendala perlu diatasi, termasuk kesiapan sumber pembiayaan, SDM,

dan sumber pendukung lainnya. Karena itu, pelaksanaan desentralisasi pendidikan

sampai ke tingkat lembaga satuan pendidikan berdasarkan jenjang pendidikan

yang selama ini kita anut, yakni meliputi jenjang pendidikan dasar, pendidikan

menengah, dan pendidikan tinggi. Diperlukan pola-pola desentralisasi manajemen

yang relevan. Desentralisasi jenjang pendidikan bisa dipilih apakah semua jenjang
153

pendidikan bisa ditangani oleh pemerintah daerah, atau hanya terbatas jenjang

pendidikan tertentu sesuai dengan kemampuan pemerintah di daerah.

2. 7. Kebijakan Pendidikan di Sekolah

2. 7. 1 Sistem Sekolah

Sistem persekolahan di Indonesia merupakan subsistem dari sistem

pendidikan nasional. Karena itu, keberadaan sekolah adalah sebagai lembaga yang

menyelenggarakan kebijakan pendidikan nasional atau kebijakan Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota/Provinsi dalam spektrum kekuasaan dan kewenangan

kepala sekolah. Selain itu, sekolah sebagai subsistem sosial berfungsi dalam

mengintegrasikan semua subsistem yang ada di dalamnya. Baik, penyusunan

tujuan dan nilai dari masyarakat untuk menentukan tujuan sekolah, maupun

penggunaan pengetahuan untuk menjalankan tugas sekolah yaitu pengajaran dan

pembelajaran.

Kepala sekolah, guru, pegawai, pengawas, dan murid berfungsi

memotivasi, kewenangan, keteladanan dan komunikasi dalam interaksi.

Kemudian adanya struktur mengarahkan unsur manusia berinteraksi dalam

pelaksanaan tugas organisasi sekolah. Kepala sekolah berperan sebagai pimpinan,

manajer, pendidik, pengawas, dan pendorong bagi guru-guru dalam proses

pelaksanaan tugas. Guru berinteraksi sesama guru dan murid dalam kegiatan

pengajaran dan pembelajaran. Demikian pula ada pola komunikasi di dalam

interaksi sekolah sebagai inti kegiatan kemanusiaan mengembangkan potensi anak

didik atau pelajar. Untuk menjalankan kegiatan guna mencapai tujuan

sebagaimana diharapkan masyarakat maka sekolah memfungsikan manajemen,


154

baik dalam proses perencanaan, pengorganisasian maupun pengawasan bagi

terjaminnya kelancaran tugas, kinerja tinggi, pelayanan siswa dan orang tua secara

baik sehingga mengeluarkan lulusan sebagaimana diharapkan masyarakat.

Sebagai suatu organisasi, sekolah memiliki unsur .atau komponen yang

berfungsi dan saling berhubungan dalam rangka mencapai tujuan sekolah.

Komponen-komponen tersebut terdiri dan kepala sekolah, wakil kepala sekolah,

guru-guru, karyawan, supervisor dan siswa. Ada pula unsur sarana dan prasarana,

termasuk fasilitas dan finansial sekolah, di samping komponen kurikulum

pendidikan sebagai pedoman bagi proses pengajaran dan pembelajaran. Semua

aktivitas pembelajaran, manajemen, kepemimpinan, layanan bimbingan dan

pembinaan murid kecuali dipengaruhi kekuatan internal sekolah juga dipengaruhi

kekuatan eksternal dari masyarakat untuk menentukan mutu lulusan dan layanan

sekolah.

Menurut Owens dalam Irianto (2011), dalam pandangan sosiologis dan

psikologis, disetujui bahwa tujuan persekolahan adalah:

(1) Kebiasaan keria yang efektif,

(2) Prestasi akademik,

(3) Nilai kewarganegaraan,

(4) Perilaku sosial

(5) Harga diri,

(6) Percaya diri.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka sasaran aktivitas persekolahan

adalah:
155

(1) Pengharapan guru terhadap pencapaian prestasi pelajar,

(2) Hubungan antara pelajar dengan guru,

(3) Motivasi pelajar,

(4) Waktu yang dihabiskan untuk pengajaran dan pembelajaran,

(5) Hubungan antara individu pelajar dan teman sejawat.

Untuk mencapai sasaran tersebut, ahli sosiologi dan pendi¬dikan

cenderung menekankan kepada:

(1) Bagaimana sekolah memimpin dan mengelola,

(2) Bagaimana murid dikelompokkan,

(3) Keterlibatan orang tua dan masyarakat,

(4) Cara pelajar dan guru bekerja sama,

(5) Cara keputusan dibuat di sekolah (owensdalam irianto, 2011).

Sekolah merupakan suatu organisasi yang melaksanakan kegiatan

pendidikan secara formal. Sebagai suatu institusi sosial, sekolah (kelas, sekolah,

atau komunitas) mencakup dua bentuk fenomena. Pertama, lembaga dengan

peranan tertentu dan harapan-harapan yang akan memenuhi tujuan-tujuan dari

sistem. Dan kedua, individu-individu dengan kepribadian sendiri dan disposisi

kebutuhan menjadi kebiasaan sistem, yang diobservasi dari kumpulan interaksi

yang disebut perilaku sosial.

Hubungan keorganisasian yang berkembang di sekolah atau sistem

sekolah adalah menekankan pada sistem nilai dalam hubungan antarmanusia,

tugas keorganisasian dan situasi yang dirasakan (iklim). Hubungan interpersonal

dalam satu organisasi cenderung mengambil bentuk dan satu pola atau struktur.
156

Seseorang merasakan sebagai pimpinan, seseorang mendelegasikan tugas kepada

yang lain, orang tertentu berbicara lebih sering kepada yang lain dalam organisasi

dan yang lain. Demikian pula ada pengembangan cara berinteraksi, makan siang

bersama dalam kelompok tertentu, gosip tertentu dalam komunikasi dan lain-lain

faktor hubungan ini dan banyak lagi jenis hubungan dalam strukturorganisasi.

Beberapa pola hubungan tersebut dibangun melalui tindakan resmi dan

merupakan organisasi formal. Bentuk hubungan lain tidak resmi dan merupakan

organisasi informal.

Sekolah sebagai sistem organisasi juga memiliki beberapa unsur, yaitu:

(1) Teknologi; dalam hal ini teknologi dan suatu organisasi adalah proses.

Dalam konteks sekolah adalah proses pendidikan dan kantor (kelas,

workshop, lapangan olah raga, whiteboard dan lain-lain) yang di dalam

prosesnya berjalan,

(2) Struktur; suatu struktur organisasi, bidang, peran, hierarlci dan kewenangan,

prosedur dalam pekerjaan staf, jadwal ketja dan lain-lain,

(3) Orang-orang; keberadaan orang-orang dalam organisasi sekolah dan pars

guru, kalangan ahli, pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sikap, juga

murid atau pegawai berinteraksi,

(4) Budaya; dalarn hal karakter atau budaya organisasi sekolah berisikan sistem

nilai, ada standar, aturan, penilaian kinerja dengan imbalan, hubungan

personel, kebiasaan, dan penilaian pendidikan (Everard, 2004).

Di dalam organisasi terjadi interaksi antar individu dengan pola

komunikasi tertentu untuk bekerja sama menjalankan kegiatan guna mencapai


157

tujuan. Perluasan kewenangan yang menjadi tugas seseorang dalam hubungannya

dengan perilaku yang lain dari berbagai individu dan kelompok yang

disistematisasikan melalui pengaruh struktur termasuk reaksi berpikir dan emosi

dari individu. Pentingnya struktur dalam organisasi dinyatakan di mana saja

seseorang ditempatkan dalam kedudukan baru dan perilaku berbeda berdasarkan

dengan tuntutan peranan barunya. Bila seseorang yang telah menjadi guru

kemudian menjadi kepala sekolah adalah tidak biasa bagi sikap individu untuk

berubah. Guru yang tampaknya bersahabat, mungkin sekarang menjadi menjauh

atau seorang guru yang menjadi lawan bahkan mungkin menjadi lebih tinggi

otoriternya.

Meskipun pemerintah sudah memberlakukan otonomi daerah dengan

implikasi desentralisasi pendidikan, namun sekolah-sekolah belum banyak

mengalami perkembangan yang menggembirakan. Itu artinya, iklim sekolah

cenderung kurang kondusif bagi munculnya gagasan dan kebijakan baru sekolah

dalam mengembangkan dirinya untuk meningkatkan kualitas sekolah.

Untuk mencapai peningkatan yang signifikan dalam produktivitas pelajar

adalah penting untuk merancang sepenuhnya bentuk organisasi pengajaran.

Pengorganisasian pembelajaran yang selama ini eksis adalah sekolah sebagai

suatu struktur yang berbeda dengan struktur organisasi lainnya. Sebab struktur

sekolah pada saat ini dirancang sebelum era informasi dan otonomi daerah maka

pengembangan seluruh komponen sekolah harus menjadi agenda para pengelola

sekolah. Saat ini diperlukan pengembangan program akademik berbasis anak dan

masyarakat.
158

Pengelola sekolah harus menangani persoalan pengajaran dengan tim

kerja, ahli sistem, dukungan sistem kinerja elektronik, proses pelaksanaan kerja

secara sistemis dan waktu ke waktu. Salisbury (1996) menyatakan bahwa dalam

suatu organisasi sekolah yang berpusat kepada pelajar dan pembelajaran maka

pelajar menjadi aktor utama, dengan para guru memberikan bimbingan dan

bantuan kepada para pelajar untuk mengakses informasi dan materi pembelajaran

yang dibutuhkan. Setiap pelajar harus membuat rencana materi pembelajaran

mereka dan tujuan sebagai bahan yang diputuskan oleh guru secara bersama

dengan para pelajar dan orang tua (namun biasanya, pendekatan ini hanya

berjalan di kalangan pelajar yang berbakat dan berpotensi baik).

Ada beberapa alasan yang menuntut untuk pengembangan sekolah

karena kebutuhan dan pendekatan pembelajaran yang berubah. Secara rasional,

hal yang berbeda dengan pendekatan pembelajaran di atas adalah semua persoalan

pembelajaran diserahkan kepada pelajar secara langsung. Pilihan strategi

pembelajaran diserahkan kepada pelajar, balk dalam bentuk belajar bersama,

tutorial sesama pelajar, kelompok kecil pembelajaran, penggunaan komputer

untuk belajar, tutorial pribadi sendiri dan metode lainnya. Penerapan pembelajaran

tuntas tidak hanya memerlukan permulaan pada saat menyiapkan tugas

pembelajaran. Tetapi juga harus dapat menentukan pelajaran selanjutnya setelah

menyelesaikan yang mereka tetapkan sebagai bahan pelajaran permulaan.

Dalam konteks kebijakan pengembangan sekolah, dijelaskan oleh

Morphet, et. al (1982) sistem sekolah umum harus secara konstan berubah dalam

tugas, sasaran, dan tujuan jika ingin memenuhi perubahan kebutuhan masyarakat.
159

Hal itu berkenaan dengan perubahan kurikulum, struktur organisasi, dan layanan

yang diberikan.

Alasan lain pengembangan sekolah adalah karena perkembangan

teknologi yang dapat dimanfaatkan bagi pembelajaran begitu cepat, dewasa ini.

Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan prosedur

pembelajaran, pemenuhan informasi, dan metode pembelajaran. Hal itu saat ini

dipenuhi melalui penggunaan sistem belajar berbasis komputer sehingga pelajar

dapat dengan mudah mencari sumber material pembelajaran, dan peningkatan

keterampilan dalam belajar. Teknologi baru, seperti simulasi komputer sebagai

lingkungan pembelajaran berbasis komputer memungkinkan pelajar berinteraksi

satu dengan lainnya, dengan guru dan tanpa ahli. Hal ini karena jaringan kerja

komputer dan sistem multimedia yang dapat digunakan secara dramatis untuk

meningkatkan dari pembelajaran individual kepada efektivitas dan efisiensi

pembelajaran yang berkinerja tinggi.

2. 7. 2. Perencanaan dan Keputusan untuk Kebijakan Sekolah

2.7.2.1 Perencanaan

Perencanaan adalah proses yang didahului dengan pengambilan

keputusan. Rencana dapat diartikan sebagai suatu keputusan dengan

memperhatikan tugas tindakan. Sebagai tugas tindakan, ada sejumlah urutan

tindakan yang secara mutualisme berhubungan dan dipandang sebagai satu

kesatuan. Semua organisasi sukses mengembangkan rencana. Ada beberapa

organisasi atau bahkan suatu negara, membuat rencana tapi kadang tidak

dilaksanakan. Suatu rencana yang dikembangkan harus dilaksanakan agar


160

berhasil. Oleh karena itu, diharapkan semua anggota organisasi mengikut pada

rencana. Proses perencanaan dapat disebutkan sebagai suatu persiapan cerdas bagi

tindakan.

Perencanaan strategis sekolah semakin urgen dibicarakan karena terkait

dengan rencana pengembangan sekolah (planning for school development).

Perencanaan ini merupakan usaha untuk mengembangkan strategi yang akan ada,

antara lain membantu kepala dinas, kepala sekolah dan staf untuk mengubah

kultur sekolah. Intinya adalah bagaimana memadukan perencanaan dan evaluasi

(Hargreavess, et. al, 1989, dalam Riddell dan Brown 1991: 59). Di sini dipahami

bahwa perencanaan pengembangan sekolah merupakan usaha sistematis dan

berkelanjutan yang bertujuan untuk mengubah kondisi pembelajaran dan kondisi

internal lainnya dalarn satu atau lebih sekolah. Tujuan akhirnya adalah mencapai

sasaran pendidikan lebih efektif.

Dengan kata lain proses perencanaan dapat mengarahkan kepada, hal-hal

berikut:

1. Manajemen demokratis dan terbuka, atau manajemen otokratik dan tertutup;

kreatif atau fleksibilitas atau organisasi dan susunan manusia yang kaku.

2. Penggunaan sumber daya manusia dan material lebih efisien, atau

memanfaatkan sumber daya ini, khususnya melampaui jangka panjang.

3. Membangun identifikasi dan komitmen di antara pelajar dan staf terhadap

tujuan lembaga atau menghindarkan dari pengaruh tidalbermoral.

4. Membangun lembaga sebagai organisasi profesional, atau memperkuat

kecenderungan birokrasi sekolah (Pang, 2003).


161

Perencanaan diakui sebagai tanggung jawab penting dari seorang

pemimpin atau manajer dalam penataan organisasi tertentu. Ada beberapa alasan

pentingnya perencanaan (Syafruddin 2008), yaitu :

Perencanaan adalah berhubungan dengan kinerja atau keberhasilan

organisasi dan efektivitas sekolah bergantung atas keberhasilan perencanaan

tersebut.

1) Fokus perhatian perencanaan adalah terhadap sasaran rencana berkelanjutan

memperkuat pentingnya sasaran. Perencanaan membantu untuk menjamin

bahwa keputusan memberikan sumbangan kepada prestasi personel dan

bahwa administrator tidak menjadi terlalu terlibat dalam hal keputusan dan

aktivitas yang kurang penting dan kurang relevan.

2) Perencanaan membantu mencatat yang tidak pasti dan mengantisipasi

masalah dengan mengembangkan rencana bagi keadaan masa depan; para

pemimpin dan manajer mempersiapkan lebih baik dan proaktif,

menyediakan staf dengan pengalaman lebih baik.

3) Perencanaan memberikan panduan bagi pengambilan keputusan sebagai

rencana khusus, maka tindakan ini memerlukan tindakan penataan tujuan,

memberikan pelayanan sebagai dasar keputusan aktivitas masa depan.

4) Perencanaan adalah penting untuk mempermudah pemantauan dan

pengendalian-konsep rencana dapat membantu para pemimpin dan manajer

menentukan apakah keputusan diimplementasikan lebih baik dan apakah

sasaran organisasi tercapai.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa perencanaan


162

sebagai proses menentukan tindakan di masa depan. Hal tersebut berkenaan

dengan tindakan manajerial lainnya, yaitu pengambilan keputusan, pembuatan

anggaran, dan penentuan sasaran organisasi atau kegiatanya. Berarti di dalam

proses ini diperlukan kemampuan dan keterampilan seorang pimpinan atau

manajer dalam memanfaatkan sumber daya personel dan materil organisasi untuk

mendukung keberhasilan membuat rencana. Dengan demikian, rencana yang baik

bila didukung sumber daya dalam pelaksanaannya maka sasaran akan tercapai

sebagai ukuran kinerja organisasi. Supaya tercapai perencanaan untuk kebijakan

harus didukung manajemen kolaboratif.

Proses dan aktivitas manajemen kolaboratif ini memerlukan adanya

kertas kerja atau dokumentasi konsep yang meliputi pernyataan kebijakan

maksimal satu lembar, rencana dan anggaran maksimal dua lembar, laporan

tentang evaluasi sederhana maksimal satu lembar, dan laporan tentang evaluasi

utama (Gamage dan Pang dalam Syafruddin, 2008). Perlu dijelaskan bahwa hanya

dalam proses manajemen kolaboratif memungkinkan munculnya kebijakan efektif

bagi peningkatan mutu sekolah. Karena itu, mengenalkan perubahan kepada

kelompok kebijakan dan staf dengan menjelaskan dan menunjukkan kebijakan

dan sasaran merupakan hal penting agar ada jaminan semua personel

menyediakan waktu yang cukup untuk memungkinkan pengenalan dan

pelaksanaan kebijakan. Selain itu, kelompok kebijakan seharusnya menentukan

jadwal waktu pelaksanaan kebijakan. Sebenarnya yang akan mendukung

pelaksanaan rencana kebijakan adalah menyediakan waktu, biaya, pelaksana, dan

dukungan birokrasi.
163

Keberhasilan implementasi menjamin bahwa semua sumber daya para

guru, waktu, ruang, fasilitas, penyedia, peralatan, dan pelayanan-menyatakan

rencana untuk mencapai prioritas pembelajaran dan pengajaran. Selanjutnya

Caldwell dan Spinks dalam Syafruddin (2011) mengajukan beberapa keuntungan

manajemen kolaboratif, yaitu:

(1) Manajemen kolaboratif memberikan peran kepada para guru dalam


manajemen pendidikan.
(2) Manajemen kolaboratif menjamin bahwa semua guru memiliki
peluang untuk memberi kontribusi berdasarkan pada keahlian
mereka dan keinginan berpartisipasi.
(3) Perbedaan antara pembuatan kebijakan dan perencanaan dibuat
secara jelas.
(4) Manajemen kolaboratif memberikan kerangka kerja (tim program)
bagi guru-guru untuk membuat kontribusi substansial dalam alokasi
sumber daya.
(5) Rencana-rencana kegiatan dan anggaran memberikan sumber
informasi berdasarkan teman kerja.
(6) Sistem implementasi yang baik dari manajemen kolaboratif
menjamin bahwa sasaran dan kebijakan ditransformasikan kepada
berbagai tindakan.
(7) Manajemen kolaboratif memberikan kerangka kerja penilaian bagi
manajemen konflik, sebab ada peluang kolaborasi dan keterbukaan.
(8) Keterbukaan dan sistem yang sesuai bagi kebutuhan sumber daya,
memberikan peluang mendeteksi bidang yang tumpang tindih dan
keutamaan kelompok bersama.
(9) Manajemen kolaboratif membangun pentingnya peran para guru
sebagai sumber utama dalam proses pengajaran dan pembelajaran.

Perlu ditegaskan bahwa manajemen kolaboratif sekolah memberikan

peluang para guru untuk memperoleh keterlibatan dalam pengambilan keputusan.

Hal itu karena balk perencanaan maupun pembuatan kebijakan pada esensinya

melalui proses pengambilan keputusan sesuai norma dan sistem sekolah.

Bagaimanapun, keterlibatan tinggi (high involvement) adalah hal positif berkaitan

dengan kepuasan kerja para guru. Dapat disimpulkan bahwa kolaborasi para guru
164

memberikan energi/kekuatan orang, memberikan satu tujuan dan merancang

komunikasi bermakna di antara mereka. Hasilnya adalah mengarahkan kebijakan

kepada peningkatan dalam prestasi akademik para pelajar. Proses kolaboratif

meninggikan mutu pembelajaran organisasi sekolah, dengan membolehkan

administrator dan guru untuk menemukan cara-cara membagi keahlian mereka

membuat pemikiran semakin jelas, dam menyuarakan sasaran mereka.

Dapat disimpulkan bahwa perencanaan dan pembuatan kebijakan di

sekolah dapat merupakan penerjemahan kebijakan pendidikan nasional, Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota, maupun kebijakan pendidikan hasil rancangan

sekolah yang disesuaikan dengan aturan pemerintah pusat dan daerah serta sesuai

konteks dan keperluan warga sekolah dan masyarakat lingkungannya. Karena itu,

perencanaan kolaboratif memungkinkan aturan, nilai-nilai dan aspirasi semua

pihak berkepentingan dapat diakomodir untuk memajukan sekolah menuju

sekolah unggul, atau sekolah efektif yang salah satu cirinya adalah

mengembangkan sekolah dengan perencanaan kolaboratif (collaborative

planning). Kerja sama dan penggabungan potensi para staf, guru, dan pihak terkait

dalam peningkatan sekolah memungkinkan munculnya cara pengembangan

jaringan kerja profesional untuk menghasilkan lulusan terbaik. Karena itu, dengan

lebih banyak institusi yang dilibatkan maka semakin cepat sinergi sekolah,

kekuatan modal manusia dengan membagi kepemimpinan dan transformasi bagi

peningkatan mutu sekolah.

2.7.2.2 Pengambilan Keputusan

Seorang manajer membuat keputusan dalam banyak fungsi perusahaan


165

yang akan terkait dengan masa depan perusahaannya. Apakah yang dimaksud

dengan pengambilan keputusan? Robbins (1984) dalam Irianto (2011)

berpendapat bahwa :"decision making-is-process in which one chooses between

two or more alternative." Berdasarkan pendapat di atas dapat dipahami bahwa

hakikat pengambilan keputusan ialah proses memilih dua alternatif atau lebih.

Biasanya, pilihan yang ditetapkan didasarkan pada pertimbangan rasional yang

memiliki keutamaan lebih banyak bagi organisasi daripada altematif lainnya.

Setiap orang membuat keputusan setiap hari dalam hidupnya.

Bagaimanapun, seseorang senantiasa berhadapan dengan berbagai pilihan sebagai

tindakan yang akan dilakukan dalam keseharian. Pilihan tindakan tertentu baik

secara pribadi maupun kelompok perlu diputuskan. Seperti halnya, seorang

pegawai akan memutuskan, jam berapa harus bangun, lalu apakah pergi ke kantor

atau tidak, jam berapa ia berangkat, berangkat dengan kendaraan apa, dan banyak

hal lain yang diputuskan. Memang kehidupan adalah sebuah pilihan.

Dengan menemukan berbagai problem, kemudian dapat disusun

prioritas-prioritas yang cocok. Putuskan apa yang akan kita lakukan baik sebagai

individu maupun kelompok dalam menangani masalah krusial melalui proses

pengambilan keputusan. Proses membuat alternatif dan solusi yang mungkin

terhadap masalah yang diputuskan sebagai prioritas. Melakukan evaluasi terhadap

solusi dan pemilihan terhadap berbagai solusi.

Dari definisi di atas disimpulkan bahwa pengambilan keputusan ialah

proses pemecahan masalah dengan menentukan pilihan dan beberapa alternatif

untuk menetapkan suatu tindakan dalam mencapai tujuan yang dfinginkan.


166

Definisi ini mengandung substansi pokok yaitu ada kebutuhan memecahkan

masalah, adanya proses (langkah-langkah), ada beberapa altenatif yang akan

dipilih (bukan satu altenatif), ada ketetapan hati memilih satu pilihan, dan ada

tujuan pengambilan keputusan (disengaja).

Owens dalam Syafruddin (2011) menjelaskan bahwa ada beberapa

langkah umum pengambilan keputusan, yaitu:

(1) Mendefinisikan masalah,

(2) Menganalisis masalah,

(3) Mengembangkan alternatif solusi,

(4) Memutuskan solusi terbaik, dan

(5) Memindahkan keputusan ke dalam tindakan efektif.

Bagi Gibson, et al dalam Irianto (2011) menyatakan bahwa proses

pengambilan keputusan mencakup proses-proses, yaitu:

(1) Mengenali masalah, meliputi: memandang masalah, mendefinisikan

masalah dalam terminologi solusi, dan mengenali gejala masalah;

(2) Membangun alternatif;

(3) Mengevaluasi alternatif;

(4) Memilih satu alternatif;

(5) Melaksanakan altematif;

(6) Mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan keputusan.

Karena itu keputusan ada yang bersifat terstruktur dan ada yang tidak

terstruktur. Gibson, et al (1996) mengemukakan bahwa putusan terstruktur adalah

jika situasi tertentu sering terjadi, memiliki prosedur rutin sehingga biasanya
167

dapat dikerjakan untuk memecahkan masalahnya. Maka putusan ini disebut

masalah terencana. Sedangkan putusan tidak terencana adalah bila masalahnya

tidak terstruktur. Tidak ada prosedur yang dibangun untuk menangani masalah,

karena tidak muncul secara jelas sehingga sangat rumit yang memerlukan

penanganan khusus.

Secara sederhana dipahami bahwa putusan terstruktur dapat diambil

manakala informasi, data, dan fakta tersedia secara lengkap untuk memecahkan

masalah sesuai prosedur. Sedangkan putusan tidak terstruktur/terprogram adalah

putusan yang diambil manakala data dan informasi tidak tersedia untuk

pengambilan keputusan.

Idealnya, kepala sekolah atau kepala bidang pendidikan melibatkan

personelnya, akan tetapi pengambilan keputusan dilaksanakan dalam menentukan:

(1) Kebijakan umum,

(2) Sistem umum,

(3) Sasaran sekolah atau bidang (yang diturunkan dari sasaran pada level lebih

tinggi),

(4) Apa yang diharapkan setiap individu untuk dicapai (everard, et al dalam

syafruddin, 2011).

Dalam kepemimpinan kepala sekolah melekat wewenang dan tanggung

jawab menyusun program kerja, melaksanakan, dan mengevaluasi dengan

mengarahkan personel sekolah dalam melakukan program sekolah. Dijelaskan

Morphet dalam Syafruddin (2011) bahwa pimpinan setiap organisasi harus

mempermudah proses pengambilan keputusan dan komunikasi keputusan


168

terhadap semua anggota organisasi serta masyarakat untuk mendapat dukungan

melaksanakan keputusan.

Gamage dan Pang dalam Syafruddin (2011) berpendapat bahwa

keputusan efektif akan tercapai jika sepenuhnya keputusan itu dapat dilaksanakan.

Perhatian orang akan sepenuh hati ke dalam suatu keputusan jika mereka terlibat

secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan. Suatu cara yang

efektif untuk mencapai dukungan dan komitmen dilaksanakan dengan mengajak

para guru dalam pemecahan masalah pada tahap penyusunan sasaran. Strategi

kolaboratif pengambilan keputusan mengilhami para pegawai dengan rasa

pemberdayaan dan perasaan penting yang memuaskan dorongan kebutuhan

mereka. Kepala sekolah perlu melibatkan semua personel (guru, pegawai, dan

komite sekolah) dalam mengambil keputusan agar muncul rasa memiliki dan

tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan.

2. 7. 3 Kebijakan Sekolah

Keberadaan sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan

memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem pendidikan nasional.

Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah bertanggung jawab dalam

menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan nasional yang ditetapkan

pemerintah. Berawal dari UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah,

keputusan presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada

peraturan daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian

diterjemahkan dan dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh langsung


169

keperluan stakeholders pendidikan, khususnya anak didik. Jadi, setiap kebijakan

harus selalu berhubungan dengan kesejahteraan dan pencerdasan masyarakat.

Untuk mencapai peningkatan mutu sekolah, maka kepala sekolah sebagai

petugas profesional dituntut untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan

mengevaluasi kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah termasuk dalam spektrum

kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah merupakan turunan dari kebijakan

pemerintah dalam bidang pendidikan. Dalam Beard dan Boyd dalam Syafruddin

(2011) dijelaskan bahwa ada lima jenis kebijakan pendidikan, mencakup:

1) Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan,

2) Mengalokasikan sumber daya untuk dan pelayanan pendidikan

3) Menentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan,

4) Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan,

5) Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan

pertumbuhan ekonomi.

Suatu kebijakan sekolah tentu saja dibuat untuk memajukan sekolah

sesuai tuntutan keperluan warga sekolah atau masyarakat luas. Ditegaskan oleh

Duke dan Canady (1991: 1) bahwa:

"These policies have the potential to affecting teaching and learning.


It is our belief that an understanding of local school policy, therefore,
is essential for those concerned about increasing school effectiveness
and student achievement particularly for school administrators and
board members."

Kebijakan sangat penting bagi kehidupan siswa dan para guru karena

berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran dalam rangka peningkatan

efektivitas sekolah dan prestasi pelajar. Tidak terkecuali peran administrator dan
170

anggota komite sekolah adalah sangat menentukan, terkait dengan suatu

kebijakan.

Duke dan Canady dalam Syafruddin (2011) kebijakan sekolah adalah

kerja sama dan keputusan oleh individu atau keinginan kelompok dengan

kewenangan yang soh dan dewan sekolah, pengawas, administrator sekolah atau

komite sekolah dan tanggung jawab bagi kontrak negosiasi. Biasanya kebijakan

sekolah dituliskan dan dibagi kepada personel sekolah untuk memperjuangkannya

melalui berbagai kegiatan sekolah.

Menurut Thompson dalam Syafruddin (2011) suatu kebijakan sekolah

dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung jawab untuk membuat kebijakan

pendidikan, dewan sekolah dan unsur lain yang diberi kewenangan membuat

kebijakan, balk kepala sekolah, pengawas, atau administrator yang memiliki

kewenangan mengelola kebijakan dan dewan sekolah.

Dijelaskan Newton dan Tarrant dalam Syafruddin (2011) bahwa bila

kebijakan direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan banyak tipe

perilaku manusia yang secara potensial bermacam-macam latar belakang dan

diperlukan kemampuan untuk memberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan

kebijakan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan

masyarakat yang dilayaninya.

Setidaknya dan hasil penelitian terhadap sekolah di British ada beberapa

fokus kebijakan sekolah, yaitu :

1) Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,


2) Kurikulum,
3) Imbalan dan hukuman,
4) Keterlibatan orang tua,
171

5) Peluang bagi pelajar, dan


6) Iklim sekolah (duke dan canady, dalam syafruddin, 2011)

Peran kepala sekolah sebagai pemimpin ditampilkan dengan menyusun

visi, membuat strategi maka perilaku yang muncul adalah meliputi; perilaku

mengambil keputusan, perilaku interpersonal, perilaku keteladanan, pemberian

reward dan hukuman, serta pembinaan iklim sekolah diperkirakan berkaitan erat

dengan kelancaran dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan bidang

kependidikan dalam semua aspeknya.

Gamage dan Pang dalam Syafruddin (2011) menjelaskan bahwa suatu

kebijakan dapat juga dipahami sebagai perangkat panduan yang memberikan

kerangka kerja bagi tindakan dalam hubungan dengan persoalan substantif. Garis

panduan ini mencakup dalam: istilah umum (general terms), tindakan yang akan

dilaksanakan dalam pertimbangan persoalan yang ada. Pelaksanaan suatu maksud

dan pola bagi pengambil tindakan. Dalam sekolah diperlukan garis panduan yang

memberikan kerangka kerja, seringkali dengan beberapa dasar bagi keleluasaan.

Dalam konteks ini, kepala sekolah, staf, dan personel lainnya sebagai warga

sekolah dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan arah yang jelas. Dalam

menganalisis pembuatan kebijakan publik ada dua pendekatan yang berbeda, yaitu

pendekatan rasional dan pendekatan inkremental. Alasan bagi pendekatan rasional

bergantung pada skala reformasi struktur dalam organisasi kependidikan.

Sementara pendekatan inkremental dari Ceung dalam Irianto (2011)

memiliki rancangan kerangka kerja dengan latar belakang dan pelaksanaan prinsip

mempengaruhi pengembangan dan pembuatan kebijakan. Dengan pendekatan


172

inkremental prosesnya melalui skala perubahan kecil untuk status quo. Kerangka

kerja analisis kebijakan pendidikan. Berdasarkan pada masalah tersebut. Analisis

kebijakan pendidikan harus berkenaan dengan latar belakang dan pelaksanaan

prinsip yang mempengaruhi pengembangan kebijakan tersebut, proses

implementasi kebijakan, antara pengamalan dan proses. Bahkan pelaksanaan

kebijakan, pelaksanaan kebijakan pendidikan (identifikasi kesenjangan antara

perencanaan dan implementasi, serta pengaruh kebijakan).

2. 8. Mutu Pendidikan

Dalam rangka umum mutu mengandung makna derajat (tingkat)

keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa;

baik yang tangible maupun yang intangible (Wiyono, 2010). Dalam konteks

pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan

hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai

input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi

(bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan

sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang

kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mengsinkronkan

berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi

(proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas

maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam

lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang

mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan"


173

mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu

(apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun).

Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa

hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ujian Nasional). Dapat

pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau

keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa.

Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang

(intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan,

dsb.

Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan.

Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian

hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target

yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input

dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai.

Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality

improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah

pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh

sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif"

dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya

seperti NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi, terhadap seluruh hasil pendidikan

pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang

lain (kegiatan ekstrakurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi

din dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan
174

tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target

mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana pencapaiannya.

Bervarasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru

dan staf dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah

satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan

pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh

tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama

pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi

tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa

di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan

mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, prospektif dan kerangka acuan

(framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang

memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian

terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi

bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan

dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut

partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat

berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan

pendidikan.

Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang

selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi

proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya

kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro.
175

Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut

yang belum tentu seuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan

harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama sering kali

menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan

kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan.

Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu

perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan

preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan kepada suatu kesadaran

akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan

organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat

pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih

kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai

pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi

pendidikan yang tengah dikembangkan.

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif

baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian

dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang

lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmon1979).

Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara

lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah

memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki

kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah

(kepada sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa untuk berprestasi, (v)
176

adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK,

(vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek

akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk

penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan

intensif dari orang tua murid /masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini

didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam

mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan,

strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah

dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan

tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/ staf

administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami,

membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan

evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh

pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu

ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang

berkualitas/bermutu bagi masyarakat.

Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung

jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi,

keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan

kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama-sama dengan orang

tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas

disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru,

dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat


177

tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari

sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam

masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses

perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total

dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri

maupun sekolah lain.

Ada empat hal yang terkait dengan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas

total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus-menerus

mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh

pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi

bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang

memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arif bijaksana, karakter, dan

memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong

sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat

memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah,

khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk

sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih

efisien sumber daya tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi peningkatan

mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh

pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka

menjamin tujuan-tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup

nasional. Banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor

penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia.


178

Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan

pendidikan nasional tercapai.

Berbagai upaya telah dilakukan secara "terencana" sejak sepuluh tahun

yang lalu. Hasilnya cukup membanggakan untuk sekolah-sekolah tertentu di

beberapa kota di Indonesia tetapi belum merata dan kurang memuaskan secara

nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa solusi yang selama ini dijalankan

mungkin saja belum menyentuh akar permasalahan(Irianto 2011). Sejak tahun

1980-an proyek itu telah dilaksanakan pemerintah, menyusul pula proyek baru

yang siap diluncurkan. Di antaranya proyek Pengembangan Kurikulum, Proyek

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek

Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM),

Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek

Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal

Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM) (Wiyono, 2011). Dengan

memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah

telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai

upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Kini, berbagai elemen masyarakat mempertanyakan mengapa upaya yang

begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpendapat

mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa

pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan.


179

2. 9. Peraturan Perundang-undangan mengenai Pendidikan

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

2. Undang–Undang Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang

Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra

Tingkat I Kalimantan Tengah dan Perubahan Undang-Undang Nomor 25

Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 53, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 1284) Sebagai Undang-Undang

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 62, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1622);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-

pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041)

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 169, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3890);

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003

Nomor 78 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan


180

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4844);

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4754);


181

10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4751);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar.

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4863);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan

Pendidikan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4864);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4941);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi

Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor

157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5105);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil

Pemerintah di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia


182

Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5107);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai

Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5157);

19. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008

tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah (Lembaran

Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan

Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 24); sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah

Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2010 Kelembagaan Adat Dayak Di

Kalimantan Tengah;

20. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 6 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah

(Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2011 Nomor 6,

Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 6);


183

21. Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2009 tentang Bantuan Biaya

Pendidikan dan Beasiswa Bagi Mahasiswa dan Siswa di Kalimatan Tengah;

22. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 30 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2009 tentang Bantuan

Biaya Pendidikan dan Beasiswa Bagi Mahasiswa dan Siswa Di Kalimatan

Tengah;

23. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 10 Tahun 2012

Tentang Penyelenggaraan Pendidikan; dan

24. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 25 Tahun 2012 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 33

Tahun 2009 Tentang Bantuan Biaya Pendidikan dan Beasiswa Bagi

Mahasiswa dan Siswa di KalimantanTengah;

2. 10. Alur Pikir Penelitian

Dari uraian teori di atas maka dapat disusun model konseptual penelitian

tentan “Analisis Kebijakan Pendidikan” (Sebuah Tinjauan Terhadap Kebijakan

Pendidikan Kalimantan Tengah, seperti di bawah ini :


184

Undang-Undang

Pendidikan

No 20/2003 tentang

Kebijakan
Empirical Problem
PendidikanKalteng
1. Kompetensi guru belum merata.
2. Kesejahteraan guru di daerah Perda no 20/2012 tentang
pedalaman dan perbatasan.
3. Siswa berprestasi yang tidak dapat
melanjutkan studi karena tidak ada Analisis Kebijakan
biaya
(William N. Dunn,
4. Kurangnya ketersediaan buku dan
2003)
penunjang pendidikan lainnya.
5. Keterbatasan akses pendidikan bagi Analisis kebijakan Restrospektif
daerah pedalaman, terpencil dan
perbatasan
1. Pemerataan pelayanan
pendidikan.
2. Kualitas dan kompetensi guru.
3. Pembiayaan pendidikan

Tujuan Pendidikan
“Kalteng Harati”
1. Percepatan mutu pendidikan.
2. Pemerataan pelayanan
pendidikan.
3. Meningkatkan daya saing
pendidikan, khususnya daerah
pedalaman/perbatasan
4. membentuk insan cerdas
paripurna.

Gambar 2.6 : Model Konseptual Penelitian Analisis Kebijakan Pendidikan


Pada Pemprov. Kalimantan Tengah
Sumber : Olahan penulis

Anda mungkin juga menyukai